Jumat, 01 Maret 2013

cinta diantara hijab (cerpen)



CINTA DIANTARA HIJAB
Pagi baru menjelang di kota Bandarlampung. Seorang gadis cantik berambut hitam lurus dengan panjang sepinggang, terlihat berlari kecil menelusuri koridor menuju kelasnya yang berada dilantai dua SMA Negeri 9 Bandarlampung ini. Sesekali disenyuminya beberapa orang yang ia jumpai di sepanjang koridor itu, sambil terus memburu langkah.
Namun langkah kaki gadis bernama Silvia itu terhenti seketika, begitu dilihatnya sosok sang pujaan hati, Davi, yang tengah duduk disalah satu bangku yang ada disisi koridor menuju tangga sambil membaca buku. Dihampirinya Davi saat itu juga.
“Hai, Dav,” sapa Silvia ramah lalu bergegas mengambil posisi duduk di samping Davi, namun Davi malah menggeser posisi duduknya sehingga sedikit menjauh dari Silvia. Kontan hal itu membuat Silvia jadi manyun. “Kenapa sih, Dav? Kok ngejauh gitu dari gue?” sungut Silvia kesal.
“Diantara cewek sama cowok itu ada hijab, Sil.Nggak boleh dilanggar. Kita bukan muhrim.” Ujar Davi dengan mata yang masih tertuju lurus pada buku.
Silvia menghela nafas panjang. Ini nih susahnya jatuh cinta sama ketua rohis! Ngedeketinnya aja susah banget, rutuk batin Silvia.
Silvia pun bangkit dari duduknya, “ya udah deh, gue duluan ya, Dav.” Ucap Silvia kemudian berbalik, namun baru saja selangkah berjalan suara Davi kembali terdengar.
“Salamnya mana, Sil?”
Silvia mendelik geram lalu berbalik menghadap Davi, “Assalamu’alaikum, Dav. Gue pergi dulu yaaaaa…” kata Silvia dengan nada manis setengah dongkol lalu buru-buru melangkah pergi dari tempat itu.
Sepeninggal Silvia, Davi tak bisa menyembunyikan senyum gelinya melihat tingkah laku gadis satu itu.
Silvia, Davi tahu, gadis itu sudah lama menyukainya. Terbukti dengan perhatian lebih yang Silvia berikan selama ini terhadap Davi. Bahkan tak jarang, di depan Davi, Silvia cenderung terang-terangan menunjukkan sikap bahwa ia tengah “mengejar” Davi mati-matian. Tak peduli, mau Davi atau suka atau tidak.
Jujur, Davi tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia juga menyukai Silvia, sangat menyukai malah. Sikap gadis itu, tingkahnya, tutur katanya, mampu membuat Davi memikirkannya semalam suntuk sambil senyum-senyum sendiri.
Namun Davi sadar, posisinya sebagai ketua rohis yang merupakan organisasi islam di sekolah, tak memungkinkan dirinya untuk “memiliki” Silvia. Rohis melarang keras seluruh anggotanya untuk saling berdekatan dengan lawan jenis bahkan berpacaran.
Sebagai ketua, Davi harus memberi contoh yang baik bagi seluruh anggotanya, bukan? Jadi mungkin sekarang, Davi harus menyimpan dulu perasaannya dalam hati hingga datang waktu yang tepat kelak.
Teeeet! Davi tersadar dari lamunannya dan bergegas beranjak dari kursi yang ia duduki karena bunyi bel masuk telah terdengar. Dilangkahkannya kaki menuju lantai dua, tempat ruangan kelasnya yaitu XII IPA 4, berada. Sekaligus tempat yang akan membuat ia dan Silvia berada dalam satu ruangan yang sama dalam beberapa jam kedepan.
* * * *
“Davi! Davi! Mau ke mushola ya, Dav? Gue ikut ya?” berondong Silvia sambil mencoba menjajari langkah Davi menuruni tangga. Namun Davi hanya bergeming tetap dengan wajah datarnya.
“Dav, boleh kan gue ikut ke mushola?” tanya Silvia sekali lagi, tetap tak menyerah sampai Davi mau buka mulut.
“Siapa aja boleh datang ke mushola, Sil.Itu rumah Allah.” Jawab Davi akhirnya, membuat Silvia hanya mampu tersenyum simpul. Akhirnya ia berhasil membuat Davi buka mulut juga! “Oh ya, Sil. Gue mau ngomong, boleh?” tanya Davi tiba-tiba, Silvia langsung tergeragap. Tumben-tumbenan Davi mau ngajak gue ngomong duluan! Biasanya, di keluarin jampi-jampi dulu baru nih anak mau ngomong. Batin Silvia.
“Oh, boleh kok, Dav, mau ngomong apa?” jawab Silvia akhirnya.
“Elo tuh cantik, Sil,” ujar Davi masih dengan mata memandang lurus ke depan, ke arah jalanan koridor, bukannya menatap Silvia.
Swing-swing-swing! Hati Silvia serasa terbang mendengar kalimat dari bibir Davi barusan, dan pipinya kontan menyemu menjadi merah-ungu karena menahan malu. Davi bilang apa tadi? Bilang kalau Silvia cantik? Mimpi apa Silvia! Ya ampun!
“Tapi lebih cantik lagi kalo lo pake jilbab.” Sambung Davi.
Jger! Kali ini kepala Silvia terasa tersambar petir. Senyum di wajahnya hilang seketika. Pakai jilbab kata Davi? Silvia saja belum pernah terpikir sedikit pun untuk mengenakan jilbab. Silvia tak sanggup untuk membayangkan, bagaimana jika wajah bundar dan pipi gempalnya itu terbungkus dengan jilbab. Pasti gue keliatannya gemuk banget! Batin Silvia.
“Tapi, Dav…,”
“Gue lebih suka cewek yang pakai jilbab loh, Sil. Kelihatannya tuh lebih ‘mahal’ dari pada cewek yang nggak pakai jilbab. Soalnya kalo cewek yang pake jilbab kan, auratnya terjaga, nggak diliatin kemana-mana.”
Mendengar kalimat Davi barusan, kontan Silvia menghentikan langkahnya dan membiarkan Davi pergi menuju mushola sendirian, tanpa bersisian lagi dengannya.
Silvia pun hanya mampu terpaku di tempat, sambil memandang punggung Davi yang perlahan menjauh lalu menghilang.
Dan setelah berpikir lumayan lama, di otak Silvia akhirnya kini tercetak sebuah kalimat dengan huruf-huruf kapital: MULAI BESOK GUE HARUS PAKE JILBAB!
* * * *
“Ih, Silvia ya? Lo pake jilbab, Sil? Ya ampun, tambah cantik deh.” Silvia hanya mampu tersenyum mendengar lontaran kalimat dari Dara, anak kelas XII IPS yang berpapasan dengannya di tangga. Dara adalah orang kesekian yang memberikan komentar yang sama pada Silvia, yang Silvia temui di sepanjang perjalanan Silvia dari pintu gerbang sekolah hingga tangga menuju lantai dua. Semuanya memberikan komentar positif. Ada yang bilang Silvia tambah cantik kalo pake jilbab, ada yang bilang Silvia malah kelihatan lebih kurus, dan lain sebagainya.
“Bener kan kata gue. Lo lebih cantik kalo pake jilbab!” seloroh Davi tiba-tiba saat Silvia baru saja menjejakkan tubuhnya di kursi kelas.
Silvia tersenyum mendengar pujian itu, “makasih, Dav. Gue juga ngelakuin ini demi elo.” Kata Silvia jujur tanpa sungkan.
“Gue harap bukan cuma karena gue, Sil. Tapi juga karena Allah.” Setelah berkata seperti itu, Davi pun melenggang pergi menuju bangkunya yang terletak tepat di depan bangku Silvia. Sedangkan Silvia hanya mampu terbengong-bengong. Dasar Davi! Nggak pernah berubah!
* * * *
Jam istirahat tiba, setelah membereskan bukunya dari atas meja, Silvia buru-buru meraih bungkusan kecil yang ia letakkan di kolong mejanya dan mengejar Davi yang baru saja keluar kelas, hendak menuju mushola.
“Dav! Davi!” teriak Silvia. Davi pun menghentikan langkahnya. “Ini buat elo.” Silvia menyodorkan bungkusan kecil yang dibawanya tadi pada Davi.
Alis Davi pun bertaut sambil menatap heran pada bungkusan yang disodorkan Silvia. “Ini apa?”
“Mi goreng. Spesial gue bikinin buat elo.”
“Oh, makasih, Sil. Gue masih kenyang.” Davi pun berbalik hendak melanjutkan langkahnya namun Silvia keburu mencekal tangan cowok itu.
“Dav! Terima dong. Gue kan udah buatin ini buat elo. Anggep aja sebagai tanda terimakasih gue karena elo udah bikin gue mau pake jilbab.”
Davi menghentak dengan kasar tangan Silvia yang memegangi tangannya. “Sil!Apa-apaan sih lo pegang-pegang gue. Kita bukan muhrim!” sentak Davi yang kontan membuat wajah Silvia mendung.
“Gue nggak akan begini kalo lo nggak nolak pemberian gue, Dav!” kilah Silvia balik. Untung keadaan koridor saat itu sedang sepi, sehingga pertengkaran antara Davi dan Silvia tak diketahui siapapun.
“Kok lo jadi maksa gue sih, Sil? Kalo gue bilang nggak mau, ya nggak mau!”
“Dav…,”
“Sil, lo nggak capek apa ngejer-ngejer gue terus?” potong Davi sebelum Silvia melanjutkan kalimatnya, membuat Silvia kaget bukan main.
“Dav, lo ngomong apa sih?”
“Sil, gue tahu lo suka sama gue, tapi bukan gini caranya. Gue ini ketua rohis, Sil. Nggak baik diliat orang deket-deket sama cewek. Lo mau gue di pecat jadi ketua cuma gara-gara gue deket sama elo?”
Silvia diam, Air matanya tak mampu lagi terbendung mendengar perkataan Davi barusan. Perkataan itu telah mengiris batinnya hingga ke dasar yang paling dalam. Jadi selama ini Davi hanya menganggap Silvia sebagai benalu dalam hidupnya? Jahat sekali Davi!
“Dav, apa sih kurangnya gue? Gue udah ngelakuin semuanya buat ngeluluhin hati lo! Sampe-sampe gue rela pake jilbab demi elo.” Silvia mencengkeram kain bagian bawah jilbabnya yang menjuntai, lalu mengacung-ngacungkannya pada Davi.
“Sil,” kali ini suara Davi mulai melembut, melihat Silvia menangis sungguh membuat Davi terpukul. Betapa bodohnya ia telah membuat gadis yang ia cintai menangis seperti ini. “Satu hal yang perlu lo tahu,” bisik Davi pelan tepat di depan wajah Silvia. “Gue juga suka sama lo. Gue juga sayang sama lo. Tapi…, ini bukan waktu yang tepat untuk menyatukan cinta kita berdua.”
Air mata Silvia sedikit menyurut mendengar penuturan Davi barusan. Berani, ditegakkannya kepala, demi menatap wajah Davi yang kini juga tengah menatapnya. “Jadi…, selama ini elo…,”
“Iya,” Davi mengangguk sambil tersenyum. “Gue juga suka sama elo. Maafin gue ya, Sil, selama ini gue mencoba menutupi semua itu dengan bersikap dingin sama lo. Gue cuma nggak mau kalo…,”
“Iya, gue ngerti.” Kali ini Silvia juga tersenyum. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang masih menggantung di kelopak matanya. “Maafin gue juga kalo selama ini elo ngerasa nggak nyaman sama sikap gue, Dav.”
“Tapi gue janji sil,” kali ini sinar mata Davi berubah menjadi begitu serius. “Suatu hari nanti kita pasti akan bersatu. Gue janji. Pegang janji gue.”
Silvia mengangguk-nganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Ingin sekali rasanya ia memeluk Davi saat ini juga, namun sayang itu tak mungkin.
“Kalo gitu, gue ke mushola dulu ya, daaah.” Davi pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju mushola. Sedangkan Silvia, terpaku di tempatnya, sambil menatap kepergian Davi dengan senyum manis yang  tercetak diwajah.
* * * *
Baru kali ini, Silvia berangkat ke sekolah dengan perasaan yang begitu ringan dan bahagia. Rasanya, semua beban yang selama ini terbeban di pundaknya telah menguap, menghilang. Karena kini, Silvia telah mengetahui, apa jawaban dari cintanya. Ia tak perlu lagi takut dihantui rasa ketar-ketir dan khawatir. Yang tersisa hanya lah rasa rasa bahagia yang menyemai dihatinya.
Silvia tiba di kelas, dan mendapati Davi tengah duduk di kerumunan teman-temannya. Bergegas Silvia menghampiri dengan senyum sumringah nan manja. “Selamat pagi, Dav.” Ucap Silvia. Kontan Davi yang tengah asyik berbincang dengan teman-temannya menghentikan obrolannya sesaat lalu menatap Silvia dengan tatapan datar bahkan enggan. Datar? Enggan? Davi? Kenapa dia?
“Sil, jangan ganggu gue deh.Gue lagi sibuk.” Kata Davi singkat, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya bersama teman-temannya. Detik itu juga, tubuh Silvia terasa begitu lemas. Rasa bahagia yang sejak kemarin tumbuh dihatinya, kini seolah tertunduk layu. Kenapa Davi bersikap seperti ini lagi? Bukankah dia kemarin bilang bahwa ia…,
Silvia menghentak kakinya kesal lalu beranjak pergi dari kerumunan Davi dan teman-temannya dengan wajah mendung bukan main. Davi! Jahat banget sih lo!
* * * *
“Dav! Tunggu! Gue mau ngomong!” Cegat Silvia pada Davi tepat ketika Davi baru saja hendak menuruni anak tangga. Davi kontan menghentikan langkahnya, karena kini Silvia berdiri tepat di depannya, menghalangi jalannya.
“Ngomong apa lagi sih, Sil?” tanggap Davi enggan sambil membuang muka.
“Lo kenapa sih hari ini? Kenapa sikap lo berubah lagi sama gue? Bukannya kemarin…,”
“Kemarin apa? Hah?”
Silvia tercengang. Davi! Teganya ia berbicara seperti itu. Apa ia sudah tak ingat lagi dengan kejadian kemarin? Apa ia sudah tak ingat lagi, bahwa kemarin ia telah membuat Silvia merasa terbang menembus tujuh nirwana karena tahu bahwa Davi juga mencintainya? Davi…,
Tak terasa air mata Silvia mulai menetes.
“Dav! Jahat banget sih lo! Lo lupa kalau kemaren elo…,”
“Sil! Mending sekarang elo jauhin gue deh! Gue capek! Gue nggak mau deket-deket lo lagi. Permisi.” Davi mendorong pelan tubuh Silvia yang menghalangi jalannya, lalu melenggang pergi seolah tanpa dosa.
Davi? Elo kenapa, Dav? Tanya hati Silvia, air matanya masih tak kunjung berhenti. Elo nyuruh gue buat ngejauhin elo? Tapi bukannya baru aja kemaren lo bilang kalo elo cinta sama gue? Kenapa lo berubah secepat ini, Dav? Kenapa?
Silvia terduduk lemas di atas anak tangga yang berada di bawah kakinya.Air matanya menetes dengan begitu deras disana. Air mata yang jatuh untuk Davi dan kenyataan pahit dalam hidupnya
* * * *
Tiga bulan berlalu, tak terasa hari demi hari di lalui Silvia dengan begitu cepat. Perasaan hatinya yang telah hancur berkeping-keping oleh Davi, dapat sedikit teralihkan oleh kesibukan menghadapi Ujian Nasional. Namun tetap saja, begitu hari-hari ujian itu telah berlalu, pikiran Silvia kembali di penuhi oleh bayang-bayang Davi, tak ada lagi tempatnya untuk berlari dari kenyataan yang begitu pahit ini.
Hari-hari libur sesudah ujian yang Silvia lalui pun selalu disesaki oleh sosok Davi dalam otaknya. Tiada sedetik pun waktu tanpa mengingat Davi. Davi… Davi… lelaki yang begitu Silvia cintai.
“Sil, udah disiapin belum sepatu buat sekolah besok?” Tegur Mama Silvia ketika pada suatu malam, melihat sang anak tengah melamun di balkon rumah mereka.
Silvia pun terlonjak kaget, namun buru-buru mengendalikan diri. “Eh…, mmm…, emang besok sekolah ya, Ma?” tanya Silvia linglung.
“Ya ampun, Sil. Besok itu penguman kelulusan. Kamu lupa?”
Plak! Silvia menepuk dahinya kuat-kuat. Bagaimana bisa ia melupakan hal itu? Benar, besok kan penguman kelulusan!
“Hehehe, Silvia lupa, Ma.” Tawa Silvia garing.
“Ya sudah, kamu siapkan dulu saja sana peralatan buat sekolah besok.”
“Sip, Ma.” Silvia mengacungkan dua ibu jarinya di udara sambil tersenyum, lalu bergegas menuju kamarnya, menyiapkan semua yang ia butuhkan esok hari.
* * * *
Pengumuman kelulusan di SMA Negeri 9 Bandarlampung kini telah usai. Dengan mencatatkan kelulusan 100% dengan peraih nilai tertinggi untuk jurusan IPA adalah Bima, murid dari XII IPA 2. Sedangkan peraih nilai tertinggi di IPS adalah Hario, murid dari XII IPS 3.
Silvia, cukup puas dengan deretan angka 8 yang di dapatkannya. Setidaknya itu akan menjadi bekal yang cukup baginya untuk mendaftar di Universitas Sriwijaya, universitas dambaannya. Rencananya, di UNSRI, Silvia akan mengambil jurusan kedokteran, sesuai dengan cita-citanya.
Silvia yang tengah duduk di kantin sambil menikmati segelas es jeruk dan membaca berulang kali kertas yang bertuliskan nilai-nilainya, sedikit terkejut mendapati kedatangan Davi.
Davi? Ke kantin? Seumur-umur Silvia mengenal Davi, Silvia nggak pernah melihat Davi datang ke kantin. Soalnya, setiap istirahat, Davi selalu saja pergi ke mushola bukan kantin. Tapi kali ini?
Silvia yang melihat Davi mulai mendekat, berpura-pura cuek dan kembali memusatkan perhatiannya pada kertas nilai yang sedang ia pegang. Pokoknya jangan sampai matanya dan mata Davi bertemu.
Silvia terus menundukkan kepalanya sambil membaca kertas nilai itu berulang kali, menunggu Davi pergi. Tanpa ia sadari, Davi justru tengah mendekati meja tempatnya duduk.
“Sil?” panggil Davi.
Kontan Silvia mendongak, dan betapa terkejutnya ia mendapati, ternyata Davi lah yang berdiri disana.
“Davi? Elo…,”
“Sil, gue cuma pengen bilang sama elo, kalau suatu hari nanti, gue pasti bakal nepatin janji gue sama elo, pasti! Kita akan bersatu, Sil, suatu hari nanti.” setelah berkata demikian, Davi buru-buru pergi meninggalkan Silvia.Tanpa memberikan Silvia kesempatan untuk menanggapi omongannya.
Sedangkan Silvia, sepeninggal Davi, ia hanya terdiam di tempatnya dengan pikiran yang super semrawut. Davi…, apa sih maksudnya berbicara seperti itu?
* * * *
6 tahun kemudian…
Sebuah mobil sport berwarna hitam terlihat memasuki lapangan parkir Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek, Bandarlampung. Mobil yang tampak begitu elegant itu berhenti di salah satu titik parkir yang masih sepi. Dan tak lama, keluarlah sosok seorang wanita muda berusia 24 tahunan dari dalam mobil itu.
Usai mengunci mobilnya, wanita itu bergegas berjalan masuk ke dalam rumah sakit sambil mengenakan jas putih dokter miliknya.
“Selamat pagi, Dokter Silvia Ayudita.” Sapa salah seorang resepsionis rumah sakit pada wanita yang ternyata adalah Silvia itu. Silvia menyambut sapaan itu dengan senyuman hangat.
Hari ini, adalah hari pertama Silvia akan bekerja sebagai dokter yang sesungguhnya, setelah hampir enam tahun ia menimba ilmu di Universitas Sriwijaya, Palembang.
Ternyata, meski telah enam tahun lamanya berkelana ke Palembang, belum juga dapat membuat Silvia dapat melupakan Davi. Meski selama enam tahun itu pula ia tak pernah berkomunikasi atau bertemu dengan Davi sekalipun. Silvia hanya pernah mendengar berita dari teman-temannya bahwa Davi di terima di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
Meski di Palembang, tak sedikit pria yang mendekati Silvia, namun hal itu tetap juga tak bisa mengusir Davi dari benaknya. Davi selalu melekat di pikiran bahkan hati Silvia. Selalu…, dan entah sampai kapan…
Buk! Asik melamun sepanjang jalan menuju ruangannya, Silvia tak melihat seorang pria tengah melintas di depannya, hingga ia menabrak pria itu hingga jatuh tersungkur.
“Haduh, Pak. Maaf ya, Bapak nggak apa-apa…, loh? Davi?” mata Silvia kontan terbelalak begitu melihat dengan seksama wajah lelaki yang ditabraknya, itu kan Davi! Panjang umur banget, lagi dipikirin eh orangnya nongol.Bisa kebetulan gitu ya?
“Silvia!?” Davi tak kalah terkejut. Davi buru-buru bangkit berdiri dan menatap Silvia dengan seksama. “Elo ngapain, Sil, disini?”
“Loh, gue kan dokter disini. Elo sendiri ngapain disini?”
“Gue cuma cek kesehatan aja,” Davi tiba-tiba tersenyum. “Udah enam tahun ya, Sil, nggak ketemu. Lo udah banyak berubah. Tambah cantik dibalik balutan jilbab.” Puji Davi sambil meneliti Silvia dan ujung rambut hingga ujung kaki, yang tak urung membuat pipi Silvia menyemu merah.
“Oh ya, Dav, lo kerja dimana?” tanya Silvia kemudian.
“Gue kerja di pemkot Bandarlampung, jadi kepala bagian administrasi.”
“Wah, udah sukses dong sekarang.” Puji Silvia sambil tertawa kecil.
Davi hanya membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kembali berkata, “Sil, gue boleh minta nomor hape lo?”
“Oh ya tentu, boleh kok.” Silvia mengeluarkan ponselnya dan mendiktekan nomornya ke Davi. Selesai, Davi pun pamit.
“Gue duluan ya, Sil, daaah. Entar gue telepon.”
* * * *
6 bulan berlalu semenjak Silvia kembali dekat dengan Davi.Ternyata sekarang Davi sudah banyak berubah.Ia bukanlah Davi yang ketus, dingin, dan kasar seperti waktu SMA dulu. Davi yang sekarang adalah Davi yang hangat, ramah, dan menyenangkan, membuat Silvia tambah mencintai sosok pria itu.
Namun, meski telah 6 bulan menjalin kedekatan. Tak ada sedikitpun tanda-tanda yang ditunjukkan oleh Davi, bahwa ia akan meminta Silvia menjadi kekasihnya. Davi seolah menggantungkan status antara dirinya dengan Silvia. Hal ini tentu membuat Silvia tak nyaman. Tunggu apa lagi, Dav! Udah 6 bulan kita deket. Apa kurang pedekate dalam waktu segitu? Sungut batin Silvia. Silvia pengen banget buru-buru melepas status single-nya dengan menjadi kekasih Davi. Tapi nggak mungkin kan kalau dia yang nembak Davi duluan. Silvia kan cewek, masak mau mulai duluan! Gengsi dong!
Sedang asyiknya melamun di ruang tamu rumahnya, tiba-tiba ponsel Silvia bergetar. Davi menelepon!
“Halo, Dav?”
“Sil, besok lo bisa dateng ke rumah gue?”
“Oh, bisa kok. Emang kenapa, Dav?”
Hening.Davi belum juga menjawab.“Dav?” panggil Silvia sekali lagi, membuat Davi bangkit dari lamunannya.
“Sebenernya…, besok gue mau menikah, Sil.”
* * * *
Silvia mematut dirinya di kaca. Silvia terlihat begitu cantik dengan balutan kebaya putih dan jilbab modern yang ia kenakan, meski hatinya sedang tak sebaik penampilannya. Hati Silvia kini telah hancur berkeping-keping! Berita pernikahan Davi hari ini, seolah menjawab semua pertanyaan dibenak Silvia, mengapa Davi tak kunjung meminta Silvia menjadi kekasihnya. Ternyata Davi telah memiliki calon istri.
Sebenarnya Silvia tak mau datang ke pesta pernikahan Davi hari ini, karena itu hanya akan membuat hatinya semakin perih. Namun, rasa penasaran Silvia akan calon istri Davi, mendesak Silvia untuk mau tak mau datang ke pesta itu.
Setibanya di rumah Davi, ternyata undangan telah ramai. Dan ternyata, acara akad nikah baru akan segera dimulai. Silvia sempat menangkap sosok Davi yang mengenakan jas putih dan tengah berdiri sendirian di dekat meja tempat akad akan dilangsungkan dengan muka ketar ketir. Silvia bisa menebak, Davi pasti sedang menunggu calon istrinya.
Silvia berbalik, dan memutuskan untuk duduk di luar rumah saja, ia tak sanggup melihat secara langsung Davi menikahi gadis lain selain dirinya. Namun, baru saja hendak mencicipi empuknya bangku yang disediakan di luar rumah Davi, tangan Silvia tiba-tiba di cekal seseorang.
“Davi?” Silvia keheranan, melihat ternyata Davi lah yang mencekal tangannya.
“Sil, lo kemana aja? Dari tadi gue nyariin lo!”
Alis Silvia bertaut. “Nyariin gue? Buat apa, Dav? Seharusnya elo nyariin calon istri lo!”
“Sil, dengerin gue baik-baik ya,” Davi menatap mata Silvia dalam-dalam. “Calon istri gue itu ya elo!”
“APA???!!”
“Sebelumnya gue minta maaf, Sil, udah nyembunyiin ini dari lo. Makanya, waktu kemarin lo tanya, siapa calon istri gue, gue nggak mau jawab dulu. Gue cuma mau ngasih kejutan.”
“Dav, gue masih nggak ngeti.” Ucap Silvia jujur.
“Sil, sebenernya sejak enam tahun yang lalu, gue udah ngerencanain hal ini,” Davi menggenggam tangan Silvia erat. “Gue pengen elo yang jadi pendamping hidup gue. Makanya gue ngerencanain hal ini mateng-mateng. Gue sengaja, dulu, nyuruh elo jauhin gue, karena posisi gue waktu itu masih sebagai ketua rohis, dan waktu itu…, gue belum sukses seperti sekarang, Sil. Gue nggak mau deketin elo, sebelum gue sukses karena gue pengen ngebuat elo bahagia. Lo inget kan gue pernah janji sama lo bahwa kita akan bersatu suatu saat nanti? Sekarang gue akan bener-bener nepatin janji gue, Sil.”
“Tapi, Dav, selama ini lo nggak pernah minta gue buat jadi pacar lo!”
Davi tertawa kecil. “Sil, justru itu yang gue mau. Gue nggak mau ada kata ‘pacaran’ antara kita. Karena itu nggak ada di dalam agama. Gue mau elo langsung jadi istri gue, Sil. Makanya selama ini, gue nggak pernah minta elo jadi pacar gue. Gue pengen tetep jaga hijab antara elo sama gue.”
Air mata Silvia pun menetes. Namun tak seperti 6 tahun yang lalu, air mata Silvia kali ini adalah air mata haru sekaligus bahagia, bukan air mata kesedihan dan kekecewaan.
“Sil, elo mau kan jadi istri gue?” tanya Davi sekali lagi.
Silvia pun mengangguk antusias sambil tersenyum.
Davi pun ikut tersenyum melihat anggukan kepala Silvia itu dan langsung menggandeng tangan Silvia mendekati meja akad nikah, tempat penghulu telah menunggu mereka berdua.
* * * *
“Ketika kau percaya, bahwa cinta itu ada, maka bahagia lah yang akan kau dapat pada akhirnya…”

4 komentar: