HYSTERIA
Hai kamu, kamu yang pelan-pelan
mengembalikan senyumku.
Kamu yang pelan-pelan mengubah hariku
menjadi lebih baik.
Ingatkah kamu dikala kita pertama kali
saling kenal?
Aku mengenalmu bukan lewat mata, bukan
lewat telinga, melainkan lewat hatiku. Aku tak tahu seperti apa rupamu, aku tak
tahu bagaimana suaramu, aku tak tahu bagaimana tingkahmu. Namun entah mengapa
kau berhasil mencuri penasaranku sejak pertama kali aku mendengar namamu.
Kamu adalah apa yang kurasa, bukan apa
yang kuraba, bukan apa yang kudengar.
Kamu, dengan segala sikap anehmu yang
serba mengejutkan pelan-pelan membuatku nyaman, membuatku merasa aku begitu
membutuhkanmu.
Suaramu, candamu diujung telepon,
perhatian lewat pesan singkat yang kau kirim, seolah menjadi candu bagiku untuk
terus melekat bersamamu.
Aku pelan-pelan mulai membutuhkanmu,
mulai merasa ketergantungan akan dirimu, mulai merasa bahwa hari-hariku akan
sepi tanpa adanya kabar darimu.
Aku yang dulu berusaha mati-matian
menolak setiap godaan yang datang karena takut kembali terluka, kini malah
mati-matian jatuh hati padamu.
Setiap saat, ketika ponselku berdering,
aku selalu berharap bahwa itu adalah kamu. Membaca pesan-pesan singkatmu seolah
merangsang kerja tubuhku untuk terus bersemangat. Mendengar candamu, cerita-ceritamu
yang tak berujung seolah menjadi kewajibanku disetiap hari, membuatku terus
tersenyum, memandang indah kehidupan di setiap harinya.
aku sadar, ntah apa yang merasuk
dibenakku sehingga dengan semudah ini aku dapat mencintaimu. Mencintai sosok
yang bahkan tak pernah kutemui.
Tanpa sepengetahuanmu, dalam diamku, aku
selalu merajut rindu, selalu membayangkan wajahmu lewat foto-foto yang
kusimpan. Tanpa sepengetahuanmu, aku diam-diam selalu membayangkanmu,
membayangkan kau akan mengubah hidupku menjadi lebih baik, membayangkan kita
saling memiliki… aahhh… indah rasanya kau tahu? Kau benar-benar membuatku
membumbung tinggi diangkasa, membuatku merasa benar-benar telah jatuh cinta
sedalam-dalamnya, membuatku nyaman senyaman-nyamannya, membuatku merasakan bahagia
yang bagiku saat ini sulit kutemui diantara sejuta luka yang selalu datang
menghampiri.
Sejuta perhatian dan kasih sayang yang
kau beri, membuatku kembali merasa bahwa diriku ini berarti.
Kau bahkan mampu membuatku tenang
diantara tangis dan gelisahku. Kau mampu membuat semua rasa lelah akibat
aktivitasku selama seharian seolah menguap hilang entah kemana. Kau membuatku
selalu ingin bersamamu.
Candamu, tawamu, itu yang selalu ingin
kudengar, membuat hatiku begitu hangat, seolah mengirimkan jutaan kejutan
listrik yang membuat jantungku berdebar kencang. Kamu… hanya kamu yang mampu
melakukannya.
Kamu membuatku jatuh terlalu dalam di
angan-angan bahkan sebelum aku bertemu denganmu.
Hingga saatnya, saat yang paling
mengejutkan dalam hidupku, kau… kau mengatakan bahwa kau mencintaiku, kau
menyayangiku, kau ingin aku menjadi kekasihmu…
Kau tahu? Saat itu aku benar-benar
merasa bahwa kau sedang membawaku terbang menggapai pelangi. Aku benar-benar
bahagia.
Perempuan mana yang tak bahagia
mendengar bahwa cintanya bersambut? Berbalas? Orang yang ia cintai pun
merasakan hal yang sama?
Namun, tak semena-mena aku menerima
cintamu, aku ingin kau mengatakannya langsung padaku, dihadapan wajahku,
menatap mataku, bukan hanya sekedar sederet kata tak bermakna lewat pesan singkat.
Pertemuan pertama pun kita rencanakan,
namun selalu tak berhasil, selalu berujung kegagalan. Hingga tiba saatnya
disore itu. Pertemuan mendadak yang tak kuduga. Aku berpakaian seadanya, yang
bahkan mungkin lebih terlihat seperti orang yang baru bangun tidur ketimbang
seorang wanita yang hendak menemui kekasih hatinya.
Aku akui, aku malu padamu. Di pertemuan
pertama itu, untuk pertama kalinya aku mengakui bahwa perkataan teman-temanku
benar. Kau tampan, kau rapi, kau… ahhhh kau nyaris sempurna. Tak sebanding
denganku yang… entahlah… aku benar-benar ingin memaki diriku sendiri atas
penampilanku sore itu.
Kita pun berbicara, bercanda, saling
melempar bahan obrolan tanpa pernah mengingat tujuan utama pertemuan itu: kau
akan menyatakan cintamu secara langsung padaku.
Aku pun tak ingat sama sekali tentang
hal itu, mungkin karena begitu canggungnya berhadapan denganmu hingga yang ada
diotakku saat itu hanyalah bagaimana caranya mengendalikan diri agar tak
terlihat memalukan didepanmu.
Semua berjalan baik-baik saja, semua
berjalan seolah tak ada masalah apa-apa sore itu, hingga pertemuan kita pun
usai.
Namun… semua berubah… aku tak tahu apa
yang mengubahmu, aku tak tahu apa yang salah pada diriku.
Setelah pertemuan pertama kita yang tak
direncanakan itu, semua perhatianmu seolah menghilang tak berbekas. Semua
panggilan sayangmu terhadapku seolah hilang terhembus angin kencang dan terbawa
entah kemana.
Aku kalut, aku kacau, aku benar-benar
sedih dan merasa hancur.
Mengapa harus seperti ini lagi, Tuhan? Mengapa?
Disaat aku telah benar-benar jatuh hati mengapa justru semua terasa berbeda?
Mengapa kamu berubah tanpa aku tahu penyebabnya? Kamu bukan kamu yang aku kenal
dulu. Kamu benar-benar telah menjadi orang lain yang tak pernah kukenal.
Apa salahku? Apa dosaku? Aku hanya bisa
terus bertanya dalam hati sambil memendam sakit yang terasa terus membuncah dan
menyesakkan dada.
Aku ingin bertanya padamu, namun aku
malu. Itu adalah sebuah kemustahilan.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk diam,
untuk menyimpannya dalam hati, cukup aku dan Tuhan yang tahu tentang rasa
sakitku. Tanpa perlu kau tahu, tanpa perlu aku bicara padamu.
Kini hari-hariku terasa berbeda. Tak ada
lagi kata-kata manismu semanis dulu. Tak ada lagi kamu yang memanggilku dengan
panggilan sayangmu. Semua hambar, datar, tak berbeda rasanya sebelum aku
bertemu denganmu.
Kau dan aku kini bagai dua orang yang
saling sapa hanya karena merasa kenal. Seperti ada tembok pembatas tinggi yang
menghalangi kita untuk mendekat lagi. Tembok itu mengungkungku dalam jeruji
berjudul “gengsi” dan jeruji itu pun mengungkungmu dibalik besi-besi penghilang
rasa.
Tak sadarkah kamu? Tak tahukah kamu?
Dibalik senyumku, dibalik kata-kata ceriaku di pesan singkat yang kukirimkan
padamu, aku menyimpan sejuta sembilu yang menancap kejantungku, aku
berpura-pura tegar dan kuat karena aku tak mau kamu tahu. Aku tak mau terlihat
lemah dimatamu.
Tak tahukah kamu? Setiap kamu menghilang
tanpa kabar, tanganku terasa begitu gatal untuk memencet nomor ponselmu, atau
mengetik pesan singkat di blackberry messanger untukmu, namun semua itu
berhasil kutahan, karena aku takut, aku hanya akan mengganggumu, aku hanya akan
merusak mood-mu.
Tak tahukah kamu? Disetiap percakapan
kita, percakapan datar dengan panggilan seadanya itu, mulutku rasanya tak tahan
ingin kembali memanggilmu dengan panggilan-panggilan sayang yang dulu sering
kita ucap. Namun lagi-lagi semua itu harus kutahan demi menjaga perasaanmu,
menjaga agar kau tak risih, agar kau tak merasa terganggu dengan tingkahku yang
pada kenyataannya memang benar-benar mengharapkanmu kembali seperti dulu.
Salahkah aku mencintaimu dalam diamku?
Salahkah aku pura-pura tak membutuhkanmu? Salahkah aku melawan kata hatiku? Salahkah aku menjadi
orang munafik demi menjaga hubungan yang entah apa namanya ini tetap ada?
Aku takut, kejujuranku akan perasaan ini
justru membuatmu jauh, menghindar, membuatmu tak ingin lagi mengenalku.
Aku tak bisa… aku tak sanggup jika hal
itu terjadi. Karena semenjak kehadiranmu dalam hidupku, kau telah membuatku
benar-benar membutuhkanmu. Aku tak akan bisa jika kau tak ada.
Oleh karena itu, aku pun akan terus
mengalah seperti ini. Demi tak kehilanganmu. Aku ikhlas membiarkan perasaanku
tanpa kejelasan, kau gantungkan, kau biarkan semau-maumu. Aku ikhlas. Demi membiarkanmu tetap disisiku. Demi menjaga
kenyamananmu dalam hubungan ini.
Aku tahu aku bodoh, aku tau aku terlalu
berkorban, aku tahu ini hanya akan menyakitiku, namun aku tak perduli, ini
adalah pilihanku.
Aku memutuskan untuk menikmati rasa
sakit ini sebagai anugrah. Setiap tetes air mataku yang jatuh adalah karunia.
Setiap sesak yang kurasakan adalah hadiah. Karena aku percaya… aku percaya akan
adanya keajaiban. Batu yang keras saja bisa lubang oleh tetesan air. Begitu
pula hatimu. Sekeras apapun hatimu, dengan perjuanganku, aku percaya suatu hati
nanti hatimu akan menyadari kberadaanku.
Aku percaya setiap perjuanganku akan
berbuah manis. Ada rencana Indah Tuhan dibalik semua ini. Apakah perjuangan ini
akan membuatmu berpaling padaku? Atau justru kelak Tuhan mendatangkan orang
lain yang justru mati-matian memperjuangkanku sama seperti aku
memperjuangkanmu? Apakah ketika pilihan kedua itu benar-benar terjadi kau akan
menyesal? Kau baru tersadar bahwa aku teramat sangat berarti bagimu?
Entahlah… aku bukan peramal yang bisa
membaca masa depan. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memperjuangkanmu
sekuat tenagaku dengan bantuan tangan Tuhan, yang kelak akan menangkapku jika
aku terhempas jatuh lagi kedalam jurang yang kau buat.
Aku pun tersadar, bahwa mencintaimu itu
seperti menaiki wahana hysteria: kau mengangkatku keatas pelan-pelan, lalu
dalam sekejap, kau hempaskan aku jatuh kebawah sekencang-kencangnya.
Sakit memang. Sangat sakit. Sangat pilu.
Kamu benar-benar membuat hatiku remuk.
Hancur. Tak berbentuk.
Tapiii… hei dengarlah seperih apapun
sakitku, aku tetap mencintaimuu… dengarlah itu… dengar hatiku… dengar lah semua
yang tak pernah aku katakan padamu :”) yang tak pernah terucap dibibirku ketika
berada di pesawat telepon, atau tak pernah kutulis di semua pesan singkatku.
AKU BENAR-BENAR MENCINTAIMU :’)