Sabtu, 26 Januari 2013

aku pergi (cerpen)



Writer’s opening:
Mungkin tema dari cerpen ini amat sangat sederhana, bahkan saya yakin para pembaca sudah sering mendengarnya. Namun ada satu hal yang membuat saya yakin, mengapa saya ingin mengangkatnya menjadi sebuah cerita: saya percaya, ada begitu banyak orang di luar sana yang mengalami pengalaman yang sama dengan cerita ini…

* * * *

AKU PERGI…

“Jika kau adalah lebah, mungkin aku adalah manusia yang telah menjadi korbanmu. Karena kini, aku telah lumpuh tak berdaya, hanya karena sekali sengatan beracun yang kau beri.”


Siang yang panas di kota Palembang. Matahari sedang semangat memanasi bumi hingga terlampau batas. Priska, gadis manis keturunan Palembang-Prancis itu duduk termenung dibangkunya. Memandang terus ke arah kiri tubuhnya. Disanalah Aditya, lelaki idaman Priska duduk. Tepat bersebrangan dengan mejanya. Aditya tampak sedang serius mengerjakan soal Kesetimbangan Kimia yang diberikan Bu Astuti beberapa menit yang lalu.
Priska tak dapat menahan gemuruh di dadanya. Gemuruh yang ada semenjak pertama kali ia melihat Aditya di SMA Negeri 888 Palembang ini. Gemuruh yang juga ada tiap kali Priska menatap Aditya. Gemuruh yang bahkan selalu ada, ketika Priska bangun di pagi hari setelah semalaman menghabiskan waktu di alam mimpi bersama Aditya. Aditya… oh Aditya… lelaki itu, telah membuat Priska bertekuk lutut dengan begitu telaknya!
Tiba-tiba tergerak sebuah keinginan di hati Priska untuk mendekati Aditya. Ia pun bangkit berdiri dari kursinya dan duduk di sebelah Aditya yang masih terlihat begitu khusyuk dengan 20 soal di depannya.
“Hei, Dit.” Sapa priska dengan suara ringan.
Aditya menoleh dan hanya mengulas senyum tipis di bibirnya. “Ya, Ris. Kenapa?” lalu ia kembali berkutat dengan buku-bukunya.
“Mmm…, boleh minta tolong?”
“Apa?” tanya Aditya singkat tanpa menoleh sedikitpun.
“Ajarin gue bab Kesetimbangan Kimia dong! Nggak ngerti!”
Aditya manggut-manggut sambil tersenyum tipis sekali lagi. Senyuman yang selalu saja berhasil membuat Priska begitu terpesona setiap melihatnya, hingga mampu menghabiskan waktu berpuluh menit hanya untuk menatap wajah Aditya secara diam-diam.
“Boleh nih?” tanya Priska memastikan arti anggukan kepala Aditya.
Aditya mengangguk sekali lagi. Priska tersenyum sumringah sambil bangkit menuju bangkunya demi mengambil beberapa buah buku kimia miliknya yang ia letakkan disana. Rasanya, tak pernah Priska alami pelajaran kimia, seindah pelajaran kimia pada hari ini…

* * * *

Priska memutuskan untuk menghabiskan waktunya malam ini dengan mengurung diri di kamar dan melahap semua novel yang baru saja dibelinya di toko buku sepulang sekolah tadi. Dikuncinya pintu kamar, dinyalakannya i-Pod lalu memasang headset ditelinganya, diambilnya beberapa cemilan, dan mulailah acara priska malam itu: membaca novel hingga beberapa jam kemudian ia akan tertidur karena terlalu lelah membaca.
Ketika novel yang akan dibaca Priska baru akan menjejak halaman pertama, Priska merasakan ponsel yang ia taruh di saku bergetar. Kontan ia merogohnya dan membuka pesan yang baru saja masuk.

