CINTA DIANTARA HIJAB
Pagi
baru menjelang di kota Bandarlampung. Seorang gadis cantik berambut hitam lurus
dengan panjang sepinggang, terlihat berlari kecil menelusuri koridor menuju
kelasnya yang berada dilantai dua SMA Negeri 9 Bandarlampung ini. Sesekali
disenyuminya beberapa orang yang ia jumpai di sepanjang koridor itu, sambil
terus memburu langkah.
Namun
langkah kaki gadis bernama Silvia itu terhenti seketika, begitu dilihatnya
sosok sang pujaan hati, Davi, yang tengah duduk disalah satu bangku yang ada
disisi koridor menuju tangga sambil membaca buku. Dihampirinya Davi saat itu
juga.
“Hai,
Dav,” sapa Silvia ramah lalu bergegas mengambil posisi duduk di samping Davi,
namun Davi malah menggeser posisi duduknya sehingga sedikit menjauh dari Silvia.
Kontan hal itu membuat Silvia jadi manyun. “Kenapa sih, Dav? Kok ngejauh gitu
dari gue?” sungut Silvia kesal.
“Diantara
cewek sama cowok itu ada hijab, Sil.Nggak boleh dilanggar. Kita bukan muhrim.” Ujar
Davi dengan mata yang masih tertuju lurus pada buku.
Silvia
menghela nafas panjang. Ini nih susahnya jatuh cinta sama ketua rohis!
Ngedeketinnya aja susah banget, rutuk batin Silvia.
Silvia
pun bangkit dari duduknya, “ya udah deh, gue duluan ya, Dav.” Ucap Silvia
kemudian berbalik, namun baru saja selangkah berjalan suara Davi kembali
terdengar.
“Salamnya
mana, Sil?”
Silvia
mendelik geram lalu berbalik menghadap Davi, “Assalamu’alaikum, Dav. Gue pergi
dulu yaaaaa…” kata Silvia dengan nada manis setengah dongkol lalu buru-buru
melangkah pergi dari tempat itu.
Sepeninggal
Silvia, Davi tak bisa menyembunyikan senyum gelinya melihat tingkah laku gadis
satu itu.
Silvia,
Davi tahu, gadis itu sudah lama menyukainya. Terbukti dengan perhatian lebih
yang Silvia berikan selama ini terhadap Davi. Bahkan tak jarang, di depan Davi,
Silvia cenderung terang-terangan menunjukkan sikap bahwa ia tengah “mengejar”
Davi mati-matian. Tak peduli, mau Davi atau suka atau tidak.
Jujur,
Davi tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia juga menyukai Silvia, sangat
menyukai malah. Sikap gadis itu, tingkahnya, tutur katanya, mampu membuat Davi
memikirkannya semalam suntuk sambil senyum-senyum sendiri.
Namun
Davi sadar, posisinya sebagai ketua rohis yang merupakan organisasi islam di
sekolah, tak memungkinkan dirinya untuk “memiliki” Silvia. Rohis melarang keras
seluruh anggotanya untuk saling berdekatan dengan lawan jenis bahkan
berpacaran.
Sebagai
ketua, Davi harus memberi contoh yang baik bagi seluruh anggotanya, bukan? Jadi
mungkin sekarang, Davi harus menyimpan dulu perasaannya dalam hati hingga
datang waktu yang tepat kelak.
Teeeet! Davi tersadar
dari lamunannya dan bergegas beranjak dari kursi yang ia duduki karena bunyi
bel masuk telah terdengar. Dilangkahkannya kaki menuju lantai dua, tempat ruangan
kelasnya yaitu XII IPA 4, berada. Sekaligus tempat yang akan membuat ia dan
Silvia berada dalam satu ruangan yang sama dalam beberapa jam kedepan.
* * * *
“Davi!
Davi! Mau ke mushola ya, Dav? Gue ikut ya?” berondong Silvia sambil mencoba
menjajari langkah Davi menuruni tangga. Namun Davi hanya bergeming tetap dengan
wajah datarnya.
“Dav,
boleh kan gue ikut ke mushola?” tanya Silvia sekali lagi, tetap tak menyerah
sampai Davi mau buka mulut.
“Siapa
aja boleh datang ke mushola, Sil.Itu rumah Allah.” Jawab Davi akhirnya, membuat
Silvia hanya mampu tersenyum simpul. Akhirnya ia berhasil membuat Davi buka
mulut juga! “Oh ya, Sil. Gue mau ngomong, boleh?” tanya Davi tiba-tiba, Silvia
langsung tergeragap. Tumben-tumbenan Davi mau ngajak gue ngomong duluan!
Biasanya, di keluarin jampi-jampi dulu baru nih anak mau ngomong. Batin Silvia.
“Oh,
boleh kok, Dav, mau ngomong apa?” jawab Silvia akhirnya.
“Elo
tuh cantik, Sil,” ujar Davi masih dengan mata memandang lurus ke depan, ke arah
jalanan koridor, bukannya menatap Silvia.
Swing-swing-swing! Hati Silvia
serasa terbang mendengar kalimat dari bibir Davi barusan, dan pipinya kontan
menyemu menjadi merah-ungu karena menahan malu. Davi bilang apa tadi? Bilang
kalau Silvia cantik? Mimpi apa Silvia! Ya ampun!
“Tapi lebih cantik lagi kalo lo pake jilbab.” Sambung Davi.
“Tapi lebih cantik lagi kalo lo pake jilbab.” Sambung Davi.
Jger! Kali ini kepala Silvia terasa
tersambar petir. Senyum di wajahnya hilang seketika. Pakai jilbab kata Davi? Silvia
saja belum pernah terpikir sedikit pun untuk mengenakan jilbab. Silvia tak
sanggup untuk membayangkan, bagaimana jika wajah bundar dan pipi gempalnya itu
terbungkus dengan jilbab. Pasti gue keliatannya gemuk banget! Batin Silvia.
“Tapi,
Dav…,”
“Gue
lebih suka cewek yang pakai jilbab loh, Sil. Kelihatannya tuh lebih ‘mahal’
dari pada cewek yang nggak pakai jilbab. Soalnya kalo cewek yang pake jilbab
kan, auratnya terjaga, nggak diliatin kemana-mana.”
Mendengar
kalimat Davi barusan, kontan Silvia menghentikan langkahnya dan membiarkan Davi
pergi menuju mushola sendirian, tanpa bersisian lagi dengannya.
Silvia
pun hanya mampu terpaku di tempat, sambil memandang punggung Davi yang perlahan
menjauh lalu menghilang.
Dan
setelah berpikir lumayan lama, di otak Silvia akhirnya kini tercetak sebuah
kalimat dengan huruf-huruf kapital: MULAI BESOK GUE HARUS PAKE JILBAB!
* * * *
“Ih,
Silvia ya? Lo pake jilbab, Sil? Ya ampun, tambah cantik deh.” Silvia hanya
mampu tersenyum mendengar lontaran kalimat dari Dara, anak kelas XII IPS yang
berpapasan dengannya di tangga. Dara adalah orang kesekian yang memberikan
komentar yang sama pada Silvia, yang Silvia temui di sepanjang perjalanan
Silvia dari pintu gerbang sekolah hingga tangga menuju lantai dua. Semuanya
memberikan komentar positif. Ada yang bilang Silvia tambah cantik kalo pake
jilbab, ada yang bilang Silvia malah kelihatan lebih kurus, dan lain
sebagainya.
“Bener
kan kata gue. Lo lebih cantik kalo pake jilbab!” seloroh Davi tiba-tiba saat
Silvia baru saja menjejakkan tubuhnya di kursi kelas.
Silvia
tersenyum mendengar pujian itu, “makasih, Dav. Gue juga ngelakuin ini demi
elo.” Kata Silvia jujur tanpa sungkan.
“Gue
harap bukan cuma karena gue, Sil. Tapi juga karena Allah.” Setelah berkata
seperti itu, Davi pun melenggang pergi menuju bangkunya yang terletak tepat di
depan bangku Silvia. Sedangkan Silvia hanya mampu terbengong-bengong. Dasar
Davi! Nggak pernah berubah!
* * * *
Jam
istirahat tiba, setelah membereskan bukunya dari atas meja, Silvia buru-buru
meraih bungkusan kecil yang ia letakkan di kolong mejanya dan mengejar Davi
yang baru saja keluar kelas, hendak menuju mushola.
“Dav!
Davi!” teriak Silvia. Davi pun menghentikan langkahnya. “Ini buat elo.” Silvia
menyodorkan bungkusan kecil yang dibawanya tadi pada Davi.
Alis
Davi pun bertaut sambil menatap heran pada bungkusan yang disodorkan Silvia. “Ini
apa?”
“Mi
goreng. Spesial gue bikinin buat elo.”
“Oh,
makasih, Sil. Gue masih kenyang.” Davi pun berbalik hendak melanjutkan
langkahnya namun Silvia keburu mencekal tangan cowok itu.
“Dav!
Terima dong. Gue kan udah buatin ini buat elo. Anggep aja sebagai tanda
terimakasih gue karena elo udah bikin gue mau pake jilbab.”
Davi
menghentak dengan kasar tangan Silvia yang memegangi tangannya. “Sil!Apa-apaan
sih lo pegang-pegang gue. Kita bukan muhrim!” sentak Davi yang kontan membuat
wajah Silvia mendung.
“Gue
nggak akan begini kalo lo nggak nolak pemberian gue, Dav!” kilah Silvia balik.
Untung keadaan koridor saat itu sedang sepi, sehingga pertengkaran antara Davi
dan Silvia tak diketahui siapapun.
“Kok
lo jadi maksa gue sih, Sil? Kalo gue bilang nggak mau, ya nggak mau!”
“Dav…,”
“Sil,
lo nggak capek apa ngejer-ngejer gue terus?” potong Davi sebelum Silvia
melanjutkan kalimatnya, membuat Silvia kaget bukan main.
“Dav,
lo ngomong apa sih?”
“Sil,
gue tahu lo suka sama gue, tapi bukan gini caranya. Gue ini ketua rohis, Sil.
Nggak baik diliat orang deket-deket sama cewek. Lo mau gue di pecat jadi ketua
cuma gara-gara gue deket sama elo?”
Silvia
diam, Air matanya tak mampu lagi terbendung mendengar perkataan Davi barusan. Perkataan
itu telah mengiris batinnya hingga ke dasar yang paling dalam. Jadi selama ini
Davi hanya menganggap Silvia sebagai benalu dalam hidupnya? Jahat sekali Davi!
“Dav,
apa sih kurangnya gue? Gue udah ngelakuin semuanya buat ngeluluhin hati lo!
Sampe-sampe gue rela pake jilbab demi elo.” Silvia mencengkeram kain bagian
bawah jilbabnya yang menjuntai, lalu mengacung-ngacungkannya pada Davi.
“Sil,”
kali ini suara Davi mulai melembut, melihat Silvia menangis sungguh membuat
Davi terpukul. Betapa bodohnya ia telah membuat gadis yang ia cintai menangis
seperti ini. “Satu hal yang perlu lo tahu,” bisik Davi pelan tepat di depan
wajah Silvia. “Gue juga suka sama lo. Gue juga sayang sama lo. Tapi…, ini bukan
waktu yang tepat untuk menyatukan cinta kita berdua.”
Air
mata Silvia sedikit menyurut mendengar penuturan Davi barusan. Berani,
ditegakkannya kepala, demi menatap wajah Davi yang kini juga tengah menatapnya.
“Jadi…, selama ini elo…,”
“Iya,”
Davi mengangguk sambil tersenyum. “Gue juga suka sama elo. Maafin gue ya, Sil,
selama ini gue mencoba menutupi semua itu dengan bersikap dingin sama lo. Gue
cuma nggak mau kalo…,”
“Iya,
gue ngerti.” Kali ini Silvia juga tersenyum. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang
masih menggantung di kelopak matanya. “Maafin gue juga kalo selama ini elo
ngerasa nggak nyaman sama sikap gue, Dav.”
“Tapi
gue janji sil,” kali ini sinar mata Davi berubah menjadi begitu serius. “Suatu
hari nanti kita pasti akan bersatu. Gue janji. Pegang janji gue.”
Silvia
mengangguk-nganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Ingin sekali rasanya
ia memeluk Davi saat ini juga, namun sayang itu tak mungkin.
“Kalo
gitu, gue ke mushola dulu ya, daaah.” Davi pun kembali melanjutkan
perjalanannya menuju mushola. Sedangkan Silvia, terpaku di tempatnya, sambil
menatap kepergian Davi dengan senyum manis yang
tercetak diwajah.
* * * *
Baru
kali ini, Silvia berangkat ke sekolah dengan perasaan yang begitu ringan dan
bahagia. Rasanya, semua beban yang selama ini terbeban di pundaknya telah
menguap, menghilang. Karena kini, Silvia telah mengetahui, apa jawaban dari
cintanya. Ia tak perlu lagi takut dihantui rasa ketar-ketir dan khawatir. Yang
tersisa hanya lah rasa rasa bahagia yang menyemai dihatinya.
Silvia
tiba di kelas, dan mendapati Davi tengah duduk di kerumunan teman-temannya.
Bergegas Silvia menghampiri dengan senyum sumringah nan manja. “Selamat pagi,
Dav.” Ucap Silvia. Kontan Davi yang tengah asyik berbincang dengan
teman-temannya menghentikan obrolannya sesaat lalu menatap Silvia dengan
tatapan datar bahkan enggan. Datar? Enggan? Davi? Kenapa dia?
“Sil,
jangan ganggu gue deh.Gue lagi sibuk.” Kata Davi singkat, lalu kembali
melanjutkan pembicaraannya bersama teman-temannya. Detik itu juga, tubuh Silvia
terasa begitu lemas. Rasa bahagia yang sejak kemarin tumbuh dihatinya, kini
seolah tertunduk layu. Kenapa Davi bersikap seperti ini lagi? Bukankah dia
kemarin bilang bahwa ia…,
Silvia
menghentak kakinya kesal lalu beranjak pergi dari kerumunan Davi dan
teman-temannya dengan wajah mendung bukan main. Davi! Jahat banget sih lo!
* * * *
“Dav!
Tunggu! Gue mau ngomong!” Cegat Silvia pada Davi tepat ketika Davi baru saja
hendak menuruni anak tangga. Davi kontan menghentikan langkahnya, karena kini
Silvia berdiri tepat di depannya, menghalangi jalannya.
“Ngomong
apa lagi sih, Sil?” tanggap Davi enggan sambil membuang muka.
“Lo
kenapa sih hari ini? Kenapa sikap lo berubah lagi sama gue? Bukannya kemarin…,”
“Kemarin
apa? Hah?”
Silvia
tercengang. Davi! Teganya ia berbicara seperti itu. Apa ia sudah tak ingat lagi
dengan kejadian kemarin? Apa ia sudah tak ingat lagi, bahwa kemarin ia telah
membuat Silvia merasa terbang menembus tujuh nirwana karena tahu bahwa Davi
juga mencintainya? Davi…,
Tak
terasa air mata Silvia mulai menetes.
“Dav!
Jahat banget sih lo! Lo lupa kalau kemaren elo…,”
“Sil!
Mending sekarang elo jauhin gue deh! Gue capek! Gue nggak mau deket-deket lo
lagi. Permisi.” Davi mendorong pelan tubuh Silvia yang menghalangi jalannya,
lalu melenggang pergi seolah tanpa dosa.
Davi?
Elo kenapa, Dav? Tanya hati Silvia, air matanya masih tak kunjung berhenti. Elo
nyuruh gue buat ngejauhin elo? Tapi bukannya baru aja kemaren lo bilang kalo
elo cinta sama gue? Kenapa lo berubah secepat ini, Dav? Kenapa?
Silvia
terduduk lemas di atas anak tangga yang berada di bawah kakinya.Air matanya
menetes dengan begitu deras disana. Air mata yang jatuh untuk Davi dan
kenyataan pahit dalam hidupnya
* * * *
Tiga
bulan berlalu, tak terasa hari demi hari di lalui Silvia dengan begitu cepat. Perasaan
hatinya yang telah hancur berkeping-keping oleh Davi, dapat sedikit teralihkan
oleh kesibukan menghadapi Ujian Nasional. Namun tetap saja, begitu hari-hari
ujian itu telah berlalu, pikiran Silvia kembali di penuhi oleh bayang-bayang
Davi, tak ada lagi tempatnya untuk berlari dari kenyataan yang begitu pahit
ini.
Hari-hari
libur sesudah ujian yang Silvia lalui pun selalu disesaki oleh sosok Davi dalam
otaknya. Tiada sedetik pun waktu tanpa mengingat Davi. Davi… Davi… lelaki yang
begitu Silvia cintai.
“Sil,
udah disiapin belum sepatu buat sekolah besok?” Tegur Mama Silvia ketika pada
suatu malam, melihat sang anak tengah melamun di balkon rumah mereka.
Silvia
pun terlonjak kaget, namun buru-buru mengendalikan diri. “Eh…, mmm…, emang
besok sekolah ya, Ma?” tanya Silvia linglung.
“Ya
ampun, Sil. Besok itu penguman kelulusan. Kamu lupa?”
Plak! Silvia menepuk dahinya
kuat-kuat. Bagaimana bisa ia melupakan hal itu? Benar, besok kan penguman
kelulusan!
“Hehehe,
Silvia lupa, Ma.” Tawa Silvia garing.
“Ya
sudah, kamu siapkan dulu saja sana peralatan buat sekolah besok.”
“Sip,
Ma.” Silvia mengacungkan dua ibu jarinya di udara sambil tersenyum, lalu
bergegas menuju kamarnya, menyiapkan semua yang ia butuhkan esok hari.
* * * *
Pengumuman
kelulusan di SMA Negeri 9 Bandarlampung kini telah usai. Dengan mencatatkan
kelulusan 100% dengan peraih nilai tertinggi untuk jurusan IPA adalah Bima,
murid dari XII IPA 2. Sedangkan peraih nilai tertinggi di IPS adalah Hario,
murid dari XII IPS 3.
Silvia,
cukup puas dengan deretan angka 8 yang di dapatkannya. Setidaknya itu akan
menjadi bekal yang cukup baginya untuk mendaftar di Universitas Sriwijaya,
universitas dambaannya. Rencananya, di UNSRI, Silvia akan mengambil jurusan
kedokteran, sesuai dengan cita-citanya.
Silvia
yang tengah duduk di kantin sambil menikmati segelas es jeruk dan membaca berulang
kali kertas yang bertuliskan nilai-nilainya, sedikit terkejut mendapati
kedatangan Davi.
Davi?
Ke kantin? Seumur-umur Silvia mengenal Davi, Silvia nggak pernah melihat Davi
datang ke kantin. Soalnya, setiap istirahat, Davi selalu saja pergi ke mushola
bukan kantin. Tapi kali ini?
Silvia
yang melihat Davi mulai mendekat, berpura-pura cuek dan kembali memusatkan
perhatiannya pada kertas nilai yang sedang ia pegang. Pokoknya jangan sampai
matanya dan mata Davi bertemu.
Silvia
terus menundukkan kepalanya sambil membaca kertas nilai itu berulang kali,
menunggu Davi pergi. Tanpa ia sadari, Davi justru tengah mendekati meja
tempatnya duduk.
“Sil?”
panggil Davi.
Kontan
Silvia mendongak, dan betapa terkejutnya ia mendapati, ternyata Davi lah yang
berdiri disana.
“Davi?
Elo…,”
“Sil,
gue cuma pengen bilang sama elo, kalau suatu hari nanti, gue pasti bakal
nepatin janji gue sama elo, pasti! Kita akan bersatu, Sil, suatu hari nanti.”
setelah berkata demikian, Davi buru-buru pergi meninggalkan Silvia.Tanpa memberikan
Silvia kesempatan untuk menanggapi omongannya.
Sedangkan
Silvia, sepeninggal Davi, ia hanya terdiam di tempatnya dengan pikiran yang
super semrawut. Davi…, apa sih maksudnya berbicara seperti itu?
* * * *
6 tahun kemudian…
Sebuah
mobil sport berwarna hitam terlihat
memasuki lapangan parkir Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek, Bandarlampung.
Mobil yang tampak begitu elegant itu
berhenti di salah satu titik parkir yang masih sepi. Dan tak lama, keluarlah
sosok seorang wanita muda berusia 24 tahunan dari dalam mobil itu.
Usai
mengunci mobilnya, wanita itu bergegas berjalan masuk ke dalam rumah sakit
sambil mengenakan jas putih dokter miliknya.
“Selamat
pagi, Dokter Silvia Ayudita.” Sapa salah seorang resepsionis rumah sakit pada
wanita yang ternyata adalah Silvia itu. Silvia menyambut sapaan itu dengan
senyuman hangat.
Hari
ini, adalah hari pertama Silvia akan bekerja sebagai dokter yang sesungguhnya,
setelah hampir enam tahun ia menimba ilmu di Universitas Sriwijaya, Palembang.
Ternyata,
meski telah enam tahun lamanya berkelana ke Palembang, belum juga dapat membuat
Silvia dapat melupakan Davi. Meski selama enam tahun itu pula ia tak pernah
berkomunikasi atau bertemu dengan Davi sekalipun. Silvia hanya pernah mendengar
berita dari teman-temannya bahwa Davi di terima di IPDN (Institut Pemerintahan
Dalam Negeri)
Meski
di Palembang, tak sedikit pria yang mendekati Silvia, namun hal itu tetap juga tak
bisa mengusir Davi dari benaknya. Davi selalu melekat di pikiran bahkan hati
Silvia. Selalu…, dan entah sampai kapan…
Buk! Asik melamun sepanjang jalan
menuju ruangannya, Silvia tak melihat seorang pria tengah melintas di depannya,
hingga ia menabrak pria itu hingga jatuh tersungkur.
“Haduh,
Pak. Maaf ya, Bapak nggak apa-apa…, loh? Davi?” mata Silvia kontan terbelalak
begitu melihat dengan seksama wajah lelaki yang ditabraknya, itu kan Davi!
Panjang umur banget, lagi dipikirin eh orangnya nongol.Bisa kebetulan gitu ya?
“Silvia!?” Davi tak kalah terkejut. Davi buru-buru bangkit berdiri dan menatap Silvia dengan seksama. “Elo ngapain, Sil, disini?”
“Silvia!?” Davi tak kalah terkejut. Davi buru-buru bangkit berdiri dan menatap Silvia dengan seksama. “Elo ngapain, Sil, disini?”
“Loh,
gue kan dokter disini. Elo sendiri ngapain disini?”
“Gue
cuma cek kesehatan aja,” Davi tiba-tiba tersenyum. “Udah enam tahun ya, Sil, nggak
ketemu. Lo udah banyak berubah. Tambah cantik dibalik balutan jilbab.” Puji
Davi sambil meneliti Silvia dan ujung rambut hingga ujung kaki, yang tak urung
membuat pipi Silvia menyemu merah.
“Oh
ya, Dav, lo kerja dimana?” tanya Silvia kemudian.
“Gue
kerja di pemkot Bandarlampung, jadi kepala bagian administrasi.”
“Wah,
udah sukses dong sekarang.” Puji Silvia sambil tertawa kecil.
Davi
hanya membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kembali berkata, “Sil, gue boleh
minta nomor hape lo?”
“Oh
ya tentu, boleh kok.” Silvia mengeluarkan ponselnya dan mendiktekan nomornya ke
Davi. Selesai, Davi pun pamit.
“Gue
duluan ya, Sil, daaah. Entar gue telepon.”
* * * *
6
bulan berlalu semenjak Silvia kembali dekat dengan Davi.Ternyata sekarang Davi
sudah banyak berubah.Ia bukanlah Davi yang ketus, dingin, dan kasar seperti
waktu SMA dulu. Davi yang sekarang adalah Davi yang hangat, ramah, dan
menyenangkan, membuat Silvia tambah mencintai sosok pria itu.
Namun,
meski telah 6 bulan menjalin kedekatan. Tak ada sedikitpun tanda-tanda yang
ditunjukkan oleh Davi, bahwa ia akan meminta Silvia menjadi kekasihnya. Davi
seolah menggantungkan status antara dirinya dengan Silvia. Hal ini tentu
membuat Silvia tak nyaman. Tunggu apa lagi, Dav! Udah 6 bulan kita deket. Apa
kurang pedekate dalam waktu segitu? Sungut batin Silvia. Silvia pengen banget
buru-buru melepas status single-nya
dengan menjadi kekasih Davi. Tapi nggak mungkin kan kalau dia yang nembak Davi
duluan. Silvia kan cewek, masak mau mulai duluan! Gengsi dong!
Sedang
asyiknya melamun di ruang tamu rumahnya, tiba-tiba ponsel Silvia bergetar. Davi
menelepon!
“Halo, Dav?”
“Halo, Dav?”
“Sil,
besok lo bisa dateng ke rumah gue?”
“Oh,
bisa kok. Emang kenapa, Dav?”
Hening.Davi
belum juga menjawab.“Dav?” panggil Silvia sekali lagi, membuat Davi bangkit
dari lamunannya.
“Sebenernya…,
besok gue mau menikah, Sil.”
* * * *
Silvia
mematut dirinya di kaca. Silvia terlihat begitu cantik dengan balutan kebaya putih
dan jilbab modern yang ia kenakan, meski hatinya sedang tak sebaik
penampilannya. Hati Silvia kini telah hancur berkeping-keping! Berita
pernikahan Davi hari ini, seolah menjawab semua pertanyaan dibenak Silvia,
mengapa Davi tak kunjung meminta Silvia menjadi kekasihnya. Ternyata Davi telah
memiliki calon istri.
Sebenarnya
Silvia tak mau datang ke pesta pernikahan Davi hari ini, karena itu hanya akan
membuat hatinya semakin perih. Namun, rasa penasaran Silvia akan calon istri
Davi, mendesak Silvia untuk mau tak mau datang ke pesta itu.
Setibanya
di rumah Davi, ternyata undangan telah ramai. Dan ternyata, acara akad nikah
baru akan segera dimulai. Silvia sempat menangkap sosok Davi yang mengenakan
jas putih dan tengah berdiri sendirian di dekat meja tempat akad akan
dilangsungkan dengan muka ketar ketir. Silvia bisa menebak, Davi pasti sedang menunggu
calon istrinya.
Silvia
berbalik, dan memutuskan untuk duduk di luar rumah saja, ia tak sanggup melihat
secara langsung Davi menikahi gadis lain selain dirinya. Namun, baru saja
hendak mencicipi empuknya bangku yang disediakan di luar rumah Davi, tangan
Silvia tiba-tiba di cekal seseorang.
“Davi?”
Silvia keheranan, melihat ternyata Davi lah yang mencekal tangannya.
“Sil,
lo kemana aja? Dari tadi gue nyariin lo!”
Alis Silvia bertaut. “Nyariin gue? Buat apa, Dav? Seharusnya elo nyariin calon istri lo!”
Alis Silvia bertaut. “Nyariin gue? Buat apa, Dav? Seharusnya elo nyariin calon istri lo!”
“Sil,
dengerin gue baik-baik ya,” Davi menatap mata Silvia dalam-dalam. “Calon istri
gue itu ya elo!”
“APA???!!”
“Sebelumnya
gue minta maaf, Sil, udah nyembunyiin ini dari lo. Makanya, waktu kemarin lo
tanya, siapa calon istri gue, gue nggak mau jawab dulu. Gue cuma mau ngasih
kejutan.”
“Dav,
gue masih nggak ngeti.” Ucap Silvia jujur.
“Sil,
sebenernya sejak enam tahun yang lalu, gue udah ngerencanain hal ini,” Davi
menggenggam tangan Silvia erat. “Gue pengen elo yang jadi pendamping hidup gue.
Makanya gue ngerencanain hal ini mateng-mateng. Gue sengaja, dulu, nyuruh elo
jauhin gue, karena posisi gue waktu itu masih sebagai ketua rohis, dan waktu
itu…, gue belum sukses seperti sekarang, Sil. Gue nggak mau deketin elo,
sebelum gue sukses karena gue pengen ngebuat elo bahagia. Lo inget kan gue
pernah janji sama lo bahwa kita akan bersatu suatu saat nanti? Sekarang gue
akan bener-bener nepatin janji gue, Sil.”
“Tapi,
Dav, selama ini lo nggak pernah minta gue buat jadi pacar lo!”
Davi
tertawa kecil. “Sil, justru itu yang gue mau. Gue nggak mau ada kata ‘pacaran’
antara kita. Karena itu nggak ada di dalam agama. Gue mau elo langsung jadi
istri gue, Sil. Makanya selama ini, gue nggak pernah minta elo jadi pacar gue. Gue
pengen tetep jaga hijab antara elo sama gue.”
Air
mata Silvia pun menetes. Namun tak seperti 6 tahun yang lalu, air mata Silvia
kali ini adalah air mata haru sekaligus bahagia, bukan air mata kesedihan dan
kekecewaan.
“Sil,
elo mau kan jadi istri gue?” tanya Davi sekali lagi.
Silvia
pun mengangguk antusias sambil tersenyum.
Davi
pun ikut tersenyum melihat anggukan kepala Silvia itu dan langsung menggandeng
tangan Silvia mendekati meja akad nikah, tempat penghulu telah menunggu mereka
berdua.
* * * *
“Ketika
kau percaya, bahwa cinta itu ada, maka bahagia lah yang akan kau dapat pada
akhirnya…”
so sweett....:)
BalasHapusWah mantep hin cerpennya, original kah ? hehehe
BalasHapusoriginal lah ;) jelas ;)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus