2nd
Summit
Siang beranjak dari kantor Gravitama saat
langit mulai menampakkan pendar bintang. Langkahnya langsung ia tujukan pada
sebuah restoran seafood di jantung Ibukota Provinsi, tempat dimana
teman-temannya telah menunggu. Seperti biasa, perkumpulan bulanan mereka
dijadwalkan hari ini. Dan demi membunuh jenuh sebab selalu mengadakan pertemuan
di kota kecil tempat mereka tinggal, maka seluruh anggota rela menempuh tiga
jam perjalanan demi menemukan suasana baru. Sebuah kebetulan yang manis sebab Siang
sedang menangani peluncuran buku Gravitama, sehingga ia tak perlu terlalu
direpotkan dengan perjalanan pulang-pergi yang cukup menguras tenaga.
Siang tiba dengan disambut tatapan mata
jengah dari seluruh teman-temannya yang duduk berhadap-hadapan pada sebuah meja
panjang tepat di tengah restoran, ada satu yang janggal, Pagi belum tampak
disana. Diluar prasangka Siang, sebab Pagi menetap dan bekerja di Ibukota ini,
seharusnya ia lah yang datang terlebih dahulu.
“Kenapa sih pada cemberut?” Siang meletakkan
tumpukkan berkas-berkasnya keatas meja dan langsung duduk di hadapan Sarah.
Matanya mengedar pandang pada keenam temannya; Ridho, Tria, Sarah, Elva, Anton
dan Putra.
“Pagi ga ada kabar.” Sahut Tria,
perempuan bertubuh tambun dengan gaya khas rambutnya yang selalu dikucir itu.
Siang mengernyit, “loh bukannya tadi dia
bilang dia bisa?”
“Gue udah telepon hapenya puluhan kali
tapi ga diangkat,” Ridho, si kumis tipis bertubuh pendek menimpali. “Jauh-jauh
kesini, yang jadi tuan rumah malah ngaret.” Gerutunya kemudian.
Siang menghela napas panjang, Pagi tak
biasanya seperti ini. Diantara mereka berdelapan justru sosok lelaki
berkacamata itu lah yang paling tepat waktu. “Dia lagi ada kerjaan mungkin.
Tungguin aja. Udah yuk, pesen dulu aja nih… “ Siang membagikan buku menu ke
seluruh penjuru meja, membubarkan aroma-aroma kekesalan yang mulai kental
terasa.
♥♥♥♥♥
Malam semakin larut ketika Pagi baru
saja menyelesaikan pekerjaannya. Bertumpuk-tumpuk nilai yang harus di input ke
sistem KRS online membuatnya mau tak mau melemburkan diri dan tenggelam dalam
kesunyian gedung universitas yang tak lagi tampak hingar bingar. Ia memilih
mengacuhkan ponselnya yang sedari tadi berbunyi sebab puluhan panggilan masuk
dari teman-temannya secara bergantian. Begitulah Pagi, jika sedang bekerja ia
tak mau diganggu sama sekali.
Pagi buru-buru turun dari gedung
berlantai empat itu menuju parkiran yang tampak sepi. Diliriknya ponsel yang ia
genggam dengan layar menunjukkan notifikasi bahwa ponsel itu sebentar lagi akan
mati sebab batrenya telah habis. Pagi mendengus kesal, lalu semakin
terburu-buru menyalakan mobil, menuju restoran tempat pertemuan itu diadakan.
Dalam benaknya, ia sudah dapat membayangkan Sarah yang akan mengomel panjang
lebar sebab keterlambatannya yang sangat keterlaluan ini.
“Sialan!” Pagi memukul stir mobilnya
dengan kesal mendapati hamparan kendaraan yang macet dihadapannya. Kendaraan-kendaraan
itu memanjang dengan rapi, tak bergerak sedikitpun. Pagi membuka kaca jendela,
tepat ketika seorang pedagang asongan mendekat padanya, “Bang, ada apaan nih?
Kenapa macet?” tanya Pagi heran, mengingat jalan utama dekat kampusnya selalu
lancar-lancar saja.
“Ada dua truk terguling, Bang. Mobil
dereknya masih dijalan. Ini udah setengah jam nih ga gerak-gerak.” Sahut sang
pedangan asongan menjelaskan, “permen, Bang? Kali-kali aja bosen nunggu macet,”
pedagang asongan itu menawarkan jualannya pada Pagi dan sebagai imbalan atas
pertanyaannya barusan, Pagi membeli dua bungkus permen sekaligus yang disambut
dengan senyuman sumringah dari sang pedagang asongan sambil berlalu menjajakan
dagangannya ke kendaraan lain.
Pagi mengedarkan pandang dan mendapati
pengendara di sekelilingnya ramai-ramai keluar dari mobil lalu duduk di
trotoar. Tanpa pikir panjang, Pagi ikut-ikutan mematikan mesin mobilnya, lalu
bergerak keluar mobil menuju sebuah swalayan yang terletak di kiri jalan.
Kepalanya sakit, rasanya ia butuh kopi seduh.
Pagi duduk di kursi besi depan swalayan
sembari meneguk kopi seduhnya, matanya menatap nanar pada deretan mobil yang
semakin memanjang namun tak bergerak. Ponselnya yang mati digeletakkannya
begitu saja di dalam mobil, ia rasa teman-temannya dapat memaklumi
keterlambatannya malam ini.
Kopi digelasnya tersisa dua teguk lagi,
tepat ketika mata Pagi menangkap sesosok perempuan berjalan mendekati swalayan.
Sepertinya perempuan itu bernasib sama dengan Pagi melihat air mukanya yang
begitu keruh nan jengkel. Perempuan itu melangkah terburu-buru kemudian
menghempas tubuhnya duduk tepat di sebelah Pagi. Kemudian ia membuka tas tangannya
dan mengeluarkan sebotol air mineral darisana yang dengan lekas segera ia
teguk.
Pagi melirik diam-diam gadis itu melalui
ekor matanya, tampak ia sedang gusar sembari melihat terus menerus jam tangan
yang ia kenakan. Gadis itu benar-benar tak sadar bahwa Pagi sedari tadi
memerhatikannya.
Pagi terus mencuri-curi pandang,
memerhatikan setiap potongan demi potongan wajah gadis ini yang entah mengapa
seperti mengandung daya tarik tersendiri. Hidungnya mancung dengan bola mata
cokelat lengkap dengan kantung mata yang entah kenapa justru menjadi cirikhas pemanis
di wajah gadis itu. Rambutnya yang ikal dibagian bawah menjuntai lalu bergoyang
ketika tertiup angin. Pagi terus menerus mencuri pandang hingga akhirnya tanpa
sengaja gadis itu menangkap basah Pagi, kontan membuat Pagi gelagapan.
Gadis itu tetap memilih diam meski
menyadari ia sedang diperhatikan, demi sedetik kemudian kembali menjadi sosok
yang tak perduli dengan Pagi yang duduk disampingnya.
Pagi menghela napas, memutuskan segera
bangkit berdiri dan kembali menuju mobilnya. Dadanya gusar dan berdetak lebih
cepat. Sudah lama sekali rasanya ia tak menemukan wanita dengan daya tarik seperti
ini.
♥♥♥♥♥
“Sorry… Sorry… telat banget ya. Tadi gue
lagi ada kerjaan terus kejebak macet di jalan,” tanpa babibu Pagi menyeruak
masuk ditengah kerumunan teman-temannya yang sedang asyik berbincang, sontak
semuanya terdiam dan kompak melempar pandangan murka padanya. Namun Pagi dengan
santai malah cengegesan sambil garuk-garuk kepala, “udah deh biar pada ga
ngambek, malem ini gue yang traktir semuanya.”
Detik berikutnya terdengar sahut-sahutan
tawa terbahak-bahak, tanda suasana mulai mencair. Manusia mana yang pada
hakikatnya tak suka sesuatu yang gratis.
Pagi mengedar pandang lalu mulai
mengikuti arus perbincangan teman-temannya yang mulai membahas berbagai macam
jenis obrolan. Semakin larut, obrolan semakin tak tentu arah, tawa pecah
dimana-mana. Sekumpulan manusia itu memang selalu bahagia jika disatukan bersama.
Berporsi-porsi cemilan silih berganti
keluar masuk dari dapur restoran, memenuhi meja, kemudian habis. Terus menerus
seperti itu hingga jam menunjukkan hampir tengah malam. Namun bukannya
kehabisan bahan obrolan, delapan sahabat itu justru semakin semangat seolah
ingin menentang malam dan menua menunggu pagi bersama.
“Jadi, Ang, udah sampe mana persiapan
pernikahan lo?” Anton, si lelaki kurus degan rambut panjang sebahu itu bersuara
sembari mengunyah bakpao isi kacang yang masih hangat. Seluruh tatapan kontan
mengarah pada Siang dengan lurus. Topik ini adalah salah satu bahasan hangat di
setiap perkumpulan mereka, mengingat diantara mereka, Siang adalah orang
pertama yang akan menikah.
“Udah mulai jahit baju sih gue, kemarin
begitu sampe sini gue langsung cari bahan kebaya sekalian cari penjahit. Di
kota kita kan ga ada penjahit baju pengantin yang bagus.”
“Wah mantap! Lo pasti jahit maju ala-ala
princess kan? Yang bagian bottomnya mengembang nyapu lantai terus ekornya 10
meter?” Sahut Putra, si tubuh bidang dengan jenggot tipis, menimpali kalimat
Siang yang disambut dengan kekehan kompak dari teman-temannya yang lain.
Siang melotot, sadar itu adalah sebuah
ejekan bagi dirinya. “Se-tampak manja itu kah gue???”
Ketujuh orang lainnya kompak tak mau menjawab, malah asyik terus tertawa terbahak-bahak. Siang semakin melipat wajahnya, dan demi menghindari semua tertawaan itu, ia memilih membuka berkas-berkas pekerjaannya yang belum rampung. Membiarkan teman-temannya meredakan tawa dengan sendirinya.
Ketujuh orang lainnya kompak tak mau menjawab, malah asyik terus tertawa terbahak-bahak. Siang semakin melipat wajahnya, dan demi menghindari semua tertawaan itu, ia memilih membuka berkas-berkas pekerjaannya yang belum rampung. Membiarkan teman-temannya meredakan tawa dengan sendirinya.
Siang membuka catatan-catatan kecil yang
sedang ia kerjakan tentang acara launching buku Gravitama esok lusa. Pagi, yang
duduk disampingnya, melirik sekilas demi kemudian tanpa permisi mencomot
selembar pamflet yang menyembul keluar dari balik paperbagnya.
Pagi mengamati pamflet itu dengan alis
bertaut, dahi keriting dan kepala yang berpikir ratusan kali lipat lebih keras.
Dideliknya Siang dengan penuh tanda tanya, “perempuan ini siapa, Ang?”
tunjuknya pada sosok perempuan yang fotonya terpajang di dalam pamflet dalam
posisi sedang duduk sembari tersenyum.
Siang melirik sekilas demi kemudian
kembali terfokus pada catatan kecil miliknya, “oh, itu Rembulan Malam Rinjani,
itu loh penulis terkenal yang buku-bukunya sering diangkat ke layar lebar. Lo tahu
film Sayap Dara? Itu dari buku Si Malam ini.”
Dahi Pagi semakin keriting, “terus?”
“Hmmm…” Siang tampak berpikir sebentar,
“lo inget kita berdelapan pernah nonton film Teman Tapi Musuh? Itu juga
diangkat dari buku dia. Ah kalau laki-laki mah mana paham.” Siang menjelaskan
sambil menggerutu.
“Iya. Iya. Gue tahu film-film itu. Tapi
gue baru tahu sosok penulisnya.” Pagi manggut-manggut. Di negara ini, wajah dan
fisik seorang penulis memang jarang diketahui publik, beberapa penulis memilih
merahasiakannya, namun banyak juga yang tidak diketahui sebab masyarakat tak
perduli, yang terpenting hanya karyanya bisa dinikmati. “Jadi ini penulis yang
acara launching bukunya lagi EO lo garap?”
“Yup.”
Pagi terdiam, dunia ini terasa sempit
sekali. Dadanya berdetak cepat saat menatap wajah itu sekali lagi melakui
pamflet yang ia genggam. Dalam sekejap Pagi seolah dapat merasakan kehadiran
gadis itu duduk tepat disebelahnya lagi lengkap dengan rambut bawah ikalnya
yang tertiup angin.
Pagi membaca pamflet itu dengan seksama,
menghapal baik-baik lokasi, tanggal serta pukul berapa launching itu akan
dilaksanakan. Ia memantapkan hati, rasa penasarannya tak bisa lagi ia tutupi;
launching buku itu harus ia datangi!
♥♥♥♥♥
Malam itu, pelataran parkir sebuah kafe
mewah di pusat Ibukota Provinsi tampak lebih ramai dari biasanya. Sebuah
spanduk membentang luas dibagian depan. Sedangkan bagian-bagian dalam kafe
dihias dengan ornamen-ornamen cantik seperti balon, lampu tumblr serta stiker
stiker kecil yang di dominasi warna perak metalik.
Di lantai dua kafe itu, kerumunan orang
tampak mulai meramai. Kursi-kursi berjejer rapi dengan sebuah panggung mini
terpampang di depan. Disana, Malam duduk manis, melempar pandangnya pada sekitar
dengan hati gegap gempita. Meski ini bukanlah peluncuran bukunya yang pertama,
hatinya tetap gugup luar biasa, entah benar-benar canggung atau ada rasa
bahagia menggebu yang turut bercampur juga. Yang jelas bagi Malam, di setiap
momen peluncuran bukunya, segala sesuatu terasa berbeda dan tak akan sama.
Acara itu akan segera dimulai, di sudut
lain lantai dua, Siang mengamati pemandangan sekitar dengan awas, memerhatikan
setiap detil dekorasi dengan teliti sekaligus mengawasi anak buahnya yang sibuk
berkeliaran kesana kemari. Siang tersenyum puas, dekorasi acara peluncuran buku
hari ini sesuai dengan ekspektasinya.
Sementara itu di lapangan parkir kafe,
Pagi baru saja tiba dengan mengendarai mobilnya. Ia berjalan masuk ke dalam
kafe dengan jantung yang lagi-lagi bergedup lebih cepat. Pagi sibuk mengatur
nafas sembari meniti satu persatu anak tangga menuju lantai dua.
Pagi terdiam, tercengang beberapa detik
dibalik pintu kaca yang membatasinya menuju ruangan tempat acara
diselenggarakan. Dari sini ia dapat melihat dengan jelas sosok perempuan
berkantung mata dan berambut ikal dibagian bawah itu duduk sembari bercuap-cuap
dengan mikrofon yang ia genggam. Tanpa sadar, pagi dibuat senyum-senyum sendiri
melihatnya.
“Tiket, Mas?” seorang laki-laki berumur
20 tahunan menghampiri Pagi, meminta tiket sebagai kunci agar Pagi boleh masuk
ke dalam ruangan itu.
“Oh maaf saya belum beli. Disini ada
jualan tiketnya?”
“Ada, Mas. Sebentar.” Laki-laki itu
menyobek sebuah tiket dari segepok tiket yang ia genggam kemudian menyerahkan
tiket itu kepada Pagi seusai Pagi membayarnya.
Dengan perasaan menggebu, Pagi melangkah
masuk ke ruangan peluncuran buku itu dengan langkah pelan. Dan tanpa bisa Pagi
duga, matanya langsung bertumbukan dengan mata Siang yang berdiri tak jauh dari
pintu masuk.
Siang mengernyit, menghampiri Pagi
dengan tanda tanya memenuhi kepala. “Lo ngapain, Gi?” Siang menggerogoti Pagi dengan
tatapan dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Seumur-umur gue kenal elo, gue ga
pernah tahu lo suka dateng ke acara ginian.”
Pagi tersenyum simpul sambil
menggaruk-garuk kepala, ia sudah terlanjur tertangkap basah. “Gue… mau kenalan
sama Rembulan Malam Rinjani.”
Alis Siang naik beberapa senti, “apa?! Gue
ga salah denger???”
Pagi menggeleng sambil tersipu malu. “Waktu
malam kita kumpulan itu, gue ketemu dia lagi kejebak macet juga, eh pas banget waktu
liat pamflet yang lo pegang ternyata dia penulis yang peluncuran bukunya
digarap sama EO lo, Ang.” Jelas Pagi kemudian. “Gue penasaran banget, makanya
gue kesini.”
“Emang waktu ketemu kemarin belum sempet
kenalan?”
Pagi menggeleng lemah, matanya kembali
menatap panggung tanpa berkedip. Kali ini Malam tengah tertawa sebab mendengar
salah seorang penonton menanyakan pertanyaan yang membuat dirinya tergelitik.
Siang tersenyum kemudian tertawa
terbahak-bahak, “ya ampun, Giiiiii. Sejak kapan sih lo jadi berani ngajak cewe
kenalan sampe rela nyamper-nyamperin gini? Kaya bukan Pagi yang gue kenal.”
Siang geleng-geleng kepala sendiri. “Ufuk Pagi Himalaya tuh ya setahu gue kaya
robot es, kaku, dingin, galak! Hahahahaha.”
Pagi berdecak kesal, wajahnya ditekuk
hingga kusut, “seharusnya lo seneng dong, Ang, sahabat lo ini udah ada kemajuan
sekarang.”
Siang menghentikan tawanya kemudian
menatap Pagi lurus. “Yaudah ntar selesai acara gue kenalin.” Siang mengangkat
kedua jempolnya tepat dihadapan wajah Pagi. “Udah lo duduk aja dulu, santai.
Gue masih banyak kerjaan. Gue tinggal dulu ya.” Siang pun berlalu, kembali di
tengah rekan-rekan kerjanya yang tengah sibuk mengatur cemilan di meja
seberang.
Pagi meraba dadanya, degup jantung itu
makin tak beraturan. Jika bisa, Pagi ingin menggulung waktu segera, agar segera
tiba di penghujung acara.
♥♥♥♥♥
Acara berlangsung dengan sukses.
Penjualan buku bertanda-tangan khusus Malam bahkan habis tanpa sisa. Semua
hadirin pulang dengan wajah sumringah, beberapa juga berhasil mendapat foto
bersama dengan Malam. Peluncuran buku itu sungguh telah berhasil menebarkan
aroma bahagia dan senyum di seluruh penjuru ruangan.
“Mbak Malam, selamat ya! Acaranya sukses
sekali.” Siang menghampiri Malam yang tengah menyeduh teh hangat di belakang
panggung.
Malam tergeragap, lalu dengan sumringah
mengaduk teh nya pelan. “Makasih, Mbak Siang. Ini juga berkat EO Mbak Siang
yang luar biasa.”
Siang mengulum senyum, “jangan panggil
‘Mbak”, panggil ‘Siang’ aja.”
Malam mengangguk, “kalau gitu sama,
panggil saya nama saja, Mbak… eh… Siang maksudnya,” Malam terkekeh. Ia meneguk
tehnya kemudian.
“Oh iya, Lam, kalau boleh, ada teman
saya mau kenalan sama kamu.” Siang berdeham sembari mencuri pandang, membaca
ekspresi Malam dengan cermat.
Malam mendelik heran, dahinya berkerut,
“siapa, Ang?”
“Mau saya panggilkan?”
Malam terdiam sebentar, kemudian
mengangguk. Otaknya tak mampu menolak, seolah memerintah setiap inci tubuhnya
untuk menerima permintaan itu.
“Kalau gitu, saya ke depan sebentar.”
Siang mengedipkan sebelah mata kemudian berlari dan menghilang di balik pintu
kaca ruangan. Malam melihat kejadian itu sembari meraba jantungnya yang mulai
berirama tak beraturan. Ada apakah gerangan?
♥♥♥♥♥
Siang kembali ke ruangan itu dengan
seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit bersih lengkap dengan kacamata
segiempat membingkai wajahnya. Kemeja flannel berwarna hijau serta celana jins
yang ia kenakan tampak melekat dengan baik ditubuhnya yang begitu bidang. Malam
menatapi sosok itu lamat-lamat dengan teliti, seolah sedang berusaha menemukan
dimana letak celah kekurangan dari lelaki yang secara fisik nampak nyaris
sempurna itu. Malam mengatur nafasnya yang mulai memburu, semakin lama semakin
sosok itu semakin mendekat, tubuhnya semakin tak karuan, namun ia setengah mati
berusaha tampak tenang.
“Lam, kenalkan…” Siang menghentikan
langkahnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Malam yang sedang duduk diatas
sofa belakang panggung, matanya kemudian mendelik pada Pagi yang berdiri dengan
wajah merah merona dibelakangnya, “ini teman saya.” Dengan isyarat, Siang
memerintah Pagi untuk mengenalkan diri secara pribadi.
Pagi maju beberapa langkah kedepan,
membuat tubuhnya berhadapan langsung dengan Malam. Wajahnya semakin tersipu
malu. Sungguh, Pagi tak pernah melakukan hal ini seumur hidupnya.
“Perkenalkan,” Pagi mengulurkan tangannya, “nama saya Ufuk Pagi Himalaya,
panggil saja Pagi.”
Malam tercengang, menatapi tangan yang
terjulur itu dengan bingung demi kemudian menyambutnya dengan jabat yang
canggung. “Nama saya Rembulan Malam Rinjani, panggil saja Malam.”
Keduanya pun kompak melepas jabat itu
dengan kaku. Sibuk saling membuang pandang, tak ingin satu dan lainnya tahu
bahwa pipi mereka sama-sama merona merah jambu.
“Kalian butuh ngobrol mungkin? Aku
tinggal dulu ya.” Tanpa meminta persetujuan keduanya, Siang buru-buru melangkah
pergi dengan cepat lalu sibuk berkecimpung dengan anak buahnya yang sedang
membereskan dekor di bagian depan ruangan.
Pagi dan Malam kontan terbujur kaku.
Malam terduduk tegak di sofanya dengan wajah tegang, sementara Pagi berdiri
dengan kaki yang terasa ingin amblas kedalam bumi lengkap dengan wajahnya yang pucat
pasi. Kedua sosok manusia itu bak sepasang yang baru pertama kali berkenalan
dengan lawan jenis. Pagi bingung harus memulai percakapan darimana, sementara
Malam justru kebingungan sendiri mengapa ia menjadi begitu gugup seperti ini.
“Gi, sini duduk.” Malam menggeser
tubuhnya, memberikan ruang di sebelah kiri sofa sekaligus membuka pembicaraan.
Pagi dengan kaku mengangguk lalu duduk
dengan hati hati. Diam-diam ia mencuri pandang pada Malam yang kini sedang
terdiam dengan tatapan kosong. “Maaf, Lam, saya kurang sopan ya?”
Malam mengerling kearah Pagi sesaat lalu
kembali membuang pandang, “ga sopan maksudnya?”
“Ya, saya tiba-tiba datang kesini, ngajak kamu kenalan.”
“Ya, saya tiba-tiba datang kesini, ngajak kamu kenalan.”
Malam tersenyum simpul, “gapapa. Biasa
aja, Gi.”
“Oh iya, kamu ga ingat saya?”
Sekali lagi, Malam mengerling pada Pagi,
“memang kita pernah ketemu?”
“Kamu ga ingat ya?” Pagi tertawa kecil
dengan nada malu, pipinya kembali menyemburat merah. Kini ia sadar, pertemuan
di tengah kemacetan itu hanya berkesan di pikirannya saja, tidak di pikiran
Malam. Atau jangan-jangan justru sosok Malam lah yang terlalu berkesan untuk
Pagi? Sehingga pertemuan singkat itu saja sudah mampu membuatnya gelisah
bercampur penasaran setengah mati? Pagi sekali lagi tertawa, menyadari
kebodohan dirinya sendiri. “Kita pernah ketemu di depan swalayan beberapa hari
lalu waktu terjebak macet, ingat? Saya duduk di sebelah kamu, sambil minum
kopi.”
Malam menaikan sebelah alisnya, mencoba
mengingat, kemudian terkekeh pelan, “oooohhhh, iya iya… saya ingat. Kamu
laki-laki yang diam-diam curi pandang ke saya itu kan?” Malam terbahak.
Pagi garuk-garuk kepala sambil
senyum-senyum sendiri, menahan malu. “Iya… maaf…”
“Gapapa… santai aja…” Malam mengibaskan
tangannya di udara. “Jadi kamu kesini karena…”
“Iya… karena saya begitu tertarik
melihat kamu dari pandangan pertama.” Pagi memotong kalimat malam di udara
sembari menatap mata Malam dengan begitu lurus dan dalam.
Malam terdiam, terhenyak, pandangan itu
membuatnya menjadi begitu tersudut. Jantungnya kembali berirama tak beraturan,
nafasnya kembali melambat. Malam tahu, sudah lama ia tak merasa seperti ini
ketika dekat dengan seorang lelaki.
BERSAMBUNG...
OK
BalasHapus