Love tell me
about…, (Part 2)
Inilah kehidupan baruku. Tanpa Kak Asta,
dan… tanpa Kak Dandi tentunya.
Setahun sudah kulalui semua kehidupanku
yang terasa begitu miris ini. Hmm, kenapa aku mesti kehilangan semua orang yang
kusayang. Apa lagi semenjak Raya pindah sekolah ke salah satu kota tetangga.
Aku tambah kesepian dan sendirian, huhuhuhuhu….
Walaupun kuakui, terkadang Kak Asta
masih selalu setia menjadi sahabat sekaligus kakakku yang selalu mendengarkan
keluh kesahku. Tapi kan tetap saja aku kesepian. Prioritas utama Kak Asta, ya
tentu saja Kak Mayang. Aku sih, sampingan saja….
Aku mendesah lemah, mataku terpekur
menatap pemandangan yang ada diluar kamarku. Membayangkan bertubi-tubi
kenyataan pahit yang harus kuterima, rasanya aku ingin mati saja menyusul Kak
Dandi.
“Ra…” panggil seseorang dari luar kamar.
Aku tahu persis itu suara siapa. Itu pasti suara Mama.
“Ya, Ma…,” sahutku lalu beranjak
mendekati pintu demi membukakan pintu kamarku itu untuk Mama.
“Ra, turun gih kebawah! Ada yang mau
Mama dan Papa kenalin sama kamu.”
“Hha!? Siapa?”
Mama mengedipkan sebelah matanya padaku. “Udah. turun kebawah aja dulu.”
Mama mengedipkan sebelah matanya padaku. “Udah. turun kebawah aja dulu.”
* * * * *
“Ra, ini Reno. Pembantu baru kita.”
Mataku terbelalak hebat menatap sosok
lelaki didepanku. Lelaki ini…, dia seumuran denganku. Tapi…, kenapa dia malah
bekerja sebagai pembantu? Apa dia nggak sekolah?
“Pem…, pembantu?” tanyaku tak percaya.
“Iya, Non. Perkenalkan, saya Reno.”
Timpal Reno pada pertanyaanku.
Aku menatap Reno dari ujung kaki hingga
ujung kepala. mmm, cakep juga, dari wajahnya mencerminkan orang berintelek.
Terus…, namanya itu loh, “RENO”! kayak
bukan nama-nama pembantu pada umumnya, namanya keren sih. Tapi…, kok…
“Pa,” ucap Mama. “Sana, antarkan Reno ke
kamarnya.” Pinta Mama halus.
Papa mengangguk lalu mengajak Reno
menuju kamarnya yang ada didekat dapur.
Ketika Reno dan Papa sudah pergi, Mama
mengajakku duduk disofa ruang tamu. Sepertinya ia ingin membicarakan sesuatu.
“Ra, Mama tahu kamu pasti heran ngeliat
Reno.”
“Iya, Ma. Cowok cakep, tampang intelek,
terus nama keren gitu kok malah jadi pembantu. Dia nggak sekolah, Ma?”
Mama menggeleng lalu mendekatkan
bibirnya ketelingaku, hendak berbisik. “Dia anak koruptor.”
Aku hampir saja berteriak kaget kalau
saja Mama tak keburu menyumbal mulutku dengan dekapan tangannya. “Ssshh…
pelan-pelan.”
Aku melepaskan tangan Mama dan bibirku.
“Serius, Ma!?” tanyaku berbisik.
“Iya. papanya Reno bangkrut karena
tertangkap korupsi, semua asetnya disita. Ibunya Reno tertabrak mobil seminggu
yang lalu saat ingin mencari kerja. Sekarang Reno sebatang kara, Ra.”
“Kok, Papa sama Mama bisa ketemu Reno?”
“Papanya Reno itu temennya Papa. Papa kasian sama Reno, makanya ngangkat Reno jadi pembantu disini dengan imbalan semua biaya hidup Reno akan ditanggung oleh keluarga kita. Dan Mama ada kabar bagus buat kamu…,” Mama tiba-tiba tersenyum jahil.
“Papanya Reno itu temennya Papa. Papa kasian sama Reno, makanya ngangkat Reno jadi pembantu disini dengan imbalan semua biaya hidup Reno akan ditanggung oleh keluarga kita. Dan Mama ada kabar bagus buat kamu…,” Mama tiba-tiba tersenyum jahil.
“Apa, Ma?”
“Reno bakal satu sekolah sama kamu.”
“Reno bakal satu sekolah sama kamu.”
“Apa!?”
* * * * *
Minggu pagi yang cerah… ketika baru saja
bangun dari tidur, pikiranku langsung dikacaukan dengan wajah Kak Asta yang
sibuk mondar-mandir diotakku. Ada apa sih ini!?
Buru-buru aku berlari melesat keluar
dari kamarku, tujuanku adalah kamar Mama dan Papa. Ketika tiba disana, aku
langsung mengetuk pintu kamar Mama dan Papa dari luar. “Ma, ini Ara!”
“Oh, kamu, Ra. Masuk aja! nggak dikunci.”
“Oh, kamu, Ra. Masuk aja! nggak dikunci.”
Aku menekan kenop pintu, lalu
tersibaklah pintu kamar Mama. Saat sudah berada didalam aku langsung beringsut
mendekat ke ranjang Mama. “Ma, aku hari ini mau pergi boleh nggak?”
“Pergi?” alis Mama naik sebelah.
“Kemana?”
“Biasa… ke panti rehab.”
“Oooh, jenguk Asta?” tanya Mama tepat.
Sepertinya ia sudah ingat apa kebiasaan putri tunggalnya selama satu tahun
belakangan ini.
Aku mengangguk. “Iya, Ma. Nggak tahu
nih, tiba-tiba jadi inget Kak Asta. boleh kan?”
“Boleh. Tapi kamu ajak Reno ya. Kasian dia, udah 3 hari disini tapi nggak pernah keluar rumah.”
“Boleh. Tapi kamu ajak Reno ya. Kasian dia, udah 3 hari disini tapi nggak pernah keluar rumah.”
* * * * *
“Reno!!!!!” teriakku dari balkon lantai
dua, mataku menjelajah setiap sudut lantai satu rumahku. “Reno!!!!” pekikku
sekali lagi. Lama-lama aku kesal juga sama ‘pembantu baruku’ ini, masih muda
sudah budeg.
“Eh…. Iya, Non.” Tak lama Reno datang
dari arah dapur dengan sebuah kemoceng yang masih tergenggam ditangannya.
“Gue mau pergi. Lo temenin gue ya.”
“Te… temenin, Non Ara?”
“Iya.”
“Iya.”
“Emang Non Ara mau kemana?”
“Udah ikut aja!” aku berbalik, berjalan
menuju kamarku lalu bergegas mengganti baju yang biasa kupakai berpergian.
* * * * *
“Turun!” perintahku pada Reno.
Sekejap, Reno mengedarkan pandangannya,
menelisik detail demi detail bangunan yang ada dihadapanku dan dirinya ini.
“Ini tempat apa, Non?”
“Panti rehab.”
“Panti rehab?”
Aku mendengus kesal. “Nggak usah sok
bego deh. Gue tau lo orang intelek, nggak mungkin lo nggak ngerti ‘panti rehab’
itu tempat apa!”
“Bukan gitu, Non, maksud saya.”
“Terus?”
Reno menggaruk-garuk kepalanya. “Mmmm,
siapa yang mau kita jenguk disini, Non?”
“Liat aja entar.” Aku membuka pintu mobil, lalu keluar dari dalamnya, Reno mengikuti.
“Liat aja entar.” Aku membuka pintu mobil, lalu keluar dari dalamnya, Reno mengikuti.
Sebelum berjalan mendekat ke pos
penjaga, aku sempat berbisik pada Reno. “Gue nggak mau denger lagi, elo manggil
gue ‘Non’, paham!?”
Reno hanya mengangguk kecil dengan wajah
linglung.
* * * * *
Aku dan Reno duduk dibangku yang ada
dibalkon lantai tiga. Sebenarnya sih, ini bukan tempat yang legal buat
menjenguk orang yang direhab. Tapi berhubung aku udah akrab banget sama
petugas-petugas yang ada dipanti ini, jadi aku diizinkan untuk menemui Kak Asta
disini.
“Itu orangnya?” tanya Reno padaku ketika
matanya menangkap sosok seorang remaja yang berjalan mendekat kearahku dan
Reno.
“Iya…” jawabku. Duh Kak Asta… makin
cakep aja! hihihihihi…. Lihat Kak Asta, kok aku jadi inget sama Kak Dandi ya!?
Jadi kangen…
“Hai, Ra…” sapa Kak Asta lalu matanya
tertuju pada sosok Reno yang ada disebelahku. Sorot mata Kak Asta itu… begitu
curiga. Dalam hitungan detik, Kak Asta sudah menarik tanganku dan membawaku
kepojok balkon, jauh dari tempat dudukku dan Reno tadi.
“Itu siapa, Ra?” tanyanya curiga.
Aku terkekeh. “Itu pembantu baruku, Kak.
Jangan curiga dulu.”
Kak Asta mengerut dada lega. “Hhh…
syukurlah! Kak Asta kira kamu ngehianatin…,”
“Cinta Kak Dandi?”
“Ngg… bu.. buk..,”
“Tenang aja, Kak. Untuk sekarang perasaanku MASIH, HANYA, dan CUMA untuk alamarhum Kak Dandi kok,” potongku pada kalimat Kak Asta lalu aku menyenderkan tubuhku pada dinding yang ada dibelakangku. Aku menarik nafas panjang. “Aku jadi nyesel. Kenapa ya aku baru mencintai Kak Dandi ketika dia sudah nggak ada.”
“Tenang aja, Kak. Untuk sekarang perasaanku MASIH, HANYA, dan CUMA untuk alamarhum Kak Dandi kok,” potongku pada kalimat Kak Asta lalu aku menyenderkan tubuhku pada dinding yang ada dibelakangku. Aku menarik nafas panjang. “Aku jadi nyesel. Kenapa ya aku baru mencintai Kak Dandi ketika dia sudah nggak ada.”
“Ck.. sudahlah, Ra!” potong Kak Asta.
“Ayo kita duduk disana lagi.”
