Senin, 25 Maret 2013

dilema cinta 22 tahun silam (cerpen)



Lam DILEMA CINTA 22 TAHUN SILAM

Jakarta, tahun 2033. Sore hari…
Seorang wanita yang berusia hampir empat puluh tahunan terlihat sedang duduk melamun di pinggir jendela kamarnya. Matanya yang teduh, menatap sendu pada rintik hujan yang turun di luar sana. Ditangannya tergenggam secangkir teh hangat yang sedari tadi tak disentuhnya sedikit pun. Sesekali, tangannya malah menjamah liontin pada kalung yang tergantung di lehernya, liontin yang berukirkan namanya yaitu, “VIRA”. Mengingat akan sejarah tentang liontin itu, pikiran Vira kembali terbang melayang, mengenang masa-masa SMA-nya dahulu, masa-masa yang terlalu indah untuk dibiarkan menjadi kenangan, namun juga terlalu pahit untuk dikenang…,
“Mama…” terdengar suara seseorang memanggil Vira dari arah belakang. Kontan Vira berbalik dan mendapati sang putri tunggal tercintanya, Kanza, sedang berdiri mematung di ambang pintu kamarnya sambil menggenggam ponsel.
Vira pun tersenyum lalu meletakkan segelas teh hangat miliknya ke atas meja.Tangannya kemudian terjulur, memanggil anak tersayangnya itu. “Kanza? Sini. Duduk sama mama.” Vira menepuk-nepuk bagian sofa yang rumpang di samping tubuhnya.
Kanza berlari kecil, lalu menjatuhkan tubuh tepat di samping sang Mama dengan masih sangat sibuknya mengutak-ngatik ponsel kesayangan miliknya. “Ma, mama kenapa? Kok ngelamun?” tanya Kanza, matanya masih tertuju pada layar ponsel miliknya.
“Lah seharusnya Mama yang nanya. Kamu ngapain nyamperin Mama kesini?”
Kanza pun mengalihkan pandangannya dari layar ponsel lalu menatap Mamanya sambil tersenyum nakal. “Aku mau cerita sama Mama.”
“Cerita apa sih, sayang?”Vira membelai lembut rambut anaknya yang terurai panjang.
“Aku…,” Kanza tersenyum nakal sekali lagi. Terlihat jelas kini, rona pipinya yang memerah entah karena apa. Kemudian ia malah menyembunyikan wajahnya di balik bantal kursi.
“Kamu kenapa sih? Hayoooo, nakal ya main rahasia-rahasiaan sama Mama. Mama cubit lho.” Vira menjulurkan tangannya hendak menggamit bagian perut Kanza, namun Kanza sudah keburu mengelak dengan meliuk-liukkan badannya kekanan dan kekiri.
“Ampun, Ma! Ampun!” Kanza tertawa geli selama beberapa saat, kemudian kembali duduk dengan tenang. Kini ia telah siap dengan ceritanya. “Ma, sebenernya…, aku lagi naksir cowok.” Tutur Kanza dengan nada malu-malu kucing.
Air muka Vira kontan langsung berubah mendengar kalimat Kanza barusan. Kanza bilang, ia sedang menyukai cowok? Ya Tuhan, anakku sudah mulai dewasa, batin Vira sambil tersenyum kecil.
“Ma, mama kenapa? Kok senyum-senyum?” tanya Kanza kebingungan.
“Ah…, nggak kok.Nggak apa-apa.ngomong-ngomong siapa laki-laki yang kamu suka itu?”
“Namanya Rio, Ma. Anaknya baik banget. Dia juara umum di SMP ku.”
Vira tertawa sumringah. “Waaahh, tinggi juga ya selera anak Mama.”
“Tapi, Ma…,” tiba-tiba air muka Kanza berubah menjadi keruh.
“Tapi? Tapi kenapa?”
Kanza tiba-tiba memeluk sang Mama, terlihat sekali siswa kelas 2 SMP itu sedang berusaha membendung gejolak perasaan yang bergemuruh dalam dadanya. “Sahabatku juga suka sama Rio, Ma.” Ucap Kanza dengan nada sumbang. Sepertinya ia sudah mulai menangis.
Vira terenyak. Dadanya terasa sesak. Semua memori masa lalu pahitnya seakan kembali terkuak ke permukaan. Kisah pahit kelam, yang telah ia coba untuk dikuburnya selama 22 tahun lamanya.
Kisah ini…, kejadian ini…, dialami juga oleh anakku. Oh tidak, Tuhan! Cukup aku! Jangan anakku! Jerit batin Vira. Tak terasa air matanya menetes.
“Ma, mama kok nangis juga?” Kanza mendongak, menatap mata sang Mama yang sudah mulai basah sama halnya seperti matanya.
Vira pun terbangun dari lamunannya, diusapnya air mata yang sudah terlanjur meluncur ke dua sisi pipinya itu. “Kanza sayang…, Mama cuma jadi keinget sama cerita Mama waktu SMA dulu.”
Kanza melepas pelukannya, lalu kembali duduk tegak seperti semula. “Cerita apa, Ma? Boleh Kanza tahu?”
Vira mengangguk. Ia berpikir, tak ada salahnya jika Kanza tahu kisah ini. Agar anaknya itu dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah kelam masa lalunya. Jangan sampai, semua kejadian itu terulang kembali dalam kehidupan Kanza. Kejadian yang begitu memilukan, hingga untuk mengingatnya lagi pun terasa begitu berat bagi Vira.
“Dulu, Mama juga seperti kamu.” Ucap Vira memulai ceritanya.
Alis Kanza bertaut. “Maksudnya?”
“Sahabat Mama juga pernah mencintai orang yang mama sayang…,”

* * * * *

Jakarta, tahun 2011, pagi hari…
Pagi itu SMA Volderbrough terdengar begitu ramai. Hiruk pikuk tersua dari segala penjuru sekolah. Anak-anak dengan seragam putih abu-abu terlihat berkerumun di lapangan upacara yang telah di sulap menjadi sebuah TPS (Tempat Pemungutan Suara) dadakan.
Hari ini memang hari bersejarah bagi SMA Volderbrough, karena mereka akan mengadakan pemilihan ketua osis yang baru.
Ada dua calon pada pemilihan kali ini. Yang pertama adalah Rifky, yang merupakan juara umum olimpiade Sains tingkat nasional sekaligus merangkap sebagai ketua dari ekskul SSO (Smart Student Organization) yang merupakan ekskul paling bergengsi di SMA Volderbrough karena anggotanya adalah anak-anak dengan kecerdasan yang di atas rata-rata.
Dan calon yang kedua adalah Fidzy, anak salah satu pengusaha sukses di Indonesia yang memiliki jabatan sebagai ketua ekskul basket di Volderbrough.
Hal-hal yang menonjol dari para calon ketua osis ini tentu menimbulkan kesenggangan yang amat jauh dan membuat para pemilih bingung. Mau pilih mana?  “raja” pada bidang akademik atau “raja” pada bidang non-akademik?
“Vir, pilih siapa?”
Vira yang sedang duduk di salah satu sisi lapangan upacara sambil melamun, terkejut dengan suara yang tiba-tiba didengarnya. Ia pun mendongak, dan mendapati sahabatnya, Zahra, sedang berdiri didepannya sambil tersenyum manis.
“Yeee, ditanya malah ngelamun. Milih siapa Vir?” tanya Zahra ulang setelah mengambil posisi duduk di samping Vira.
Vira sih nggak usah ditanya, dia pasti milih Rifky lah. Secara Vira tuh udah naksir berat sama Rifky semenjak dia dan Rifky sama-sama terlibat dalam ekskul SSO. Tapi…, masak mau bilang begitu ke Zahra? Vira kan nggak mau Zahra tahu kalau dia naksir Rifky. Bukannya kenapa-kenapa. Tapi, Vira memang orangnya cenderung tertutup soal beginian sama orang lain. Termasuk sama Zahra, meski Zahra itu sahabatnya sendiri.
“Gue nggak tahu milih siapa,” jawab Vira akhirnya.“Elo?”
Belum sempat Zahra menjawab, suara dari speaker sekolah terdengar, “bagi seluruh murid kelas XI IPA 7 diharap bergegas menuju bilik suara. Terimakasih.”
“Vir, kelas kita dipanggil tuh, yuk!” Zahra bangkit dari duduknya sambil menggandeng tangan Vira dan bergegas menuju bilik suara.

* * * * *

Hasil pemilihan ketua osis sudah keluar dan menempatkan Rifky sebagai pemenang dengan selisih suara hanya 2% dari Fidzy. Tentu bukan hal yang aneh, melihat selama ini pendukung Rifky atau Fidzy cenderung berimbang satu sama lain.
Untuk merayakan kemenangannya, hari ini, Rifky mengajak seluruh anggota SSO untuk makan malam di rumahnya.Sekalian mengadakan pesta kecil-kecilan.
Vira yang merupakan salah satu anggota SSO jelas juga turut di undang dalam acara makan malam itu. Vira merasa begitu sangat gelisah menunggu waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Yang di undang rame, tapi kok kayaknya gue sendiri yang gelisah ya? Rutuk batin Vira pada dirinya sendiri sambil mematut dirinya di depan cermin.
Vira sekarang sudah siap dengan gaun biru selutut dan berkerah “V”-nya. Rambut panjang Vira, digelung ke atas hingga membentuk sanggul mini. Wajahnya di sapu make-up tipis yang membuatnya terlihat tambah manis. Semuanya hampir sempurna. Hampir…, karena Vira belum melengkapi dirinya dengan keberanian. Vira terlalu gugup malam ini. Dekat-dekat dengan Rifky saja bisa membuatnya hampir meleleh, apa lagi harus berjam-jam berada di rumah cowok itu. Vira gak bisa membayangkan jika ia mati berdiri setibanya disana.
“Vir! Jemputannya dateng tuh!” terdengar teriakan suara Mama Vira dari lantai bawah. Vira menghela nafas panjang sambil menatap dirinya di depan cermin.
“Vira! Lo bisa, Vir! Lo bisa! Lo bisa ngelewatin malam ini!”

* * * * *

Setibanya di rumah Rifky, Vira dibuat terkagum-kagum dengan hidangan yang bergelimpang di seantero meja makan besar milik keluarga Rifky. Makanan sebanyak itu lebih dari cukup hanya untuk para anggota SSO yang berjumlah sekitar 30 orang. Vira nggak menyangka, dibalik kesederhanaannya ternyata Rifky adalah anak orang kaya! Hanya saja Rifky nggak menampakkan hal itu pada saat di sekolah.
Di sekolah, Rifky bersikap layaknya orang biasa. Dikala sedang bertaburan ponsel blackberry disana sini, Rifky hanya menggunakan ponsel biasa yang nggak memiliki fitur kamera. Dan disaat anak-anak konglomerat yang bersekolah di Volderbrough bersekolah dengan mengendarai BMW, Sedan, Fortuner, dan mobil-mobil dengan merk terkenal lainnya, Rifky hanya  pulang-pergi sekolah dengan menggunakan sepeda motor.
Padahal kalau dipikir-pikir, dengan rumah mewah berlantai dua dan hidangan mahal yang tersaji malam ini saja sudah cukup mencerminkan seperti apa kondisi ekonomi keluarga Rifky yang sebenarnya. Dan tentu saja dengan harta yang bergelimang seperti ini, akan sangat mudah bagi Rifky jika hanya sekedar membeli blackberry atau mobil mewah, bukan?
“Vir,” Gisel, salah satu teman Vira di SSO yang sedari tadi berdiri di samping Vira, menyenggol rusuk gadis itu pelan. “Duduk sana! Bengong aja.” Ucap Gisel sebelum akhirnya ia berlenggang menempati salah satu kursi kosong yang berhadapan langsung dengan sepiring kepiting saus tiram. Dasar Gisel! Pantesan badannya gak kurus-kurus! Pikir Vira.
Vira pun menempati kursi kosong yang terletak paling ujung. Disampingnya ada Satria, salah satu anggota SSO yang selain karena kepintarannya, juga terkenal karena predikatnya sebagai playboy.
“Vir, lo cantik deh malem ini.” Goda Satria, namun Vira hanya melengos. Digoda Satria? Alah, itu mah hal biasa. Sekarang aja si Satria ngomongin Vira cantik. Vira berani taruhan, dua menit lagi, predikat “cantik” itu akan bepindah ke cewek laen!
“Malem, guys…” Vira tiba-tiba saja dikagetkan dengan kemunculan Rifky yang datang tiba-tiba lalu mengambil posisi duduk tepat didepannya. Kontan hal ini membuat Vira berkeringat dingin saking gugupnya. Aduh! Memandang wajah Rifky sedekat ini? Mimpi apa Vira?
Makan malam pun dimulai, semua terlihat menikmati hidangan kelas atas yang disajikan Rifky, kecuali Vira tentunya. Saking gugup, menggerakkan tangan untuk mengambil makanan saja Vira nggak mampu. Duh! Padahal makanan didepannya enak-enak lho.
“Vir…. Vira…” hanyut dalam lamunannya, Vira sampe nggak menyadari jika sedari tadi Rifky memanggil-manggilnya dengan suara halus. Vira baru tersadar, ketika tangan Rifky menggenggam tangannya lembut.
“Vir? Kenapa?Kok nggak dimakan makanannya?Nggak suka ya?”
Dug! Vira dapat merasakan jantungnya hampir copot. Matanya tak berhenti memandang ke arah tangannya yang kini berada di dalam genggaman Rifky. Ini lagi nggak mimpi kan? Rifky megang tangan gue? Ya ampun!
“Vir?” Rifky kembali menggoyang-goyang tangan Vira.
“Eh… iya, Ky? Ya ampun. Gue ngelamun ya tadi? Ya ampun! Kok bisa ngelamun ya? Hehe… Mmmm, makanannya enak kok, nih gue makan,” Vira menyendokkan sesendok salad ke dalam mulutnya dengan terburu-buru dan wajah bersemu merah.
Rifky tertawa kecil mendengar omongan Vira yang mulai ngelantur dan sikapnya yang serba salah itu. Diteguknya jus jeruk yang ada dihadapannya, lalu bangkit, menuju kursi Vira. “Lo lagi nggak nafsu makan ya? Sebenernya gue juga lagi nggak nafsu makan,” bisik Rifky pelan di telinga Vira. “Kalo gitu, kita keluar yuk! Duduk dibalkon rumah gue.”Rifky menggamit lengan Vira, meninggalkan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di meja makan. Saking asyiknya, mereka tak sadar jika Rifky dan Vira telah pergi meninggalkan mereka.
Di balkon, Vira dan Rifky, berdiri di tepian pagar pembatas sambil memandang langit.
“Vir? Boleh tanya sesuatu?” tanya Rifky membuka percakapan.
“Boleh. Apa?”
“Kok, kalo gue perhatiin elo tiap deket gue jadi salah tingkah ya?”
Jger! Petir serasa menyambar kepala Vira mendengar pertanyaan Rifky barusan. Namun, Vira mencoba tetap bersikap tenang ditengah gempuran hebat yang sedang bergejolak dihatinya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Kalu saja Vira punya sihir, mungkin ia akan langsung membuat bumi terbelah menjadi dua saat ini sehingga ia bisa hilang ditelan tanah dan pergi dari hadapan Rifky. Tak terasa semburat merah keluar dari kedua pipi Vira. Malunya ia saat ini. Jangan-jangan Rifky juga udah mulai curiga kalo sebenarnya Vira tuh…,
“Hehehehe, gue bercanda kok.” Rifky tertawa renyah sambil mengacak-ngacak puncak kepala Vira. “Geer banget ya gue kalo sampe gue nanya kayak gitu ke elo.” Rifky geleng-geleng kepala sendiri.
Jadi semuanya cuma bercanda? Fiuh…, syukurlah! Vira mengerut dada lega.
“Sebenernya gue mau nanya. Lo udah punya pacar apa belom?”
Vira tercengang, nyaris saja ia memuntahkan salad yang baru saja ia makan tadi kalau saja tak ia tahan. Petir yang menyambar kepala Vira terasa tiga kali lipat lebih dahsyat! Rifky…, ngapain nanya pertanyaan kayak gitu ke Vira? Apa jangan jangan…, ah! Nggak! Nggak! Vira nggak boleh geer dulu!
“E…, emangnya ke…, kenapa?” tanya Vira terbata.
“Nggak apa-apa sih. Gue heran aja.satu setengah tahun gue kenal elo, tapi gue nggak pernah liat elo gandeng cowok. Padahal cewek cantik dan pinter kayak elo kan pasti banyak yang mau. Ya kan, Vir? Vir? Vira…?!”
Vira nggak mampu berkata lagi, ia tercengang hebat saat ini! Rifky bilang, Vira cantik dan pinter?! What amazing night!

* * * * *

Vira menatap heran pada sosok Zahra yang duduk di sebelahnya. Zahra hari ini terlihat sangat berbeda. Tak seperti biasa, hari ini Zahra terlihat sangat berkonsentrasi penuh memerhatikan pelajaran. Tak hanya itu, Zahra yang biasanya malas mencatat, dan mengerjakan soal, sekarang berubah 180 derajat! Ada apa nih?
“Ra? Lo nggak lagi ketempelan arwah kuntilanak yang ada dibelakang sekolah kan?” tanya Vira linglung.
Zahra yang sedang asyik mengerjakan soal fisika mengenai impuls, momentum, dan tumbukan pun menoleh pada Vira dengan tatapan heran. “Loh emang kenapa?”
“Gue heran aja.kok lo hari ini jadi…, rajin?”
Zahra kembali beralih pada soal fisikanya sambil tersenyum. “Gue udah bertekad, gue harus bisa dapet nilai bagus semester ini! Gue mau masuk SSO!”
“HHA!? SERIUS LO?!”
“Iya lah gue serius. Salah satu syarat masuk SSO, nilai rata-rata raportnya harus diatas 85 kan?”
Vira geleng-geleng kepala, pasti ada apa-apanya nih! Pikir Vira. “Elo kenapa, Ra? Kok tiba-tiba pengen masuk SSO?”
Zahra geleng-geleng sambil tersenyum penuh makna. “Ada aja!”
“Ih! Kok rahasia-rahasiaan sih, Ra?”
“Nggak ah! Entar lo ember!”
“Ya ampun!” Vira geleng-geleng lagi. “Kapan sih, gue pernah bocorin rahasia lo? Nggak pernah kan? Ayo dong! Cerita ya! Cerita! Zahra Raisa yang cantik.” Vira mengguncang-guncang tubuh Zahra sambil memelas-melas dan tak hentinya menggoda.
“Iya… iya...” jawab Zahra pasrah agar Vira berhenti mengguncang tubuhnya. “Gue mau masuk SSO karena gue udah jatuh cinta sama ketuanya!”
“Ketua?” alis Vira bertaut rapat.
“Iya. Rifky!” Zahra tersenyum penuh makna. “Gue jatuh cinta sama RIFKY!” ulang Zahra sekali lagi membuat Vira nyaris pingsan dibuatnya!

* * * * *

Vira benar-benar tak bisa tidur malam itu, benaknya masih dipenuhi dengan semua cerita-cerita Zahra tentang Rifky tadi Pagi. Satu setengah tahun ia dan Zahra bersahabat, namun Vira baru tahu, jika Zahra telah jatuh cinta pada Rifky sejak setengah tahun yang lalu, ketika Zahra dan Rifky sama-sama mengikuti ekskul Chemistry Community.
Bahkan kini, menurut penuturan Zahra, dirinya dan Rifky sudah semain dekat. Zahra dan Rifky sudah semakin intens berkomunikasi, bahkan Rifky selalu memberi perhatian lebih pada Zahra.
Namun hingga detik ini, Vira belum berani menceritakan bahwa ia juga menyukai Rifky kepada Zahra. Vira hanya takut, Zahra marah padanya. Vira nggak mau itu terjadi.
Vira bangun dari tidurnya lalu mengecek ponsel miliknya yang ia letakkan di meja belajar. Tak ada sms atau pun telpon masuk disana. Lalu Vira membuka inbox ponselnya. Disana tersimpan begitu banyak sms-sms Rifky yang juga menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Perhatian yang Rifky tunjukkan semenjak kejadian makan malam dirumahnya beberapa minggu yang lalu.
Kini hati Vira bertanya, apa…, Rifky termasuk pria yang begitu mudah memberikan perhatian lebih pada setiap wanita?

* * * * *

Hari demi hari berlalu. Zahra makin terhanyut oleh perasaannya terhadap Rifky. Perasaan yang juga membuat Zahra berubah semakin drastis. Zahra yang dulu malas-malasan, kini berubah menjadi begitu giat belajar demi mengejar cita-citanya: masuk SSO! Bahkan tak hanya itu, Zahra pun berubah menjadi cewek yang jadi agak jaim. Berbeda dengan Zahra yang dulu agak sedikit selengean. Semuanya Zahra lakukan demi RIFKY!
Kedekatan Zahra dan Rifky pun semakin berlanjut. Bahkan kini Rifky sering memanggilnya dengan panggilan-panggilan sayang. Dan Rifky pun sering mengatakan pada Zahra bahwa ia menyayangi Zahra. Tapi sayangnya, Zahra dan Rifky belum menggenggam status berpacaran, karena Rifky tak pernah secara langsung meminta Zahra untuk menjadi kekasihnya. Jadi bisa dibilang, Zahra dan Rifky itu lagi HTS alias Hubungan Tanpa Status.
Kedekatan antara Zahra dan Rifky pun membuat Zahra dan Rifky tak sungkan lagi untuk menunjukkan kedekatan mereka di sekolah. Rifky sering menghampiri Zahra hanya untuk sekedar mengobrol, begitu pula sebaliknya.
Sedangkan Vira?Semenjak kedekatan Rifky dan Zahra semakin menjadi. Ia perlahan mundur teratur dan menjauh dari Rifky. Bukan hanya karena nggak enak hati sama Zahra, tapi semua ini juga terjadi karena Rifky yang juga mulai menjauhi Vira. Terbukti dengan semakin jarangnya Rifky menunjukkan perhatian lebih kepada Vira. Hanya sesekali Rifky mengirimkan sms singkat kepada Vira. Itu pun hanya sms-sms simpel seperti “selamat tidur, Vir” atau “udh nympe rmh, Vir?” hanya sebatas itu, tak seperti dulu, sebelum kehadiran Zahra datang diantara ia dan Rifky. Bahkan ketika bertemu Vira, Rifky hanya tersenyum, tak lagi mengobrol seperti dulu-dulu. Tak cukup sampai disitu. Penderitaan Vira pun harus bertambah ketika ia dengan sangat terpaksa harus mendengarkan curhatan-curhatan Zahra tentang kedekatannya dan Rifky yang tentu saja membuat sakit hati Vira dan kuping Vira panas.
Seperti siang ini, Vira bela-belain pulang telat kerumahnya, demi menemani Zahra pergi ke Playground kafe. Zahra bilang dia mau curhat (lagi)! Fiuh…,
“Curhat apa nih, Ra? Rifky lagi?” Vira mengaduk dengan malas es cappuccino yang ada dihadapannya.
“Iya.”
“Kenapa lagi tuh anak?”
Zahra menyeruput fruit late miliknya sebelum angkat suara, “Gue curiga. Jangan-jangan Rifky suka sama cewek laen.”
Batin Vira mulai tertarik juga rupanya dengan topik pembicaraan kali ini. Rifky suka sama cewek laen? Wah! Vira mesti tahu nih!
“Oh ya? Siapa?” tanya Vira mulai terpancing.
Zahra menggeleng. “Nggak tahu gue. Tapi yang jelas tiap gue pengen cek ponselnya. Dia selalu nolak. Katanya ada sms rahasia. Kalo emang cuma dari temen ngapain dirahasian coba? Pasti dari cewek laen deh!”
Vira geleng-geleng sambil tertawa kecil. “Halo Nona Zahra Raisa. Bukannya itu hak dia? Ponsel juga ponsel dia kan? Lagian…, elo kan belum pacaran sama dia.”
Kontan wajah Zahra tertunduk lemas mendengar kalimat Vira barusan. Memang benar! Rifky bukan miliknya. Tapi…, ia sudah sangat bergantung pada cowok itu. Rifky sudah terlanjur masuk ke dalam kehidupan Zahra hingga sisi yang paling dalam.
“Tapi…, gue kan udah terlanjur sayang banget sama dia, Vir.”

* * * * *

Zahra terkejut dengan sms yang diterimanya minggu siang ini. Sms itu masuk ke ponselnya tepat ketika ia baru selesai mengerjakan tugas fisika.

From: RifkyJ
Bsa ktmu? Ak tgu km di tman dkt skolah skrg.

Seusai membaca sms itu, Zahra buru-buru membereskan buku-buku fisika yang berserakan di lantai kamarnya lalu berganti baju.
“Mau kemana, Ra?” tanya Mama Zahra ketika melihat Zahra turun dari tangga lantai dua lengkap dengan dandanan yang begitu rapi.
“Mau nemuin temen, Ma. Daah…” Zahra berlari kencang meninggalkan sang Mama, lalu buru-buru menyetop angkot yang kebetulan lewat depan rumahnya.

* * * * *

“Hei, Ky. Mau ngapain sih? Ngajak ketemuan segala?” tanya Zahra begitu menghampiri Rifky, dan langsung mengambil posisi duduk di samping cowok itu. Mereka berdua kini duduk di kursi taman yang menghadap ke arah kolam air mancur.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ngomong apa? Tumben. Biasanya juga lewat sms atau telepon bisa.”
“Ini hal penting, Ra. Ini tentang…, kita.”
“Kita?”
“Ya, kita,” Rifky menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat begitu datar. Rasanya ia begitu tak siap menuturkan cerita ini pada Zahra, gadis yang teramat dicintainya, tapi nggak mungkin juga Rifky terus menyimpan rahasia ini. ia tak ingin membohongi Zahra lebih jauh lagi. “Ra, ada satu hal yang belum kamu tahu tentang aku.”
Alis Zahra bertaut bingung. “Oh ya? Apa?”
Rifky menggigit bibir bawahnya. Berat rasanya harus mengatakan rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari Zahra demi menjaga perasaan cewek itu.
“Ra, sebenarnya, sebelum dekat dengan kamu, aku…, dekat dengan…, Vira.”
Plak! Plak! Plak! Bertubi-tubi tamparan keras seolah menampar hati Zahra hingga terasa begitu sakit mendengar penuturan Rifky barusan. Hening. Zahra terenyak di tempatnya. Bibirnya kaku seolah tak sanggup lagi bicara. Vira? Rifky dekat dengan Vira? Tapi kenapa…, Vira nggak pernah cerita? Tak terasa air mata mulai terbit dari sudut mata Zahra.
“Aku…, aku sayang sama Vira, jauh sebelum aku sayang sama kamu. Tapi…, begitu deket sama kamu, aku juga jadi sayang sama kamu, Ra. Aku sayang sama kalian berdua,” bibir Rifky mulai bergetar, sepertinya cowok itu sedang menahan tangis. “Ra, aku nggak mau nyakitin kalian berdua kalo aku terus seperti ini. Jujur aku nggak bisa memilih diantara kalian. Aku…, pengen pergi dari kehidupan kalian. Aku…, aku nggak mau nyakitin kalian.”
Brak! Zahra menggebrak bangku taman dengan penuh amarah. Tangis yang sudah sekuat tenaga ditahannya sedari tadi, akhirnya pecah juga. “BODOH!” teriak Zahra tepat di depan wajah Rifky.
“Kamu bodoh, Ky. Kamu bodoh! Kenapa kamu ngambil keputusan secepat ini?”
“Itu karena…,”
“Ky, kalo boleh jujur. Aku juga udah ngerasa dari dulu kalo Vira suka sama kamu. Tapi karena dia nggak pernah cerita apa-apa, jadi aku anggap acuh aja semuanya! Tapi ternyata, feeling aku bener. Dia memang suka sama kamu. Dan gitu juga sebaliknya!” tangis Zahra semakin kencang. Ia tak sanggup lagi menahan emosinya. Semuanya! Semuanya! Sudah terlanjur membuatnya sakit dan kecewa!
“Ky…,” tiba-tiba Zahra menggenggam tangan Rifky lembut. Matanya yang basah, menatap mata Rifky yang tampaknya sudah mulai berkaca-kaca. “Maafin aku yang udah jadi benalu diantara hubungan kamu dan Vira, Ky. Maafin aku. Kalo aja dulu aku nggak dateng dalam hidup kamu dan nggak deket-deket kamu, mungkin sekarang kamu dan Vira sudah bahagia berdua. Ky, aku mohon, jangan buat keputusan bodoh dengan menjauhi Vira. Kamu pantes Ky dapetin Vira. Dari dulu aku emang udah ngerasa kamu cocok sama dia. Tapi karena keegoisan aku. Aku berusaha menelusup ke dalam hidup kamu.”
“Ra…,” Rifky hendak memotong pembocaraan Zahra, namun Zahra kembali melanjutkan omongannya.
“Ky, jangan tinggalin Vira ya. Aku yakin dia sayang banget sama kamu. Aku rela Ky kamu sama Vira.”
“Tapi, Ra…, itu akan nyakitin kamu. Aku nggak mau ada yang sakit lagi.”
“Ky, aku akan baik-baik aja. Aku mohon. Kembalilah ke Vira. Dia lah cinta kamu yang sebenernya. Tempat kamu bisa nemuin kebahagiaan kamu. Bukan aku.”
“Ra, tapi…,”
“NGGAK ADA TAPI-TAPIAN! POKOKNYA AKU MAU KAMU BALIK LAGI KE VIRA, TITIK!” Zahra melepas genggaman tangannya dari Rifky, lalu berlari pergi sambil menangis, meninggalkan Rifky sendirian terpaku dalam kepahitan yang teramat mendalam.

* * * * *

Vira terkejut, ketika mendapati Zahra sudah berdiri di depan pintu rumahnya dengan keadaan tubuh yang basah kuyup. Memang, baru beberapa menit yang lalu, Jakarta di guyur hujan deras. Ngapain Zahra ujan-ujanan?
“Ra? Lo kok…,”
“Vir,” Vira kaget, melihat Zahra tiba-tiba berlutut dihadapannya sambil mulai meneteskan air mata. “Gue mohon, lo kembali ya ke Rifky.”
Vira terkejut. Matanya membola lebar. “Ra, lo ngomong apa sih?”
“Vir, cukup! Jangan bohongin gue lagi! Gue udah tahu semuanya tentang elo sama Rifky!” mata nyalang Zahra menatap Vira dengan memelas. “Vir, gue rela kalo emang elo sama Rifky bahagia. Gue rela. Gue mohon ya Vir, jaga Rifky baik-baik. Gue tahu lo sayang sama dia. Dan gue lebih tahu lagi kalo bahagianya Rifky itu sama elo.”
Vira tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia pun ikut berlutut lemas. “Ra…,” diusapnya air mata Zahra dengan pelan. “Gue…,”
“Vir, maafin gue. Maafin gue udah jadi benalu bagi elo dan Rifky. Maafin gue, Vir.” Tiba-tiba Zahra memeluk Vira dengan erat.
“Ra, elo nggak salah, elo…,”
“Vir, pokoknya lo harus bikin Rifky bahagia!” Zahra melepas pelukannya dan sibuk merogoh saku tas kecil yang sedari tadi ia bawa.
“Ini…,” Zahra mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dan disodorkannya pada Vira. “Gue nggak akan pernah lupa kalo hari ini hari ulang tahun lo, Vir. Maaf gue cuma bisa ngasih ini.” Zahra tersenyum pahit.
“Ra, makasih…,”
Zahra mengangguk lalu bergegas bangkit berdiri dan berlari kencang meninggalkan rumah Vira tanpa permisi lagi.
Vira menatap kepergian sahabatnya itu dengan senyum bahagia. Tanpa Vira sadari itu lah saat terakhir dirinya bisa melihat Zahra…

* * * * *

Zahra berlari tanpa ampun. Menerobos hujan yang begitu lebat.Menerobos kerumunan orang yang sedang sibuk mencari tempat berteduh. Dan menerobos angin yang seolah menghalanginya untuk pergi.
Zahra tak sanggup lagi menahan semuanya. Rasanya ia ingin saja menyudahi semua ini! semua terasa begitu menyesakkan! Sudah cukup pura-pura tegarnya, Zahra! Teriak batin Zahra pada dirinya sendiri. Ia tak mau lagi membohongi dirinya dengan pura-pura tersenyum ketika melihat Vira bahagia bersama Rifky. Sungguh, jauh di dalam lubuk hati Zahra, ia tak pernah ingin melihat hal itu!
Zahra berhenti pada sebuah pintu palang perlintasan kereta api. Di depannya terhampar berpuluh kendaraan yang sedang mengantri hingga portal kembali dibuka karena kini sebuah kereta api sedang hendak melaju melewati jalan ini.
Zahra memandang nanar pada kepala kereta api yang sudah muncul dari ujung sebelah kanan rel. Tanpa pikir panjang, Zahra melompat meloncati portal menuju tengah rel. Direntangkannya tangan lebar-lebar sambil memejamkan mata. Ditahannya nafas. Bersiap melepas segalanya. Tanpa peduli teriakan-teriakan begitu banyak orang yang berada di sekitar palang perlintasan yang menyuruhnya minggir. Zahra tak peduli! Ia hanya ingin…, mati!

* * * * *

Jakarta, tahun 2033, pukul 17:45, sore hari…
“Jadi, teman Mama yang namanya Zahra itu meninggal karena bunuh diri?” tanya Kanza masih penasaran.
Vira mengangguk lemah. Menceritakan hal itu kepada Kanza telah cukup menguras emosinya. Semenjak awal hingga akhir cerita Vira tak henti-hentinya menitikkan air mata. Semuanya seolah menguak luka lama yang selalu ingin dikuburnya.
“Kanza…,” panggil Vira sambil mengelus rambut sang anak.
“Ya, Ma?”
“Mama mohon, kamu jangan mengulangi kesalahan Mama. Kamu harus pintar memilih mana yang terbaik untuk hidup kamu.”
Kanza mengangguk. “Iya, Ma.”
“Kanza…,” panggil Vira sekali lagi, namun kali ini Vira memanggil sambil tersenyum.
“Iya, Ma. Kenapa?”
“Kamu mau tahu siapa sebenarnya lelaki antara Mama dan Zahra itu?”
Kanza mengangguk antusias. “Mau, ma. Mau banget. Siapa dia?Apa Kanza kenal dia?”
“Tentu kamu kenal dia. Bahkan sejak lahir, kamu sudah mengenalnya.”
Kanza terkejut. Pikirannya sudah dapat menarik kesimpulan sendiri saat ini. “Jangan-jangan, cowok itu…,”
“Hayooo, lagi pada cerita apa sih?”
Vira dan Kanza menoleh ke arah suara yang datangnya tiba-tiba itu. “Papa!” teriak Kanza senang sambil menghambur memeluk sang papa yang berdiri di ambang pintu kamar dengan masih lengkap mengenakan seragam kantornya. “Kamu lagi cerita apa sama Mama?”
Kanza tertawa kecil. “Tanya aja deh sama Mama.” Kanza melepas pelukannya lalu pergi keluar dari kamar, meninggalkan kedua orang tuanya sendiri.
“Kamu cerita apa sama Kanza?” tanya suami Vira itu dengan nada penuh selidik.
“Sepenggal dari kenangan masa lalu kita. Tentang…, Zahra.”
“Zahra?”
“Iya. Lagi pula nggak salah kan kalo Kanza tahu bahwa yang membuat kedua orang tuanya ini bersatu adalah sesosok manusia berhati malaikat yang bernama Zahra. Bukankah begitu, Tuan Rifkyan Hadinata?”
Suami Vira itu hanya tertawa kecil lalu mengecup pelan kening istrinya.
“Atau aku harus panggil kamu, Tuan Rifky sang ketua osis yang terhormat?” kali ini Zahra yang tertawa kecil.
“Yaaah, bagaimanapun, Zahra akan selalu menjadi kenangan dalam hidup kita.Tanpa dia kita tak akan seperti ini.”
Vira mengangguk sambil tersenyum, menatap Rifky, suami tercintanya. Tak lama, ia mengalihkan pandangannya pada liontin kalung miliknya yang bertengger manis di leher. Kalung pemberian terakhir Zahra pada hari ulang tahun Vira, sebelum kepergian gadis malaikat itu ke surga untuk selamanya…

THE END

Jumat, 01 Maret 2013

cinta diantara hijab (cerpen)



