Kamis, 13 Desember 2018

Kaldera (2nd Summit)



2nd Summit

Siang beranjak dari kantor Gravitama saat langit mulai menampakkan pendar bintang. Langkahnya langsung ia tujukan pada sebuah restoran seafood di jantung Ibukota Provinsi, tempat dimana teman-temannya telah menunggu. Seperti biasa, perkumpulan bulanan mereka dijadwalkan hari ini. Dan demi membunuh jenuh sebab selalu mengadakan pertemuan di kota kecil tempat mereka tinggal, maka seluruh anggota rela menempuh tiga jam perjalanan demi menemukan suasana baru. Sebuah kebetulan yang manis sebab Siang sedang menangani peluncuran buku Gravitama, sehingga ia tak perlu terlalu direpotkan dengan perjalanan pulang-pergi yang cukup menguras tenaga.
Siang tiba dengan disambut tatapan mata jengah dari seluruh teman-temannya yang duduk berhadap-hadapan pada sebuah meja panjang tepat di tengah restoran, ada satu yang janggal, Pagi belum tampak disana. Diluar prasangka Siang, sebab Pagi menetap dan bekerja di Ibukota ini, seharusnya ia lah yang datang terlebih dahulu.
“Kenapa sih pada cemberut?” Siang meletakkan tumpukkan berkas-berkasnya keatas meja dan langsung duduk di hadapan Sarah. Matanya mengedar pandang pada keenam temannya; Ridho, Tria, Sarah, Elva, Anton dan Putra.
“Pagi ga ada kabar.” Sahut Tria, perempuan bertubuh tambun dengan gaya khas rambutnya yang selalu dikucir itu.
Siang mengernyit, “loh bukannya tadi dia bilang dia bisa?”
“Gue udah telepon hapenya puluhan kali tapi ga diangkat,” Ridho, si kumis tipis bertubuh pendek menimpali. “Jauh-jauh kesini, yang jadi tuan rumah malah ngaret.” Gerutunya kemudian.
Siang menghela napas panjang, Pagi tak biasanya seperti ini. Diantara mereka berdelapan justru sosok lelaki berkacamata itu lah yang paling tepat waktu. “Dia lagi ada kerjaan mungkin. Tungguin aja. Udah yuk, pesen dulu aja nih… “ Siang membagikan buku menu ke seluruh penjuru meja, membubarkan aroma-aroma kekesalan yang mulai kental terasa.

♥♥♥♥♥

Malam semakin larut ketika Pagi baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Bertumpuk-tumpuk nilai yang harus di input ke sistem KRS online membuatnya mau tak mau melemburkan diri dan tenggelam dalam kesunyian gedung universitas yang tak lagi tampak hingar bingar. Ia memilih mengacuhkan ponselnya yang sedari tadi berbunyi sebab puluhan panggilan masuk dari teman-temannya secara bergantian. Begitulah Pagi, jika sedang bekerja ia tak mau diganggu sama sekali.
Pagi buru-buru turun dari gedung berlantai empat itu menuju parkiran yang tampak sepi. Diliriknya ponsel yang ia genggam dengan layar menunjukkan notifikasi bahwa ponsel itu sebentar lagi akan mati sebab batrenya telah habis. Pagi mendengus kesal, lalu semakin terburu-buru menyalakan mobil, menuju restoran tempat pertemuan itu diadakan. Dalam benaknya, ia sudah dapat membayangkan Sarah yang akan mengomel panjang lebar sebab keterlambatannya yang sangat keterlaluan ini.
“Sialan!” Pagi memukul stir mobilnya dengan kesal mendapati hamparan kendaraan yang macet dihadapannya. Kendaraan-kendaraan itu memanjang dengan rapi, tak bergerak sedikitpun. Pagi membuka kaca jendela, tepat ketika seorang pedagang asongan mendekat padanya, “Bang, ada apaan nih? Kenapa macet?” tanya Pagi heran, mengingat jalan utama dekat kampusnya selalu lancar-lancar saja.
“Ada dua truk terguling, Bang. Mobil dereknya masih dijalan. Ini udah setengah jam nih ga gerak-gerak.” Sahut sang pedangan asongan menjelaskan, “permen, Bang? Kali-kali aja bosen nunggu macet,” pedagang asongan itu menawarkan jualannya pada Pagi dan sebagai imbalan atas pertanyaannya barusan, Pagi membeli dua bungkus permen sekaligus yang disambut dengan senyuman sumringah dari sang pedagang asongan sambil berlalu menjajakan dagangannya ke kendaraan lain.
Pagi mengedarkan pandang dan mendapati pengendara di sekelilingnya ramai-ramai keluar dari mobil lalu duduk di trotoar. Tanpa pikir panjang, Pagi ikut-ikutan mematikan mesin mobilnya, lalu bergerak keluar mobil menuju sebuah swalayan yang terletak di kiri jalan. Kepalanya sakit, rasanya ia butuh kopi seduh.
Pagi duduk di kursi besi depan swalayan sembari meneguk kopi seduhnya, matanya menatap nanar pada deretan mobil yang semakin memanjang namun tak bergerak. Ponselnya yang mati digeletakkannya begitu saja di dalam mobil, ia rasa teman-temannya dapat memaklumi keterlambatannya malam ini.
Kopi digelasnya tersisa dua teguk lagi, tepat ketika mata Pagi menangkap sesosok perempuan berjalan mendekati swalayan. Sepertinya perempuan itu bernasib sama dengan Pagi melihat air mukanya yang begitu keruh nan jengkel. Perempuan itu melangkah terburu-buru kemudian menghempas tubuhnya duduk tepat di sebelah Pagi. Kemudian ia membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebotol air mineral darisana yang dengan lekas segera ia teguk.
Pagi melirik diam-diam gadis itu melalui ekor matanya, tampak ia sedang gusar sembari melihat terus menerus jam tangan yang ia kenakan. Gadis itu benar-benar tak sadar bahwa Pagi sedari tadi memerhatikannya.
Pagi terus mencuri-curi pandang, memerhatikan setiap potongan demi potongan wajah gadis ini yang entah mengapa seperti mengandung daya tarik tersendiri. Hidungnya mancung dengan bola mata cokelat lengkap dengan kantung mata yang entah kenapa justru menjadi cirikhas pemanis di wajah gadis itu. Rambutnya yang ikal dibagian bawah menjuntai lalu bergoyang ketika tertiup angin. Pagi terus menerus mencuri pandang hingga akhirnya tanpa sengaja gadis itu menangkap basah Pagi, kontan membuat Pagi gelagapan.
Gadis itu tetap memilih diam meski menyadari ia sedang diperhatikan, demi sedetik kemudian kembali menjadi sosok yang tak perduli dengan Pagi yang duduk disampingnya.
Pagi menghela napas, memutuskan segera bangkit berdiri dan kembali menuju mobilnya. Dadanya gusar dan berdetak lebih cepat. Sudah lama sekali rasanya ia tak menemukan wanita dengan daya tarik seperti ini.

♥♥♥♥♥

“Sorry… Sorry… telat banget ya. Tadi gue lagi ada kerjaan terus kejebak macet di jalan,” tanpa babibu Pagi menyeruak masuk ditengah kerumunan teman-temannya yang sedang asyik berbincang, sontak semuanya terdiam dan kompak melempar pandangan murka padanya. Namun Pagi dengan santai malah cengegesan sambil garuk-garuk kepala, “udah deh biar pada ga ngambek, malem ini gue yang traktir semuanya.”
Detik berikutnya terdengar sahut-sahutan tawa terbahak-bahak, tanda suasana mulai mencair. Manusia mana yang pada hakikatnya tak suka sesuatu yang gratis.
Pagi mengedar pandang lalu mulai mengikuti arus perbincangan teman-temannya yang mulai membahas berbagai macam jenis obrolan. Semakin larut, obrolan semakin tak tentu arah, tawa pecah dimana-mana. Sekumpulan manusia itu memang selalu bahagia jika disatukan bersama.
Berporsi-porsi cemilan silih berganti keluar masuk dari dapur restoran, memenuhi meja, kemudian habis. Terus menerus seperti itu hingga jam menunjukkan hampir tengah malam. Namun bukannya kehabisan bahan obrolan, delapan sahabat itu justru semakin semangat seolah ingin menentang malam dan menua menunggu pagi bersama.
“Jadi, Ang, udah sampe mana persiapan pernikahan lo?” Anton, si lelaki kurus degan rambut panjang sebahu itu bersuara sembari mengunyah bakpao isi kacang yang masih hangat. Seluruh tatapan kontan mengarah pada Siang dengan lurus. Topik ini adalah salah satu bahasan hangat di setiap perkumpulan mereka, mengingat diantara mereka, Siang adalah orang pertama yang akan menikah.
“Udah mulai jahit baju sih gue, kemarin begitu sampe sini gue langsung cari bahan kebaya sekalian cari penjahit. Di kota kita kan ga ada penjahit baju pengantin yang bagus.”
“Wah mantap! Lo pasti jahit maju ala-ala princess kan? Yang bagian bottomnya mengembang nyapu lantai terus ekornya 10 meter?” Sahut Putra, si tubuh bidang dengan jenggot tipis, menimpali kalimat Siang yang disambut dengan kekehan kompak dari teman-temannya yang lain.
Siang melotot, sadar itu adalah sebuah ejekan bagi dirinya. “Se-tampak manja itu kah gue???”
Ketujuh orang lainnya kompak tak mau menjawab, malah asyik terus tertawa terbahak-bahak. Siang semakin melipat wajahnya, dan demi menghindari semua tertawaan itu, ia memilih membuka berkas-berkas pekerjaannya yang belum rampung. Membiarkan teman-temannya meredakan tawa dengan sendirinya.
Siang membuka catatan-catatan kecil yang sedang ia kerjakan tentang acara launching buku Gravitama esok lusa. Pagi, yang duduk disampingnya, melirik sekilas demi kemudian tanpa permisi mencomot selembar pamflet yang menyembul keluar dari balik paperbagnya.
Pagi mengamati pamflet itu dengan alis bertaut, dahi keriting dan kepala yang berpikir ratusan kali lipat lebih keras. Dideliknya Siang dengan penuh tanda tanya, “perempuan ini siapa, Ang?” tunjuknya pada sosok perempuan yang fotonya terpajang di dalam pamflet dalam posisi sedang duduk sembari tersenyum.
Siang melirik sekilas demi kemudian kembali terfokus pada catatan kecil miliknya, “oh, itu Rembulan Malam Rinjani, itu loh penulis terkenal yang buku-bukunya sering diangkat ke layar lebar. Lo tahu film Sayap Dara? Itu dari buku Si Malam ini.”
Dahi Pagi semakin keriting, “terus?”
“Hmmm…” Siang tampak berpikir sebentar, “lo inget kita berdelapan pernah nonton film Teman Tapi Musuh? Itu juga diangkat dari buku dia. Ah kalau laki-laki mah mana paham.” Siang menjelaskan sambil menggerutu.
“Iya. Iya. Gue tahu film-film itu. Tapi gue baru tahu sosok penulisnya.” Pagi manggut-manggut. Di negara ini, wajah dan fisik seorang penulis memang jarang diketahui publik, beberapa penulis memilih merahasiakannya, namun banyak juga yang tidak diketahui sebab masyarakat tak perduli, yang terpenting hanya karyanya bisa dinikmati. “Jadi ini penulis yang acara launching bukunya lagi EO lo garap?”
“Yup.”
Pagi terdiam, dunia ini terasa sempit sekali. Dadanya berdetak cepat saat menatap wajah itu sekali lagi melakui pamflet yang ia genggam. Dalam sekejap Pagi seolah dapat merasakan kehadiran gadis itu duduk tepat disebelahnya lagi lengkap dengan rambut bawah ikalnya yang tertiup angin.
Pagi membaca pamflet itu dengan seksama, menghapal baik-baik lokasi, tanggal serta pukul berapa launching itu akan dilaksanakan. Ia memantapkan hati, rasa penasarannya tak bisa lagi ia tutupi; launching buku itu harus ia datangi!

♥♥♥♥♥

Malam itu, pelataran parkir sebuah kafe mewah di pusat Ibukota Provinsi tampak lebih ramai dari biasanya. Sebuah spanduk membentang luas dibagian depan. Sedangkan bagian-bagian dalam kafe dihias dengan ornamen-ornamen cantik seperti balon, lampu tumblr serta stiker stiker kecil yang di dominasi warna perak metalik.
Di lantai dua kafe itu, kerumunan orang tampak mulai meramai. Kursi-kursi berjejer rapi dengan sebuah panggung mini terpampang di depan. Disana, Malam duduk manis, melempar pandangnya pada sekitar dengan hati gegap gempita. Meski ini bukanlah peluncuran bukunya yang pertama, hatinya tetap gugup luar biasa, entah benar-benar canggung atau ada rasa bahagia menggebu yang turut bercampur juga. Yang jelas bagi Malam, di setiap momen peluncuran bukunya, segala sesuatu terasa berbeda dan tak akan sama.
Acara itu akan segera dimulai, di sudut lain lantai dua, Siang mengamati pemandangan sekitar dengan awas, memerhatikan setiap detil dekorasi dengan teliti sekaligus mengawasi anak buahnya yang sibuk berkeliaran kesana kemari. Siang tersenyum puas, dekorasi acara peluncuran buku hari ini sesuai dengan ekspektasinya.
Sementara itu di lapangan parkir kafe, Pagi baru saja tiba dengan mengendarai mobilnya. Ia berjalan masuk ke dalam kafe dengan jantung yang lagi-lagi bergedup lebih cepat. Pagi sibuk mengatur nafas sembari meniti satu persatu anak tangga menuju lantai dua.
Pagi terdiam, tercengang beberapa detik dibalik pintu kaca yang membatasinya menuju ruangan tempat acara diselenggarakan. Dari sini ia dapat melihat dengan jelas sosok perempuan berkantung mata dan berambut ikal dibagian bawah itu duduk sembari bercuap-cuap dengan mikrofon yang ia genggam. Tanpa sadar, pagi dibuat senyum-senyum sendiri melihatnya.
“Tiket, Mas?” seorang laki-laki berumur 20 tahunan menghampiri Pagi, meminta tiket sebagai kunci agar Pagi boleh masuk ke dalam ruangan itu.
“Oh maaf saya belum beli. Disini ada jualan tiketnya?”
“Ada, Mas. Sebentar.” Laki-laki itu menyobek sebuah tiket dari segepok tiket yang ia genggam kemudian menyerahkan tiket itu kepada Pagi seusai Pagi membayarnya.
Dengan perasaan menggebu, Pagi melangkah masuk ke ruangan peluncuran buku itu dengan langkah pelan. Dan tanpa bisa Pagi duga, matanya langsung bertumbukan dengan mata Siang yang berdiri tak jauh dari pintu masuk.
Siang mengernyit, menghampiri Pagi dengan tanda tanya memenuhi kepala. “Lo ngapain, Gi?” Siang menggerogoti Pagi dengan tatapan dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Seumur-umur gue kenal elo, gue ga pernah tahu lo suka dateng ke acara ginian.”
Pagi tersenyum simpul sambil menggaruk-garuk kepala, ia sudah terlanjur tertangkap basah. “Gue… mau kenalan sama Rembulan Malam Rinjani.”
Alis Siang naik beberapa senti, “apa?! Gue ga salah denger???”
Pagi menggeleng sambil tersipu malu. “Waktu malam kita kumpulan itu, gue ketemu dia lagi kejebak macet juga, eh pas banget waktu liat pamflet yang lo pegang ternyata dia penulis yang peluncuran bukunya digarap sama EO lo, Ang.” Jelas Pagi kemudian. “Gue penasaran banget, makanya gue kesini.”
“Emang waktu ketemu kemarin belum sempet kenalan?”
Pagi menggeleng lemah, matanya kembali menatap panggung tanpa berkedip. Kali ini Malam tengah tertawa sebab mendengar salah seorang penonton menanyakan pertanyaan yang membuat dirinya tergelitik.
Siang tersenyum kemudian tertawa terbahak-bahak, “ya ampun, Giiiiii. Sejak kapan sih lo jadi berani ngajak cewe kenalan sampe rela nyamper-nyamperin gini? Kaya bukan Pagi yang gue kenal.” Siang geleng-geleng kepala sendiri. “Ufuk Pagi Himalaya tuh ya setahu gue kaya robot es, kaku, dingin, galak! Hahahahaha.”
Pagi berdecak kesal, wajahnya ditekuk hingga kusut, “seharusnya lo seneng dong, Ang, sahabat lo ini udah ada kemajuan sekarang.”
Siang menghentikan tawanya kemudian menatap Pagi lurus. “Yaudah ntar selesai acara gue kenalin.” Siang mengangkat kedua jempolnya tepat dihadapan wajah Pagi. “Udah lo duduk aja dulu, santai. Gue masih banyak kerjaan. Gue tinggal dulu ya.” Siang pun berlalu, kembali di tengah rekan-rekan kerjanya yang tengah sibuk mengatur cemilan di meja seberang.
Pagi meraba dadanya, degup jantung itu makin tak beraturan. Jika bisa, Pagi ingin menggulung waktu segera, agar segera tiba di penghujung acara.

♥♥♥♥♥

Acara berlangsung dengan sukses. Penjualan buku bertanda-tangan khusus Malam bahkan habis tanpa sisa. Semua hadirin pulang dengan wajah sumringah, beberapa juga berhasil mendapat foto bersama dengan Malam. Peluncuran buku itu sungguh telah berhasil menebarkan aroma bahagia dan senyum di seluruh penjuru ruangan.
“Mbak Malam, selamat ya! Acaranya sukses sekali.” Siang menghampiri Malam yang tengah menyeduh teh hangat di belakang panggung.
Malam tergeragap, lalu dengan sumringah mengaduk teh nya pelan. “Makasih, Mbak Siang. Ini juga berkat EO Mbak Siang yang luar biasa.”
Siang mengulum senyum, “jangan panggil ‘Mbak”, panggil ‘Siang’ aja.”
Malam mengangguk, “kalau gitu sama, panggil saya nama saja, Mbak… eh… Siang maksudnya,” Malam terkekeh. Ia meneguk tehnya kemudian.
“Oh iya, Lam, kalau boleh, ada teman saya mau kenalan sama kamu.” Siang berdeham sembari mencuri pandang, membaca ekspresi Malam dengan cermat.
Malam mendelik heran, dahinya berkerut, “siapa, Ang?”
“Mau saya panggilkan?”
Malam terdiam sebentar, kemudian mengangguk. Otaknya tak mampu menolak, seolah memerintah setiap inci tubuhnya untuk menerima permintaan itu.
“Kalau gitu, saya ke depan sebentar.” Siang mengedipkan sebelah mata kemudian berlari dan menghilang di balik pintu kaca ruangan. Malam melihat kejadian itu sembari meraba jantungnya yang mulai berirama tak beraturan. Ada apakah gerangan?

♥♥♥♥♥

Siang kembali ke ruangan itu dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit bersih lengkap dengan kacamata segiempat membingkai wajahnya. Kemeja flannel berwarna hijau serta celana jins yang ia kenakan tampak melekat dengan baik ditubuhnya yang begitu bidang. Malam menatapi sosok itu lamat-lamat dengan teliti, seolah sedang berusaha menemukan dimana letak celah kekurangan dari lelaki yang secara fisik nampak nyaris sempurna itu. Malam mengatur nafasnya yang mulai memburu, semakin lama semakin sosok itu semakin mendekat, tubuhnya semakin tak karuan, namun ia setengah mati berusaha tampak tenang.
“Lam, kenalkan…” Siang menghentikan langkahnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Malam yang sedang duduk diatas sofa belakang panggung, matanya kemudian mendelik pada Pagi yang berdiri dengan wajah merah merona dibelakangnya, “ini teman saya.” Dengan isyarat, Siang memerintah Pagi untuk mengenalkan diri secara pribadi.
Pagi maju beberapa langkah kedepan, membuat tubuhnya berhadapan langsung dengan Malam. Wajahnya semakin tersipu malu. Sungguh, Pagi tak pernah melakukan hal ini seumur hidupnya. “Perkenalkan,” Pagi mengulurkan tangannya, “nama saya Ufuk Pagi Himalaya, panggil saja Pagi.”
Malam tercengang, menatapi tangan yang terjulur itu dengan bingung demi kemudian menyambutnya dengan jabat yang canggung. “Nama saya Rembulan Malam Rinjani, panggil saja Malam.”
Keduanya pun kompak melepas jabat itu dengan kaku. Sibuk saling membuang pandang, tak ingin satu dan lainnya tahu bahwa pipi mereka sama-sama merona merah jambu.
“Kalian butuh ngobrol mungkin? Aku tinggal dulu ya.” Tanpa meminta persetujuan keduanya, Siang buru-buru melangkah pergi dengan cepat lalu sibuk berkecimpung dengan anak buahnya yang sedang membereskan dekor di bagian depan ruangan.
Pagi dan Malam kontan terbujur kaku. Malam terduduk tegak di sofanya dengan wajah tegang, sementara Pagi berdiri dengan kaki yang terasa ingin amblas kedalam bumi lengkap dengan wajahnya yang pucat pasi. Kedua sosok manusia itu bak sepasang yang baru pertama kali berkenalan dengan lawan jenis. Pagi bingung harus memulai percakapan darimana, sementara Malam justru kebingungan sendiri mengapa ia menjadi begitu gugup seperti ini.
“Gi, sini duduk.” Malam menggeser tubuhnya, memberikan ruang di sebelah kiri sofa sekaligus membuka pembicaraan.
Pagi dengan kaku mengangguk lalu duduk dengan hati hati. Diam-diam ia mencuri pandang pada Malam yang kini sedang terdiam dengan tatapan kosong. “Maaf, Lam, saya kurang sopan ya?”
Malam mengerling kearah Pagi sesaat lalu kembali membuang pandang, “ga sopan maksudnya?”
“Ya, saya tiba-tiba datang kesini, ngajak kamu kenalan.”
Malam tersenyum simpul, “gapapa. Biasa aja, Gi.”
“Oh iya, kamu ga ingat saya?”
Sekali lagi, Malam mengerling pada Pagi, “memang kita pernah ketemu?”
“Kamu ga ingat ya?” Pagi tertawa kecil dengan nada malu, pipinya kembali menyemburat merah. Kini ia sadar, pertemuan di tengah kemacetan itu hanya berkesan di pikirannya saja, tidak di pikiran Malam. Atau jangan-jangan justru sosok Malam lah yang terlalu berkesan untuk Pagi? Sehingga pertemuan singkat itu saja sudah mampu membuatnya gelisah bercampur penasaran setengah mati? Pagi sekali lagi tertawa, menyadari kebodohan dirinya sendiri. “Kita pernah ketemu di depan swalayan beberapa hari lalu waktu terjebak macet, ingat? Saya duduk di sebelah kamu, sambil minum kopi.”
Malam menaikan sebelah alisnya, mencoba mengingat, kemudian terkekeh pelan, “oooohhhh, iya iya… saya ingat. Kamu laki-laki yang diam-diam curi pandang ke saya itu kan?” Malam terbahak.
Pagi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum sendiri, menahan malu. “Iya… maaf…”
“Gapapa… santai aja…” Malam mengibaskan tangannya di udara. “Jadi kamu kesini karena…”
“Iya… karena saya begitu tertarik melihat kamu dari pandangan pertama.” Pagi memotong kalimat malam di udara sembari menatap mata Malam dengan begitu lurus dan dalam.
Malam terdiam, terhenyak, pandangan itu membuatnya menjadi begitu tersudut. Jantungnya kembali berirama tak beraturan, nafasnya kembali melambat. Malam tahu, sudah lama ia tak merasa seperti ini ketika dekat dengan seorang lelaki.


BERSAMBUNG...

1 komentar: