Sabtu, 04 Mei 2013

i will always love you (cerpen)



Writer’s opening:
Kisah ini kupersembahkan khusus untuk seseorang yang telah bersedia untuk selalu menjadi “LANGIT” dalam hidupku…
Bukan musibah atau hal-hal negatif dalam cerita ini yang kuharapkan menjadi kenyataan dalam hidupku dan “LANGIT”ku itu. Tetapi cinta sejati dalam kisah ini lah yang kuharapkan akan terus tumbuh, menyemai, hingga mengakar dalam hidup kami ^^
Dan kisah ini pun kupersembahkan untuk semua orang yang menyayangiku dan yang aku sayangi: teman, sahabat, keluarga, pembaca, baik yang kukenal ataupun tidak. Ingat! Jangan pernah berhenti dan menyerah untuk terus mencari “LANGIT” dalam hidupmu! ^^

I WILL ALWAYS LOVE YOU…
Aku tak tahu, entah sejak kapan aku mulai mencintai wanita ini. Wanita yang kini tengah duduk di sampingku, menemaniku menonton acara talkshow favoritku. Yaaah, mungkin aku mencintainya sejak pertama kali kami bertemu hampir empat belas tahun yang lalu. Ketika aku baru menjejakkan langkah ke dua puluh empat tahun dalam hidupku. Aku ingat, dulu, aku dan dia pertama kali bertemu di sebuah toko buku yang tak jauh dari rumahku. Ia sedang mencari buku tentang manajemen pemasaran, sedangkan aku sedang mencari buku tentang psikologi. Buku yang sesuai dengan pekerjaan kami masing-masing. Di pertemuan pertama itu, aku malu untuk mengajaknya berkenalan, karena… ia terlalu cantik, sangat cantik malah. Aku yang memiliki tampang pas-pasan langsung minder bila berdekatan dengannya. Namun, dengan nekat, ketika kami kembali bertemu untuk kedua kalinya di toko buku itu, aku mengajaknya berkenalan. Syukurlah, ia tak sesombong yang ku kira. Ia ramah. Selalu tersenyum. Senyum yang mampu membuatku jatuh cinta padanya. Kami mengobrol banyak waktu itu, hingga aku memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan. Dia menerima tawaran kencanku itu. Dan pada hari Minggu pun, aku dan dia kembali bertemu di sebuah pameran otomotif. Kegemaran kami berdua yang sama-sama menyukai otomotif lah yang membuat kami memutuskan untuk berkencan di tempat itu.
Semenjak hari itu, hubungan kami pun semakin dekat, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku padanya. Ia pun menerima cintaku dengan malu-malu sambil tersenyum. Lagi-lagi tersenyum. Senyum yang selalu membuat hatiku tenang.
Tak lama setelah itu, kami pun memutuskan untuk menikah. Aku sampai tak percaya waktu itu, bahwa aku akan menikah secepat itu, di usiaku yang baru dua puluh lima tahun, sedangkan ia dua puluh empat tahun. Setelah kuhitung-hitung, ternyata pernikahan kami hanyalah berjarak setahun dari pertemuan pertama kami. Ya, waktu satu tahun, ternyata telah cukup untuk kami berdua memantapkan diri, melabuhkan hati untuk membangun mahligai rumah tangga. Dan aku sangatlah bersyukur, karena hingga detik ini, hingga hampir empat belas tahun kami jalani bersama, mahligai itu tak pernah retak sedikit pun disana-sininya. Meski… masih ada satu kekurangan diantara kami… diantara aku dan Olive, wanita yang kucintai ini…
“Nico, lihat lah itu!” teriakan Olive membuyarkan lamunanku, tangannya menunjuk-nunjuk dengan semangat pada televisi yang sedang kami tonton. Rupanya acara talkshow yang kami tonton tengah iklan. Dan iklan yang kini tampil adalah iklan dari sebuah merk susu bagi ibu menyusui yang cukup ternama. Rupanya, bayi di dalam iklan itu lah yang menarik perhatian Olive. “Bayi itu sangat lucu! Aku ingin memiliknya…” tutur Olive manja.
Aku menghela nafas panjang. Ya, itu lah satu-satunya kekurangan diantara aku dan Olive: anak. Hampir empat belas tahun menikah, ternyata belum juga membuat Tuhan memercayai kami, bahwa kami sanggup mengurus anak. Entah apa yang salah pada kami. Sudah berkali-kali aku dan Olive pergi ke dokter kandungan untuk mengecek, apakah ada sesuatu pada diri kami yang membuat kami tak kunjung juga dikarunai buah hati. Namun entah sudah berapa puluh dokter yang kami datangi, hasilnya selalu sama: tak ada masalah apapun pada diriku dan Olive. Kami baik-baik saja. Organ-organ reproduksi kami tak mengalami gangguan apapun. Lalu… mengapa begini? Ah… mungkin Tuhan saja yang belum memberikannya.
“Ya, Olive. Aku juga ingin memiliki bayi seperti itu. Dan suatu hari nanti, kita pasti memilikinya.” Aku mengecup dengan mesra kening Olive.
“Semoga….” Jawab Olive singkat sambil melipat muka, ia sedang kesal rupanya, karena iklan susu tadi sudah habis. Aku hanya tertawa melihat tingkah Olive yang kekanak-kanakkan itu. Yaaaah, aku tak perduli, karena bagiku, bagaimanapun ia, apapun keadaannya, apapun kekurangan atau kelebihannya, aku tak mau tahu. Karena… hanya satu yang aku tahu: aku sangatlah mencintai Olive….
* * * *
Aku sungguh tak mengerti, apa yang terjadi pada Olive akhir-akhir ini. Ia menjadi jauh lebih sibuk dari biasanya. Jika biasanya, ia pergi ke kantor pukul tujuh pagi, maka selama dua minggu terakhir, Olive justru berangkat ke kantor pukul enam pagi, bahkan ketika aku masih terlelap tidur. Ia hanya meninggalkan pesan di meja makan melalui secarik kertas.
Dan jika biasanya, Olive pulang dari kantor pukul empat sore, maka selama dua minggu terakhir, ia justru pulang dari kantornya pukul sembilan malam, entah apa yang dikerjakan. Tiap kutanyakan mengenai hal itu, Olive hanya bilang bahwa ia sedang ada meeting penting dengan client bosnya. Aku pun tak bisa berbicara apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
Jam kerja Olive yang jadi semrawutan akhir-akhir ini, membuat jam kerjaku juga jadi ikut-ikutan kacau. Terkadang, karena merasa kesepian di rumah (akibat Olive yang selalu pulang malam), aku memaksakan diri untuk tetap berdiam diri di kampus tempatku mengajar hingga larut malam, menunggu hingga jam Olive untuk pulang kerumah tiba. Aku yang biasanya hanya mengisi jam kuliah fakultas psikologi hingga sore, kini mengambil alih jam kuliah malam juga. Entah apa yang ada di pikiranku hingga melakukan hal itu. Mungkin, aku hanya ingin menghilangkan kesepian. Ya, hanya itu. Aku juga baru tersadar, virus workaholic Olive ternyata kini sudah menyebar padaku.
Aku menatap kosong pada foto pernikahanku dengan Olive, yang terpajang manis di meja kerjaku. Entah mengapa dadaku terasa sesak. Olive… mengapa ia kini berubah?
Ketika jam tepat menunjukkan pukul sembilan malam, samar-samar aku mendengar deru mesin mobil memasuki halaman rumahku. Itu pasti Olive! Aku langsung berhamburan keluar dari ruang kerjaku, menuju pintu depan, demi menyambut kedatangan istriku yang sangat aku cintai.
“Kau lelah bekerja, sayang?” tanyaku lembut ketika Olive baru saja keluar dari mobilnya. Aku membawakan tas jinjingnya yang terlihat begitu berat.
“Ya, begitulah.” Jawab Olive singkat. Wajahnya terlihat begitu lesu. Tubuhnya tertatih untuk berjalan. Perlahan, aku merengkuh pundaknya, memberi sedikit topangan, agar ia bisa berjalan dengan lancar.
“Nico, minggu depan, aku dan beberapa staf kantor yang lainnya, akan berangkat ke Medan untuk menghadiri sebuah pertemuan besar disana. Antara para pemegang saham.” Ucap Olive tiba-tiba ketika kami sudah tiba dikamar kami. Aku tersentak kaget mendengar perkataan itu.
Dengan nada curiga, aku pun bertanya pada Olive. “Kau? Mengambil pekerjaan seperti itu? Sejak kapan kau suka menerima tawaran untuk mengikuti acara kantor di tempat yang jauh? Hampir empat belas tahun kau bersamaku, tak pernah sedikit pun aku melihatmu menerima tawaran seperti itu.”
Olive mengibaskan tangannya sambil membuang muka, tak ingin menatapku. “Ayolah, Nico. Tak lama. Hanya dua minggu aku disana. Ini semua juga demimu.”
“Demi aku katamu?!!!” aku sudah tak kuasa lagi menahan emosiku. Aku pun membentak Olive dengan suara menggelegar. Olive… tak biasanya ia seperti ini. Ia seperti sudah tak menganggapku lagi.
Olive bangun dari duduknya sambil menghentak kaki dengan murka. Wajahnya memerah, menahan amarah. “Nico! Jangan membentakku!”
“Kau yang membuat aku membentakmu! Kau sudah benar-benar berubah, Olive! Kau sudah tak memerdulikanku lagi!”
“Terserah apa katamu, Nico! Yang jelas, kulakukan ini semua hanya demimu! Demimu!” Olive berlari meninggalkan kamar kami sambil menangis. Aku tercenung di tempatku. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Ada sebentuk rasa penyesalan menyemai dihatiku. Olive… maafkan aku membuat air matamu jatuh menetes…
* * * *
Dua minggu lamanya, aku dan Olive tak pernah bertegur sapa sedikitpun. Tidur pun kami tak seranjang lagi. Bahkan kami sudah pisah kamar. Aku dikamar tamu, sedangkan Olive tetap dikamar kami. Untuk makanan sehari-hari pun, kami memasak masing-masing. Olive benar-benar sudah tak peduli lagi, apakah aku sudah sarapan atau belum, apakah aku sudah makan siang atau belum. Bahkan ia tak menghiraukan, aku akan makan apa untuk hari ini. Kami benar-benar seperti dua orang asing yang ditempatkan di satu rumah yang sama.
Aku sebenarnya sudah mencoba meminta maaf dan membujuk Olive agar tak pergi ke Medan dengan lemah lembut. Namun semua hal itu ditanggapi dingin oleh Olive. Olive benar-benar berkeras hati, ia tetap berangkat ke Medan meski tanpa persetujuanku. Ia sudah berkemas dari semalam, lalu pagi-pagi buta pergi meninggalkan rumah tanpa pesan.
Aku membanting dengan kesal segelas teh hangat yang ada di tanganku, begitu aku tak mendapati Olive tak berada di rumah pagi itu. Aku kesal setengah mati. Aku mencoba menghubungi ponselnya namun terus saja tak dijawab! Sialan! Olive benar-benar telah membuatku murka!
Aku bergegas menuju garasi mobilku demi memanaskan Escudo hitamku. Ternyata mobil Olive masih ada di garasi rumah kami. Sepertinya, ia berangkat ke kantor menggunakan angkutan umum.
Setelah memanaskan mobil, aku segera tancap gas menuju kantor Olive yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah kami. Semoga saja rombongan yang akan berangkat ke Medan itu masih ada!
Aku bergegas turun dari mobil begitu tiba di pelataran parkir kantor Olive, saking terburu-burunya, aku sampai lupa mematikan mesin mobil.
Aku berlari menuju meja resepsionis yang ada di lobi kantor. “Dimana rombongan yang akan berangkat ke Medan? Tolong beritahu saya!” sentakku pada seorang resepsionis yang sedang berjaga.
“Maaf anda siapa…?”
“Cepat beritahu saya!” nyaris saja aku melompat masuk ke seberang meja resepsionis saking kesalnya, kalau saja seorang satpam tak keburu mencegahku.
“Maaf, tolong jangan buat keributan di kantor ini, Mas.” Tegurnya.
“Saya hanya mau mencari rombongan yang akan berangkat ke Medan!” bentakku. “Dimana?! Dimana rombongan itu?!!!”
“Maaf, Mas, rombongan yang menuju ke Medan sudah berangkat.”
* * * *
“Apa maumu, hah?! Berangkat tanpa izinku! Seenak-enaknya membantah perintahku! Kau pikir kau siapa?! Aku adalah kepala di keluarga ini! Kau harus tunduk padaku!”
“Kau membuatku kesal, Nico! Apa salahnya sih jika aku pergi untuk dua minggu saja?! Lagi pula kau juga sering seperti itu! Meninggalkanku demi mengikuti seminar pendidikan disana-sini!”
“Oh…. Jadi kau mau membalas dendam?!
“Nico! Cukup! Hentikan omonganmu itu!”
“Apa jangan-jangan kau selingkuh disana? Iya!? Apa memang benar begitu?!”
“Nico! Kau keterlaluan! Aku seperti ini juga demimu! Sudahlah! Aku muak!” klik! Sambungan telepon terputus. Aku melempar ponselku dengan kesal, hingga mengenai kaca jendela kamar kami, dan jendela itu pun pecah. Berkeping-keping. Seperti hatiku. Olive…ia benar-benar keterlaluan.
* * * *
Dua minggu berikutnya benar-benar berlalu seperti neraka bagiku. Aku kesepian. Sendirian. Tak ada lagi Olive disisiku. Tak ada candanya. Tak ada tawanya. Tak ada yang menemaniku menonton acara talkshow favoritku lagi. Jangankan untuk menemani, menghubungiku pun tak lagi Olive lakukan. Ia benar-benar menghilang.
Aku beranjak dari sofa yang kududuki, baru kali ini, aku merasakan kejenuhan yang bukan main di dalam hidupku. Aku seperti benar-benar tak ada gairah hidup lagi.
Aku berjalan menuju ruang kerjaku, disana ada sebuah jendela yang menghadap langsung ke jalan raya. Dan disana lah tempat favoritku jika sedang jengah. Aku menghabiskan waktu di pinggir jendela itu, sambil melamun, dan memandangi kendaraan yang berlalu-lalang. Namun tak seperti biasanya, kali ini tak ada lagi Olive yang menemaniku melamun sambil mengelus-elus kepala atau punggungku, membuat batinku tenang. Aku sendiri saat ini.
Tanpa kusadari, sebuah mobil tiba-tiba berhenti didepan pagar rumahku. Aku terkejut. Siapa yang datang kerumahku pagi-pagi buta seperti ini? Tapi tunggu dulu! Sepertinya aku sangat familier dengan mobil itu. Oh ya! Aku ingat! Itu adalah mobil dengan desain antik yang merupakan keluaran terbaru dari sebuah perusahaan mobil ternama di dunia yang kulihat di majalah otomotif dua bulan lalu. Astaga! Siapa orang beruntung yang memiliki mobil itu?! Ia pasti sangatlah kaya raya! Karena setahuku, mobil itu harganya hampir mencapai satu milyar.
Namun pada detik berikutnya, aku terkejut begitu mengetahui ternyata sosok manusia yang turun dari mobil itu adalah Olive! Istriku! Astaga! Bagaimana bisa?!
Aku dengan terburu-buru menuju pintu gerbang rumahku. Dan disana, aku mendapati Olive tengah bersandar pada bagian samping mobil dengan wajah pucat. Ia masih mengenakan seragam kantornya.
“Olive?” panggilku pelan.
Olive menengok, menatapku sesaat, lalu ia tersenyum, senyum yang selalu berhasil membuatku makin mencintainya. Ya, senyum itu! Namun… astaga! Wajah Olive sangat pucat.
“Nico…” tiba-tiba Olive berlari kecil, menghampiriku, lalu memelukku. Dan ia menangis disana. “Maafkan aku telah membuatmu kesal. Maafkan aku telah membantahmu. Meninggalkanmu sendirian. Mengucilimu. Maafkan aku. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku benar-benar melakukan ini semua demimu.”
“Sudahlah, Olive…”
“Aku kerja mati-matian agar bisa mendapatkan uang lebih, Nico. Aku…ingin sekali membelikanmu mobil ini sebagai kado ulang tahun pernikahan kita yang ke-empat belas.” Repet Olive sambil menangis. “Maafkan aku, Nico.”
Aku melepas pelukan Olive lalu menatap kedua mata beningnya yang telah basah. “Mobil ini… untukku?” aku masih tak percaya.
Olive mengangguk. “Ya, Nico. Ini untukmu. Aku sudah lama menabung agar dapat membelikanmu sebuah hadiah. Dan kebetulan sekali, dua bulan lalu, aku melihat mobil ini di majalah otomotif milikmu. Dan aku tertarik membelikannya untukmu. Hanya saja, uang tabunganku kurang sedikit lagi. Makanya aku… aku bekerja mati-matian untuk…”
“Ya, aku mengerti, Olive.” Aku memotong pembicaraan Olive, lalu memeluk istriku itu dengan hangat.
“Selamat hari ulang tahun pernikahan kita yang ke-empat belas sayang…” ucap Olive, masih disela tangisnya. “Kau ingat kan hari ini tanggal berapa?” Aku mencoba memutar otak sesaat. Astaga! Ini kan tanggal 19 Juli! Tanggal pernikahan kami.
Aku tertawa kecil. “Maafkan aku Olive jika mungkin aku sempat lupa. Terimakasih atas hadiahmu. Maaf aku tak bisa memberimu apa-apa.”
Olive melepas pelukannya lalu menatap mataku sambil tersenyum. Sebelum akhirnya senyum itu lenyap dan Olive jatuh pingsan seketika.
* * * *
Dokter yang kupanggil kerumah hanya mengatakan bahwa Olive terkena demam tinggi. Ia kelelahan. Untuk sembuh, Olive hanya harus meminum beberapa jenis obat yang telah dokter tuliskan di resep. Syukurlah, aku lega mendengarnya.
Namun kelegaanku tak berlangsung lama. Tiga hari berikutnya, demam Olive justru makin meninggi, tubuhnya juga jadi kaku tak bergerak. Bahkan Olive kerap kejang-kejang. Aku pun memutuskan membawa Olive ke rumah sakit. Aku takut terjadi sesuatu padanya.
“Maaafkan saya harus mengatakan ini pada Anda, Tuan Nico. Sepertinya… istri Anda terkena stroke pada bagian tubuh sebelah kirinya.”
Aku nyaris jatuh pingsan begitu mendengar penuturan dokter yang menangani Olive barusan. Oh tidak! Jangan! Malaikatku tidak boleh terkena stroke! Tidak! Tidak!
“Apa ada cara untuk menyembuhkannya, Dok?” tanyaku dengan nada sumbang, hampir menangis.
“Mungkin bisa. Dengan terapi.”
“Apapun itu, lakukan saja, Dok! Asalkan bisa membawa kesembuhan bagi Olive!”
* * * *
6 tahun kemudian…
“Olive sayang, apakah kau ingin mendengarkan musik? Aku baru saja membeli music box keluaran terbaru. Agar kau bisa mendengarkan musik dengan mudah.” Aku meletakkan music box berukuran kecil itu ke samping tubuh Olive yang tengah berbaring di ranjang kami.
Olive tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia hanya menitikkan air mata.
Lagi dan lagi… hanya reaksi seperti itu yang diberikan Olive. Bukan hanya sekali atau dua kali Olive seperti ini. Entah sudah berapa ribu kali. Aku tak pernah menghitungnya. Yang jelas ini semua sudah terjadi, selama enam tahun lamanya.
Ya, semenjak Olive divonis menderita stroke, aku sudah mencoba ke berbagai tempat pengobatan demi mencari kesembuhan bagi istri yang sangat kucintai itu. Melakukan terapi ini itu, membeli obat dari yang harganya seribu satu hingga yang berharga jutaan satu kapsul, sudah aku lakukan. Namun nihil! Tuhan belum memberikan kesembuhan itu pada Olive. Sungguh, aku tak tega melihat Olive seperti ini: hanya duduk di kursi roda atau berbaring di ranjang tanpa melakukan suatu apapun. Olive benar-benar lumpuh akibat stroke itu. Ia tak bisa lagi berbicara. Berjalan. Bahkan untuk menegakkan tubuhnya, ia sulit.
