Mungkin tema dari cerpen ini amat sangat
sederhana, bahkan saya yakin para pembaca sudah sering mendengarnya. Namun ada
satu hal yang membuat saya yakin, mengapa saya ingin mengangkatnya menjadi
sebuah cerita: saya percaya, ada begitu banyak orang di luar sana yang
mengalami pengalaman yang sama dengan cerita ini…
* * * *
AKU PERGI…
“Jika kau adalah lebah, mungkin aku adalah
manusia yang telah menjadi korbanmu. Karena kini, aku telah lumpuh tak berdaya,
hanya karena sekali sengatan beracun yang kau beri.”
Siang yang panas di kota Palembang.
Matahari sedang semangat memanasi bumi hingga terlampau batas. Priska, gadis
manis keturunan Palembang-Prancis itu duduk termenung dibangkunya. Memandang
terus ke arah kiri tubuhnya. Disanalah Aditya, lelaki idaman Priska duduk.
Tepat bersebrangan dengan mejanya. Aditya tampak sedang serius mengerjakan soal
Kesetimbangan Kimia yang diberikan Bu Astuti beberapa menit yang lalu.
Priska tak dapat menahan gemuruh di
dadanya. Gemuruh yang ada semenjak pertama kali ia melihat Aditya di SMA Negeri
888 Palembang ini. Gemuruh yang juga ada tiap kali Priska menatap Aditya.
Gemuruh yang bahkan selalu ada, ketika Priska bangun di pagi hari setelah
semalaman menghabiskan waktu di alam mimpi bersama Aditya. Aditya… oh Aditya…
lelaki itu, telah membuat Priska bertekuk lutut dengan begitu telaknya!
Tiba-tiba tergerak sebuah keinginan di
hati Priska untuk mendekati Aditya. Ia pun bangkit berdiri dari kursinya dan duduk
di sebelah Aditya yang masih terlihat begitu khusyuk dengan 20 soal di
depannya.
“Hei, Dit.” Sapa priska dengan suara
ringan.
Aditya menoleh dan hanya mengulas senyum
tipis di bibirnya. “Ya, Ris. Kenapa?” lalu ia kembali berkutat dengan
buku-bukunya.
“Mmm…, boleh minta tolong?”
“Apa?” tanya Aditya singkat tanpa
menoleh sedikitpun.
“Ajarin gue bab Kesetimbangan Kimia
dong! Nggak ngerti!”
Aditya manggut-manggut sambil tersenyum
tipis sekali lagi. Senyuman yang selalu saja berhasil membuat Priska begitu terpesona
setiap melihatnya, hingga mampu menghabiskan waktu berpuluh menit hanya untuk
menatap wajah Aditya secara diam-diam.
“Boleh nih?” tanya Priska memastikan
arti anggukan kepala Aditya.
Aditya mengangguk sekali lagi. Priska
tersenyum sumringah sambil bangkit menuju bangkunya demi mengambil beberapa
buah buku kimia miliknya yang ia letakkan disana. Rasanya, tak pernah Priska
alami pelajaran kimia, seindah pelajaran kimia pada hari ini…
* * * *
Priska memutuskan untuk menghabiskan
waktunya malam ini dengan mengurung diri di kamar dan melahap semua novel yang
baru saja dibelinya di toko buku sepulang sekolah tadi. Dikuncinya pintu kamar,
dinyalakannya i-Pod lalu memasang headset ditelinganya, diambilnya beberapa
cemilan, dan mulailah acara priska malam itu: membaca novel hingga beberapa jam
kemudian ia akan tertidur karena terlalu lelah membaca.
Ketika novel yang akan dibaca Priska
baru akan menjejak halaman pertama, Priska merasakan ponsel yang ia taruh di
saku bergetar. Kontan ia merogohnya dan membuka pesan yang baru saja masuk.
From: Aditya Herpavi
Jgn lupa bljar, Ris. Ntr gk bsa lg loh
ngrjain soal kimia J
Priska ternganga membaca sms itu.
Aditya? Mengirim sms padanya? Mimpi apa ia. Tanpa pikir panjang lagi. Dengan
cepat, tangan Priska menyingkirkan semua novel-novel miliknya yang berserakan
diatas ranjang lalu tiduran dengan santai, dan membalas sms Aditya. Begitu lah
malam itu berlalu dengan begitu cepat, dengan Priska yang tertidur bukan karena
kelelahan membaca novel-novelnya, tetapi tertidur karena kelelahan mengetik sms
balasan untuk Aditya…
* * * *
“Aditya!” panggil Priska ketika kakinya
baru saja mencicipi lantai dingin koridor utama SMA Negeri 888. Betapa
beruntungnya ia, baru datang, sudah langsung bertemu Aditya. Aditya yang merasa
dipanggil, menoleh, dan menghentikan langkahnya begitu ia tahu siapa yang
memangilnya barusan. Priska berlari kecil, menjajari langkah Aditya. “Dit, gue
punya sesuatu buat elo!”
Aditya mengerutkan kening, “apa?”
Priska merogoh saku bajunya dan
mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kain flannel dari sana.
Gantungan itu berwarna biru muda, warna kesukaan Aditya, dan gantungan itu
bertuliskan nama Aditya sendiri plus sebuah wajah tersenyum di urutan terakhir
yang diletakkan setelah huruf “A” paling belakang pada nama Aditya.
“Buat elo.” Priska memasukkan gantungan
itu secara paksa ke dalam saku jaket Aditya. Belum sempat Aditya angkat suara,
Priska sudah lebih dulu berbicara lagi. “Di terima ya, anggep aja tanda terima
kasih karena gue sering ngerepotin elo kalo urusan pelajaran.”
“Ris…,”
“Pokoknya disimpen aja! gue udah susah loh buatnya, pake tangan gue sendiri!” Priska mengangkat kedua tangannya tepat di depan wajah Aditya. Secara samar Aditya dapat melihat ada beberapa jari Priska yang di tutupi plester di ujungnya.
“Pokoknya disimpen aja! gue udah susah loh buatnya, pake tangan gue sendiri!” Priska mengangkat kedua tangannya tepat di depan wajah Aditya. Secara samar Aditya dapat melihat ada beberapa jari Priska yang di tutupi plester di ujungnya.
“Jari-jari lo…, kok luka banyak gitu,
Ris? Kenapa?”
“Ah…, biasa. Kerjaan cewek,” Priska
tertawa pelan sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. “Gue
duluan ya, Dit. Daah…” Priska pun berlari meninggalkan Aditya yang masih
terpaku di koridor utama.
Dalam hati, Aditya tersenyum sendiri.
Luka-luka di jari itu, pasti karena tertusuk jarum saat menjahit gantungan ini,
pikir Aditya sambil menatap lekat gantungan kunci dari kain flannel pemberian
Priska, yang baru saja ia keluaran dari saku jaketnya.
* * * *
Priska duduk manis di bangkunya, menanti
kedatangan Aditya. Aditya pasti nggak lama lagi bakal nyampe kelas, jarak
koridor utama dengan kelas kan nggak
jauh! Pikir Priska sambil senyum-senyum.
Benar saja, tak sampai dua menit, Aditya
memunculkan batang hidungnya di kelas, tetap dengan gaya khasnya: pendiam namun
keren! (itu menurut Priska loh! Nggak tahu deh yang laen nganggepnya gimana)
Priska yang duduk paling belakang
mencoba curi-curi pandang ke arah tas Aditya. Aha! Benar saja! Priska langsung
tersenyum girang dan nyaris lompat-lompat, begitu ia mendapati ternyata
gantungan kunci yang baru saja diberikannya pada Aditya tadi langsung di
kenakan Aditya pada resleting tasnya. Yippiii!!
Namun kegirangan Priska hanya bertahan
selama beberapa detik. Karena, setelah menaruh tasnya di atas meja, Aditya
kembali beranjak pergi dan menghampiri…, Viola! Sepertinya Aditya sedang
membicarakan sesuatu yang begitu mengasyikkan dengan Viola. Buktinya saja, mereka
berdua sampai tertawa dengan begitu lebarnya seperti itu.
Kontan Priska langsung beringsut di
kursinya. Dan tanpa sadar memukul meja beberapa kali saking kesalnya. Bukannya
menghampiriku dan mengucapkan terima kasih telah diberikan hadiah, eh malah nyamperin
Viola! Menyebalkan! Gerutu batin Priska.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya
Priska melhat Viola dan Aditya berbicara berdua seperti itu. Sudah sangat
sering malah. malahan sepertinya hampir tiap jam mereka seperti itu! Dan jujur,
setiap melihat kejadian itu, hati Priska teriris begitu perih! Sakitnya luar
biasa. Tapi apa mau dikata, Aditya bukan miliknya, ia tak bisa melakukan
apa-apa…
Tunggu dulu…, Apa…, Aditya menyukai
Viola dan ada sesuatu yang tersembunyi antara mereka berdua? Ah! Nggak mungkin!
Priska sangat yakin mereka hanya berteman, karena Priska sangat tahu, perempuan
macam apa Viola itu. Ia adalah gadis pintar yang tak pernah memikirkan soal
pacaran, yang ada dipikirannya hanyalah buku buku dan buku! Semoga saja feeling
Priska benar!
* * * *
Ketika jam pelajaran sejarah
berlangsung, Priska dikejutkan dengan datangnya Bu Keke, salah satu staf TU
yang memanggilnya agar menuju ruang kepala sekolah sekarang. Namun ketika
ditanyakan, Bu Keke bilang ia tak tahu, mengapa Bu Tata, kepala sekolah SMA
Negeri 888 memanggil Priska.
Dengan jantung berdegub lebih cepat dari
biasanya, Priska berjalan lunglai menuju kantor kepala sekolah. Ada apa ini?
Apa ia mau dikeluarkan dari sekolah?
“Silahkan duduk, Priska.” Ucap Bu Tata
ketika Priska tiba diruangannya. Dari rona wajah Bu Tata yang tampak girang,
sepertinya bukanlah berita buruk yang akan diterima Priska, semoga…
“Ada apa…, ibu memanggil saya?” tanya
Priska to the point!
Bu Tata tak langsung menjawab, dan ia
malah sibuk mengobrak abrik setumpuk surat di lacinya. Lalu memberikan selembar
surat yang entah apa isinya kepada Priska. “Bukalah. Kau pasti senang
membacanya.” Kata Bu Tata kemudian dengan senyum mengembang lebar menghiasi
wajahnya yang tampak tegas namun tetap anggun itu.
Priska membuka surat itu dengan hati-hati.
Takut kalau-kalau isi surat itu akan membuatnya pingsan saking kagetnya. Semoga
bukan berita buruk, Tuhan! Semoga!
* * * *
Priska kembali dari ruang kepala sekolah
dengan bejuta-juta spesies bunga yang bermekaran dihatinya. Senyumnya yang
tercetak begitu jelas membuat parasnya yang sedikit kebulean bertambah manis.
Priska pun sesekali berjalan sambil bersenandung dengan ceria. Yang jelas
sekarang hatinya begitu bahagia!
Ternyata surat yang diserahkan Bu Tata
tadi adalah surat pemberitahuan untuk Priska yang dikirimkan langsung dari
sebuah sekolah sastra terkenal di Paris, Prancis! Priska telah berhasil
memenangkan sebuah beasiswa hingga lulus SMA disana, dan bahkan jika Priska
mau, ia bisa saja mendapatkan beasiswa hingga sarjana di sebuah unversitas
sastra yang juga ada di Paris.
Semua ini berawal ketika 5 bulan yang
lalu Priska pulang kampung ke tempat sang Ayah, Paris, ketika liburan kenaikan
kelas berlangsung. Disana, Priska mengikuti sebuah acara yang diadakan dalam
memperingati hari bahasa Prancis nasional. Dimana hadiah dari acara itu adalah
beasiswa gratis hingga lulus SMA bahkan sarjana. Awalnya Priska hanya
iseng-iseng mengikuti acara yang berisi lomba-lomba sastra itu untuk mengisi
liburannya semata. Mengingat saingannya memang berat-berat disana, Priska tak
mau terlalu tinggi menggantungkan harapan untuk menang. Namun, sebelum sempat
mendengarkan pengumuman pemenang, Priska telah lebih dulu pulang ke Palembang.
Ternyata menghilangnya Priska yang merupakan
salah satu dari kesepuluh pemenang, membuat panitia penyelenggara acara kecewa
dan berusaha mencari data-data Priska mati-matian demi mendapatkan gadis itu
kembali. Dan setelah 5 bulan, usaha itu pun terjawab. Mereka berhasil melacak
keberadaan Priska di Indonesia dan langsung mengiriminya surat pemberitahuan
tentang beasiswa itu.
“Permisi, Bu.” Ucap Priska ketika tiba
di ambang pintu kelas. Bu Desi, guru sejarah langsung manggut dan
mempersilahkan Priska duduk. Berpuluh pasang mata di kelas menatap penuh tanda
tanya pada Priska. Ada apa dengan gadis itu hingga kepala sekolah memanggilnya?
Lalu mengapa sekembalinya Priska dari sana, gadis itu terlihat begitu senang?
Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak digubris Priska, ia masih ingin
merahasiakan kebahagiaan ini untuk dirinya sendiri.
“Baiklah, untuk tugas minggu depan, ibu
akan membagi kalian dalam beberapa kelompok.” Tiba-tiba terdengar suara halus
Bu Desi dari depan kelas, yang membuat Priska terbangun dari alam bawah
sadarnya dan mau tak mau memusatkan perhartian kepada guru berbadan mungil itu.
“Kelompok pertama…, Aditya Herpavi, Fifi
Yaniar, Monica Armando, Priska Dandiana Vilton, dan Yoseph Purnomo.”
Priska nyaris melompat kegirangan dari
kursinya. Ia…, sekelompok dengan aditya dalam tugas minggu depan? Oh betapa
beruntungnya ia. Itu berarti ia akan banyak menghabiskan waktu bersama Aditya.
Priska bisa membayangkan, betapa Tuhan
begitu menyayanginya hari ini. Sudah dapat beasiswa di Paris, dapat kelompok
yang sama dengan Aditya pula! Sudah jatuh di tumpukan bunga melati, sekarang
malah tertimpa bunga sakura yang berguguran, indahnya…
Diam-diam, Priska melirik meja di
seberangnya, menatap wajah Aditya yang sedang mencatat tugas dengan seksama,
betapa sungguh Priska benar jatuh telak ke pelukan cowok itu!
* * * *
Aditya setengah kaget ketika baru saja
tiba di kelas dan mendapati ada sebuah kotak berukuran dua kali tangan orang
dewasa terselip di bawah laci mejanya. Buru-buru ia meletakkan tas yang di
panggulnya dan mengambil kotak itu. Ternyata itu adalah sekotak cup cake dengan
gambar cream paint yang lucu-lucu terukir diatasnya. Ada gambar spongebob,
tazmania devil, superman, dll. Di dalam kotak cup cake itu juga terdapat sebuah
kartu ucapan mungil bergambar teddy bear berwarna biru.
Semoga lo suka ya dengan cup cake nya, ini gue bikin
sendiri loh.
PDV :D
PDV? Aditya mengerutkan keningnya. Oh,
apa jangan-jangan…, Priska Dandiana Vilton? Kontan dengan raut wajah bingung,
Aditya menoleh ke kanan, ke arah tempat Priska duduk. Dan benar saja, kini
gadis itu pun tengah menatapnya penuh makna seolah membenarkan bahwa ia lah
yang mengirimi kue itu untuk Aditya. Aditya tersenyum tulus pada Priska, seolah
mengucapkan terima kasih lalu kembali memfokuskan perhatian kepada cup cake di
depannya. Senyumnya lenyap seketika itu juga. Entah kenapa, ada sejumput rasa
jenuh dan jengah di hati Aditya terhadap semua perhatian yang Priska berikan
kepadanya. Priska…, kau terlalu baik untukku…, lirih batin Aditya.
* * * *
“Terkadang, melepaskan cinta akan lebih
baik rasanya, ketimbang menahan cinta itu untuk tetap tinggal namun justru
membuat tak ada satu orang punyang bahagia…”
Priska duduk termenung di meja
belajarnya, matanya menatap lekat secarik surat dari SMA sastra terkemuka di
Paris yang ia terima beberapa hari lalu itu. Perasaannya gundah bercampur
bimbang. Kini, baru ia sadari, ada satu
hal yang akan mengganjal langkahnya melenggang bebas mengecap pendidikan di
Paris: Aditya!
Perkembangan hubungan Priska dan Adtya
yang telah berkembang pesat, membuat Priska terlanjur menaruh sebuah harapan
besar pada Aditya bila kelak mereka akan menjalin suatu hubungan yang lebih
dari sekedar teman. Tapi…, bila kini Priska harus meninggalkan Aditya demi
bersekolah di Paris, bagaimana dengan kelanjutan hubungan mereka? Priska tak
yakin, Aditya akan bertahan jika kelak ia justru pergi jauh menuntut ilmu ke
Negeri Menara Eiffel itu.
Priska meremas rambutnya dengan gemas.
Pusing rasanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mau pilih yang mana? Jauh
di dalam hatinya, ia sangat mencintai
Aditya dan ingin selalu bersama cowok itu. Tapi di sisi lain, ia juga ingin
bersekolah di SMA sastra terkemuka di Paris itu. Itu adalah impiannya sejak
dulu!
Paris, Aditya, Paris, Aditya, Paris,
Aditya…, Priska menimbang-nimbang dengan gamang di dalam hatinya.
Sedang khusyuknya dalam kebingungan.
Ponsel Priska bergetar. Dan tertera nama Aditya disana. Priska tersenyum.
Kebetulan! Sedang dipikirkan, eh orangnya malah telepon!
“Halo.”
“Malam, Ris. Ganggu?” tanya Aditya,
klise sekali.
“Ah, nggak kok. Ada apa, Dit?”
Aditya diam sejenak, terdengar tarikan
nafasnya yang begitu berat. “Besok gue pengen ngomong sama lo. Gue tunggu di
kantin sekolah jam setengah 7 pagi. Oke.”
“Emangnya…, halo? Halo? Dit? Adit…?!”
telepon terputus!
* * * *
Karena rasa penasarannya yang begitu
menggebu, Priska datang 15 menit lebih cepat dari waktu janjiannya dengan Aditya.
Ia telah berada di kantin sekolah yang masih tutup sejak pukul 6.15.
Priska duduk di salah satu sudut kantin
yang berhadapan langsung dengan kebun belakang sekolah. Tangannya memainkan
sebuah sedotan bekas yang ia dapatkan diatas meja kantin, demi membunuh waktu.
Dalam benak Priska, sebenarnya masih
bergelantungan sejuta pertanyaan. Sebenarnya, Aditya ingin membicarakan hal
apa? Begitu pentingkah hingga ia memilih tempat sepi seperti kantin yang memang
tak akan buka sebelum pukul 8 pagi? Lalu…, lalu…, ah rasanya terlalu banyak pertanyaan
hingga Priska tak bisa menyebutkannya satu-satu.
Samar, tiba-tiba terdengar langkah suara
kaki mendekat. Priska tersadar dari lamunannya. Dan begitu mendongak, benar
saja, Aditya telah berdiri di hadapannya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Hei, Dit.” Sapa Priska ramah seperti
biasanya.
“Oh…, hei, Ris.” Jawab Aditya kaku,
gelagatnya sangat aneh sekali pagi ini. “Ris, langsung aja ya. Gue nggak mau basa-basi
lagi.”
Priska manggut, menunggu Aditya bicara.
“Ris…, mmm…, gue tahu, sebenernya elo…,”
Priska menaikkan sebelah alisnya, tanda
ia tak sabar lagi menunggu kelanjutan kalimat itu.
“Elo suka sama gue. Gue tahu itu, Ris.
Maaf kalo gue ngomong gini.” Aditya menyelesaikan kalimatnya dalam satu nafas.
Membuat Priska tersentak kaget. Aditya tahu hal itu, bukanlah hal aneh baginya,
karena Priska memang jelas-jelas memberikan sinyal-sinyal itu ke Aditya. Tapi
yang membuatnya tak percaya, Aditya blak-blakan membicarakan hal ini kepadanya.
Apa maksud Aditya? Apa jangan-jangan Aditya…, mau menyatakan cintanya pada
Priska? Membayangkan hal itu, Priska langsung menyambut ucapan Aditya dengan
senyum sumringah.
“Oh, elo udah tahu. Baguslah. terus?”
tanya Priska memancing.
Aditya menarik nafas panjang sebelum
akhirnya berkata, “Ris, elo baik, elo perhatian, elo cantik. Gue yakin Ris
diluar sana bakal ada banyak cowok yang suka sama lo dan elo juga suka sama
dia.”
Loh… loh… kok Aditya jadi bicara seperti
ini?
“Apa…, maksud lo, Dit?”
“Ris, gue nggak mau elo menyalahartikan
semuanya. Gue nggak mau elo terjebak dalam perasaan lo yang terlalu dalam sama
gue. Gue ngak mau lo sakit hari, Ris.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk
mata Priska. Teganya Aditya…
“Ris, satu hal yang perlu lo tahu. Hati
gue udah milik orang lain.”
Dug! Hati Priska terasa ditusuk seribu
sembilu. Sakit sekali. Air mata tak dapat lagi ditahannya dan meluncur dengan
begitu deras begitu saja.
“Kamu…, udah punya pacar?” tanya Priska
memberanikan diri.
Aditya geleng kepala.
“Lalu?”
“Ada gadis yang kusukai, tapi…, ia belum
jadi pacarku.”
“Siapa?” tanya Priska, nekat!
“Dia….,” Aditya menelan ludahnya yang
terasa pahit. “Viola.”
Brak! Hati Priska bagai dibanting dari
ketinggian beribu-ribu kilometer dari udara. Sakiiiiitnya bukan main. Viola?
Gadis itu Viola? Si kutu buku yang…, berwajah ayu itu? Gadis yang selalu
menghabiskan waktu dengan mengobrol berjam-jam bersama Aditya dikelas? Pantas
saja. Jadi selama ini itu penyebabnya, mengapa Aditya selalu betah berdekat-dekat
dengan Viola. Aditya…, menyukai gadis itu.
Priska mengalihkan pandangan matanya
pada tas Aditya yang tergeletak di atas meja. Dan mendapati sesuatu yang ganjil
disana. Aditya tak lagi mengenakan gantungan kunci darinya! Ternyata, Aditya
memang sudah berniat untuk melupakannya matang-matang. Hadiah dari Priska pun
tak lagi dikenakannya.
Tanpa permisi lagi, Priska langsung
berlari masih dengan air mata yang mengucur deras di kedua belah mata indahnya.
Meninggalkan Aditya yang terpaku dengan perasaan yang tak kalah hancur dari
Priska, karena ia telah berhasil membuat gadis yang begitu mencintainya
merasakan sakit yang teramat dalam. Aditya bodoh! Kau jahat sekali! Umpat
Aditya pada dirinya sendiri.
* * * *
Priskaterduduk lemas di bangkunya. Mengingat
kejadian tadi pagi membuatnya tak konsen sama sekali dalam pelajaran hari ini.
Beberapa kali, di dalam kelas, tak
sengaja Priska mendapati Aditya memandangnya penuh rasa bersalah, namun Priska
melengos cuek, tak perduli. Hatinya sudah terlalu sakit untuk melihat wajah
Aditya lagi.
Tak hanya Aditya yang terkena imbasnya,
tetapi Viola juga. Viola tadi sempat menghampiri Priska untuk menanyakan PR
bahasa Inggris mereka, namun Priska malah meladeni gadis itu dengan kata-kata
ketus dari bibirnya. “Kerjain sendiri deh, Vi! Gue lagi males!” kata Priska
judes. Viola pun berlalu dengan wajah tertunduk lesu.
Priska terdiam beberapa detik sambil
memejamkan matanya. Membayangkan wajah Aditya dan Viola bergantian. Tanpa ia
sadari, air matanya menetes lagi. Benar, Aditya dan Viola memang cocok. Mereka
memiliki banyak kesamaan disana-sini. Mereka berhak saling mencintai. Lalu…,
kenapa Priska justru menghalangi?
Priska jadi ingat sebuah kalimat pendek
yang terlalu sering di dengarnya, “cinta tak harus memiliki”. Ya benar! Cinta
memang tak harus memiliki! Lalu…, untuk apa ia mesti marah jika Aditya tak
dapat dimilikinya dan justru jatuh ke pangkuan orang lain?
Priska menarik nafas dalam lalu membuka
matanya dan tersenyum. Ia harus melakukan sesuatu sekarang untuk membuat Aditya
dan Viola dekat! Bukankah itu yang Aditya mau?
Jam pelajaran sejarah tiba. Baru saja Bu
Desi mencicipi empuknya bangku guru, Priska tiba-tiba menghampirinya dan
membisikkan sesuatu pada Bu Desi sambil memasang tampang memelas minta ampun.
Yang mau tak mau membuat Bu Desi mengangguk dan mengiyakan permintaan anak
muridnya itu karena kasihan.
Setelah memastikan permintaannya akan
dituruti oleh Bu Desi, Priska kembali ke bangkunya dengan senyum sumringah.
Sempat dilihatnya tatapan Aditya yang menatapnya penuh tanda tanya seolah
berkata, “lo ngomong apa sama Bu Desi?”
Bu Desi mengetuk-ngetukkan meja guru
menggunakan penghapus, membuat seluruh murid memandang guru mungil itu penuh
tanda tanya. “Dengarkan sebentar! Untuk tugas hari ini, ada pertukaran anggota
kelompok,” Bu Desi melongoh pada Absennya sebentar. “Priska Dandiana Vilton,
bertukar tempat dengan Viola Azzahra.”
Kontan semua mata tertuju pada Priska
dan Viola bergantian. Semua bertanya, kenapa Priska dan Viola bertukar? Namun
tak ada satupun jawaban keluar.
Priska yang telah duduk bergerombol
bersama kelompoknya, dimana Aditya termasuk di dalam kelompok itu pun bangkit
berdiri dan meninggalkan kelompoknya diiringi berpasang-pasang mata yang
menatapnya penuh tanda tanya. Sebelum benar-benar pergi, Priska terlebih dulu
membisikkan sesuatu di telinga Viola yang telah tiba di tempat duduk Priska
semula, “have a happiness, Vi.” Priska tersenyum penuh arti pada Viola lalu
melenggang pergi tanpa peduli, jika sedari tadi mata Aditya yang terus bertanya
padanya.
* * * *
Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Rasa
bersalah itu kini benar-benar muncul di hati Aditya. Aditya…, merasa sangat tak
enak hati terhadap Priska. Gadis itu…, telah mengorbankan segalanya untuk ia,
tangannya yang tertusuk jarum, waktunya untuk membuat cup cake, bahkan
merelakan posisinya dalam kelompok tugas agar dapat membuat Viola dekat
dengannya.
Ya, kini Aditya tahu, itu lah alasan
mengapa Priska memutuskan untuk menukarkan posisinya dengan Viola. Ia tahu hal
itu, setelah tak sengaja mendengar Priska menangis sendirian di toilet sekolah
sambil menceracaukan hal itu.
Aditya sudah bertekad. Esok ia akan
meminta maaf pada Priska dan meminta gadis itu untuk tetap mau berteman dengannya
meski tak dapat saling memiliki. Setidaknya hubungannya dan Priska harus di
perbaiki. Itu lah tekad yang sudah terpancang di hati Aditya.
Esok, pagi-pagi sekali, ia akan pergi ke
rumah Priska untuk menjemput gadis itu sekolah dan mengutarakan maksudnya…
* * * *
Sudah hampir setengah jam berlalu semenjak
Aditya berdiri di depan pintu gerbang rumah Priska. Namun tak ada satupun yang
membukakan pintu meski ia telah berpuluh kali memencet bel rumah.
“Cari siapa kamu?”
Aditya terperanjat mendapati seorang
ibu-ibu menghampirinya. “Oh, saya cari yang punya rumah.”
“Kamu siapanya?”
“Saya temannya Priska, Tante.”
“Kamu nggak tahu ya, Priska dan
keluarganya kemarin sudah pindah ke Paris dan akan menetap disana untuk
selamanya. Kemarin kan mereka mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan dengan
warga komplek sini.”
“APA???!!” mendadak tubuh Aditya terasa
lemas.
* * * *
“Kau tak akan tahu arti seseorang
bagimu, hingga kau kehilangannya untuk selama-lamanya…”
Aditya menatap lemah bangku kosong di
seberang mejanya. Tak di pedulikannya hiruk pikuk kelas karena tak ada guru
yang mengajar. Bangku yang ditatapnya itu telah kosong lebih dari seminggu yang
lalu. Ya, bangku milik Priska. Priska yang telah jauh dan tak tahu lagi apa
kabarnya disana. Semenjak pindah ke Paris, Priska benar-benar lenyap dari
jangkauan Aditya. Nomor ponsel Priska tak aktif, bahkan akun Facebook dan
Twitter Priska pun telah non-aktif pula.
Priska…, Aditya tahu benar, gadis itu
begini karenanya, karena ulahnya yang terlalu menyakiti gadis itu hingga ke
dasar hati yang paling dalam. Hingga akhirnya gadis itu pergi dan tak akan
kembali untuk selamanya.
Aditya terperanjat mendengar tiba-tiba
ponselnya bergetar dan terpampang sebuah nomor yang sangat tak jelas, karena nomor
itu seperti bukan nomor dari Indonesia.
“Halo?”
“Hai, Dit.”
Aditya membelalakkan mata. Ia sangat
kenal dengan suara ramah itu. “Priska?”
“Yap! Tepat!”
“Ris…, gue…,”
“Doain gue ya, disini gue sekolah sastra,
gue dapet beasiswa. Tapi sayang, gue nggak bakal balik lagi ke Indonesia.”
“Ris…,”
“Daaaah aditya, I just wanna say that!”
klik! Telepon terputus. Aditya buru-buru mencoba menghubungi nomor itu lagi
namun…, “nomor yang anda tuju sudah tidak berlaku…,” sial! Priska menghanguskan
nomor ponselnya. Aditya meninju meja kelas dengan kesal hingga buku-buku
jarinya berdarah.
Untuk pertama kalinya, Aditya menangis!
Menangis! Benar-benar menangis! Ia tak sanggup lagi menahan luapan emosinya
yang meletup. Yang selama ini di pendamnya sendiri.
Jujur…, ia rindu kehadiran Priska
disisinya, tawa gadis itu, sungutan kesalnya ketika tak paham tentang
pelajaran, keluhan-keluhannya mengenai teman-teman sekelas, kedatangan Priska
pagi-pagi buta untuk memberinya kejutan, ia rindu semua itu. Rindu yang teramat
sangat membuatnya tersiksa. Seandainya waktu bisa di putar.
Aditya memegang dadanya yang terasa
sesak. Kini baru dirasakannya, jauh di dalam lubuk hatinya, ia begitu mencintai
Priska dan butuh gadis itu. Priska…, kembali! Teriak Aditya dalam hati. Sesal
dihatinya kini sudah berganda menjadi beratus-ratus kali lipat setelah disadarinya,
ia telah menyia-nyiakan cinta Priska untuknya dulu… cinta yang kini justru
diharapkannya untuk kembali lagi. Mengulang saat-saat indah yang pernah dilalui
mereka.
Aditya meringkukkan wajahnya hingga
tertunduk lemas. Tangannya terulur lunglai menggapai suatu benda dari dalam tas
sekolahnya: gantungan kunci dari Priska. Satu-satunya kenangan dari Priska yang
masih tersisa bersamanya, kenangan dari gadis yang telah disakitinya sekaligus
juga sangat dicintainya….
THE END
* * * *
Bagai
menjaring angin di perbukitan, terasa namun tak teraba…
Bagai
kupu-kupu yang hinggap ditangan, ia akan terbang pergi menjauh, dan membuat
kita menyesal, karena belum sempat menyentuhnya…
Bagai
melihat fatamorgana di padang pasir, jauh begitu nyata, namun begitu dekat,
ternyata fana…
Bagai
angin sejuk di musim kemarau, hanya sesaat menghampiri, lalu akan pergi
berlalu, entah kemana…
Bagai
bintang-bintang di langit, ingin rasanya memiliki, tapi apa daya, rasanya tak
mungkin…
Bagai
lilin yang menerangi ketika gelap, hanya sesaat terangnya, namun akan luluh
lantak seiring berjalannya waktu…
Bagai
langit di atas sana, terasa begitu dekat, tanpa kita sadari, sebenarnya begitu
panjang jarak yang terbentang diantaranya…
Bagai
pelangi, ia akan hilang begitu saja, tanpa ia peduli, sebenarnya kita ingin ia
terus berada disini, dapat memandanginya, menikmati keindahannya, meski tak
mungkin menyentuh, meraih, apa lagi memilikinya…
Sebuah cerita dan puisi oleh: pricillia
rahayu ^^
terimakasih :) terus membaca cerpen2 ku yah, hehehehe
BalasHapusbaguuuss....
BalasHapus