From: Aditya Herpavi
Jgn lupa bljar, Ris. Ntr gk bsa lg loh ngrjain soal kimia J

Priska ternganga membaca sms itu. Aditya? Mengirim sms padanya? Mimpi apa ia. Tanpa pikir panjang lagi. Dengan cepat, tangan Priska menyingkirkan semua novel-novel miliknya yang berserakan diatas ranjang lalu tiduran dengan santai, dan membalas sms Aditya. Begitu lah malam itu berlalu dengan begitu cepat, dengan Priska yang tertidur bukan karena kelelahan membaca novel-novelnya, tetapi tertidur karena kelelahan mengetik sms balasan untuk Aditya…

* * * *

“Aditya!” panggil Priska ketika kakinya baru saja mencicipi lantai dingin koridor utama SMA Negeri 888. Betapa beruntungnya ia, baru datang, sudah langsung bertemu Aditya. Aditya yang merasa dipanggil, menoleh, dan menghentikan langkahnya begitu ia tahu siapa yang memangilnya barusan. Priska berlari kecil, menjajari langkah Aditya. “Dit, gue punya sesuatu buat elo!”
Aditya mengerutkan kening, “apa?”
Priska merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kain flannel dari sana. Gantungan itu berwarna biru muda, warna kesukaan Aditya, dan gantungan itu bertuliskan nama Aditya sendiri plus sebuah wajah tersenyum di urutan terakhir yang diletakkan setelah huruf “A” paling belakang pada nama Aditya.
“Buat elo.” Priska memasukkan gantungan itu secara paksa ke dalam saku jaket Aditya. Belum sempat Aditya angkat suara, Priska sudah lebih dulu berbicara lagi. “Di terima ya, anggep aja tanda terima kasih karena gue sering ngerepotin elo kalo urusan pelajaran.”
“Ris…,”
“Pokoknya disimpen aja! gue udah susah loh buatnya, pake tangan gue sendiri!” Priska mengangkat kedua tangannya tepat di depan wajah Aditya. Secara samar Aditya dapat melihat ada beberapa jari Priska yang di tutupi plester di ujungnya.
“Jari-jari lo…, kok luka banyak gitu, Ris? Kenapa?”
“Ah…, biasa. Kerjaan cewek,” Priska tertawa pelan sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. “Gue duluan ya, Dit. Daah…” Priska pun berlari meninggalkan Aditya yang masih terpaku di koridor utama.
Dalam hati, Aditya tersenyum sendiri. Luka-luka di jari itu, pasti karena tertusuk jarum saat menjahit gantungan ini, pikir Aditya sambil menatap lekat gantungan kunci dari kain flannel pemberian Priska, yang baru saja ia keluaran dari saku jaketnya.

* * * *

Priska duduk manis di bangkunya, menanti kedatangan Aditya. Aditya pasti nggak lama lagi bakal nyampe kelas, jarak koridor utama dengan  kelas kan nggak jauh! Pikir Priska sambil senyum-senyum.
Benar saja, tak sampai dua menit, Aditya memunculkan batang hidungnya di kelas, tetap dengan gaya khasnya: pendiam namun keren! (itu menurut Priska loh! Nggak tahu deh yang laen nganggepnya gimana)
Priska yang duduk paling belakang mencoba curi-curi pandang ke arah tas Aditya. Aha! Benar saja! Priska langsung tersenyum girang dan nyaris lompat-lompat, begitu ia mendapati ternyata gantungan kunci yang baru saja diberikannya pada Aditya tadi langsung di kenakan Aditya pada resleting tasnya. Yippiii!!
Namun kegirangan Priska hanya bertahan selama beberapa detik. Karena, setelah menaruh tasnya di atas meja, Aditya kembali beranjak pergi dan menghampiri…, Viola! Sepertinya Aditya sedang membicarakan sesuatu yang begitu mengasyikkan dengan Viola. Buktinya saja, mereka berdua sampai tertawa dengan begitu lebarnya seperti itu.
Kontan Priska langsung beringsut di kursinya. Dan tanpa sadar memukul meja beberapa kali saking kesalnya. Bukannya menghampiriku dan mengucapkan terima kasih telah diberikan hadiah, eh malah nyamperin Viola! Menyebalkan! Gerutu batin Priska.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Priska melhat Viola dan Aditya berbicara berdua seperti itu. Sudah sangat sering malah. malahan sepertinya hampir tiap jam mereka seperti itu! Dan jujur, setiap melihat kejadian itu, hati Priska teriris begitu perih! Sakitnya luar biasa. Tapi apa mau dikata, Aditya bukan miliknya, ia tak bisa melakukan apa-apa…
Tunggu dulu…, Apa…, Aditya menyukai Viola dan ada sesuatu yang tersembunyi antara mereka berdua? Ah! Nggak mungkin! Priska sangat yakin mereka hanya berteman, karena Priska sangat tahu, perempuan macam apa Viola itu. Ia adalah gadis pintar yang tak pernah memikirkan soal pacaran, yang ada dipikirannya hanyalah buku buku dan buku! Semoga saja feeling Priska benar!

* * * *

Ketika jam pelajaran sejarah berlangsung, Priska dikejutkan dengan datangnya Bu Keke, salah satu staf TU yang memanggilnya agar menuju ruang kepala sekolah sekarang. Namun ketika ditanyakan, Bu Keke bilang ia tak tahu, mengapa Bu Tata, kepala sekolah SMA Negeri 888 memanggil Priska.
Dengan jantung berdegub lebih cepat dari biasanya, Priska berjalan lunglai menuju kantor kepala sekolah. Ada apa ini? Apa ia mau dikeluarkan dari sekolah?
“Silahkan duduk, Priska.” Ucap Bu Tata ketika Priska tiba diruangannya. Dari rona wajah Bu Tata yang tampak girang, sepertinya bukanlah berita buruk yang akan diterima Priska, semoga…
“Ada apa…, ibu memanggil saya?” tanya Priska to the point!
Bu Tata tak langsung menjawab, dan ia malah sibuk mengobrak abrik setumpuk surat di lacinya. Lalu memberikan selembar surat yang entah apa isinya kepada Priska. “Bukalah. Kau pasti senang membacanya.” Kata Bu Tata kemudian dengan senyum mengembang lebar menghiasi wajahnya yang tampak tegas namun tetap anggun itu.
Priska membuka surat itu dengan hati-hati. Takut kalau-kalau isi surat itu akan membuatnya pingsan saking kagetnya. Semoga bukan berita buruk, Tuhan! Semoga!

* * * *

Priska kembali dari ruang kepala sekolah dengan bejuta-juta spesies bunga yang bermekaran dihatinya. Senyumnya yang tercetak begitu jelas membuat parasnya yang sedikit kebulean bertambah manis. Priska pun sesekali berjalan sambil bersenandung dengan ceria. Yang jelas sekarang hatinya begitu bahagia!
Ternyata surat yang diserahkan Bu Tata tadi adalah surat pemberitahuan untuk Priska yang dikirimkan langsung dari sebuah sekolah sastra terkenal di Paris, Prancis! Priska telah berhasil memenangkan sebuah beasiswa hingga lulus SMA disana, dan bahkan jika Priska mau, ia bisa saja mendapatkan beasiswa hingga sarjana di sebuah unversitas sastra yang juga ada di Paris.
Semua ini berawal ketika 5 bulan yang lalu Priska pulang kampung ke tempat sang Ayah, Paris, ketika liburan kenaikan kelas berlangsung. Disana, Priska mengikuti sebuah acara yang diadakan dalam memperingati hari bahasa Prancis nasional. Dimana hadiah dari acara itu adalah beasiswa gratis hingga lulus SMA bahkan sarjana. Awalnya Priska hanya iseng-iseng mengikuti acara yang berisi lomba-lomba sastra itu untuk mengisi liburannya semata. Mengingat saingannya memang berat-berat disana, Priska tak mau terlalu tinggi menggantungkan harapan untuk menang. Namun, sebelum sempat mendengarkan pengumuman pemenang, Priska telah lebih dulu pulang ke Palembang.
Ternyata menghilangnya Priska yang merupakan salah satu dari kesepuluh pemenang, membuat panitia penyelenggara acara kecewa dan berusaha mencari data-data Priska mati-matian demi mendapatkan gadis itu kembali. Dan setelah 5 bulan, usaha itu pun terjawab. Mereka berhasil melacak keberadaan Priska di Indonesia dan langsung mengiriminya surat pemberitahuan tentang beasiswa itu.
“Permisi, Bu.” Ucap Priska ketika tiba di ambang pintu kelas. Bu Desi, guru sejarah langsung manggut dan mempersilahkan Priska duduk. Berpuluh pasang mata di kelas menatap penuh tanda tanya pada Priska. Ada apa dengan gadis itu hingga kepala sekolah memanggilnya? Lalu mengapa sekembalinya Priska dari sana, gadis itu terlihat begitu senang? Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak digubris Priska, ia masih ingin merahasiakan kebahagiaan ini untuk dirinya sendiri.
“Baiklah, untuk tugas minggu depan, ibu akan membagi kalian dalam beberapa kelompok.” Tiba-tiba terdengar suara halus Bu Desi dari depan kelas, yang membuat Priska terbangun dari alam bawah sadarnya dan mau tak mau memusatkan perhartian kepada guru berbadan mungil itu.
“Kelompok pertama…, Aditya Herpavi, Fifi Yaniar, Monica Armando, Priska Dandiana Vilton, dan Yoseph Purnomo.”
Priska nyaris melompat kegirangan dari kursinya. Ia…, sekelompok dengan aditya dalam tugas minggu depan? Oh betapa beruntungnya ia. Itu berarti ia akan banyak menghabiskan waktu bersama Aditya.
Priska bisa membayangkan, betapa Tuhan begitu menyayanginya hari ini. Sudah dapat beasiswa di Paris, dapat kelompok yang sama dengan Aditya pula! Sudah jatuh di tumpukan bunga melati, sekarang malah tertimpa bunga sakura yang berguguran, indahnya…
Diam-diam, Priska melirik meja di seberangnya, menatap wajah Aditya yang sedang mencatat tugas dengan seksama, betapa sungguh Priska benar jatuh telak ke pelukan cowok itu!

* * * *
Aditya setengah kaget ketika baru saja tiba di kelas dan mendapati ada sebuah kotak berukuran dua kali tangan orang dewasa terselip di bawah laci mejanya. Buru-buru ia meletakkan tas yang di panggulnya dan mengambil kotak itu. Ternyata itu adalah sekotak cup cake dengan gambar cream paint yang lucu-lucu terukir diatasnya. Ada gambar spongebob, tazmania devil, superman, dll. Di dalam kotak cup cake itu juga terdapat sebuah kartu ucapan mungil bergambar teddy bear berwarna biru.

Semoga lo suka ya dengan cup cake nya, ini gue bikin sendiri loh.
PDV :D

PDV? Aditya mengerutkan keningnya. Oh, apa jangan-jangan…, Priska Dandiana Vilton? Kontan dengan raut wajah bingung, Aditya menoleh ke kanan, ke arah tempat Priska duduk. Dan benar saja, kini gadis itu pun tengah menatapnya penuh makna seolah membenarkan bahwa ia lah yang mengirimi kue itu untuk Aditya. Aditya tersenyum tulus pada Priska, seolah mengucapkan terima kasih lalu kembali memfokuskan perhatian kepada cup cake di depannya. Senyumnya lenyap seketika itu juga. Entah kenapa, ada sejumput rasa jenuh dan jengah di hati Aditya terhadap semua perhatian yang Priska berikan kepadanya. Priska…, kau terlalu baik untukku…, lirih batin Aditya.

* * * *

“Terkadang, melepaskan cinta akan lebih baik rasanya, ketimbang menahan cinta itu untuk tetap tinggal namun justru membuat tak ada satu orang punyang bahagia…”


Priska duduk termenung di meja belajarnya, matanya menatap lekat secarik surat dari SMA sastra terkemuka di Paris yang ia terima beberapa hari lalu itu. Perasaannya gundah bercampur bimbang. Kini, baru ia sadari, ada  satu hal yang akan mengganjal langkahnya melenggang bebas mengecap pendidikan di Paris: Aditya!
Perkembangan hubungan Priska dan Adtya yang telah berkembang pesat, membuat Priska terlanjur menaruh sebuah harapan besar pada Aditya bila kelak mereka akan menjalin suatu hubungan yang lebih dari sekedar teman. Tapi…, bila kini Priska harus meninggalkan Aditya demi bersekolah di Paris, bagaimana dengan kelanjutan hubungan mereka? Priska tak yakin, Aditya akan bertahan jika kelak ia justru pergi jauh menuntut ilmu ke Negeri Menara Eiffel itu.
Priska meremas rambutnya dengan gemas. Pusing rasanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mau pilih yang mana? Jauh di dalam  hatinya, ia sangat mencintai Aditya dan ingin selalu bersama cowok itu. Tapi di sisi lain, ia juga ingin bersekolah di SMA sastra terkemuka di Paris itu. Itu adalah impiannya sejak dulu!
Paris, Aditya, Paris, Aditya, Paris, Aditya…, Priska menimbang-nimbang dengan gamang di dalam hatinya.
Sedang khusyuknya dalam kebingungan. Ponsel Priska bergetar. Dan tertera nama Aditya disana. Priska tersenyum. Kebetulan! Sedang dipikirkan, eh orangnya malah telepon!
“Halo.”
“Malam, Ris. Ganggu?” tanya Aditya, klise sekali.
“Ah, nggak kok. Ada apa, Dit?”
Aditya diam sejenak, terdengar tarikan nafasnya yang begitu berat. “Besok gue pengen ngomong sama lo. Gue tunggu di kantin sekolah jam setengah 7 pagi. Oke.”
“Emangnya…, halo? Halo? Dit? Adit…?!” telepon terputus!

* * * *

Karena rasa penasarannya yang begitu menggebu, Priska datang 15 menit lebih cepat dari waktu janjiannya dengan Aditya. Ia telah berada di kantin sekolah yang masih tutup sejak pukul 6.15.
Priska duduk di salah satu sudut kantin yang berhadapan langsung dengan kebun belakang sekolah. Tangannya memainkan sebuah sedotan bekas yang ia dapatkan diatas meja kantin, demi membunuh waktu.
Dalam benak Priska, sebenarnya masih bergelantungan sejuta pertanyaan. Sebenarnya, Aditya ingin membicarakan hal apa? Begitu pentingkah hingga ia memilih tempat sepi seperti kantin yang memang tak akan buka sebelum pukul 8 pagi? Lalu…, lalu…, ah rasanya terlalu banyak pertanyaan hingga Priska tak bisa menyebutkannya satu-satu.
Samar, tiba-tiba terdengar langkah suara kaki mendekat. Priska tersadar dari lamunannya. Dan begitu mendongak, benar saja, Aditya telah berdiri di hadapannya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Hei, Dit.” Sapa Priska ramah seperti biasanya.
“Oh…, hei, Ris.” Jawab Aditya kaku, gelagatnya sangat aneh sekali pagi ini. “Ris, langsung aja ya. Gue nggak mau basa-basi lagi.”
Priska manggut, menunggu Aditya bicara.
“Ris…, mmm…, gue tahu, sebenernya elo…,”
Priska menaikkan sebelah alisnya, tanda ia tak sabar lagi menunggu kelanjutan kalimat itu.
“Elo suka sama gue. Gue tahu itu, Ris. Maaf kalo gue ngomong gini.” Aditya menyelesaikan kalimatnya dalam satu nafas. Membuat Priska tersentak kaget. Aditya tahu hal itu, bukanlah hal aneh baginya, karena Priska memang jelas-jelas memberikan sinyal-sinyal itu ke Aditya. Tapi yang membuatnya tak percaya, Aditya blak-blakan membicarakan hal ini kepadanya. Apa maksud Aditya? Apa jangan-jangan Aditya…, mau menyatakan cintanya pada Priska? Membayangkan hal itu, Priska langsung menyambut ucapan Aditya dengan senyum sumringah.
“Oh, elo udah tahu. Baguslah. terus?” tanya Priska memancing.
Aditya menarik nafas panjang sebelum akhirnya berkata, “Ris, elo baik, elo perhatian, elo cantik. Gue yakin Ris diluar sana bakal ada banyak cowok yang suka sama lo dan elo juga suka sama dia.”
Loh… loh… kok Aditya jadi bicara seperti ini?
“Apa…, maksud lo, Dit?”
“Ris, gue nggak mau elo menyalahartikan semuanya. Gue nggak mau elo terjebak dalam perasaan lo yang terlalu dalam sama gue. Gue ngak mau lo sakit hari, Ris.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Priska. Teganya Aditya…
“Ris, satu hal yang perlu lo tahu. Hati gue udah milik orang lain.”
Dug! Hati Priska terasa ditusuk seribu sembilu. Sakit sekali. Air mata tak dapat lagi ditahannya dan meluncur dengan begitu deras begitu saja.
“Kamu…, udah punya pacar?” tanya Priska memberanikan diri.
Aditya geleng kepala.
“Lalu?”
“Ada gadis yang kusukai, tapi…, ia belum jadi pacarku.”
“Siapa?” tanya Priska, nekat!
“Dia….,” Aditya menelan ludahnya yang terasa pahit. “Viola.”
Brak! Hati Priska bagai dibanting dari ketinggian beribu-ribu kilometer dari udara. Sakiiiiitnya bukan main. Viola? Gadis itu Viola? Si kutu buku yang…, berwajah ayu itu? Gadis yang selalu menghabiskan waktu dengan mengobrol berjam-jam bersama Aditya dikelas? Pantas saja. Jadi selama ini itu penyebabnya, mengapa Aditya selalu betah berdekat-dekat dengan Viola. Aditya…, menyukai gadis itu.
Priska mengalihkan pandangan matanya pada tas Aditya yang tergeletak di atas meja. Dan mendapati sesuatu yang ganjil disana. Aditya tak lagi mengenakan gantungan kunci darinya! Ternyata, Aditya memang sudah berniat untuk melupakannya matang-matang. Hadiah dari Priska pun tak lagi dikenakannya.
Tanpa permisi lagi, Priska langsung berlari masih dengan air mata yang mengucur deras di kedua belah mata indahnya. Meninggalkan Aditya yang terpaku dengan perasaan yang tak kalah hancur dari Priska, karena ia telah berhasil membuat gadis yang begitu mencintainya merasakan sakit yang teramat dalam. Aditya bodoh! Kau jahat sekali! Umpat Aditya pada dirinya sendiri.

* * * *

Priskaterduduk lemas di bangkunya. Mengingat kejadian tadi pagi membuatnya tak konsen sama sekali dalam pelajaran hari ini.
Beberapa kali, di dalam kelas, tak sengaja Priska mendapati Aditya memandangnya penuh rasa bersalah, namun Priska melengos cuek, tak perduli. Hatinya sudah terlalu sakit untuk melihat wajah Aditya lagi.
Tak hanya Aditya yang terkena imbasnya, tetapi Viola juga. Viola tadi sempat menghampiri Priska untuk menanyakan PR bahasa Inggris mereka, namun Priska malah meladeni gadis itu dengan kata-kata ketus dari bibirnya. “Kerjain sendiri deh, Vi! Gue lagi males!” kata Priska judes. Viola pun berlalu dengan wajah tertunduk lesu.
Priska terdiam beberapa detik sambil memejamkan matanya. Membayangkan wajah Aditya dan Viola bergantian. Tanpa ia sadari, air matanya menetes lagi. Benar, Aditya dan Viola memang cocok. Mereka memiliki banyak kesamaan disana-sini. Mereka berhak saling mencintai. Lalu…, kenapa Priska justru menghalangi?
Priska jadi ingat sebuah kalimat pendek yang terlalu sering di dengarnya, “cinta tak harus memiliki”. Ya benar! Cinta memang tak harus memiliki! Lalu…, untuk apa ia mesti marah jika Aditya tak dapat dimilikinya dan justru jatuh ke pangkuan orang lain?
Priska menarik nafas dalam lalu membuka matanya dan tersenyum. Ia harus melakukan sesuatu sekarang untuk membuat Aditya dan Viola dekat! Bukankah itu yang Aditya mau?
Jam pelajaran sejarah tiba. Baru saja Bu Desi mencicipi empuknya bangku guru, Priska tiba-tiba menghampirinya dan membisikkan sesuatu pada Bu Desi sambil memasang tampang memelas minta ampun. Yang mau tak mau membuat Bu Desi mengangguk dan mengiyakan permintaan anak muridnya itu karena kasihan.
Setelah memastikan permintaannya akan dituruti oleh Bu Desi, Priska kembali ke bangkunya dengan senyum sumringah. Sempat dilihatnya tatapan Aditya yang menatapnya penuh tanda tanya seolah berkata, “lo ngomong apa sama Bu Desi?”
Bu Desi mengetuk-ngetukkan meja guru menggunakan penghapus, membuat seluruh murid memandang guru mungil itu penuh tanda tanya. “Dengarkan sebentar! Untuk tugas hari ini, ada pertukaran anggota kelompok,” Bu Desi melongoh pada Absennya sebentar. “Priska Dandiana Vilton, bertukar tempat dengan Viola Azzahra.”
Kontan semua mata tertuju pada Priska dan Viola bergantian. Semua bertanya, kenapa Priska dan Viola bertukar? Namun tak ada satupun jawaban keluar.
Priska yang telah duduk bergerombol bersama kelompoknya, dimana Aditya termasuk di dalam kelompok itu pun bangkit berdiri dan meninggalkan kelompoknya diiringi berpasang-pasang mata yang menatapnya penuh tanda tanya. Sebelum benar-benar pergi, Priska terlebih dulu membisikkan sesuatu di telinga Viola yang telah tiba di tempat duduk Priska semula, “have a happiness, Vi.” Priska tersenyum penuh arti pada Viola lalu melenggang pergi tanpa peduli, jika sedari tadi mata Aditya yang terus bertanya padanya.

* * * *

Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Rasa bersalah itu kini benar-benar muncul di hati Aditya. Aditya…, merasa sangat tak enak hati terhadap Priska. Gadis itu…, telah mengorbankan segalanya untuk ia, tangannya yang tertusuk jarum, waktunya untuk membuat cup cake, bahkan merelakan posisinya dalam kelompok tugas agar dapat membuat Viola dekat dengannya.
Ya, kini Aditya tahu, itu lah alasan mengapa Priska memutuskan untuk menukarkan posisinya dengan Viola. Ia tahu hal itu, setelah tak sengaja mendengar Priska menangis sendirian di toilet sekolah sambil menceracaukan hal itu.
Aditya sudah bertekad. Esok ia akan meminta maaf pada Priska dan meminta gadis itu untuk tetap mau berteman dengannya meski tak dapat saling memiliki. Setidaknya hubungannya dan Priska harus di perbaiki. Itu lah tekad yang sudah terpancang di hati Aditya.
Esok, pagi-pagi sekali, ia akan pergi ke rumah Priska untuk menjemput gadis itu sekolah dan mengutarakan maksudnya…

* * * *

Sudah hampir setengah jam berlalu semenjak Aditya berdiri di depan pintu gerbang rumah Priska. Namun tak ada satupun yang membukakan pintu meski ia telah berpuluh kali memencet bel rumah.
“Cari siapa kamu?”
Aditya terperanjat mendapati seorang ibu-ibu menghampirinya. “Oh, saya cari yang punya rumah.”
“Kamu siapanya?”
“Saya temannya Priska, Tante.”
“Kamu nggak tahu ya, Priska dan keluarganya kemarin sudah pindah ke Paris dan akan menetap disana untuk selamanya. Kemarin kan mereka mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan dengan warga komplek sini.”
“APA???!!” mendadak tubuh Aditya terasa lemas.

* * * *

“Kau tak akan tahu arti seseorang bagimu, hingga kau kehilangannya untuk selama-lamanya…”


Aditya menatap lemah bangku kosong di seberang mejanya. Tak di pedulikannya hiruk pikuk kelas karena tak ada guru yang mengajar. Bangku yang ditatapnya itu telah kosong lebih dari seminggu yang lalu. Ya, bangku milik Priska. Priska yang telah jauh dan tak tahu lagi apa kabarnya disana. Semenjak pindah ke Paris, Priska benar-benar lenyap dari jangkauan Aditya. Nomor ponsel Priska tak aktif, bahkan akun Facebook dan Twitter Priska pun telah non-aktif pula.
Priska…, Aditya tahu benar, gadis itu begini karenanya, karena ulahnya yang terlalu menyakiti gadis itu hingga ke dasar hati yang paling dalam. Hingga akhirnya gadis itu pergi dan tak akan kembali untuk selamanya.
Aditya terperanjat mendengar tiba-tiba ponselnya bergetar dan terpampang sebuah nomor yang sangat tak jelas, karena nomor itu seperti bukan nomor dari Indonesia.
“Halo?”
“Hai, Dit.”
Aditya membelalakkan mata. Ia sangat kenal dengan suara ramah itu. “Priska?”
“Yap! Tepat!”
“Ris…, gue…,”
“Doain gue ya, disini gue sekolah sastra, gue dapet beasiswa. Tapi sayang, gue nggak bakal balik lagi ke Indonesia.”
“Ris…,”
“Daaaah aditya, I just wanna say that!” klik! Telepon terputus. Aditya buru-buru mencoba menghubungi nomor itu lagi namun…, “nomor yang anda tuju sudah tidak berlaku…,” sial! Priska menghanguskan nomor ponselnya. Aditya meninju meja kelas dengan kesal hingga buku-buku jarinya berdarah.
Untuk pertama kalinya, Aditya menangis! Menangis! Benar-benar menangis! Ia tak sanggup lagi menahan luapan emosinya yang meletup. Yang selama ini di pendamnya sendiri.
Jujur…, ia rindu kehadiran Priska disisinya, tawa gadis itu, sungutan kesalnya ketika tak paham tentang pelajaran, keluhan-keluhannya mengenai teman-teman sekelas, kedatangan Priska pagi-pagi buta untuk memberinya kejutan, ia rindu semua itu. Rindu yang teramat sangat membuatnya tersiksa. Seandainya waktu bisa di putar.
Aditya memegang dadanya yang terasa sesak. Kini baru dirasakannya, jauh di dalam lubuk hatinya, ia begitu mencintai Priska dan butuh gadis itu. Priska…, kembali! Teriak Aditya dalam hati. Sesal dihatinya kini sudah berganda menjadi beratus-ratus kali lipat setelah disadarinya, ia telah menyia-nyiakan cinta Priska untuknya dulu… cinta yang kini justru diharapkannya untuk kembali lagi. Mengulang saat-saat indah yang pernah dilalui mereka.
Aditya meringkukkan wajahnya hingga tertunduk lemas. Tangannya terulur lunglai menggapai suatu benda dari dalam tas sekolahnya: gantungan kunci dari Priska. Satu-satunya kenangan dari Priska yang masih tersisa bersamanya, kenangan dari gadis yang telah disakitinya sekaligus juga sangat dicintainya….

THE END

* * * *

Bagai menjaring angin di perbukitan, terasa namun tak teraba…
Bagai kupu-kupu yang hinggap ditangan, ia akan terbang pergi menjauh, dan membuat kita menyesal, karena belum sempat menyentuhnya…
Bagai melihat fatamorgana di padang pasir, jauh begitu nyata, namun begitu dekat, ternyata fana…
Bagai angin sejuk di musim kemarau, hanya sesaat menghampiri, lalu akan pergi berlalu, entah kemana…
Bagai bintang-bintang di langit, ingin rasanya memiliki, tapi apa daya, rasanya tak mungkin…
Bagai lilin yang menerangi ketika gelap, hanya sesaat terangnya, namun akan luluh lantak seiring berjalannya waktu…
Bagai langit di atas sana, terasa begitu dekat, tanpa kita sadari, sebenarnya begitu panjang jarak yang terbentang diantaranya…
Bagai pelangi, ia akan hilang begitu saja, tanpa ia peduli, sebenarnya kita ingin ia terus berada disini, dapat memandanginya, menikmati keindahannya, meski tak mungkin menyentuh, meraih, apa lagi memilikinya…

Sebuah cerita dan puisi oleh: pricillia rahayu ^^

2 komentar: