Selasa, 03 September 2013

hysteria (real curhat :') )



HYSTERIA


Hai kamu, kamu yang pelan-pelan mengembalikan senyumku.
Kamu yang pelan-pelan mengubah hariku menjadi lebih baik.
Ingatkah kamu dikala kita pertama kali saling kenal?
Aku mengenalmu bukan lewat mata, bukan lewat telinga, melainkan lewat hatiku. Aku tak tahu seperti apa rupamu, aku tak tahu bagaimana suaramu, aku tak tahu bagaimana tingkahmu. Namun entah mengapa kau berhasil mencuri penasaranku sejak pertama kali aku mendengar namamu.
Kamu adalah apa yang kurasa, bukan apa yang kuraba, bukan apa yang kudengar.
Kamu, dengan segala sikap anehmu yang serba mengejutkan pelan-pelan membuatku nyaman, membuatku merasa aku begitu membutuhkanmu.
Suaramu, candamu diujung telepon, perhatian lewat pesan singkat yang kau kirim, seolah menjadi candu bagiku untuk terus melekat bersamamu.
Aku pelan-pelan mulai membutuhkanmu, mulai merasa ketergantungan akan dirimu, mulai merasa bahwa hari-hariku akan sepi tanpa adanya kabar darimu.
Aku yang dulu berusaha mati-matian menolak setiap godaan yang datang karena takut kembali terluka, kini malah mati-matian jatuh hati padamu.
Setiap saat, ketika ponselku berdering, aku selalu berharap bahwa itu adalah kamu. Membaca pesan-pesan singkatmu seolah merangsang kerja tubuhku untuk terus bersemangat. Mendengar candamu, cerita-ceritamu yang tak berujung seolah menjadi kewajibanku disetiap hari, membuatku terus tersenyum, memandang indah kehidupan di setiap harinya.
aku sadar, ntah apa yang merasuk dibenakku sehingga dengan semudah ini aku dapat mencintaimu. Mencintai sosok yang bahkan tak pernah kutemui.
Tanpa sepengetahuanmu, dalam diamku, aku selalu merajut rindu, selalu membayangkan wajahmu lewat foto-foto yang kusimpan. Tanpa sepengetahuanmu, aku diam-diam selalu membayangkanmu, membayangkan kau akan mengubah hidupku menjadi lebih baik, membayangkan kita saling memiliki… aahhh… indah rasanya kau tahu? Kau benar-benar membuatku membumbung tinggi diangkasa, membuatku merasa benar-benar telah jatuh cinta sedalam-dalamnya, membuatku nyaman senyaman-nyamannya, membuatku merasakan bahagia yang bagiku saat ini sulit kutemui diantara sejuta luka yang selalu datang menghampiri.
Sejuta perhatian dan kasih sayang yang kau beri, membuatku kembali merasa bahwa diriku ini berarti.
Kau bahkan mampu membuatku tenang diantara tangis dan gelisahku. Kau mampu membuat semua rasa lelah akibat aktivitasku selama seharian seolah menguap hilang entah kemana. Kau membuatku selalu ingin bersamamu.
Candamu, tawamu, itu yang selalu ingin kudengar, membuat hatiku begitu hangat, seolah mengirimkan jutaan kejutan listrik yang membuat jantungku berdebar kencang. Kamu… hanya kamu yang mampu melakukannya.
Kamu membuatku jatuh terlalu dalam di angan-angan bahkan sebelum aku bertemu denganmu.
Hingga saatnya, saat yang paling mengejutkan dalam hidupku, kau… kau mengatakan bahwa kau mencintaiku, kau menyayangiku, kau ingin aku menjadi kekasihmu…
Kau tahu? Saat itu aku benar-benar merasa bahwa kau sedang membawaku terbang menggapai pelangi. Aku benar-benar bahagia.
Perempuan mana yang tak bahagia mendengar bahwa cintanya bersambut? Berbalas? Orang yang ia cintai pun merasakan hal yang sama?
Namun, tak semena-mena aku menerima cintamu, aku ingin kau mengatakannya langsung padaku, dihadapan wajahku, menatap mataku, bukan hanya sekedar sederet kata tak bermakna lewat pesan singkat.
Pertemuan pertama pun kita rencanakan, namun selalu tak berhasil, selalu berujung kegagalan. Hingga tiba saatnya disore itu. Pertemuan mendadak yang tak kuduga. Aku berpakaian seadanya, yang bahkan mungkin lebih terlihat seperti orang yang baru bangun tidur ketimbang seorang wanita yang hendak menemui kekasih hatinya.
Aku akui, aku malu padamu. Di pertemuan pertama itu, untuk pertama kalinya aku mengakui bahwa perkataan teman-temanku benar. Kau tampan, kau rapi, kau… ahhhh kau nyaris sempurna. Tak sebanding denganku yang… entahlah… aku benar-benar ingin memaki diriku sendiri atas penampilanku sore itu.
Kita pun berbicara, bercanda, saling melempar bahan obrolan tanpa pernah mengingat tujuan utama pertemuan itu: kau akan menyatakan cintamu secara langsung padaku.
Aku pun tak ingat sama sekali tentang hal itu, mungkin karena begitu canggungnya berhadapan denganmu hingga yang ada diotakku saat itu hanyalah bagaimana caranya mengendalikan diri agar tak terlihat memalukan didepanmu.
Semua berjalan baik-baik saja, semua berjalan seolah tak ada masalah apa-apa sore itu, hingga pertemuan kita pun usai.
Namun… semua berubah… aku tak tahu apa yang mengubahmu, aku tak tahu apa yang salah pada diriku.
Setelah pertemuan pertama kita yang tak direncanakan itu, semua perhatianmu seolah menghilang tak berbekas. Semua panggilan sayangmu terhadapku seolah hilang terhembus angin kencang dan terbawa entah kemana.
Aku kalut, aku kacau, aku benar-benar sedih dan merasa hancur.
Mengapa harus seperti ini lagi, Tuhan? Mengapa? Disaat aku telah benar-benar jatuh hati mengapa justru semua terasa berbeda? Mengapa kamu berubah tanpa aku tahu penyebabnya? Kamu bukan kamu yang aku kenal dulu. Kamu benar-benar telah menjadi orang lain yang tak pernah kukenal.
Apa salahku? Apa dosaku? Aku hanya bisa terus bertanya dalam hati sambil memendam sakit yang terasa terus membuncah dan menyesakkan dada.
Aku ingin bertanya padamu, namun aku malu. Itu adalah sebuah kemustahilan.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk diam, untuk menyimpannya dalam hati, cukup aku dan Tuhan yang tahu tentang rasa sakitku. Tanpa perlu kau tahu, tanpa perlu aku bicara padamu.
Kini hari-hariku terasa berbeda. Tak ada lagi kata-kata manismu semanis dulu. Tak ada lagi kamu yang memanggilku dengan panggilan sayangmu. Semua hambar, datar, tak berbeda rasanya sebelum aku bertemu denganmu.
Kau dan aku kini bagai dua orang yang saling sapa hanya karena merasa kenal. Seperti ada tembok pembatas tinggi yang menghalangi kita untuk mendekat lagi. Tembok itu mengungkungku dalam jeruji berjudul “gengsi” dan jeruji itu pun mengungkungmu dibalik besi-besi penghilang rasa.
Tak sadarkah kamu? Tak tahukah kamu? Dibalik senyumku, dibalik kata-kata ceriaku di pesan singkat yang kukirimkan padamu, aku menyimpan sejuta sembilu yang menancap kejantungku, aku berpura-pura tegar dan kuat karena aku tak mau kamu tahu. Aku tak mau terlihat lemah dimatamu.
Tak tahukah kamu? Setiap kamu menghilang tanpa kabar, tanganku terasa begitu gatal untuk memencet nomor ponselmu, atau mengetik pesan singkat di blackberry messanger untukmu, namun semua itu berhasil kutahan, karena aku takut, aku hanya akan mengganggumu, aku hanya akan merusak mood-mu.
Tak tahukah kamu? Disetiap percakapan kita, percakapan datar dengan panggilan seadanya itu, mulutku rasanya tak tahan ingin kembali memanggilmu dengan panggilan-panggilan sayang yang dulu sering kita ucap. Namun lagi-lagi semua itu harus kutahan demi menjaga perasaanmu, menjaga agar kau tak risih, agar kau tak merasa terganggu dengan tingkahku yang pada kenyataannya memang benar-benar mengharapkanmu kembali seperti dulu.
Salahkah aku mencintaimu dalam diamku? Salahkah aku pura-pura tak membutuhkanmu? Salahkah aku  melawan kata hatiku? Salahkah aku menjadi orang munafik demi menjaga hubungan yang entah apa namanya ini tetap ada?
Aku takut, kejujuranku akan perasaan ini justru membuatmu jauh, menghindar, membuatmu tak ingin lagi mengenalku.
Aku tak bisa… aku tak sanggup jika hal itu terjadi. Karena semenjak kehadiranmu dalam hidupku, kau telah membuatku benar-benar membutuhkanmu. Aku tak akan bisa jika kau tak ada.
Oleh karena itu, aku pun akan terus mengalah seperti ini. Demi tak kehilanganmu. Aku ikhlas membiarkan perasaanku tanpa kejelasan, kau gantungkan, kau biarkan semau-maumu. Aku ikhlas.  Demi membiarkanmu tetap disisiku. Demi menjaga kenyamananmu dalam hubungan ini.
Aku tahu aku bodoh, aku tau aku terlalu berkorban, aku tahu ini hanya akan menyakitiku, namun aku tak perduli, ini adalah pilihanku.
Aku memutuskan untuk menikmati rasa sakit ini sebagai anugrah. Setiap tetes air mataku yang jatuh adalah karunia. Setiap sesak yang kurasakan adalah hadiah. Karena aku percaya… aku percaya akan adanya keajaiban. Batu yang keras saja bisa lubang oleh tetesan air. Begitu pula hatimu. Sekeras apapun hatimu, dengan perjuanganku, aku percaya suatu hati nanti hatimu akan menyadari kberadaanku.
Aku percaya setiap perjuanganku akan berbuah manis. Ada rencana Indah Tuhan dibalik semua ini. Apakah perjuangan ini akan membuatmu berpaling padaku? Atau justru kelak Tuhan mendatangkan orang lain yang justru mati-matian memperjuangkanku sama seperti aku memperjuangkanmu? Apakah ketika pilihan kedua itu benar-benar terjadi kau akan menyesal? Kau baru tersadar bahwa aku teramat sangat berarti bagimu?
Entahlah… aku bukan peramal yang bisa membaca masa depan. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memperjuangkanmu sekuat tenagaku dengan bantuan tangan Tuhan, yang kelak akan menangkapku jika aku terhempas jatuh lagi kedalam jurang yang kau buat.
Aku pun tersadar, bahwa mencintaimu itu seperti menaiki wahana hysteria: kau mengangkatku keatas pelan-pelan, lalu dalam sekejap, kau hempaskan aku jatuh kebawah sekencang-kencangnya.
Sakit memang. Sangat sakit. Sangat pilu. Kamu benar-benar membuat  hatiku remuk. Hancur. Tak berbentuk.
Tapiii… hei dengarlah seperih apapun sakitku, aku tetap mencintaimuu… dengarlah itu… dengar hatiku… dengar lah semua yang tak pernah aku katakan padamu :”) yang tak pernah terucap dibibirku ketika berada di pesawat telepon, atau tak pernah kutulis di semua pesan singkatku. AKU BENAR-BENAR MENCINTAIMU :’)