Lam DILEMA CINTA 22 TAHUN SILAM
Jakarta, tahun 2033. Sore hari…
Seorang
wanita yang berusia hampir empat puluh tahunan terlihat sedang duduk melamun di
pinggir jendela kamarnya. Matanya yang teduh, menatap sendu pada rintik hujan
yang turun di luar sana. Ditangannya tergenggam secangkir teh hangat yang
sedari tadi tak disentuhnya sedikit pun. Sesekali, tangannya malah menjamah
liontin pada kalung yang tergantung di lehernya, liontin yang berukirkan
namanya yaitu, “VIRA”. Mengingat akan sejarah tentang liontin itu, pikiran Vira
kembali terbang melayang, mengenang masa-masa SMA-nya dahulu, masa-masa yang
terlalu indah untuk dibiarkan menjadi kenangan, namun juga terlalu pahit untuk
dikenang…,
“Mama…”
terdengar suara seseorang memanggil Vira dari arah belakang. Kontan Vira
berbalik dan mendapati sang putri tunggal tercintanya, Kanza, sedang berdiri
mematung di ambang pintu kamarnya sambil menggenggam ponsel.
Vira
pun tersenyum lalu meletakkan segelas teh hangat miliknya ke atas
meja.Tangannya kemudian terjulur, memanggil anak tersayangnya itu. “Kanza? Sini.
Duduk sama mama.” Vira menepuk-nepuk bagian sofa yang rumpang di samping
tubuhnya.
Kanza
berlari kecil, lalu menjatuhkan tubuh tepat di samping sang Mama dengan masih
sangat sibuknya mengutak-ngatik ponsel kesayangan miliknya. “Ma, mama kenapa?
Kok ngelamun?” tanya Kanza, matanya masih tertuju pada layar ponsel miliknya.
“Lah
seharusnya Mama yang nanya. Kamu ngapain nyamperin Mama kesini?”
Kanza
pun mengalihkan pandangannya dari layar ponsel lalu menatap Mamanya sambil
tersenyum nakal. “Aku mau cerita sama Mama.”
“Cerita
apa sih, sayang?”Vira membelai lembut rambut anaknya yang terurai panjang.
“Aku…,”
Kanza tersenyum nakal sekali lagi. Terlihat jelas kini, rona pipinya yang
memerah entah karena apa. Kemudian ia malah menyembunyikan wajahnya di balik bantal
kursi.
“Kamu
kenapa sih? Hayoooo, nakal ya main rahasia-rahasiaan sama Mama. Mama cubit
lho.” Vira menjulurkan tangannya hendak menggamit bagian perut Kanza, namun
Kanza sudah keburu mengelak dengan meliuk-liukkan badannya kekanan dan kekiri.
“Ampun,
Ma! Ampun!” Kanza tertawa geli selama beberapa saat, kemudian kembali duduk
dengan tenang. Kini ia telah siap dengan ceritanya. “Ma, sebenernya…, aku lagi
naksir cowok.” Tutur Kanza dengan nada malu-malu kucing.
Air
muka Vira kontan langsung berubah mendengar kalimat Kanza barusan. Kanza
bilang, ia sedang menyukai cowok? Ya Tuhan, anakku sudah mulai dewasa, batin
Vira sambil tersenyum kecil.
“Ma,
mama kenapa? Kok senyum-senyum?” tanya Kanza kebingungan.
“Ah…,
nggak kok.Nggak apa-apa.ngomong-ngomong siapa laki-laki yang kamu suka itu?”
“Namanya
Rio, Ma. Anaknya baik banget. Dia juara umum di SMP ku.”
Vira
tertawa sumringah. “Waaahh, tinggi juga ya selera anak Mama.”
“Tapi,
Ma…,” tiba-tiba air muka Kanza berubah menjadi keruh.
“Tapi?
Tapi kenapa?”
Kanza
tiba-tiba memeluk sang Mama, terlihat sekali siswa kelas 2 SMP itu sedang
berusaha membendung gejolak perasaan yang bergemuruh dalam dadanya. “Sahabatku
juga suka sama Rio, Ma.” Ucap Kanza dengan nada sumbang. Sepertinya ia sudah
mulai menangis.
Vira
terenyak. Dadanya terasa sesak. Semua memori masa lalu pahitnya seakan kembali
terkuak ke permukaan. Kisah pahit kelam, yang telah ia coba untuk dikuburnya
selama 22 tahun lamanya.
Kisah
ini…, kejadian ini…, dialami juga oleh anakku. Oh tidak, Tuhan! Cukup aku!
Jangan anakku! Jerit batin Vira. Tak terasa air matanya menetes.
“Ma,
mama kok nangis juga?” Kanza mendongak, menatap mata sang Mama yang sudah mulai
basah sama halnya seperti matanya.
Vira
pun terbangun dari lamunannya, diusapnya air mata yang sudah terlanjur meluncur
ke dua sisi pipinya itu. “Kanza sayang…, Mama cuma jadi keinget sama cerita
Mama waktu SMA dulu.”
Kanza
melepas pelukannya, lalu kembali duduk tegak seperti semula. “Cerita apa, Ma?
Boleh Kanza tahu?”
Vira
mengangguk. Ia berpikir, tak ada salahnya jika Kanza tahu kisah ini. Agar
anaknya itu dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah kelam masa lalunya. Jangan
sampai, semua kejadian itu terulang kembali dalam kehidupan Kanza. Kejadian
yang begitu memilukan, hingga untuk mengingatnya lagi pun terasa begitu berat
bagi Vira.
“Dulu,
Mama juga seperti kamu.” Ucap Vira memulai ceritanya.
Alis
Kanza bertaut. “Maksudnya?”
“Sahabat Mama juga pernah mencintai orang yang mama sayang…,”
“Sahabat Mama juga pernah mencintai orang yang mama sayang…,”
* * * * *
Jakarta, tahun 2011, pagi hari…
Pagi
itu SMA Volderbrough terdengar begitu ramai. Hiruk pikuk tersua dari segala
penjuru sekolah. Anak-anak dengan seragam putih abu-abu terlihat berkerumun di
lapangan upacara yang telah di sulap menjadi sebuah TPS (Tempat Pemungutan
Suara) dadakan.
Hari
ini memang hari bersejarah bagi SMA Volderbrough, karena mereka akan mengadakan
pemilihan ketua osis yang baru.
Ada
dua calon pada pemilihan kali ini. Yang pertama adalah Rifky, yang merupakan
juara umum olimpiade Sains tingkat nasional sekaligus merangkap sebagai ketua
dari ekskul SSO (Smart Student Organization) yang merupakan ekskul paling
bergengsi di SMA Volderbrough karena anggotanya adalah anak-anak dengan
kecerdasan yang di atas rata-rata.
Dan
calon yang kedua adalah Fidzy, anak salah satu pengusaha sukses di Indonesia
yang memiliki jabatan sebagai ketua ekskul basket di Volderbrough.
Hal-hal
yang menonjol dari para calon ketua osis ini tentu menimbulkan kesenggangan
yang amat jauh dan membuat para pemilih bingung. Mau pilih mana? “raja” pada bidang akademik atau “raja” pada
bidang non-akademik?
“Vir,
pilih siapa?”
Vira
yang sedang duduk di salah satu sisi lapangan upacara sambil melamun, terkejut
dengan suara yang tiba-tiba didengarnya. Ia pun mendongak, dan mendapati sahabatnya,
Zahra, sedang berdiri didepannya sambil tersenyum manis.
“Yeee,
ditanya malah ngelamun. Milih siapa Vir?” tanya Zahra ulang setelah mengambil
posisi duduk di samping Vira.
Vira
sih nggak usah ditanya, dia pasti milih Rifky lah. Secara Vira tuh udah naksir
berat sama Rifky semenjak dia dan Rifky sama-sama terlibat dalam ekskul SSO.
Tapi…, masak mau bilang begitu ke Zahra? Vira kan nggak mau Zahra tahu kalau
dia naksir Rifky. Bukannya kenapa-kenapa. Tapi, Vira memang orangnya cenderung
tertutup soal beginian sama orang lain. Termasuk sama Zahra, meski Zahra itu
sahabatnya sendiri.
“Gue
nggak tahu milih siapa,” jawab Vira akhirnya.“Elo?”
Belum
sempat Zahra menjawab, suara dari speaker sekolah terdengar, “bagi seluruh murid kelas XI IPA 7 diharap
bergegas menuju bilik suara. Terimakasih.”
“Vir,
kelas kita dipanggil tuh, yuk!” Zahra bangkit dari duduknya sambil menggandeng
tangan Vira dan bergegas menuju bilik suara.
* * * * *
Hasil
pemilihan ketua osis sudah keluar dan menempatkan Rifky sebagai pemenang dengan
selisih suara hanya 2% dari Fidzy. Tentu bukan hal yang aneh, melihat selama
ini pendukung Rifky atau Fidzy cenderung berimbang satu sama lain.
Untuk
merayakan kemenangannya, hari ini, Rifky mengajak seluruh anggota SSO untuk
makan malam di rumahnya.Sekalian mengadakan pesta kecil-kecilan.
Vira
yang merupakan salah satu anggota SSO jelas juga turut di undang dalam acara
makan malam itu. Vira merasa begitu sangat gelisah menunggu waktu yang ditunggu-tunggu
tiba. Yang di undang rame, tapi kok kayaknya gue sendiri yang gelisah ya? Rutuk
batin Vira pada dirinya sendiri sambil mematut dirinya di depan cermin.
Vira
sekarang sudah siap dengan gaun biru selutut dan berkerah “V”-nya. Rambut
panjang Vira, digelung ke atas hingga membentuk sanggul mini. Wajahnya di sapu
make-up tipis yang membuatnya terlihat tambah manis. Semuanya hampir sempurna. Hampir…,
karena Vira belum melengkapi dirinya dengan keberanian. Vira terlalu gugup
malam ini. Dekat-dekat dengan Rifky saja bisa membuatnya hampir meleleh, apa
lagi harus berjam-jam berada di rumah cowok itu. Vira gak bisa membayangkan
jika ia mati berdiri setibanya disana.
“Vir!
Jemputannya dateng tuh!” terdengar teriakan suara Mama Vira dari lantai bawah.
Vira menghela nafas panjang sambil menatap dirinya di depan cermin.
“Vira!
Lo bisa, Vir! Lo bisa! Lo bisa ngelewatin malam ini!”
* * * * *
Setibanya
di rumah Rifky, Vira dibuat terkagum-kagum dengan hidangan yang bergelimpang di
seantero meja makan besar milik keluarga Rifky. Makanan sebanyak itu lebih dari
cukup hanya untuk para anggota SSO yang berjumlah sekitar 30 orang. Vira nggak
menyangka, dibalik kesederhanaannya ternyata Rifky adalah anak orang kaya!
Hanya saja Rifky nggak menampakkan hal itu pada saat di sekolah.
Di
sekolah, Rifky bersikap layaknya orang biasa. Dikala sedang bertaburan ponsel blackberry disana sini, Rifky hanya menggunakan
ponsel biasa yang nggak memiliki fitur kamera. Dan disaat anak-anak konglomerat
yang bersekolah di Volderbrough bersekolah dengan mengendarai BMW, Sedan,
Fortuner, dan mobil-mobil dengan merk terkenal lainnya, Rifky hanya pulang-pergi sekolah dengan menggunakan
sepeda motor.
Padahal
kalau dipikir-pikir, dengan rumah mewah berlantai dua dan hidangan mahal yang
tersaji malam ini saja sudah cukup mencerminkan seperti apa kondisi ekonomi
keluarga Rifky yang sebenarnya. Dan tentu saja dengan harta yang bergelimang
seperti ini, akan sangat mudah bagi Rifky jika hanya sekedar membeli blackberry atau mobil mewah, bukan?
“Vir,”
Gisel, salah satu teman Vira di SSO yang sedari tadi berdiri di samping Vira, menyenggol
rusuk gadis itu pelan. “Duduk sana! Bengong aja.” Ucap Gisel sebelum akhirnya
ia berlenggang menempati salah satu kursi kosong yang berhadapan langsung
dengan sepiring kepiting saus tiram. Dasar Gisel! Pantesan badannya gak
kurus-kurus! Pikir Vira.
Vira
pun menempati kursi kosong yang terletak paling ujung. Disampingnya ada Satria,
salah satu anggota SSO yang selain karena kepintarannya, juga terkenal karena
predikatnya sebagai playboy.
“Vir,
lo cantik deh malem ini.” Goda Satria, namun Vira hanya melengos. Digoda
Satria? Alah, itu mah hal biasa. Sekarang aja si Satria ngomongin Vira cantik.
Vira berani taruhan, dua menit lagi, predikat “cantik” itu akan bepindah ke
cewek laen!
“Malem,
guys…” Vira tiba-tiba saja dikagetkan
dengan kemunculan Rifky yang datang tiba-tiba lalu mengambil posisi duduk tepat
didepannya. Kontan hal ini membuat Vira berkeringat dingin saking gugupnya.
Aduh! Memandang wajah Rifky sedekat ini? Mimpi apa Vira?
Makan malam pun dimulai, semua terlihat menikmati hidangan kelas atas yang disajikan Rifky, kecuali Vira tentunya. Saking gugup, menggerakkan tangan untuk mengambil makanan saja Vira nggak mampu. Duh! Padahal makanan didepannya enak-enak lho.
Makan malam pun dimulai, semua terlihat menikmati hidangan kelas atas yang disajikan Rifky, kecuali Vira tentunya. Saking gugup, menggerakkan tangan untuk mengambil makanan saja Vira nggak mampu. Duh! Padahal makanan didepannya enak-enak lho.
“Vir….
Vira…” hanyut dalam lamunannya, Vira sampe nggak menyadari jika sedari tadi Rifky
memanggil-manggilnya dengan suara halus. Vira baru tersadar, ketika tangan Rifky
menggenggam tangannya lembut.
“Vir?
Kenapa?Kok nggak dimakan makanannya?Nggak suka ya?”
Dug! Vira dapat merasakan jantungnya
hampir copot. Matanya tak berhenti memandang ke arah tangannya yang kini berada
di dalam genggaman Rifky. Ini lagi nggak mimpi kan? Rifky megang tangan gue? Ya
ampun!
“Vir?”
Rifky kembali menggoyang-goyang tangan Vira.
“Eh…
iya, Ky? Ya ampun. Gue ngelamun ya tadi? Ya ampun! Kok bisa ngelamun ya? Hehe…
Mmmm, makanannya enak kok, nih gue makan,” Vira menyendokkan sesendok salad ke
dalam mulutnya dengan terburu-buru dan wajah bersemu merah.
Rifky
tertawa kecil mendengar omongan Vira yang mulai ngelantur dan sikapnya yang
serba salah itu. Diteguknya jus jeruk yang ada dihadapannya, lalu bangkit,
menuju kursi Vira. “Lo lagi nggak nafsu makan ya? Sebenernya gue juga lagi
nggak nafsu makan,” bisik Rifky pelan di telinga Vira. “Kalo gitu, kita keluar
yuk! Duduk dibalkon rumah gue.”Rifky menggamit lengan Vira, meninggalkan
teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di meja makan. Saking asyiknya,
mereka tak sadar jika Rifky dan Vira telah pergi meninggalkan mereka.
Di
balkon, Vira dan Rifky, berdiri di tepian pagar pembatas sambil memandang
langit.
“Vir?
Boleh tanya sesuatu?” tanya Rifky membuka percakapan.
“Boleh.
Apa?”
“Kok,
kalo gue perhatiin elo tiap deket gue jadi salah tingkah ya?”
Jger!
Petir serasa menyambar kepala Vira mendengar pertanyaan Rifky barusan. Namun,
Vira mencoba tetap bersikap tenang ditengah gempuran hebat yang sedang
bergejolak dihatinya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Kalu saja Vira punya
sihir, mungkin ia akan langsung membuat bumi terbelah menjadi dua saat ini
sehingga ia bisa hilang ditelan tanah dan pergi dari hadapan Rifky. Tak terasa
semburat merah keluar dari kedua pipi Vira. Malunya ia saat ini. Jangan-jangan Rifky
juga udah mulai curiga kalo sebenarnya Vira tuh…,
“Hehehehe,
gue bercanda kok.” Rifky tertawa renyah sambil mengacak-ngacak puncak kepala
Vira. “Geer banget ya gue kalo sampe gue nanya kayak gitu ke elo.” Rifky
geleng-geleng kepala sendiri.
Jadi
semuanya cuma bercanda? Fiuh…, syukurlah! Vira mengerut dada lega.
“Sebenernya
gue mau nanya. Lo udah punya pacar apa belom?”
Vira
tercengang, nyaris saja ia memuntahkan salad yang baru saja ia makan tadi kalau
saja tak ia tahan. Petir yang menyambar kepala Vira terasa tiga kali lipat
lebih dahsyat! Rifky…, ngapain nanya pertanyaan kayak gitu ke Vira? Apa jangan
jangan…, ah! Nggak! Nggak! Vira nggak boleh geer dulu!
“E…, emangnya ke…, kenapa?” tanya Vira terbata.
“E…, emangnya ke…, kenapa?” tanya Vira terbata.
“Nggak
apa-apa sih. Gue heran aja.satu setengah tahun gue kenal elo, tapi gue nggak
pernah liat elo gandeng cowok. Padahal cewek cantik dan pinter kayak elo kan
pasti banyak yang mau. Ya kan, Vir? Vir? Vira…?!”
Vira
nggak mampu berkata lagi, ia tercengang hebat saat ini! Rifky bilang, Vira
cantik dan pinter?! What amazing night!
* * * * *
Vira
menatap heran pada sosok Zahra yang duduk di sebelahnya. Zahra hari ini
terlihat sangat berbeda. Tak seperti biasa, hari ini Zahra terlihat sangat
berkonsentrasi penuh memerhatikan pelajaran. Tak hanya itu, Zahra yang biasanya
malas mencatat, dan mengerjakan soal, sekarang berubah 180 derajat! Ada apa
nih?
“Ra?
Lo nggak lagi ketempelan arwah kuntilanak yang ada dibelakang sekolah kan?”
tanya Vira linglung.
Zahra
yang sedang asyik mengerjakan soal fisika mengenai impuls, momentum, dan
tumbukan pun menoleh pada Vira dengan tatapan heran. “Loh emang kenapa?”
“Gue
heran aja.kok lo hari ini jadi…, rajin?”
Zahra
kembali beralih pada soal fisikanya sambil tersenyum. “Gue udah bertekad, gue
harus bisa dapet nilai bagus semester ini! Gue mau masuk SSO!”
“HHA!?
SERIUS LO?!”
“Iya lah gue serius. Salah satu syarat masuk SSO, nilai rata-rata raportnya harus diatas 85 kan?”
“Iya lah gue serius. Salah satu syarat masuk SSO, nilai rata-rata raportnya harus diatas 85 kan?”
Vira
geleng-geleng kepala, pasti ada apa-apanya nih! Pikir Vira. “Elo kenapa, Ra? Kok
tiba-tiba pengen masuk SSO?”
Zahra
geleng-geleng sambil tersenyum penuh makna. “Ada aja!”
“Ih!
Kok rahasia-rahasiaan sih, Ra?”
“Nggak
ah! Entar lo ember!”
“Ya
ampun!” Vira geleng-geleng lagi. “Kapan sih, gue pernah bocorin rahasia lo?
Nggak pernah kan? Ayo dong! Cerita ya! Cerita! Zahra Raisa yang cantik.” Vira
mengguncang-guncang tubuh Zahra sambil memelas-melas dan tak hentinya menggoda.
“Iya…
iya...” jawab Zahra pasrah agar Vira berhenti mengguncang tubuhnya. “Gue mau
masuk SSO karena gue udah jatuh cinta sama ketuanya!”
“Ketua?” alis Vira bertaut rapat.
“Ketua?” alis Vira bertaut rapat.
“Iya.
Rifky!” Zahra tersenyum penuh makna. “Gue jatuh cinta sama RIFKY!” ulang Zahra
sekali lagi membuat Vira nyaris pingsan dibuatnya!
* * * * *
Vira
benar-benar tak bisa tidur malam itu, benaknya masih dipenuhi dengan semua
cerita-cerita Zahra tentang Rifky tadi Pagi. Satu setengah tahun ia dan Zahra
bersahabat, namun Vira baru tahu, jika Zahra telah jatuh cinta pada Rifky sejak
setengah tahun yang lalu, ketika Zahra dan Rifky sama-sama mengikuti ekskul
Chemistry Community.
Bahkan
kini, menurut penuturan Zahra, dirinya dan Rifky sudah semain dekat. Zahra dan Rifky
sudah semakin intens berkomunikasi, bahkan Rifky selalu memberi perhatian lebih
pada Zahra.
Namun
hingga detik ini, Vira belum berani menceritakan bahwa ia juga menyukai Rifky
kepada Zahra. Vira hanya takut, Zahra marah padanya. Vira nggak mau itu
terjadi.
Vira
bangun dari tidurnya lalu mengecek ponsel miliknya yang ia letakkan di meja belajar.
Tak ada sms atau pun telpon masuk disana. Lalu Vira membuka inbox ponselnya. Disana
tersimpan begitu banyak sms-sms Rifky yang juga menunjukkan perhatian lebih
kepadanya. Perhatian yang Rifky tunjukkan semenjak kejadian makan malam
dirumahnya beberapa minggu yang lalu.
Kini
hati Vira bertanya, apa…, Rifky termasuk pria yang begitu mudah memberikan
perhatian lebih pada setiap wanita?
* * * * *
Hari
demi hari berlalu. Zahra makin terhanyut oleh perasaannya terhadap Rifky. Perasaan
yang juga membuat Zahra berubah semakin drastis. Zahra yang dulu malas-malasan,
kini berubah menjadi begitu giat belajar demi mengejar cita-citanya: masuk SSO!
Bahkan tak hanya itu, Zahra pun berubah menjadi cewek yang jadi agak jaim. Berbeda
dengan Zahra yang dulu agak sedikit selengean. Semuanya Zahra lakukan demi RIFKY!
Kedekatan
Zahra dan Rifky pun semakin berlanjut. Bahkan kini Rifky sering memanggilnya
dengan panggilan-panggilan sayang. Dan Rifky pun sering mengatakan pada Zahra
bahwa ia menyayangi Zahra. Tapi sayangnya, Zahra dan Rifky belum menggenggam
status berpacaran, karena Rifky tak pernah secara langsung meminta Zahra untuk
menjadi kekasihnya. Jadi bisa dibilang, Zahra dan Rifky itu lagi HTS alias
Hubungan Tanpa Status.
Kedekatan
antara Zahra dan Rifky pun membuat Zahra dan Rifky tak sungkan lagi untuk
menunjukkan kedekatan mereka di sekolah. Rifky sering menghampiri Zahra hanya
untuk sekedar mengobrol, begitu pula sebaliknya.
Sedangkan
Vira?Semenjak kedekatan Rifky dan Zahra semakin menjadi. Ia perlahan mundur teratur
dan menjauh dari Rifky. Bukan hanya karena nggak enak hati sama Zahra, tapi
semua ini juga terjadi karena Rifky yang juga mulai menjauhi Vira. Terbukti
dengan semakin jarangnya Rifky menunjukkan perhatian lebih kepada Vira. Hanya
sesekali Rifky mengirimkan sms singkat kepada Vira. Itu pun hanya sms-sms
simpel seperti “selamat tidur, Vir” atau “udh nympe rmh, Vir?” hanya sebatas
itu, tak seperti dulu, sebelum kehadiran Zahra datang
diantara ia dan Rifky. Bahkan ketika bertemu Vira, Rifky hanya tersenyum, tak
lagi mengobrol seperti dulu-dulu. Tak cukup sampai disitu. Penderitaan Vira pun
harus bertambah ketika ia dengan sangat terpaksa harus mendengarkan
curhatan-curhatan Zahra tentang kedekatannya dan Rifky yang tentu saja membuat
sakit hati Vira dan kuping Vira panas.
Seperti
siang ini, Vira bela-belain pulang telat kerumahnya, demi menemani Zahra pergi
ke Playground kafe. Zahra bilang dia mau curhat (lagi)! Fiuh…,
“Curhat
apa nih, Ra? Rifky lagi?” Vira mengaduk dengan malas es cappuccino yang ada
dihadapannya.
“Iya.”
“Kenapa
lagi tuh anak?”
Zahra
menyeruput fruit late miliknya sebelum angkat suara, “Gue curiga. Jangan-jangan
Rifky suka sama cewek laen.”
Batin
Vira mulai tertarik juga rupanya dengan topik pembicaraan kali ini. Rifky suka
sama cewek laen? Wah! Vira mesti tahu nih!
“Oh
ya? Siapa?” tanya Vira mulai terpancing.
Zahra
menggeleng. “Nggak tahu gue. Tapi yang jelas tiap gue pengen cek ponselnya. Dia
selalu nolak. Katanya ada sms rahasia. Kalo emang cuma dari temen ngapain
dirahasian coba? Pasti dari cewek laen deh!”
Vira
geleng-geleng sambil tertawa kecil. “Halo Nona Zahra Raisa. Bukannya itu hak
dia? Ponsel juga ponsel dia kan? Lagian…, elo kan belum pacaran sama dia.”
Kontan
wajah Zahra tertunduk lemas mendengar kalimat Vira barusan. Memang benar! Rifky
bukan miliknya. Tapi…, ia sudah sangat bergantung pada cowok itu. Rifky sudah
terlanjur masuk ke dalam kehidupan Zahra hingga sisi yang paling dalam.
“Tapi…,
gue kan udah terlanjur sayang banget sama dia, Vir.”
* * * * *
Zahra
terkejut dengan sms yang diterimanya minggu siang ini. Sms itu masuk ke
ponselnya tepat ketika ia baru selesai mengerjakan tugas fisika.
From:
RifkyJ
Bsa
ktmu? Ak tgu km di tman dkt skolah skrg.
Seusai
membaca sms itu, Zahra buru-buru membereskan buku-buku fisika yang berserakan
di lantai kamarnya lalu berganti baju.
“Mau
kemana, Ra?” tanya Mama Zahra ketika melihat Zahra turun dari tangga lantai dua
lengkap dengan dandanan yang begitu rapi.
“Mau
nemuin temen, Ma. Daah…” Zahra berlari kencang meninggalkan sang Mama, lalu
buru-buru menyetop angkot yang kebetulan lewat depan rumahnya.
* * * * *
“Hei,
Ky. Mau ngapain sih? Ngajak ketemuan segala?” tanya Zahra begitu menghampiri Rifky,
dan langsung mengambil posisi duduk di samping cowok itu. Mereka berdua kini
duduk di kursi taman yang menghadap ke arah kolam air mancur.
“Aku
mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ngomong
apa? Tumben. Biasanya juga lewat sms atau telepon bisa.”
“Ini
hal penting, Ra. Ini tentang…, kita.”
“Kita?”
“Ya,
kita,” Rifky menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat begitu datar. Rasanya ia
begitu tak siap menuturkan cerita ini pada Zahra, gadis yang teramat
dicintainya, tapi nggak mungkin juga Rifky terus menyimpan rahasia ini. ia tak
ingin membohongi Zahra lebih jauh lagi. “Ra, ada satu hal yang belum kamu tahu
tentang aku.”
Alis
Zahra bertaut bingung. “Oh ya? Apa?”
Rifky
menggigit bibir bawahnya. Berat rasanya harus mengatakan rahasia yang selama
ini ia sembunyikan dari Zahra demi menjaga perasaan cewek itu.
“Ra,
sebenarnya, sebelum dekat dengan kamu, aku…, dekat dengan…, Vira.”
Plak!
Plak! Plak! Bertubi-tubi tamparan keras seolah menampar hati Zahra hingga
terasa begitu sakit mendengar penuturan Rifky barusan. Hening. Zahra terenyak
di tempatnya. Bibirnya kaku seolah tak sanggup lagi bicara. Vira? Rifky dekat
dengan Vira? Tapi kenapa…, Vira nggak pernah cerita? Tak terasa air mata mulai
terbit dari sudut mata Zahra.
“Aku…,
aku sayang sama Vira, jauh sebelum aku sayang sama kamu. Tapi…, begitu deket
sama kamu, aku juga jadi sayang sama kamu, Ra. Aku sayang sama kalian berdua,”
bibir Rifky mulai bergetar, sepertinya cowok itu sedang menahan tangis. “Ra,
aku nggak mau nyakitin kalian berdua kalo aku terus seperti ini. Jujur aku nggak
bisa memilih diantara kalian. Aku…, pengen pergi dari kehidupan kalian. Aku…,
aku nggak mau nyakitin kalian.”
Brak!
Zahra menggebrak bangku taman dengan penuh amarah. Tangis yang sudah sekuat
tenaga ditahannya sedari tadi, akhirnya pecah juga. “BODOH!” teriak Zahra tepat
di depan wajah Rifky.
“Kamu
bodoh, Ky. Kamu bodoh! Kenapa kamu ngambil keputusan secepat ini?”
“Itu
karena…,”
“Ky,
kalo boleh jujur. Aku juga udah ngerasa dari dulu kalo Vira suka sama kamu.
Tapi karena dia nggak pernah cerita apa-apa, jadi aku anggap acuh aja semuanya!
Tapi ternyata, feeling aku bener. Dia memang suka sama kamu. Dan gitu juga
sebaliknya!” tangis Zahra semakin kencang. Ia tak sanggup lagi menahan
emosinya. Semuanya! Semuanya! Sudah terlanjur membuatnya sakit dan kecewa!
“Ky…,”
tiba-tiba Zahra menggenggam tangan Rifky lembut. Matanya yang basah, menatap
mata Rifky yang tampaknya sudah mulai berkaca-kaca. “Maafin aku yang udah jadi
benalu diantara hubungan kamu dan Vira, Ky. Maafin aku. Kalo aja dulu aku nggak
dateng dalam hidup kamu dan nggak deket-deket kamu, mungkin sekarang kamu dan
Vira sudah bahagia berdua. Ky, aku mohon, jangan buat keputusan bodoh dengan
menjauhi Vira. Kamu pantes Ky dapetin Vira. Dari dulu aku emang udah ngerasa
kamu cocok sama dia. Tapi karena keegoisan aku. Aku berusaha menelusup ke dalam
hidup kamu.”
“Ra…,”
Rifky hendak memotong pembocaraan Zahra, namun Zahra kembali melanjutkan
omongannya.
“Ky,
jangan tinggalin Vira ya. Aku yakin dia sayang banget sama kamu. Aku rela Ky
kamu sama Vira.”
“Tapi,
Ra…, itu akan nyakitin kamu. Aku nggak mau ada yang sakit lagi.”
“Ky, aku akan baik-baik aja. Aku mohon. Kembalilah ke Vira. Dia lah cinta kamu yang sebenernya. Tempat kamu bisa nemuin kebahagiaan kamu. Bukan aku.”
“Ky, aku akan baik-baik aja. Aku mohon. Kembalilah ke Vira. Dia lah cinta kamu yang sebenernya. Tempat kamu bisa nemuin kebahagiaan kamu. Bukan aku.”
“Ra,
tapi…,”
“NGGAK
ADA TAPI-TAPIAN! POKOKNYA AKU MAU KAMU BALIK LAGI KE VIRA, TITIK!” Zahra
melepas genggaman tangannya dari Rifky, lalu berlari pergi sambil menangis,
meninggalkan Rifky sendirian terpaku dalam kepahitan yang teramat mendalam.
* * * * *
Vira
terkejut, ketika mendapati Zahra sudah berdiri di depan pintu rumahnya dengan
keadaan tubuh yang basah kuyup. Memang, baru beberapa menit yang lalu, Jakarta
di guyur hujan deras. Ngapain Zahra ujan-ujanan?
“Ra?
Lo kok…,”
“Vir,”
Vira kaget, melihat Zahra tiba-tiba berlutut dihadapannya sambil mulai
meneteskan air mata. “Gue mohon, lo kembali ya ke Rifky.”
Vira
terkejut. Matanya membola lebar. “Ra, lo ngomong apa sih?”
“Vir, cukup! Jangan bohongin gue lagi! Gue udah tahu semuanya tentang elo sama Rifky!” mata nyalang Zahra menatap Vira dengan memelas. “Vir, gue rela kalo emang elo sama Rifky bahagia. Gue rela. Gue mohon ya Vir, jaga Rifky baik-baik. Gue tahu lo sayang sama dia. Dan gue lebih tahu lagi kalo bahagianya Rifky itu sama elo.”
“Vir, cukup! Jangan bohongin gue lagi! Gue udah tahu semuanya tentang elo sama Rifky!” mata nyalang Zahra menatap Vira dengan memelas. “Vir, gue rela kalo emang elo sama Rifky bahagia. Gue rela. Gue mohon ya Vir, jaga Rifky baik-baik. Gue tahu lo sayang sama dia. Dan gue lebih tahu lagi kalo bahagianya Rifky itu sama elo.”
Vira
tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia pun ikut berlutut lemas. “Ra…,”
diusapnya air mata Zahra dengan pelan. “Gue…,”
“Vir,
maafin gue. Maafin gue udah jadi benalu bagi elo dan Rifky. Maafin gue, Vir.” Tiba-tiba
Zahra memeluk Vira dengan erat.
“Ra,
elo nggak salah, elo…,”
“Vir,
pokoknya lo harus bikin Rifky bahagia!” Zahra melepas pelukannya dan sibuk
merogoh saku tas kecil yang sedari tadi ia bawa.
“Ini…,”
Zahra mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dan disodorkannya pada
Vira. “Gue nggak akan pernah lupa kalo hari ini hari ulang tahun lo, Vir. Maaf
gue cuma bisa ngasih ini.” Zahra tersenyum pahit.
“Ra,
makasih…,”
Zahra
mengangguk lalu bergegas bangkit berdiri dan berlari kencang meninggalkan rumah
Vira tanpa permisi lagi.
Vira
menatap kepergian sahabatnya itu dengan senyum bahagia. Tanpa Vira sadari itu
lah saat terakhir dirinya bisa melihat Zahra…
* * * * *
Zahra
berlari tanpa ampun. Menerobos hujan yang begitu lebat.Menerobos kerumunan
orang yang sedang sibuk mencari tempat berteduh. Dan menerobos angin yang
seolah menghalanginya untuk pergi.
Zahra
tak sanggup lagi menahan semuanya. Rasanya ia ingin saja menyudahi semua ini!
semua terasa begitu menyesakkan! Sudah cukup pura-pura tegarnya, Zahra! Teriak
batin Zahra pada dirinya sendiri. Ia tak mau lagi membohongi dirinya dengan
pura-pura tersenyum ketika melihat Vira bahagia bersama Rifky. Sungguh, jauh di
dalam lubuk hati Zahra, ia tak pernah ingin melihat hal itu!
Zahra
berhenti pada sebuah pintu palang perlintasan kereta api. Di depannya terhampar
berpuluh kendaraan yang sedang mengantri hingga portal kembali dibuka karena
kini sebuah kereta api sedang hendak melaju melewati jalan ini.
Zahra
memandang nanar pada kepala kereta api yang sudah muncul dari ujung sebelah
kanan rel. Tanpa pikir panjang, Zahra melompat meloncati portal menuju tengah
rel. Direntangkannya tangan lebar-lebar sambil memejamkan mata. Ditahannya
nafas. Bersiap melepas segalanya. Tanpa peduli teriakan-teriakan begitu banyak
orang yang berada di sekitar palang perlintasan yang menyuruhnya minggir. Zahra
tak peduli! Ia hanya ingin…, mati!
* * * * *
Jakarta, tahun 2033, pukul 17:45, sore
hari…
“Jadi,
teman Mama yang namanya Zahra itu meninggal karena bunuh diri?” tanya Kanza
masih penasaran.
Vira
mengangguk lemah. Menceritakan hal itu kepada Kanza telah cukup menguras
emosinya. Semenjak awal hingga akhir cerita Vira tak henti-hentinya menitikkan
air mata. Semuanya seolah menguak luka lama yang selalu ingin dikuburnya.
“Kanza…,”
panggil Vira sambil mengelus rambut sang anak.
“Ya,
Ma?”
“Mama mohon, kamu jangan mengulangi kesalahan Mama. Kamu harus pintar memilih mana yang terbaik untuk hidup kamu.”
“Mama mohon, kamu jangan mengulangi kesalahan Mama. Kamu harus pintar memilih mana yang terbaik untuk hidup kamu.”
Kanza
mengangguk. “Iya, Ma.”
“Kanza…,”
panggil Vira sekali lagi, namun kali ini Vira memanggil sambil tersenyum.
“Iya,
Ma. Kenapa?”
“Kamu mau tahu siapa sebenarnya lelaki antara Mama dan Zahra itu?”
“Kamu mau tahu siapa sebenarnya lelaki antara Mama dan Zahra itu?”
Kanza
mengangguk antusias. “Mau, ma. Mau banget. Siapa dia?Apa Kanza kenal dia?”
“Tentu
kamu kenal dia. Bahkan sejak lahir, kamu sudah mengenalnya.”
Kanza
terkejut. Pikirannya sudah dapat menarik kesimpulan sendiri saat ini.
“Jangan-jangan, cowok itu…,”
“Hayooo,
lagi pada cerita apa sih?”
Vira
dan Kanza menoleh ke arah suara yang datangnya tiba-tiba itu. “Papa!” teriak
Kanza senang sambil menghambur memeluk sang papa yang berdiri di ambang pintu
kamar dengan masih lengkap mengenakan seragam kantornya. “Kamu lagi cerita apa
sama Mama?”
Kanza
tertawa kecil. “Tanya aja deh sama Mama.” Kanza melepas pelukannya lalu pergi
keluar dari kamar, meninggalkan kedua orang tuanya sendiri.
“Kamu
cerita apa sama Kanza?” tanya suami Vira itu dengan nada penuh selidik.
“Sepenggal
dari kenangan masa lalu kita. Tentang…, Zahra.”
“Zahra?”
“Iya.
Lagi pula nggak salah kan kalo Kanza tahu bahwa yang membuat kedua orang tuanya
ini bersatu adalah sesosok manusia berhati malaikat yang bernama Zahra.
Bukankah begitu, Tuan Rifkyan Hadinata?”
Suami
Vira itu hanya tertawa kecil lalu mengecup pelan kening istrinya.
“Atau
aku harus panggil kamu, Tuan Rifky sang ketua osis yang terhormat?” kali ini Zahra
yang tertawa kecil.
“Yaaah,
bagaimanapun, Zahra akan selalu menjadi kenangan dalam hidup kita.Tanpa dia
kita tak akan seperti ini.”
Vira
mengangguk sambil tersenyum, menatap Rifky, suami tercintanya. Tak lama, ia
mengalihkan pandangannya pada liontin kalung miliknya yang bertengger manis di
leher. Kalung pemberian terakhir Zahra pada hari ulang tahun Vira, sebelum
kepergian gadis malaikat itu ke surga untuk selamanya…
THE END