GOD BLESS PUPUT
Suatu
malam di akhir bulan Januari…
Seorang
gadis tampak tengah terbaring lemah di ranjang sebuah ruangan VIP di rumah
sakit. Tangan lentiknya, terikat dengan selang infus disana-sini. Matanya
terpejam rapat. Desahan nafasnya terdengar begitu lemah. Hanya samar namun
menggambarkan rasa pedih yang luar biasa.
Disamping
ranjang itu, tampak sosok wanita paruh baya yang tengah duduk bersandar pada
kursi sambil memejamkan mata. Lingkaran hitam di bawah matanya, menunjukkan
bahwa wanita itu kurang beristirahat. Tubuhnya teramat sangat letih dan lemah.
Sesekali matanya terbuka, dan tiap kali ia melihat pemandangan yang tersingkap
di balik kedua kelopak matanya, wanita itu menitikkan air mata. Air mata
kesedihan yang selama ini selalu menghiasi hari-harinya, tiap kali wanita itu
membayangkan dan meratapi sosok tubuh yang terbaring di ranjang itu: Puput, anaknya.
Tangan
wanita itu terjulur, mengusap lembut wajah Puput yang masih tak kunjung siuman
setelah menjalani proses cuci darah tadi pagi. Diciumnya dengan pelan, kening
sang anak sambil berkata, “Put, cepet sembuh ya sayang. Ibu selalu mendoakan
kamu.” Dan…, tik! Air mata itu
menetes lagi. Hati ibu mana yang tak pedih rasanya jika melihat sang anak tak
kunjung sembuh dari penyakitnya.
Puput,
sejak 3 tahun yang lalu memang mengidap kelainan pada ginjalnya. Ginjal puput
rusak dan tak dapat menyaring darah, itulah sebabnya, semenjak masih duduk
dibangku kelas 3 SMP, tubuh Puput sudah harus diakrabkan dengan jarum dan
selang infus demi bisa menyambung nafasnya. Seminggu sekali, Puput harus
menjalani terapi cuci darah.
Dan
setiap kali terapi cuci darah itu dilakukan, air mata selalu saja bertumpahan,
ibu Puput selalu saja menangis, melihat putri semata wayang tercintanya meraung
kesakitan ketika infus disematkan di setiap urat nadinya.
Entah…
entah sudah berapa ratus kali puput menjalani cuci darah semasa hidupnya.
Semenjak ia baru mencecapi nikmatnya usia 14 tahun, hingga saat ini, detik ini,
ketika usianya hampir genap 17 tahun.
“I…,
ibu…,” Puput membuka matanya perlahan, ia tersadar! Dan kalimat pertama yang ia
ucapkan adalah “ibu”. Sebuah kalimat yang mewakili sesosok wanita tegar, yang
telah merawat Puput dari kecil hingga saat ini seorang diri.
Ya,
Ayah Puput telah lama berpulang ke pangkuan Tuhan, tepat ketika kandungan Ibu
Puput memasuki usia 4 bulan. Ayah meninggal setelah mengalami gagal jantung
akibat penyakit komplikasi yang telah lama bersemayam di tubuhnya.
“Ya,
Nak.” Jawab Ibu lembut sambil tersenyum dan menitikkan air matanya.
“Ibu,
Puput nggak mau lagi cuci darah. Rasanya sakit, Ibu… sakit…” Puput tak kuasa
lagi membendung air matanya. Perih ditubuhnya tak kuat lagi ia tahan. “Ibu,
Puput pengen sembuh Ibu… Puput nggak mau kayak gini lagi.”
Ibu
menangis, dipeluknya Puput, mencoba menenangkan. “Ya, sayang. Ibu juga nggak
mau lagi melihat kamu seperti ini. Kamu sabar ya, pasti Tuhan akan memberikan
jalan keluar atas semua ini.”
Puput
mengangguk. Dilepaskannya pelukan Ibu. Saat ditatapnya kedua bola mata Ibu yang
begitu jernih, pikiran Puput justru melayang. Otak Puput kembali memutar
kejadian tadi pagi, ketika Dokter Azwar, dokter yang selama ini menangani Puput
mengatakan, bahwa Puput bisa sembuh asalkan melakukan cangkok ginjal.
Detik
itu pula, tanpa berpikir panjang lagi, Ibu langsung menawarkan diri untuk
menjadi donor ginjal, namun Puput menolak. Ia bersikeras tak ingin mengorbankan
Ibunya. Ia takut, jika operasi cangkok ginjal itu justru akan membahayakan ibu.
Puput tentu saja tak mau hal itu terjadi. Baginya, sudah cukup besar pengorbanan
Ibu selama ini, Puput tak bisa membiarkan Ibu berkorban lebih banyak lagi.
Ibu
pun pasrah mendengar penolakan Puput atas kesediannya menjadi donor itu. Ia tak
bisa berbuat apa-apa lagi, meski di lubuk hatinya yang terdalam, ia selalu
ingin mengorbankan segala sesuatu hal yang terbaik untuk Puput.
“Ibu,
Puput pengen pulang.” Ucap Puput kemudian, setelah lama terdiam.
“Iya
sayang. Kita pulang besok pagi. Sekarang sudah malam. Tidurlah. Beristirahat.
Agar besok tubuhmu kembali pulih total.”
* * * *
Suatu
pagi di awal bulan Februari…
“Put!
Puput!” panggil seseorang ketika Puput
tengah berjalan menyelusuri koridor sekolah menuju kantin. Puput kontan
menghentikan langkahnya dan memutar tubuh, menghadap orang itu. “Eh, kamu,
Ndra.” Puput tersenyum manis begitu mengetahui ternyata orang yang memanggilnya
itu adalah Hendra, sahabatnya.
Bagi
Puput, Hendra adalah salah satu orang yang paling berharga dalam hidup Puput
selain Ibu. Karena dulu, ketika Puput dinyatakan positif terkena gangguan pada
ginjalnya, semua teman Puput langsung menjauhi gadis itu, takut ketularan
katanya. Padahal, Puput sudah bersikeras memberi penjelasan pada mereka bahwa
penyakit yang dideritanya itu tak menular. Dan pada saat itu lah, ketika semua
orang justru menjauhi dan mengucilkan Puput, Hendra adalah satu-satunya orang
yang tersisa yang masih setia berdiri disamping Puput menjadi tameng sekaligus
menjadi dinding tempat Puput bersandar. Ia tak peduli dengan omongan orang yang
mengatakan bahwa Puput akan membawa virus berbahaya baginya. Hendra sudah cukup
cerdas untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya.
“Mau
kemana, Put? Kok nggak ngajak aku?” Tanya Hendra sedikit manyun.
“Ke
kantin, Ndra.” Puput kembali melanjutkan langkahnya, Hendra menjajari. “Abisnya
kelas kamu jauh sih, makanya aku males ngejemput kamu kesana.”
“Oh
ya, Put. Bisa nggak nanti pulang sekolah temenin aku ke gedung olahraga
sekolah?” Tanya Hendra kemudian.
“Ngapain,
Ndra?”
Hendra
tersenyum misterius. “Aku punya kejutan buat kamu.”
Puput
yang hampir tiba di pintu kantin, kontan menghentikan langkahnya begitu
mendengar kalimat yang dilontarkan Hendra barusan. Mata Puput kini menatap
Hendra nyalang. “Kejutan? Kejutan apa?”
“Ada
deeeh, makanya kamu ikut aku ya?”
* * * *
Setibanya
waktu pulang sekolah, Hendra bergegas menuju kelas Puput demi menjemput gadis
itu, takut kalau-kalau Puput kabur, hihihi…
Dan
begitu “mendapatkan” Puput ditangannya, Hendra langsung tancap gas menyeret
Puput menuju gedung olahraga sekolah
yang terletak di belakang sekolah. Gedung olahraga sekolah memang sering kosong
karena jarang digunakan. Kalaupun digunakan, paling tidak hanya satu bulan
sekali. Itu pun kalau cuaca sedang buruk yang membuat para siswa terpaksa
berolahraga di dalam gedung. Sedangkan, jika cuaca sedang baik, guru-guru
olahraga lebih memilih tempat outdoor,
ketimbang gedung olahraga sebagai sarana.
“Put,
mata kamu ditutup ya?” ucap Hendra sebelum dirinya dan Puput memasuki pintu
utama gedung olahraga.
Puput
mendelik jijik. “Ih, apaan sih? Ngapain matanya pake ditutup segala?”
“Kan
ini kejutan. Nggak seru dong kalo nggak tutup mata. Biar kayak di film-film
gitu, Put, hihihi…” Hendra tertawa geli.
Puput
menghela nafas panjang, pasrah. “Oke.” Jawab ia akhirnya.
Begitu
mendengar persetujuan dari Puput, Hendra bergegas mendekat, menjulurkan kedua
tangannya, demi bisa menutup mata Puput.
Setelah
menutup mata Puput, Hendra perlahan menuntun gadis itu berjalan memasuki
gedung.
Gedung
olahraga merupakan salah satu gedung terbesar di sekolah. Di dalam gedung
terdapat sebuah lapangan basket dan sebuah lapangan badminton. Kedua lapangan
itu saling bersisian satu sama lain dengan hanya dibatasi dinding semen
setinggi 15 sentimeter yang membentang panjang dari ujung hingga ujung satunya
lagi. Di sekeliling kedua lapangan itu terdapat empat tribun yang diberi nama
dengan mengikuti arah mata angin tempat empat tribun tersebut menghadap: barat,
timur, utara, selatan. Seluruh tribun di dalam gedung itu mampu menampung
hingga 1500 penonton. Tak heran, jika sedang ada event olahraga di sekolah, gedung ini akan penuh sesak dengan
penonton yang memadati kursi-kursi yang tersedia di tribun yang berjumlah
sekitar 1000-an lebih itu.
Hendra
menghentikan langkahnya dan Puput tepat di tengah lapangan basket. “Aku buka ya
mata kamu.”
Hendra
melepaskan tangannya dari sepasang mata indah Puput. Begitu membuka matanya,
Puput hanya geleng-geleng kepala dengan raut bingung mendapati keadaan di
sekitarnya. “Mana kejutannya? Kamu bohong ah. Nggak ada apa-apa tuh disini.”
Sungut Puput kesal. Gedung olahraga ini emang nggak ada yang berubah sedikit
pun. Tribunnya masih bercat hijau, kursinya masih tersusun rapi, ring basketnya masih ada dua, bahkan
dinding pendek pembatas antara lapangan badminton dan lapangan basket pun nggak
turun walau hanya satu senti. Lalu mana kejutannya? Apa ini yang namanya
kejutan? Ah! Menyebalkan!
“Kamu
itu terlalu cepat menilai sesuatu, Put.” Hendra geleng-geleng kepala. “Coba deh
kamu liat di bawah kaki kamu.”
Puput
yang sudah keburu dongkol, dengan setengah hati menunduk, melirikkan kedua bola
matanya menatap kebawah, dan ternyata…,
“Hen…,
Hendra…, kamu…,” Puput nggak sanggup lagi berkata begitu melihat ada sebuah
kalimat tertulis indah tepat dibawah kakinya. “I wanna you be mine”, kalimat yang ditulis menggunakan airbrush dilantai itu, mampu membuat
Puput tak mampu berkata lagi. Semua kosakatanya lenyap seketika.
“Put…,”
tiba-tiba Hendra berlutut, membuat Puput makin speechless. “Aku udah lama sayang sama kamu. Aku nggak peduli, Put,
apapun kata orang tentang kamu, yang aku tahu aku sayang kamu, Put.”
Hati
Puput pun terenyuh, tak kuasa lagi dibendungnya air mata.
“Put,
kamu mau kan jadi pacarku?”
“Ndra…,”
ucap Puput pelan, masih sambil menitikkan air mata. “Aku…, aku nggak bisa. Kamu
tahu, Ndra, gimana keadaanku sekarang. Aku sakit, Ndra. Aku sakit. Aku takut,
kalau aku menerima semua ini, aku nggak keburu bisa membahagiakan kamu karena
Tuhan sudah ‘memanggilku’. Aku takut umurku nggak panjang lagi.”
Pelan,
tangan Hendra terjulur, menggenggam kedua tangan Puput erat. Ditatapnya kedua
bola mata Puput dengan penuh cinta dan harap. “Put, justru karena itu aku
meminta kamu jadi pacarku. Aku ingin selalu jadi orang terdekat untuk kamu.
Yang menemani kamu dalam keadaan apapun. Aku ingin, Put, berusaha sekuat
tenagaku membuat kamu sembuh. Aku janji aku akan berusaha melakukan hal itu.
Aku ingin memberimu perhatian lebih dari sekedar sahabat, Put.”
Puput
makin tak kuasa menahan air matanya untuk tak jatuh. Jujur, di dalam hatinya,
Puput juga menyayangi Hendra, sangat sayang. Tapi…, Puput takut jika ia tak
bisa membahagiakan Hendra.
“Put…,
please.” Mohon Hendra sekali lagi
dengan sinar mata memelas, memohon, mengiba, penuh harap.
Hati
Puput kini sudah benar-benar tersentuh hingga dasar yang paling dalam. Tak
kuasa ditolaknya lagi permintaan spesial Hendra itu. “Ya, Ndra. Aku mau…, aku
mau…,” ucap Puput setengah terbata sambil mengangguk kecil.
Mendengar
kalimat itu, kontan Hendra bangkit berdiri dan memeluk Puput dengan hangat.
“Aku akan selalu ada disamping kamu, Put. Terima kasih atas kesempatan ini. Aku
janji nggak akan menyia-nyiakannya.”
Puput
mengangguk dalam pelukan Hendra. Ia tengah mencoba untuk meresapi setia tetes
cinta yang Hendra berikan untuknya dengan begitu tulus.
* * * *
Hari-hari
pun Puput dan Hendra lalui bersama semenjak kejadian di gedung olahraga sekolah
itu. Mereka berdua saling mengisi dan berbagi satu sama lain. Saling memberi
perhatian, dan belajar untuk saling memahami.
Tahu
keadaan sang kekasih yang memang sangat rentan untuk sakit, Hendra tak pernah
sekalipun melepaskan Puput dari pengawasannya jika tengah berada di sekolah.
Kelas yang berbeda, dan jarak antar kelas yang lumayan jauh, tak membuat Hendra
mengendurkan perlindungannya terhadap Puput. “Takut Puput kenapa-napa,” begitu
jawab Hendra setiap ada temannya yang bertanya.
Hendra
pun tak segan lagi mengenalkan dirinya sebagai pacar Puput kepada ibu Puput.
Dan syukurlah, ibu menyetujui hubungan yang terjalin antara dua anak manusia
itu. Bahkan, minggu lalu, ketika Puput harus kembali menjalani cuci darah,
Hendra tak sungkan untuk setia mendampingi Puput, memberi suntikan semangat
pada Puput dan juga memberikan setetes ketenangan pada ibu Puput yang kerap
dilanda gelisah setiap kali agenda cuci darah itu dilakukan.
Yang
jelas, Hendra itu sudah bagai perisai kokoh yang selalu setia melindungi dan
menemani Puput.
Seperti
pagi ini, begitu bel istirahat berdentang nyaring, Hendra buru-buru ngibrit
menuju kelas Puput dan langsung mengajak gadis itu menuju ruang komputer
sekolah.
“Kita
mau ngapain kesana?” Tanya Puput bingung ketika mereka berdua tengah menuju
perjalanan ke ruang komputer. “Kamu lagi nggak mau ngasih kejutan lagi buat aku
kan?” Puput tertawa menye-menye, ingatannya kembali memutar kejadian beberapa
hari yang lalu di gedung olahraga.
Hendra
menoleh sambil nyengir kuda. “Geer banget kamu,” katanya dengan nada canda.
“Terus
kita mau ngapain dong?”
“Tiga hari lalu, aku baru aja posting iklan tentang pencarian donor ginjal buat kamu di blogku. Dan sekarang aku mau lihat, apa ada yang merespons iklan itu.”
“Tiga hari lalu, aku baru aja posting iklan tentang pencarian donor ginjal buat kamu di blogku. Dan sekarang aku mau lihat, apa ada yang merespons iklan itu.”
“APA??!”
teriak Puput sok sinetron sambil menghentikan langkahnya. “Ndra…, kamu…,”
“Put,
kan aku udah pernah bilang sama kamu. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk
membuat kamu sembuh.” Hendra menarik tangan Puput sambil berjalan lagi, tanpa
memberikan kesempatan bagi gadis itu untuk angkat suara. “Pokoknya kamu nurut
aja deh, Put. Ini juga kan semuanya buat kamu.”
“Tapi,
Ndra…, apa kamu yakin bakal berhasil?”
“Asal
kita mau berusaha, Tuhan pasti bakal membukakan jalan-Nya, Put.”
Puput
terdiam mendengar perkataan itu, tak sanggup lagi ia membantah Hendra.
Setibanya
di ruang komputer, Hendra dan Puput mendapati bahwa ruang itu tengah lengang,
tak ada seorang pun disana. Dengan keadaan lengang seperti ini, tentu saja
membuat Hendra dan Puput bisa lebih leluasa menggunakan fasilitas internet
tanpa ada yang mengganggu.
Hendra
mengambil komputer yang berada di dekat jendela ruangan lalu segera membuka
situs blog pribadinya.
“Sepertinya
sudah banyak yang melihat, Put.” Hendra tersenyum puas mendapati beberapa
komentar yang diberikan dari pengunjung blognya. Di iklan donor ginjal itu,
Hendra juga menyantumkan alamat e-mail resminya, dan meminta agar siapapun yang
mempunyai akses untuk mendapatkan donor ginjal, segera menghubunginya di e-mail
tersebut.
Puput
hanya mampu duduk terdiam sambil menopang dagu diatas kursi yang ada disebelah
Hendra. Tak ada minat sedikitpun dalam diri Puput untuk melihat apa yang sedang
Hendra kerjakan dengan komputer di hadapannya itu. Puput justru asyik
memandangi foto-foto hasil editing
dari anak-anak klub komputer sekolah yang terpajang di dinding ruang komputer.
“Alhamdulillah…
Put! Put! Lihat ini, Put! Kita sudah mendapatkan donor ginjalnya!” teriak Hendra
heboh. Puput Kontan menoleh dengan air muka serius campur penasaran.
“Yang
bener?”
“Iya,
lihat ini,” Hendra mengarahkan pointer
mouse pada sederet kalimat yang ada pada salah satu e-mail yang kini tengah
dibukanya. Kalimat itu mengatakan bahwa operasi bisa segera dilakukan dalam
waktu kurang lebih dua minggu dari sekarang. “Bahkan ia akan memberikan
ginjalnya secara cuma-cuma tanpa bayaran!” lanjut Hendra lagi.
Alis
Puput bertaut rapat. “Siapa yang mau mendonorkan ginjalnya padaku itu, Ndra?”
“Entahlah.
Ia tak mau menyebutkan namanya. Tapi yang jelas, orang ini sudah memberikan
nomor teleponnya padaku agar aku menghubunginya.” Hendra buru-buru mengeluarkan
ponselnya dari dalam saku lalu mencatat nomor ponsel yang tertera pada e-mail
itu.
Sementara
itu, Puput hanya mampu bergeming di tempatnya. Ia antara percaya dan tidak
percaya. Secepat itukah ia mendapatkan donor ginjal? Adakah orang yang dengan
begitu mudahnya hendak mendonorkan ginjalnya pada orang lain tanpa bayaran? Apa
ini mimpi? Apa…. Apa…. Ah! Terlalu banyak pertanyaan yang menyemai di benak
Puput.
* * * *
Hari
operasi tiba, Puput terkejut mendapati ternyata sang pendonor ginjal untuknya
adalah seorang anak kecil berusia 8 tahun.
Anak
yang diantar oleh kedua orang tuanya datang kerumah sakit itu terlihat begitu
tenang. Wajah polosnya seolah menunjukkan bahwa ia sedang tak terbebani batin
saat ini. Padahal nyatanya, dalam waktu beberapa jam ke depan salah satu organ
terpenting dalam tubuhnya akan berpindah tempat.
Begitu
ditanyai oleh Puput apa alasan anak kecil itu ingin mendonorkan ginjalnya pada
Puput, anak kecil bernama Nina itu pun menuturkan dengan begitu polosnya sebuah
kisah yang mampu mengiris batin siapa saja yang mendengarnya.
Nina
semenjak 5 tahun yang lalu, telah divonis mengidap kanker otak, dan kini kanker
otak itu tiba pada stadium akhir. Harapan hidup Nina yang sangatlah sedikit,
membuat gadis kecil itu bertekad ingin melakukan sebuah tindakan mulia sebelum
ia kembali ke pangkuan Tuhan. Hal itu pun ternyata disetujui oleh kedua orang
tua Nina yang memang telah menyadari bahwa hidup sang anak tak akan lama lagi.
Gayung
pun seolah bersambut ketika Ayah Nina membaca iklan yang diedarkan oleh Hendra
melalui blog. Begitu diberitahu oleh sang Ayah, Nina pun langsung menyetujui untuk
mendonorkan ginjalnya pada Puput tanpa tedeng aling-aling lagi.
“Nina
nggak mau lagi ada orang lain yang nasibnya sama seperti Nina. Semoga setelah
ini, Kak Puput cepet sembuh ya.” Tutur Nina polos sambil memainkan boneka teddy bear miliknya di kamar pasien.
Puput tak kuasa menahan air mata harunya. Dipeluknya Nina dengan erat.
“Terimakasih
banyak ya, Nina.”
Saatnya
operasi pun datang, Nina dan Puput sama-sama akan memasuki ruangan operasi
dengan tubuh yang terbaring di ranjang. Sebelum benar-benar memasuki ruangan
operasi, Puput mendelik sesaat pada Hendra, Ibu, dan kedua orang tua Nina yang
berdiri di ambang pintu ruang operasi. Puput tersenyum pada mereka semua,
seolah meminta restu dan doa.
Ibu
tak dapat menahan kesedihannya dan langsung menangis. “Ibu selalu mendoakanmu,
Put.” Ucap Ibu sebelum pintu ruang operasi benar-benar di tutup.
* * * *
Puput
menari, ia berputar-putar sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya di sebuah taman
bunga yang indah. Taman itu begitu hijau. Cuacanya pun teduh, tak ada mentari
yang menyengat, tak ada pula udara dingin yang menusuk kulit. Semua terasa
sempurna.
Lelah
menari, Puput membaringkan tubuhnya diatas rerumputan taman yang terasa sehalus
karpet dari bulu domba. Dipejamkannya mata, mencoba untuk tertidur, namun
sebuah suara merasuk ke telinganya seketika itu juga…
“Put!
Bangunlah, Put! Ada seseorang yang menunggumu disana!” teriak sebuah suara
halus tepat di telinga Puput. Puput terlonjak kaget dan langsung terbangun ketika
itu juga. Ia tambah terkejut begitu mendapati seeokor kupu-kupu tengah terbang
tepat di hadapannya. Kupu-kupu itu kemudian berputar mengelilingi Puput sambil
berkata…, “ayo, Put! Cepat pergilah! Di rumah itu ada yang sedang menunggumu.”
Puput
terkesiap! Kupu-kupu itu…, bisa bicara? Astaga!
“Ayo
cepat! Pergi! Pergi!” desak kupu-kupu itu sambil terus terbang memutari tubuh
Puput. Puput pun tanpa pikir panjang lagi langsung berlari, demi menghindari
bombardir dari kupu-kupu mengerikan itu lagi. Ia bergegas menuju sebuah rumah
yang berada di sudut taman. Entah rumah siapa.
Puput
dengan terburu-buru membuka paksa pintu rumah itu dan langsung masuk
kedalamnya. Puput sungguh terkejut, begitu telah berada didalam, ia mendapati
sebuah cahaya yang terpancar dari dalam perapian yang berada di pojok rumah.
“Puput…,
kemarilah…, kemarilah sayang…, ayo kembali. Telah banyak orang yang menantimu
diluar sana. Kemari sayang… kembali lah… kembali…” sebuah suara tiba-tiba
muncul dari cahaya itu. Suara yang halus dan menenangkan. Membuat Puput terasa
seperti terhipnotis dan langsung mendekat pada perapian itu.
Ketika
perapian itu benar-benar telah berada di depan matanya, Puput memberanikan diri
untuk menyentuh cahaya itu perlahan. Dan tanpa bisa ia tolak lagi, tiba-tiba
cahaya itu menariknya, menyeretnya melalui sebuah lorong putih yang terang
benderang. Tubuh Puput melayang dan terus melaju dengan cepat diantara
dinding-dinding lorong itu. Lorong putih ini seperti sebuah penghubung menuju
suatu tempat.
Beberapa
puluh detik dalam lorong putih itu, Puput justru tak sadarkan diri, setelah
menghirup udara yang membuat kepalanya terasa begitu berat. Namun berhasil
membuat dadanya terasa begitu lapang dan ingin memejamkan mata. Puput pun
pasrah, ia terus membiarkan tubuhnya melayang dan melaju dengan cepat dalam
lorong itu.
Tiba-tiba…,
dalam hitungan detik Puput merasakan tubuhnya seperti tersengat aliran listrik,
dan matanya pun terbuka.
