DIA ADALAH ABAD…
DIA ADALAH KALA…
Namanya Abadi Kusuma Negara,
orang-orang biasa memanggilnya Abad. Terlahir dari keluarga pemilik salah satu
lumbung beras terbesar di kotanya, membuat hidupnya serba berkecukupan.
Teman-temannya mengenalnya sebagai sosok perfeksionis, berjiwa pemimpin dan
ambisius namun acak. Ya, acak, cukup acak bila dilihat dari sudut pandang mata
manusia dengan mimpi-mimpi dan pemikiran-pemikirannya yang absurd. Ya, namanya
Abad, mahasiswa
semester akhir jurusan Teknik Arsitektur itu adalah salah satu manusia dengan
isi kepala yang luar biasa abstraknya.
“Abad pergi kuliah dulu, Yah,”
diciuminya tangan lelaki tua yang sudah 22 tahun merawatnya sedari kecil itu,
Ayahnya, Wijayanto Kusuma Negara. Parasnya masih tak tergerus usianya yang kini
menginjak 55 tahun. Jika disandingkan, Wijaya dan Abad tidaklah jauh berbeda
dari segi fisik, bahkan wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua.
“Iya. Hati-hati,” balas Ayah sambil lalu kemudian
kembali bergumul dengan koran di hadapannya.
“Bu, Abad pergi, assalamualaikum!”
Teriaknya dari ambang pintu pada sang ibu yang sedang memanggang roti di ruang
makan, kemudian langsung berlari menuju garasi, menghidupkan mobil
kesayangannya lalu beranjak pergi.
¤¤¤
Suara speker dari kamar gadis itu,
memecah keheningan pagi di seluruh sudut rumahnya. Rasanya masih terlalu dini
untuk menyetel lagu-lagu hip-hop dengan volume sebesar dentuman granat pada
saat matahari baru hendak meninggi. Namun tak diperdulikannya, ia justru
semakin tenggelam dalam kesibukan mematut dirinya di cermin sembari
bersenandung.
“Mamaaaaaaaa... kakak nih mah
berisik banget aku pusing!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari luar kamarnya,
sontak gadis itu beranjak kemudian dengan santai melongokan kepalanya dari
balik daun pintu, didapatinya si pelaku peneriakan tengah berkacak pinggang di
depan pintu kamarnya sambil memasang air muka kesal. Ialah tak lain tak bukan,
adiknya sendiri, Maryam.
“Heh, elo tuh ya rese banget sih.
Gue sengaja pasang musik kenceng-kenceng tiap pagi biar lo bangun pagi terus
sekolahnya gak kesiangan. Terimakasih seharusnya sama gue, dasar kebo.”
“Eh eh eh kenapa ini?” seorang
wanita paruh baya yang dipanggil Mama itu datang menyelahi pertengkaran
keduanya. Air mukanya tampak tenang sebab baginya ini hal biasa, karena hampir
setiap pagi selalu saja begini; si bungsu akan mengomel karena si sulung
menyetel musik dengan volume yang mampu membangunkan separuh dari penduduk
komplek perumahan yang mereka tinggali. “Udah udah sana, Maryam, kamu mandi,
mau sekolah nanti kesiangan.” Wanita itu menggiring anak bungsunya menuju kamar
mandi.
Sedangkan gadis itu, si sulung,
kembali duduk di depan cerminnya, mengoleskan beberapa macam jenis krim,
sembari bersenandung. Tak perduli.
Namanya Sangkala Indah Lestari,
Kala adalah panggilan yang diberikan orangtuanya sedari kecil. Tingkahnya aneh,
nalar dan pikirannya kadang tak mampu di tebak, jiwanya meledak-ledak, hobi dan
kesukaannya tak mampu dipahami. Ya, namanya Kala, gadis belia semester akhir
jurusan kedokteran itu, adalah salah satu manusia terunik yang pernah ada.
¤¤¤
Jam baru menunjukkan pukul 7 pagi,
mentari masih bersembunyi dengan enggan dibalik awan yang sedikit memerah,
embun masih basah, udara pagi di kota dengan curah hujan tinggi ini membuat
siapapun yang hendak keluar rumah pastilah menggigil, namun Abad justru
melajukan kendaraannya menembus jalanan yang penuh kabut dengan santai, AC
dimobilnya disetel ke angka tertinggi, tape dihidupkannya kencang, perduli apa,
pikirnya.
Ia menuju ke timur kota, ke salah
satu perumahan pegawai negeri di kotanya. Seperti biasa, satpam perumahan itu
telah hapal mobil dan wajah Abad, tak sebersit keraguan sedikitpun baginya
untuk membukakan portal. Abad membuka kaca, lalu melempar sebungkus rokok,
“makasih, Bang!” sapanya ramah sambil cekikikan, kemudian melajukan mobil ke
arah kiri, menuju sudut komplek paling timur.
Tiba di depan sebuah rumah,
dikeluarkannya ponsel, menelpon, “aku di depan... oke...” singkat, sambungan
telepon itu mati. Abad membuka pintu mobil, lalu mengambil sebatang rokok dan
menyalakannya.
“Selamat pagi,” tak lama, seorang
gadis datang menyapanya, berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. Senyumnya
nampak merekah, manis, dan menyejukkan. Namanya Tita, gadis yang sudah dipacari
Abad 5 tahun lamanya.
“Ngerokok dulu ya, sebentar. Ayah
Ibu kamu mana?” tanya Abad sambil terus menghisap puntung rokoknya.
“Udah berangkat. Oh iya, kamu udah
revisi skripsi kamu yang kemarin dicoret Pak Dayat?”
“Udah.”
“Beneran? Nanti kejadiannya kayak
kemarin, kamu tetep ngotot gamau ngerubah apa yang direvisi sama Pak Dayat
karena...”
“Karena menurut aku itu
bener?” potong Abad pada kalimat Tita
sambil membuang puntung rokoknya yang tersisa setengah, “ya memang itu bener,
menurut aku apa yang udah aku tulis itu rumusannya udah bener sesuai dengan
yang aku baca di buku. Tapi yasudahlah, daripada aku ga lulus-lulus karena
berdebat sama dosen kolot satu itu, mending aku turutin aja maunya.”
Tita menarik nafas panjang, Abad
memang tidak pernah mau merubah sifat keras kepalanya. 5 tahun bersama, Tita
sangat paham bahwa Abad adalah orang yang tidak ingin dibantah, ia ingin selalu
menang dalam setiap perdebatan, merasa dirinya yang paling benar. Bahkan dulu
waktu masih SMA, Abad pernah memusuhi guru agama mereka di sekolah karena
berdebat dengannya soal beberapa hukum agama.
Selama ini, Tita memang banyak bersabar dan mengalah dengan sifat Abad yang
satu ini. “Ya sudah, ayo berangkat,” Tita melesat masuk ke dalam mobil, dan
mobil itu kembali membelah jalan dengan kabut yang sudah mulai menipis.
¤¤¤
Kala berjalan memasuki gedung
jurusannya dengan santai, dijinjingnya beberapa buah novel yang baru ia beli
kemarin dari toko buku. Disapanya beberapa teman seangkatannya yang nampak
duduk di koridor sambil sibuk memegang buku catatan. Kala tahu, hari ini akan
ada uji blok, tapi ia tak perduli, ia tak suka belajar dengan cara monoton
seperti itu. Kala lebih suka belajar dengan caranya sendiri, memahami apa yang
dosen jelaskan saat kelas berlangsung, mendengarkan sembari mengingat tanpa
mencatat apapun. Kemudian untuk selanjutnya, ia lebih memilih membiarkan
keberuntungan ingatannya yang menggiringnya mendapat nilai baik. Oleh sebab
itu, dimata teman-teman sekelasnya Kala adalah mahasiswi kedokteran ajaib,
bayangkan saja dengan cara belajar aneh seperti itu ia selalu mampu mendapat
nilai tinggi di setiap ujian. Bahkan teman-teman sekelasnya hapal bahwa isi tas
yang selalu dibawa Kala setiap berangat kuliah tidaklah jauh-jauh dari novel
ataupun buku-buku bacaan diluar pelajaran, ia tak pernah membawa buku catatan
dan pena.
“Kal, ntar nyontek ya,” seloroh
Diva, teman dekatnya, saat Kala baru mendaratkan diri di atas kursi kelas.
Kala mengangkat tangannya,
membentuk posisi hormat, “siap laksanakan.” Kemudian ia terkekeh kecil.
“Lo mah enak ga belajar aja
nilainya gede, lah gue, mau belajar jungkir balik juga nilainya segitu-gitu
aja,” celoteh Diva sambil mengambil posisi duduk disamping Kala dan mengunyah
cemilan yang ia bawa.
Kala hanya tersenyum kecil membalas
pernyataan itu, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
From: Berna
I’m on ma way to duty. Take care of
yourself. Semangat kuliahnya, Sayang.
Kala tersenyum membaca pesan
singkat itu.
“Ciyeeee, Berna romantis banget ya.
Tiap hari ga bosen nyemangatin lo,” Diva rupanya sedari tadi mengintip pesan
yang dibuka Kala di ponselnya.
Kala mendelik tajam, “yeee dasar
kepo.”
“Dia tugas di luar kota lagi?”
tanya Diva tanpa basi-basi demi membunuh penasarannya.
Kala mengangguk seadanya.
“Hahahahha, sabar... sabar...
resiko punya pacar polisi. Doain aja dia ga mati disana.”
“Diva! Ih rese banget.” Kala
mencubiti Diva hingga gadis berambut
keriting dan kulit sawo matang itu mengaduh-aduh dan
minta ampun.
¤¤¤
Senja datang, aktivitas di salah
satu kampus bergengsi di kota dengan curah hujan tinggi itu mulai sepi. Langit
mulai abu-abu dan kemudian tak lama lagi akan menggelap. Kabut tak lagi ada,
digantikan dengan semilir angin sore yang dinginnya merasuk hingga ke tulang.
Di salah satu gedung tiga lantai
dengan tulisan “PERPUSTAKAAN” besar di depannya, Abad bergumul dengan
bertumpuk-tumpuk buku. Dibukanya halaman per halaman dengan wajah gusar dan
kesal, mencari-cari sesuatu dengan bingungnya. Nyaris satu jam dan ia belum
berhasil menemukan materi yang diminta dosen pembimbingnya untuk ditambahkan
dalam skripsi yang sedang ia buat. Putus asa, ia menendang kaki meja dengan
sekuat tenaga. “Dosen sialan,” gumamnya kecil namun tajam.
Abad bangkit, mengembalikan satu
persatu buku-buku yang ia ambil ke tempatnya, lalu memilih untuk pulang.
¤¤¤
Kala berlari-lari kecil menuruni
anak tangga, dilihatnya jam tangan dengan gusar. Pukul setengah enam.
Konsultasi skripsi dengan pembimbing yang lebih banyak curhat mengenai
kehidupan pribadi ketimbang dengan merevisi memang menyita lebih banyak waktu.
Kala mempercepat langkahnya kearah belakang kampus, ke sebuah gedung tiga
lantai yang sangat disukainya itu. Tapi kali ini tujuannya bukanlah
menghabiskan waktu untuk membaca novel selama berjam-jam seperti biasanya,
melainkan meminjam beberapa buku referensi untuk mengerjakan revisi skripsinya
malam nanti.
Bertepatan saat kaki kala menjejak
gedung belakang, matanya menangkap sosok penjaga perpustakaan, Bu Yurti,
melangkah menjauh menuju parkiran. Kontan Kala menghentikan langkahnya, tertunduk
lemas. “Telat sepersekian detik doang, pfffttt...” gumamnya gemas.
Matanya beralih kearah pintu
perpustakaan dan mendapati sesosok laki-laki tengah berdiri di depan pintu
sambil menelepon, ia tak mengenali lelaki itu, nyaris 4 tahun berkuliah, baru
kali ini ia benar-benar melihat sosok itu. Setelan bajunya yang rapi dengan
kemeja dan sepatu pantofel mengkilat dan membawa beberapa buku tebal membuat
kala detik itu juga teringat perkataan Bu Yurti 3 hari lalu bahwa akan ada
pustakawan laki-laki baru yang bekerja di perpustakaan kampus. Apa ia penjaga
perpustakaan baru yang Bu Yurti maksud? Bohlam benderang langsung timbul diatas
kepalanya. Masih ada kesempatan cari buku, pikir Kala.
“Hey, Mas! Mas! Mas!” panggilnya
spontan dengan kencang sambil berlari menuju lelaki itu. Lelaki yang
dipanggilnya itu tampak celingukan, mencari-cari siapa yang dimaksud gadis itu
dengan panggilan “Mas”
“Mas penjaga perpus bukan ya? Saya
mau pinjem buku nih, tolong bukain dong, Mas perpusnya, bentar aja, plis”
seloroh Kala tanpa basa-basi ketika mereka berdua tepat berhadapan.
Lelaki itu mengernyit untuk sedetik
kemudian tertawa terbahak-bahak, “bukan bukan... gue mahasiswa juga disini...” ia kemudian
geleng-geleng kepala sambil tetap tertawa, “bisa-bisanya lo nyangka gue penjaga perpus ya
ckckck.”
Kala melongo kemudian menundukkan
kepala, malu, pipinya tampak menyemburat merah. “Maaf, gue gatau. Maaf maaf
maaf.” Kala menundukkan kepalanya berkali-kali. “Gue pulang dulu, permisi.” Kala berlari
kecil meninggalkan lelaki yang masih sibuk tertawa itu sambil menutupi wajahnya
menggunakan tangan. Ia nyaris menabrak tong sampah dua kali, sebelum kemudian
berlari sekencang-kencangnya menuju parkiran.
Abad tersenyum melihat kejadian itu
dari kejauhan sebelum akhirnya ia menyadari gadis itu meninggalkan sesuatu di
tempatnya berdiri tadi. Abad memungut benda itu; sebuah buku dengan judul
tentang revolusi 1998, alisnya naik
beberapa senti mendapati bahwa itu adalah salah
satu buku favoritnya. Dibukanya halaman pertama dan ia menemukan sebuah nama
“Sangkala Indah Lestari”
¤¤¤
Malam
tiba, gerimis kecil sibuk mengguyuri seluruh kota, menebar dingin menusuk,
membuat tubuh tak ingin jauh-jauh dari selimut. Di teras belakang rumahnya,
Abad tampak sibuk menyeruputi kopi sambil membakar puntung-puntung rokok. Asap
mengebul tak henti-henti, untuk kemudian terpecah oleh angin yang bertiup
dengan semaraknya.
Disamping
kopinya teronggok sebuah buku dengan halaman pertama yang terbuka. “Sangkala
Indah Lestari,” gumamnya. Ia memerhatikan buku itu lamat-lamat. Yang tak
habis-habis dipikirkannya sejak menemukan buku milik gadis itu tadi sore
adalah, masih ada manusia seusianya yang suka membaca buku usang seperti ini,
perempuan pula, cantik pula, ahhhh… Abad pikir ia satu-satunya makhluk penyuka
buku-buku kolosal zaman dahulu di bumi ini yang tersisa. Teman-temannya selalu
bilang buku-buku bacaan Abad terlalu tua, berat, isinya tidak sampai di kepala,
tentang komunisme lah, kapitalisme lah, peradaban agama-agama zaman dahulu lah,
tafsir-tafsir kitab lah.
“Siapa kamu ini
sebenarnya, anak jurusan politik kah?” Tanya Abad pada dirinya sendiri,
mengira-ngira.
Penasaran, Abad
membuka portal website data mahasiswa kampusnya, diketiknya nama itu. Beberapa
detik setelah nama itu muncul di hasil pencarian, Abad dibuat melongo, setengah
tak percaya setengah percaya. “Anak kedokteran? Semester akhir?” lagi-lagi ia
bertanya pada dirinya sendiri. “Sempurna,” ucapnya lalu sambil tersenyum kecil,
kemudian mematikan ponsel, membuang puntung rokoknya yang hampir habis dan
menandaskan kopinya yang tersisa dalam sekali teguk.
¤¤¤
“Kal…” Diva
menyenggol-nyenggol lengan Kala yang sedang sibuk duduk di bawah ranjang sambil
membaca. Seperti biasa, di malam-malam tertentu Diva akan tiba-tiba datang
sesuka hati kerumah Kala jika rumahnya sedang sepi. Maklum, anak itu penakut
sekali, tak pernah berani ditinggal Ayah Ibunya seorang diri.
“Mmmmm…” sahut
Kala malas. Ia sedang membaca, malas diganggu.
“Lo kenapa bisa
cinta sama Berna?”
Kala mendongak,
menatap Diva heran. “Kenapa ya? Karena dia yang gue cari mungkin.” Jawabnya
singkat kemudian kembali fokus pada bukunya.
“Mungkin? Lo gak
yakin dong berarti?”
“Yakin”
“Masa?”
“Emang kenapa?”
Diva diam
beberapa saat lalu membenamkan wajahnya kedalam bantal, “gapapa.”
Kala menutup
buku tentang astronomi yang sedang dibacanya kemudian merapat kesamping Diva,
“lo lagi jatuh cinta, ya?” tanyanya dengan nada jahil.
“Doain aja,
semoga engga.”
Kala mengernyit,
“loh kok semoga engga sih? Emang kenapa? Malah bagus kalau lo jatuh cinta, biar
move on dari mantan lo yang brengsek tukang selingkuh itu, siapa namanya… Ara?”
Kala ingat sekali 6 bulan lalu betapa terpuruknya Diva hingga sakit-sakitan
saat Diva putus cinta dengan anak akuntansi universitas tetangga itu.
“Ari, Kallll… A
R I,” eja Diva dengan sabar. “Iya maunya gitu, tapi kalau move-on-nya ke salah
tempat? Gimana? Kan ga baik!”
“Maksudnya salah
tempat?”
“Udah… udah…
tidur yuk ngantuk…” Diva berguling memeluk boneka ulat milik Kala kemudian
memejamkan matanya, berusaha tidur.
Nyatanya, Kala
tahu, Diva sedang tidak ingin tidur, ia hanya ingin mengakhiri pembicaraan itu.
Kala tahu detik itu juga, ada sesuatu yang sedang terjadi pada Diva namun Diva
menyembunyikannya…
NAMANYA KALA… DAN AKU TERTARIK
PADANYA
Seperti biasa,
pagi itu Abad menjemput Tita untuk berangkat kuliah bersama, kemudian
menurunkan gadis itu di depan gedung fakultas pertanian dan saling berjanji
untuk pulang kuliah bersama lagi.
“Aku selesai
kelas jam 4 sore,” ucap Tita sebelum turun mobil.
“Aku selesai jam
11, nanti sambil nunggu jam 4 aku nongkrong aja sama yang lain di kantin
pusat.”
“Oke.” Tita
turun dan mobil itu kembali melesat, namun kali ini bukan ke gedung fakultas
teknik seperti biasanya. Abad mengemudikan mobilnya menuju utara kampus, ia
merasa ada sesuatu yang harus ia tuntaskan; ego dan rasa penasarannya. Hingga
akhirnya beberapa puluh meter kemudian ia menemukan arah penunjuk jalan di
sebuah pertigaan besar kampusnya “↑ Fakultas Kedokteran”
¤¤¤
Abad memasuki
koridor fakultas kedokteran dengan hati-hati. Ia mengamati sekeliling dan
mendapati dirinya seperti alien, semua orang memandanginya dengan tatapan nanar
seolah-olah ia memiliki tiga mata dan dua hidung di wajahnya. Terdengar
bisikan-bisikan kecil, “itu anak teknik yang sering tawuran dulu kan?”, “ih itu
mah si Abad yang dulu suka jadi provokator demo. Ngapain kesini?” Ada juga
beberapa anak yang memilih langsung melarikan diri, bersembunyi di dalam
kelasnya, malas membahas dan bertatap muka langsung dengan Abad. Reputasinya
sebagai tukang onar dikampus memang sudah tak perlu diragukan lagi. Abad
sebenarnya bisa saja mengamuk saat itu juga ketika mendapati dirinya ditatap
dengan tatapan tak sopan seperti itu, namun ia sedang malas, ia sedang tak
ingin berkelahi sebab ada sesuatu yang lebih penting saat ini.
“Eh… lo yang kaos
ijo!” Abad memanggil seorang mahasiswa lelaki yang sedang berdiri diujung
koridor sambil mengutak-atik ponselnya, kontan ia langsung gelagapan. “Kenal
sama Sangkala Indah Lestari?” tanyanya tanpa basa-basi.
Dengan
terpatah-patah mahasiwa itu menjawab, “i… iya kenal… kak Kala semester 8 ya?
Itu rombongan angkatan kak Kala lagi ada ujian di… disana…” tunjuknya pada
kelas paling ujung di koridor, dekat tangga.
“Oke, makasih,”
balas Abad singkat kemudian berlalu. Baru beberapa langkah berjalan, mata Abad
menangkap sosok yang ia cari, langkahnya terhenti, matanya berbinar, seperti
menemukan harta karun berjalan. Kala baru saja berlari seorang diri keluar
kelas lalu menaiki tangga, spontan Abad mengikutinya di belakang.
Kala terus
menaiki anak tangga dengan setengah berlari, tak menyadari kehadiran Abad yang
menjaga jarak beberapa meter di belakangnya. Hingga akhirnya Kala tiba di
lantai paling atas, dan ia berlari menuju pintu yang menghubungkan gedung
bagian dalam dengan atap. Kala celingukan, kemudian membuka pintu itu pelan.
Abad melihat adegan itu dari balik
tembok diujung koridor lantai teratas, dan tak lama menyusul Kala, melakukan
hal yang sama pula.
Abad terkejut
mendapati Kala tengah duduk di sebuah bangku di pinggir pagar pembatas,
tubuhnya menghadap kearah pemandangan kota. Kala hanya diam sambil mendengar
musik dari earphone yang terpasang di telinganya.
Gadis ini, unik
sekali, pikirnya. Dengan hati-hati Abad mendekati Kala, lalu menyentuh
pundaknya. “Sangkala?” panggil Abad pelan.
Kontan Kala
langsung menengok dengan ekspresi terkejut, keterkejutannya bertambah
berkali-kali lipat ketika mendapati yang berada tepat di belakangnya itu adalah
lelaki yang ia kira penjaga perpustakaan kemarin. “Elo…” Kala melepas
earphone-nya lalu turun dari bangku. Kini ia dan Abad berdiri berhadapan. “Elo
ngapain disini? Lo ngikutin gue?” selidik Kala.
“Gak sengaja
tadi, helikopter gue mendarat diatas sini, lo gak denger?”
Kala mengernyit,
“serius?”
“Ya gimana lo
mau denger, kuping lo ada sumpelannya,” Abad tertawa. “Gue Abadi Kusuma Negara,
panggil aja Abad,” tanpa basa-basi Abad menjulurkan tangannya pada Kala.
Kala yang masih
belum mampu mencerna kejadian itu hanya mampu melongo. Abad tertawa melihat
ekspresi gadis itu, “enggak… enggak… gue bercanda, gue gak naik helikopter.”
Kala menarik
nafas panjang, “terus?”
“Naik UFO.”
“Ih serius!”
Abad kembali
terbahak melihat ekspresi Kala, “kenalin gue Abadi Kusuma Negara, panggil aja
Abad,” ulang Abad menjulurkan tangannya sekali lagi.
Kala dengan
setengah bingung menyambut uluran tangan itu, “gue…”
“Sangkala Indah
Lestari? Panggilannya apa?” potong Abad membuat Kala tambah melongo.
“Kok lo tahu
nama gue?”
“Soalnya nama lo
ada di buku ini,” Abad mengeluarkan buku milik Kala dari dalam tas yang ia bawa.
Kala kontan
mengambil buku itu, “buku gue ya ampun dari semalem gue cariin,” serunya lega,
“lo yang nemuin? Makasih ya… siapa tadi? Abad?”
Abad mengangguk,
“dan panggilan lo adalah?”
“Kala. Panggil
gue Kala.”
¤¤¤
Demi memulai
sebuah percakapan yang membunuh rasa penasaran masing-masing, Abad dan Kala
memutuskan untuk duduk di atap itu berdua, memandang kearah hamparan
bangunan-bangunan kota yang nampak kecil dari kejauhan, lengkap dihiasi dengan
langit yang redup.
“Jadi, lo
ngapain diatas sini?” tanya Abad memecah keheningan.
Kala berdeham,
“seharusnya gue yang tanya, lo ngapain disini? Ngikutin gue ya?” tanyanya balik
dengan nada curiga terselip didalamnya.
“Enggak,” Abad
menggeleng, mata mereka bertemu beberapa detik, kemudian saling membuang
pandangan, Abad meremas tangannya, menemukan tatapan Kala bertumbukan dengan
matanya membuat jantungnya terasa bekerja lebih berat, “tadi gue mau balikin
buku lo ke kelas terus gue liat lo lagi lari-lari ke tangga, ya gue ikutin
aja.”
“Lo tau darimana
gue anak kedokteran?”
“Ya tahu lah”
“Dari?”
“Nyamuk di kamar
gue.” Jawab Abad asal sebab ia malu jika Kala tahu ia mencari identitas Kala
seniat itu hingga ke website kampus.
Kala diam, malas
berdebat. “Oke thanks.”
“Terus lo
ngapain disini?” tanya Abad penasaran.
Kala menoleh
kearah Abad beberapa detik, mendapati Abad tengah menatap lurus kearah hamparan
pemandangan kota. Dadanya berdesir sekejap, kemudian berhenti. “Gapapa, gue
suka, daripada di kelas, berisik.” Jawabnya kemudian.
“Jadi maksudnya
lo suka menyendiri gitu?”
“Bukan, bukan
suka menyendiri, tapi gue lebih suka liat hal-hal indah kaya gini daripada cuma
bengong di dalam ruangan.”
Abad tersenyum,
“unik,” ucapnya singkat.
Kala menoleh,
pandangan mereka kembali bertumbukan namun kali ini tak lagi saling lepas, “unik?”
“Iya,“ Abad
memperdalam pandangannya, menggerogoti seluruh lensa mata Kala, hendak
menemukan apapun yang dapat ditemukan disana, “ternyata lo suka hal-hal yang
jarang orang-orang suka ya. Suka buku-buku tua, suka liat pemandangan,”
“Lebih suka
laut, tepatnya,” sambung Kala sambil tertawa kecil, pandangannya dan Abad kini
sama-sama kembali ke hamparan kota.
“Gue juga suka
baca buku-buku yang kata orang isinya ‘berat’ kaya gitu dan gue juga suka liat
pemandangan,” Abad diam sedetik, “lebih suka sawah, tepatnya,” lanjutnya meniru
perkataan Kala tadi. “Gue hampir ga pernah nemuin orang yang sepemikiran sama
gue, punya kesukaan yang sama, punya isi kepala yang sama abstraknya
hahahahaaha…”
Mata mereka,
kembali bertemu, Kala memandangi Abad yang sedang tertawa, dan tanpa sadar ia
tersenyum dengan sangat sumringah, “sama, gue juga kaya lo. Semua orang
berpikir gue itu aneh, pemikiran gue ga sama dengan temen-temen gue. Mereka
selalu bilang kalau hobi gue yang suka ke laut, liat pemandangan itu kaya di
rekayasa, biar gue keliatan keren,” Kala tertawa kecil, “padahal gue emang suka
banget sama laut dari masih jadi jabang bayi dalem perut nyokap gue. Lagian ngapain
juga sih ngerekayasa hobi? Mending ngerekayasa robot, ada manfaatnya. Terus
ntar dapet penghargaan.”
Abad tergelak,
Kala juga.
“Mereka bilang
kalau gue itu kebanyakan baca novel dan buku-buku yang ketinggian isinya,
makanya jadi kaya gini hahahha….”
“Temen-temen
kita ternyata setipe,” sambung Abad, “mereka juga ga ada yang suka liat sawah
kaya gue, malah bilang gue aneh. Sawah kan kotor, mending main di mall katanya
dan mereka juga bilang kalau buku-buku bacaan gue berat-berat, makanya
pemikiran gue itu susah ditebak, mereka ga pernah ngerti hahahaha…” sekilas ia
teringat Tita yang bahkan meski 5 tahun sudah bersama dengannya pun, tetap tak
mampu menjangkau isi kepala Abad yang abstrak itu. Tita juga tak suka sawah,
juga tak suka baca buku, juga kadang tak mampu mengerti jalan pemikiran Abad,
sama seperti teman-temannya.
“Kita senasib,”
Kala terpingkal.
Abad mengangguk,
tersenyum sambil memandangi Kala yang masih tertawa. Gadis ini, harus dengan
apa lagi aku menjabarkannya? Abad membatin.
¤¤¤
Malam itu Kala
menghabiskan waktu dengan Berna, kekasihnya. Berna adalah seorang polisi
lulusan Akademi Kepolisian yang ditugaskan di kota tetangga. Berna dan Kala
berkenalan 2 tahun lalu, dikenalkan oleh Diva, sahabat dekat Kala sejak awal memasuk
bangku kuliah. Sedangkan Diva dan Berna adalah tetangga, teman sedari kecil.
Sebab jarak
antara kota tetangga dan kota asal yang butuh waktu tempuh 10 jam, Berna
memutuskan untuk menetap di kota tersebut, tinggal di asrama kantornya. Kala
dan Berna menjalani hubungan jarak jauh sedari awal berpacaran, hingga saat
ini, usia hubungan mereka menginjak satu setengah tahun. Mereka bertemu hanya
ketika Kala sedang libur kuliah dan main ke kota tetangga itu atau ketika Berna
pulang sebulan sekali. Seperti malam ini, Berna pulang, setelah menjalani tugas
luar kotanya. Ia berjanji menjemput Kala dirumah pukul tujuh dan akan makan
malam berdua.
Diantara lilin-lilin
redup yang memisahkan sisi antara mejanya dan Berna, Kala memandangi Berna
dengan dalam, “Ber,” panggilnya pelan pada Berna yang tengah sibuk menaburi
kentang gorengnya dengan bumbu cabai.
Berna bergumam
kemudian balas memandang Kala.
“Kamu besok kemana?”
tanya Kala singkat, sebelum meluncurkan kalimat selanjutnya yang ia simpan.
“Pinginnya sih
ajakin kamu nonton, ada film baru, kenapa?”
Kala menarik
nafas panjang, ia tahu setelah ia menanyakan hal ini, seperti
sebelum-sebelumnya akan muncul perdebatan, “kamu gamau main ke pantai sama aku?
Liat laut?”
Dengan sekejap
Berna mendongak lalu menatap Kala tajam, “Kala… sudah berapa kali aku bilang,
kamu berenti deh aneh-aneh kaya gitu. Kamu itu perempuan. Kodratnya merawat
diri, ke salon, aerobik. Jaga tubuh kamu supaya tetep sehat, wajah kamu tetep
cantik, kulit kamu tetep mulus. Bukannya pergi ke tempat panas-panas kaya
gitu.”
Kala tertunduk,
kalimat itu, kalimat yang baru saja Berna ucapkan itu, sudah sangat ia hapal
diluar kepala. Berna selalu saja menasihatinya dengan kata-kata yang sama
berkali-kali. Berna tak pernah habis pikir, kenapa perempuan seperti Kala harus
menyukai hal-hal yang menurut Berna justru akan membuat tubuh Kala jadi rusak.
Itu lah
sebabnya, Kala selalu pergi ke pantai diam-diam tanpa sepengetahuan Berna. Ia
lebih sering pergi sendiri, hanya sesekali saja ditemani Diva ketika Diva
sedang bosan-bosannya. “Pantai itu panas, sinar mataharinya nyengat, kulitmu
nanti gosong,” pernah suatu hari Berna menasihati Kala dengan kalimat itu saat
Kala ketahuan diam-diam pergi ke pantai saat Berna sedang di kota tetangga.
“Kamu paham,
Sangkala?” tanya Berna, “mau berapa ratus ribu kali kita berdebat soal ini
terus? Pokoknya aku ga suka kamu main panas-panasan kaya gitu,”
“Tapi kan bisa
pake sunblock?” Kala mendongakan wajahnya, menantang Berna.
“Tapi tetep aja,
sunblock itu hanya meminimalisir kegosongan kulit kamu, kalau ga pake sunblock gosongnya seratus persen, kalau pake sunblock gosongnya cuma lima puluh persen,
intinya sama-sama gosong kan?” balas Berna sengit, namun ketika melihat Kala
tertunduk, Berna sedikit mencairkan emosinya, digenggamnya tangan Kala yang
tergeletak diatas meja, “Sayang, aku itu cuma gamau kamu kenapa-kenapa.”
Kala terdiam,
dibiarkannya Berna memandanginya, sedangkan ia lebih memilih memandangi kakinya
dibawah meja. Berna… memang tak pernah
mengerti hal-hal yang Kala sukai. Tak pernah…
Pernah ketika
dahulu di masa pendekatan, Kala bercerita pada Berna bahwa ia juga suka menulis
puisi-puisi, maka Berna dengan dingin mengatakan bahwa hanya orang-orang
cengeng yang suka berbuat seperti itu dan Berna meminta Kala untuk berhenti
jadi orang cengeng yang ia maksud itu. Namun Kala tak berhenti, ia masih tetap
menulis puisi-puisi di buku-buku hariannya. Tentu saja Berna tak akan pernah
tahu, karena Berna tak akan pernah membuka buku-bukunya.
Berna memang
sedingin itu dan sekeras kepala itu, namun di sisi lain, hal yang membuat Kala
jatuh cinta adalah kenyataan bahwa Berna benar-benar selalu ada saat ia butuh.
Pernah suatu hari saat Kala terbaring dirumah sakit, Berna mengambil cuti demi
menjaga Kala. Pernah juga suatu hari saat Kala sedang demam tengah malam, Berna
dengan nekat pulang mengendarai mobilnya hanya demi mengantar Kala ke dokter.
Ah… banyak… sangat banyak pengorbanan seperti itu yang Berna lakukan untuk
Kala.
“Iya, Ber.
Maaf.” Balas Kala singkat, ia dongakan kepalanya demi menatap Berna. “Kalau
gitu, besok abis nonton, kita ke toko buku ya? Aku mau beli buku buat dibaca,”
segera, Kala mengalihkan topik pembicaraan.
Berna mengangguk
tersenyum, digenggamnya tangan Kala lebih erat. Kalau untuk hobi Kala yang satu
ini, Berna memang tidak ingin melarang. “Perempuan memang harus banyak baca,
biar pinter, percuma cantik tapi otaknya secuil,” ucap Berna suatu hari saat
sedang menemani Kala mencari buku.
Perdebatan malam
itu pun usai. Makan malam berlanjut seolah tidak terjadi apa-apa. Tanpa Berna
sadari, perlahan hati Kala mulai terkikis untuknya.
¤¤¤
Minggu pagi yang
senyap. Hujan membasahi seluruh kota dari semalam dan baru berhenti menjelang
adzan subuh berkumandang. Meninggalkan jejak-jejak genangan yang singgah
dimana-mana. Daun-daun basah, sisa-sisa hujan sibuk tergelincir dari satu dahan
ke dahan lainnya. Langit mulai terang dengan awan yang redup, tak ada mentari,
burung-burung pun lebih memilih tidur di sangkarnya ketimbang sibuk berkicau
meramaikan pagi.
Di minggu pagi
ini juga, Abad menyusuri jalan sekitar alun-alun kota dengan celana olahraga
panjang, kaus pendek dan sepatu kets. Niat untuk jogging pagi ini diurungkannya
begitu melihat genangan air ada dimana-mana. Langkahnya diayunkannya perlahan,
menyusuri trotoar kota sambil melihat-lihat jalanan yang sepi kendaraan. Hanya
ada satu dua yang melintas. Mungkin malas, sebab sehabis hujan, dingin, dan ini
adalah hari Minggu. Semua orang tentu lebih baik memilih berdiam diri dirumah
rasanya.
Lapar, Abad
menghampiri sebuah kios buah yang nampak baru saja buka. Terhampar macam-macam
buah disana, dan pilihannya jatuh pada dua butir apel hijau dan satu buah pir.
“Bang, numpang duduk
disini ya,” pinta Abad pada sang penjaga kios buah sambil menarik sebuah bangku
dan mengambil posisi duduk di depan tumpukan dus-dus buah. Penjaga itu hanya
menjawab dengan anggukan.
Saat sedang
asyik menggerogoti buah apel ditangannya, Abad merasakan ponsel disaku
celananya bergetar. Tita rupanya.
“Ya, Ta?”
“Kamu dimana?”
“Di deket
alun-alun. Lagi beli buah, kenapa?”
Tita diam,
beberapa detik. “Ga bisa anter aku sekarang ya ke rumah pembimbing aku? Aku
janjian konsul dirumahnya.” Suaranya benar-benar terdengar memelas.
Abad menarik
nafas panjang, “rumah pembimbing kamu yang di ujung selatan kota kan? Apa
keburu, Ta? Kalau mau sekarang ya ga keburu, tapi kalau sejam atau satu jam
setengah lagi sih masih keburu. Kan aku harus pulang dulu, mandi, ganti baju,
jemput kamu.”
Tita diam lagi.
“Ta?” panggil
Abad memecah sunyi.
“Yaudah aku
berangkat sendirian aja, soalnya buru-buru udah ditelponin,” terdengar suara
kecewa di nada suaranya.
“Sorry. Tapi
beneran ga keburu, Ta. Ntar pulangnya aja ya aku jemput?”
“Oke. Siap!”
seketika Tita langsung terdengar ceria kembali dan sambungan telepon pun
berakhir.
¤¤¤
Sepagi dengan
langit redup ini, Kala memilih menghabiskan hari minggunya dengan mengendarai
motor mengelilingi kota demi menghirup udara pagi yang segar. Dengan piama
masih melekat di tubuhnya, ia arahkan motornya menuju alun-alun kota. Tempat
dimana biasanya akan ramai pedagang makanan di setiap minggu pagi. Menghirup
udara segar saja, tak membuat kenyang ternyata, pikirnya.
Kala berhenti di
depan sebuah gerobak bubur ayam, diparkirkannya motor di tempatnya, lalu
bergegas masuk ke antrian. “Bang bubur ayamnya 1, makan disini, ayamnya yang
udah mati ya, jangan yang masih idup,” kelakarnya, membuat penjual bubur ayam
langganannya itu tertawa. Seperti biasa Kala akan memilih duduk di lesehan
paling pojok, tepat dibawah pohon.
Setelah selesai
menyantap bubur ayamnya, Kala memilih berjalan kaki menelusuri trotoar kota di
sekitar alun-alun demi mencari beberapa jajanan kue. Tak diperdulikannya
tatapan-tatapan ganjil yang menilik piama di tubuhnya.
Tepat diujung
trotoar alun-alun yang hampir menuju ke gerbang keluar, Kala menangkap sesosok
lelaki yang ia kenal. Lelaki itu tengah duduk di depan sebuah kios buah sambil
sibuk menelepon, posisinya menyampingi Kala. Kala menyipitkan matanya sambil
tetap berjalan pelan, mendekat, meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah orang.
Tinggal beberapa
meter lagi, Kala menghentikan langkahnya. Dengan jarak sedekat ini, ia sangat
yakin, ia tak salah orang. Benar, dia orangnya. Tubuh tinggi, dengan dada dan
bahu bidang itu, tak salah lagi. Kala yakin!
“Kebetulan macam
apa lagi ini bisa bertemu disini?’ desisnya pelan pada dirinya sendiri. Hatinya
kini ragu, ingin menyapa atau tidak. Jantungnya kembali berdesir sekejap,
kemudian hilang. Desirnya sama seperti saat ia pertama kali berbicara dengan
lelaki itu di atap gedung kemarin. Kala mematung sekian menit demi memerhatikan
lelaki itu tengah menggerogoti apelnya hingga habis, kemudian ia menggerogoti
apel selanjutnya. Dug! Desiran itu datang lagi. Sekejap. Kemudian hilang lagi.
Kala menarik nafas panjang. Aku harus menegurnya, bisik hati kecilnya kemudian.
Kala melangkah
pelan, pendek, detik terasa melambat. Kenapa ia jadi gugup begini sih?
¤¤¤
“Kala?” Abad
terkejut begitu membuang pandangan ke sembarang arah dan mendapati Kala sedang
berjalan pelan menuju kios buah tempat ia sedang duduk. Kala nampak kaget,
seperti maling sedang tertangkap basah. Langkah kakinya terhenti ketika jarak
mereka tersisa satu meter lagi. Mata mereka beradu.
Kala melongo
beberapa detik sebelum ia angkat suara, “hai, Bad,” sapanya canggung, ada rasa
malu dan gugup bercampur disana, “tadi kebetulan gue lagi makan bubur di depan
terus jalan kaki kearah sini mau cari jajanan kue, eh malah lihat elo jadi
pingin gue samperin gitu hehehehe,” jelas Kala cepat, takut Abad salah paham.
Abad tersenyum,
“loh manusia aneh kaya lo makan bubur juga? Kirain makan rudal.”
Bola mata Kala
kontan membesar, tawanya pecah, suasana pun mencair. Gugup itu musnah ditelan
bumi.
Abad bangun dari
duduknya, lalu menghampir Kala. “Jadi ini lo lagi mau cari kue? Gue tahu
tempatnya yang enak, mau gue anterin?” entah kenapa tawaran itu muncul begitu
saja dengan spontan dari dirinya, Abad pun baru menyadari itu sepersekian detik
kemudian, bingung, namun tetap tenang.
Kala mengangguk,
“boleh.” Entah mengapa, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menyambut ajakan
itu, Kala merasa seperti ada sesuatu dalam dirinya yang butuh waktu lebih lama
lagi bersama Abad.
“Tapi agak jauh,
naik angkot.”
“Yaelah kalo
naik angkot doang mah berarti deket, kalau naik roket itu baru jauh.”
Abad tergelak,
“dasar manusia unik.”
¤¤¤
Abad dan Kala
menaiki angkutan umum menuju pesisir barat kota, sekitar lima belas menit
kemudian, mereka berhenti di sebuah kedai kecil yang letaknya tepat berada
diantara sawah-sawah milik warga. Di kota mereka, warga pesisir memang terkenal
dengan pekerjaannya sebagai petani.
Kala memandangi
kedai itu, “The Sawah Pastry” begitu tulisan yang terpampang di depannya. Kedai
dengan ukuran sekitar 6x6 meter itu menyuguhkan pemandangan luar biasa. Selain
diapit sawah di kanan kirinya, dibelakang kedai itu nampak dengan sangat jelas
pucuk bukit barat kota, Kala berani bertaruh, kita bisa melihat pemandangan
sawah dikaki bukit ketika duduk di bagian belakang kedai ini.
“Ayo masuk,”
Abad berjalan, Kala mengekor. “Ini kedai favorit gue di seantero kota. Lo pasti
belum pernah kan?”
“Karena letaknya
diantara sawah-sawah?” tanya Kala, teringat perkataan Abad bahwa ia menyukai
sawah.
Saat pintu
dibuka, bel depan kedai berbunyi kecil, seperti bunyi lonceng. Kedai itu nampak
sangat nyaman di dalamnya. Di tata apik dengan tema alam. Banyak pot-pot
tanaman kecil yang bergantung di dinding serta di atap. Dindingnya juga
dipenuhi lukisan pemandangan. Tempat duduknya bukan lah kursi kayu, melainkan
sofa-sofa mini dengan warna pastel yang nampak sangat indah dipandang.
Perpaduan sempurna.
Stasiun pegawai
dan kasir berada di pojok belakang kedai, disana Abad menghentikan langkahnya,
“yap! Itu alasan pertama, dan alasan kedua adalah kue disini enak-enak,” jawab
Abad kemudian. “Belum pernah makan disini kan?”
Kala menggeleng
pelan, matanya tertuju sesaat pada Abad yang tengah bersandar pada meja kasir lalu
kemudian sibuk menilik kue-kue yang dipajang dalam etalase. Tak hanya menjual
kue-kue modern, kedai ini juga menjual banyak kue tradisional yang bahkan
beberapa diantaranya belum pernah Kala lihat.
“Oke, berarti lo
harus cobain,” Abad menekan bel di meja yang bertuliskan “tekan jika ingin
memesan”. Tak lama seorang pria tigapuluh tahunan dengan tubuh tambun dan muka
ke-arab-arab-an keluar dair balik pintu pantry, ditubuhnya melekat celemek yang
penuh dengan taburan tepung.
Wajah pria itu
tampak sumringah memandangi Abad, “Hey, Abad! Lama sekali kamu tidak kesini.”
“Hehehehe…
sibuk, Pak Tora. Lagi skripsi.”
“Ah sibuk
skripsi apa sibuk pacaran?” lelaki bernama Pak Tora itu mendelik kearah Kala
dengan penuh makna, “kamu kok ngajak anak orang pacaran sepagi ini, belum
mandi, sampai-sampai cuma pakai piama hahahaha.” Sekali lagi, Pak Tora mendelik
kearah Kala dengan mata jenaka. Yang didelik hanya senyum, sambil
menggulung-gulung ujung bawah baju piamanya. Entah kenapa, Abad melihat
pemandangan itu sebagai sesuatu yang lucu, ia sama sekali tak merasa terganggu
dengan pakaian yang Kala kenakan, justru dengan piama itu, Kala tampak lebih
unik lagi dari sebelumnya.
Beberapa detik
kemudian Abad menggeleng sambil ikut tertawa, “bukan, Pak… dia…”
“Pacar barumu,
ya? Yang kemarin mana? Itu si siapa… Tita?”
Kala tersentak,
dipandangnya Abad yang tiba-tiba tawanya juga ikut terhenti.
“Ah… enggak,
Pak. Ini teman. Tita ada dirumahnya,” jawab Abad sedikit canggung,
ditolehkannya pandangan kearah Kala dan mendapati Kala tengah mengernyitkan
dahinya. Sedetik kemudian ia kembali memalingan muka kearah Pak Tora, “Pak aku
pesen kue bolu coklat kaya biasa, minumnya kopi hangat, lo mau apa?” tanya Abad
kemudian pada Kala, mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau
cheesecake topping strawberry, Pak. Minumnya coklat hangat.” Jawab Kala
singkat.
“Oke, silahkan
duduk dulu, tunggu 10 menit lagi.”
Abad kemudian
menggiring Kala duduk di salah satu sofa yang berada tepat di samping jendela.
Pemandangan sawah yang mengitari kedai bisa terlihat jelas dari tempat duduk
mereka. Kala tercenung, percakapan barusan masih terngiang di kepalanya.
“Kal, kenapa?”
tanya Abad pelan.
Kala menatap
Abad dengan dalam, “lo punya pacar?” entah kenapa rasa penasaran itu tak
tertahan lagi. Kala juga tak tahu mengapa seluruh organ tubuhnya seolah
bersinergi sehingga membentuk begitu banyak dorongan yang membuat bibirnya
ingin langsung menanyakan hal itu. Namun di sisi lain Kala merasa ada bagian di
dalam tubuhnya yang tertusuk kecil. Pandangan Kala semakin mendalam, mata Abad
itu, entah mengapa seperti magnet yang membuatnya tak ingin berhenti
memandangi.
Abad mengangguk,
“iya, sudah lima tahun, namanya Tita, anak pertanian semester delapan juga.” Detik
itu juga, Abad tahu, muncul reaksi penolakan dari tubuhnya saat mengucapkan hal
itu. Seperti ada yang menahannya untuk tidak mengatakannya, sebab pada fase
berikutnya Abad sadar suatu bagian dalam dirinya seperti ingin terlepas. Entah
mengapa. Abad belum paham. “Kalau lo udah punya pacar?”
Kala diam,
mereka masih saling tatap. Ia tak paham, mengapa perbincangan pembuka di
pertemuan mereka kali ini adalah tentang pasangan masing-masing. Mungkin Tuhan
ingin membatasi kami sedari awal agar tidak bertindak terlalu jauh, Kala
membatin.
“Iya, udah juga.
Udah satu setengah tahun, namanya Berna, polisi yang tugas di kota tetangga,”
jawab Kala dengan format meniru jawaban Abad sebelumnya.
Keheningan
mengkungkung beberapa menit, hingga akhirnya Pak Tora datang membawa pesanan.
Kala segera meneguk coklat panasnya berharap aliran darahnya kembali lancar,
kerja jantungnya kembali membaik. Perbincangan ini membuat semuanya perlahan
seperti membeku.
“Coklatnya
diminum selagi hangat, nanti kalau udah dingin dia ganti warna jadi merah,”
celetuk Abad, ia tak ingin lagi membahas masalah pasangan.
Kala menatap
Abad dan sedetik kemudian membuang pandangan keluar jendela, tersenyum, “kenapa
jadi merah?”
“Ya gatau,
pengen aja kali.”
“Lah kok bisa
gitu?”
“Ya bisa
pokoknya, karena takdir Tuhan,” mereka berdua pun tergelak bersama. Bongkahan
es batu itu, perlahan menyusut. Abad merasa kepalanya yang sedari tadi terasa
seperti digantungi batu, kini mulai meringan. Perasaan tak enak itu pelan-pelan
menghilang.
“Jadi udah
berapa lama lo sering kesini?” tanya Kala, dicomotnya kue yang ada di piring.
“Dari tiga tahun
lalu, dari kedai ini cuma geribik sampai jadi besar begini. Pak Tora itu
pembuat kue yang paling hebat yang pernah gue kenal. Semua kuenya enak-enak.”
Kala mengangguk,
membenarkan, cheesecake yang ia makan itu memang benar-benar nikmat.
“Habis dari sini
ke sebelah, yuk,”
“Kemana?” Kala
mengernyit.
“Lo bisa liat
sendiri kan dari awal kita datang tadi di sebelah kedai ini ada apa,”
¤¤¤
Setelah
menggulung celana piamanya hingga setengah betis, Kala memutuskan untuk
menenteng sandal jepitnya saja, ketimbang memakainya. “Becek, ntar kepeleset,”
ucapnya. Abad pun melakukan hal yang sama.
Abad memimpin
jalan di depan, ditelusurinya pinggir-pinggiran sawah dengan hati-hati, Kala
mengekor. Sesekali kakinya terbenam pada tanah yang terlalu lembut dan basah.
Dari sini, Kala
dapat melihat dengan jelas pemandangan bukit barat kota seutuhnya dan betapa
luas hamparan sawah di kaki bukit itu. Banyak saung-saung tersebar di beberapa
titik. Sementara rumah penduduk masih jarang, hanya tampak kecil-kecil dari
kejauhan. Abad, isi kepalanya memang asbtrak sekali, Kala membatin.
Kala sama sekali
tak merasa canggung berjalan di tengan sawah. Ia lincah. Lihai. Terbiasa.
Karena pada dasarnya Kala memang menyukai alam, sama seperti Abad. Ia sering
bermain di tempat-tempat seperti ini, walaupun hanya sesekali dan sisanya ia
memilih pergi ke pantai.
Langkah mereka
terhenti pada sebuah saung tepat di tengah sawah yang baru saja ditanam.
Padi-padinya masih sangat hijau, membuat Kala tergiur ingin memakan nasi
langsung dari tumbuhannya saja.
Abad duduk
ditengah sawah, kakinya yang penuh tanah dibiarkan menjuntai ke bawah. Kala
melakukan hal yang sama.
“Kenapa suka
sawah?” Kala memulai pembicaraan.
Abad memejamkan
matanya, menghirup nafas dengan sangat dalam kemudian menghembuskannya. Desiran
di jantung Kala datang kembali ketika melihat Abad melakukan hal itu, namun
sekejap kemudian hilang.
“Karena… bau
sawah itu enak.”
“Memang baunya
kaya gimana?”
“Lo coba cium
aja sendiri.”
Kala mengangguk
lalu melakukan gerakan yang sama seperti Abad.
“Baunya khas,
wangi tanah dicampur tumbuhan padi. Ditambah angin yang hilir mudik, ngebuat
aromanya jadi tambah kuat. Ya kan?” Abad merincikan.
Kala tak bisa
menjelaskan lagi apa yang dirasakannya saat itu. Semua terasa seperti akan
membawanya terbang, begitu damai. Abad benar, bau sawah itu enak.
Abad membuka
matanya perlahan dan mendapati Kala masih memejamkan mata sambil terus menarik
dan menghembuskan napas panjang. Ia tertegun, menilik setiap detail wajah Kala
yang entah kenapa, sejak pertemuan di atap gedung itu tak bisa ia lupa. Abad
seperti terhisap pada suatu pola yang tanpa sadari telah Kala hadirkan sejak
pertemuan itu tercipta. Ada suatu candu yang membuat Abad selalu ingin
berlama-lama jika berada di dekat Kala. Ada rasa seperti tak ingin lepas, terus
tertancap, tak ingin henti-hentinya bersisian dengan Kala. Gadis itu telah menyatukan
kembali pecahan-pecahan dirinya yang belum juga utuh. Sehingga untuk tetap utuh
menjadi Abad yang sebenarnya, tanpa bertopeng, tanpa berpura-pura, Abad selalu
ingin Kala ada didekatnya. Hanya itu yang ia rasakan. Hanya itu yang Abad
inginkan. Dengan adanya Kala, Abad merasa mampu diterima seutuhnya,
se-apa-adanya dirinya, tak perlu ada yang dikritik, tak perlu ada yang protes,
karena Kala tak pernah melakukan hal itu. Dan tak akan pernah melakukan hal itu
seperti yang semua orang lakukan padanya. Ia tahu…
Abad menyesal,
mengapa ia baru mengenal Kala sekarang. Kemana saja selama hampir empat tahun
ini? Kenapa mereka berdua tak pernah bertemu bahkan mengenal sedikit pun?
Abad tersenyum,
ini adalah detik-detik terlambat dalam hidupnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai
Kala silih berganti membanjiri kepalanya. Ia ingin semua ini tak berakhir. Jam
tak perlu berputar. Abad merasakan dadanya ingin membucah meminta pecah,
berteriak-teriak. Ya… Namanya Kala… dan aku tertarik padanya…
Bahagia Sebelum Kehilangan
Setelah berpisah
dengan Abad karena menaiki angkutan umum yang berbeda jurusan, Kala bergegas
kembali ke alun-alun kota untuk mengambil motornya dan kembali kerumah. Kala tiba
dirumah ketika jam dinding menunjukkan tepat di angka 12 siang. Ponselnya yang
baru saja dihidupkannya memberi beberapa notifikasi pesan. Terpampang nama
Berna disana dengan isi pesan yang sibuk mencari keberadaan Kala.
“Iya, tadi Berna
kesini, nyari kamu. Katanya udah janjian sama kamu mau pergi. Kamu kemana memang?”
tutur Mama saat Kala bertanya tentang Berna. Kala jadi pusing sendiri
memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada Berna tentang kejadian
hilangnya ia pagi ini.
“Aku tadi ke
tempat temen aku sebentar,” jawab Kala singkat, tangannya sibuk menimang-nimang
ponsel, kepalanya nyaris mau pecah. Berna pasti akan marah besar soal ini. Kala
telat mengabarinya saja ia dapat meledak-ledak, apa lagi sampai Kala menghilang
begitu lama seperti ini. “Kala kerumah Berna aja deh, Ma. Nemuin dia.”
Tandasnya lalu bergegas mandi kemudian bersiap-siap menuju rumah Berna.
¤¤¤
Banyaknya jalan
yang ditutup karena perbaikan jalan membuat jalur angkutan umum menuju kerumah
Abad memutar jauh. Sehingga ia baru tiba dirumah pukul 1 siang. Setibanya dirumah,
Abad bergegas mandi lalu duduk di depan laptopnya, mengerjakan revisi
skripsinya yang belum usai. Hingga ketika jam menunjukkan pukul 3 sore, Abad
baru teringat untuk menghidupkan ponselnya yang sedari tadi mati karena
lowbatt. Tepat ketika layar ponsel itu kembali hidup, puluhan notifikasi masuk
dan itu berasal dari satu orang yang sama, Tita.
Abad menepuk
dahinya kuat-kuat, ia lupa, ia berjanji akan menjemput Tita dirumah dosen
pembimbingnya. Segera, ia menghubungi Tita. Tepat ketika nada sambung baru
berbunyi dua kali, Tita mengangkat telepon itu.
“Ta? Maaf aku
tadi…”
“Bad, aku ga
tahu ya apa urusan kamu diluar sana. Aku ga pernah larang kamu untuk punya
kesibukan, tapi plis, Bad, kalau kamu sudah punya janji, ya tepati. Kalau
memang gabisa, ya bilang aja gabisa, jangan sudah buat janji tapi kamu ingkari.”
Tanpa aba-aba Tita langsung meluapkan emosinya, memotong Abad yang baru
berbicara beberapa kata. “Kamu tahu gak? Berapa puluh kali aku kirim pesan ke
kamu? Kamu tahu gak berapa lama aku nunggu sampe akhirnya aku mutusin untuk
pulang sendirian naik ojek?” terdengar suara Tita diujung telepon mulai
bergetar, menahan tangis.
Beberapa detik,
sunyi, Tita diam, begitu pula Abad. Abad merasakan rasa bersalah itu
terapung-apung di dalam otaknya, sementara itu di sisi lain Abad bertanya-tanya
pada dirinya sendiri, kenapa ia sampai bisa melupakan janjinya pada Tita. Lima
tahun bersama, Abad ingat sekali, ia tak pernah melanggar janji apapun pada
Tita, tapi kali ini? Abad sampai dibuat terheran pada dirinya sendiri. Sekuat
itu kah magnet Kala bagi roda kehidupan yang berada di sekitar Abad? Sehingga
ketika bersama gadis itu ia dapat melupakan semuanya?
“Ta… aku minta
maaf, aku salah, aku tahu. Tadi itu aku mampir ke kedai kue langganan aku yang
di sawah-sawah itu, kamu tahu kan? Aku ngobrol-ngobrol sama pemiliknya sampai
lupa waktu,” dusta Abad kehabisan alasan, “maafin aku, iya aku salah. Aku
jemput kamu sekarang kerumah ya? Kita makan diluar ya? Mau? Atau mau
jalan-jalan?”
Tita diam
sesaat, terdengar suara tangisan diujung telepon, “Bad, aku mau istirahat,
capek. Udah dulu ya. Bye.” Sambungan telepon itu pun diputuskan oleh Tita.
Abad memandangi
layar ponsel dengan gusar. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa.
Sebelumnya, ia tak pernah membuat Tita sesedih ini. Tita selalu bahagia bersamanya,
Abad selalu menepati kata-katanya, Abad selalu ada untuk Tita, Abad tidak
pernah berbohong pada Tita, Abad selalu melakukan yang terbaik untuk Tita,
tapi… sekarang? Sekejap saja semua keadaan berubah menjadi ganjil. Abad tahu,
ada ganjalan yang mendobrak masuk ke dalam jantungnya dan itu tak bisa ia
tahan. Ganjalan-ganjalan berbentuk rasa tertariknya pada Kala.
Abad memegangi
dadanya, berjuta-juta perasaan tumpah ruah disana. Dikepalanya muncul wajah
Tita dan Kala bergantian. Abad bergeming, membatin, jadi sekarang apa yang
harus aku lakukan?
¤¤¤
Kala mempercepat
laju motornya ketika jalan utama menuju rumah Berna tampak lengang. Pikirannya
masih dipenuhi semburat-semburat kecemasan, namun disisi lain ia tengah
mempersiapkan dirinya untuk menerima kemarahan yang akan Berna tumpahkan
padanya. Ia yakin sekali Berna akan murka. Namun Kala juga tak bisa mengelak,
ya, ini memang salahnya.
Setibanya di
depan gerbang rumah Berna, Kala memandang rumah megah dua lantai itu dengan
ragu, waktu seolah merangkak dengan lambat, hendak menenggelamkannya dalam rasa
tak karuan. Ditekannya bel beberapa kali, hingga akhirnya pembantu Berna muncul
membuka gerbang. Bi Inah sudah hapal sekali dengan wajah Kala yang memang sudah
sering berkunjung kerumah itu.
“Masuk, Mbak.
Sini motornya Mbak biar Bibi aja yang bawa ke garasi,” ujar Bi Inah
mempersilahkan Kala.
“Bernanya ada,
Bi?”
“Ada, Mbak. Di
dalam lagi sama Mbak Diva.”
Kala mengernyit,
“Diva?”
¤¤¤
Kala tahu, Berna
dan Diva memang berteman sedari kecil, rumahnya memang hanya dipisahkan tiga
bangunan lain, tapi Kala tidak pernah mendapati ataupun tahu Berna dan Diva
sering saling mengunjungi satu sama lainnya kerumah. Apalagi semenjak Berna
berpacaran dengan Kala, Diva sangatlah menjaga jarak terhadap Berna. Mereka tetap
berteman baik, namun pada batas-batas wajar saja. Jika dahulu Berna dan Diva
seringkali pergi hangout berdua, maka semenjak Berna dan Kala menjalin
hubungan, hal itu tidak pernah terjadi lagi. Mereka lebih sering jalan bertiga
dengan Diva sebagai kambing congek diantara Berna dan Kala.
Kala memegangi
dadanya, debarannya lebih kencang dari biasanya. Langkahnya terhenti saat
mendapati Berna dan Diva tengah menonton televisi berdua di ruang tengah dengan
tangan Berna merangkul pundak Diva.
Dengan nafas
nyaris terputus, Kala bersuara, “Berna…” yang keluar dari mulutnya malah
terdengar seperti rintihan.
Berna dan Diva
sontak langsung menoleh dan terkejut mendapati Kala tengah berdiri di belakang
mereka. Spontan tangan Berna terlepas dari pundak Diva.
Beberapa detik,
Kala memandangi kedua wajah dihadapannya dengan nanar, ia tak paham, debaran
dijantungnya semakin menjadi. Sementara itu, Berna dan Diva dengan cepat
memasang wajah santai, seolah tak terjadi apa-apa. Diva bangun, memandang Kala
sambil tersenyum lalu merangkulnya.
“Kal… tadi Berna
nyariin elo dirumah, gak ketemu, yaudah gue temenin dia aja disini daripada dia
bête ga jadi pergi sama elo,” Diva mengelus-elus pundak Kala pelan, matanya
menatap Kala dengan tatapan tanpa makna, memaksa Kala ikut bersikap biasa saja,
memaksa memori kepala Kala melupakan hal apa yang ia lihat beberapa detik lalu.
Sejak kapan Berna dan Diva jadi semesra itu?
Kala tersenyum,
ia tahu ini janggal, ia tahu, tapi entah kenapa mulutnya seperti tak ingin
bicara. “Iya gapapa. Gue mau ketemu Berna,” pandangan mata Kala beralih ke
Berna yang sedari tadi menontoni percakapan antara ia dan Diva. Mata Berna itu,
tampak linglung.
Kala berjalan
mendekat, mengambil posisi duduk di samping Berna, “Ber, aku minta maaf, tadi
pagi aku main ke toko kue di pesisir barat kota, pulangnya lupa jalan, jadi
agak nyasar,” hanya itu yang mampu keluar dari mulut Kala, padahal hatinya
memaksa meminta penjelasan akan kehadiran Diva pada Berna, tapi semua kata-kata
itu ditelan mentah-mentah oleh Kala sendiri.
Berna tersenyum,
“iya, gapapa. Kamu sudah makan? Mau makan diluar?”
Kala terhenyak
mendapati reaksi Berna. Bukankah biasanya Berna akan langsung meledak-ledakkan
emosinya? Namun sekali lagi, Kala menelan pertanyaan itu di benaknya sendiri.
Permintaan maafnya pada Berna, ia rasa jauh lebih penting dari
kejadian-kejadian lain yang saat ini bergerak di sekitar mereka. Kala tahu, dari
mata Berna, Berna seolah ingin segera beralih dari situasi ini, ada gugup
bercampur bingung disana.
Kala mengangguk,
“iya, boleh, ajakin Diva ya?”
“Eh… engga… ga
usah… gue mau pulang aja, Kal,” dengan cepat Diva mengambil tasnya di atas
meja, lalu berlalu pergi, “dadaahhh, have
a nice weekend,” serunya sambil melambaikan tangan dan menghilang di balik
pintu.
Kala tercenung
memandangi punggung Diva yang perlahan menghilang. Panggilan Berna, memecah
keheningan di kepalanya, “Kal… aku ganti baju sebentar ya, tunggu disini.”
Kala tersenyum,
mengangguk dan membiarkan Berna berlalu ke kamarnya.
Kala tahu ini
semua tak benar. Kala tahu ada sesuatu yang Berna dan Diva sembunyikan. Kala
tahu mungkin kebenaran tentang hal ini akan melukainya. Kala tahu, firasatnya
berkata bahwa akhir semua ini akan menyedihkan. Namun kala belum ingin mencari
pembenaran atas apa yang sebenarnya jelas-jelas sudah ia ketahui ini. Kala
belum ingin, belum siap jika harus memecahkan hatinya hingga berkeping-keping
lagi.
¤¤¤
Setelah seharian
memutuskan untuk membiarkan Tita tenang terlebih dahulu dengan tidak
menghubunginya, Abad tetap melakukan kegiatan rutinnya setiap pagi; menjemput
Tita untuk berangkat kuliah bersama tak perduli entah Tita masih marah padanya
atau tidak, yang penting berusaha, pikir Abad.
Sebuah
kebetulan, Abad tiba di depan gerbang rumah Tita tepat ketika Tita baru
melangkahkan kaki keluar rumah.
“Pagi, Ta,” Abad
meraih tangan Tita yang berdiri dihadapannya, ditatapnya mata Tita lekat-lekat.
Tita membalas
tatapan itu sambil tersenyum sumringah, “pagi juga Bad,” Abad terkejut sebab dari
matanya Abad tahu, Tita tak menyimpan amarah apapun disana.
“Maafin aku ya,
aku tahu aku salah aku…”
“Bad… udah udah…
lupakan. Ga usah dibahas lagi, oke?” potong Tita cepat pada kalimat permintaan
maaf Abad. “Kamu jangan lupa datang di sidang akhir skripsi aku di gedung A
pertanian jam 9 nanti ya!”
Abad terdiam, terhenyak.
Ditatapnya Tita dari atas kebawah dengan seksama. Tita mengenakan baju kemeja
putih dengan rok hitam selutut, ia menyincing almamater di tangan kanannya,
serta membawa sebuah tas ukuran sedang berisi buku-buku. Astaga! Bagaimana Abad
bisa lupa hari ini adalah sidang akhir skripsi Tita? Abad nyaris limbung dalam
benaknya sendiri ketika menyadari beberapa bagian dirinya mulai mengikis Tita
dengan perlahan.
“Oh… iya,
Sayang, nanti aku pasti dateng,” Abad pura-pura tidak lupa. Sebisa mungkin ia
menyembunyikan mimik bingung dimukanya. “Yuk berangkat, nanti kamu telat,”
tandasnya kemudian, ingin segera mengakhiri percakapan itu.
¤¤¤
“Kal! Kala!”
Kala mengerem
langkahnya begitu mendengar seseorang memanggilnya dari belakang, ia memutar
tubuhnya dan mendapatkan Diva tengah berdiri diujung koridor kelas beberapa
belas langkah dibelakangnya, menatapnya lurus sambil tersenyum. Kala menelan
ludah, bingung harus bersikap apa, kejadian kemarin masih sangat mentah
dikepalanya.
Kala menarik
napas, lalu membalas senyum itu dengan canggung, kemudian kembali berjalan
memunggungi Diva. Seharusnya Diva tidak perlu bingung dengan sikap Kala
kepadanya, Kala rasa Diva lebih paham alasan dibalik semua ini.
Kala mempercepat
langkahnya meninggalkan gedung fakultas kedokteran, buru-buru ia hampiri
motornya di parkiran lalu bergegas berkendara menuju sembarang arah, entah
kemana, yang penting jauh-jauh dari Diva.
¤¤¤
Seusai sidang
akhir skripsi Tita, Abad memutuskan pulang duluan karena Tita ingin
menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya dengan pergi makan siang
bersama. Abad mengemudikan mobilnya menuju gerbang keluar kampus sambil
melamun. Kepalanya masih dipenuhi dengan bayangan Tita dan Kala yang datang
silih berganti.
Beberapa detik
Abad akan memutar kembali ingatan-ingatan kejadian selama lima tahun ia
berpacaran dengan Tita. Mulai dari mengantar gadis itu pulang pergi sekolah
hingga menjelma menjadi pulang pergi kuliah, lalu menemani gadis itu makan di
tempat-tempat favoritnya, hingga bayangan ketika ia bermain catur dengan ayah
Tita setiap kali Abad menyambangi rumah Tita.
Namun beberapa
detik setelah itu muncul wajah Kala secara utuh menggenang di pelupuk matanya.
Senyum gadis itu, wajahnya ketika memejamkan mata menghirup wewangian sawah,
kalimat-kalimat lucunya, piama yang ia kenakan di pagi itu, buku yang ia
jatuhkan ketika mereka pertama kali bertemu… Abad memukuli kepalanya sendiri,
sadar bahwa ia mengingat Kala justru ke hal-hal yang lebih jauh mendetail
ketimbang saat ia mengingat Tita. Kala… Kala… Kala… tubuhnya berdesir setiap
kali nama itu terngiang di kepalanya.
Abad mengarahkan
setir mobilnya ke kiri, semakin dekat menuju gerbang keluar kampus. Tepat
ketika Abad berhasil membelok, matanya menangkap sosok Kala tengah duduk di
halte bus kampus dengan tatapan kosong. Seperti ada magnet yang selalu
menariknya untuk berdekatan dengan gadis itu, sontak Abad menghentikan mobilnya
tak jauh dari motor Kala diparkirkan. Ia menghampiri Kala yang tak sadar akan
kehadirannya.
“Kal? “ Abad
menyentuh pundak kala hati-hati.
Pelan, Kala
mendongak, matanya menatap Abad dengan sayu. Ia bangkit berdiri dari duduknya.
“Bad…”
“Lo ngapain?”
Kala menggeleng,
sesak di dadanya yang sudah tak bisa lagi di bendung, membuat kelopak matanya
mengembung, siap menelurkan tetesan-tetesan air mata.
Abad terkejut
mendapati mata Kala berkaca-kaca, “Kal… lo kenapa?” dipegangnya kedua pundak
Kala dengan kencang.
Kala tak dapat
lagi menjabarkan isi hatinya, ia tak tahu lagi harus dengan kalimat apa semua
ini harus ia ungkapkan. Air mata satu persatu mulai membasahi pipinya. Tak
lama, ia merasakan tubuhnya hangat, Abad memeluknya.
“Kal… udah…
jangan nangis disini, kita pergi yuk, kita ngobrol ya, biar lo bisa cerita
semuanya sama gue. Mau kemana? Ke pantai?” Abad berusaha menenangkan Kala dan
membujuknya. Hatinya teriris melihat Kala menangis.
Kala mengangguk,
dilepaskannya pelukan Abad. Ditatapnya mata Abad sekali lagi, desiran yang
selalu ia rasakan ketika Abad didekatnya kembali datang, namun desiran itu
merambat keseluruh tubuhnya, tak lagi hilang dalam sekejap. Kala dapat
merasakan nafasnya menderu dengan hangat, aliran darahnya mengalir dengan
tenang kembali. Desiran itu seperti menghantarkan energi kebahagiaan pada tubuh
Kala. Ia tersenyum disela air matanya yang mulai mengering. “Iya, ke pantai
yuk. Tapi gue pulangin motor kerumah dulu ya.”
Abad tercenung,
tak percaya, ikut merasakan atmosfir luar biasa itu merasuk dalam dirinya. Kala
berhenti menangis seketika setelah dipeluknya. Ia merasa benar-benar menjadi
lelaki yang Kala butuhkan.
Abad mengangguk,
mereka pun bergegas pergi dari halte bus itu.
¤¤¤
Senja lahir sore
itu dengan sempurna, menumpahkan tinta jingga tak beraturan dengan mentari yang
malu-malu bersembunyi di balik awan putih.
Abad mengarahkan
mobilnya ke salah satu pantai di pesisir barat kota, selama perjalanan ia tak
berani mengajak Kala berbicara sebab gadis itu terus melamun dengan tatapan
kosong keluar jendela.
Sementara di
sisi lain, Kala sibuk mengatur denyut jantungnya yang naik berkali-kali lipat.
Berada di dekat Abad selalu berhasil membuat tubuhnya berdesir-desir hebat. Ia
sibuk mengatur nafas sementara kepalanya penuh dengan ingatan akan kejadian
dirumah Berna kemarin. Tidak… tidak… Kala tidak sedih lagi mengingat kejadian
itu, entah kenapa, disisi Abad semua terasa lebih baik dan hidup seolah mampu
dijalani seberat apapun masalahnya. Hanya saja ia tak tahu harus bersikap apa
sekarang, hatinya merasa ia akan rela rela saja melepas Berna, namun di sisi
lain justru yang membuatnya sedih sekali adalah kenyataan bahwa sahabatnya
berkhianat dibelakangnya.
Kala kembali
memutar memorinya pada kejadian-kejadian janggal akhir-akhir ini yang baru ia
sadari sekarang; Diva yang terus-terusan bertanya tentang alasan mengapa Kala
mencintai Berna, Diva yang sering mengangkat telepon diam-diam, tatapan mata Diva
yang selalu saja tampak bergemuruh ketika mendapati Berna menelepon Kala
dihadapannya.
Kala menghempas
tubuhnya semakin jauh ke sandaran kursi, kepalanya sakit luar biasa. Nyatanya,
ia tak takut kehilangan Berna, sebab kehilangan Diva lebih menyeramkan rasanya.
“Kal…”
Suara lembut
Abad membangunkan lamunan panjang Kala. Ia menoleh pelan.
“Sudah sampai.”
Kala mengedarkan
pandangannya keluar kaca mobil dan menemukan binar-binar keemasan terpantul
dari lautan yang hendak menelan matahari. Pikirannya perlahan mulai melunak.
Ia dan Abad
memutuskan untuk duduk di salah satu kursi kayu yang terletak tak jauh dari
bibir pantai. Pantai itu tampak sepi. Hanya ada tiga orang lain yang tampak
sedang berenang di tepian.
Abad menatap
wajah Kala yang sedang serius memandangi pijaran mentari yang semakin
menguning. Dari samping gadis itu terlihat cantik, semakin cantik jika
dipandang dari depan tentunya. Abad merasakan pusaran magnet itu semakin kuat,
ia ingin waktu bergerak lambat, ia ingin kebersamaan dengan Kala tak habis
dengan cepat, ia ingin Kala selalu didekatnya. Semakin lama dipandangi, Abad
dapat merasakan magnet itu semakin bergaung disekujur tubuhnya.
“Kal…” Abad
memanggil Kala lembut, yang dipanggil menoleh dengan anggunnya. Pendar mentari
yang menerpa wajah Kala membuat Abad semakin ingin tenggelam dalam wajahnya.
“Jadi, sudah bisa cerita sekarang?”
Kala tersenyum,
memperbaiki posisi duduknya, menarik nafas panjang, lalu menatap mata Abad
dalam. “Sebelumnya gue mau bilang makasih banyak karena elo udah repot
jauh-jauh nganterin gue kesini cuma mau dengerin gue curhat.”
“Enggak, Kal. Ga
ada yang ngerasa direpotin kok. Gue ngelakuin ini ya karena memang gue mau.
Panggilan dari hati,” kalimat itu tercetus dengan spontan dari mulut Abad,
membuat Kala senyum-senyum sendiri mendengarnya. Namun berselang beberapa
detik, mimik wajah Kala berubah menjadi serius.
“Bad… pacar gue
selingkuh sama sahabat gue sendiri.” Tanpa aba-aba Kala langsung berbicara ke
inti cerita.
Abad terhenyak,
“lo tau darimana? Liat sendiri?”
Kala pun
menceritakan secara detail kejanggalan-kejanggalan yang ia temui hingga
kejadian dirumah Berna kemarin. Abad terdiam mendengar semuanya.
“Tapi gue gatau
kenapa, gue ga sedih kalau mesti kehilangan Berna, Bad. Entah kenapa hati gue
bilang ikhlasin aja. Gue tuh ngerasa hati gue kayak memang udah ga ada tempat
lagi untuk dia entah sejak kapan. Perasaan sayangnya mulai terkikis,” Kala
menarik nafas panjang, “yang bikin gue sedih itu justru kalau gue harus
kehilangan Diva, gue ga siap dan gue gamau itu kejadian.”
“Kal, kalau
memang lo ikhlas melepas Berna untuk Diva, lo bicarain langsung baik-baik ke mereka, lo jelasin
semuanya, supaya lo ga kehilangan siapa-siapa. Sebelum semua kesalahpahaman ini
makin jadi,” Abad menyentuh pundak Kala, “Kalau lo bisa ikhlas ngeliat mereka
bersatu demi kebahagiaan mereka, lo ga bakal kehilangan apapun, Kal. Bahkan
Berna juga bisa jadi sahabat lo.”
Kala mencerna
kalimat Abad barusan dengan perlahan. Ia tahu ini tidak akan semudah itu. Ia
sendiri masih bingung bagaimana caranya mengungkapkan hal ini di hadapan Berna
dan Diva. Kala sendiri belum paham apa yang harus tubuhnya perbuat.
Kala menyentuh
tangan Abad yang mengenggam pundaknya erat, “Bad… perkataan lo barusan itu
bener banget. Sekarang tinggal gimana cara gue mengeksekusinya. Makasih ya,
Bad.”
Abad tahu, di
sinar mata Kala yang memantulkan rona jingga sore itu, ia semakin tenggelam,
makin dalam dan jauh pada rasa yang tak bisa ia jelaskan bagaimana rupanya.
“Kal…” Abad memecah keheningan setelah sekian detik
matanya dan Kala saling beradu tatap. “Kenapa lo suka pantai?” entah kenapa
pertanyaan itu meluncur begitu saja, seolah ada yang menggelitik lidah Abad
untuk menanyakannya.
Kala spontan
langsung sumringah, ada begitu banyak kalimat yang siap meluncur dari mulutnya,
otaknya sedang memilah milih kata yang pas. “Karena suara ombak yang beradu
dengan pasir itu kayak magic. Lo
dengerin suara itu baik-baik, setiap hantaman ombaknya, bum! Kaya energi
listrik yang ngalirin semangat.”
Abad menangkap
mata Kala begitu berapi-api menjelaskan kalimat itu. “Lo itu emang unik ya.”
Abad terkekeh.
“Ya iya lah. Gue
kalo lagi marah bisa berubah jadi kutil.”
“Loh kok jadi
kutil?”
“Ya gapapa,
pengen aja, hahahahaha.”
Sore itu, Kala
sadar manusia abstrak di hadapannya ini telah berhasil membawanya jauh ke dalam
gerbang kebahagiaan bahkan sebelum pintu kesedihan dibelakangnya tertutup
rapat. Abad… Kala tahu lelaki ini memang tiada duanya.
¤¤¤
Sepulangnya dari
pantai, Kala meminta Abad mengantarkannya ke salah satu kafe penjual jus
kesukaannya, berhubung jaraknya tak jauh dari rumah, Kala meminta Abad pulang
tak usah menemaninya, Kala rasa ia butuh waktu sendiri saat ini, mencerna
apa-apa yang belakangan ini terjadi.
Kala memesan jus
alpukat dan roti bakar cokelat, kemudian mengeluarkan buku yang sedari tadi ia
bawa di tas jinjingnya. Membaca, membuat Kala dapat berlari dari situasi yang
memusingkannya ini.
Kala sibuk
membolak-balik halaman buku sambil terus meneyeruput jus didepannya. Ketika ia
sadar jus di gelasnya tandas, Kala menurunkan bukunya, celingukan mencari
pelayan, hendak memesan satu gelas lagi. Namun matanya justru tertuju pada
sebuah mobil yang terparkir di toko kue di seberang kafe, ia sangat mengenali
mobil itu, mobil Berna.
Buru-buru Kala
membereskan bukunya dan membayar di kasir, lalu pelan-pelan berjalan mendekati
mobil yang terparkir di bawah pohon itu. Kala melirik jam tangannya, pukul 10
malam, kotanya di jam-jam segini memang sudah sepi, hanya tampak satu atau dua
kendaraan yang lewat di jalan raya. Kala mengendap, mendekati mobil dari bagian
belakang, terlihat siluet-siluet dua orang yang sedang berbicara di kursi depan.
Tak lama berselang, tampak siluet-siluet seperti api-api kecil yang menyala,
Kala memandanginya sesaat kemudain tersadar itu adalah siluet lilin. Sedang
merayakan apa mereka?
Rasa penasaran
yang tak dapat lagi dibendungnya membuat kaki Kala bergerak menuju bagian depan
mobil. Kala berdiri tepat di depan kaca mobil utama dan dengan mata kepalanya
sendiri berhasil menyaksikan Berna dan Diva tengah berciuman dengan tangan Diva
yang masih membawa kue tart dengan lilin-lilin kecil diatasnya. Beberapa detik,
mereka berdua tampak begitu khusyuk hingga tidak sadar Kala menyaksikan adegan
itu dengan air mata hampir meleleh tepat di hadapan mereka.
Berna melepas
ciuman itu terlebih dahulu, menatap mata Diva sambil tersenyum, sebelum
akhirnya ia sadar ada sesosok manusia berdiri tepat di depan mobilnya.
“Kala…” desis
Berna pelan, tak percaya, matanya membulat sempurna. Sementara Diva disampingnya
hanya mampu tercenung, tangannya gemetar, kue yang ia pegang nyaris jatuh.
Kala bergerak
menuju kaca disamping kursi pengemudi, air matanya telah berjatuhan satu
persatu sedari tadi. Berna menurunkan kaca itu, kemudian hendak membuka pintu.
“Jangan keluar!” sentak Kala.
Dari kaca yang
telah terbuka Kala mampu melihat tulisan diatas kue tart itu dengan jelas, “It’s our 6th Months, Babe!”
Kala tak tahu
lagi harus dengan kalimat apa ia menjelaskan betapa ia ia hancur saat ini.
Seperti ada yang melempar granat padanya secara bertubi-tubi, telinganya nyaris
tuli tak mampu mendengar lagi, seluruh bagian tubuhnya terluka dibagian yang
tak nampak, Kala remuk dengan begitu sangat, pecah dengan begitu berkeping. Air
matanya semakin mengebah, bak bendungan yang jebol sebab didera badai setahun
berkepanjangan.
“Kal…” Berna
memaksa membuka pintu mobil, namun tangan Kala menahan gerakan itu.
“Ber… Div… gue
tahu suatu saat hal ini bakal kebongkar. Tapi gue ga tahu kalau kebongkarnya
dengan cara sesakit ini,” Kala terisak, “gue tahu kalian berdua ada hubungan,
gue tahu. Semua sudah ada pertandanya sejak beberapa bulan lalu. Gue milih diem
karena gue belum siap terluka. Gue belum siap kalo harus patah lagi.”
Diva dengan
gerakan cepat menaruh kue di kursi belakang, lalu hendak membuka pintu, “Div!
Diem disitu aja!” tahan Kala, Diva kembali lagi di posisi semula, terduduk
dengan wajah menunduk di kursinya, matanya juga sudah basah.
“Ber… demi
Tuhan, gue bukan takut kehilangan lo, lelaki di dunia ini banyak, Ber… banyak
banget! Tapi gue takut gue kehilangan Diva. Dimana lagi, Ber, gue bisa cari
sahabat kaya Diva, dimana? Gue takut ketika hal ini terjadi, persahabatan gue
dan Diva rusak, itu yang gue gamau!”
“Kal… dengerin
gue dulu…”
“Lo kenapa sih,
Ber, nyari selingkuhan kok sahabat gue sendiri? Kenapa?” nada suara Kala
semakin menjadi, untungnya jalanan kota telah sepi, sehingga tak banyak yang
menyaksikan adegan dramatis itu.
Berna tak tahan
lagi, dengan cepat ia membuka pintu disaat Kala sedang lengah, lalu memeluk
gadis itu dengan erat. Berna dapat merasakan bajunya basah dengan sekejap, air
mata Kala tumpah dalam pelukannya.
“Kal… maafin gue
ya, Kal… gue ga tau sejak kapan hal ini bermula. Tapi semakin lama, gue ngerasa
kalau gue cintanya sama Diva, Kal... gue udah ngerasain hal ini sedari dulu ke Diva,
tapi gue selalu nyangkal karena gue pikir gue sama dia sahabat dan Diva juga ga
suka sama gue.” Berna mengelus puncak kepala Kala dengan lembut, menenangkan
sembari menjelaskan. “Gue tahu, Kal, cara ini salah. Gue tahu, gue bego banget
dengan ngelakuin hal ini, tapi hati gue gabisa bohong, Kal… semenjak gue
menangkap sinyal kalau Diva juga sebenernya sayang sama gue, gue gabisa nahan
diri gue untuk…”
“Berhenti, Ber…
berhenti…” Kala memotong perkataan Berna. Dilepasnya pelukan itu dan ditatapnya
mata Berna dengan nyalang. "Ber, gue juga sebenernya akhir-akhir ini udah
ngerasa kurang nyaman sama lo, dengan segala sikap lo yang otoriter, makanya
gue memilih ga perduli dengan apapun yang lo lakuin di belakang gue. Satu yang
gue takutin, kehilangan Diva, udah itu aja. Bukan kehilangan lo ataupun yang
lain.” Kala menelan ludah, “Ber, gue ikhlas lo sama Diva, demi Tuhan gue
ikhlas, silahkan kalian menjalin hubungan, sudah enam bulan, kan? Jangan sampe
kandas karena ketahuan sama gue kaya gini. Lo harus bahagia, Ber, sama Diva. Lo
harus bikin sahabat gue bahagia,” air mata Kala satu persatu mulai menetes
lagi.
“Kal… makasih
ya… gue gatau harus bilang apa lagi buat berterimakasih atas kebesaran hati
lo.”
Tanpa disadari
Kala, diam-diam Diva membuka pintu mobil, mendekati Kala, lalu memeluk Kala
dari belakang. “Kal…” panggil Diva lirih, “maafin gue…”
Kala berbalik,
memeluk Diva erat, “lo ga salah apa-apa, Div. Gue yang salah karena hadir jadi
benalu diantara kalian yang dari dulu udah saling sayang,” Kala melepas pelukan
itu, lalu menatap Diva lekat-lekat, “Div, gue ga akan kehilangan lo kan?”
Diva menggeleng
kuat-kuat, isakannya semakin menjadi, “Kal, yang seharusnya nanya kaya gitu itu
gue, apa lo masih mau sahabatan sama pengkhianat ini, Kal? Gue banyak dosa,
Kal, sama lo. Gue nusuk elo dari belakang.”
“Div, justru gue
yang takut lo jadi ngerasa ga enak atau canggung setelah kejadian ini. Plis,
bersikap biasa aja, gue ga benci elo ataupun Berna. Kalian sahabat gue
sekarang.” Kala kembali membenamkan pelukannya pada tubuh Diva. Sementara itu Berna
tak mampu menahan gemuruh didadanya, ia menyaksikan kejadian itu dengan mata
berkaca-kaca.
LONG DISTANCE RELATIONSHIP
Waktu bergulir,
dua bulan semenjak kejadian di depan toko kue itu, Kala, Diva dan Berna semakin
akur dan tak lagi sungkan menunjukkan keakraban mereka di depan khalayak umum.
Kala tak merasa canggung ketika ia sempat beberapa kali menemani Berna dan Diva
pergi, ia juga tak risih jika sekarang telinganya kerap mendengar cerita tentang
Berna dari mulut Diva. Ia justru merasa sangat ikut berbahagia atas keduanya,
tak perduli orang-orang diluar sana mencibir Diva sebagai perusak hubungannya
dengan Berna, baginya Diva tetaplah sahabat terbaik. Perihal kejadian itu Kala
telah menerimanya secara utuh sebagai takdir. Mengikhlaskannya.
“Kal, gue duluan
ya, Berna udah di depan,” Diva buru-buru memasukkan semua bukunya kedalam tas
lalu meninggalkan Kala duduk sendirian di salah satu sudut perpustakaan kampus
mereka.
Kala memandangi
tubuh Diva yang hilang ditelan pintu keluar sambil tersenyum. Dalam hati ia
berdoa semoga ia lekas mendapatkan bahagia yang sama.
Kemudian ia
kembali memusatkan perhatian pada laptop dihadapannya, merevisi skripsinya yang
baru saja dikonsulkan. Tepat lima menit setelah itu, ponselnya berbunyi, nama
Abad muncul disana.
¤¤¤
“Bad! Ngapain?!”
teriak Kala dari ujung pintu atap gedung fakultas kedokteran itu, tempat
favoritnya jika ia sedang ingin sendiri. Abad menunggunya disana, pandangannya
tertuju pada hamparan kota.
Kala berlari
kecil menghampiri Abad, Abad kontan menoleh dan tersenyum mendapati gadis itu
berdiri di hadapannya.
“Lo lagi
revisian? Udah kelar?”
Kala mengangguk,
“udah, gue mau seminar akhir bulan depan soalnya.”
Abad mengangguk,
“Kal, gue mau cerita.” Ucapnya kemudian langsung pada tujuan.
Kala ikut
memosisikan tubuhnya duduk pada bangku kecil panjang sama seperti Abad, kedua
matanya menatap Abad nanar, “cerita apa?”
“Tita.”
“Tita?”
“Iya.”
“Kenapa dia?”
Abad menarik
napas panjang, “dia mau kerja di pulau seberang,” Abad kemudian menyebutkan sebuah pulau
terbesar di negara ini.
Kepala abad
memutar kembali kejadian dua minggu lalu ketika sepulangnya ia mengantar Tita
dari acara wisuda kekasihnya itu, tanpa aba-aba Tita langsung menceritakan
rencananya untuk bekerja di kota pulau seberang. Disana ia sudah diterima
disebuah perusahaan penghasil jamu ternama.
Abad… entah
kenapa yang berkecamuk di kepalanya bukan lah rasa takut kehilangan pun
berjauhan dari Tita, ia justru bingung ketika kepalanya malah dipenuhi dengan
rasa lega seolah ada suatu beban yang terlepas dari pundaknya. Rasa itu lah
yang kini menghantui hari-harinya. Ia bingung dengan isi kepala dan tubuhnya
sendiri. Di depan Tita ia hanya bisa berpura-pura memasang muka murung setiap
Tita bertanya “kamu ga sedih mau jauhan sama aku?” padahal nyatanya, isi
hatinya tak berkata begitu.
“Bad… lo pasti
sedih banget ya mau LDR?”
Abad tercenung,
diam seketika mendengar pertanyaan Kala. Bukan, Kal… bukan… gue justru gatau
kenapa gue ga sedih… gue bingung…
“Kal…” panggil
Abad pada Kala yang tengah sibuk memandangi hamparan pemandangan kota.
“Mmm…”
“Pernah ga lo
ngerasa lo tiba-tiba ga cinta lagi sama seseorang?”
Kala menoleh
pelan pada Abad, mata mereka beradu, seolah saling bercerita akan satu hal yang
sama. Sepintas bayangan Berna lewat di benak Kala. Lelaki itu… iya… Berna…
cintanya pada Berna hilang tak menjejak setitikpun bahkan sebelum ia tahu Berna
berselingkuh dengan Diva. Kala tahu sekali rasanya. Kala juga sebenarnya mulai tahu
apa yang menyebabkan hal itu, meski ia belum teguh yakin, ia masih juga sama
bingungnya.
“Pernah.” Jawab
Kala singkat akhirnya.
“Kapan?”
“Kemarin.”
“Kemarin.”
“Iya. Sama
Berna.”
“Kenapa bisa
gitu?”
Kala menggeleng,
“aku gatau. Semuanya tiba-tiba. Aku juga bingung.” Kala menarik nafas panjang,
“memangnya kenapa?”
Abad menggenggam
tangan Kala pelan, “Kal, kayanya gue lagi ngerasain kaya apa yang lo rasain ke
Berna kemarin.”
¤¤¤
Kala terduduk di
kamarnya, ponselnya ia biarkan berbunyi, tak di perdulikannya siapapun itu yang
menelepon. Pikirannya sedang benar-benar berusaha menerima kejadian tadi sore
diatap gedung itu.
“Kal, sepertinya, aku jatuh cinta sama kamu.” Abad
tiba-tiba mengubah kata “gue-elo” dalam dialog mereka menjadi “aku-kamu” seolah
menandakan yang ia ajak bicara saat ini bukanlah orang yang ia anggap
sembarangan lagi. “Semua hal yang ada di kepala aku itu tentang kamu, rasa sayang aku ke Tita itu pelan-pelan
terkikis semenjak aku sadar ada orang lain yang buat aku lebih nyaman… dan itu
kamu.”
Kala merasakan
kepalanya berdenyut sepuluh kali lebih hebat ketika adegan itu terulang di
kepalanya.
“Kal… aku tahu mungkin ini kurang pantas. Tapi aku
gabisa nyalahin cinta dan sayang yang pelan-pelan tumbuh,” Abad menatap mata
Kala dengan dalam, genggaman tangannya semakin erat, “Kal… aku ga sedih sama
sekali Tita pergi jauh. Sumpah demi Tuhan. Aku malah ngerasa aku bebas ga ada
dia. Aku gabisa lagi ngerasain rasa kehilangan dan sedih ke Tita karena pikiran
aku semuanya sudah penuh dengan kamu.”
Kala benar-benar
nyaris limbung. Hujan yang perlahan turun diluar jendela kamar, membuat hatinya
semakin mendayu-dayu.
“Kal… ini bukan rayuan… bukan gombal. Aku serius. Aku
juga gatau sejak kapan rasa ini mulai ada, tapi yang jelas sejak pertemuan
pertama kita aku tahu kamu beda. Ada suatu magnet yang membuat aku pengennya
terus ada di dekat kamu dalam waktu lama. Aku juga awalnya bingung ada apa sama
diri aku. Sampai akhirnya aku sadar pelan-pelan. Kal… aku jatuh cinta
sejatuh-jatuhnya dengan kamu.”
Hujan semakin
lebat, petir semakin menggelegar.
“Sangkala Indah Lestari, Abadi Kusuma Negara telah
jatuh cinta dengan dentuman yang begitu besar, dengan aliran yang begitu
bandang, dengan kedalaman yang tak terukur lagi padamu.”
Kala nyaris
menjatuhkan tubuhnya yang sedang begitu dahsyat menerima ribuan hujaman
perasaan tepat ketika ponselnya berbunyi entah untuk yang keberapa kalinya.
Kala mengambil
ponsel itu dan mendapati nama Abad terpampang jelas disana.
“Kal… Kala…”
Abad menyahut tenang, namun nada panik terselip disana.
“Iya?”
“Kamu gapapa?
Maafin aku…”
Kala terdiam,
kepalanya kembali memutar saat dimana ia bangun tiba-tiba dari duduknya dan
berlari sekencang mungkin meninggalkan Abad sendirian di atap gedung. Tidak…
Kala belum siap… Kala belum siap untuk semua ini.
“Bad… aku
gapapa, aku butuh sendiri aja dulu, oke?”
¤¤¤
Bersambung~~~~~