* * * * *
Dua jam berlalu dengan obrolan yang
sangat seru antara diriku dan Kak Asta. Sesekali Reno juga ikut nimbrung, itu
juga untuk bahan pembicaraan yang nggak ada penting-pentingnya. Itu pun harus
aku atau Kak Asta yang menanyainya dulu, baru Reno mau jawab. Dan kata-kata
yang dikeluarkan Reno dari mulutnya selama dua jam terakhir ini hanya… “Ya!”
atau… “Nggak!”… kalau dia ragu paling dia cuma jawab... “Mungkin!” atau
kalimat-kalimat hemat lainnya yang hanya membutuhkan seperempat nafas untuk
mengucapkannya.
Aku juga bingung ada apa sama Reno.
Mukanya tuh terlihat datar dan dingin gitu dari tadi. Padahal aku kan
mengajaknya kesini bukan cuma buat jadi stupa Borobudur. Tapi buat
senang-senang juga.
“Kak, aku pulang dulu, ya! Udah siang…”
pamitku.
“Iya. hati-hati ya, Ra…” Kak Asta
mengalihkan pandangannya pada Reno yang berdiri dibelakangku. “Ren, hati-hati
juga ya…” sapanya. Namun Reno hanya bergeming dengan wajah yang ditekuk.
Aku menyiku Reno buru-buru. “Heh! Punya
adab nggak sih? Jawab sana!” bisikku.
“Ya!” jawab Reno malas-malasan pada Kak
Asta.
“Ya udah kalau gitu… dah Kak Asta!” aku
menggamit lengan Reno dan membawanya menjauh. Jadi nggak enak hati aku sama Kak
Asta. Kesannya, pembantuku ini benci gitu sama dia.
“Lo kenapa sih sama Kak Asta?” tanyaku
saat aku dan Reno sudah ada didalam mobil.
“Nggak apa-apa!”
“Nggak apa-apa gimana? Lo tuh jutek
banget tau nggak sama Kak Asta.”
“Siapa yang bilang saya jutek, Non!”
aku memelototi Reno dengan tajam. “Berapa kali sih gue mesti bilang. Jangan panggil gue ‘Non’. Panggil aja nama gue!”
Reno diam, ekspresinya berubah kembali menjadi datar.
aku memelototi Reno dengan tajam. “Berapa kali sih gue mesti bilang. Jangan panggil gue ‘Non’. Panggil aja nama gue!”
Reno diam, ekspresinya berubah kembali menjadi datar.
“Awas ya! Kalau lo kayak gitu lagi sama
temen-temen gue.”
“Oh, jadi tadi itu temen kamu, Ra? Aku
kira pacar kamu… abisnya kamu sama dia mesra banget.” Ujar Reno dengan nada
menyindir.
Aku diam… menanggapi omongan Reno, mana
akan ada ujung penyelesaiannya, pikirku. Aku termenung menatap hujan rintik
yang membasahi kaca mobilku. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Pak!” panggilku sambil menyentuh pundak
Pak Sugi, supirku yang sedang asyik dengan kemudinya. “Belok kearah Jalan Kebun
Asam, ya.”
* * * * *
Mobilku berhenti disebuah pemakaman umum
yang ada disebelah tenggara kotaku. Semerbak bau kamboja basah yang tertimpa
hujan rintik langsung tercium oleh hidungku yang peka.
Aku membuka pintu mobilku perlahan
setelah sebelumnya sempat mengatakan pada Pak Sugi untuk menungguku sebentar.
Oh ya… ada yang ketinggalan, ingatku
kemudian!
Aku kembali memutarkan tubuhku menghadap
mobil lalu kembali membuka pintu mobil bagian belakang, tempat Reno kini duduk.
“Ren? Mau ikut?” tawarku
“Nggak!” jawab Reno ketus. Entah mengapa
aku dapat menangkap ekspresi aneh diwajahnya. Seperti…. Sedih dan takut!
“Yakin?” tanyaku lagi.
“Iya.”
“Ayolah, Ren! Turun yuk! Temenin gue.
Gue ngerasa nggak aman aja, lagi hujan gini sendirian ziarah ke makam.”
“Nggak mau!”
Rahangku mengeras menahan amarah. Keras kepala juga rupanya pembantu baru ini. Berani-beraninya dia menentang perintah Nona Mudanya. “Pokoknya ikut!” perintahku. Kali ini agak sedikit memaksa.
Rahangku mengeras menahan amarah. Keras kepala juga rupanya pembantu baru ini. Berani-beraninya dia menentang perintah Nona Mudanya. “Pokoknya ikut!” perintahku. Kali ini agak sedikit memaksa.
“Nggak mau!”
“IKUT!”
“NGGAK!”
“IKUT!
“GUE BILANG NGGAK MAU YA NGGAK MAU!” pekik Reno akhirnya, membuatku sedikit tersentak kaget. Aku juga agak sedikit heran. Baru kali ini aku mendengar Reno menggunakan kata “gue”. Apa dia memang khusus menggunakan kata itu kalau dia lagi marah besar!?
“NGGAK!”
“IKUT!
“GUE BILANG NGGAK MAU YA NGGAK MAU!” pekik Reno akhirnya, membuatku sedikit tersentak kaget. Aku juga agak sedikit heran. Baru kali ini aku mendengar Reno menggunakan kata “gue”. Apa dia memang khusus menggunakan kata itu kalau dia lagi marah besar!?
Aku membanting pintu mobil tanpa berkata
apa-apa. Lalu kembali berlari menerobos hujan, menuju makam Kak Dandi…
* * * * *
AKU SAKIT!
Aahh! Menyebalkan rasanya… jarang sekali
aku sakit hanya karena terkena hujan. Tapi kali ini… kenapa tubuhku seakan tak
kuasa menahan hujan yang membasahi tubuhku selama hampir sejam tadi!?
Aku hanya bisa tiduran ditempat tidur sambil membaca majalah remaja langgananku yang baru saja terbit edisi terbarunya.
Aku hanya bisa tiduran ditempat tidur sambil membaca majalah remaja langgananku yang baru saja terbit edisi terbarunya.
Ketika tanganku baru saja membuka
halaman yang berisi rubrik tentang ekskul sekolah, telingaku mendengar kenop
pintuku berbunyi.
Aku menurunkan majalah yang menghalangi
pemandanganku kearah pintu, demi melihat siapa yang baru saja masuk kewilayah
pribadiku ini.
“Reno?” desisku pelan.
“Hai, Ra…” sapa Reno canggung. “Masih
sakit?” tanyanya nggak penting. Jelaslah aku masih sakit! Lihat saja, aku masih
terbaring ditempat tidur dengan mengenakan swater dan selimut tebal untuk
menghangatkan tubuhku. Disamping tempat tidurku juga masih ada obat-obatan yang
diletakkan didekat meja lampu. Apa Reno buta sehingga dia tak bisa melihat
semuanya!?
Aku menatap Reno sekilas dengan tatapan
malas. Lalu, tanpa menjawab pertanyaan Reno, aku kembali berkutat dengan
majalahku.
Sayup-sayup aku mendengar suara langkah
kaki Reno mendekat. Sekali lagi aku kembali menurunkan majalahku dari depan
mata. Dan ternyata, Reno sudah duduk diujung tempat tidurku.
“Maafkan saya ya, Ra. Karena tadi sore
saya membentak kamu.”
Aku kembali melengos. Rasanya rubrik
ekskul SMA Tirtayasa di majalah ini, lebih baik untuk disimak dari pada
pembicaraan Reno.
“Ra…, kenapa kamu masih marah? Saya kan
sudah minta maaf.”
“Gue lihat tadi cucian piring di dapur
numpuk.” Ucapku mengalihkan pembicaraan dengan mata yang masih menelisik isi
majalah, bukannya menatap Reno.
“Ra…,”
“Halaman depan juga banyak sampah!”
“Halaman depan juga banyak sampah!”
“Tapi, Ra…,”
“Ditaman juga banyak rumput yang udah
panjang… tadi juga gue liat guci Mama yang diruang tamu udah berdebu.”
“Ra!” pekik Reno tiba-tiba. Membuatku
kaget… kenapa… Reno jadi marah lagi padaku!? “Saya kesini mau minta maaf. Bukan
mau mendengarkan perintah-perintah kamu. Tanpa kamu suruh pun saya pasti
mengerjakannya karena itu tugas saya!” ucap Reno penuh emosi lantas berbalik,
hendak pergi meninggalkan kamarku.
Hatiku jadi sedikit goyah saat itu pula.
Perkataan Reno itu, seperti menyambar telingaku sekaligus mengoyak batinku.
Ketika Reno sudah diambang pintu aku pun
berteriak kepadanya… “Besok disekolah gue nyontek tugas matematika lo ya. Kelas
lo dikasih tugas sama Pak Arwan juga kan?” kataku seceria mungkin.
Reno berbalik menatapku dengan mata
berbinar. “Ra…, kamu…!?” Reno tak melanjutkan kalimatnya.
Aku hanya terkikik menatap wajah polos Reno yang seakan baru saja mendapat pengampunan dari sang paduka ratu.
Aku hanya terkikik menatap wajah polos Reno yang seakan baru saja mendapat pengampunan dari sang paduka ratu.
* * * * *
“Reno…!” aku merentangkan tanganku
kesamping, mencoba menghalangi tubuh Reno yang baru saja hendak masuk kedalam
mobil.
“Kenapa, Ara-chan?”
“Apa lo bilang?”
“Ara-chan.”
Alisku bertaut. “Sejak kapan nama gue
berubah?”
Reno tergelak. “Ya ampun, Ara….” Reno
mengelus rambutku jahil. “Itu panggilan orang-orang Jepang. Biasanya yang
akhirannya ‘chan’ itu panggilan khusus untuk orang-orang kesayangan si
pemanggil.”
Aku menelan ludahku yang terasa…, manis.
“Panggilan kesayangan? Jadi…”
“Sudahlah…, lupakan!” Reno kembali tertawa kecil. “Kamu ada perlu apa Ara-chan?” tanyanya ulang ketika aku dan dirinya sudah duduk rapi dikursi belakang mobil, bersiap menuju sekolah.
“Sudahlah…, lupakan!” Reno kembali tertawa kecil. “Kamu ada perlu apa Ara-chan?” tanyanya ulang ketika aku dan dirinya sudah duduk rapi dikursi belakang mobil, bersiap menuju sekolah.
“Ngg… gue cuma… mau pinjem tugas
matematika kok. Semalem kan…”
“Iya… iya… saya kan udah janji sama kamu
sebagai tanda kalau kamu mau maafin saya kan?”
“Ngg.. i… iya…” jawabku grogi. Duh… kok
jadi begini sih!?
* * * * *
Sepulang sekolah, aku duduk di balkon
kamarku, menatap lalu lintas didepan rumahku yang sedang sepi-sepi saja.
Segelas milk shake segar menemaniku. Damai rasanya…. Apalagi sekarang aku
ditemani foto Kak Dandi dan Kak Asta sedang berangkulan pundak yang kusimpan
rapi disebuah pigura. Menatap senyum Kak Asta difoto ini, aku merasakan tak ada
yang istimewa. Tetapi… begitu ku tatap senyum Kak Dandi, dadaku bergetar hebat.
Aku rindu padanya… apa “disana” Kak Dandi juga merindukanku?
“Disini rupanya kamu, Ra…”
Prang! Terkejut karena kedatangan
seseorang, aku tak sengaja menjatuhkan pigura foto Kak Dandi dan Kak Asta ke
lantai hingga pecah berkeping-keping.
Aku menoleh kebelakang, dan mendapati
Reno berdiri disana masih lengkap dengan clemek yang banyak terdapat noda kecap
disana-sini.
“Ren…!!! Lo ngagetin gue…”sungutku lalu
bergegas berjongkok, demi memunguti serpihan kaca yang berserakan dilantai.
Tiba-tiba Reno ikut berjongkok juga.
“Emang kamu ngeliatin foto apa sih, Ra?” tangan Reno mencoba menggapai foto Kak
Asta dan Kak Dandi yang terlepas dari pigura. Foto itu dalam posisi terbalik,
sehingga Reno tak dapat mengetahui foto apa yang sedang kulihat itu.
Dengan sigap aku merebut foto itu, namun
terlambat…. Tangan Reno juga telah terlebih dahulu ikut memegangnya. Jadilah
tanganku dan tangan Reno sama-sama berada diatas foto itu sekarang.
“Ren, lepasin!” pintaku sambil menarik
foto itu.
“Saya cuma mau lihat, Ra.” Reno menarik
balik foto itu.
“Jangan!” sergahku lalu kembali menarik
foto itu.
“Ra…,” pinta Reno. Kini tanganku dan
tangannya saling tarik-menarik foto itu. Dan… kraak! Fotonya robek jadi dua bagian sama besar.
“Reno!!! Fotonya robek.” Ringkikku
kencang.
Namun dasar Reno keras kepala, dia tetap
kekeuh pada pendiriannya. Perlahan ia membalik separuh bagian foto yang ada
ditangannya.
“Kamu ngeliatin foto…., Asta?” tanyanya
kemudian. Kepalaku melongoh ke foto yang ada ditangan Reno. Ternyata dia
mendapat bagian foto yang menyorot Kak Asta. berarti yang ditanganku… foto yang
menyorot Kak Dandi. Hhh… syukurlah. Aku nggak mau pembantu sok tahu ini sampai
memborbardirku dengan pertanyaan siapa sosok yang ada difoto yang ada
ditanganku.
Cukuplah saja dia ikut campur dengan
hubunganku dan Kak Asta. Tapi tidak dengan hubunganku dan Kak Dandi…
Aku kembali merebut separuh foto itu
dari tangan Reno. “Nggak usah ikut campur.”
“Kamu suka sama dia? Katanya… Cuma
teman.”
“Ren, gue mohon ya sama lo. Jangan ikut
campur.”
Tiba-tiba Reno berdiri. Aku mendongak
demi menatap wajah Reno yang tiba-tiba berubah menjadi sangat serius itu. “Saya
berhak dong, Ra, ikut campur! Karena saya nggak suka kamu dekat apalagi mikirin
Asta!” Reno berbalik kemudian meninggalkanku yang terdiam menatap
punggungnya. Namun tak lama Reno kembali
berbalik menatapku. “Makanan sudah siap! Cepatlah turun ke meja makan.” Ucapnya
dingin lalu kembali pergi.
* * * * *
Reno melempar senyum kecil padaku ketika
makan siang bersama baru saja mau dimulai.
Aku hanya melengos. Huh! Setelah tadi
membentakku, sekarang dengan seenaknya dia malah senyam senyum. Dia pikir aku
apa!? Menyebalkan!
Lagi pula… dia tadi bilang apa!? Dia
nggak suka aku dekat dengan Asta? apa maksudnya!? Dasar pembantu aneh.
Kriiing! Kriiing! Telepon rumahku
menjerit-jerit minta diangkat. Tak lama, Bi Nyunyai datang tergopoh-gopoh dan
segera menjawab panggilan telepon.
Beberapa detik Bi Nyunyai hanya diam
mendengarkan penjelasan orang yang berada diujung telepon sebelah sana. Namun
kemudian, ia mengarahkan pandangannya ke meja makan, tepatnya kerarahku.
“Non Ara. Ini telepon buat Non.” Katanya
lalu bergegas pergi.
Aku beranjak dari kursi makan lalu
segera menjawab telepon itu. “Halo?”
“Nak Ara? Ini saya Pak Abie, petugas panti
rehab.”
Aku sejenak diam untuk mengingat sosok
Pak Abie. Hmmm, ya! Aku ingat! Ini kan petugas paruh baya yang suka mendampingi
Kak Asta dahulu ketika hendak bertemu denganku. Ya, aku memang cukup akrab
dengan Pak Abie semenjak aku sering mengunjungi panti demi menjenguk Kak Asta
setahun belakangan ini. Bahkan bukan hanya dengan Pak Abie, aku malah akrab
sekali dengan hampir semua petugas panti rehab. Malah seingatku, aku dulu
pernah memberikan nomor telepon rumahku pada panti rehab. Mungkin dari sana Pak
Abie bisa menelepon kerumahku seperti sekarang.
“Ada apa, Pak?”
“Saya cuma mau memberitahu jika… ngg…
Nak Asta kabur dari panti.”
* * * * *
Ketika aku tiba di panti, keadaan kamar
Kak Asta sudah penuh dengan kerumunan orang.
Pak Abie mendekat padaku lalu berbicara
sesuatu… “Sepertinya Nak Asta kabur semalam dengan menjebol ventilasi kamar
lalu melewati pagar belakang yang sedang diperbaiki.” Ucapnya memulai
pembicaraan.
“Kalau Kak Asta kabur semalam. Kenapa
kalian baru tahu siang ini?”
“Kami awalnya tak curiga sedikitpun
karena tak melihat Nak Asta berkeliaran di panti pagi hari. Namun kecurigaan
kami bermula karena pintu kamar Nak Asta tak kunjung terbuka hingga siang ini.
akhirnya setelah didobrak, kami menemukan kamar ini telah kosong. Namun ada
yang aneh, Nak Asta tak membawa apapun. Semua barang dikamar ini masih lengkap
seperti sedia kala.”
Aku geleng-geleng kepala. “Ada apa
dengan Kak Asta? kenapa dia jadi senekat ini?”
* * * * *
Aku kaget bukan main. Ketika baru saja
tiba dirumah sepulangnya dari panti, aku mendapati ada sepucuk surat beramplop
biru diatas meja belajarku.
Secepat kilat, aku turun ke lantai bawah
dan aku menemui Bi Nyunyai yang tengah mencuci pakaian. “Bi! Ini surat dari
siapa?” tanyaku sambil menunjukkan surat itu pada Bi Nyunyai.
“Nggak tahu, Non. Tapi tadi Bibi ketemu
surat itu didalam kotak surat yang ada didepan rumah. Dan bacaannya buat Non
Ara.”
Aku tertegun menatap surat itu. Dan aku
menyadari suatu hal. Surat ini nggak ada perangkonya! Berarti orang yang
mengirimkan surat ini langsung memasukkan suratnya ke kotak surat rumahku tanpa
melalui perantara pos.
Apa berarti yang mengiriminya itu orang
dekatku?!...
Bergegas aku kembali menuju kamarku dan membuka
surat itu setibanya disana…
Apa kabar bidadari cantikku!?
Aku rindu sudah lama tak bertemu denganmu.
Jika kau juga merasakan hal yang sama
denganku, temui aku di atap gedung Vernon tepat pukul sepuluh malam hari ini.
Ingat! Jangan bawa siapa-siapa. Cukup aku
dan kau saja. Karena kita akan berbagi kerinduan hanya berdua, sayang. Dan aku
akan menjemputmu untuk ikut bersamaku disana.
LOVE, Pardandi
Nasuha.
Surat itu terhempas begitu saja jatuh
keatas lantai kamarku. Apa!? Kak Dandi yang mengirimiku surat!?
Nggak… nggak mungkin! Lelucon macam apa
ini!
* * * * *
Jam sepuluh malam. Gedung Vernon, Jl.
Western, no. 234….
Aku sudah tiba diatap gedung Vernon
sekarang. Aku bisa menyusup kesini dengan membius seluruh petugas keamanan.
Setelah itu, aku pergi keruang kontrol yang ada dilantai satu untuk menyalakan
seluruh system listrik gedung ini.
Bisa mati aku kalau listrik gedung ini
tak aktif. Nggak mungkin dong aku menuju keatap gedung berlantai 88 ini dengan
menggunakan tangga. Bisa mati patah tulang aku. Itu lah salah satu alasanku
menyalakan listrik, selain untuk menerangi seluruh ruangan gedung, ini juga
berguna agar aku bisa menuju atap gedung dengan menaiki lift.
Aku berdiri dipagar pembatas atap.
Pandanganku berkeliling. Namun tak ada tanda-tanda bahwa ada manusia selain aku
disini.
Sial! Apa aku sudah dibohongi? Padahal
aku sudah bela-belain kabur dari rumah.
Aku memutar tubuhku menghadap kearah
gedung yang ada disebelah gedung Vernon, melempar sorot mata lemah pada benda
mati itu. Namun tiba-tiba…
Braak! Pintu atap terdengar dibuka
dengan bantingan. Kontan aku berbalik, menatap kearah pintu atap, dan disana
sudah ada…,
“Reno?”
Reno menatapku sinis dengan senyuman
mautnya. “Apa kabar bidadari cantik?”
“Reno… jadi kamu…,”
“Ya!” potongnya. “Hahahahahaha… ternyata
kamu dan orang tuamu itu sama-sama bodoh, Ra. Mau-maunya mereka mengangkatku
sebagai pembantu dirumahmu. Tanpa mereka sadari itu justru memuluskan jalanku
untuk balas dendam terhadapmu.”
Aku mendekatkan tubuhku pada Reno dan…
plak! Satu tamparanku mendarat dipipinya. “Balas dendam apa maksud kamu!?”
“Aku terkadang bersyukur karena tak
ditempatkan sekelas denganmu di Ritch Blues. Karena dengan begitu kamu nggak
akan pernah tahu nama asliku.”
“Bisa tolong diperjelas apa maksudmu
melakukan ini PEMBANTUKU!” plak! Aku menampar Reno sekali lagi.
Reno tertawa. “Sabar sedikit NONA
MUDAKU. Yang paling awal ingin kuberitahu padamu adalah nama asliku.”
“Aku nggak butuh…,”
“Syareno NASUHA!” potong Reno pada kalimatku. Mendengar apa yang diucapkan Reno, mataku membola.
“Aku nggak butuh…,”
“Syareno NASUHA!” potong Reno pada kalimatku. Mendengar apa yang diucapkan Reno, mataku membola.
“Apa!? Nama kamu…,”
“Ya! Aku adik PARDANDI NASUHA!”
“Ya! Aku adik PARDANDI NASUHA!”
Aku mundur beberapa langkah. “Nggak!
Nggak mungkin…”
“Kenapa nggak mungkin?”
“Setahuku, Kak Dandi nggak punya adik.
Waktu pemakaman Kak Dandi juga aku nggak melihatmu.”
“Itu karena aku masih ada di Rusia untuk
meneruskan sekolahku!” perlahan Reno kembali mendekatkan tubuhnya kepadaku.
“Kau tahu! Semenjak kematian Kakakku, keluargaku hancur! Papaku jadi stress dan
sering berjudi menghamburkan uang. Semenjak saat itu, keluargaku jadi terlilit
hutang! Dan Papaku terpaksa melakukan korupsi di kantornya untuk menutupi semua
hutang keluarga kami. Hingga akhirnya Papaku dipenjara…!!! Dan Mamaku meninggal
setelahnya!”
“Ren… stop! Aku…”
“Diam kamu!” bentak Reno membuat rahangku kembali terkatup rapat. “Dan kamu tahu semua itu berawal dari mana?!” tanyanya sengit. “Itu semua berawal dari kamu!!!” teriaknya tepat didepan wajahku. “Kalau saja kamu nggak jadian sama Asta baji**an itu, Kakakku nggak mungkin bunuh diri.”
“Diam kamu!” bentak Reno membuat rahangku kembali terkatup rapat. “Dan kamu tahu semua itu berawal dari mana?!” tanyanya sengit. “Itu semua berawal dari kamu!!!” teriaknya tepat didepan wajahku. “Kalau saja kamu nggak jadian sama Asta baji**an itu, Kakakku nggak mungkin bunuh diri.”
“Ren! Aku kan sudah bilang sama kamu.
Aku nggak ada hubungan…,”
“Lalu kenapa kamu terus-terusan menengok Asta di panti? Dan kamu terus-terusan menatapi fotonya!? Seharusnya kamu lebih sering menjenguk makam Kakakku dan lebih sering menatapi foto Kakakku!”
“Lalu kenapa kamu terus-terusan menengok Asta di panti? Dan kamu terus-terusan menatapi fotonya!? Seharusnya kamu lebih sering menjenguk makam Kakakku dan lebih sering menatapi foto Kakakku!”
Aku mendorong tubuh Reno. “Apa kamu
lupa!? Aku juga sering mengunjungi makam Kak Dandi. Waktu itu saja, aku
mengajakmu bukan!? Tapi kamu nggak mau ikut bersamaku.”
“Jangan banyak berkilah!” Reno merogoh
saku jaketnya mengeluarkan…, sebuah buku diary?! “Lihat ini!” Reno melempar
buku diary itu kearahku. “Itu buku diary Kakakku. Buku itu PENUH DENGAN SEMUA
CERITA TENTANGMU, NONA SYARA AZURA! Dari situ aku tahu, bahwa ia menyukaimu.
Dan dari situ juga aku tahu, bahwa ia bunuh diri karena melihatmu berpacaran
dengan Asta!”
Aku terduduk lemas. Air mataku mulai menetes deras. “Ren!! Stop! Aku mohon…,”
“Kamu tahu kan sekarang. Kenapa aku nggak suka kamu dekat dengan Asta!?”
Aku terduduk lemas. Air mataku mulai menetes deras. “Ren!! Stop! Aku mohon…,”
“Kamu tahu kan sekarang. Kenapa aku nggak suka kamu dekat dengan Asta!?”
Aku menggeleng, air mataku mulai jatuh
membasahi celana jins yang kupakai.
“Bodoh!” pekik Reno persis disamping
telingaku. “Aku nggak suka kamu dekat dengan Asta karena seharusnya kamu jadi
milik Kakakku, bukan milik dia!”
“Ren! Berapa kali aku bilang. Aku nggak
ada hubungan apa-apa dengan Kak Asta.”
“Bohong aja terus! Apa aku harus
menghadirkan Asta disini dahulu baru kamu mau mengaku?” tiba-tiba Reno berjalan
mendekati pintu atap dan ia menarik sesuatu keluar dari sana.
“Kak Asta…!!!!” pekikku melihat ternyata
yang ditarik paksa oleh Reno adalah Kak Asta. Tangan dan kaki Kak Asta terikat,
mulutnya tersumbal sapu tangan. Kak Asta diperlakukan Reno persis seperti
binatang. “Reno!” panggilku kasar. “Jadi kamu yang membawa Kak Asta kabur!!??”
Reno tersenyum sinis. “Mungkin akan
lebih tepat jika disebut, aku menculik baji**an satu ini!”
“Apa!?”
“Apa!?”
“Ya. Aku menculiknya. Tengah malam aku
kabur dari rumahmu dan membawanya pergi setelah membiusnya. Lalu aku
menyekapnya di gudang yang ada digedung ini. Ide bagus bukan?!”
aku berdiri dan berjalan mendekati Reno. “Lepasin Kak Asta!” bentakku.
aku berdiri dan berjalan mendekati Reno. “Lepasin Kak Asta!” bentakku.
“Lepasin dia!?” Reno menoleh kearah Kak
Asta yang hanya mampu diam tak berkutik. “Jangan mimpi kamu, Ra.” Duk! Reno
menendang tubuh Kak Asta hingga berguling sejauh beberapa meter.
Aku berlari kecil mendekati Kak Asta
lalu mencoba melepas ikatannya.
“Ra, kau ingat kalimat terakhir
disuratku?” ucap Reno tiba-tiba dengan tangan yang sedang sibuk merogoh saku
jaket.
Aku diam dan masih sibuk berkutat dengan
tali yang melilit tangan Kak Asta.
“Kakakku akan menjemputmu DISINI! Tapi
sayang… berhubung Kakakku sudah tak ada lagi didunia ini, maka aku lah yang
akan mewakilinya untuk menjemputmu.” Tiba-tiba Reno mengacungkan sebuah pistol
kearahku dan Kak Asta tepat ketika ikatan tali ditubuh Kak Asta sudah terlepas
semua.
“Siap!?” ucap Reno dengan senyum kemenangan. “Satu… dua… tiga!”
“Ra, Awas!” tiba-tiba Kak Asta memeluk
tubuhku dan membiarkan tubuhnya menjadi tameng bagi tubuhku. Dalam hitungan
detik, pelukan Kak Asta lepas dari tubuhku, dan ia roboh dengan punggung
bersimbah darah.
“Reno! Apa yang kamu…” duaar! Satu
tembakan lagi melayang kearahku sebelum aku sempat bicara. Dan kini… peluru
tembakan itu tepat mengenai perutku. Aku tersungkur, jatuh persis disamping
tubuh Kak Asta.
“Selamat tinggal Ara-chan! Katakan juga
pada kedua orang tuamu, bahwa aku berhenti jadi pembantu mereka,” Reno tertawa
menyindir. “Itupun kalau kau masih mempunyai waktu untuk mengatakannya,
hahahahahaha.” Reno pun pergi meninggalkan aku dan Kak Asta diiringi tawa
kepuasannya.
“Ra,” panggil Kak Asta dengan suara
lemah. Tangannya menggenggam tanganku erat. “Satu hal yang mesti kamu tahu.”
Aku menitikkan air mata. Aah! Rasa pedih
diperutku tak seimbang dengan rasa pedih hatiku.
“Kak Asta baru sadar, kalau selama ini Kak
Asta sangat menyayangi kamu, Ra. Lebih dari sekedar adik. Maafkan Kak Asta, Ra,
yang harus jadi orang munafik dan baru mengatakannya padamu sekarang. Kak Asta
nggak mau kehilangan kamu.” Kak Asta tersenyum. Lalu matanya perlahan-lahan
terpejam. Dan desahan nafasnya menghilang.
“Kak Asta!” rintihku lalu semakin erat
menggenggam tangan Kak Asta yang sudah tak bergerak. Aku menatap langit diatas
kepalaku. Tiba-tiba seperti ada seberkas cahaya yang mendekat. Dan pada detik
itu pula, aku merasakan perlahan nafasku mulai berat, jantungku mulai lemah dan
akhirnya mataku pun ikut terpejam. Kak Dandi…. Kak Asta…. aku akan bertemu
kalian disurga sekarang.
* * * * *
Wahai
kasihku…
Andai
engkau tahu.
Bahwa
sekali hidupku, hanya untuk mencintaimu…
Selamanya
dihidupku.
Bila
nanti aku mati, sesungguhnya kuingin mati bersamamu…
Bersamamu…
Jujur
karena ku tak mau…
Meninggalkan
engaku sendiri kekasihku…
Kekasihku…
* * * * *