Love tell me
about…,
Namaku Syara Azura. Panggil saja Ara.
Aku anak dari seorang kepala marketing di sebuah perusahaan terkemuka di
kotaku. Perusahaan yang bergerak di bidang bursa efek dan saham. Umurku 15
tahun. Aku lahir ditanggal 9 April.
Kalau soal sekolah. Aku bersekolah di
SMA Ritch Blues, sekolah swasta favorit dan unggulan. Kini aku duduk dikelas
sepuluh (X). Aku bersekolah disini karena letaknya yang tak jauh dari rumah,
hanya sekitar 700 meter.
Hmmm, apa lagi yang ingin kalian ketahui
tentangku? Aktivitasku? Baiklah akanku ceritakan…
Ini lah aktivitasku, selalu pulang-pergi
sekolah dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki. Mama dan Papa tak pernah mau
memanjakanku mesti hidupku dan keluargaku serba berkecukupan. Lagi pula aku tak
keberatan dengan peraturan Papa dan Mama ini. Toh, rumahku dan sekolah dekat!
Persis seperti siang ini. Aku berjalan
kaki sendirian. Dan sialnya, siang ini sangat panas. Terik matahari serasa
memanggang tubuhku hingga gosong. Berkali-kali aku mengelap peluh yang jatuh
bercucuran membasahi pipiku… aah! Ingin rasanya cepat-cepat sampai rumah.
“Hai, Ra!” tiba-tiba suara seseorang
menyapa telingaku, diiringi dengan bunyi decitan rem. Aku menoleh, dan
mendapati seorang lelaki tengah berada dibelakangku lengkap dengan tunggangan
besinya.
“Kamu?... Kak Asta kan?” tanyaku
kemudian.
Lelaki itu mengangguk.
Ya, ini memang Kak Asta, batinku
membenarkan. Dia adalah kakak kelasku di SMP Rosterm Villa dan juga di SMA
Ritch Blues. Kak Asta kini duduk di kelas sebelas (XI), satu tahun diatasku.
Walaupun tak pernah dekat secara
langsung dengannya, tapi aku mengenalnya sebagai sosok yang pendiam dan ramah…
yaah, setidaknya sifat itulah yang menonjol dari dirinya…
“Ada apa, Kak?”
“Mau… pulang bareng?”
“Hhha!?” mulutku menganga dengan sukses
mendengar perkataan Kak Asta barusan. Apa… telingaku tak salah dengar?
“Loh, kenapa?”
Aku bangun dari kebengonganku… “Mm,
nggak apa-apa, Kak. Memangnya…,”
“Memangnya apa?”
“Ngg.. nggak… nggak apa-apa.”
“Intinya. Kamu mau nggak pulang bareng nih?”
“Intinya. Kamu mau nggak pulang bareng nih?”
Aku diam untuk berpikir sejenak. Pulang
bareng nggak ya…?! Tapi kalau aku pulang bareng sama Kak Asta, entar Bima tau,
lagi… duh, bisa mati aku!
“Nggg…”
“Ayolah, Ra! Nggak apa-apa kok. Kak Asta nggak akan macem-macem sama kamu. Kak Asta cuma kasian aja ngeliat kamu jalan kaki panas-panas gini.”
“Ayolah, Ra! Nggak apa-apa kok. Kak Asta nggak akan macem-macem sama kamu. Kak Asta cuma kasian aja ngeliat kamu jalan kaki panas-panas gini.”
Aku kembali berpikir. Sesosok setan
tiba-tiba seakan berbisik ditelingaku dan berkata “Ara! Ikut saja bersama Asta!
Ingat ya, dunia ini lebar, nggak mungkin di dunia selebar ini Bima bisa dengan
mudah melihatmu bergoncengan dengan Asta. Jadi kamu tenang saja.”
Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku,
membenarkan kata si setan barusan.
“Oke deh.” Ucapku menyetujui. Aku
bergeser sedikit dari posisi tubuhku untuk mendekat ke jok berlakang motor Kak
Asta. “Thanks ya, Kak.” Ucapku lembut sebelum akhirnya motor Kak Asta kembali
melaju di jalan raya dengan memboncengku dibelakangnya.
* * * * *
Aku masih membatu di depan gerbang
rumahku demi memandangi motor Kak Asta yang semakin menjauh lalu tak terlihat
lagi.
Aku memegang dadaku erat, mencoba
menghentikan desiran demi desiran yang datang tak menentu. Kenapa aku ini?
kenapa aku merasa begitu bahagia setelah diantar Kak Asta tadi? Ya Tuhan,
jangan sampai… aku kan sudah punya Bima.
Tepat satu detik setelah aku memikirkan
Bima, ponselku berbunyi dan Bima-lah yang meneleponku…
“Halo?”
“Ra, kamu dimana? Aku udah nungguin kamu
didepan Ritch Blues.”
“Maaf, Bim. Aku sudah pulang.”
“Maaf, Bim. Aku sudah pulang.”
“Naik apa?”
