Writer’s
opening:
Kisah
ini kupersembahkan khusus untuk seseorang yang telah bersedia untuk selalu
menjadi “LANGIT” dalam hidupku…
Bukan
musibah atau hal-hal negatif dalam cerita ini yang kuharapkan menjadi kenyataan
dalam hidupku dan “LANGIT”ku itu. Tetapi cinta sejati dalam kisah ini lah yang
kuharapkan akan terus tumbuh, menyemai, hingga mengakar dalam hidup kami ^^
Dan
kisah ini pun kupersembahkan untuk semua orang yang menyayangiku dan yang aku
sayangi: teman, sahabat, keluarga, pembaca, baik yang kukenal ataupun tidak.
Ingat! Jangan pernah berhenti dan menyerah untuk terus mencari “LANGIT” dalam
hidupmu! ^^
I WILL ALWAYS LOVE YOU…
Aku tak tahu, entah sejak kapan aku
mulai mencintai wanita ini. Wanita yang kini tengah duduk di sampingku,
menemaniku menonton acara talkshow
favoritku. Yaaah, mungkin aku mencintainya sejak pertama kali kami bertemu
hampir empat belas tahun yang lalu. Ketika aku baru menjejakkan langkah ke dua
puluh empat tahun dalam hidupku. Aku ingat, dulu, aku dan dia pertama kali
bertemu di sebuah toko buku yang tak jauh dari rumahku. Ia sedang mencari buku
tentang manajemen pemasaran, sedangkan aku sedang mencari buku tentang
psikologi. Buku yang sesuai dengan pekerjaan kami masing-masing. Di pertemuan
pertama itu, aku malu untuk mengajaknya berkenalan, karena… ia terlalu cantik,
sangat cantik malah. Aku yang memiliki tampang pas-pasan langsung minder bila
berdekatan dengannya. Namun, dengan nekat, ketika kami kembali bertemu untuk
kedua kalinya di toko buku itu, aku mengajaknya berkenalan. Syukurlah, ia tak
sesombong yang ku kira. Ia ramah. Selalu tersenyum. Senyum yang mampu membuatku
jatuh cinta padanya. Kami mengobrol banyak waktu itu, hingga aku memberanikan
diri untuk mengajaknya berkencan. Dia menerima tawaran kencanku itu. Dan pada
hari Minggu pun, aku dan dia kembali bertemu di sebuah pameran otomotif.
Kegemaran kami berdua yang sama-sama menyukai otomotif lah yang membuat kami
memutuskan untuk berkencan di tempat itu.
Semenjak hari itu, hubungan kami pun
semakin dekat, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku
padanya. Ia pun menerima cintaku dengan malu-malu sambil tersenyum. Lagi-lagi
tersenyum. Senyum yang selalu membuat hatiku tenang.
Tak lama setelah itu, kami pun memutuskan
untuk menikah. Aku sampai tak percaya waktu itu, bahwa aku akan menikah secepat
itu, di usiaku yang baru dua puluh lima tahun, sedangkan ia dua puluh empat
tahun. Setelah kuhitung-hitung, ternyata pernikahan kami hanyalah berjarak
setahun dari pertemuan pertama kami. Ya, waktu satu tahun, ternyata telah cukup
untuk kami berdua memantapkan diri, melabuhkan hati untuk membangun mahligai
rumah tangga. Dan aku sangatlah bersyukur, karena hingga detik ini, hingga hampir
empat belas tahun kami jalani bersama, mahligai itu tak pernah retak sedikit
pun disana-sininya. Meski… masih ada satu kekurangan diantara kami… diantara
aku dan Olive, wanita yang kucintai ini…
“Nico, lihat lah itu!” teriakan Olive
membuyarkan lamunanku, tangannya menunjuk-nunjuk dengan semangat pada televisi
yang sedang kami tonton. Rupanya acara talkshow
yang kami tonton tengah iklan. Dan iklan yang kini tampil adalah iklan dari
sebuah merk susu bagi ibu menyusui yang cukup ternama. Rupanya, bayi di dalam
iklan itu lah yang menarik perhatian Olive. “Bayi itu sangat lucu! Aku ingin
memiliknya…” tutur Olive manja.
Aku menghela nafas panjang. Ya, itu lah
satu-satunya kekurangan diantara aku dan Olive: anak. Hampir empat belas tahun
menikah, ternyata belum juga membuat Tuhan memercayai kami, bahwa kami sanggup
mengurus anak. Entah apa yang salah pada kami. Sudah berkali-kali aku dan Olive
pergi ke dokter kandungan untuk mengecek, apakah ada sesuatu pada diri kami
yang membuat kami tak kunjung juga dikarunai buah hati. Namun entah sudah
berapa puluh dokter yang kami datangi, hasilnya selalu sama: tak ada masalah
apapun pada diriku dan Olive. Kami baik-baik saja. Organ-organ reproduksi kami
tak mengalami gangguan apapun. Lalu… mengapa begini? Ah… mungkin Tuhan saja
yang belum memberikannya.
“Ya, Olive. Aku juga ingin memiliki bayi
seperti itu. Dan suatu hari nanti, kita pasti memilikinya.” Aku mengecup dengan
mesra kening Olive.
“Semoga….” Jawab Olive singkat sambil
melipat muka, ia sedang kesal rupanya, karena iklan susu tadi sudah habis. Aku
hanya tertawa melihat tingkah Olive yang kekanak-kanakkan itu. Yaaaah, aku tak
perduli, karena bagiku, bagaimanapun ia, apapun keadaannya, apapun kekurangan
atau kelebihannya, aku tak mau tahu. Karena… hanya satu yang aku tahu: aku
sangatlah mencintai Olive….
*
* * *
Aku sungguh tak mengerti, apa yang
terjadi pada Olive akhir-akhir ini. Ia menjadi jauh lebih sibuk dari biasanya.
Jika biasanya, ia pergi ke kantor pukul tujuh pagi, maka selama dua minggu
terakhir, Olive justru berangkat ke kantor pukul enam pagi, bahkan ketika aku
masih terlelap tidur. Ia hanya meninggalkan pesan di meja makan melalui secarik
kertas.
Dan jika biasanya, Olive pulang dari
kantor pukul empat sore, maka selama dua minggu terakhir, ia justru pulang dari
kantornya pukul sembilan malam, entah apa yang dikerjakan. Tiap kutanyakan
mengenai hal itu, Olive hanya bilang bahwa ia sedang ada meeting penting dengan client
bosnya. Aku pun tak bisa berbicara apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
Jam kerja Olive yang jadi semrawutan
akhir-akhir ini, membuat jam kerjaku juga jadi ikut-ikutan kacau. Terkadang,
karena merasa kesepian di rumah (akibat Olive yang selalu pulang malam), aku
memaksakan diri untuk tetap berdiam diri di kampus tempatku mengajar hingga
larut malam, menunggu hingga jam Olive untuk pulang kerumah tiba. Aku yang
biasanya hanya mengisi jam kuliah fakultas psikologi hingga sore, kini
mengambil alih jam kuliah malam juga. Entah apa yang ada di pikiranku hingga
melakukan hal itu. Mungkin, aku hanya ingin menghilangkan kesepian. Ya, hanya
itu. Aku juga baru tersadar, virus workaholic
Olive ternyata kini sudah menyebar padaku.
Aku menatap kosong pada foto
pernikahanku dengan Olive, yang terpajang manis di meja kerjaku. Entah mengapa
dadaku terasa sesak. Olive… mengapa ia kini berubah?
Ketika jam tepat menunjukkan pukul
sembilan malam, samar-samar aku mendengar deru mesin mobil memasuki halaman
rumahku. Itu pasti Olive! Aku langsung berhamburan keluar dari ruang kerjaku,
menuju pintu depan, demi menyambut kedatangan istriku yang sangat aku cintai.
“Kau lelah bekerja, sayang?” tanyaku
lembut ketika Olive baru saja keluar dari mobilnya. Aku membawakan tas
jinjingnya yang terlihat begitu berat.
“Ya, begitulah.” Jawab Olive singkat.
Wajahnya terlihat begitu lesu. Tubuhnya tertatih untuk berjalan. Perlahan, aku
merengkuh pundaknya, memberi sedikit topangan, agar ia bisa berjalan dengan
lancar.
“Nico, minggu depan, aku dan beberapa
staf kantor yang lainnya, akan berangkat ke Medan untuk menghadiri sebuah
pertemuan besar disana. Antara para pemegang saham.” Ucap Olive tiba-tiba
ketika kami sudah tiba dikamar kami. Aku tersentak kaget mendengar perkataan
itu.
Dengan nada curiga, aku pun bertanya
pada Olive. “Kau? Mengambil pekerjaan seperti itu? Sejak kapan kau suka
menerima tawaran untuk mengikuti acara kantor di tempat yang jauh? Hampir empat
belas tahun kau bersamaku, tak pernah sedikit pun aku melihatmu menerima
tawaran seperti itu.”
Olive mengibaskan tangannya sambil
membuang muka, tak ingin menatapku. “Ayolah, Nico. Tak lama. Hanya dua minggu
aku disana. Ini semua juga demimu.”
“Demi aku katamu?!!!” aku sudah tak
kuasa lagi menahan emosiku. Aku pun membentak Olive dengan suara menggelegar.
Olive… tak biasanya ia seperti ini. Ia seperti sudah tak menganggapku lagi.
Olive bangun dari duduknya sambil
menghentak kaki dengan murka. Wajahnya memerah, menahan amarah. “Nico! Jangan
membentakku!”
“Kau yang membuat aku membentakmu! Kau
sudah benar-benar berubah, Olive! Kau sudah tak memerdulikanku lagi!”
“Terserah apa katamu, Nico! Yang jelas,
kulakukan ini semua hanya demimu! Demimu!” Olive berlari meninggalkan kamar
kami sambil menangis. Aku tercenung di tempatku. Tak tahu lagi harus berbuat
apa. Ada sebentuk rasa penyesalan menyemai dihatiku. Olive… maafkan aku membuat
air matamu jatuh menetes…
*
* * *
Dua minggu lamanya, aku dan Olive tak
pernah bertegur sapa sedikitpun. Tidur pun kami tak seranjang lagi. Bahkan kami
sudah pisah kamar. Aku dikamar tamu, sedangkan Olive tetap dikamar kami. Untuk
makanan sehari-hari pun, kami memasak masing-masing. Olive benar-benar sudah
tak peduli lagi, apakah aku sudah sarapan atau belum, apakah aku sudah makan
siang atau belum. Bahkan ia tak menghiraukan, aku akan makan apa untuk hari
ini. Kami benar-benar seperti dua orang asing yang ditempatkan di satu rumah
yang sama.
Aku sebenarnya sudah mencoba meminta
maaf dan membujuk Olive agar tak pergi ke Medan dengan lemah lembut. Namun
semua hal itu ditanggapi dingin oleh Olive. Olive benar-benar berkeras hati, ia
tetap berangkat ke Medan meski tanpa persetujuanku. Ia sudah berkemas dari
semalam, lalu pagi-pagi buta pergi meninggalkan rumah tanpa pesan.
Aku membanting dengan kesal segelas teh
hangat yang ada di tanganku, begitu aku tak mendapati Olive tak berada di rumah
pagi itu. Aku kesal setengah mati. Aku mencoba menghubungi ponselnya namun
terus saja tak dijawab! Sialan! Olive benar-benar telah membuatku murka!
Aku bergegas menuju garasi mobilku demi
memanaskan Escudo hitamku. Ternyata mobil Olive masih ada di garasi rumah kami.
Sepertinya, ia berangkat ke kantor menggunakan angkutan umum.
Setelah memanaskan mobil, aku segera
tancap gas menuju kantor Olive yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah
kami. Semoga saja rombongan yang akan berangkat ke Medan itu masih ada!
Aku bergegas turun dari mobil begitu
tiba di pelataran parkir kantor Olive, saking terburu-burunya, aku sampai lupa
mematikan mesin mobil.
Aku berlari menuju meja resepsionis yang
ada di lobi kantor. “Dimana rombongan yang akan berangkat ke Medan? Tolong
beritahu saya!” sentakku pada seorang resepsionis yang sedang berjaga.
“Maaf anda siapa…?”
“Cepat beritahu saya!” nyaris saja aku
melompat masuk ke seberang meja resepsionis saking kesalnya, kalau saja seorang
satpam tak keburu mencegahku.
“Maaf, tolong jangan buat keributan di
kantor ini, Mas.” Tegurnya.
“Saya hanya mau mencari rombongan yang
akan berangkat ke Medan!” bentakku. “Dimana?! Dimana rombongan itu?!!!”
“Maaf, Mas, rombongan yang menuju ke
Medan sudah berangkat.”
*
* * *
“Apa maumu, hah?! Berangkat tanpa
izinku! Seenak-enaknya membantah perintahku! Kau pikir kau siapa?! Aku adalah
kepala di keluarga ini! Kau harus tunduk padaku!”
“Kau membuatku kesal, Nico! Apa salahnya
sih jika aku pergi untuk dua minggu saja?! Lagi pula kau juga sering seperti
itu! Meninggalkanku demi mengikuti seminar pendidikan disana-sini!”
“Oh…. Jadi kau mau membalas dendam?!
“Nico! Cukup! Hentikan omonganmu itu!”
“Apa jangan-jangan kau selingkuh disana?
Iya!? Apa memang benar begitu?!”
“Nico! Kau keterlaluan! Aku seperti ini
juga demimu! Sudahlah! Aku muak!” klik! Sambungan telepon terputus. Aku
melempar ponselku dengan kesal, hingga mengenai kaca jendela kamar kami, dan
jendela itu pun pecah. Berkeping-keping. Seperti hatiku. Olive…ia benar-benar
keterlaluan.
*
* * *
Dua minggu berikutnya benar-benar
berlalu seperti neraka bagiku. Aku kesepian. Sendirian. Tak ada lagi Olive
disisiku. Tak ada candanya. Tak ada tawanya. Tak ada yang menemaniku menonton
acara talkshow favoritku lagi.
Jangankan untuk menemani, menghubungiku pun tak lagi Olive lakukan. Ia
benar-benar menghilang.
Aku beranjak dari sofa yang kududuki,
baru kali ini, aku merasakan kejenuhan yang bukan main di dalam hidupku. Aku
seperti benar-benar tak ada gairah hidup lagi.
Aku berjalan menuju ruang kerjaku,
disana ada sebuah jendela yang menghadap langsung ke jalan raya. Dan disana lah
tempat favoritku jika sedang jengah. Aku menghabiskan waktu di pinggir jendela
itu, sambil melamun, dan memandangi kendaraan yang berlalu-lalang. Namun tak
seperti biasanya, kali ini tak ada lagi Olive yang menemaniku melamun sambil
mengelus-elus kepala atau punggungku, membuat batinku tenang. Aku sendiri saat
ini.
Tanpa kusadari, sebuah mobil tiba-tiba
berhenti didepan pagar rumahku. Aku terkejut. Siapa yang datang kerumahku
pagi-pagi buta seperti ini? Tapi tunggu dulu! Sepertinya aku sangat familier
dengan mobil itu. Oh ya! Aku ingat! Itu adalah mobil dengan desain antik yang
merupakan keluaran terbaru dari sebuah perusahaan mobil ternama di dunia yang
kulihat di majalah otomotif dua bulan lalu. Astaga! Siapa orang beruntung yang
memiliki mobil itu?! Ia pasti sangatlah kaya raya! Karena setahuku, mobil itu
harganya hampir mencapai satu milyar.
Namun pada detik berikutnya, aku
terkejut begitu mengetahui ternyata sosok manusia yang turun dari mobil itu
adalah Olive! Istriku! Astaga! Bagaimana bisa?!
Aku dengan terburu-buru menuju pintu
gerbang rumahku. Dan disana, aku mendapati Olive tengah bersandar pada bagian
samping mobil dengan wajah pucat. Ia masih mengenakan seragam kantornya.
“Olive?” panggilku pelan.
Olive menengok, menatapku sesaat, lalu
ia tersenyum, senyum yang selalu berhasil membuatku makin mencintainya. Ya,
senyum itu! Namun… astaga! Wajah Olive sangat pucat.
“Nico…” tiba-tiba Olive berlari kecil,
menghampiriku, lalu memelukku. Dan ia menangis disana. “Maafkan aku telah
membuatmu kesal. Maafkan aku telah membantahmu. Meninggalkanmu sendirian.
Mengucilimu. Maafkan aku. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku benar-benar
melakukan ini semua demimu.”
“Sudahlah, Olive…”
“Aku kerja mati-matian agar bisa
mendapatkan uang lebih, Nico. Aku…ingin sekali membelikanmu mobil ini sebagai
kado ulang tahun pernikahan kita yang ke-empat belas.” Repet Olive sambil
menangis. “Maafkan aku, Nico.”
Aku melepas pelukan Olive lalu menatap
kedua mata beningnya yang telah basah. “Mobil ini… untukku?” aku masih tak
percaya.
Olive mengangguk. “Ya, Nico. Ini
untukmu. Aku sudah lama menabung agar dapat membelikanmu sebuah hadiah. Dan
kebetulan sekali, dua bulan lalu, aku melihat mobil ini di majalah otomotif
milikmu. Dan aku tertarik membelikannya untukmu. Hanya saja, uang tabunganku
kurang sedikit lagi. Makanya aku… aku bekerja mati-matian untuk…”
“Ya, aku mengerti, Olive.” Aku memotong
pembicaraan Olive, lalu memeluk istriku itu dengan hangat.
“Selamat hari ulang tahun pernikahan
kita yang ke-empat belas sayang…” ucap Olive, masih disela tangisnya. “Kau
ingat kan hari ini tanggal berapa?” Aku mencoba memutar otak sesaat. Astaga!
Ini kan tanggal 19 Juli! Tanggal pernikahan kami.
Aku tertawa kecil. “Maafkan aku Olive jika
mungkin aku sempat lupa. Terimakasih atas hadiahmu. Maaf aku tak bisa memberimu
apa-apa.”
Olive melepas pelukannya lalu menatap
mataku sambil tersenyum. Sebelum akhirnya senyum itu lenyap dan Olive jatuh
pingsan seketika.
*
* * *
Dokter yang kupanggil kerumah hanya
mengatakan bahwa Olive terkena demam tinggi. Ia kelelahan. Untuk sembuh, Olive
hanya harus meminum beberapa jenis obat yang telah dokter tuliskan di resep.
Syukurlah, aku lega mendengarnya.
Namun kelegaanku tak berlangsung lama.
Tiga hari berikutnya, demam Olive justru makin meninggi, tubuhnya juga jadi
kaku tak bergerak. Bahkan Olive kerap kejang-kejang. Aku pun memutuskan membawa
Olive ke rumah sakit. Aku takut terjadi sesuatu padanya.
“Maaafkan saya harus mengatakan ini pada
Anda, Tuan Nico. Sepertinya… istri Anda terkena stroke pada bagian tubuh
sebelah kirinya.”
Aku nyaris jatuh pingsan begitu
mendengar penuturan dokter yang menangani Olive barusan. Oh tidak! Jangan!
Malaikatku tidak boleh terkena stroke! Tidak! Tidak!
“Apa ada cara untuk menyembuhkannya,
Dok?” tanyaku dengan nada sumbang, hampir menangis.
“Mungkin bisa. Dengan terapi.”
“Apapun itu, lakukan saja, Dok! Asalkan
bisa membawa kesembuhan bagi Olive!”
*
* * *
6 tahun kemudian…
“Olive sayang, apakah kau ingin
mendengarkan musik? Aku baru saja membeli music
box keluaran terbaru. Agar kau bisa mendengarkan musik dengan mudah.” Aku
meletakkan music box berukuran kecil
itu ke samping tubuh Olive yang tengah berbaring di ranjang kami.
Olive tak menunjukkan ekspresi apapun.
Ia hanya menitikkan air mata.
Lagi dan lagi… hanya reaksi seperti itu
yang diberikan Olive. Bukan hanya sekali atau dua kali Olive seperti ini. Entah
sudah berapa ribu kali. Aku tak pernah menghitungnya. Yang jelas ini semua
sudah terjadi, selama enam tahun lamanya.
Ya, semenjak Olive divonis menderita
stroke, aku sudah mencoba ke berbagai tempat pengobatan demi mencari kesembuhan
bagi istri yang sangat kucintai itu. Melakukan terapi ini itu, membeli obat
dari yang harganya seribu satu hingga yang berharga jutaan satu kapsul, sudah
aku lakukan. Namun nihil! Tuhan belum memberikan kesembuhan itu pada Olive.
Sungguh, aku tak tega melihat Olive seperti ini: hanya duduk di kursi roda atau
berbaring di ranjang tanpa melakukan suatu apapun. Olive benar-benar lumpuh
akibat stroke itu. Ia tak bisa lagi berbicara. Berjalan. Bahkan untuk
menegakkan tubuhnya, ia sulit.
Karena keadaan Olive yang seperti ini,
aku memutuskan untuk berhenti menjadi dosen dan hanya membuka praktek
konsultasi psikis dirumahku. Aku tak ingin meninggalkan Olive sendirian. Dan
hal itu, tak akan pernah aku lakukan! Karena aku sadar, Olive seperti ini pun
karena diriku. Karena obsesinya yang ingin membahagiakanku. Ia bekerja
mati-matian demi membeli sebuah mobil tanpa memikirkan kesehatannya lagi. Ya,
dan itu semua karena diriku! Diriku! Aku sangatlah merasa bertanggung jawab
atas semua ini.
Pernah di suatu hari, lima tahun lalu.
Tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-lima belas. Dengan isyarat
tangannya, Olive menyuruhku untuk mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoin,
lalu ia menyuruhku membantunya menulis. Aku menaruh bolpoin itu ditangan
kanannya, lalu aku menggenggam tangan kanannya itu, dan membantunya
menggerakkan pena.
Betapa terkejutnya aku begitu membaca
tulisan yang tercipta dari tangan Olive yang lemah.
“Tak maukah kau menikah lagi, Nico?”
begitu lah tulisannya.
“Tidak mungkin aku menikah lagi, Olive.
Aku hanya mencintaimu.” Jawabku dengan suara parau, aku menangis.
Dengan isyarat, Olive kembali menyuruhku
membantunya menulis. “Aku tak bisa membahagiakanmu, Nico. Jika memang kau mau
menikah lagi. Aku ikhlas.” Tulisnya.
Aku menggeleng kuat sambil menatap kedua
mata Olive yang kosong. “Tidak, Olive… tidak. Aku tidak akan menikah lagi.
Kenapa kau berpikiran seperti ini?”
Olive menulis lagi, dengan bantuanku.
“Keadaanku yang cacat seperti ini, tentu hanya akan membuatmu susah, Nico. Aku
tak bisa lagi membahagiakanmu. Lagi pula, jika kau menikah lagi. Siapa tahu,
istri keduamu itu akan mampu memberikanmu anak.”
Aku memeluk tubuh Olive yang lemah.
“Tidak! Aku tidak mau! Aku hanya mencintaimu! Tak perduli bagaimanapun
keadaanmu! Aku tetap mencintaimu, Olive! Dan kumohon, jangan pernah memintaku
untuk menikah lagi.” Aku melepas pelukanku dan mendapati mata Olive juga sudah
basah dengan air mata. Ekspresi wajah Olive memang selalu datar, dan matanya
selalu kosong, namun aku tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan
kepahitan yang juga kurasakan.
“Kau mau kan berjanji, tak akan seperti
ini lagi?” Tanyaku.
Olive kembali menulis dengan bantuanku.
“Ya, tentu. Aku juga cinta padamu. Maafkan aku.” Tulisnya, yang membuat hatiku
lega.
Hari-hari pun kami lalui. Aku tak pernah
merasa terbebani sedikitpun akan hadirnya Olive dihidupku. Aku menikmati setiap
detik yang kulalui ketika aku merawatnya. Bagiku ini adalah kesempatan yang
Tuhan berikan agar aku selalu bersama Olive, dan menghabiskan waktuku
dengannya.
Hingga kini, enam tahun sudah aku
menjalani semuanya bersama Olive dan penyakitnya. Mungkin, banyak orang mengira
bahwa cintaku pada Olive akan berkurang. Tapi mereka salah. Justru aku makin
mencintai Olive. Karena ia adalah malaikatku…
Aku terbangun dari lamunanku. “Kau ingin
mendengar lagu apa, Olive?” tanyaku dengan nada seceria mungkin, agar Olive tak
sedih.
Karena tahu Olive tak mungkin menjawab,
aku pun langsung memutarkan sebuah lagu. Lagu dengan musik yang syahdu dan
lembut.
Aku menatap Olive yang masih terbaring
disampingku. Matanya masih kosong. Ekspresinya masih datar.
Namun aku tak perduli. Bagiku, ia lah
Olive yang aku cintai. Yang akan selalu kudampingi hingga akhir khayatku kelak.
Dan tak akan pernah ada yang mampu menggantikannya…
THE
END