CINTA DIANTARA HIJAB
Pagi baru menjelang di kota Bandarlampung. Seorang gadis cantik berambut hitam lurus dengan panjang sepinggang, terlihat berlari kecil menelusuri koridor menuju kelasnya yang berada dilantai dua SMA Negeri 9 Bandarlampung ini. Sesekali disenyuminya beberapa orang yang ia jumpai di sepanjang koridor itu, sambil terus memburu langkah.
Namun langkah kaki gadis bernama Silvia itu terhenti seketika, begitu dilihatnya sosok sang pujaan hati, Davi, yang tengah duduk disalah satu bangku yang ada disisi koridor menuju tangga sambil membaca buku. Dihampirinya Davi saat itu juga.
“Hai, Dav,” sapa Silvia ramah lalu bergegas mengambil posisi duduk di samping Davi, namun Davi malah menggeser posisi duduknya sehingga sedikit menjauh dari Silvia. Kontan hal itu membuat Silvia jadi manyun. “Kenapa sih, Dav? Kok ngejauh gitu dari gue?” sungut Silvia kesal.
“Diantara cewek sama cowok itu ada hijab, Sil.Nggak boleh dilanggar. Kita bukan muhrim.” Ujar Davi dengan mata yang masih tertuju lurus pada buku.
Silvia menghela nafas panjang. Ini nih susahnya jatuh cinta sama ketua rohis! Ngedeketinnya aja susah banget, rutuk batin Silvia.
Silvia pun bangkit dari duduknya, “ya udah deh, gue duluan ya, Dav.” Ucap Silvia kemudian berbalik, namun baru saja selangkah berjalan suara Davi kembali terdengar.
“Salamnya mana, Sil?”
Silvia mendelik geram lalu berbalik menghadap Davi, “Assalamu’alaikum, Dav. Gue pergi dulu yaaaaa…” kata Silvia dengan nada manis setengah dongkol lalu buru-buru melangkah pergi dari tempat itu.
Sepeninggal Silvia, Davi tak bisa menyembunyikan senyum gelinya melihat tingkah laku gadis satu itu.
Silvia, Davi tahu, gadis itu sudah lama menyukainya. Terbukti dengan perhatian lebih yang Silvia berikan selama ini terhadap Davi. Bahkan tak jarang, di depan Davi, Silvia cenderung terang-terangan menunjukkan sikap bahwa ia tengah “mengejar” Davi mati-matian. Tak peduli, mau Davi atau suka atau tidak.
Jujur, Davi tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia juga menyukai Silvia, sangat menyukai malah. Sikap gadis itu, tingkahnya, tutur katanya, mampu membuat Davi memikirkannya semalam suntuk sambil senyum-senyum sendiri.
Namun Davi sadar, posisinya sebagai ketua rohis yang merupakan organisasi islam di sekolah, tak memungkinkan dirinya untuk “memiliki” Silvia. Rohis melarang keras seluruh anggotanya untuk saling berdekatan dengan lawan jenis bahkan berpacaran.
Sebagai ketua, Davi harus memberi contoh yang baik bagi seluruh anggotanya, bukan? Jadi mungkin sekarang, Davi harus menyimpan dulu perasaannya dalam hati hingga datang waktu yang tepat kelak.
Teeeet! Davi tersadar dari lamunannya dan bergegas beranjak dari kursi yang ia duduki karena bunyi bel masuk telah terdengar. Dilangkahkannya kaki menuju lantai dua, tempat ruangan kelasnya yaitu XII IPA 4, berada. Sekaligus tempat yang akan membuat ia dan Silvia berada dalam satu ruangan yang sama dalam beberapa jam kedepan.
* * * *
“Davi! Davi! Mau ke mushola ya, Dav? Gue ikut ya?” berondong Silvia sambil mencoba menjajari langkah Davi menuruni tangga. Namun Davi hanya bergeming tetap dengan wajah datarnya.
“Dav, boleh kan gue ikut ke mushola?” tanya Silvia sekali lagi, tetap tak menyerah sampai Davi mau buka mulut.
“Siapa aja boleh datang ke mushola, Sil.Itu rumah Allah.” Jawab Davi akhirnya, membuat Silvia hanya mampu tersenyum simpul. Akhirnya ia berhasil membuat Davi buka mulut juga! “Oh ya, Sil. Gue mau ngomong, boleh?” tanya Davi tiba-tiba, Silvia langsung tergeragap. Tumben-tumbenan Davi mau ngajak gue ngomong duluan! Biasanya, di keluarin jampi-jampi dulu baru nih anak mau ngomong. Batin Silvia.
“Oh, boleh kok, Dav, mau ngomong apa?” jawab Silvia akhirnya.
“Elo tuh cantik, Sil,” ujar Davi masih dengan mata memandang lurus ke depan, ke arah jalanan koridor, bukannya menatap Silvia.
Swing-swing-swing! Hati Silvia serasa terbang mendengar kalimat dari bibir Davi barusan, dan pipinya kontan menyemu menjadi merah-ungu karena menahan malu. Davi bilang apa tadi? Bilang kalau Silvia cantik? Mimpi apa Silvia! Ya ampun!
“Tapi lebih cantik lagi kalo lo pake jilbab.” Sambung Davi.
Jger! Kali ini kepala Silvia terasa tersambar petir. Senyum di wajahnya hilang seketika. Pakai jilbab kata Davi? Silvia saja belum pernah terpikir sedikit pun untuk mengenakan jilbab. Silvia tak sanggup untuk membayangkan, bagaimana jika wajah bundar dan pipi gempalnya itu terbungkus dengan jilbab. Pasti gue keliatannya gemuk banget! Batin Silvia.
“Tapi, Dav…,”
“Gue lebih suka cewek yang pakai jilbab loh, Sil. Kelihatannya tuh lebih ‘mahal’ dari pada cewek yang nggak pakai jilbab. Soalnya kalo cewek yang pake jilbab kan, auratnya terjaga, nggak diliatin kemana-mana.”
Mendengar kalimat Davi barusan, kontan Silvia menghentikan langkahnya dan membiarkan Davi pergi menuju mushola sendirian, tanpa bersisian lagi dengannya.
Silvia pun hanya mampu terpaku di tempat, sambil memandang punggung Davi yang perlahan menjauh lalu menghilang.
Dan setelah berpikir lumayan lama, di otak Silvia akhirnya kini tercetak sebuah kalimat dengan huruf-huruf kapital: MULAI BESOK GUE HARUS PAKE JILBAB!
* * * *
“Ih, Silvia ya? Lo pake jilbab, Sil? Ya ampun, tambah cantik deh.” Silvia hanya mampu tersenyum mendengar lontaran kalimat dari Dara, anak kelas XII IPS yang berpapasan dengannya di tangga. Dara adalah orang kesekian yang memberikan komentar yang sama pada Silvia, yang Silvia temui di sepanjang perjalanan Silvia dari pintu gerbang sekolah hingga tangga menuju lantai dua. Semuanya memberikan komentar positif. Ada yang bilang Silvia tambah cantik kalo pake jilbab, ada yang bilang Silvia malah kelihatan lebih kurus, dan lain sebagainya.
“Bener kan kata gue. Lo lebih cantik kalo pake jilbab!” seloroh Davi tiba-tiba saat Silvia baru saja menjejakkan tubuhnya di kursi kelas.
Silvia tersenyum mendengar pujian itu, “makasih, Dav. Gue juga ngelakuin ini demi elo.” Kata Silvia jujur tanpa sungkan.
“Gue harap bukan cuma karena gue, Sil. Tapi juga karena Allah.” Setelah berkata seperti itu, Davi pun melenggang pergi menuju bangkunya yang terletak tepat di depan bangku Silvia. Sedangkan Silvia hanya mampu terbengong-bengong. Dasar Davi! Nggak pernah berubah!
* * * *
Jam istirahat tiba, setelah membereskan bukunya dari atas meja, Silvia buru-buru meraih bungkusan kecil yang ia letakkan di kolong mejanya dan mengejar Davi yang baru saja keluar kelas, hendak menuju mushola.
“Dav! Davi!” teriak Silvia. Davi pun menghentikan langkahnya. “Ini buat elo.” Silvia menyodorkan bungkusan kecil yang dibawanya tadi pada Davi.
Alis Davi pun bertaut sambil menatap heran pada bungkusan yang disodorkan Silvia. “Ini apa?”
“Mi goreng. Spesial gue bikinin buat elo.”
“Oh, makasih, Sil. Gue masih kenyang.” Davi pun berbalik hendak melanjutkan langkahnya namun Silvia keburu mencekal tangan cowok itu.
“Dav! Terima dong. Gue kan udah buatin ini buat elo. Anggep aja sebagai tanda terimakasih gue karena elo udah bikin gue mau pake jilbab.”
Davi menghentak dengan kasar tangan Silvia yang memegangi tangannya. “Sil!Apa-apaan sih lo pegang-pegang gue. Kita bukan muhrim!” sentak Davi yang kontan membuat wajah Silvia mendung.
“Gue nggak akan begini kalo lo nggak nolak pemberian gue, Dav!” kilah Silvia balik. Untung keadaan koridor saat itu sedang sepi, sehingga pertengkaran antara Davi dan Silvia tak diketahui siapapun.
“Kok lo jadi maksa gue sih, Sil? Kalo gue bilang nggak mau, ya nggak mau!”
“Dav…,”
“Sil, lo nggak capek apa ngejer-ngejer gue terus?” potong Davi sebelum Silvia melanjutkan kalimatnya, membuat Silvia kaget bukan main.
“Dav, lo ngomong apa sih?”
“Sil, gue tahu lo suka sama gue, tapi bukan gini caranya. Gue ini ketua rohis, Sil. Nggak baik diliat orang deket-deket sama cewek. Lo mau gue di pecat jadi ketua cuma gara-gara gue deket sama elo?”
Silvia diam, Air matanya tak mampu lagi terbendung mendengar perkataan Davi barusan. Perkataan itu telah mengiris batinnya hingga ke dasar yang paling dalam. Jadi selama ini Davi hanya menganggap Silvia sebagai benalu dalam hidupnya? Jahat sekali Davi!
“Dav, apa sih kurangnya gue? Gue udah ngelakuin semuanya buat ngeluluhin hati lo! Sampe-sampe gue rela pake jilbab demi elo.” Silvia mencengkeram kain bagian bawah jilbabnya yang menjuntai, lalu mengacung-ngacungkannya pada Davi.
“Sil,” kali ini suara Davi mulai melembut, melihat Silvia menangis sungguh membuat Davi terpukul. Betapa bodohnya ia telah membuat gadis yang ia cintai menangis seperti ini. “Satu hal yang perlu lo tahu,” bisik Davi pelan tepat di depan wajah Silvia. “Gue juga suka sama lo. Gue juga sayang sama lo. Tapi…, ini bukan waktu yang tepat untuk menyatukan cinta kita berdua.”
Air mata Silvia sedikit menyurut mendengar penuturan Davi barusan. Berani, ditegakkannya kepala, demi menatap wajah Davi yang kini juga tengah menatapnya. “Jadi…, selama ini elo…,”
“Iya,” Davi mengangguk sambil tersenyum. “Gue juga suka sama elo. Maafin gue ya, Sil, selama ini gue mencoba menutupi semua itu dengan bersikap dingin sama lo. Gue cuma nggak mau kalo…,”
“Iya, gue ngerti.” Kali ini Silvia juga tersenyum. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang masih menggantung di kelopak matanya. “Maafin gue juga kalo selama ini elo ngerasa nggak nyaman sama sikap gue, Dav.”
“Tapi gue janji sil,” kali ini sinar mata Davi berubah menjadi begitu serius. “Suatu hari nanti kita pasti akan bersatu. Gue janji. Pegang janji gue.”
Silvia mengangguk-nganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Ingin sekali rasanya ia memeluk Davi saat ini juga, namun sayang itu tak mungkin.
“Kalo gitu, gue ke mushola dulu ya, daaah.” Davi pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju mushola. Sedangkan Silvia, terpaku di tempatnya, sambil menatap kepergian Davi dengan senyum manis yang  tercetak diwajah.
* * * *
Baru kali ini, Silvia berangkat ke sekolah dengan perasaan yang begitu ringan dan bahagia. Rasanya, semua beban yang selama ini terbeban di pundaknya telah menguap, menghilang. Karena kini, Silvia telah mengetahui, apa jawaban dari cintanya. Ia tak perlu lagi takut dihantui rasa ketar-ketir dan khawatir. Yang tersisa hanya lah rasa rasa bahagia yang menyemai dihatinya.
Silvia tiba di kelas, dan mendapati Davi tengah duduk di kerumunan teman-temannya. Bergegas Silvia menghampiri dengan senyum sumringah nan manja. “Selamat pagi, Dav.” Ucap Silvia. Kontan Davi yang tengah asyik berbincang dengan teman-temannya menghentikan obrolannya sesaat lalu menatap Silvia dengan tatapan datar bahkan enggan. Datar? Enggan? Davi? Kenapa dia?
“Sil, jangan ganggu gue deh.Gue lagi sibuk.” Kata Davi singkat, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya bersama teman-temannya. Detik itu juga, tubuh Silvia terasa begitu lemas. Rasa bahagia yang sejak kemarin tumbuh dihatinya, kini seolah tertunduk layu. Kenapa Davi bersikap seperti ini lagi? Bukankah dia kemarin bilang bahwa ia…,
Silvia menghentak kakinya kesal lalu beranjak pergi dari kerumunan Davi dan teman-temannya dengan wajah mendung bukan main. Davi! Jahat banget sih lo!
* * * *
“Dav! Tunggu! Gue mau ngomong!” Cegat Silvia pada Davi tepat ketika Davi baru saja hendak menuruni anak tangga. Davi kontan menghentikan langkahnya, karena kini Silvia berdiri tepat di depannya, menghalangi jalannya.
“Ngomong apa lagi sih, Sil?” tanggap Davi enggan sambil membuang muka.
“Lo kenapa sih hari ini? Kenapa sikap lo berubah lagi sama gue? Bukannya kemarin…,”
“Kemarin apa? Hah?”
Silvia tercengang. Davi! Teganya ia berbicara seperti itu. Apa ia sudah tak ingat lagi dengan kejadian kemarin? Apa ia sudah tak ingat lagi, bahwa kemarin ia telah membuat Silvia merasa terbang menembus tujuh nirwana karena tahu bahwa Davi juga mencintainya? Davi…,
Tak terasa air mata Silvia mulai menetes.
“Dav! Jahat banget sih lo! Lo lupa kalau kemaren elo…,”
“Sil! Mending sekarang elo jauhin gue deh! Gue capek! Gue nggak mau deket-deket lo lagi. Permisi.” Davi mendorong pelan tubuh Silvia yang menghalangi jalannya, lalu melenggang pergi seolah tanpa dosa.
Davi? Elo kenapa, Dav? Tanya hati Silvia, air matanya masih tak kunjung berhenti. Elo nyuruh gue buat ngejauhin elo? Tapi bukannya baru aja kemaren lo bilang kalo elo cinta sama gue? Kenapa lo berubah secepat ini, Dav? Kenapa?
Silvia terduduk lemas di atas anak tangga yang berada di bawah kakinya.Air matanya menetes dengan begitu deras disana. Air mata yang jatuh untuk Davi dan kenyataan pahit dalam hidupnya
* * * *
Tiga bulan berlalu, tak terasa hari demi hari di lalui Silvia dengan begitu cepat. Perasaan hatinya yang telah hancur berkeping-keping oleh Davi, dapat sedikit teralihkan oleh kesibukan menghadapi Ujian Nasional. Namun tetap saja, begitu hari-hari ujian itu telah berlalu, pikiran Silvia kembali di penuhi oleh bayang-bayang Davi, tak ada lagi tempatnya untuk berlari dari kenyataan yang begitu pahit ini.
Hari-hari libur sesudah ujian yang Silvia lalui pun selalu disesaki oleh sosok Davi dalam otaknya. Tiada sedetik pun waktu tanpa mengingat Davi. Davi… Davi… lelaki yang begitu Silvia cintai.
“Sil, udah disiapin belum sepatu buat sekolah besok?” Tegur Mama Silvia ketika pada suatu malam, melihat sang anak tengah melamun di balkon rumah mereka.
Silvia pun terlonjak kaget, namun buru-buru mengendalikan diri. “Eh…, mmm…, emang besok sekolah ya, Ma?” tanya Silvia linglung.
“Ya ampun, Sil. Besok itu penguman kelulusan. Kamu lupa?”
Plak! Silvia menepuk dahinya kuat-kuat. Bagaimana bisa ia melupakan hal itu? Benar, besok kan penguman kelulusan!
“Hehehe, Silvia lupa, Ma.” Tawa Silvia garing.
“Ya sudah, kamu siapkan dulu saja sana peralatan buat sekolah besok.”
“Sip, Ma.” Silvia mengacungkan dua ibu jarinya di udara sambil tersenyum, lalu bergegas menuju kamarnya, menyiapkan semua yang ia butuhkan esok hari.
* * * *
Pengumuman kelulusan di SMA Negeri 9 Bandarlampung kini telah usai. Dengan mencatatkan kelulusan 100% dengan peraih nilai tertinggi untuk jurusan IPA adalah Bima, murid dari XII IPA 2. Sedangkan peraih nilai tertinggi di IPS adalah Hario, murid dari XII IPS 3.
Silvia, cukup puas dengan deretan angka 8 yang di dapatkannya. Setidaknya itu akan menjadi bekal yang cukup baginya untuk mendaftar di Universitas Sriwijaya, universitas dambaannya. Rencananya, di UNSRI, Silvia akan mengambil jurusan kedokteran, sesuai dengan cita-citanya.
Silvia yang tengah duduk di kantin sambil menikmati segelas es jeruk dan membaca berulang kali kertas yang bertuliskan nilai-nilainya, sedikit terkejut mendapati kedatangan Davi.
Davi? Ke kantin? Seumur-umur Silvia mengenal Davi, Silvia nggak pernah melihat Davi datang ke kantin. Soalnya, setiap istirahat, Davi selalu saja pergi ke mushola bukan kantin. Tapi kali ini?
Silvia yang melihat Davi mulai mendekat, berpura-pura cuek dan kembali memusatkan perhatiannya pada kertas nilai yang sedang ia pegang. Pokoknya jangan sampai matanya dan mata Davi bertemu.
Silvia terus menundukkan kepalanya sambil membaca kertas nilai itu berulang kali, menunggu Davi pergi. Tanpa ia sadari, Davi justru tengah mendekati meja tempatnya duduk.
“Sil?” panggil Davi.
Kontan Silvia mendongak, dan betapa terkejutnya ia mendapati, ternyata Davi lah yang berdiri disana.
“Davi? Elo…,”
“Sil, gue cuma pengen bilang sama elo, kalau suatu hari nanti, gue pasti bakal nepatin janji gue sama elo, pasti! Kita akan bersatu, Sil, suatu hari nanti.” setelah berkata demikian, Davi buru-buru pergi meninggalkan Silvia.Tanpa memberikan Silvia kesempatan untuk menanggapi omongannya.
Sedangkan Silvia, sepeninggal Davi, ia hanya terdiam di tempatnya dengan pikiran yang super semrawut. Davi…, apa sih maksudnya berbicara seperti itu?
* * * *
6 tahun kemudian…
Sebuah mobil sport berwarna hitam terlihat memasuki lapangan parkir Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek, Bandarlampung. Mobil yang tampak begitu elegant itu berhenti di salah satu titik parkir yang masih sepi. Dan tak lama, keluarlah sosok seorang wanita muda berusia 24 tahunan dari dalam mobil itu.
Usai mengunci mobilnya, wanita itu bergegas berjalan masuk ke dalam rumah sakit sambil mengenakan jas putih dokter miliknya.
“Selamat pagi, Dokter Silvia Ayudita.” Sapa salah seorang resepsionis rumah sakit pada wanita yang ternyata adalah Silvia itu. Silvia menyambut sapaan itu dengan senyuman hangat.
Hari ini, adalah hari pertama Silvia akan bekerja sebagai dokter yang sesungguhnya, setelah hampir enam tahun ia menimba ilmu di Universitas Sriwijaya, Palembang.
Ternyata, meski telah enam tahun lamanya berkelana ke Palembang, belum juga dapat membuat Silvia dapat melupakan Davi. Meski selama enam tahun itu pula ia tak pernah berkomunikasi atau bertemu dengan Davi sekalipun. Silvia hanya pernah mendengar berita dari teman-temannya bahwa Davi di terima di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
Meski di Palembang, tak sedikit pria yang mendekati Silvia, namun hal itu tetap juga tak bisa mengusir Davi dari benaknya. Davi selalu melekat di pikiran bahkan hati Silvia. Selalu…, dan entah sampai kapan…
Buk! Asik melamun sepanjang jalan menuju ruangannya, Silvia tak melihat seorang pria tengah melintas di depannya, hingga ia menabrak pria itu hingga jatuh tersungkur.
“Haduh, Pak. Maaf ya, Bapak nggak apa-apa…, loh? Davi?” mata Silvia kontan terbelalak begitu melihat dengan seksama wajah lelaki yang ditabraknya, itu kan Davi! Panjang umur banget, lagi dipikirin eh orangnya nongol.Bisa kebetulan gitu ya?
“Silvia!?” Davi tak kalah terkejut. Davi buru-buru bangkit berdiri dan menatap Silvia dengan seksama. “Elo ngapain, Sil, disini?”
“Loh, gue kan dokter disini. Elo sendiri ngapain disini?”
“Gue cuma cek kesehatan aja,” Davi tiba-tiba tersenyum. “Udah enam tahun ya, Sil, nggak ketemu. Lo udah banyak berubah. Tambah cantik dibalik balutan jilbab.” Puji Davi sambil meneliti Silvia dan ujung rambut hingga ujung kaki, yang tak urung membuat pipi Silvia menyemu merah.
“Oh ya, Dav, lo kerja dimana?” tanya Silvia kemudian.
“Gue kerja di pemkot Bandarlampung, jadi kepala bagian administrasi.”
“Wah, udah sukses dong sekarang.” Puji Silvia sambil tertawa kecil.
Davi hanya membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kembali berkata, “Sil, gue boleh minta nomor hape lo?”
“Oh ya tentu, boleh kok.” Silvia mengeluarkan ponselnya dan mendiktekan nomornya ke Davi. Selesai, Davi pun pamit.
“Gue duluan ya, Sil, daaah. Entar gue telepon.”
* * * *
6 bulan berlalu semenjak Silvia kembali dekat dengan Davi.Ternyata sekarang Davi sudah banyak berubah.Ia bukanlah Davi yang ketus, dingin, dan kasar seperti waktu SMA dulu. Davi yang sekarang adalah Davi yang hangat, ramah, dan menyenangkan, membuat Silvia tambah mencintai sosok pria itu.
Namun, meski telah 6 bulan menjalin kedekatan. Tak ada sedikitpun tanda-tanda yang ditunjukkan oleh Davi, bahwa ia akan meminta Silvia menjadi kekasihnya. Davi seolah menggantungkan status antara dirinya dengan Silvia. Hal ini tentu membuat Silvia tak nyaman. Tunggu apa lagi, Dav! Udah 6 bulan kita deket. Apa kurang pedekate dalam waktu segitu? Sungut batin Silvia. Silvia pengen banget buru-buru melepas status single-nya dengan menjadi kekasih Davi. Tapi nggak mungkin kan kalau dia yang nembak Davi duluan. Silvia kan cewek, masak mau mulai duluan! Gengsi dong!
Sedang asyiknya melamun di ruang tamu rumahnya, tiba-tiba ponsel Silvia bergetar. Davi menelepon!
“Halo, Dav?”
“Sil, besok lo bisa dateng ke rumah gue?”
“Oh, bisa kok. Emang kenapa, Dav?”
Hening.Davi belum juga menjawab.“Dav?” panggil Silvia sekali lagi, membuat Davi bangkit dari lamunannya.
“Sebenernya…, besok gue mau menikah, Sil.”
* * * *
Silvia mematut dirinya di kaca. Silvia terlihat begitu cantik dengan balutan kebaya putih dan jilbab modern yang ia kenakan, meski hatinya sedang tak sebaik penampilannya. Hati Silvia kini telah hancur berkeping-keping! Berita pernikahan Davi hari ini, seolah menjawab semua pertanyaan dibenak Silvia, mengapa Davi tak kunjung meminta Silvia menjadi kekasihnya. Ternyata Davi telah memiliki calon istri.
Sebenarnya Silvia tak mau datang ke pesta pernikahan Davi hari ini, karena itu hanya akan membuat hatinya semakin perih. Namun, rasa penasaran Silvia akan calon istri Davi, mendesak Silvia untuk mau tak mau datang ke pesta itu.
Setibanya di rumah Davi, ternyata undangan telah ramai. Dan ternyata, acara akad nikah baru akan segera dimulai. Silvia sempat menangkap sosok Davi yang mengenakan jas putih dan tengah berdiri sendirian di dekat meja tempat akad akan dilangsungkan dengan muka ketar ketir. Silvia bisa menebak, Davi pasti sedang menunggu calon istrinya.
Silvia berbalik, dan memutuskan untuk duduk di luar rumah saja, ia tak sanggup melihat secara langsung Davi menikahi gadis lain selain dirinya. Namun, baru saja hendak mencicipi empuknya bangku yang disediakan di luar rumah Davi, tangan Silvia tiba-tiba di cekal seseorang.
“Davi?” Silvia keheranan, melihat ternyata Davi lah yang mencekal tangannya.
“Sil, lo kemana aja? Dari tadi gue nyariin lo!”
Alis Silvia bertaut. “Nyariin gue? Buat apa, Dav? Seharusnya elo nyariin calon istri lo!”
“Sil, dengerin gue baik-baik ya,” Davi menatap mata Silvia dalam-dalam. “Calon istri gue itu ya elo!”
“APA???!!”
“Sebelumnya gue minta maaf, Sil, udah nyembunyiin ini dari lo. Makanya, waktu kemarin lo tanya, siapa calon istri gue, gue nggak mau jawab dulu. Gue cuma mau ngasih kejutan.”
“Dav, gue masih nggak ngeti.” Ucap Silvia jujur.
“Sil, sebenernya sejak enam tahun yang lalu, gue udah ngerencanain hal ini,” Davi menggenggam tangan Silvia erat. “Gue pengen elo yang jadi pendamping hidup gue. Makanya gue ngerencanain hal ini mateng-mateng. Gue sengaja, dulu, nyuruh elo jauhin gue, karena posisi gue waktu itu masih sebagai ketua rohis, dan waktu itu…, gue belum sukses seperti sekarang, Sil. Gue nggak mau deketin elo, sebelum gue sukses karena gue pengen ngebuat elo bahagia. Lo inget kan gue pernah janji sama lo bahwa kita akan bersatu suatu saat nanti? Sekarang gue akan bener-bener nepatin janji gue, Sil.”
“Tapi, Dav, selama ini lo nggak pernah minta gue buat jadi pacar lo!”
Davi tertawa kecil. “Sil, justru itu yang gue mau. Gue nggak mau ada kata ‘pacaran’ antara kita. Karena itu nggak ada di dalam agama. Gue mau elo langsung jadi istri gue, Sil. Makanya selama ini, gue nggak pernah minta elo jadi pacar gue. Gue pengen tetep jaga hijab antara elo sama gue.”
Air mata Silvia pun menetes. Namun tak seperti 6 tahun yang lalu, air mata Silvia kali ini adalah air mata haru sekaligus bahagia, bukan air mata kesedihan dan kekecewaan.
“Sil, elo mau kan jadi istri gue?” tanya Davi sekali lagi.
Silvia pun mengangguk antusias sambil tersenyum.
Davi pun ikut tersenyum melihat anggukan kepala Silvia itu dan langsung menggandeng tangan Silvia mendekati meja akad nikah, tempat penghulu telah menunggu mereka berdua.
* * * *
“Ketika kau percaya, bahwa cinta itu ada, maka bahagia lah yang akan kau dapat pada akhirnya…”