Kamis, 11 April 2013

god bless puput (cerpen)

cerita ini mungkin cukup simple, tapi saya nggak tahu kenapa, hati saya begitu tergerak untuk menulis cerita dengan tema seperti ini ~ selamat membaca :)




GOD BLESS PUPUT

Suatu malam di akhir bulan Januari…
Seorang gadis tampak tengah terbaring lemah di ranjang sebuah ruangan VIP di rumah sakit. Tangan lentiknya, terikat dengan selang infus disana-sini. Matanya terpejam rapat. Desahan nafasnya terdengar begitu lemah. Hanya samar namun menggambarkan rasa pedih yang luar biasa.
Disamping ranjang itu, tampak sosok wanita paruh baya yang tengah duduk bersandar pada kursi sambil memejamkan mata. Lingkaran hitam di bawah matanya, menunjukkan bahwa wanita itu kurang beristirahat. Tubuhnya teramat sangat letih dan lemah. Sesekali matanya terbuka, dan tiap kali ia melihat pemandangan yang tersingkap di balik kedua kelopak matanya, wanita itu menitikkan air mata. Air mata kesedihan yang selama ini selalu menghiasi hari-harinya, tiap kali wanita itu membayangkan dan meratapi sosok tubuh yang terbaring di ranjang itu: Puput, anaknya.
Tangan wanita itu terjulur, mengusap lembut wajah Puput yang masih tak kunjung siuman setelah menjalani proses cuci darah tadi pagi. Diciumnya dengan pelan, kening sang anak sambil berkata, “Put, cepet sembuh ya sayang. Ibu selalu mendoakan kamu.” Dan…, tik! Air mata itu menetes lagi. Hati ibu mana yang tak pedih rasanya jika melihat sang anak tak kunjung sembuh dari penyakitnya.
Puput, sejak 3 tahun yang lalu memang mengidap kelainan pada ginjalnya. Ginjal puput rusak dan tak dapat menyaring darah, itulah sebabnya, semenjak masih duduk dibangku kelas 3 SMP, tubuh Puput sudah harus diakrabkan dengan jarum dan selang infus demi bisa menyambung nafasnya. Seminggu sekali, Puput harus menjalani terapi cuci darah.
Dan setiap kali terapi cuci darah itu dilakukan, air mata selalu saja bertumpahan, ibu Puput selalu saja menangis, melihat putri semata wayang tercintanya meraung kesakitan ketika infus disematkan di setiap urat nadinya.
Entah… entah sudah berapa ratus kali puput menjalani cuci darah semasa hidupnya. Semenjak ia baru mencecapi nikmatnya usia 14 tahun, hingga saat ini, detik ini, ketika usianya hampir genap 17 tahun.
“I…, ibu…,” Puput membuka matanya perlahan, ia tersadar! Dan kalimat pertama yang ia ucapkan adalah “ibu”. Sebuah kalimat yang mewakili sesosok wanita tegar, yang telah merawat Puput dari kecil hingga saat ini seorang diri.
Ya, Ayah Puput telah lama berpulang ke pangkuan Tuhan, tepat ketika kandungan Ibu Puput memasuki usia 4 bulan. Ayah meninggal setelah mengalami gagal jantung akibat penyakit komplikasi yang telah lama bersemayam di tubuhnya.
“Ya, Nak.” Jawab Ibu lembut sambil tersenyum dan menitikkan air matanya.
“Ibu, Puput nggak mau lagi cuci darah. Rasanya sakit, Ibu… sakit…” Puput tak kuasa lagi membendung air matanya. Perih ditubuhnya tak kuat lagi ia tahan. “Ibu, Puput pengen sembuh Ibu… Puput nggak mau kayak gini lagi.”
Ibu menangis, dipeluknya Puput, mencoba menenangkan. “Ya, sayang. Ibu juga nggak mau lagi melihat kamu seperti ini. Kamu sabar ya, pasti Tuhan akan memberikan jalan keluar atas semua ini.”
Puput mengangguk. Dilepaskannya pelukan Ibu. Saat ditatapnya kedua bola mata Ibu yang begitu jernih, pikiran Puput justru melayang. Otak Puput kembali memutar kejadian tadi pagi, ketika Dokter Azwar, dokter yang selama ini menangani Puput mengatakan, bahwa Puput bisa sembuh asalkan melakukan cangkok ginjal.
Detik itu pula, tanpa berpikir panjang lagi, Ibu langsung menawarkan diri untuk menjadi donor ginjal, namun Puput menolak. Ia bersikeras tak ingin mengorbankan Ibunya. Ia takut, jika operasi cangkok ginjal itu justru akan membahayakan ibu. Puput tentu saja tak mau hal itu terjadi. Baginya, sudah cukup besar pengorbanan Ibu selama ini, Puput tak bisa membiarkan Ibu berkorban lebih banyak lagi.
Ibu pun pasrah mendengar penolakan Puput atas kesediannya menjadi donor itu. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, meski di lubuk hatinya yang terdalam, ia selalu ingin mengorbankan segala sesuatu hal yang terbaik untuk Puput.
“Ibu, Puput pengen pulang.” Ucap Puput kemudian, setelah lama terdiam.
“Iya sayang. Kita pulang besok pagi. Sekarang sudah malam. Tidurlah. Beristirahat. Agar besok tubuhmu kembali pulih total.”

* * * *

Suatu pagi di awal bulan Februari…
“Put! Puput!”  panggil seseorang ketika Puput tengah berjalan menyelusuri koridor sekolah menuju kantin. Puput kontan menghentikan langkahnya dan memutar tubuh, menghadap orang itu. “Eh, kamu, Ndra.” Puput tersenyum manis begitu mengetahui ternyata orang yang memanggilnya itu adalah Hendra, sahabatnya.
Bagi Puput, Hendra adalah salah satu orang yang paling berharga dalam hidup Puput selain Ibu. Karena dulu, ketika Puput dinyatakan positif terkena gangguan pada ginjalnya, semua teman Puput langsung menjauhi gadis itu, takut ketularan katanya. Padahal, Puput sudah bersikeras memberi penjelasan pada mereka bahwa penyakit yang dideritanya itu tak menular. Dan pada saat itu lah, ketika semua orang justru menjauhi dan mengucilkan Puput, Hendra adalah satu-satunya orang yang tersisa yang masih setia berdiri disamping Puput menjadi tameng sekaligus menjadi dinding tempat Puput bersandar. Ia tak peduli dengan omongan orang yang mengatakan bahwa Puput akan membawa virus berbahaya baginya. Hendra sudah cukup cerdas untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya.
“Mau kemana, Put? Kok nggak ngajak aku?” Tanya Hendra sedikit manyun.
“Ke kantin, Ndra.” Puput kembali melanjutkan langkahnya, Hendra menjajari. “Abisnya kelas kamu jauh sih, makanya aku males ngejemput kamu kesana.”
“Oh ya, Put. Bisa nggak nanti pulang sekolah temenin aku ke gedung olahraga sekolah?” Tanya Hendra kemudian.
“Ngapain, Ndra?”
Hendra tersenyum misterius. “Aku punya kejutan buat kamu.”
Puput yang hampir tiba di pintu kantin, kontan menghentikan langkahnya begitu mendengar kalimat yang dilontarkan Hendra barusan. Mata Puput kini menatap Hendra nyalang. “Kejutan? Kejutan apa?”
“Ada deeeh, makanya kamu ikut aku ya?”

* * * *

Setibanya waktu pulang sekolah, Hendra bergegas menuju kelas Puput demi menjemput gadis itu, takut kalau-kalau Puput kabur, hihihi…
Dan begitu “mendapatkan” Puput ditangannya, Hendra langsung tancap gas menyeret Puput  menuju gedung olahraga sekolah yang terletak di belakang sekolah. Gedung olahraga sekolah memang sering kosong karena jarang digunakan. Kalaupun digunakan, paling tidak hanya satu bulan sekali. Itu pun kalau cuaca sedang buruk yang membuat para siswa terpaksa berolahraga di dalam gedung. Sedangkan, jika cuaca sedang baik, guru-guru olahraga lebih memilih tempat outdoor, ketimbang gedung olahraga sebagai sarana.
“Put, mata kamu ditutup ya?” ucap Hendra sebelum dirinya dan Puput memasuki pintu utama gedung olahraga.
Puput mendelik jijik. “Ih, apaan sih? Ngapain matanya pake ditutup segala?”
“Kan ini kejutan. Nggak seru dong kalo nggak tutup mata. Biar kayak di film-film gitu, Put, hihihi…” Hendra tertawa geli.
Puput menghela nafas panjang, pasrah. “Oke.” Jawab ia akhirnya.
Begitu mendengar persetujuan dari Puput, Hendra bergegas mendekat, menjulurkan kedua tangannya, demi bisa menutup mata Puput.
Setelah menutup mata Puput, Hendra perlahan menuntun gadis itu berjalan memasuki gedung.
Gedung olahraga merupakan salah satu gedung terbesar di sekolah. Di dalam gedung terdapat sebuah lapangan basket dan sebuah lapangan badminton. Kedua lapangan itu saling bersisian satu sama lain dengan hanya dibatasi dinding semen setinggi 15 sentimeter yang membentang panjang dari ujung hingga ujung satunya lagi. Di sekeliling kedua lapangan itu terdapat empat tribun yang diberi nama dengan mengikuti arah mata angin tempat empat tribun tersebut menghadap: barat, timur, utara, selatan. Seluruh tribun di dalam gedung itu mampu menampung hingga 1500 penonton. Tak heran, jika sedang ada event olahraga di sekolah, gedung ini akan penuh sesak dengan penonton yang memadati kursi-kursi yang tersedia di tribun yang berjumlah sekitar 1000-an lebih itu.
Hendra menghentikan langkahnya dan Puput tepat di tengah lapangan basket. “Aku buka ya mata kamu.”
Hendra melepaskan tangannya dari sepasang mata indah Puput. Begitu membuka matanya, Puput hanya geleng-geleng kepala dengan raut bingung mendapati keadaan di sekitarnya. “Mana kejutannya? Kamu bohong ah. Nggak ada apa-apa tuh disini.” Sungut Puput kesal. Gedung olahraga ini emang nggak ada yang berubah sedikit pun. Tribunnya masih bercat hijau, kursinya masih tersusun rapi, ring basketnya masih ada dua, bahkan dinding pendek pembatas antara lapangan badminton dan lapangan basket pun nggak turun walau hanya satu senti. Lalu mana kejutannya? Apa ini yang namanya kejutan? Ah! Menyebalkan!
“Kamu itu terlalu cepat menilai sesuatu, Put.” Hendra geleng-geleng kepala. “Coba deh kamu liat di bawah kaki kamu.”
Puput yang sudah keburu dongkol, dengan setengah hati menunduk, melirikkan kedua bola matanya menatap kebawah, dan ternyata…,
“Hen…, Hendra…, kamu…,” Puput nggak sanggup lagi berkata begitu melihat ada sebuah kalimat tertulis indah tepat dibawah kakinya. “I wanna you be mine”, kalimat yang ditulis menggunakan airbrush dilantai itu, mampu membuat Puput tak mampu berkata lagi. Semua kosakatanya lenyap seketika.
“Put…,” tiba-tiba Hendra berlutut, membuat Puput makin speechless. “Aku udah lama sayang sama kamu. Aku nggak peduli, Put, apapun kata orang tentang kamu, yang aku tahu aku sayang kamu, Put.”
Hati Puput pun terenyuh, tak kuasa lagi dibendungnya air mata.
“Put, kamu mau kan jadi pacarku?”
“Ndra…,” ucap Puput pelan, masih sambil menitikkan air mata. “Aku…, aku nggak bisa. Kamu tahu, Ndra, gimana keadaanku sekarang. Aku sakit, Ndra. Aku sakit. Aku takut, kalau aku menerima semua ini, aku nggak keburu bisa membahagiakan kamu karena Tuhan sudah ‘memanggilku’. Aku takut umurku nggak panjang lagi.”
Pelan, tangan Hendra terjulur, menggenggam kedua tangan Puput erat. Ditatapnya kedua bola mata Puput dengan penuh cinta dan harap. “Put, justru karena itu aku meminta kamu jadi pacarku. Aku ingin selalu jadi orang terdekat untuk kamu. Yang menemani kamu dalam keadaan apapun. Aku ingin, Put, berusaha sekuat tenagaku membuat kamu sembuh. Aku janji aku akan berusaha melakukan hal itu. Aku ingin memberimu perhatian lebih dari sekedar sahabat, Put.”
Puput makin tak kuasa menahan air matanya untuk tak jatuh. Jujur, di dalam hatinya, Puput juga menyayangi Hendra, sangat sayang. Tapi…, Puput takut jika ia tak bisa membahagiakan Hendra.
“Put…, please.” Mohon Hendra sekali lagi dengan sinar mata memelas, memohon, mengiba, penuh harap.
Hati Puput kini sudah benar-benar tersentuh hingga dasar yang paling dalam. Tak kuasa ditolaknya lagi permintaan spesial Hendra itu. “Ya, Ndra. Aku mau…, aku mau…,” ucap Puput setengah terbata sambil mengangguk kecil.
Mendengar kalimat itu, kontan Hendra bangkit berdiri dan memeluk Puput dengan hangat. “Aku akan selalu ada disamping kamu, Put. Terima kasih atas kesempatan ini. Aku janji nggak akan menyia-nyiakannya.”
Puput mengangguk dalam pelukan Hendra. Ia tengah mencoba untuk meresapi setia tetes cinta yang Hendra berikan untuknya dengan begitu tulus.

* * * *

Hari-hari pun Puput dan Hendra lalui bersama semenjak kejadian di gedung olahraga sekolah itu. Mereka berdua saling mengisi dan berbagi satu sama lain. Saling memberi perhatian, dan belajar untuk saling memahami.
Tahu keadaan sang kekasih yang memang sangat rentan untuk sakit, Hendra tak pernah sekalipun melepaskan Puput dari pengawasannya jika tengah berada di sekolah. Kelas yang berbeda, dan jarak antar kelas yang lumayan jauh, tak membuat Hendra mengendurkan perlindungannya terhadap Puput. “Takut Puput kenapa-napa,” begitu jawab Hendra setiap ada temannya yang bertanya.
Hendra pun tak segan lagi mengenalkan dirinya sebagai pacar Puput kepada ibu Puput. Dan syukurlah, ibu menyetujui hubungan yang terjalin antara dua anak manusia itu. Bahkan, minggu lalu, ketika Puput harus kembali menjalani cuci darah, Hendra tak sungkan untuk setia mendampingi Puput, memberi suntikan semangat pada Puput dan juga memberikan setetes ketenangan pada ibu Puput yang kerap dilanda gelisah setiap kali agenda cuci darah itu dilakukan.
Yang jelas, Hendra itu sudah bagai perisai kokoh yang selalu setia melindungi dan menemani Puput.
Seperti pagi ini, begitu bel istirahat berdentang nyaring, Hendra buru-buru ngibrit menuju kelas Puput dan langsung mengajak gadis itu menuju ruang komputer sekolah.
“Kita mau ngapain kesana?” Tanya Puput bingung ketika mereka berdua tengah menuju perjalanan ke ruang komputer. “Kamu lagi nggak mau ngasih kejutan lagi buat aku kan?” Puput tertawa menye-menye, ingatannya kembali memutar kejadian beberapa hari yang lalu di gedung olahraga.
Hendra menoleh sambil nyengir kuda. “Geer banget kamu,” katanya dengan nada canda.
“Terus kita mau ngapain dong?”
“Tiga hari lalu, aku baru aja posting iklan tentang pencarian donor ginjal buat kamu di blogku. Dan sekarang aku mau lihat, apa ada yang merespons iklan itu.”
“APA??!” teriak Puput sok sinetron sambil menghentikan langkahnya. “Ndra…, kamu…,”
“Put, kan aku udah pernah bilang sama kamu. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membuat kamu sembuh.” Hendra menarik tangan Puput sambil berjalan lagi, tanpa memberikan kesempatan bagi gadis itu untuk angkat suara. “Pokoknya kamu nurut aja deh, Put. Ini juga kan semuanya buat kamu.”
“Tapi, Ndra…, apa kamu yakin bakal berhasil?”
“Asal kita mau berusaha, Tuhan pasti bakal membukakan jalan-Nya, Put.”
Puput terdiam mendengar perkataan itu, tak sanggup lagi ia membantah Hendra.
Setibanya di ruang komputer, Hendra dan Puput mendapati bahwa ruang itu tengah lengang, tak ada seorang pun disana. Dengan keadaan lengang seperti ini, tentu saja membuat Hendra dan Puput bisa lebih leluasa menggunakan fasilitas internet tanpa ada yang mengganggu.
Hendra mengambil komputer yang berada di dekat jendela ruangan lalu segera membuka situs blog pribadinya.
“Sepertinya sudah banyak yang melihat, Put.” Hendra tersenyum puas mendapati beberapa komentar yang diberikan dari pengunjung blognya. Di iklan donor ginjal itu, Hendra juga menyantumkan alamat e-mail resminya, dan meminta agar siapapun yang mempunyai akses untuk mendapatkan donor ginjal, segera menghubunginya di e-mail tersebut.
Puput hanya mampu duduk terdiam sambil menopang dagu diatas kursi yang ada disebelah Hendra. Tak ada minat sedikitpun dalam diri Puput untuk melihat apa yang sedang Hendra kerjakan dengan komputer di hadapannya itu. Puput justru asyik memandangi foto-foto hasil editing dari anak-anak klub komputer sekolah yang terpajang di dinding ruang komputer.
“Alhamdulillah… Put! Put! Lihat ini, Put! Kita sudah mendapatkan donor ginjalnya!” teriak Hendra heboh. Puput Kontan menoleh dengan air muka serius campur penasaran.
“Yang bener?”
“Iya, lihat ini,” Hendra mengarahkan pointer mouse pada sederet kalimat yang ada pada salah satu e-mail yang kini tengah dibukanya. Kalimat itu mengatakan bahwa operasi bisa segera dilakukan dalam waktu kurang lebih dua minggu dari sekarang. “Bahkan ia akan memberikan ginjalnya secara cuma-cuma tanpa bayaran!” lanjut Hendra lagi.
Alis Puput bertaut rapat. “Siapa yang mau mendonorkan ginjalnya padaku itu, Ndra?”
“Entahlah. Ia tak mau menyebutkan namanya. Tapi yang jelas, orang ini sudah memberikan nomor teleponnya padaku agar aku menghubunginya.” Hendra buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam saku lalu mencatat nomor ponsel yang tertera pada e-mail itu.
Sementara itu, Puput hanya mampu bergeming di tempatnya. Ia antara percaya dan tidak percaya. Secepat itukah ia mendapatkan donor ginjal? Adakah orang yang dengan begitu mudahnya hendak mendonorkan ginjalnya pada orang lain tanpa bayaran? Apa ini mimpi? Apa…. Apa…. Ah! Terlalu banyak pertanyaan yang menyemai di benak Puput.

* * * *

Hari operasi tiba, Puput terkejut mendapati ternyata sang pendonor ginjal untuknya adalah seorang anak kecil berusia 8 tahun.
Anak yang diantar oleh kedua orang tuanya datang kerumah sakit itu terlihat begitu tenang. Wajah polosnya seolah menunjukkan bahwa ia sedang tak terbebani batin saat ini. Padahal nyatanya, dalam waktu beberapa jam ke depan salah satu organ terpenting dalam tubuhnya akan berpindah tempat.
Begitu ditanyai oleh Puput apa alasan anak kecil itu ingin mendonorkan ginjalnya pada Puput, anak kecil bernama Nina itu pun menuturkan dengan begitu polosnya sebuah kisah yang mampu mengiris batin siapa saja yang mendengarnya.
Nina semenjak 5 tahun yang lalu, telah divonis mengidap kanker otak, dan kini kanker otak itu tiba pada stadium akhir. Harapan hidup Nina yang sangatlah sedikit, membuat gadis kecil itu bertekad ingin melakukan sebuah tindakan mulia sebelum ia kembali ke pangkuan Tuhan. Hal itu pun ternyata disetujui oleh kedua orang tua Nina yang memang telah menyadari bahwa hidup sang anak tak akan lama lagi.
Gayung pun seolah bersambut ketika Ayah Nina membaca iklan yang diedarkan oleh Hendra melalui blog. Begitu diberitahu oleh sang Ayah, Nina pun langsung menyetujui untuk mendonorkan ginjalnya pada Puput tanpa tedeng aling-aling lagi.
“Nina nggak mau lagi ada orang lain yang nasibnya sama seperti Nina. Semoga setelah ini, Kak Puput cepet sembuh ya.” Tutur Nina polos sambil memainkan boneka teddy bear miliknya di kamar pasien. Puput tak kuasa menahan air mata harunya. Dipeluknya Nina dengan erat.
“Terimakasih banyak ya, Nina.”
Saatnya operasi pun datang, Nina dan Puput sama-sama akan memasuki ruangan operasi dengan tubuh yang terbaring di ranjang. Sebelum benar-benar memasuki ruangan operasi, Puput mendelik sesaat pada Hendra, Ibu, dan kedua orang tua Nina yang berdiri di ambang pintu ruang operasi. Puput tersenyum pada mereka semua, seolah meminta restu dan doa.
Ibu tak dapat menahan kesedihannya dan langsung menangis. “Ibu selalu mendoakanmu, Put.” Ucap Ibu sebelum pintu ruang operasi benar-benar di tutup.

* * * *

Puput menari, ia berputar-putar sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya di sebuah taman bunga yang indah. Taman itu begitu hijau. Cuacanya pun teduh, tak ada mentari yang menyengat, tak ada pula udara dingin yang menusuk kulit. Semua terasa sempurna.
Lelah menari, Puput membaringkan tubuhnya diatas rerumputan taman yang terasa sehalus karpet dari bulu domba. Dipejamkannya mata, mencoba untuk tertidur, namun sebuah suara merasuk ke telinganya seketika itu juga…
“Put! Bangunlah, Put! Ada seseorang yang menunggumu disana!” teriak sebuah suara halus tepat di telinga Puput. Puput terlonjak kaget dan langsung terbangun ketika itu juga. Ia tambah terkejut begitu mendapati seeokor kupu-kupu tengah terbang tepat di hadapannya. Kupu-kupu itu kemudian berputar mengelilingi Puput sambil berkata…, “ayo, Put! Cepat pergilah! Di rumah itu ada yang sedang menunggumu.”
Puput terkesiap! Kupu-kupu itu…, bisa bicara? Astaga!
“Ayo cepat! Pergi! Pergi!” desak kupu-kupu itu sambil terus terbang memutari tubuh Puput. Puput pun tanpa pikir panjang lagi langsung berlari, demi menghindari bombardir dari kupu-kupu mengerikan itu lagi. Ia bergegas menuju sebuah rumah yang berada di sudut taman. Entah rumah siapa.
Puput dengan terburu-buru membuka paksa pintu rumah itu dan langsung masuk kedalamnya. Puput sungguh terkejut, begitu telah berada didalam, ia mendapati sebuah cahaya yang terpancar dari dalam perapian yang berada di pojok rumah.
“Puput…, kemarilah…, kemarilah sayang…, ayo kembali. Telah banyak orang yang menantimu diluar sana. Kemari sayang… kembali lah… kembali…” sebuah suara tiba-tiba muncul dari cahaya itu. Suara yang halus dan menenangkan. Membuat Puput terasa seperti terhipnotis dan langsung mendekat pada perapian itu.
Ketika perapian itu benar-benar telah berada di depan matanya, Puput memberanikan diri untuk menyentuh cahaya itu perlahan. Dan tanpa bisa ia tolak lagi, tiba-tiba cahaya itu menariknya, menyeretnya melalui sebuah lorong putih yang terang benderang. Tubuh Puput melayang dan terus melaju dengan cepat diantara dinding-dinding lorong itu. Lorong putih ini seperti sebuah penghubung menuju suatu tempat.
Beberapa puluh detik dalam lorong putih itu, Puput justru tak sadarkan diri, setelah menghirup udara yang membuat kepalanya terasa begitu berat. Namun berhasil membuat dadanya terasa begitu lapang dan ingin memejamkan mata. Puput pun pasrah, ia terus membiarkan tubuhnya melayang dan melaju dengan cepat dalam lorong itu.
Tiba-tiba…, dalam hitungan detik Puput merasakan tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, dan matanya pun terbuka.
“Puput, Nak, kamu sudah sadar? Alhamdulillah…” Puput kaget begitu mendapati dihadapannya Ibu dan Hendra tengah berdiri. Ibu sedang menangis sambil menatap Puput dengan mata basahnya.
Loh? Ada apa ini? Bukankah tadi Puput sedang berada di sebuah taman yang indah? Kenapa sekarang justru ada Ibu dan Hendra di hadapannya? Lalu…, tangannya! Tangan Puput penuh dengan infus, dan tubuhnya mengenakan pakaian seragam khas pasien rumah sakit. Ada apa ini? Puput kebingungan sendiri.
Setelah berpikir beberapa detik, baru lah Puput teringat bahwa dirinya memang sedang berada di rumah sakit sekarang untuk melakukan operasi cangkok ginjal. Jadi, operasinya sudah selesai?
“Kamu baik-baik aja kan, Put? Tadi selama belum siuman kamu mengigau terus. Apa kamu mimpi buruk, Nak?” Tanya Ibu khawatir sambil membelai rambut Puput penuh sayang.
“Ibu…, Puput…,”
“Sudahlah, Bu. Biarkan Puput istirahat.” Sergah Hendra pelan sebelum Puput sempat banyak bicara.
Ibu mengangguk, membenarkan perkataan Hendra. “Ya sudah, kamu istirahat dulu saja, Put.”
Tiba-tiba Puput teringat akan suatu hal dan langsung menyergah Ibu dan Hendra yang hendak pergi keluar kamar. “Ibu…, Hendra…, tunggu…” panggil Puput dengan nafas tertatih, tubuhnya masih lemas.
Ibu dan Hendra kontan berhenti melangkah dan berbalik mengahadap Puput. “Ya Put, ada apa?” Tanya Ibu.
“Bagaimana keadaan Nina, Bu? Apa dia baik-baik saja?”
Ibu dan Hendra saling tukar pandang sesaat lalu menghela nafas berat. Tak lama, Ibu berjalan mendekati Puput dengan air muka sendu. “Nina sekarang sudah berada di tempat terbaik, Put. Tempat terbaik dimana dia akan hidup dalam keabadian.”

* * * *

1 minggu kemudian… tepat pada tanggal 28 Februari…
“Happy birthday, Puput!” teriak Hendra gembira sambil membawakan Puput sebuah kue tart mini di tangannya. Hari ini Puput sudah bisa pulang dari rumah sakit, setelah seminggu lamanya terbaring disana demi memulihkan kondisi kesehatannya. Karena hari kepulangan Puput itu bertepatan pula dengan hari ulang tahunnya, maka Hendra pun menyiapkan sebuah kejutan kecil di rumah Puput sebagai sambutan.
“Selamat ya, Put.” Hendra memeluk sang kekasih dengan hangat. Ibu hanya tersenyum melihatnya.
“Aku senang, ini adalah hari ulang tahun pertamaku yang aku lalui dalam keadaan sehat setelah 3 tahun lamanya aku terus sakit-sakitan.” Puput menangis bahagia. “Aku sudah sembuh, Ibu, Hendra…” Puput menatap Ibu dan Hendra bergantian.
Tak ingin larut dalam keharuan, Ibu angkat bicara. “Ibu masuk ke dalam dulu ya, Ndra, Put. Ibu mau membuatkan kalian makanan.” Ucap Ibu sambil tersenyum lalu berlenggang pergi masuk kedalam rumah.
Sepeninggalnya ibu, Puput mendelik, menatap Hendra penuh arti. “Ndra, aku boleh minta kado nggak sama kamu?”
“Boleh, sayang. Tentu.” Hendra mengusap puncak kepala Puput dengan penuh kasih sayang.
“Aku…, ingin mengunjungi makam Nina. Aku ingin menjenguk malaikat kecil itu. Kamu mau kan mengantarkanku?”
Hendra tertawa kecil mendengar permintaan polos Puput itu. “Hanya itu? Tentu sayang, aku akan mengantarkanmu kesana. Jangankan permintaan seperti itu, kamu minta aku mengambilkan bulan untukmu pun akan aku ambilkan.”
Puput mendesis jijik. “Huu! Gombal!” Puput tertawa sambil menjitaki kepala Hendra
 dengan gemas.
SELESAI