Sabtu, 30 November 2013

love tell me about... (cerpen)



Love tell me about…,


Namaku Syara Azura. Panggil saja Ara. Aku anak dari seorang kepala marketing di sebuah perusahaan terkemuka di kotaku. Perusahaan yang bergerak di bidang bursa efek dan saham. Umurku 15 tahun. Aku lahir ditanggal 9 April.
Kalau soal sekolah. Aku bersekolah di SMA Ritch Blues, sekolah swasta favorit dan unggulan. Kini aku duduk dikelas sepuluh (X). Aku bersekolah disini karena letaknya yang tak jauh dari rumah, hanya sekitar 700 meter.
Hmmm, apa lagi yang ingin kalian ketahui tentangku? Aktivitasku? Baiklah akanku ceritakan…
Ini lah aktivitasku, selalu pulang-pergi sekolah dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki. Mama dan Papa tak pernah mau memanjakanku mesti hidupku dan keluargaku serba berkecukupan. Lagi pula aku tak keberatan dengan peraturan Papa dan Mama ini. Toh, rumahku dan sekolah dekat!
Persis seperti siang ini. Aku berjalan kaki sendirian. Dan sialnya, siang ini sangat panas. Terik matahari serasa memanggang tubuhku hingga gosong. Berkali-kali aku mengelap peluh yang jatuh bercucuran membasahi pipiku… aah! Ingin rasanya cepat-cepat sampai rumah.
“Hai, Ra!” tiba-tiba suara seseorang menyapa telingaku, diiringi dengan bunyi decitan rem. Aku menoleh, dan mendapati seorang lelaki tengah berada dibelakangku lengkap dengan tunggangan besinya.
“Kamu?... Kak Asta kan?” tanyaku kemudian.
Lelaki itu mengangguk.
Ya, ini memang Kak Asta, batinku membenarkan. Dia adalah kakak kelasku di SMP Rosterm Villa dan juga di SMA Ritch Blues. Kak Asta kini duduk di kelas sebelas (XI), satu tahun diatasku. Walaupun  tak pernah dekat secara langsung dengannya, tapi aku mengenalnya sebagai sosok yang pendiam dan ramah… yaah, setidaknya sifat itulah yang menonjol dari dirinya…
“Ada apa, Kak?”
“Mau… pulang bareng?”
“Hhha!?” mulutku menganga dengan sukses mendengar perkataan Kak Asta barusan. Apa… telingaku tak salah dengar?
“Loh, kenapa?”
Aku bangun dari kebengonganku… “Mm, nggak apa-apa, Kak. Memangnya…,”
“Memangnya apa?”
“Ngg.. nggak… nggak apa-apa.”
“Intinya. Kamu mau nggak pulang bareng nih?”
Aku diam untuk berpikir sejenak. Pulang bareng nggak ya…?! Tapi kalau aku pulang bareng sama Kak Asta, entar Bima tau, lagi… duh, bisa mati aku!
“Nggg…”
“Ayolah, Ra! Nggak apa-apa kok. Kak Asta nggak akan macem-macem sama kamu. Kak Asta cuma kasian aja ngeliat kamu jalan kaki panas-panas gini.”
Aku kembali berpikir. Sesosok setan tiba-tiba seakan berbisik ditelingaku dan berkata “Ara! Ikut saja bersama Asta! Ingat ya, dunia ini lebar, nggak mungkin di dunia selebar ini Bima bisa dengan mudah melihatmu bergoncengan dengan Asta. Jadi kamu tenang saja.”
Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku, membenarkan kata si setan barusan.
“Oke deh.” Ucapku menyetujui. Aku bergeser sedikit dari posisi tubuhku untuk mendekat ke jok berlakang motor Kak Asta. “Thanks ya, Kak.” Ucapku lembut sebelum akhirnya motor Kak Asta kembali melaju di jalan raya dengan memboncengku dibelakangnya.

* * * * *

Aku masih membatu di depan gerbang rumahku demi memandangi motor Kak Asta yang semakin menjauh lalu tak terlihat lagi.
Aku memegang dadaku erat, mencoba menghentikan desiran demi desiran yang datang tak menentu. Kenapa aku ini? kenapa aku merasa begitu bahagia setelah diantar Kak Asta tadi? Ya Tuhan, jangan sampai… aku kan sudah punya Bima.
Tepat satu detik setelah aku memikirkan Bima, ponselku berbunyi dan Bima-lah yang meneleponku…
“Halo?”
“Ra, kamu dimana? Aku udah nungguin kamu didepan Ritch Blues.”
“Maaf, Bim. Aku sudah pulang.”
“Naik apa?”
Aku menghela nafas panjang sebelum kedustaanku dimulai. “Biasa. Jalan kaki.”
“Kan aku sudah bilang supaya kamu menungguku.”
“Sudahlah, Bim. Aku nggak apa-apa kok. Udah dulu ya, aku mau makan. Bye!” dustaku kembali.
Tepat ketika aku mematikan telpon, aku tiba dikamarku yang ada dilantai dua. Ku letakkan tasku diatas meja belajar, pada saat itulah mataku tertuju pada sebuah pigura yang memamerkan fotoku berangkulan mesra bersama seorang lelaki. Lelaki itu adalah Bima, pacarku selama 7 bulan belakangan ini. Bima dan aku saling mengenal semenjak SD karena kami berdua selalu sekelas. Begitu pula saat SMP. Namun sayang, saat SMA, Bima tak satu sekolah denganku. Ia memutuskan untuk masuk ke SMA Negeri 888 yang merupakan SMA Negeri unggulan di kota ini.
Jujur, aku memang menyayangi Bima. Sangat sayang malah… tapi… kenapa kali ini hatiku berbicara lain. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Tiba-tiba wajah Kak Asta melintas dengan gerakan slow motion di otakku. Ya Tuhan! Kejadian bodoh apa lagi ini? kak Asta hanya mengantarku pulang karena KASIHAN, bukan bermaksud lain. Tapi kenapa aku merasa… aaaarrrhhh!
Aku memandang fotoku dan Bima itu dengan perasaan hampa. “Bima… maafkan aku. Tapi aku rasa, aku jatuh cinta pada orang lain.”

* * * * *

Hari ini ada lomba karena memperingati tujuh-belasan di Ritch Blues. Karena tak mengikuti lomba apapun, aku memutuskan untuk duduk-duduk dikantin bersama Raya, sahabatku. Dari pada jadi obat nyamuk yang cuma bisa memandang keki murid-murid yang lagi lomba sampe ngiler, mending disini deh. Ngadem sambil makan! Hehe…
“Ray, gue mau pulang nih!”
Raya menjitak kepalaku menggunakan sendok yang sedang digenggamnya. “Pulang… pulang… emang bisa? Ditelen sama satpam didepan, mampus lo!”
“Yeee… reseh nih anak! Lagian ngapain juga disekolah. Mending ke mall.”
“Ngapain ke mall?”
“Ya, windows shopping kek… nonton kek… terserah deh!”
“Kak Asta saranin mending kamu jangan pulang deh, Ra!” tiba-tiba Kak Asta muncul dihadapanku dan Raya lalu langsung mengambil posisi duduk persis disebelahku.
Tuh kan! Jantungku deg-degan…
“Kak Asta?...” seruku tak percaya. Sementara Raya cuma bisa bengong dengan segulung mi yang masih mandek dibibirnya.
“Didepan satpam lagi jaga-jaga. Takut ada yang kabur. Bener apa kata Raya.” Ucapnya lagi.
Aku mengerucutkan bibir. “Ih. Kak Asta nguping yaaaa??!!” aku mencubiti bagian atas lengan Kak Asta dengan kesal.
“Yeee…. Kok jadi nyalahin Kak Asta? kamu tuh yang ngomongnya gede-gede makanya Kak Asta bisa denger. Oya, Ra, Kak Asta ada perlu sama kamu.”
Aku menangkap suatu bunyi yang sangat tak enak didengar, bunyi seperti suara gelonggongan besi berukuran besar yang masuk kedalam lubang tikus. Aku menoleh kearah Raya dan mendapati dirinya yang ternyata sedang berjuang antara hidup dan mati (duh! Emang ngapain sih!? Berlebihan banget kayaknya!)
“Raya!!!... lo kenapa?” pekikku panik.
“Uhuk… uhuuuk...” Raya terbatuk-batuk. Ternyata penyebabnya adalah Raya yang menelan mi yang tergantung dimulutnya tadi secara bulat-bulat.
“Duh, Ray! Lo kenapa sih?”
“Gue nggak apa-apa… uhuk…”
“Ra?” Kak Asta menyentuh tanganku lembut membuat perhatianku teralih padanya sekaligus membuat bulu kudukku merinding. Aduuuuh! Sekali lagi Kak Asta melakukan hal-hal yang tak terduga dihadapanku, mungkin aku bisa mati berdiri dibuatnya.
“Mm, kenapa Kak?”
“Soal tadi.”
Alisku menaut. “Soal yang mana?”
“Yang Kak Asta ada urusan sama kamu tadi loh.”
“Oooo… memangnya Kak Asta ada perlu apa?” tanyaku sedikit grogi. Dug… dug… dug… jantungku terasa mau copot. Jangan bilang kalau Kak Asta mau menyatakan cintanya padaku disini?!! Kyaaaaaaa…. Bahagianya aku seandainya itu terjadi…
Duh Kak Asta, kok tiba-tiba gini sih!? Aku kan belum siap buat menjawabnya. Hihihihihi…. Lagi pula ini kan tempat ramai. Malu dong Kak…huwaaaaa!!!
“Ada teman kamu yang mau jual HP bekas nggak? Soalnya HP Kak Asta hilang, mau beli yang baru nggak ada uang. Jadi mau cari yang bekas aja.”
Duprak! Duprak! Plentang! Plentung! Praanngg! Hatiku terbanting dari langit dua puluh tujuh hingga ke dasar bumi yang paling dalam sampai hancur berkeping. Jadi, itu keperluan Kak Asta padaku? Aku kira….
“Hei, Ra. Kok ngelamun sih?” Kak Asta mengibaskan tangannya tepat didepan wajahku.
“Ngg…”
“Ada nggak?”
“Nggak tahu!” jawabku sedikit ketus. Sakit tahu hatiku, hiks…
Kak Asta jadi garuk-garuk kepala. “Ya sudah kalau begitu. Kak Asta pergi dulu ya. Daah Ara!” Kak Asta melambaikan tangannya padaku, namun aku hanya melengos cuek. Namun baru beberapa langkah berjalan, Kak Asta kembali memutar tubuhnya menghadap kearah mejaku dan Raya kembali.
Apa jangan-jangan dia berbalik karena mau menyatakan cinta padaku?! Kyaaaa…. Mungkin saja itu terjadi. Duh! Terangkat kelangit ke tiga puluh sekarang hatiku…
“Oya, Kak Asta lupa…” lupa apa Kak? Lupa menyatakan cinta padaku ya? Hihihihihi… “Kak Asta lupa bilang…” bilang apa Kak? Bilang cinta kan? Hayoooooo!!! “Daaah juga Raya!” ucapnya kemudian lantas berbalik dan kembali berjalan pergi.
Blam! Prak! Praaaanng! Huhuhuhuhuhuhuhu….. hujan air mata perasaanku. Kak Asta, aku cinta kamu tauuuuuuuu!!!! Kok Kak Asta berbalik cuma karena mau “say goodbye” sama Raya sih… hancur sudah!
“Dasar cowok aneh!” suara Raya membuyarkan lamunanku.
“Aneh kata lo?”
“Iya, aneh! Gue sampe nelen mi gue bulet-bulet saking gue kaget begitu dia ngomong kalau dia ada perlu sama lo, gue nyangka dia maun nembak lo. Eehhh ternyata cuma nanya ‘ada yang jual HP bekas gak?’ duh, Ra! Stres tuh cowok!”
“Biarin aja! gue tetep suka kok.”
“Ara… ara… gue kasian sama lo. Lo udah nunggu dia hampir satu bulan. Tapi kayaknya nggak ada gelagat kalau dia respect sama lo ya. Dia kayaknya cuma nganggep lo adek.”
pletak! Kini gantian, aku yang menjitak kepala bundar Raya dengan sendok. “Jangan bikin gue putus asa dong.”
“Hei, Ra! Lo seharusnya mikir. Lo itu udah punya Bima. Kalau elo beneran jadian sama Kak Asta, Bima-nya mau lo kemanain?”
“Buang!” Jawabku singkat seakan tak berdosa.
“Buang? Jangan macem-macem deh, Ra!”
“Gue beneran kali, Ray. Lagian akhir-akhir ini, hubungan gue sama Bima udah nggak seharmonis dulu lagi… dia udah jarang ketemu gue, jarang nganter-jemput gue, pokoknya beda deh… kayaknya sih dia punya selingkuhan!”
Mata Raya tiba-tiba membola. “Hah? Serius lo? Lo tahu Bima punya selingkuhan tapi lo diemin aja? lo kayaknya mesti konsultasi ke psikolog deh.”
Aku menyeruput es teh didepanku. “Halahhh… Biarin aja! Tunggu sampe dia puas nyelingkuhin gue! Entar gue yang putusin. Lagian gue udah nggak cinta lagi.”
“Hebat!” Raya bertepuk tangan nggak jelas. “Hanya karena sekali dianter pulang 3 minggu yang lalu oleh seorang Dastan Morgan, Syara Azura bisa langsung jatuh cinta dan klepek-klepek! Dan hebatnya lagi, cinta itu bisa membuat Syara Azura tak lagi mencintai sang pacar yang bernama Bima Saktiawan.” Seloroh Raya sok jadi penyair, aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatku itu.

* * * * *
Aku diam, menatap Bima dalam kebisuan.
Tak lama, Bima mulai menggerakkan tangannya, hendak menggenggam tanganku dengan hati-hati, lalu ditatapnya mataku yang terlihat datar.
“Ra, aku mau bicara penting sama kamu.”
Aku melepas tanganku dari genggaman Bima dengan kasar. “Mau ngomong apa?” tanyaku ketus.
“Aku rasa kita udah nggak cocok dan aku mau kita…,”
“Hania Ravita, kelas X2, SMA Negeri 888, alamatnya di Jalan. Mawar nomor 44, anak dari seorang pemilik kedai bernama Handri Susilo dan Tania Sudibroto, berkulit putih, tinggi 160 centimeter, rambut panjang sebahu, dan hidung mancung. Kalau masih ada yang kurang tentang biodata selingkuhan lo silahkan ngomong!?” potongku pada kalimat Bima dengan repetan, membuat Bima terbelalak.
“Ra, aku…”
“Oke, jadi semua yang gue sebutin udah lengkap? Baguslah kalau begitu.”
“Ra, dengerin…,”
“Kita putus, Bim!” potongku lagi dengan cepat lalu segera beranjak dari kursi yang kududuki, meninggalkan Bima yang masih terpekur didalam café.

* * * * *

“Yaiii… Rayaaaaaa!!! Gue putus sama Bima.” Aku langsung memeluk tubuh Raya yang baru saja membukakan pintu rumahnya untukku.
“Serius lo?”
“Suer!” aku membentuk jariku menyerupai huruf “V”. “Coba tadi lo liat ekspresi wajahnya… beuh… pucat pasi banget tau nggak.”
Raya tergelak mendengar ucapanku barusan. “Wahhh… lo nggak ngajak-ngajak gue sih tadi.” Ucap Raya sembari menggiringku menuju kekamarnya.
Saat pintu kamar Raya sudah tertutup rapat, aku langsung menghempaskan tubuhku keatas ranjang Raya. “Kalau begini, gue bisa bebas buat ngedeketin Kak Asta.”
“Iya. goodluck ya, Ra.”

* * * * *

Aku datang sekolah KEPAGIAN. Menyebalkan! Ini semua karena jam dirumahku yang dipercepat 25 menit oleh Papa agar Papa tak pernah terlambat lagi pergi ke kantor. Aku yang mengira jam dirumah tepat, langsung buru-buru mandi dan berangkat sekolah saat melihat jarum panjang jam sedang menuding angka 8, dan jarum pendeknya menuding ke angka 7.
Aku hanya bisa diam dikelas seorang diri, menatap kearah papan tulis yang kosong. Huh! Membosankan!
Tapi…, kalaupun mau jalan-jalan keluar kelas, aku mau kemana? Siapa yang akan kutemui? Jam segini biasanya yang sudah datang hanyalah anak-anak Ritch Blues yang rumahnya jauh. Dan aku sama sekali tak mengenal mereka.
Tapi apa salahnya mencoba? Toh, jika aku beruntung aku pasti menemukan seseorang yang kukenal. Ya, tekadku sudah bulat! Aku akan keluar dari kelas berbau apak ini.
Aku berjalan menelusuri koridor, menuju kearah ruang serba guna. Disamping ruangan itu ada sebuah taman kecil yang terdapat banyak bunga. Setidaknya aku ingin menenangkan sedikit pikiranku disana… Aku berbelok kearah kiri, tinggal beberapa langkah lagi aku akan tiba ditaman itu.
Baru saja aku menjejakkan kaki disana, aku sudah melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seorang siswa lelaki dan siswi perempuan tengah berduaan disebuah kursi kayu yang ada ditengah taman. Posisi mereka kini membelakangiku.
Penasaran, aku mendekat lalu memutuskan untuk bersembunyi dibalik sebuah pohon yang ada didekat mereka berdua demi menguping pembicaraan mereka.
“May, aku sayang kamu…” ucap si lelaki.
Si perempuan tertawa sesaat. “Sayang? Sayang gimana maksud kamu?”
“Ya, aku sayang kamu. Aku mau kamu jadi pacarku, May…”
Aku diam mendengar percakapan mereka berdua. Kenapa sepertinya suara si lelaki begitu akrab ditelingaku!?
“Kamu mau kan, May?”
Aku memicingkan mata, dan aku dapat melihat dengan begitu jelas bahwa si perempuan mengangguk dengan gerakan yang tersipu malu sekaligus manja.
“Jadi, kamu mau, May, jadi pacarku?” tanya si lelaki memastikan.
Sekali lagi, si perempuan mengangguk.
“Terimakasih, May.” Ucap si lelaki lalu memeluk si perempuan. Lalu si lelaki melepaskan pelukannya, ia menatap wajah si perempuan dengan seksama. Perlahan, wajah mereka berdua saling mendekat, mendekat, lalu semakin mendekat hingga hanya tersisa jarak satu centi lagi. Dan… kyaaaa…. Refleks aku menutup mata melihat adegan tak senonoh itu. Namun karena penasaran juga (hihihi, dasar!) aku kembali membuka mata, menatap dua sejoli yang sedang saling berpagut itu.
Aku hampir saja jatuh lemas melihat apa yang baru saja terpampang didepan mataku. Lelaki itu… wajahnya terlihat begitu jelas karena sedang menghadap kesamping… dia…. Dia… dia kan…
“Kak Asta?” lirihku perih. Aku tak dapat lagi menahan perasaanku dan langsung menangis sejadi-jadinya. Mimpi apa aku semalam hingga bisa menyaksikan secara langsung adegan demi adegan ketika orang yang kucintai menyatakan cintanya pada orang lain!?
Aku rasa Tuhan sedang mengutukku!
Dan siswi perempuan itu… dia Kak Mayang, siswi tercatik di kelas XI Ritch Blues. Membayangkan rupa Kak Mayang yang elok, tubuhnya yang ramping, otaknya yang cerdas dan segudang kelebihannya yang sangat lebih dibandingkan aku, membuatku tambah stress. Bagaimana aku bisa memiliki Kak Asta, jika seleranya saja adalah wanita sempurna macam Kak Mayang yang jelas kualitasnya jauh berada diatasku.
Aku berlari, menjauh dari taman sekolah dan kembali masuk kedalam kelas bau apakku. Setidaknya bau apak itu lebih baik untukku saat ini ketimbang melihat orang yang kucinta berciuman dengan orang lain.

* * * * *

Aku menyumpal mulut Raya yang bawel itu dengan segumpal kertas bekas. Sedari tadi, selama aku bercerita tentang kejadian ditaman sekolah tadi pagi, dia terus-terus memekik-mekik dengan panik dan kaget.
“Sekali lagi lo teriak-teriak, bukan cuma kertas yang nyumbet mulut lo. Tapi sepatu gue juga!” ancamku kemudian.
Raya mengangguk sambil melepaskan sumbalan kertasku dari mulutnya. “Terus? Gimana lagi?”
“Yaaa gitu deh… gue bingung sekarang mesti apa. Kak Asta udah punya orang lain, Ray.” Lirihku, tak terasa air mataku mulai jatuh lagi.
Raya menepuk pundakku. “Sabar ya, Ra. Gue yakin pasti ada hikmahnya.”
Aku mengangguk sambil mengusap air mataku. Tepat ketika kepalaku mendongak, tatapanku tertumbuk pada sosok dua orang lelaki yang sedang melintas didepan koridor kelasku.
“Kak Asta…” desisku pelan.
Raya menyikutku cepat ketika kedua makhluk itu sudah berlalu. “Udah deh, Ra. Jangan dipikirin amat! By the way yang sama Kak asta tadi itu siapa?”
“Oh.. itu..” jawabku malas-malasan. “Dia Kak Dandi, teman dekatnya Kak Asta. kenapa? Lo naksir?”
Raya megibaskan tangannya diudara. “Nggak… enak aja lo ngomong. Hati gue cuma buat Valen tau!”
“Terus ngapain nanya?”
“Ya… nggak apa-apa… gue jarang liat anak itu aja.”
“Gue kira…,” aku menelan kembali semua kalimatku ketika kedua sosok itu kembali tertangkap mataku sedang melintas dikoridor kelas untuk kedua kalinya. Jantungku terasa berdetak lebih lambat.
Kak Asta sempat melempar senyum kecil kepadaku lalu kembali berlalu. Mataku mengekor arah mereka berjalan. Ketika mereka sudah beberapa meter lewat didepan kelasku, Kak Dandi memutar kepalanya kebelakang lalu menatapku penuh makna. Bahkan sempat aku melihatnya mengedipkan sebelah matanya kepadaku.  Kak Dandi? Kenapa dia? Tanya batinku.
“Jangan diliatin terus, Ra.” Tegur Raya lagi.
Tanpa menanggapi, aku cepat-cepat menarik tangan Raya masuk kedalam kelas. Ketika sudah duduk dibangku, aku kembali buka suara. “Lo liat nggak tadi. Kak Dandi ngedipin mata ke gue?”

* * * * *

Aku memandang langit malam yang gelap. Pikiranku melayang, membayangkan seandainya Kak Asta dan aku bisa terbang kesana dengan cinta kami berdua…
Namun sayang semua hanya mimpi untukku. Karena aku dan Kak Asta yang sekarang, bukanlah aku dan Kak asta yang dulu… itu semua berawal semenjak Kak Asta menjalin hubungan dengan Kak Mayang dua bulan yang lalu.
Perlahan, Kak Asta menjauhiku. Ia tak pernah lagi menghampiriku dan Raya ketika kami berdua tengah makan bersama dikantin. Ia juga tak pernah mengobrol panjang lebar denganku seperti dulu… semuanya berubah!
Hanya ada senyum kecil dan hampa yang sesekali Kak Asta tujukan untukku ketika kami berdua berpapasan… ya, hanya senyum itu yang menandakan setidaknya Kak Asta masih ingat jika aku ada dibumi ini.

* * * * *

Aku menendang sebuah kerikil yang lagi-lagi berada didepan jalanku melintas.
“Dua-puluh-dua!” hitungku.
Baru kali ini, dalam perjalanan pulang sekolah aku menendang batu kerikil hingga dua-puluh-dua kali. Biasanya hal ini aku lakukan hanya sesekali untuk keisengan semata. Tapi tidak kali ini. Aku merasa seperti sedang melampiaskan emosiku.
“Ra?” seseorang menyentuh pundakku dari belakang dengan lembut.
Sebelum menoleh, aku terlebih dahulu menepis tangan yang tersampir dipundakku itu dengan kasar. Orang lagi kesel gini malah maen pegang-pegang…
“Heh! Jadi orang jangan…., Kak Dandi?” aku terpekur menatap Kak Dandi yang berdiri didepanku.
“Hei, Ra… ngg… boleh nggak kalau Kak Dandi nemenin kamu… pulang?”
Aku seperti merasakan sebuah dejavu, otakku kembali memutar kejadian ketika 3 bulan yang lalu Kak Asta melakukan hal yang sama seperti yang Kak Dandi lakukan terhadapku. Tapi kali ini berbeda sedikit, jika Kak Asta menawarkan aku agar pulang bersamanya menggunakan motor, Kak Dandi malah menawarkan dirinya untuk menemaniku pulang dengan… jalan kaki.
Loh!? Setahuku Kak Dandi kan bawa motor ke sekolah… tapi kok…,
“Boleh nggak, Ra? Kalau nggak boleh...,”
“Boleh… boleh, Kak.” Potongku cepat sebelum Kak Dandi merasa tersinggung.
“Bener?”
“Iya.” Aku berbalik dan kembali berjalan menelusuri jalan menuju rumah, Kak Dandi mengekor.
“Mmm, Ra?” panggil Kak Dandi kemudian.
“Ya?”
Kak Dandi menggaruk-garuk kepalanya, ia terlihat begitu salah tingkah. “Kamu… udah punya pacar?”
“Hha!?”
“Kamu udah punya pacar?” ulang Kak Dandi lagi.
“Bukan! Bukan itu maksudku, Kak,” tegasku. “Maksudku, maksud omongan Kak Dandi barusan apa? Aku nggak ngerti.”
“Gimana ya?!... Kak Dandi ngomongnya di HP aja deh. Boleh minta nomor kamu?”
“Boleh,” aku merogoh saku kemeja putihku dan mengeluarkan ponselku dari dalamnya. “Nih, nomornya. Kosong-delapan-sembilan-belas bla bla bla…,”
“Oke. Makasih, Ya, Ra. Daah!” Kak Dandi berlari memutar arah, kembali kejalan menuju sekolah. Loh!? Jadi nemenin aku pulangnya cuma sampe sini doang? Padahal kan rumahku masih 300 meter lagi.

* * * * *

From : +628789999XXXX
Night, Ra…

To : +628789999XXXX
Siapa ya?

From : +628789999XXXX
Kak Dandi… hmm, km lg apa?

Aku meremas rambutku dengan gemas. Ih! Basi banget sih yang ditanya…
Sebelum membalas SMS Kak Dandi, aku menyempatkan untuk menyimpan nomornya di ponselku.

To : Kak Dandi
Lg dngrin musik, Kak… knp? Ada prlu ya?

Setengah jam berlalu… aku tertidur dikursi malas yang ada dikamarku. Setelah sebelumnya sempat mengecek, apakah Kak Dandi membalas SMS-ku atau tidak.
Ternyata tidak! Mungkin dia hanya main-main dengan perkataannya tadi siang…

* * * * *

“Ra…” Raya tiba-tiba memelukku dengan nada cemas ketika kakiku baru saja mencicipi lantai kelas.
Aku melepas pelukan Raya sembari melempar tatapan penuh tanda tanya padanya. “Ray, kamu kenapa?”
“Ra… Kak Asta, Ra… Kak Asta…”
“Kak Asta? kenapa dia?”

* * * * *

Aku memberhentikan taksi yang kutumpangi didepan sebuah gedung besar berlantai tiga dengan pagar kawat berduri mengelilinginya.
Setelah membayar taksi, aku segera masuk ke gedung itu dan menemui petugas jaga yang ada didepan.
“Pak, saya mau membesuk. Bisa?”
Petugas jaga itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Adik ini mau menjenguk siapa?”
“Saya mau menjenguk dua pelajar yang tertangkap polisi semalam karena transaksi narkoba, Pak.”

* * * * *

Disinilah aku berada… disebuah ruang sempit dan pengap yang hanya memiliki sebuah ventilasi berukuran setengah meter, ruangan yang menjadi bagian dari sebuah panti rehabilitasi narkoba, ruangan yang juga menjadi tempat orang-orang yang hendak membesuk para orang yang direhab dipanti ini.
Tak lama, pintu besi yang berada didepanku tersibak dan muncullah sosok tubuh Kak Asta dari sana dengan didampingi seorang petugas.
“Kak Asta?” aku menghambur, memeluk Kak Asta setelah petugas tadi pergi, meninggalkan aku dan Kak Asta berdua diruangan ini. Air mataku pun mengalir deras. “Kak… kenapa Kak Asta ngelakuin ini?”
Kak Asta membelai rambutku. “Kak Asta khilaf, Ra… kakak nggak bermaksud buat make’ barang haram itu…”
“Aku nggak mau tahu… pokoknya Kak Asta harus cepet sembuh dan keluar dari sini… aku mau Kak Asta sekolah lagi… aku mau Kak Asta yang dulu… aku mau…”
“Sudah, Ra… maafin Kak Asta ya?”
“Untuk apa Kak Asta minta maaf?” aku melepaskan pelukanku dari Kak Asta.
“Kak Asta udah jauhin kamu, Ra…”
Aku tersenyum. “Kalau soal itu jangan dipikirin, Kak. Oya...” aku celingukan menyadari ada sesuatu yang kurang. “Kak Dandi mana?”
“Oh, Dandi… dia masih di dapur, lagi makan… nanti juga kesini.”
Aku manggut-manggut lalu kembali diam. Kak Asta… aku masih sangat menyayanginya… aku nggak bisa memendam ini semua terus menerus. Mungkin inilah saatnya, saat yang tepat untuk semuanya…
“Kak?” panggilku seraya menggenggam erat tangan Kak Asta. “Aku mau bilang kalau aku… sayang sama Kak Asta.”
“Kak Asta juga sayang sama kamu, Ra…”
“Serius?”
“Iya,” Kak Asta mengangguk. “Kak Asta kan sudah nganggep kamu sebagai adik.”
Jger! Petir serasa menyambar kepalaku. Air mataku mulai terbit lagi. “Tapi, Kak… aku maunya kita lebih dari teman.”
“Ra… kita jadi kakak-adik aja ya…” jawab Kak Asta. “Lagi pula Kak Asta sudah punya Kak Mayang. Dan asal kamu tahu, Ra, ada seseorang yang bener-bener tulus menyayangi kamu. Tapi kamu nggak pernah menyadarinya.”
Aku menatap Kak Asta dengan bingung. “Siapa, Kak?”
“Dandi.”
“Kak Dandi?”
“Iya… semalam, sebelum kami tertangkap, sebenarnya Dandi ingin menelepon kamu, Ra. Dia mau menyatakan cinta. Tapi… terlambat…”
Aku menahan nafasku sejenak. Ternyata ini penyebabnya, kenapa Kak Dandi tak membalas SMS-ku semalam.
“Kamu mau kan, Ra, mencoba dekat dengan Dandi?”
Aku diam. Aku tuh cintanya sama kamu tahu Dastan Morgan. Bukan sama Pardandi Nasuha…
“Ra, mau kan? Siapa tahu Dandi bisa cepet sembuh karena kamu membalas cintanya.”
Aku kembali diam dengan tangan terlipat didepan dada. Mataku saling tukar pandang dengan mata teduh Kak Asta. Dan entah mengapa, aku dapat melihat sebuah ketulusan dimatanya itu… “Oke. Demi Kak Asta, aku akan coba.” Jawabku akhirnya.
Tiba-tiba seorang petugas memasuki ruangan tempatku dan Kak Dandi berada. Wajahnya terlihat begitu panik. “Nak, Asta. Ada kabar buruk…”
Kak Asta menatap petugas itu penuh selidik. “Kabar buruk?”
“Iya… ngg… Nak Dandi… gantung diri dikamar…”
“Apa?!” seruku dan Kak Asta kompak lantas langsung berlari menelusuri koridor panti menuju kamar yang ditempati Kak Dandi. Tuhan…. Tidak! Jangan Kak Dandi… Aku mohon… jangan ambil Kak Dandi dari hidupku. Tuhan… aku… belum sempat mencoba mencintainya!
“Kyaaaa!!! Kak Dandi….” Jeritku histeris, melihat mayat Kak Dandi yang tergantung dilangit-langit kamar. Wajahnya sudah membiru, matanya terpejam rapat, Kak Dandi sudah tak bergerak lagi…. Aku memeluk Kak Asta sekali lagi, kali ini aku kembali menangis. Namun tangisanku kali ini untuk Kak Dandi. Tangisan yang terasa begitu pahit dan pedih.
“Nak, Asta… kami menemukan sebuah surat diatas ranjang.” Seorang petugas mendekat dan menyerahkan sepucuk surat beramplop abu-abu….
Kak Asta melepas pelukanku lalu menyerahkan surat itu kepadaku…
“Lebih baik kamu yang baca, Ra.” Ucapnya.
Aku mengangguk lalu dengan sigap mengambil surat itu dan membukanya…

Ara… asta… maafkan aku. Mungkin ketika kalian menemukan suratku, aku sudah tak ada lagi didunia ini.
Untuk Ara… Kak Dandi cuma mau bilang kalau Kak Dandi cinta sama Ara. Kak Dandi… sayaaaaaang banget sama Ara.
Tapi mungkin semua terlambat… tadi, Kak Dandi dengar dari luar ruang besuk kalau Ara menyatakan cinta pada Asta. Kak Dandi nggak sanggup, Ra, kalau melihat kamu menjadi milik Asta. Mungkin lebih baik begini… doakan saja Kak Dandi agar mendapat seorang bidadari penggantimu disurga kelak…
Dan untuk Asta, aku mohon sama kamu jaga Ara baik-baik ya… kamu beruntung mendapatkan Ara, gadis yang kucintai karena senyumnya yang indah itu. Ingat, Ta! Akan kukenang selalu persahabatan kita walaupun aku telah tiada…
Sampai jumpa disurga, Ra… Ta…
Pardandi Nasuha

Aku kembali memeluk Kak Asta… “Kak Dandi salah paham sama kita, Kak…” isakku. “Mungkin dia tadi langsung pergi tanpa mendengarkan kelanjutan pembicaraan kita…”
Kak Asta membalas pelukanku dengan rapat. “Dandi…” rintihnya.
Aku dan Kak Asta terus berpelukan… saling membagi kesedihan kami berdua yang harus kehilangan seorang sahabat… sekaligus kehilangan seseorang yang mulai kucintai….

* * * * *

Tak mungkin menyalahkan waktu…
Tak mungkin menyalahkan keadaan…
Kau datang disaat ku membutuhkanmu…
Dari masalah hidupku bersamanya.

Semakin kumenyayangimu.
Semakin ku harus… melepasmu dari hidupku…
Tak ingin lukai hatimu, lebih dari ini.
Kita tak mungkin terus bersama.

Suatu saat nanti kau kan dapatkan…
Seorang yang akan dampingi hidupmu.
Biarkan ini menjadi kenangan.
Dua hati yang tak pernah menyatu…

Maafkan aku… yang membiarkanmu masuk kedalam hiduku ini.
Maafkan aku… yang harus melepasmu, walau ku tak ingin…

* * * * *

Jumat, 04 Oktober 2013

kado terindah untukmu (cerpen)



KADO TERINDAH UNTUKMU

Teriknya matahari, tengah membungkus kota Bandarlampung siang itu. Memilin waktu dengan butiran-butiran keringat kegerahan. Para pedagang es yang berjejer di sepanjang trotoar di depan Mal Kartini bersorak girang, karena dagangan mereka akan laku keras bila cuaca sedang seperti ini. Bahkan nampak, beberapa dari pedagang itu tengah sibuk beres-beres, siap pulang kerumah dengan kantong tebal dan dagangan habis.
Di dalam Mal, suasana tak kalah riuh ramainya oleh para pengunjung, yang entah benar-benar datang ke Mal termegah di Lampung itu untuk berbelanja, atau hanya sekedar mencari tampat berteduh dari amukan panasnya matahari sambil melihat-lihat.
Sementara itu, disalah satu sudut Mal, tepat di depan konter baju-baju khusus remaja pria, tampak sepasang muda mudi tengah berdiri mematung, memandang jajaran baju dalam tubuh manekin yang terpampang rapi di etalase.
“Gue pengen banget beli baju yang itu, Er.” Trias, cowok bertampang manis dengan rambut jigrak itu memandang penuh binar pada sehelai baju dengan harga enam digit pada salah satu manekin.
Eria, sahabatnya, yang kini masih setia berdiri disamping Trias, hanya mampu menghela nafas. “Mahal, Ias.”
Trias masih tak kunjung melepaskan pandangannya pada baju dengan model dan motif unik itu. Nyaris saja air liurnya menetes, kalau saja ia tak keburu sadar, bahwa sedari tadi ada seorang pramuniaga toko yang sedang menatapnya curiga dari balik etalase.
“Er, ayo pergi,” Trias menarik tangan Eria dengan cepat menjauh dari depan toko itu. “Pramuniaga tokonya ngeliatin kita tadi.”
Eria hanya geleng-geleng kepala. “Muka lo emang patut dicurigain!” sungut Eria sambil tertawa kecil.
Setelah berada dalam jarak aman, Trias mengendurkan irama berjalannya lalu melepas tangan Eria yang ia cengkeram. “Gue janji, Er, siapapun yang mau beliin gue baju tadi, gue pasti bakal nyayangin dia dengan sepenuh hati.”
Tring! Sebuah boklam terang muncul diatas kepala Eria begitu mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Trias barusan, dan melintaslah sebuah ide cemerlang diotaknya. Sama seperti ide di hari-hari kemarin.
* * * *
Sama seperti hari kemarin, kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, sepulang sekolah, Trias mengajak Eria mengunjungi Mal Kartini. Eria bukannya tak pernah menolak, ia sangat sering malah menolak ajakan itu, tapi ujung-ujungnya ia tetap akan menuruti pemintaan Trias, setelah melihat cowok itu memasang tampang memelas sambil mengiba pada Eria. Eria tak tega.
Eria tak tahu, entah sejak kapan Trias memiliki agenda rutin untuk mengunjungi Mal Kartini setiap pulang sekolah. Yang jelas, sejak tujuh bulan lalu Eria bersahabat dengan Trias, Trias sudah memiliki kebiasaan seperti itu.
Ini lah anehnya, Trias pergi ke Mal Kartini bukan untuk berbelanja, ia hanya sekedar melihat-lihat. Dan bila cowok kelahiran 18 Juli itu melihat barang yang ia sukai, ia pasti akan berkata dengan mata penuh binar pada Eria, “Gue janji, Er, siapapun yang mau beliin gue barang bla bla bla tadi, gue pasti bakal nyayangin dia dengan sepenuh hati.” Eria sampai hapal diluar kepala kalimat itu. Dan anehnya lagi, Trias tak pernah benar-benar membeli semua barang yang ia inginkan itu. Setelah berkata demikian pada Eria, dan membicarakannya seharian dengan Eria di telepon, semuanya seolah menguap. Esok harinya, Trias tak akan ingat lagi barang apa yang ia ingini kemarin, dan tak akan pernah membahasnya lagi bersama Eria. Ia seolah lupa. Hingga kemudian di hari berikutnya, ketika berjalan di Mal Kartini, ia akan bertemu barang lain yang ia ingini dan akan mengatakan hal yang sama pada Eria, lalu kembali membahasnya di telepon, dan esoknya ia akan lupa akan hal itu lagi seperti kemarin-kemarin. Dan begitu lah seterusnya… Eria sangat hapal ritme hidup Trias yang cukup aneh.
“Er, jam tangannya bagus. Gue pengen deh.” Ucapan Trias membuyarkan lamunan Eria. Ia dan Trias kini tengah berada di salah satu konter jam tangan di Mal Kartini.
Eria melongoh, menatap jam tangan itu, dan terkagum selama beberapa detik memandangi setiap detail dari jam yang memang sangat memiliki nilai seni tinggi itu. “Iya, Ias. Bagus.” Jawab Eria seadanya.
“Gue janji, Er, siapapun yang mau beliin gue jam ini, gue pasti bakal nyayangin dia dengan sepenuh hati.” Ucap Trias, seperti biasanya.
Dan… tring! Sebuah boklam terang kembali muncul di kepala Eria, boklam terang yang sama, yang memang selalu muncul setiap kali Trias melontarkan “kalimat” itu di depan Eria. Dan ide cemerlang itu pun kembali melintas diotak Eria. Ide yang sama, seperti hari kemarin, kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi…
* * * *
Suatu pagi yang cerah. Matahari melambaikan sinar keemasan yang teduh. Langit bersahabat, dengan sesekali membuat cuaca menjadi temaram sejuk. Angin bertiup dengan nakal, membelai dedaunan pohon kelapa yang mulai menguning.
Eria datang pagi itu ke sekolah dengan senyum merekah. Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru! Senang rasanya.
Sekarang ia telah resmi duduk di kelas XI IPA 5. Dan yang menakjubkan adalah: ia sekelas dengan Trias! Wow!
Eria menghentikan langkah kakinya beberapa meter dari pintu kelas. Ia terkejut, kedatangannya pagi itu disambut dengan pemandangan aneh: banyak siswa yang berkerumun di sekitar pintu kelasnya.
Penasaran, Eria mendekat, dan mencoba menerobos kerumunan yang semakin lama semakin menumpuk itu. Dan alangkah terkejutnya ia, begitu tiba di barisan depan kerumunan yang ada di pintu, Eria mendapati Trias tengah duduk di meja guru, sambil memetik gitar. Jadi…, ini yang jadi tontonan? Trias bermain gitar? Bukankah itu hal yang sudah sangat biasa?
“Ias, Eria dateng tuh!” celetuk entah siapa dari dalam kelas.
Eria mengerutkan dahinya. Tak mengerti.
“Iya, Ias, ayo cepet tembak aja langsung!” entah suara siapa, kembali terdengar.
Eria makin tak mengerti. Nembak? Nembak apa?
Trias mendongak, berhenti memetik gitarnya, lalu menatap Eria yang masih berdiam di barisan depan kerumunan dengan begitu dalam.
Tiba-tiba, Eria merasakan ada seseorang yang mendorong tubuhnya hingga maju beberapa meter kedepan, mendekat ke tempat Trias duduk. Eria bersumpah, jika Eria tahu siapa orang yang mendorongnya tadi, ia akan mengutuk orang itu menjadi batu!
Pelan, terdengar sayup gitar Trias kembali terdengar, mengiringi setiap kata yang terangkai keluar dari bibir Trias. “Aku… aku mencintaimu, andai kau tahu itu…” Eria terkejut. Trias membaca puisi! Sejak kapan cowok tengil ini punya keahlian membaca puisi?
“Aku… aku menyayangimu, ingin memilikimu, namun sepertinya kau tak pernah mengerti.” Lanjut Trias tetap dengan diiringi petikan syahdu gitarnya. Matanya bertumbukan dengan mata Eria.
‘Ciyeeee….” Siswa yang menonton kompak berkoor, membuat pipi Eria mendadak menyemu dengan begitu merah. Malu rasanya.
“Jika Tuhan, hanya mengizinkan aku untuk mengucapkan satu kalimat setiap harinya, maka kalimat yang pasti akan kuucapkan itu adalah ‘aku cinta padamu’…”
Trias berhenti memetik gitarnya, lalu mendekati tubuh Eria, berlutut, lalu menggenggam tangan Eria erat. “Er, would you be mine?”
Mata Eria berkabut, ia tak kuat lagi menahan gemuruh perasaan dihatinya. Gadis itu pun menangis dengan air mata yang terasa begitu manis, manis karena bahagia… jauh didalam lubuk hatinya, ia juga mencintai dan menyayangi Trias.
Perasaan itu, telah lama tumbuh dihatinya sejak pertama kali ia mengenal Trias delapan bulan yang lalu. Namun semuanya hanya mampu ia simpan dengan rapi. Takut, kalau-kalau perasaan itu hanya akan menghancurkan persahabatannya dengan Trias. Tanpa Eria menyadari, bahwa sebenarnya, Trias juga mencintai dirinya.
“Gue mau, Ias. Gue mau.” Eria tersadar dari lamunannya lalu mengangguk cepat.
Trias bangkit berdiri, lalu memeluk Eria erat. “Terimakasih, Er. Dan tolong, izinkan aku untuk benar-benar mengucapkan kalimat ‘aku cinta padamu’ setiap harinya….”
* * * *
“Aku cinta kamu!” Eria terkejut, langkah kakinya terpaksa terhenti karena kini Trias berdiri dihadapannya, menghadang, sambil mengacungkan setangkai bunga melati tepat didepan wajah Eria.
Eria tersenyum, lalu menerima bunga itu dengan senang hati. “Terimakasih, sayang…” ucapnya sambil mengelus pelan pipi Trias.
Senyum Trias tambah merekah mendengar kalimat itu. Mereka berdua pun kembali berjalan beriringan menuju kelas.
Tak terasa, seminggu berlalu semenjak acara “penembakan” didepan umum itu. Setiap harinya, hubungan Trias dan Eria semakin lengket seperti amplop dan perangkonya. Hari-hari yang dilalui dengan penuh cinta oleh mereka, membuat dunia serasa milik berdua. Berlebihan mungkin kedengarannya, tapi itulah nyatanya.
Dan tentu saja disetiap hari-hari itu, Trias tak pernah mengingkari janjinya, untuk selalu mengatakan pada Eria, bahwa ia mencintai Eria. Seperti tadi misalnya.
Eria jadi teringat kejadian kemarin, ketia Trias tiba-tiba menghampirinya di kantin sambil membawa sekotak coklat lalu berkata dengan mesra, “aku cinta padamu,” Eria jadi senyum-senyum sendiri bila mengingat hal itu.
“Er?” Trias menyentuh pundak Eria pelan.
Eria meletakkan tasnya lalu menoleh pada Trias. “Ya? Kenapa, Ias?”
Trias garuk-garuk kepala. Ia terlihat gugup. “Mmm… aku nanti nggak bisa nganterin kamu pulang, gapapa kan? Aku ada acara sama keluarga. Kita jadi nggak bisa jalan-jalan ke Mall Kartini juga. Kamu jangan marah ya, Er?” ucap Trias setengah memohon dan memelas. Eria hanya tersenyum simpul, lalu mengacak-ngacak puncak kepala kekasihnya itu.
“Nggak apa-apa kok, Ias. Aku bisa pulang naik bis.”
Trias terlihat sedikit khawatir. “Tapi kamu hati-hati ya…, di bis kan banyak yang…,”
“Iya, sayang,” Eria tersenyum sumringah, mencoba membuat hati Trias tenang. “Aku pasti bisa jaga diri.”
* * * *
Siang yang sangat terik. Eria berjalan sendirian menuju halte bis dekat sekolahnya. Sesekali ia mengelap peluh yang mengucur dari dahinya menggunakan sapu tangan yang ia simpan di saku rok. Panas! Gerah! Eria sudah tak tahan lagi! Ia ingin cepat-cepat sampai dirumah, menyalakan AC dikamarnya sambil berbaring dengan santai.
Sepuluh menit berjalan, Eria tiba dihalte bis yang ternyata sedang dalam keadaan ramai. Banyak anak-anak berseragam sekolah dan juga orang-orang berseragam kantoran menunggu disana. Karena tak mendapatkan tempat duduk, Eria terpaksa menunggu bis dalam keadaan berdiri.
Didengakkannya kepala, menatap mentari siang itu yang begitu menyiksanya. Hanya sedetik, lalu Eria kembali terdiam menunduk. Matanya terasa mulai mengabur.
Diambilnya lagi sapu tangan yang ia simpan di saku rok demi membasuh peluh diwajahnya yang mulai menganak sungai. Eria terkejut, begitu mendapati ada darah disapu tangan itu. Sapu tangan itu pun jatuh, melayang bebas ke tanah mengikuti gravitasi bumi. Eria perlahan memegangi bagian atas bibirnya yang ternyata sudah dialiri darah segar dari kedua lubang hidungnya. Darah itu banyak! Teramat sangat banyak!
Perlahan Eria merasakan kepalanya semakin memberat. Matahari diatas kepalanya seolah menghujam Eria dengan sengatan panas yang begitu luar biasa. Tubuhnya melemah. Lututnya gemetar. Wajah Eria pucat!
Eria dapat merasakan, darah dari kedua lubang hidungnya kini sudah mengalir hingga leher. Dan seketika itu pula, Eria ambruk. Semuanya gelap! Gelap!
* * * *
Tiga hari kemudian…
Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif, mohon… tut tut tut! Trias membanting ponselnya dengan kesal. Lagi-lagi mailbox! Gumam batinnya geram. Entah sudah keberapa kalinya sejak tiga hari yang lalu ia berusaha menghubungi ponsel Eria, namun tak pernah berhasil.
Ya, Eria menghilang. Entah kemana. Sudah tiga hari lamanya. Ia tak pernah mengabari Trias sedikit pun. Setiap Trias hubungi ponselnya, selalu saja tak aktif. Tiga hari lalu pun, Trias datang kerumahnya, namun kosong. Tak ada siapa-siapa disana. Satu-satunya petunjuk adalah presensi Eria di sekolah. Di presensi itu tertulis bahwa Eria izin, entah kemana. Trias sudah pernah menanyakan hal ini pada guru piket, namun jawaban yang Trias dapatkan hanyalah gelengan kepala tak tahu. Ia sudah benar-benar kehilangan jejak Eria.
Trias meremas rambutnya dengan kesal! Tak dihiraukannya lagi obrolan teman-teman di sekelilingnya. Ia hanya butuh kabar Eria saat ini! Hanya itu! Apa lagi sebentar lagi ia akan merayakan ulang tahunnya.
Mimpinya sejak dulu yang selalu ingin merayakan ulang tahun bersama orang yang dicintainya kini hampir terwujud didepan mata berkat Eria. Tetapi sekarang? Eria saja menghilang! Seolah kembali membuat mimpi-mimpi Trias kembali pudar tersamarkan…
* * * *
17 Juli, satu hari sebelum ulang tahun Trias…
Trias menatap layar ponselnya dengan jemu. Enam hari sudah semuanya berlalu. Tak ada kabar. Tak ada cerita apapun dari Eria. Entah sudah berapa ratus kali Trias mencoba menghubunginya. Entah sudah berapa belas kali Trias mendatangi rumah Eria, namun nihil!
Trias memejamkan matanya sesaat. Dihelanya nafas panjang. Besok adalah hari ulang tahunku, hari yang selalu kunantikan, agar dapat kurayakan bersama Eria. Tapi… kalau begini, lebih baik aku…
Trias mengepalkan tangannya kuat-kuat, meninju penuh amarah kasur yang ada dibawah tubuhnya. Kini ia sudah memantapkan hatinya. Ia telah mengambil sebuah keputusan.
Trias pun beranjak dari ranjang yang ia tiduri, menghampiri komputer pentium empat kesayangannya, membuka akun e-mail miliknya, lalu mengetikan sesuatu disana.
* * * *
Wanita paruh baya itu masih tak henti-hentinya merintihkan doa kepada Sang Maha Kuasa, sudah enam hari lamanya, bibir mungil wanita itu, selalu mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, “Tuhan, sembuhkan anakku…” rintihnya begitu samar dan perih.
Tangannya, mengusap dengan penuh kasih sayang wajah sang anak yang tak kunjung sadar. Koma lebih tepatnya. Anak gadis kesayangannya itu telah divonis oleh dokter menderita kanker otak stadium akhir. Tentu hal ini mengejutkan sang wanita paruh baya, mengingat, selama ini memang tak ada tanda-tanda bahwa sang anak mengidap penyakit mematikan itu. Semuanya berjalan baik-baik saja, hingga enam hari lalu, wanita paruh baya itu mendapat telepon dari rumah sakit, bahwa sang anak tengah dirawat disana karena ditemukan pingsan di sebuah halte bis dekat sekolahnya.
Air mata wanita itu kembali meleleh, turun dengan cepat, lalu bergelayut enggan di dagu indahnya. “Bangunlah, Nak… bangun…” setelah berkata demikian, wanita itu menelungkupkan kepalanya pada sisi ranjang tempat sang anak terbaring, menangis dalam keheningan yang menusuk.
“Ma… Mama… Mama…” wanita itu terkejut, diangkatnya kepala cepat-cepat begitu mendengar suara yang sangat familiar ditelinganya itu: suara anaknya!
“Er,” wanita itu tak mampu menahan air mata harunya untuk tak kembali menetes, ia menangis, memeluk sang anak yang masih ringkih.
“Ma, Eria kenapa?” Tanya Eria, matanya mengerjap berkali-kali, berusaha membuat pandangannya yang kabur, menjadi normal.
Mama menggeleng. “Kamu hanya pingsan, sayang.” Jawab Mama seadanya, bohong lebih tepatnya, menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dari Eria. Ia hanya tak ingin Eria yang baru siuman dari koma selama enam hari-nya menanggung beban pikiran bila mengetahui penyakit apa yang tengah menyemai ditubuhnya.
“Pingsan? Beneran, Ma? Tapi kalau cuma pingsan, kenapa badan S      isil mesti dipasangin alat pendeteksi detak jantung ini, Ma? Kenapa Eria malah seperti orang sekarat?” Tanya Eria dengan suara lemahnya. Tangannya menjamah bagian dalam bajunya yang tersematkan beberapa benda asing untuk mendeteksi detak jantung.
Mama hanya tersenyum. “Itu perintah dokter, sayang. Supaya kamu cepet sembuh, terus masuk sekolah lagi.”
Mendengar kata “sekolah” tiba-tiba Eria jadi teringat sesuatu: Trias! Astaga, cowok itu pasti belum tahu keadaan Eria sekarang. Dan Eria berani taruhan, pasti Trias tengah mengkhawatirkannya saat ini.
“Ma, ponselku mana?” Tanya Eria kemudian.
“Ponselmu hilang, Nak. Mungkin terjatuh saat kamu pingsan di halte bis.”
Eria tertegun. Bagaimana ia akan menghubungi Trias kalau sudah begini. Mau pakai ponsel Mama? Bisa, memang. Tapi… sayangnya Eria tak hapal nomor ponsel Trias. Namun, pada detik berikutnya sebuah ide melintas di pikiran Eria.
“Ma, Mama bawa laptop kerja Mama?”
Mama mengangguk. Tentu saja Mama bawa. Sebagai wanita karir super sibuk yang menjadi tulang punggung keluarga (setelah Papa Eria meninggal), laptop adalah anak kedua Mama setelah Eria.
“Bawa modem juga nggak, Ma?”
“Bawa, sayang. Memangnya buat apa?” Mama mengelus rambut Eria perlahan.
“Aku… mau menghubungi… mmm… temanku, Ma, lewat e-mail.” Eria perlahan menegakkan tubuhnya yang baru 20% pulih itu dengan dibantu oleh Mama. Mama menyenderkan tubuh Eria pada sisi kepala ranjang, ia tahu benar, Eria pasti tak akan sanggup untuk duduk jika tak ada sandaran bagi punggungnya. Eria masih sangatlah lemah.
Setelah membantu Eria duduk, Mama segera menaruh laptop beserta modem miliknya ke pangkuan Eria. Lalu beliau bergegas menuju sudut kamar rawat yang telah disulap menjadi dapur dadakan, menyiapkan semangkuk bubur hangat untuk Eria.
Eria langsung menyalakan laptop itu dan mengkoneksikannya dengan internet. Membuka akun e-mailnya.
Dan betapa terkejutnya ia, ada sebuah pesan masuk di inbox-nya, dari Trias! Dan pesan itu baru dikirimkan tiga jam yang lalu.
Subject: ….
Er, aku nggak tahu lagi mesti gimana untuk mencari kamu. Aku udah beratus-ratus kali menghubungi ponsel kamu. Tapi nggak pernah aktif! Aku udah dateng kerumah kamu, tapi nggak ada orang disana!
Sebenarnya ada apa dengan kamu? Kenapa kamu menghilang seperti ini?
Aku lelah, Er. Aku lelah jika kamu terus bersikap seperti ini padaku tanpa aku tahu sebabnya.
Maafkan aku, Er. Aku rasa, hubungan kita tak akan bisa diteruskan lagi. Aku harap, dimanapun kamu sekarang berada, kamu akan selalu bahagia, melebihi rasa bahagiamu ketika bersamaku dulu. Walaupun aku sebenarnya tak tahu, apakah kamu benar-benar bahagia bersamaku.
Sekali lagi, maafkan aku, Er, harus mengatakan ini padamu. Satu yang perlu kau tahu, aku sudah berharap dari jauh-jauh hari, jika esok dihari ulang tahunku, kamu akan datang kerumahku pagi-pagi dan memberiku kejutan. Tapi kurasa itu tak akan mungkin terjadi, jika kamu saja menghilang seperti ini.
Selamat tinggal, Er… doaku selalu menyertaimu…
TRIAS
Eria tersentak, nyaris laptop itu jatuh dari pangkuannya. Ditatapnya kalender di ponsel Mama yang tergeletak di meja yang ada di samping ranjangnya. Hari ini tanggal 17 Juli! Astaga! Berarti aku sudah pingsan selama enam hari, dan itu tanpa memberi tahu Trias?! Batin Eria perih. Tidak! Tidak! Aku pasti bukan pingsan! Pasti ada sesuatu terjadi pada tubuhku sehingga aku tak sadarkan diri selama enam hari! Pantas saja tubuhku dipasangi alat-alat aneh seperti ini!
Eria nyaris memanggil Mama untuk bertanya mengenai hal itu, tepat ketika ia kembali teringat akan kalimat Trias di e-mail tadi: besok hari ulang tahun Trias!
Kepala Eria tiba-tiba dipenuhi dengan bayang-bayang rencana indah yang selama hampir sembilan bulan terakhir telah disusunnya dengan rapi. Rencana untuk ulang tahun Trias…
Eria nyaris bangkit dari duduknya, untuk menghampiri Mama, namun seketika pandangannya kembali gelap gulita…
* * * *
Trias dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita paruh baya, pagi-pagi buta dirumahnya. Wanita itu membawa setumpuk kado, yang jumlahnya puluhan, dari mulai yang sekecil genggaman tangan, hingga yang besarnya separuh tubuh Trias. Namun Trias tak tahu apa isinya, karena seluruh kado itu sudah terbungkus rapi.
Trias menghampiri wanita berpakaian serba hitam yang tengah sibuk mengangkut satu persatu kado itu dari dalam mobilnya, “maaf, anda siapa?” Tanya Trias sesopan mungkin.
Wanita itu berhenti berjalan, menatap Trias dengan mata berkaca-kaca. “Kamu… kamu yang namanya Trias?” Trias mengangguk, menjawab pertanyaan itu. Baru disadarinya, bahu wanita itu ternyata bergetar, menahan tangis. Lalu pada detik berikutnya, dengan gerakan cepat wanita itu memeluk Trias sambil menangis, membiarkan kado yang sedang dibawanya jatuh ke tanah.
“Saya… saya Mamanya Eria, Nak…”
Trias terenyak, diajaknya dengan segera wanita paruh baya pembawa kado itu berbicara di dalam rumahnya…
* * * *
Dear Trias…
Apa kabarmu disana, sayang? Aku merindukanmu. Aku ingin sekali mendengar kalimat yang selalu kau ucapkan padaku setiap harinya seperti dulu. Tapi kurasa, itu tak akan mungkin. Karena sekarang, aku akan pergi, sayang. Pergi ke tempat dimana aku akan hidup abadi. Tak jauh. Sungguh, tak akan jauh. Karena meski ragaku tak ada disini lagi, tapi hatiku akan selalu bersamamu… didekatmu…
Maafkan aku Trias, tak bisa membuatmu bahagia, tak bisa datang kerumahmu pagi-pagi buta untuk memberikan kejutan ulang tahun untukmu, seperti yang kau impikan. Maafkan aku. Tapi kurasa, saat kau membaca surat ini, kau telah bertemu dengan ibuku. Anggap saja, beliau sebagai penggantiku. Ia yang datang kerumahmu pagi-pagi buta untuk memberikanmu kado. Ya, kado! Tahukah kau Julianku sayang? Selama ini, setiap kali kau dan aku berjalan-jalan di Mal Kartini, lalu kau mengatakan padaku bahwa kau menyukai benda ini atau itu, diam-diam aku membelinya, untukmu. Ya… hanya untukmu…
Aku sudah lama merencanakan hal ini, sejak hari pertama kau mengajakku berjalan-jalan ke Mal itu. Rencana indah untuk ulang tahunmu.
Kau tahu sayang, mengapa aku ingin melakukannya? Karena aku selalu teringat kata-katamu. Bahwa kau akan sangat menyayangi orang yang memberikanmu barang-barang yang kau ingini itu. Aku ingin jadi wanita yang paling kau sayang didunia ini, Trias!
Ku harap, kau akan senang dengan semua ini, meski aku tak lagi berada disisimu.
Jujur, sayang. Aku pun terkejut begitu mengetahui ternyata aku terkena kanker otak stadium akhir. Dan syukurlah, aku baru mengetahui hal itu ketika sisa waktu kehidupanku didunia hanya tinggal menghitung detik. Jadi, aku tak perlu terlalu tersiksa dibuatnya.
Julianku sayang, jagalah dirimu baik-baik setelah aku pergi. Trias, aku menunggumu di surga,sayang. Walau mungkin kelak “disana” kau telah bersama bidadarimu yang lain. Selamat tinggal sayang… aku selalu mencintaimu…
Peluk hangat,
ERIA APRILIA

Trias menangis! Benar-benar menangis! Pedih rasanya begitu membaca surat terakhir yang ditulis Eria sebelum  “kepergiannya” tadi malam itu. Hati Trias sakit, sakit sekali…apa lagi jika mengingat kejadian kemarin, ketika dirinya mengirimkan e-mail untuk memutuskan hubungannya pada Eria. Bagaimana bisa Trias menyakiti hati cewek itu terlebih dalam lagi di detik-detik terakhir hidupnya? Trias benar-benar merasa bahwa dirinya sangat jahat!
Trias bangkit, menghampiri Mama Eria yang masih duduk terpekur dihadapannya sambil menangis. Dipeluknya wanita itu dengan erat, “maafkan, Trias, Tante. Trias jahat!”
Mama melepas pelukan itu lalu menghapus air mata yang menetes di pipi Trias. “Tidak Trias, ini bukan salahmu. Ini sudah takdir Tuhan. Eria memang harus pergi.”
Trias melepaskan pelukan itu, “Tante, bolehkah aku bertemu Eria terakhir kalinya sebelum ia dimakamkan?”
Mama mengangguk antusias. “Tentu! Tentu, Trias. Eria pasti akan senang bertemu denganmu. Ayo, kita pergi.” Mama mencoba tersenyum manis namun yang nampak malah senyum miris. Tangannya, menggandeng tangan Trias, masuk kedalam mobil.
THE END