Karena keadaan Olive yang seperti ini, aku memutuskan untuk berhenti menjadi dosen dan hanya membuka praktek konsultasi psikis dirumahku. Aku tak ingin meninggalkan Olive sendirian. Dan hal itu, tak akan pernah aku lakukan! Karena aku sadar, Olive seperti ini pun karena diriku. Karena obsesinya yang ingin membahagiakanku. Ia bekerja mati-matian demi membeli sebuah mobil tanpa memikirkan kesehatannya lagi. Ya, dan itu semua karena diriku! Diriku! Aku sangatlah merasa bertanggung jawab atas semua ini.
Pernah di suatu hari, lima tahun lalu. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-lima belas. Dengan isyarat tangannya, Olive menyuruhku untuk mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoin, lalu ia menyuruhku membantunya menulis. Aku menaruh bolpoin itu ditangan kanannya, lalu aku menggenggam tangan kanannya itu, dan membantunya menggerakkan pena.
Betapa terkejutnya aku begitu membaca tulisan yang tercipta dari tangan Olive yang lemah.
“Tak maukah kau menikah lagi, Nico?” begitu lah tulisannya.
“Tidak mungkin aku menikah lagi, Olive. Aku hanya mencintaimu.” Jawabku dengan suara parau, aku menangis.
Dengan isyarat, Olive kembali menyuruhku membantunya menulis. “Aku tak bisa membahagiakanmu, Nico. Jika memang kau mau menikah lagi. Aku ikhlas.” Tulisnya.
Aku menggeleng kuat sambil menatap kedua mata Olive yang kosong. “Tidak, Olive… tidak. Aku tidak akan menikah lagi. Kenapa kau berpikiran seperti ini?”
Olive menulis lagi, dengan bantuanku. “Keadaanku yang cacat seperti ini, tentu hanya akan membuatmu susah, Nico. Aku tak bisa lagi membahagiakanmu. Lagi pula, jika kau menikah lagi. Siapa tahu, istri keduamu itu akan mampu memberikanmu anak.”
Aku memeluk tubuh Olive yang lemah. “Tidak! Aku tidak mau! Aku hanya mencintaimu! Tak perduli bagaimanapun keadaanmu! Aku tetap mencintaimu, Olive! Dan kumohon, jangan pernah memintaku untuk menikah lagi.” Aku melepas pelukanku dan mendapati mata Olive juga sudah basah dengan air mata. Ekspresi wajah Olive memang selalu datar, dan matanya selalu kosong, namun aku tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan kepahitan yang juga kurasakan.
“Kau mau kan berjanji, tak akan seperti ini lagi?” Tanyaku.
Olive kembali menulis dengan bantuanku. “Ya, tentu. Aku juga cinta padamu. Maafkan aku.” Tulisnya, yang membuat hatiku lega.
Hari-hari pun kami lalui. Aku tak pernah merasa terbebani sedikitpun akan hadirnya Olive dihidupku. Aku menikmati setiap detik yang kulalui ketika aku merawatnya. Bagiku ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan agar aku selalu bersama Olive, dan menghabiskan waktuku dengannya.
Hingga kini, enam tahun sudah aku menjalani semuanya bersama Olive dan penyakitnya. Mungkin, banyak orang mengira bahwa cintaku pada Olive akan berkurang. Tapi mereka salah. Justru aku makin mencintai Olive. Karena ia adalah malaikatku…
Aku terbangun dari lamunanku. “Kau ingin mendengar lagu apa, Olive?” tanyaku dengan nada seceria mungkin, agar Olive tak sedih.
Karena tahu Olive tak mungkin menjawab, aku pun langsung memutarkan sebuah lagu. Lagu dengan musik yang syahdu dan lembut.
Aku menatap Olive yang masih terbaring disampingku. Matanya masih kosong. Ekspresinya masih datar.
Namun aku tak perduli. Bagiku, ia lah Olive yang aku cintai. Yang akan selalu kudampingi hingga akhir khayatku kelak. Dan tak akan pernah ada yang mampu menggantikannya…
THE END