Aku menghela nafas panjang sebelum
kedustaanku dimulai. “Biasa. Jalan kaki.”
“Kan aku sudah bilang supaya kamu
menungguku.”
“Sudahlah, Bim. Aku nggak apa-apa kok.
Udah dulu ya, aku mau makan. Bye!”
dustaku kembali.
Tepat ketika aku mematikan telpon, aku
tiba dikamarku yang ada dilantai dua. Ku letakkan tasku diatas meja belajar,
pada saat itulah mataku tertuju pada sebuah pigura yang memamerkan fotoku
berangkulan mesra bersama seorang lelaki. Lelaki itu adalah Bima, pacarku
selama 7 bulan belakangan ini. Bima dan aku saling mengenal semenjak SD karena
kami berdua selalu sekelas. Begitu pula saat SMP. Namun sayang, saat SMA, Bima
tak satu sekolah denganku. Ia memutuskan untuk masuk ke SMA Negeri 888 yang
merupakan SMA Negeri unggulan di kota ini.
Jujur, aku memang menyayangi Bima.
Sangat sayang malah… tapi… kenapa kali ini hatiku berbicara lain. Seperti ada
sesuatu yang mengganjal.
Tiba-tiba wajah Kak Asta melintas dengan
gerakan slow motion di otakku. Ya Tuhan! Kejadian bodoh apa lagi ini? kak Asta
hanya mengantarku pulang karena KASIHAN, bukan bermaksud lain. Tapi kenapa aku
merasa… aaaarrrhhh!
Aku memandang fotoku dan Bima itu dengan
perasaan hampa. “Bima… maafkan aku. Tapi aku rasa, aku jatuh cinta pada orang
lain.”
* * * * *
Hari ini ada lomba karena memperingati
tujuh-belasan di Ritch Blues. Karena tak mengikuti lomba apapun, aku memutuskan
untuk duduk-duduk dikantin bersama Raya, sahabatku. Dari pada jadi obat nyamuk
yang cuma bisa memandang keki murid-murid yang lagi lomba sampe ngiler, mending
disini deh. Ngadem sambil makan! Hehe…
“Ray, gue mau pulang nih!”
Raya menjitak kepalaku menggunakan sendok yang sedang digenggamnya. “Pulang… pulang… emang bisa? Ditelen sama satpam didepan, mampus lo!”
Raya menjitak kepalaku menggunakan sendok yang sedang digenggamnya. “Pulang… pulang… emang bisa? Ditelen sama satpam didepan, mampus lo!”
“Yeee… reseh nih anak! Lagian ngapain
juga disekolah. Mending ke mall.”
“Ngapain ke mall?”
“Ya, windows shopping kek… nonton kek… terserah deh!”
“Ya, windows shopping kek… nonton kek… terserah deh!”
“Kak Asta saranin mending kamu jangan
pulang deh, Ra!” tiba-tiba Kak Asta muncul dihadapanku dan Raya lalu langsung
mengambil posisi duduk persis disebelahku.
Tuh kan! Jantungku deg-degan…
“Kak Asta?...” seruku tak percaya.
Sementara Raya cuma bisa bengong dengan segulung mi yang masih mandek
dibibirnya.
“Didepan satpam lagi jaga-jaga. Takut
ada yang kabur. Bener apa kata Raya.” Ucapnya lagi.
Aku mengerucutkan bibir. “Ih. Kak Asta
nguping yaaaa??!!” aku mencubiti bagian atas lengan Kak Asta dengan kesal.
“Yeee…. Kok jadi nyalahin Kak Asta? kamu
tuh yang ngomongnya gede-gede makanya Kak Asta bisa denger. Oya, Ra, Kak Asta
ada perlu sama kamu.”
Aku menangkap suatu bunyi yang sangat
tak enak didengar, bunyi seperti suara gelonggongan besi berukuran besar yang
masuk kedalam lubang tikus. Aku menoleh kearah Raya dan mendapati dirinya yang
ternyata sedang berjuang antara hidup dan mati (duh! Emang ngapain sih!?
Berlebihan banget kayaknya!)
“Raya!!!... lo kenapa?” pekikku panik.
“Uhuk… uhuuuk...” Raya terbatuk-batuk.
Ternyata penyebabnya adalah Raya yang menelan mi yang tergantung dimulutnya
tadi secara bulat-bulat.
“Duh, Ray! Lo kenapa sih?”
“Gue nggak apa-apa… uhuk…”
“Ra?” Kak Asta menyentuh tanganku lembut
membuat perhatianku teralih padanya sekaligus membuat bulu kudukku merinding.
Aduuuuh! Sekali lagi Kak Asta melakukan hal-hal yang tak terduga dihadapanku,
mungkin aku bisa mati berdiri dibuatnya.
“Mm, kenapa Kak?”
“Soal tadi.”
Alisku menaut. “Soal yang mana?”
“Yang Kak Asta ada urusan sama kamu tadi loh.”
“Yang Kak Asta ada urusan sama kamu tadi loh.”
“Oooo… memangnya Kak Asta ada perlu
apa?” tanyaku sedikit grogi. Dug… dug… dug… jantungku terasa mau copot. Jangan
bilang kalau Kak Asta mau menyatakan cintanya padaku disini?!! Kyaaaaaaa….
Bahagianya aku seandainya itu terjadi…
Duh Kak Asta, kok tiba-tiba gini sih!?
Aku kan belum siap buat menjawabnya. Hihihihihi…. Lagi pula ini kan tempat
ramai. Malu dong Kak…huwaaaaa!!!
“Ada teman kamu yang mau jual HP bekas
nggak? Soalnya HP Kak Asta hilang, mau beli yang baru nggak ada uang. Jadi mau
cari yang bekas aja.”
Duprak!
Duprak! Plentang! Plentung! Praanngg!
Hatiku terbanting dari langit dua puluh tujuh hingga ke dasar bumi yang paling
dalam sampai hancur berkeping. Jadi, itu keperluan Kak Asta padaku? Aku kira….
“Hei, Ra. Kok ngelamun sih?” Kak Asta
mengibaskan tangannya tepat didepan wajahku.
“Ngg…”
“Ada nggak?”
“Nggak tahu!” jawabku sedikit ketus. Sakit tahu hatiku, hiks…
“Nggak tahu!” jawabku sedikit ketus. Sakit tahu hatiku, hiks…
Kak Asta jadi garuk-garuk kepala. “Ya
sudah kalau begitu. Kak Asta pergi dulu ya. Daah Ara!” Kak Asta melambaikan
tangannya padaku, namun aku hanya melengos cuek. Namun baru beberapa langkah
berjalan, Kak Asta kembali memutar tubuhnya menghadap kearah mejaku dan Raya
kembali.
Apa jangan-jangan dia berbalik karena
mau menyatakan cinta padaku?! Kyaaaa…. Mungkin saja itu terjadi. Duh! Terangkat
kelangit ke tiga puluh sekarang hatiku…
“Oya, Kak Asta lupa…” lupa apa Kak? Lupa
menyatakan cinta padaku ya? Hihihihihi… “Kak Asta lupa bilang…” bilang apa Kak?
Bilang cinta kan? Hayoooooo!!! “Daaah juga Raya!” ucapnya kemudian lantas
berbalik dan kembali berjalan pergi.
Blam!
Prak! Praaaanng! Huhuhuhuhuhuhuhu….. hujan air mata perasaanku. Kak Asta,
aku cinta kamu tauuuuuuuu!!!! Kok Kak Asta berbalik cuma karena mau “say
goodbye” sama Raya sih… hancur sudah!
“Dasar cowok aneh!” suara Raya
membuyarkan lamunanku.
“Aneh kata lo?”
“Iya, aneh! Gue sampe nelen mi gue
bulet-bulet saking gue kaget begitu dia ngomong kalau dia ada perlu sama lo, gue
nyangka dia maun nembak lo. Eehhh ternyata cuma nanya ‘ada yang jual HP bekas
gak?’ duh, Ra! Stres tuh cowok!”
“Biarin aja! gue tetep suka kok.”
“Ara… ara… gue kasian sama lo. Lo udah
nunggu dia hampir satu bulan. Tapi kayaknya nggak ada gelagat kalau dia respect
sama lo ya. Dia kayaknya cuma nganggep lo adek.”
pletak! Kini gantian, aku yang menjitak kepala bundar Raya dengan sendok. “Jangan bikin gue putus asa dong.”
pletak! Kini gantian, aku yang menjitak kepala bundar Raya dengan sendok. “Jangan bikin gue putus asa dong.”
“Hei, Ra! Lo seharusnya mikir. Lo itu
udah punya Bima. Kalau elo beneran jadian sama Kak Asta, Bima-nya mau lo
kemanain?”
“Buang!” Jawabku singkat seakan tak
berdosa.
“Buang? Jangan macem-macem deh, Ra!”
“Gue beneran kali, Ray. Lagian akhir-akhir ini, hubungan gue sama Bima udah nggak seharmonis dulu lagi… dia udah jarang ketemu gue, jarang nganter-jemput gue, pokoknya beda deh… kayaknya sih dia punya selingkuhan!”
Mata Raya tiba-tiba membola. “Hah? Serius lo? Lo tahu Bima punya selingkuhan tapi lo diemin aja? lo kayaknya mesti konsultasi ke psikolog deh.”
“Gue beneran kali, Ray. Lagian akhir-akhir ini, hubungan gue sama Bima udah nggak seharmonis dulu lagi… dia udah jarang ketemu gue, jarang nganter-jemput gue, pokoknya beda deh… kayaknya sih dia punya selingkuhan!”
Mata Raya tiba-tiba membola. “Hah? Serius lo? Lo tahu Bima punya selingkuhan tapi lo diemin aja? lo kayaknya mesti konsultasi ke psikolog deh.”
Aku menyeruput es teh didepanku. “Halahhh…
Biarin aja! Tunggu sampe dia puas nyelingkuhin gue! Entar gue yang putusin.
Lagian gue udah nggak cinta lagi.”
“Hebat!” Raya bertepuk tangan nggak
jelas. “Hanya karena sekali dianter pulang 3 minggu yang lalu oleh seorang
Dastan Morgan, Syara Azura bisa langsung jatuh cinta dan klepek-klepek! Dan
hebatnya lagi, cinta itu bisa membuat Syara Azura tak lagi mencintai sang pacar
yang bernama Bima Saktiawan.” Seloroh Raya sok jadi penyair, aku hanya
geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatku itu.
* * * * *
Aku diam, menatap Bima dalam kebisuan.
Tak lama, Bima mulai menggerakkan
tangannya, hendak menggenggam tanganku dengan hati-hati, lalu ditatapnya mataku
yang terlihat datar.
“Ra, aku mau bicara penting sama kamu.”
Aku melepas tanganku dari genggaman Bima
dengan kasar. “Mau ngomong apa?” tanyaku ketus.
“Aku rasa kita udah nggak cocok dan aku
mau kita…,”
“Hania Ravita, kelas X2, SMA Negeri 888, alamatnya di Jalan. Mawar nomor 44, anak dari seorang pemilik kedai bernama Handri Susilo dan Tania Sudibroto, berkulit putih, tinggi 160 centimeter, rambut panjang sebahu, dan hidung mancung. Kalau masih ada yang kurang tentang biodata selingkuhan lo silahkan ngomong!?” potongku pada kalimat Bima dengan repetan, membuat Bima terbelalak.
“Hania Ravita, kelas X2, SMA Negeri 888, alamatnya di Jalan. Mawar nomor 44, anak dari seorang pemilik kedai bernama Handri Susilo dan Tania Sudibroto, berkulit putih, tinggi 160 centimeter, rambut panjang sebahu, dan hidung mancung. Kalau masih ada yang kurang tentang biodata selingkuhan lo silahkan ngomong!?” potongku pada kalimat Bima dengan repetan, membuat Bima terbelalak.
“Ra, aku…”
“Oke, jadi semua yang gue sebutin udah
lengkap? Baguslah kalau begitu.”
“Ra, dengerin…,”
“Kita putus, Bim!” potongku lagi dengan
cepat lalu segera beranjak dari kursi yang kududuki, meninggalkan Bima yang
masih terpekur didalam café.
* * * * *
“Yaiii… Rayaaaaaa!!! Gue putus sama
Bima.” Aku langsung memeluk tubuh Raya yang baru saja membukakan pintu rumahnya
untukku.
“Serius lo?”
“Suer!” aku membentuk jariku menyerupai huruf “V”. “Coba tadi lo liat ekspresi wajahnya… beuh… pucat pasi banget tau nggak.”
“Suer!” aku membentuk jariku menyerupai huruf “V”. “Coba tadi lo liat ekspresi wajahnya… beuh… pucat pasi banget tau nggak.”
Raya tergelak mendengar ucapanku
barusan. “Wahhh… lo nggak ngajak-ngajak gue sih tadi.” Ucap Raya sembari
menggiringku menuju kekamarnya.
Saat pintu kamar Raya sudah tertutup
rapat, aku langsung menghempaskan tubuhku keatas ranjang Raya. “Kalau begini,
gue bisa bebas buat ngedeketin Kak Asta.”
“Iya. goodluck ya, Ra.”
* * * * *
Aku datang sekolah KEPAGIAN.
Menyebalkan! Ini semua karena jam dirumahku yang dipercepat 25 menit oleh Papa
agar Papa tak pernah terlambat lagi pergi ke kantor. Aku yang mengira jam
dirumah tepat, langsung buru-buru mandi dan berangkat sekolah saat melihat
jarum panjang jam sedang menuding angka 8, dan jarum pendeknya menuding ke
angka 7.
Aku hanya bisa diam dikelas seorang
diri, menatap kearah papan tulis yang kosong. Huh! Membosankan!
Tapi…, kalaupun mau jalan-jalan keluar
kelas, aku mau kemana? Siapa yang akan kutemui? Jam segini biasanya yang sudah
datang hanyalah anak-anak Ritch Blues yang rumahnya jauh. Dan aku sama sekali
tak mengenal mereka.
Tapi apa salahnya mencoba? Toh, jika aku
beruntung aku pasti menemukan seseorang yang kukenal. Ya, tekadku sudah bulat!
Aku akan keluar dari kelas berbau apak ini.
Aku berjalan menelusuri koridor, menuju
kearah ruang serba guna. Disamping ruangan itu ada sebuah taman kecil yang
terdapat banyak bunga. Setidaknya aku ingin menenangkan sedikit pikiranku
disana… Aku berbelok kearah kiri, tinggal beberapa langkah lagi aku akan tiba
ditaman itu.
Baru saja aku menjejakkan kaki disana,
aku sudah melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seorang siswa lelaki dan
siswi perempuan tengah berduaan disebuah kursi kayu yang ada ditengah taman.
Posisi mereka kini membelakangiku.
Penasaran, aku mendekat lalu memutuskan
untuk bersembunyi dibalik sebuah pohon yang ada didekat mereka berdua demi
menguping pembicaraan mereka.
“May, aku sayang kamu…” ucap si lelaki.
Si perempuan tertawa sesaat. “Sayang?
Sayang gimana maksud kamu?”
“Ya, aku sayang kamu. Aku mau kamu jadi
pacarku, May…”
Aku diam mendengar percakapan mereka
berdua. Kenapa sepertinya suara si lelaki begitu akrab ditelingaku!?
“Kamu mau kan, May?”
Aku memicingkan mata, dan aku dapat melihat
dengan begitu jelas bahwa si perempuan mengangguk dengan gerakan yang tersipu
malu sekaligus manja.
“Jadi, kamu mau, May, jadi pacarku?”
tanya si lelaki memastikan.
Sekali lagi, si perempuan mengangguk.
“Terimakasih, May.” Ucap si lelaki lalu
memeluk si perempuan. Lalu si lelaki melepaskan pelukannya, ia menatap wajah si
perempuan dengan seksama. Perlahan, wajah mereka berdua saling mendekat, mendekat,
lalu semakin mendekat hingga hanya tersisa jarak satu centi lagi. Dan… kyaaaa….
Refleks aku menutup mata melihat adegan tak senonoh itu. Namun karena penasaran
juga (hihihi, dasar!) aku kembali membuka mata, menatap dua sejoli yang sedang
saling berpagut itu.
Aku hampir saja jatuh lemas melihat apa
yang baru saja terpampang didepan mataku. Lelaki itu… wajahnya terlihat begitu
jelas karena sedang menghadap kesamping… dia…. Dia… dia kan…
“Kak Asta?” lirihku perih. Aku tak dapat
lagi menahan perasaanku dan langsung menangis sejadi-jadinya. Mimpi apa aku
semalam hingga bisa menyaksikan secara langsung adegan demi adegan ketika orang
yang kucintai menyatakan cintanya pada orang lain!?
Aku rasa Tuhan sedang mengutukku!
Dan siswi perempuan itu… dia Kak Mayang,
siswi tercatik di kelas XI Ritch Blues. Membayangkan rupa Kak Mayang yang elok,
tubuhnya yang ramping, otaknya yang cerdas dan segudang kelebihannya yang
sangat lebih dibandingkan aku, membuatku tambah stress. Bagaimana aku bisa
memiliki Kak Asta, jika seleranya saja adalah wanita sempurna macam Kak Mayang
yang jelas kualitasnya jauh berada diatasku.
Aku berlari, menjauh dari taman sekolah dan kembali masuk kedalam kelas bau apakku. Setidaknya bau apak itu lebih baik untukku saat ini ketimbang melihat orang yang kucinta berciuman dengan orang lain.
Aku berlari, menjauh dari taman sekolah dan kembali masuk kedalam kelas bau apakku. Setidaknya bau apak itu lebih baik untukku saat ini ketimbang melihat orang yang kucinta berciuman dengan orang lain.
* * * * *
Aku menyumpal mulut Raya yang bawel itu
dengan segumpal kertas bekas. Sedari tadi, selama aku bercerita tentang
kejadian ditaman sekolah tadi pagi, dia terus-terus memekik-mekik dengan panik
dan kaget.
“Sekali lagi lo teriak-teriak, bukan
cuma kertas yang nyumbet mulut lo. Tapi sepatu gue juga!” ancamku kemudian.
Raya mengangguk sambil melepaskan
sumbalan kertasku dari mulutnya. “Terus? Gimana lagi?”
“Yaaa gitu deh… gue bingung sekarang
mesti apa. Kak Asta udah punya orang lain, Ray.” Lirihku, tak terasa air mataku
mulai jatuh lagi.
Raya menepuk pundakku. “Sabar ya, Ra.
Gue yakin pasti ada hikmahnya.”
Aku mengangguk sambil mengusap air
mataku. Tepat ketika kepalaku mendongak, tatapanku tertumbuk pada sosok dua
orang lelaki yang sedang melintas didepan koridor kelasku.
“Kak Asta…” desisku pelan.
Raya menyikutku cepat ketika kedua
makhluk itu sudah berlalu. “Udah deh, Ra. Jangan dipikirin amat! By the way
yang sama Kak asta tadi itu siapa?”
“Oh.. itu..” jawabku malas-malasan. “Dia
Kak Dandi, teman dekatnya Kak Asta. kenapa? Lo naksir?”
Raya megibaskan tangannya diudara.
“Nggak… enak aja lo ngomong. Hati gue cuma buat Valen tau!”
“Terus ngapain nanya?”
“Ya… nggak apa-apa… gue jarang liat anak
itu aja.”
“Gue kira…,” aku menelan kembali semua
kalimatku ketika kedua sosok itu kembali tertangkap mataku sedang melintas
dikoridor kelas untuk kedua kalinya. Jantungku terasa berdetak lebih lambat.
Kak Asta sempat melempar senyum kecil
kepadaku lalu kembali berlalu. Mataku mengekor arah mereka berjalan. Ketika
mereka sudah beberapa meter lewat didepan kelasku, Kak Dandi memutar kepalanya
kebelakang lalu menatapku penuh makna. Bahkan sempat aku melihatnya mengedipkan
sebelah matanya kepadaku. Kak Dandi?
Kenapa dia? Tanya batinku.
“Jangan diliatin terus, Ra.” Tegur Raya
lagi.
Tanpa menanggapi, aku cepat-cepat menarik
tangan Raya masuk kedalam kelas. Ketika sudah duduk dibangku, aku kembali buka
suara. “Lo liat nggak tadi. Kak Dandi ngedipin mata ke gue?”
* * * * *
Aku memandang langit malam yang gelap.
Pikiranku melayang, membayangkan seandainya Kak Asta dan aku bisa terbang
kesana dengan cinta kami berdua…
Namun sayang semua hanya mimpi untukku. Karena
aku dan Kak Asta yang sekarang, bukanlah aku dan Kak asta yang dulu… itu semua
berawal semenjak Kak Asta menjalin hubungan dengan Kak Mayang dua bulan yang
lalu.
Perlahan, Kak Asta menjauhiku. Ia tak
pernah lagi menghampiriku dan Raya ketika kami berdua tengah makan bersama
dikantin. Ia juga tak pernah mengobrol panjang lebar denganku seperti dulu…
semuanya berubah!
Hanya ada senyum kecil dan hampa yang sesekali Kak Asta tujukan untukku ketika kami berdua berpapasan… ya, hanya senyum itu yang menandakan setidaknya Kak Asta masih ingat jika aku ada dibumi ini.
Hanya ada senyum kecil dan hampa yang sesekali Kak Asta tujukan untukku ketika kami berdua berpapasan… ya, hanya senyum itu yang menandakan setidaknya Kak Asta masih ingat jika aku ada dibumi ini.
* * * * *
Aku menendang sebuah kerikil yang
lagi-lagi berada didepan jalanku melintas.
“Dua-puluh-dua!” hitungku.
Baru kali ini, dalam perjalanan pulang
sekolah aku menendang batu kerikil hingga dua-puluh-dua kali. Biasanya hal ini
aku lakukan hanya sesekali untuk keisengan semata. Tapi tidak kali ini. Aku
merasa seperti sedang melampiaskan emosiku.
“Ra?” seseorang menyentuh pundakku dari
belakang dengan lembut.
Sebelum menoleh, aku terlebih dahulu
menepis tangan yang tersampir dipundakku itu dengan kasar. Orang lagi kesel
gini malah maen pegang-pegang…
“Heh! Jadi orang jangan…., Kak Dandi?”
aku terpekur menatap Kak Dandi yang berdiri didepanku.
“Hei, Ra… ngg… boleh nggak kalau Kak
Dandi nemenin kamu… pulang?”
Aku seperti merasakan sebuah dejavu,
otakku kembali memutar kejadian ketika 3 bulan yang lalu Kak Asta melakukan hal
yang sama seperti yang Kak Dandi lakukan terhadapku. Tapi kali ini berbeda
sedikit, jika Kak Asta menawarkan aku agar pulang bersamanya menggunakan motor,
Kak Dandi malah menawarkan dirinya untuk menemaniku pulang dengan… jalan kaki.
Loh!? Setahuku Kak Dandi kan bawa motor
ke sekolah… tapi kok…,
“Boleh nggak, Ra? Kalau nggak boleh...,”
“Boleh… boleh, Kak.” Potongku cepat sebelum Kak Dandi merasa tersinggung.
“Boleh… boleh, Kak.” Potongku cepat sebelum Kak Dandi merasa tersinggung.
“Bener?”
“Iya.” Aku berbalik dan kembali berjalan
menelusuri jalan menuju rumah, Kak Dandi mengekor.
“Mmm, Ra?” panggil Kak Dandi kemudian.
“Ya?”
Kak Dandi menggaruk-garuk kepalanya, ia
terlihat begitu salah tingkah. “Kamu… udah punya pacar?”
“Hha!?”
“Kamu udah punya pacar?” ulang Kak Dandi
lagi.
“Bukan! Bukan itu maksudku, Kak,”
tegasku. “Maksudku, maksud omongan Kak Dandi barusan apa? Aku nggak ngerti.”
“Gimana ya?!... Kak Dandi ngomongnya di
HP aja deh. Boleh minta nomor kamu?”
“Boleh,” aku merogoh saku kemeja putihku dan mengeluarkan ponselku dari dalamnya. “Nih, nomornya. Kosong-delapan-sembilan-belas bla bla bla…,”
“Boleh,” aku merogoh saku kemeja putihku dan mengeluarkan ponselku dari dalamnya. “Nih, nomornya. Kosong-delapan-sembilan-belas bla bla bla…,”
“Oke. Makasih, Ya, Ra. Daah!” Kak Dandi
berlari memutar arah, kembali kejalan menuju sekolah. Loh!? Jadi nemenin aku
pulangnya cuma sampe sini doang? Padahal kan rumahku masih 300 meter lagi.
* * * * *
From :
+628789999XXXX
Night,
Ra…
To :
+628789999XXXX
Siapa
ya?
From :
+628789999XXXX
Kak
Dandi… hmm, km lg apa?
Aku meremas rambutku dengan gemas. Ih!
Basi banget sih yang ditanya…
Sebelum membalas SMS Kak Dandi, aku
menyempatkan untuk menyimpan nomornya di ponselku.
To :
Kak Dandi
Lg
dngrin musik, Kak… knp? Ada prlu ya?
Setengah jam berlalu… aku tertidur
dikursi malas yang ada dikamarku. Setelah sebelumnya sempat mengecek, apakah
Kak Dandi membalas SMS-ku atau tidak.
Ternyata tidak! Mungkin dia hanya
main-main dengan perkataannya tadi siang…
* * * * *
“Ra…” Raya tiba-tiba memelukku dengan
nada cemas ketika kakiku baru saja mencicipi lantai kelas.
Aku melepas pelukan Raya sembari
melempar tatapan penuh tanda tanya padanya. “Ray, kamu kenapa?”
“Ra… Kak Asta, Ra… Kak Asta…”
“Kak Asta? kenapa dia?”
* * * * *
Aku memberhentikan taksi yang kutumpangi
didepan sebuah gedung besar berlantai tiga dengan pagar kawat berduri
mengelilinginya.
Setelah membayar taksi, aku segera masuk
ke gedung itu dan menemui petugas jaga yang ada didepan.
“Pak, saya mau membesuk. Bisa?”
Petugas jaga itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Adik ini mau menjenguk siapa?”
Petugas jaga itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Adik ini mau menjenguk siapa?”
“Saya mau menjenguk dua pelajar yang
tertangkap polisi semalam karena transaksi narkoba, Pak.”
* * * * *
Disinilah aku berada… disebuah ruang
sempit dan pengap yang hanya memiliki sebuah ventilasi berukuran setengah
meter, ruangan yang menjadi bagian dari sebuah panti rehabilitasi narkoba,
ruangan yang juga menjadi tempat orang-orang yang hendak membesuk para orang
yang direhab dipanti ini.
Tak lama, pintu besi yang berada
didepanku tersibak dan muncullah sosok tubuh Kak Asta dari sana dengan
didampingi seorang petugas.
“Kak Asta?” aku menghambur, memeluk Kak
Asta setelah petugas tadi pergi, meninggalkan aku dan Kak Asta berdua diruangan
ini. Air mataku pun mengalir deras. “Kak… kenapa Kak Asta ngelakuin ini?”
Kak Asta membelai rambutku. “Kak Asta
khilaf, Ra… kakak nggak bermaksud buat make’ barang haram itu…”
“Aku nggak mau tahu… pokoknya Kak Asta
harus cepet sembuh dan keluar dari sini… aku mau Kak Asta sekolah lagi… aku mau
Kak Asta yang dulu… aku mau…”
“Sudah, Ra… maafin Kak Asta ya?”
“Sudah, Ra… maafin Kak Asta ya?”
“Untuk apa Kak Asta minta maaf?” aku
melepaskan pelukanku dari Kak Asta.
“Kak Asta udah jauhin kamu, Ra…”
Aku tersenyum. “Kalau soal itu jangan
dipikirin, Kak. Oya...” aku celingukan menyadari ada sesuatu yang kurang. “Kak
Dandi mana?”
“Oh, Dandi… dia masih di dapur, lagi
makan… nanti juga kesini.”
Aku manggut-manggut lalu kembali diam.
Kak Asta… aku masih sangat menyayanginya… aku nggak bisa memendam ini semua
terus menerus. Mungkin inilah saatnya, saat yang tepat untuk semuanya…
“Kak?” panggilku seraya menggenggam erat
tangan Kak Asta. “Aku mau bilang kalau aku… sayang sama Kak Asta.”
“Kak Asta juga sayang sama kamu, Ra…”
“Serius?”
“Iya,” Kak Asta mengangguk. “Kak Asta kan sudah nganggep kamu sebagai adik.”
“Iya,” Kak Asta mengangguk. “Kak Asta kan sudah nganggep kamu sebagai adik.”
Jger! Petir serasa menyambar kepalaku. Air
mataku mulai terbit lagi. “Tapi, Kak… aku maunya kita lebih dari teman.”
“Ra… kita jadi kakak-adik aja ya…” jawab
Kak Asta. “Lagi pula Kak Asta sudah punya Kak Mayang. Dan asal kamu tahu, Ra,
ada seseorang yang bener-bener tulus menyayangi kamu. Tapi kamu nggak pernah
menyadarinya.”
Aku menatap Kak Asta dengan bingung.
“Siapa, Kak?”
“Dandi.”
“Dandi.”
“Kak Dandi?”
“Iya… semalam, sebelum kami tertangkap,
sebenarnya Dandi ingin menelepon kamu, Ra. Dia mau menyatakan cinta. Tapi…
terlambat…”
Aku menahan nafasku sejenak. Ternyata
ini penyebabnya, kenapa Kak Dandi tak membalas SMS-ku semalam.
“Kamu mau kan, Ra, mencoba dekat dengan
Dandi?”
Aku diam. Aku tuh cintanya sama kamu
tahu Dastan Morgan. Bukan sama Pardandi Nasuha…
“Ra, mau kan? Siapa tahu Dandi bisa
cepet sembuh karena kamu membalas cintanya.”
Aku kembali diam dengan tangan terlipat
didepan dada. Mataku saling tukar pandang dengan mata teduh Kak Asta. Dan entah
mengapa, aku dapat melihat sebuah ketulusan dimatanya itu… “Oke. Demi Kak Asta,
aku akan coba.” Jawabku akhirnya.
Tiba-tiba seorang petugas memasuki
ruangan tempatku dan Kak Dandi berada. Wajahnya terlihat begitu panik. “Nak,
Asta. Ada kabar buruk…”
Kak Asta menatap petugas itu penuh
selidik. “Kabar buruk?”
“Iya… ngg… Nak Dandi… gantung diri
dikamar…”
“Apa?!” seruku dan Kak Asta kompak
lantas langsung berlari menelusuri koridor panti menuju kamar yang ditempati
Kak Dandi. Tuhan…. Tidak! Jangan Kak Dandi… Aku mohon… jangan ambil Kak Dandi
dari hidupku. Tuhan… aku… belum sempat mencoba mencintainya!
“Kyaaaa!!! Kak Dandi….” Jeritku
histeris, melihat mayat Kak Dandi yang tergantung dilangit-langit kamar. Wajahnya
sudah membiru, matanya terpejam rapat, Kak Dandi sudah tak bergerak lagi…. Aku
memeluk Kak Asta sekali lagi, kali ini aku kembali menangis. Namun tangisanku
kali ini untuk Kak Dandi. Tangisan yang terasa begitu pahit dan pedih.
“Nak, Asta… kami menemukan sebuah surat
diatas ranjang.” Seorang petugas mendekat dan menyerahkan sepucuk surat beramplop
abu-abu….
Kak Asta melepas pelukanku lalu
menyerahkan surat itu kepadaku…
“Lebih baik kamu yang baca, Ra.”
Ucapnya.
Aku mengangguk lalu dengan sigap
mengambil surat itu dan membukanya…
Ara…
asta… maafkan aku. Mungkin ketika kalian menemukan suratku, aku sudah tak ada
lagi didunia ini.
Untuk
Ara… Kak Dandi cuma mau bilang kalau Kak Dandi cinta sama Ara. Kak Dandi…
sayaaaaaang banget sama Ara.
Tapi
mungkin semua terlambat… tadi, Kak Dandi dengar dari luar ruang besuk kalau Ara
menyatakan cinta pada Asta. Kak Dandi nggak sanggup, Ra, kalau melihat kamu
menjadi milik Asta. Mungkin lebih baik begini… doakan saja Kak Dandi agar
mendapat seorang bidadari penggantimu disurga kelak…
Dan
untuk Asta, aku mohon sama kamu jaga Ara baik-baik ya… kamu beruntung
mendapatkan Ara, gadis yang kucintai karena senyumnya yang indah itu. Ingat,
Ta! Akan kukenang selalu persahabatan kita walaupun aku telah tiada…
Sampai
jumpa disurga, Ra… Ta…
Pardandi Nasuha
Aku kembali memeluk Kak Asta… “Kak Dandi salah paham
sama kita, Kak…” isakku. “Mungkin dia tadi langsung pergi tanpa mendengarkan
kelanjutan pembicaraan kita…”
Kak Asta membalas pelukanku dengan rapat. “Dandi…”
rintihnya.
Aku dan Kak Asta terus berpelukan… saling membagi
kesedihan kami berdua yang harus kehilangan seorang sahabat… sekaligus kehilangan
seseorang yang mulai kucintai….
*
* * * *
Tak mungkin
menyalahkan waktu…
Tak mungkin
menyalahkan keadaan…
Kau datang
disaat ku membutuhkanmu…
Dari masalah
hidupku bersamanya.
Semakin
kumenyayangimu.
Semakin ku harus…
melepasmu dari hidupku…
Tak ingin
lukai hatimu, lebih dari ini.
Kita tak
mungkin terus bersama.
Suatu saat
nanti kau kan dapatkan…
Seorang yang
akan dampingi hidupmu.
Biarkan ini
menjadi kenangan.
Dua hati yang
tak pernah menyatu…
Maafkan aku…
yang membiarkanmu masuk kedalam hiduku ini.
Maafkan aku…
yang harus melepasmu, walau ku tak ingin…
*
* * * *