“Puput,
Nak, kamu sudah sadar? Alhamdulillah…” Puput kaget begitu mendapati
dihadapannya Ibu dan Hendra tengah berdiri. Ibu sedang menangis sambil menatap
Puput dengan mata basahnya.
Loh?
Ada apa ini? Bukankah tadi Puput sedang berada di sebuah taman yang indah?
Kenapa sekarang justru ada Ibu dan Hendra di hadapannya? Lalu…, tangannya!
Tangan Puput penuh dengan infus, dan tubuhnya mengenakan pakaian seragam khas
pasien rumah sakit. Ada apa ini? Puput kebingungan sendiri.
Setelah
berpikir beberapa detik, baru lah Puput teringat bahwa dirinya memang sedang
berada di rumah sakit sekarang untuk melakukan operasi cangkok ginjal. Jadi,
operasinya sudah selesai?
“Kamu
baik-baik aja kan, Put? Tadi selama belum siuman kamu mengigau terus. Apa kamu
mimpi buruk, Nak?” Tanya Ibu khawatir sambil membelai rambut Puput penuh
sayang.
“Ibu…,
Puput…,”
“Sudahlah,
Bu. Biarkan Puput istirahat.” Sergah Hendra pelan sebelum Puput sempat banyak
bicara.
Ibu
mengangguk, membenarkan perkataan Hendra. “Ya sudah, kamu istirahat dulu saja,
Put.”
Tiba-tiba
Puput teringat akan suatu hal dan langsung menyergah Ibu dan Hendra yang hendak
pergi keluar kamar. “Ibu…, Hendra…, tunggu…” panggil Puput dengan nafas tertatih,
tubuhnya masih lemas.
Ibu
dan Hendra kontan berhenti melangkah dan berbalik mengahadap Puput. “Ya Put,
ada apa?” Tanya Ibu.
“Bagaimana
keadaan Nina, Bu? Apa dia baik-baik saja?”
Ibu
dan Hendra saling tukar pandang sesaat lalu menghela nafas berat. Tak lama, Ibu
berjalan mendekati Puput dengan air muka sendu. “Nina sekarang sudah berada di
tempat terbaik, Put. Tempat terbaik dimana dia akan hidup dalam keabadian.”
* * * *
1
minggu kemudian… tepat pada tanggal 28 Februari…
“Happy
birthday, Puput!” teriak Hendra gembira sambil membawakan Puput sebuah kue tart
mini di tangannya. Hari ini Puput sudah bisa pulang dari rumah sakit, setelah
seminggu lamanya terbaring disana demi memulihkan kondisi kesehatannya. Karena
hari kepulangan Puput itu bertepatan pula dengan hari ulang tahunnya, maka
Hendra pun menyiapkan sebuah kejutan kecil di rumah Puput sebagai sambutan.
“Selamat
ya, Put.” Hendra memeluk sang kekasih dengan hangat. Ibu hanya tersenyum
melihatnya.
“Aku
senang, ini adalah hari ulang tahun pertamaku yang aku lalui dalam keadaan
sehat setelah 3 tahun lamanya aku terus sakit-sakitan.” Puput menangis bahagia.
“Aku sudah sembuh, Ibu, Hendra…” Puput menatap Ibu dan Hendra bergantian.
Tak
ingin larut dalam keharuan, Ibu angkat bicara. “Ibu masuk ke dalam dulu ya,
Ndra, Put. Ibu mau membuatkan kalian makanan.” Ucap Ibu sambil tersenyum lalu
berlenggang pergi masuk kedalam rumah.
Sepeninggalnya
ibu, Puput mendelik, menatap Hendra penuh arti. “Ndra, aku boleh minta kado
nggak sama kamu?”
“Boleh,
sayang. Tentu.” Hendra mengusap puncak kepala Puput dengan penuh kasih sayang.
“Aku…,
ingin mengunjungi makam Nina. Aku ingin menjenguk malaikat kecil itu. Kamu mau kan
mengantarkanku?”
Hendra
tertawa kecil mendengar permintaan polos Puput itu. “Hanya itu? Tentu sayang,
aku akan mengantarkanmu kesana. Jangankan permintaan seperti itu, kamu minta
aku mengambilkan bulan untukmu pun akan aku ambilkan.”
Puput
mendesis jijik. “Huu! Gombal!” Puput tertawa sambil menjitaki kepala Hendra
dengan gemas.
SELESAI