Kamis, 28 Juni 2018

Mengabadikan Kala (sebuah cerita bersambung) part I




DIA ADALAH ABAD… DIA ADALAH KALA…

Namanya Abadi Kusuma Negara, orang-orang biasa memanggilnya Abad. Terlahir dari keluarga pemilik salah satu lumbung beras terbesar di kotanya, membuat hidupnya serba berkecukupan. Teman-temannya mengenalnya sebagai sosok perfeksionis, berjiwa pemimpin dan ambisius namun acak. Ya, acak, cukup acak bila dilihat dari sudut pandang mata manusia dengan mimpi-mimpi dan pemikiran-pemikirannya yang absurd. Ya, namanya Abad, mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Arsitektur itu adalah salah satu manusia dengan isi kepala yang luar biasa abstraknya.
“Abad pergi kuliah dulu, Yah,” diciuminya tangan lelaki tua yang sudah 22 tahun merawatnya sedari kecil itu, Ayahnya, Wijayanto Kusuma Negara. Parasnya masih tak tergerus usianya yang kini menginjak 55 tahun. Jika disandingkan, Wijaya dan Abad tidaklah jauh berbeda dari segi fisik, bahkan wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua.
“Iya. Hati-hati,” balas Ayah sambil lalu kemudian kembali bergumul dengan koran di hadapannya.
“Bu, Abad pergi, assalamualaikum!” Teriaknya dari ambang pintu pada sang ibu yang sedang memanggang roti di ruang makan, kemudian langsung berlari menuju garasi, menghidupkan mobil kesayangannya lalu beranjak pergi.

¤¤¤

Suara speker dari kamar gadis itu, memecah keheningan pagi di seluruh sudut rumahnya. Rasanya masih terlalu dini untuk menyetel lagu-lagu hip-hop dengan volume sebesar dentuman granat pada saat matahari baru hendak meninggi. Namun tak diperdulikannya, ia justru semakin tenggelam dalam kesibukan mematut dirinya di cermin sembari bersenandung.
“Mamaaaaaaaa... kakak nih mah berisik banget aku pusing!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari luar kamarnya, sontak gadis itu beranjak kemudian dengan santai melongokan kepalanya dari balik daun pintu, didapatinya si pelaku peneriakan tengah berkacak pinggang di depan pintu kamarnya sambil memasang air muka kesal. Ialah tak lain tak bukan, adiknya sendiri, Maryam.
“Heh, elo tuh ya rese banget sih. Gue sengaja pasang musik kenceng-kenceng tiap pagi biar lo bangun pagi terus sekolahnya gak kesiangan. Terimakasih seharusnya sama gue, dasar kebo.”
“Eh eh eh kenapa ini?” seorang wanita paruh baya yang dipanggil Mama itu datang menyelahi pertengkaran keduanya. Air mukanya tampak tenang sebab baginya ini hal biasa, karena hampir setiap pagi selalu saja begini; si bungsu akan mengomel karena si sulung menyetel musik dengan volume yang mampu membangunkan separuh dari penduduk komplek perumahan yang mereka tinggali. “Udah udah sana, Maryam, kamu mandi, mau sekolah nanti kesiangan.” Wanita itu menggiring anak bungsunya menuju kamar mandi.
Sedangkan gadis itu, si sulung, kembali duduk di depan cerminnya, mengoleskan beberapa macam jenis krim, sembari bersenandung. Tak perduli.
Namanya Sangkala Indah Lestari, Kala adalah panggilan yang diberikan orangtuanya sedari kecil. Tingkahnya aneh, nalar dan pikirannya kadang tak mampu di tebak, jiwanya meledak-ledak, hobi dan kesukaannya tak mampu dipahami. Ya, namanya Kala, gadis belia semester akhir jurusan kedokteran itu, adalah salah satu manusia terunik yang pernah ada.

¤¤¤

Jam baru menunjukkan pukul 7 pagi, mentari masih bersembunyi dengan enggan dibalik awan yang sedikit memerah, embun masih basah, udara pagi di kota dengan curah hujan tinggi ini membuat siapapun yang hendak keluar rumah pastilah menggigil, namun Abad justru melajukan kendaraannya menembus jalanan yang penuh kabut dengan santai, AC dimobilnya disetel ke angka tertinggi, tape dihidupkannya kencang, perduli apa, pikirnya.
Ia menuju ke timur kota, ke salah satu perumahan pegawai negeri di kotanya. Seperti biasa, satpam perumahan itu telah hapal mobil dan wajah Abad, tak sebersit keraguan sedikitpun baginya untuk membukakan portal. Abad membuka kaca, lalu melempar sebungkus rokok, “makasih, Bang!” sapanya ramah sambil cekikikan, kemudian melajukan mobil ke arah kiri, menuju sudut komplek paling timur.
Tiba di depan sebuah rumah, dikeluarkannya ponsel, menelpon, “aku di depan... oke...” singkat, sambungan telepon itu mati. Abad membuka pintu mobil, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
“Selamat pagi,” tak lama, seorang gadis datang menyapanya, berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. Senyumnya nampak merekah, manis, dan menyejukkan. Namanya Tita, gadis yang sudah dipacari Abad 5 tahun lamanya.
“Ngerokok dulu ya, sebentar. Ayah Ibu kamu mana?” tanya Abad sambil terus menghisap puntung rokoknya.
“Udah berangkat. Oh iya, kamu udah revisi skripsi kamu yang kemarin dicoret Pak Dayat?”
“Udah.”
“Beneran? Nanti kejadiannya kayak kemarin, kamu tetep ngotot gamau ngerubah apa yang direvisi sama Pak Dayat karena...”
“Karena menurut aku itu bener?”  potong Abad pada kalimat Tita sambil membuang puntung rokoknya yang tersisa setengah, “ya memang itu bener, menurut aku apa yang udah aku tulis itu rumusannya udah bener sesuai dengan yang aku baca di buku. Tapi yasudahlah, daripada aku ga lulus-lulus karena berdebat sama dosen kolot satu itu, mending aku turutin aja maunya.”
Tita menarik nafas panjang, Abad memang tidak pernah mau merubah sifat keras kepalanya. 5 tahun bersama, Tita sangat paham bahwa Abad adalah orang yang tidak ingin dibantah, ia ingin selalu menang dalam setiap perdebatan, merasa dirinya yang paling benar. Bahkan dulu waktu masih SMA, Abad pernah memusuhi guru agama mereka di sekolah karena berdebat dengannya soal beberapa hukum agama. Selama ini, Tita memang banyak bersabar dan mengalah dengan sifat Abad yang satu ini. “Ya sudah, ayo berangkat,” Tita melesat masuk ke dalam mobil, dan mobil itu kembali membelah jalan dengan kabut yang sudah mulai menipis.

¤¤¤

Kala berjalan memasuki gedung jurusannya dengan santai, dijinjingnya beberapa buah novel yang baru ia beli kemarin dari toko buku. Disapanya beberapa teman seangkatannya yang nampak duduk di koridor sambil sibuk memegang buku catatan. Kala tahu, hari ini akan ada uji blok, tapi ia tak perduli, ia tak suka belajar dengan cara monoton seperti itu. Kala lebih suka belajar dengan caranya sendiri, memahami apa yang dosen jelaskan saat kelas berlangsung, mendengarkan sembari mengingat tanpa mencatat apapun. Kemudian untuk selanjutnya, ia lebih memilih membiarkan keberuntungan ingatannya yang menggiringnya mendapat nilai baik. Oleh sebab itu, dimata teman-teman sekelasnya Kala adalah mahasiswi kedokteran ajaib, bayangkan saja dengan cara belajar aneh seperti itu ia selalu mampu mendapat nilai tinggi di setiap ujian. Bahkan teman-teman sekelasnya hapal bahwa isi tas yang selalu dibawa Kala setiap berangat kuliah tidaklah jauh-jauh dari novel ataupun buku-buku bacaan diluar pelajaran, ia tak pernah membawa buku catatan dan pena.
“Kal, ntar nyontek ya,” seloroh Diva, teman dekatnya, saat Kala baru mendaratkan diri di atas kursi kelas.
Kala mengangkat tangannya, membentuk posisi hormat, “siap laksanakan.” Kemudian ia terkekeh kecil.
“Lo mah enak ga belajar aja nilainya gede, lah gue, mau belajar jungkir balik juga nilainya segitu-gitu aja,” celoteh Diva sambil mengambil posisi duduk disamping Kala dan mengunyah cemilan yang ia bawa.
Kala hanya tersenyum kecil membalas pernyataan itu, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

From: Berna
I’m on ma way to duty. Take care of yourself. Semangat kuliahnya, Sayang.

Kala tersenyum membaca pesan singkat itu.
“Ciyeeee, Berna romantis banget ya. Tiap hari ga bosen nyemangatin lo,” Diva rupanya sedari tadi mengintip pesan yang dibuka Kala di ponselnya.
Kala mendelik tajam, “yeee dasar kepo.”
“Dia tugas di luar kota lagi?” tanya Diva tanpa basi-basi demi membunuh penasarannya.
Kala mengangguk seadanya.
“Hahahahha, sabar... sabar... resiko punya pacar polisi. Doain aja dia ga mati disana.”
“Diva! Ih rese banget.” Kala mencubiti Diva hingga gadis berambut keriting dan kulit sawo matang itu mengaduh-aduh dan minta ampun.

¤¤¤

Senja datang, aktivitas di salah satu kampus bergengsi di kota dengan curah hujan tinggi itu mulai sepi. Langit mulai abu-abu dan kemudian tak lama lagi akan menggelap. Kabut tak lagi ada, digantikan dengan semilir angin sore yang dinginnya merasuk hingga ke tulang.
Di salah satu gedung tiga lantai dengan tulisan “PERPUSTAKAAN” besar di depannya, Abad bergumul dengan bertumpuk-tumpuk buku. Dibukanya halaman per halaman dengan wajah gusar dan kesal, mencari-cari sesuatu dengan bingungnya. Nyaris satu jam dan ia belum berhasil menemukan materi yang diminta dosen pembimbingnya untuk ditambahkan dalam skripsi yang sedang ia buat. Putus asa, ia menendang kaki meja dengan sekuat tenaga. “Dosen sialan,” gumamnya kecil namun tajam.
Abad bangkit, mengembalikan satu persatu buku-buku yang ia ambil ke tempatnya, lalu memilih untuk pulang.

¤¤¤

Kala berlari-lari kecil menuruni anak tangga, dilihatnya jam tangan dengan gusar. Pukul setengah enam. Konsultasi skripsi dengan pembimbing yang lebih banyak curhat mengenai kehidupan pribadi ketimbang dengan merevisi memang menyita lebih banyak waktu. Kala mempercepat langkahnya kearah belakang kampus, ke sebuah gedung tiga lantai yang sangat disukainya itu. Tapi kali ini tujuannya bukanlah menghabiskan waktu untuk membaca novel selama berjam-jam seperti biasanya, melainkan meminjam beberapa buku referensi untuk mengerjakan revisi skripsinya malam nanti.
Bertepatan saat kaki kala menjejak gedung belakang, matanya menangkap sosok penjaga perpustakaan, Bu Yurti, melangkah menjauh menuju parkiran. Kontan Kala menghentikan langkahnya, tertunduk lemas. “Telat sepersekian detik doang, pfffttt...” gumamnya gemas.
Matanya beralih kearah pintu perpustakaan dan mendapati sesosok laki-laki tengah berdiri di depan pintu sambil menelepon, ia tak mengenali lelaki itu, nyaris 4 tahun berkuliah, baru kali ini ia benar-benar melihat sosok itu. Setelan bajunya yang rapi dengan kemeja dan sepatu pantofel mengkilat dan membawa beberapa buku tebal membuat kala detik itu juga teringat perkataan Bu Yurti 3 hari lalu bahwa akan ada pustakawan laki-laki baru yang bekerja di perpustakaan kampus. Apa ia penjaga perpustakaan baru yang Bu Yurti maksud? Bohlam benderang langsung timbul diatas kepalanya. Masih ada kesempatan cari buku, pikir Kala.
“Hey, Mas! Mas! Mas!” panggilnya spontan dengan kencang sambil berlari menuju lelaki itu. Lelaki yang dipanggilnya itu tampak celingukan, mencari-cari siapa yang dimaksud gadis itu dengan panggilan “Mas”
“Mas penjaga perpus bukan ya? Saya mau pinjem buku nih, tolong bukain dong, Mas perpusnya, bentar aja, plis” seloroh Kala tanpa basa-basi ketika mereka berdua tepat berhadapan.
Lelaki itu mengernyit untuk sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak, “bukan bukan... gue mahasiswa juga disini...” ia kemudian geleng-geleng kepala sambil tetap tertawa, “bisa-bisanya lo nyangka gue penjaga perpus ya ckckck.”
Kala melongo kemudian menundukkan kepala, malu, pipinya tampak menyemburat merah. “Maaf, gue gatau. Maaf maaf maaf.” Kala menundukkan kepalanya berkali-kali. “Gue pulang dulu, permisi.” Kala berlari kecil meninggalkan lelaki yang masih sibuk tertawa itu sambil menutupi wajahnya menggunakan tangan. Ia nyaris menabrak tong sampah dua kali, sebelum kemudian berlari sekencang-kencangnya menuju parkiran.
Abad tersenyum melihat kejadian itu dari kejauhan sebelum akhirnya ia menyadari gadis itu meninggalkan sesuatu di tempatnya berdiri tadi. Abad memungut benda itu; sebuah buku dengan judul tentang revolusi 1998, alisnya naik beberapa senti mendapati bahwa itu adalah salah satu buku favoritnya. Dibukanya halaman pertama dan ia menemukan sebuah nama “Sangkala Indah Lestari”

¤¤¤

Malam tiba, gerimis kecil sibuk mengguyuri seluruh kota, menebar dingin menusuk, membuat tubuh tak ingin jauh-jauh dari selimut. Di teras belakang rumahnya, Abad tampak sibuk menyeruputi kopi sambil membakar puntung-puntung rokok. Asap mengebul tak henti-henti, untuk kemudian terpecah oleh angin yang bertiup dengan semaraknya.
Disamping kopinya teronggok sebuah buku dengan halaman pertama yang terbuka. “Sangkala Indah Lestari,” gumamnya. Ia memerhatikan buku itu lamat-lamat. Yang tak habis-habis dipikirkannya sejak menemukan buku milik gadis itu tadi sore adalah, masih ada manusia seusianya yang suka membaca buku usang seperti ini, perempuan pula, cantik pula, ahhhh… Abad pikir ia satu-satunya makhluk penyuka buku-buku kolosal zaman dahulu di bumi ini yang tersisa. Teman-temannya selalu bilang buku-buku bacaan Abad terlalu tua, berat, isinya tidak sampai di kepala, tentang komunisme lah, kapitalisme lah, peradaban agama-agama zaman dahulu lah, tafsir-tafsir kitab lah.
“Siapa kamu ini sebenarnya, anak jurusan politik kah?” Tanya Abad pada dirinya sendiri, mengira-ngira.
Penasaran, Abad membuka portal website data mahasiswa kampusnya, diketiknya nama itu. Beberapa detik setelah nama itu muncul di hasil pencarian, Abad dibuat melongo, setengah tak percaya setengah percaya. “Anak kedokteran? Semester akhir?” lagi-lagi ia bertanya pada dirinya sendiri. “Sempurna,” ucapnya lalu sambil tersenyum kecil, kemudian mematikan ponsel, membuang puntung rokoknya yang hampir habis dan menandaskan kopinya yang tersisa dalam sekali teguk.

¤¤¤

“Kal…” Diva menyenggol-nyenggol lengan Kala yang sedang sibuk duduk di bawah ranjang sambil membaca. Seperti biasa, di malam-malam tertentu Diva akan tiba-tiba datang sesuka hati kerumah Kala jika rumahnya sedang sepi. Maklum, anak itu penakut sekali, tak pernah berani ditinggal Ayah Ibunya seorang diri.
“Mmmmm…” sahut Kala malas. Ia sedang membaca, malas diganggu.
“Lo kenapa bisa cinta sama Berna?”
Kala mendongak, menatap Diva heran. “Kenapa ya? Karena dia yang gue cari mungkin.” Jawabnya singkat kemudian kembali fokus pada bukunya.
“Mungkin? Lo gak yakin dong berarti?”
“Yakin”
“Masa?”
“Emang kenapa?”
Diva diam beberapa saat lalu membenamkan wajahnya kedalam bantal, “gapapa.”
Kala menutup buku tentang astronomi yang sedang dibacanya kemudian merapat kesamping Diva, “lo lagi jatuh cinta, ya?” tanyanya dengan nada jahil.
“Doain aja, semoga engga.”
Kala mengernyit, “loh kok semoga engga sih? Emang kenapa? Malah bagus kalau lo jatuh cinta, biar move on dari mantan lo yang brengsek tukang selingkuh itu, siapa namanya… Ara?” Kala ingat sekali 6 bulan lalu betapa terpuruknya Diva hingga sakit-sakitan saat Diva putus cinta dengan anak akuntansi universitas tetangga itu.
“Ari, Kallll… A R I,” eja Diva dengan sabar. “Iya maunya gitu, tapi kalau move-on-nya ke salah tempat? Gimana? Kan ga baik!”
“Maksudnya salah tempat?”
“Udah… udah… tidur yuk ngantuk…” Diva berguling memeluk boneka ulat milik Kala kemudian memejamkan matanya, berusaha tidur.
Nyatanya, Kala tahu, Diva sedang tidak ingin tidur, ia hanya ingin mengakhiri pembicaraan itu. Kala tahu detik itu juga, ada sesuatu yang sedang terjadi pada Diva namun Diva menyembunyikannya…


NAMANYA KALA… DAN AKU TERTARIK PADANYA

Seperti biasa, pagi itu Abad menjemput Tita untuk berangkat kuliah bersama, kemudian menurunkan gadis itu di depan gedung fakultas pertanian dan saling berjanji untuk pulang kuliah bersama lagi.
“Aku selesai kelas jam 4 sore,” ucap Tita sebelum turun mobil.
“Aku selesai jam 11, nanti sambil nunggu jam 4 aku nongkrong aja sama yang lain di kantin pusat.”
“Oke.” Tita turun dan mobil itu kembali melesat, namun kali ini bukan ke gedung fakultas teknik seperti biasanya. Abad mengemudikan mobilnya menuju utara kampus, ia merasa ada sesuatu yang harus ia tuntaskan; ego dan rasa penasarannya. Hingga akhirnya beberapa puluh meter kemudian ia menemukan arah penunjuk jalan di sebuah pertigaan besar kampusnya “↑ Fakultas Kedokteran”

¤¤¤

Abad memasuki koridor fakultas kedokteran dengan hati-hati. Ia mengamati sekeliling dan mendapati dirinya seperti alien, semua orang memandanginya dengan tatapan nanar seolah-olah ia memiliki tiga mata dan dua hidung di wajahnya. Terdengar bisikan-bisikan kecil, “itu anak teknik yang sering tawuran dulu kan?”, “ih itu mah si Abad yang dulu suka jadi provokator demo. Ngapain kesini?” Ada juga beberapa anak yang memilih langsung melarikan diri, bersembunyi di dalam kelasnya, malas membahas dan bertatap muka langsung dengan Abad. Reputasinya sebagai tukang onar dikampus memang sudah tak perlu diragukan lagi. Abad sebenarnya bisa saja mengamuk saat itu juga ketika mendapati dirinya ditatap dengan tatapan tak sopan seperti itu, namun ia sedang malas, ia sedang tak ingin berkelahi sebab ada sesuatu yang lebih penting saat ini.
“Eh… lo yang kaos ijo!” Abad memanggil seorang mahasiswa lelaki yang sedang berdiri diujung koridor sambil mengutak-atik ponselnya, kontan ia langsung gelagapan. “Kenal sama Sangkala Indah Lestari?” tanyanya tanpa basa-basi.
Dengan terpatah-patah mahasiwa itu menjawab, “i… iya kenal… kak Kala semester 8 ya? Itu rombongan angkatan kak Kala lagi ada ujian di… disana…” tunjuknya pada kelas paling ujung di koridor, dekat tangga.
“Oke, makasih,” balas Abad singkat kemudian berlalu. Baru beberapa langkah berjalan, mata Abad menangkap sosok yang ia cari, langkahnya terhenti, matanya berbinar, seperti menemukan harta karun berjalan. Kala baru saja berlari seorang diri keluar kelas lalu menaiki tangga, spontan Abad mengikutinya di belakang.
Kala terus menaiki anak tangga dengan setengah berlari, tak menyadari kehadiran Abad yang menjaga jarak beberapa meter di belakangnya. Hingga akhirnya Kala tiba di lantai paling atas, dan ia berlari menuju pintu yang menghubungkan gedung bagian dalam dengan atap. Kala celingukan, kemudian membuka pintu itu pelan. Abad melihat  adegan itu dari balik tembok diujung koridor lantai teratas, dan tak lama menyusul Kala, melakukan hal yang sama pula.
Abad terkejut mendapati Kala tengah duduk di sebuah bangku di pinggir pagar pembatas, tubuhnya menghadap kearah pemandangan kota. Kala hanya diam sambil mendengar musik dari earphone yang terpasang di telinganya.
Gadis ini, unik sekali, pikirnya. Dengan hati-hati Abad mendekati Kala, lalu menyentuh pundaknya. “Sangkala?” panggil Abad pelan.
Kontan Kala langsung menengok dengan ekspresi terkejut, keterkejutannya bertambah berkali-kali lipat ketika mendapati yang berada tepat di belakangnya itu adalah lelaki yang ia kira penjaga perpustakaan kemarin. “Elo…” Kala melepas earphone-nya lalu turun dari bangku. Kini ia dan Abad berdiri berhadapan. “Elo ngapain disini? Lo ngikutin gue?” selidik Kala.
“Gak sengaja tadi, helikopter gue mendarat diatas sini, lo gak denger?”
Kala mengernyit, “serius?”
“Ya gimana lo mau denger, kuping lo ada sumpelannya,” Abad tertawa. “Gue Abadi Kusuma Negara, panggil aja Abad,” tanpa basa-basi Abad menjulurkan tangannya pada Kala.
Kala yang masih belum mampu mencerna kejadian itu hanya mampu melongo. Abad tertawa melihat ekspresi gadis itu, “enggak… enggak… gue bercanda, gue gak  naik helikopter.”
Kala menarik nafas panjang, “terus?”
“Naik UFO.”
“Ih serius!”
Abad kembali terbahak melihat ekspresi Kala, “kenalin gue Abadi Kusuma Negara, panggil aja Abad,” ulang Abad menjulurkan tangannya sekali lagi.
Kala dengan setengah bingung menyambut uluran tangan itu, “gue…”
“Sangkala Indah Lestari? Panggilannya apa?” potong Abad membuat Kala tambah melongo.
“Kok lo tahu nama gue?”
“Soalnya nama lo ada di buku ini,” Abad mengeluarkan buku milik Kala dari dalam tas yang ia bawa.
Kala kontan mengambil buku itu, “buku gue ya ampun dari semalem gue cariin,” serunya lega, “lo yang nemuin? Makasih ya… siapa tadi? Abad?”
Abad mengangguk, “dan panggilan lo adalah?”
“Kala. Panggil gue Kala.”

¤¤¤

Demi memulai sebuah percakapan yang membunuh rasa penasaran masing-masing, Abad dan Kala memutuskan untuk duduk di atap itu berdua, memandang kearah hamparan bangunan-bangunan kota yang nampak kecil dari kejauhan, lengkap dihiasi dengan langit yang redup.
“Jadi, lo ngapain diatas sini?” tanya Abad memecah keheningan.
Kala berdeham, “seharusnya gue yang tanya, lo ngapain disini? Ngikutin gue ya?” tanyanya balik dengan nada curiga terselip didalamnya.
“Enggak,” Abad menggeleng, mata mereka bertemu beberapa detik, kemudian saling membuang pandangan, Abad meremas tangannya, menemukan tatapan Kala bertumbukan dengan matanya membuat jantungnya terasa bekerja lebih berat, “tadi gue mau balikin buku lo ke kelas terus gue liat lo lagi lari-lari ke tangga, ya gue ikutin aja.”
“Lo tau darimana gue anak kedokteran?”
“Ya tahu lah”
“Dari?”
“Nyamuk di kamar gue.” Jawab Abad asal sebab ia malu jika Kala tahu ia mencari identitas Kala seniat itu hingga ke website kampus.
Kala diam, malas berdebat. “Oke thanks.”
“Terus lo ngapain disini?” tanya Abad penasaran.
Kala menoleh kearah Abad beberapa detik, mendapati Abad tengah menatap lurus kearah hamparan pemandangan kota. Dadanya berdesir sekejap, kemudian berhenti. “Gapapa, gue suka, daripada di kelas, berisik.” Jawabnya kemudian.
“Jadi maksudnya lo suka menyendiri gitu?”
“Bukan, bukan suka menyendiri, tapi gue lebih suka liat hal-hal indah kaya gini daripada cuma bengong di dalam ruangan.”
Abad tersenyum, “unik,” ucapnya singkat.
Kala menoleh, pandangan mereka kembali bertumbukan namun kali ini tak lagi saling lepas, “unik?”
“Iya,“ Abad memperdalam pandangannya, menggerogoti seluruh lensa mata Kala, hendak menemukan apapun yang dapat ditemukan disana, “ternyata lo suka hal-hal yang jarang orang-orang suka ya. Suka buku-buku tua, suka liat pemandangan,”
“Lebih suka laut, tepatnya,” sambung Kala sambil tertawa kecil, pandangannya dan Abad kini sama-sama kembali ke hamparan kota.
“Gue juga suka baca buku-buku yang kata orang isinya ‘berat’ kaya gitu dan gue juga suka liat pemandangan,” Abad diam sedetik, “lebih suka sawah, tepatnya,” lanjutnya meniru perkataan Kala tadi. “Gue hampir ga pernah nemuin orang yang sepemikiran sama gue, punya kesukaan yang sama, punya isi kepala yang sama abstraknya hahahahaaha…”
Mata mereka, kembali bertemu, Kala memandangi Abad yang sedang tertawa, dan tanpa sadar ia tersenyum dengan sangat sumringah, “sama, gue juga kaya lo. Semua orang berpikir gue itu aneh, pemikiran gue ga sama dengan temen-temen gue. Mereka selalu bilang kalau hobi gue yang suka ke laut, liat pemandangan itu kaya di rekayasa, biar gue keliatan keren,” Kala tertawa kecil, “padahal gue emang suka banget sama laut dari masih jadi jabang bayi dalem perut nyokap gue. Lagian ngapain juga sih ngerekayasa hobi? Mending ngerekayasa robot, ada manfaatnya. Terus ntar dapet penghargaan.”
Abad tergelak, Kala juga.
“Mereka bilang kalau gue itu kebanyakan baca novel dan buku-buku yang ketinggian isinya, makanya jadi kaya gini hahahha….”
“Temen-temen kita ternyata setipe,” sambung Abad, “mereka juga ga ada yang suka liat sawah kaya gue, malah bilang gue aneh. Sawah kan kotor, mending main di mall katanya dan mereka juga bilang kalau buku-buku bacaan gue berat-berat, makanya pemikiran gue itu susah ditebak, mereka ga pernah ngerti hahahaha…” sekilas ia teringat Tita yang bahkan meski 5 tahun sudah bersama dengannya pun, tetap tak mampu menjangkau isi kepala Abad yang abstrak itu. Tita juga tak suka sawah, juga tak suka baca buku, juga kadang tak mampu mengerti jalan pemikiran Abad, sama seperti teman-temannya.
“Kita senasib,” Kala terpingkal.
Abad mengangguk, tersenyum sambil memandangi Kala yang masih tertawa. Gadis ini, harus dengan apa lagi aku menjabarkannya? Abad membatin.

¤¤¤

Malam itu Kala menghabiskan waktu dengan Berna, kekasihnya. Berna adalah seorang polisi lulusan Akademi Kepolisian yang ditugaskan di kota tetangga. Berna dan Kala berkenalan 2 tahun lalu, dikenalkan oleh Diva, sahabat dekat Kala sejak awal memasuk bangku kuliah. Sedangkan Diva dan Berna adalah tetangga, teman sedari kecil.
Sebab jarak antara kota tetangga dan kota asal yang butuh waktu tempuh 10 jam, Berna memutuskan untuk menetap di kota tersebut, tinggal di asrama kantornya. Kala dan Berna menjalani hubungan jarak jauh sedari awal berpacaran, hingga saat ini, usia hubungan mereka menginjak satu setengah tahun. Mereka bertemu hanya ketika Kala sedang libur kuliah dan main ke kota tetangga itu atau ketika Berna pulang sebulan sekali. Seperti malam ini, Berna pulang, setelah menjalani tugas luar kotanya. Ia berjanji menjemput Kala dirumah pukul tujuh dan akan makan malam berdua.
Diantara lilin-lilin redup yang memisahkan sisi antara mejanya dan Berna, Kala memandangi Berna dengan dalam, “Ber,” panggilnya pelan pada Berna yang tengah sibuk menaburi kentang gorengnya dengan bumbu cabai.
Berna bergumam kemudian balas memandang Kala.
“Kamu besok kemana?” tanya Kala singkat, sebelum meluncurkan kalimat selanjutnya yang ia simpan.
“Pinginnya sih ajakin kamu nonton, ada film baru, kenapa?”
Kala menarik nafas panjang, ia tahu setelah ia menanyakan hal ini, seperti sebelum-sebelumnya akan muncul perdebatan, “kamu gamau main ke pantai sama aku? Liat laut?”
Dengan sekejap Berna mendongak lalu menatap Kala tajam, “Kala… sudah berapa kali aku bilang, kamu berenti deh aneh-aneh kaya gitu. Kamu itu perempuan. Kodratnya merawat diri, ke salon, aerobik. Jaga tubuh kamu supaya tetep sehat, wajah kamu tetep cantik, kulit kamu tetep mulus. Bukannya pergi ke tempat panas-panas kaya gitu.”
Kala tertunduk, kalimat itu, kalimat yang baru saja Berna ucapkan itu, sudah sangat ia hapal diluar kepala. Berna selalu saja menasihatinya dengan kata-kata yang sama berkali-kali. Berna tak pernah habis pikir, kenapa perempuan seperti Kala harus menyukai hal-hal yang menurut Berna justru akan membuat tubuh Kala jadi rusak.
Itu lah sebabnya, Kala selalu pergi ke pantai diam-diam tanpa sepengetahuan Berna. Ia lebih sering pergi sendiri, hanya sesekali saja ditemani Diva ketika Diva sedang bosan-bosannya. “Pantai itu panas, sinar mataharinya nyengat, kulitmu nanti gosong,” pernah suatu hari Berna menasihati Kala dengan kalimat itu saat Kala ketahuan diam-diam pergi ke pantai saat Berna sedang di kota tetangga.
“Kamu paham, Sangkala?” tanya Berna, “mau berapa ratus ribu kali kita berdebat soal ini terus? Pokoknya aku ga suka kamu main panas-panasan kaya gitu,”
“Tapi kan bisa pake sunblock?” Kala mendongakan wajahnya, menantang Berna.
“Tapi tetep aja, sunblock itu hanya meminimalisir kegosongan kulit kamu, kalau ga pake sunblock gosongnya seratus persen, kalau pake sunblock gosongnya cuma lima puluh persen, intinya sama-sama gosong kan?” balas Berna sengit, namun ketika melihat Kala tertunduk, Berna sedikit mencairkan emosinya, digenggamnya tangan Kala yang tergeletak diatas meja, “Sayang, aku itu cuma gamau kamu kenapa-kenapa.”
Kala terdiam, dibiarkannya Berna memandanginya, sedangkan ia lebih memilih memandangi kakinya dibawah meja. Berna… memang tak  pernah mengerti hal-hal yang Kala sukai. Tak pernah…
Pernah ketika dahulu di masa pendekatan, Kala bercerita pada Berna bahwa ia juga suka menulis puisi-puisi, maka Berna dengan dingin mengatakan bahwa hanya orang-orang cengeng yang suka berbuat seperti itu dan Berna meminta Kala untuk berhenti jadi orang cengeng yang ia maksud itu. Namun Kala tak berhenti, ia masih tetap menulis puisi-puisi di buku-buku hariannya. Tentu saja Berna tak akan pernah tahu, karena Berna tak akan pernah membuka buku-bukunya.
Berna memang sedingin itu dan sekeras kepala itu, namun di sisi lain, hal yang membuat Kala jatuh cinta adalah kenyataan bahwa Berna benar-benar selalu ada saat ia butuh. Pernah suatu hari saat Kala terbaring dirumah sakit, Berna mengambil cuti demi menjaga Kala. Pernah juga suatu hari saat Kala sedang demam tengah malam, Berna dengan nekat pulang mengendarai mobilnya hanya demi mengantar Kala ke dokter. Ah… banyak… sangat banyak pengorbanan seperti itu yang Berna lakukan untuk Kala.
“Iya, Ber. Maaf.” Balas Kala singkat, ia dongakan kepalanya demi menatap Berna. “Kalau gitu, besok abis nonton, kita ke toko buku ya? Aku mau beli buku buat dibaca,” segera, Kala mengalihkan topik pembicaraan.
Berna mengangguk tersenyum, digenggamnya tangan Kala lebih erat. Kalau untuk hobi Kala yang satu ini, Berna memang tidak ingin melarang. “Perempuan memang harus banyak baca, biar pinter, percuma cantik tapi otaknya secuil,” ucap Berna suatu hari saat sedang menemani Kala mencari buku.
Perdebatan malam itu pun usai. Makan malam berlanjut seolah tidak terjadi apa-apa. Tanpa Berna sadari, perlahan hati Kala mulai terkikis untuknya.

¤¤¤

Minggu pagi yang senyap. Hujan membasahi seluruh kota dari semalam dan baru berhenti menjelang adzan subuh berkumandang. Meninggalkan jejak-jejak genangan yang singgah dimana-mana. Daun-daun basah, sisa-sisa hujan sibuk tergelincir dari satu dahan ke dahan lainnya. Langit mulai terang dengan awan yang redup, tak ada mentari, burung-burung pun lebih memilih tidur di sangkarnya ketimbang sibuk berkicau meramaikan pagi.
Di minggu pagi ini juga, Abad menyusuri jalan sekitar alun-alun kota dengan celana olahraga panjang, kaus pendek dan sepatu kets. Niat untuk jogging pagi ini diurungkannya begitu melihat genangan air ada dimana-mana. Langkahnya diayunkannya perlahan, menyusuri trotoar kota sambil melihat-lihat jalanan yang sepi kendaraan. Hanya ada satu dua yang melintas. Mungkin malas, sebab sehabis hujan, dingin, dan ini adalah hari Minggu. Semua orang tentu lebih baik memilih berdiam diri dirumah rasanya.
Lapar, Abad menghampiri sebuah kios buah yang nampak baru saja buka. Terhampar macam-macam buah disana, dan pilihannya jatuh pada dua butir apel hijau dan satu buah pir.
“Bang, numpang duduk disini ya,” pinta Abad pada sang penjaga kios buah sambil menarik sebuah bangku dan mengambil posisi duduk di depan tumpukan dus-dus buah. Penjaga itu hanya menjawab dengan anggukan.
Saat sedang asyik menggerogoti buah apel ditangannya, Abad merasakan ponsel disaku celananya bergetar. Tita rupanya.
“Ya, Ta?”
“Kamu dimana?”
“Di deket alun-alun. Lagi beli buah, kenapa?”
Tita diam, beberapa detik. “Ga bisa anter aku sekarang ya ke rumah pembimbing aku? Aku janjian konsul dirumahnya.” Suaranya benar-benar terdengar memelas.
Abad menarik nafas panjang, “rumah pembimbing kamu yang di ujung selatan kota kan? Apa keburu, Ta? Kalau mau sekarang ya ga keburu, tapi kalau sejam atau satu jam setengah lagi sih masih keburu. Kan aku harus pulang dulu, mandi, ganti baju, jemput kamu.”
Tita diam lagi.
“Ta?” panggil Abad memecah sunyi.
“Yaudah aku berangkat sendirian aja, soalnya buru-buru udah ditelponin,” terdengar suara kecewa di nada suaranya.
“Sorry. Tapi beneran ga keburu, Ta. Ntar pulangnya aja ya aku jemput?”
“Oke. Siap!” seketika Tita langsung terdengar ceria kembali dan sambungan telepon pun berakhir.

¤¤¤

Sepagi dengan langit redup ini, Kala memilih menghabiskan hari minggunya dengan mengendarai motor mengelilingi kota demi menghirup udara pagi yang segar. Dengan piama masih melekat di tubuhnya, ia arahkan motornya menuju alun-alun kota. Tempat dimana biasanya akan ramai pedagang makanan di setiap minggu pagi. Menghirup udara segar saja, tak membuat kenyang ternyata, pikirnya.
Kala berhenti di depan sebuah gerobak bubur ayam, diparkirkannya motor di tempatnya, lalu bergegas masuk ke antrian. “Bang bubur ayamnya 1, makan disini, ayamnya yang udah mati ya, jangan yang masih idup,” kelakarnya, membuat penjual bubur ayam langganannya itu tertawa. Seperti biasa Kala akan memilih duduk di lesehan paling pojok, tepat dibawah pohon.
Setelah selesai menyantap bubur ayamnya, Kala memilih berjalan kaki menelusuri trotoar kota di sekitar alun-alun demi mencari beberapa jajanan kue. Tak diperdulikannya tatapan-tatapan ganjil yang menilik piama di tubuhnya.
Tepat diujung trotoar alun-alun yang hampir menuju ke gerbang keluar, Kala menangkap sesosok lelaki yang ia kenal. Lelaki itu tengah duduk di depan sebuah kios buah sambil sibuk menelepon, posisinya menyampingi Kala. Kala menyipitkan matanya sambil tetap berjalan pelan, mendekat, meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah orang.
Tinggal beberapa meter lagi, Kala menghentikan langkahnya. Dengan jarak sedekat ini, ia sangat yakin, ia tak salah orang. Benar, dia orangnya. Tubuh tinggi, dengan dada dan bahu bidang itu, tak salah lagi. Kala yakin!
“Kebetulan macam apa lagi ini bisa bertemu disini?’ desisnya pelan pada dirinya sendiri. Hatinya kini ragu, ingin menyapa atau tidak. Jantungnya kembali berdesir sekejap, kemudian hilang. Desirnya sama seperti saat ia pertama kali berbicara dengan lelaki itu di atap gedung kemarin. Kala mematung sekian menit demi memerhatikan lelaki itu tengah menggerogoti apelnya hingga habis, kemudian ia menggerogoti apel selanjutnya. Dug! Desiran itu datang lagi. Sekejap. Kemudian hilang lagi. Kala menarik nafas panjang. Aku harus menegurnya, bisik hati kecilnya kemudian.
Kala melangkah pelan, pendek, detik terasa melambat. Kenapa ia jadi gugup begini sih?

¤¤¤

“Kala?” Abad terkejut begitu membuang pandangan ke sembarang arah dan mendapati Kala sedang berjalan pelan menuju kios buah tempat ia sedang duduk. Kala nampak kaget, seperti maling sedang tertangkap basah. Langkah kakinya terhenti ketika jarak mereka tersisa satu meter lagi. Mata mereka beradu.
Kala melongo beberapa detik sebelum ia angkat suara, “hai, Bad,” sapanya canggung, ada rasa malu dan gugup bercampur disana, “tadi kebetulan gue lagi makan bubur di depan terus jalan kaki kearah sini mau cari jajanan kue, eh malah lihat elo jadi pingin gue samperin gitu hehehehe,” jelas Kala cepat, takut Abad salah paham.
Abad tersenyum, “loh manusia aneh kaya lo makan bubur juga? Kirain makan rudal.”
Bola mata Kala kontan membesar, tawanya pecah, suasana pun mencair. Gugup itu musnah ditelan bumi.
Abad bangun dari duduknya, lalu menghampir Kala. “Jadi ini lo lagi mau cari kue? Gue tahu tempatnya yang enak, mau gue anterin?” entah kenapa tawaran itu muncul begitu saja dengan spontan dari dirinya, Abad pun baru menyadari itu sepersekian detik kemudian, bingung, namun tetap tenang.
Kala mengangguk, “boleh.” Entah mengapa, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menyambut ajakan itu, Kala merasa seperti ada sesuatu dalam dirinya yang butuh waktu lebih lama lagi bersama Abad.
“Tapi agak jauh, naik angkot.”
“Yaelah kalo naik angkot doang mah berarti deket, kalau naik roket itu baru jauh.”
Abad tergelak, “dasar manusia unik.”

¤¤¤

Abad dan Kala menaiki angkutan umum menuju pesisir barat kota, sekitar lima belas menit kemudian, mereka berhenti di sebuah kedai kecil yang letaknya tepat berada diantara sawah-sawah milik warga. Di kota mereka, warga pesisir memang terkenal dengan pekerjaannya sebagai petani.
Kala memandangi kedai itu, “The Sawah Pastry” begitu tulisan yang terpampang di depannya. Kedai dengan ukuran sekitar 6x6 meter itu menyuguhkan pemandangan luar biasa. Selain diapit sawah di kanan kirinya, dibelakang kedai itu nampak dengan sangat jelas pucuk bukit barat kota, Kala berani bertaruh, kita bisa melihat pemandangan sawah dikaki bukit ketika duduk di bagian belakang kedai ini.
“Ayo masuk,” Abad berjalan, Kala mengekor. “Ini kedai favorit gue di seantero kota. Lo pasti belum pernah kan?”
“Karena letaknya diantara sawah-sawah?” tanya Kala, teringat perkataan Abad bahwa ia menyukai sawah.
Saat pintu dibuka, bel depan kedai berbunyi kecil, seperti bunyi lonceng. Kedai itu nampak sangat nyaman di dalamnya. Di tata apik dengan tema alam. Banyak pot-pot tanaman kecil yang bergantung di dinding serta di atap. Dindingnya juga dipenuhi lukisan pemandangan. Tempat duduknya bukan lah kursi kayu, melainkan sofa-sofa mini dengan warna pastel yang nampak sangat indah dipandang. Perpaduan sempurna.
Stasiun pegawai dan kasir berada di pojok belakang kedai, disana Abad menghentikan langkahnya, “yap! Itu alasan pertama, dan alasan kedua adalah kue disini enak-enak,” jawab Abad kemudian. “Belum pernah makan disini kan?”
Kala menggeleng pelan, matanya tertuju sesaat pada Abad yang tengah bersandar pada meja kasir lalu kemudian sibuk menilik kue-kue yang dipajang dalam etalase. Tak hanya menjual kue-kue modern, kedai ini juga menjual banyak kue tradisional yang bahkan beberapa diantaranya belum pernah Kala lihat.
“Oke, berarti lo harus cobain,” Abad menekan bel di meja yang bertuliskan “tekan jika ingin memesan”. Tak lama seorang pria tigapuluh tahunan dengan tubuh tambun dan muka ke-arab-arab-an keluar dair balik pintu pantry, ditubuhnya melekat celemek yang penuh dengan taburan tepung.
Wajah pria itu tampak sumringah memandangi Abad, “Hey, Abad! Lama sekali kamu tidak kesini.”
“Hehehehe… sibuk, Pak Tora. Lagi skripsi.”
“Ah sibuk skripsi apa sibuk pacaran?” lelaki bernama Pak Tora itu mendelik kearah Kala dengan penuh makna, “kamu kok ngajak anak orang pacaran sepagi ini, belum mandi, sampai-sampai cuma pakai piama hahahaha.” Sekali lagi, Pak Tora mendelik kearah Kala dengan mata jenaka. Yang didelik hanya senyum, sambil menggulung-gulung ujung bawah baju piamanya. Entah kenapa, Abad melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang lucu, ia sama sekali tak merasa terganggu dengan pakaian yang Kala kenakan, justru dengan piama itu, Kala tampak lebih unik lagi dari sebelumnya.
Beberapa detik kemudian Abad menggeleng sambil ikut tertawa, “bukan, Pak… dia…”
“Pacar barumu, ya? Yang kemarin mana? Itu si siapa… Tita?”
Kala tersentak, dipandangnya Abad yang tiba-tiba tawanya juga ikut terhenti.
“Ah… enggak, Pak. Ini teman. Tita ada dirumahnya,” jawab Abad sedikit canggung, ditolehkannya pandangan kearah Kala dan mendapati Kala tengah mengernyitkan dahinya. Sedetik kemudian ia kembali memalingan muka kearah Pak Tora, “Pak aku pesen kue bolu coklat kaya biasa, minumnya kopi hangat, lo mau apa?” tanya Abad kemudian pada Kala, mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau cheesecake topping strawberry, Pak. Minumnya coklat hangat.” Jawab Kala singkat.
“Oke, silahkan duduk dulu, tunggu 10 menit lagi.”
Abad kemudian menggiring Kala duduk di salah satu sofa yang berada tepat di samping jendela. Pemandangan sawah yang mengitari kedai bisa terlihat jelas dari tempat duduk mereka. Kala tercenung, percakapan barusan masih terngiang di kepalanya.
“Kal, kenapa?” tanya Abad pelan.
Kala menatap Abad dengan dalam, “lo punya pacar?” entah kenapa rasa penasaran itu tak tertahan lagi. Kala juga tak tahu mengapa seluruh organ tubuhnya seolah bersinergi sehingga membentuk begitu banyak dorongan yang membuat bibirnya ingin langsung menanyakan hal itu. Namun di sisi lain Kala merasa ada bagian di dalam tubuhnya yang tertusuk kecil. Pandangan Kala semakin mendalam, mata Abad itu, entah mengapa seperti magnet yang membuatnya tak ingin berhenti memandangi.
Abad mengangguk, “iya, sudah lima tahun, namanya Tita, anak pertanian semester delapan juga.” Detik itu juga, Abad tahu, muncul reaksi penolakan dari tubuhnya saat mengucapkan hal itu. Seperti ada yang menahannya untuk tidak mengatakannya, sebab pada fase berikutnya Abad sadar suatu bagian dalam dirinya seperti ingin terlepas. Entah mengapa. Abad belum paham. “Kalau lo udah punya pacar?”
Kala diam, mereka masih saling tatap. Ia tak paham, mengapa perbincangan pembuka di pertemuan mereka kali ini adalah tentang pasangan masing-masing. Mungkin Tuhan ingin membatasi kami sedari awal agar tidak bertindak terlalu jauh, Kala membatin.
“Iya, udah juga. Udah satu setengah tahun, namanya Berna, polisi yang tugas di kota tetangga,” jawab Kala dengan format meniru jawaban Abad sebelumnya.
Keheningan mengkungkung beberapa menit, hingga akhirnya Pak Tora datang membawa pesanan. Kala segera meneguk coklat panasnya berharap aliran darahnya kembali lancar, kerja jantungnya kembali membaik. Perbincangan ini membuat semuanya perlahan seperti membeku.
“Coklatnya diminum selagi hangat, nanti kalau udah dingin dia ganti warna jadi merah,” celetuk Abad, ia tak ingin lagi membahas masalah pasangan.
Kala menatap Abad dan sedetik kemudian membuang pandangan keluar jendela, tersenyum, “kenapa jadi merah?”
“Ya gatau, pengen aja kali.”
“Lah kok bisa gitu?”
“Ya bisa pokoknya, karena takdir Tuhan,” mereka berdua pun tergelak bersama. Bongkahan es batu itu, perlahan menyusut. Abad merasa kepalanya yang sedari tadi terasa seperti digantungi batu, kini mulai meringan. Perasaan tak enak itu pelan-pelan menghilang.
“Jadi udah berapa lama lo sering kesini?” tanya Kala, dicomotnya kue yang ada di piring.
“Dari tiga tahun lalu, dari kedai ini cuma geribik sampai jadi besar begini. Pak Tora itu pembuat kue yang paling hebat yang pernah gue kenal. Semua kuenya enak-enak.”
Kala mengangguk, membenarkan, cheesecake yang ia makan itu memang benar-benar nikmat.
“Habis dari sini ke sebelah, yuk,”
“Kemana?” Kala mengernyit.
“Lo bisa liat sendiri kan dari awal kita datang tadi di sebelah kedai ini ada apa,”

¤¤¤

Setelah menggulung celana piamanya hingga setengah betis, Kala memutuskan untuk menenteng sandal jepitnya saja, ketimbang memakainya. “Becek, ntar kepeleset,” ucapnya. Abad pun melakukan hal yang sama.
Abad memimpin jalan di depan, ditelusurinya pinggir-pinggiran sawah dengan hati-hati, Kala mengekor. Sesekali kakinya terbenam pada tanah yang terlalu lembut dan basah.
Dari sini, Kala dapat melihat dengan jelas pemandangan bukit barat kota seutuhnya dan betapa luas hamparan sawah di kaki bukit itu. Banyak saung-saung tersebar di beberapa titik. Sementara rumah penduduk masih jarang, hanya tampak kecil-kecil dari kejauhan. Abad, isi kepalanya memang asbtrak sekali, Kala membatin.
Kala sama sekali tak merasa canggung berjalan di tengan sawah. Ia lincah. Lihai. Terbiasa. Karena pada dasarnya Kala memang menyukai alam, sama seperti Abad. Ia sering bermain di tempat-tempat seperti ini, walaupun hanya sesekali dan sisanya ia memilih pergi ke pantai.
Langkah mereka terhenti pada sebuah saung tepat di tengah sawah yang baru saja ditanam. Padi-padinya masih sangat hijau, membuat Kala tergiur ingin memakan nasi langsung dari tumbuhannya saja.
Abad duduk ditengah sawah, kakinya yang penuh tanah dibiarkan menjuntai ke bawah. Kala melakukan hal yang sama.
“Kenapa suka sawah?” Kala memulai pembicaraan.
Abad memejamkan matanya, menghirup nafas dengan sangat dalam kemudian menghembuskannya. Desiran di jantung Kala datang kembali ketika melihat Abad melakukan hal itu, namun sekejap kemudian hilang.
“Karena… bau sawah itu enak.”
“Memang baunya kaya gimana?”
“Lo coba cium aja sendiri.”
Kala mengangguk lalu melakukan gerakan yang sama seperti Abad.
“Baunya khas, wangi tanah dicampur tumbuhan padi. Ditambah angin yang hilir mudik, ngebuat aromanya jadi tambah kuat. Ya kan?” Abad merincikan.
Kala tak bisa menjelaskan lagi apa yang dirasakannya saat itu. Semua terasa seperti akan membawanya terbang, begitu damai. Abad benar, bau sawah itu enak.
Abad membuka matanya perlahan dan mendapati Kala masih memejamkan mata sambil terus menarik dan menghembuskan napas panjang. Ia tertegun, menilik setiap detail wajah Kala yang entah kenapa, sejak pertemuan di atap gedung itu tak bisa ia lupa. Abad seperti terhisap pada suatu pola yang tanpa sadari telah Kala hadirkan sejak pertemuan itu tercipta. Ada suatu candu yang membuat Abad selalu ingin berlama-lama jika berada di dekat Kala. Ada rasa seperti tak ingin lepas, terus tertancap, tak ingin henti-hentinya bersisian dengan Kala. Gadis itu telah menyatukan kembali pecahan-pecahan dirinya yang belum juga utuh. Sehingga untuk tetap utuh menjadi Abad yang sebenarnya, tanpa bertopeng, tanpa berpura-pura, Abad selalu ingin Kala ada didekatnya. Hanya itu yang ia rasakan. Hanya itu yang Abad inginkan. Dengan adanya Kala, Abad merasa mampu diterima seutuhnya, se-apa-adanya dirinya, tak perlu ada yang dikritik, tak perlu ada yang protes, karena Kala tak pernah melakukan hal itu. Dan tak akan pernah melakukan hal itu seperti yang semua orang lakukan padanya. Ia tahu…
Abad menyesal, mengapa ia baru mengenal Kala sekarang. Kemana saja selama hampir empat tahun ini? Kenapa mereka berdua tak pernah bertemu bahkan mengenal sedikit pun?
Abad tersenyum, ini adalah detik-detik terlambat dalam hidupnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai Kala silih berganti membanjiri kepalanya. Ia ingin semua ini tak berakhir. Jam tak perlu berputar. Abad merasakan dadanya ingin membucah meminta pecah, berteriak-teriak. Ya… Namanya Kala… dan aku tertarik padanya…




Bahagia Sebelum Kehilangan

Setelah berpisah dengan Abad karena menaiki angkutan umum yang berbeda jurusan, Kala bergegas kembali ke alun-alun kota untuk mengambil motornya dan kembali kerumah. Kala tiba dirumah ketika jam dinding menunjukkan tepat di angka 12 siang. Ponselnya yang baru saja dihidupkannya memberi beberapa notifikasi pesan. Terpampang nama Berna disana dengan isi pesan yang sibuk mencari keberadaan Kala.
“Iya, tadi Berna kesini, nyari kamu. Katanya udah janjian sama kamu mau pergi. Kamu kemana memang?” tutur Mama saat Kala bertanya tentang Berna. Kala jadi pusing sendiri memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada Berna tentang kejadian hilangnya ia pagi ini.
“Aku tadi ke tempat temen aku sebentar,” jawab Kala singkat, tangannya sibuk menimang-nimang ponsel, kepalanya nyaris mau pecah. Berna pasti akan marah besar soal ini. Kala telat mengabarinya saja ia dapat meledak-ledak, apa lagi sampai Kala menghilang begitu lama seperti ini. “Kala kerumah Berna aja deh, Ma. Nemuin dia.” Tandasnya lalu bergegas mandi kemudian bersiap-siap menuju rumah Berna.

¤¤¤

Banyaknya jalan yang ditutup karena perbaikan jalan membuat jalur angkutan umum menuju kerumah Abad memutar jauh. Sehingga ia baru tiba dirumah pukul 1 siang. Setibanya dirumah, Abad bergegas mandi lalu duduk di depan laptopnya, mengerjakan revisi skripsinya yang belum usai. Hingga ketika jam menunjukkan pukul 3 sore, Abad baru teringat untuk menghidupkan ponselnya yang sedari tadi mati karena lowbatt. Tepat ketika layar ponsel itu kembali hidup, puluhan notifikasi masuk dan itu berasal dari satu orang yang sama, Tita.
Abad menepuk dahinya kuat-kuat, ia lupa, ia berjanji akan menjemput Tita dirumah dosen pembimbingnya. Segera, ia menghubungi Tita. Tepat ketika nada sambung baru berbunyi dua kali, Tita mengangkat telepon itu.
“Ta? Maaf aku tadi…”
“Bad, aku ga tahu ya apa urusan kamu diluar sana. Aku ga pernah larang kamu untuk punya kesibukan, tapi plis, Bad, kalau kamu sudah punya janji, ya tepati. Kalau memang gabisa, ya bilang aja gabisa, jangan sudah buat janji tapi kamu ingkari.” Tanpa aba-aba Tita langsung meluapkan emosinya, memotong Abad yang baru berbicara beberapa kata. “Kamu tahu gak? Berapa puluh kali aku kirim pesan ke kamu? Kamu tahu gak berapa lama aku nunggu sampe akhirnya aku mutusin untuk pulang sendirian naik ojek?” terdengar suara Tita diujung telepon mulai bergetar, menahan tangis.
Beberapa detik, sunyi, Tita diam, begitu pula Abad. Abad merasakan rasa bersalah itu terapung-apung di dalam otaknya, sementara itu di sisi lain Abad bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa ia sampai bisa melupakan janjinya pada Tita. Lima tahun bersama, Abad ingat sekali, ia tak pernah melanggar janji apapun pada Tita, tapi kali ini? Abad sampai dibuat terheran pada dirinya sendiri. Sekuat itu kah magnet Kala bagi roda kehidupan yang berada di sekitar Abad? Sehingga ketika bersama gadis itu ia dapat melupakan semuanya?
“Ta… aku minta maaf, aku salah, aku tahu. Tadi itu aku mampir ke kedai kue langganan aku yang di sawah-sawah itu, kamu tahu kan? Aku ngobrol-ngobrol sama pemiliknya sampai lupa waktu,” dusta Abad kehabisan alasan, “maafin aku, iya aku salah. Aku jemput kamu sekarang kerumah ya? Kita makan diluar ya? Mau? Atau mau jalan-jalan?”
Tita diam sesaat, terdengar suara tangisan diujung telepon, “Bad, aku mau istirahat, capek. Udah dulu ya. Bye.” Sambungan telepon itu pun diputuskan oleh Tita.
Abad memandangi layar ponsel dengan gusar. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa. Sebelumnya, ia tak pernah membuat Tita sesedih ini. Tita selalu bahagia bersamanya, Abad selalu menepati kata-katanya, Abad selalu ada untuk Tita, Abad tidak pernah berbohong pada Tita, Abad selalu melakukan yang terbaik untuk Tita, tapi… sekarang? Sekejap saja semua keadaan berubah menjadi ganjil. Abad tahu, ada ganjalan yang mendobrak masuk ke dalam jantungnya dan itu tak bisa ia tahan. Ganjalan-ganjalan berbentuk rasa tertariknya pada Kala.
Abad memegangi dadanya, berjuta-juta perasaan tumpah ruah disana. Dikepalanya muncul wajah Tita dan Kala bergantian. Abad bergeming, membatin, jadi sekarang apa yang harus aku lakukan?

¤¤¤

Kala mempercepat laju motornya ketika jalan utama menuju rumah Berna tampak lengang. Pikirannya masih dipenuhi semburat-semburat kecemasan, namun disisi lain ia tengah mempersiapkan dirinya untuk menerima kemarahan yang akan Berna tumpahkan padanya. Ia yakin sekali Berna akan murka. Namun Kala juga tak bisa mengelak, ya, ini memang salahnya.
Setibanya di depan gerbang rumah Berna, Kala memandang rumah megah dua lantai itu dengan ragu, waktu seolah merangkak dengan lambat, hendak menenggelamkannya dalam rasa tak karuan. Ditekannya bel beberapa kali, hingga akhirnya pembantu Berna muncul membuka gerbang. Bi Inah sudah hapal sekali dengan wajah Kala yang memang sudah sering berkunjung kerumah itu.
“Masuk, Mbak. Sini motornya Mbak biar Bibi aja yang bawa ke garasi,” ujar Bi Inah mempersilahkan Kala.
“Bernanya ada, Bi?”
“Ada, Mbak. Di dalam lagi sama Mbak Diva.”
Kala mengernyit, “Diva?”

¤¤¤

Kala tahu, Berna dan Diva memang berteman sedari kecil, rumahnya memang hanya dipisahkan tiga bangunan lain, tapi Kala tidak pernah mendapati ataupun tahu Berna dan Diva sering saling mengunjungi satu sama lainnya kerumah. Apalagi semenjak Berna berpacaran dengan Kala, Diva sangatlah menjaga jarak terhadap Berna. Mereka tetap berteman baik, namun pada batas-batas wajar saja. Jika dahulu Berna dan Diva seringkali pergi hangout berdua, maka semenjak Berna dan Kala menjalin hubungan, hal itu tidak pernah terjadi lagi. Mereka lebih sering jalan bertiga dengan Diva sebagai kambing congek diantara Berna dan Kala.
Kala memegangi dadanya, debarannya lebih kencang dari biasanya. Langkahnya terhenti saat mendapati Berna dan Diva tengah menonton televisi berdua di ruang tengah dengan tangan Berna merangkul pundak Diva.
Dengan nafas nyaris terputus, Kala bersuara, “Berna…” yang keluar dari mulutnya malah terdengar seperti rintihan.
Berna dan Diva sontak langsung menoleh dan terkejut mendapati Kala tengah berdiri di belakang mereka. Spontan tangan Berna terlepas dari pundak Diva.
Beberapa detik, Kala memandangi kedua wajah dihadapannya dengan nanar, ia tak paham, debaran dijantungnya semakin menjadi. Sementara itu, Berna dan Diva dengan cepat memasang wajah santai, seolah tak terjadi apa-apa. Diva bangun, memandang Kala sambil tersenyum lalu merangkulnya.
“Kal… tadi Berna nyariin elo dirumah, gak ketemu, yaudah gue temenin dia aja disini daripada dia bête ga jadi pergi sama elo,” Diva mengelus-elus pundak Kala pelan, matanya menatap Kala dengan tatapan tanpa makna, memaksa Kala ikut bersikap biasa saja, memaksa memori kepala Kala melupakan hal apa yang ia lihat beberapa detik lalu. Sejak kapan Berna dan Diva jadi semesra itu?
Kala tersenyum, ia tahu ini janggal, ia tahu, tapi entah kenapa mulutnya seperti tak ingin bicara. “Iya gapapa. Gue mau ketemu Berna,” pandangan mata Kala beralih ke Berna yang sedari tadi menontoni percakapan antara ia dan Diva. Mata Berna itu, tampak linglung.
Kala berjalan mendekat, mengambil posisi duduk di samping Berna, “Ber, aku minta maaf, tadi pagi aku main ke toko kue di pesisir barat kota, pulangnya lupa jalan, jadi agak nyasar,” hanya itu yang mampu keluar dari mulut Kala, padahal hatinya memaksa meminta penjelasan akan kehadiran Diva pada Berna, tapi semua kata-kata itu ditelan mentah-mentah oleh Kala sendiri.
Berna tersenyum, “iya, gapapa. Kamu sudah makan? Mau makan diluar?”
Kala terhenyak mendapati reaksi Berna. Bukankah biasanya Berna akan langsung meledak-ledakkan emosinya? Namun sekali lagi, Kala menelan pertanyaan itu di benaknya sendiri. Permintaan maafnya pada Berna, ia rasa jauh lebih penting dari kejadian-kejadian lain yang saat ini bergerak di sekitar mereka. Kala tahu, dari mata Berna, Berna seolah ingin segera beralih dari situasi ini, ada gugup bercampur bingung disana.
Kala mengangguk, “iya, boleh, ajakin Diva ya?”
“Eh… engga… ga usah… gue mau pulang aja, Kal,” dengan cepat Diva mengambil tasnya di atas meja, lalu berlalu pergi, “dadaahhh, have a nice weekend,” serunya sambil melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu.
Kala tercenung memandangi punggung Diva yang perlahan menghilang. Panggilan Berna, memecah keheningan di kepalanya, “Kal… aku ganti baju sebentar ya, tunggu disini.”
Kala tersenyum, mengangguk dan membiarkan Berna berlalu ke kamarnya.
Kala tahu ini semua tak benar. Kala tahu ada sesuatu yang Berna dan Diva sembunyikan. Kala tahu mungkin kebenaran tentang hal ini akan melukainya. Kala tahu, firasatnya berkata bahwa akhir semua ini akan menyedihkan. Namun kala belum ingin mencari pembenaran atas apa yang sebenarnya jelas-jelas sudah ia ketahui ini. Kala belum ingin, belum siap jika harus memecahkan hatinya hingga berkeping-keping lagi.

¤¤¤

Setelah seharian memutuskan untuk membiarkan Tita tenang terlebih dahulu dengan tidak menghubunginya, Abad tetap melakukan kegiatan rutinnya setiap pagi; menjemput Tita untuk berangkat kuliah bersama tak perduli entah Tita masih marah padanya atau tidak, yang penting berusaha, pikir Abad.
Sebuah kebetulan, Abad tiba di depan gerbang rumah Tita tepat ketika Tita baru melangkahkan kaki keluar rumah.
“Pagi, Ta,” Abad meraih tangan Tita yang berdiri dihadapannya, ditatapnya mata Tita lekat-lekat.
Tita membalas tatapan itu sambil tersenyum sumringah, “pagi juga Bad,” Abad terkejut sebab dari matanya Abad tahu, Tita tak menyimpan amarah apapun disana.
“Maafin aku ya, aku tahu aku salah aku…”
“Bad… udah udah… lupakan. Ga usah dibahas lagi, oke?” potong Tita cepat pada kalimat permintaan maaf Abad. “Kamu jangan lupa datang di sidang akhir skripsi aku di gedung A pertanian jam 9 nanti ya!”
Abad terdiam, terhenyak. Ditatapnya Tita dari atas kebawah dengan seksama. Tita mengenakan baju kemeja putih dengan rok hitam selutut, ia menyincing almamater di tangan kanannya, serta membawa sebuah tas ukuran sedang berisi buku-buku. Astaga! Bagaimana Abad bisa lupa hari ini adalah sidang akhir skripsi Tita? Abad nyaris limbung dalam benaknya sendiri ketika menyadari beberapa bagian dirinya mulai mengikis Tita dengan perlahan.
“Oh… iya, Sayang, nanti aku pasti dateng,” Abad pura-pura tidak lupa. Sebisa mungkin ia menyembunyikan mimik bingung dimukanya. “Yuk berangkat, nanti kamu telat,” tandasnya kemudian, ingin segera mengakhiri percakapan itu.

¤¤¤

“Kal! Kala!”
Kala mengerem langkahnya begitu mendengar seseorang memanggilnya dari belakang, ia memutar tubuhnya dan mendapatkan Diva tengah berdiri diujung koridor kelas beberapa belas langkah dibelakangnya, menatapnya lurus sambil tersenyum. Kala menelan ludah, bingung harus bersikap apa, kejadian kemarin masih sangat mentah dikepalanya.
Kala menarik napas, lalu membalas senyum itu dengan canggung, kemudian kembali berjalan memunggungi Diva. Seharusnya Diva tidak perlu bingung dengan sikap Kala kepadanya, Kala rasa Diva lebih paham alasan dibalik semua ini.
Kala mempercepat langkahnya meninggalkan gedung fakultas kedokteran, buru-buru ia hampiri motornya di parkiran lalu bergegas berkendara menuju sembarang arah, entah kemana, yang penting jauh-jauh dari Diva.

¤¤¤

Seusai sidang akhir skripsi Tita, Abad memutuskan pulang duluan karena Tita ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya dengan pergi makan siang bersama. Abad mengemudikan mobilnya menuju gerbang keluar kampus sambil melamun. Kepalanya masih dipenuhi dengan bayangan Tita dan Kala yang datang silih berganti.
Beberapa detik Abad akan memutar kembali ingatan-ingatan kejadian selama lima tahun ia berpacaran dengan Tita. Mulai dari mengantar gadis itu pulang pergi sekolah hingga menjelma menjadi pulang pergi kuliah, lalu menemani gadis itu makan di tempat-tempat favoritnya, hingga bayangan ketika ia bermain catur dengan ayah Tita setiap kali Abad menyambangi rumah Tita.
Namun beberapa detik setelah itu muncul wajah Kala secara utuh menggenang di pelupuk matanya. Senyum gadis itu, wajahnya ketika memejamkan mata menghirup wewangian sawah, kalimat-kalimat lucunya, piama yang ia kenakan di pagi itu, buku yang ia jatuhkan ketika mereka pertama kali bertemu… Abad memukuli kepalanya sendiri, sadar bahwa ia mengingat Kala justru ke hal-hal yang lebih jauh mendetail ketimbang saat ia mengingat Tita. Kala… Kala… Kala… tubuhnya berdesir setiap kali nama itu terngiang di kepalanya.
Abad mengarahkan setir mobilnya ke kiri, semakin dekat menuju gerbang keluar kampus. Tepat ketika Abad berhasil membelok, matanya menangkap sosok Kala tengah duduk di halte bus kampus dengan tatapan kosong. Seperti ada magnet yang selalu menariknya untuk berdekatan dengan gadis itu, sontak Abad menghentikan mobilnya tak jauh dari motor Kala diparkirkan. Ia menghampiri Kala yang tak sadar akan kehadirannya.
“Kal? “ Abad menyentuh pundak kala hati-hati.
Pelan, Kala mendongak, matanya menatap Abad dengan sayu. Ia bangkit berdiri dari duduknya. “Bad…”
“Lo ngapain?”
Kala menggeleng, sesak di dadanya yang sudah tak bisa lagi di bendung, membuat kelopak matanya mengembung, siap menelurkan tetesan-tetesan air mata.
Abad terkejut mendapati mata Kala berkaca-kaca, “Kal… lo kenapa?” dipegangnya kedua pundak Kala dengan kencang.
Kala tak dapat lagi menjabarkan isi hatinya, ia tak tahu lagi harus dengan kalimat apa semua ini harus ia ungkapkan. Air mata satu persatu mulai membasahi pipinya. Tak lama, ia merasakan tubuhnya hangat, Abad memeluknya.
“Kal… udah… jangan nangis disini, kita pergi yuk, kita ngobrol ya, biar lo bisa cerita semuanya sama gue. Mau kemana? Ke pantai?” Abad berusaha menenangkan Kala dan membujuknya. Hatinya teriris melihat Kala menangis.
Kala mengangguk, dilepaskannya pelukan Abad. Ditatapnya mata Abad sekali lagi, desiran yang selalu ia rasakan ketika Abad didekatnya kembali datang, namun desiran itu merambat keseluruh tubuhnya, tak lagi hilang dalam sekejap. Kala dapat merasakan nafasnya menderu dengan hangat, aliran darahnya mengalir dengan tenang kembali. Desiran itu seperti menghantarkan energi kebahagiaan pada tubuh Kala. Ia tersenyum disela air matanya yang mulai mengering. “Iya, ke pantai yuk. Tapi gue pulangin motor kerumah dulu ya.”
Abad tercenung, tak percaya, ikut merasakan atmosfir luar biasa itu merasuk dalam dirinya. Kala berhenti menangis seketika setelah dipeluknya. Ia merasa benar-benar menjadi lelaki yang Kala butuhkan.
Abad mengangguk, mereka pun bergegas pergi dari halte bus itu.

¤¤¤

Senja lahir sore itu dengan sempurna, menumpahkan tinta jingga tak beraturan dengan mentari yang malu-malu bersembunyi di balik awan putih.
Abad mengarahkan mobilnya ke salah satu pantai di pesisir barat kota, selama perjalanan ia tak berani mengajak Kala berbicara sebab gadis itu terus melamun dengan tatapan kosong keluar jendela.
Sementara di sisi lain, Kala sibuk mengatur denyut jantungnya yang naik berkali-kali lipat. Berada di dekat Abad selalu berhasil membuat tubuhnya berdesir-desir hebat. Ia sibuk mengatur nafas sementara kepalanya penuh dengan ingatan akan kejadian dirumah Berna kemarin. Tidak… tidak… Kala tidak sedih lagi mengingat kejadian itu, entah kenapa, disisi Abad semua terasa lebih baik dan hidup seolah mampu dijalani seberat apapun masalahnya. Hanya saja ia tak tahu harus bersikap apa sekarang, hatinya merasa ia akan rela rela saja melepas Berna, namun di sisi lain justru yang membuatnya sedih sekali adalah kenyataan bahwa sahabatnya berkhianat dibelakangnya.
Kala kembali memutar memorinya pada kejadian-kejadian janggal akhir-akhir ini yang baru ia sadari sekarang; Diva yang terus-terusan bertanya tentang alasan mengapa Kala mencintai Berna, Diva yang sering mengangkat telepon diam-diam, tatapan mata Diva yang selalu saja tampak bergemuruh ketika mendapati Berna menelepon Kala dihadapannya.
Kala menghempas tubuhnya semakin jauh ke sandaran kursi, kepalanya sakit luar biasa. Nyatanya, ia tak takut kehilangan Berna, sebab kehilangan Diva lebih menyeramkan rasanya.
“Kal…”
Suara lembut Abad membangunkan lamunan panjang Kala. Ia menoleh pelan.
“Sudah sampai.”
Kala mengedarkan pandangannya keluar kaca mobil dan menemukan binar-binar keemasan terpantul dari lautan yang hendak menelan matahari. Pikirannya perlahan mulai melunak.
Ia dan Abad memutuskan untuk duduk di salah satu kursi kayu yang terletak tak jauh dari bibir pantai. Pantai itu tampak sepi. Hanya ada tiga orang lain yang tampak sedang berenang di tepian.
Abad menatap wajah Kala yang sedang serius memandangi pijaran mentari yang semakin menguning. Dari samping gadis itu terlihat cantik, semakin cantik jika dipandang dari depan tentunya. Abad merasakan pusaran magnet itu semakin kuat, ia ingin waktu bergerak lambat, ia ingin kebersamaan dengan Kala tak habis dengan cepat, ia ingin Kala selalu didekatnya. Semakin lama dipandangi, Abad dapat merasakan magnet itu semakin bergaung disekujur tubuhnya.
“Kal…” Abad memanggil Kala lembut, yang dipanggil menoleh dengan anggunnya. Pendar mentari yang menerpa wajah Kala membuat Abad semakin ingin tenggelam dalam wajahnya. “Jadi, sudah bisa cerita sekarang?”
Kala tersenyum, memperbaiki posisi duduknya, menarik nafas panjang, lalu menatap mata Abad dalam. “Sebelumnya gue mau bilang makasih banyak karena elo udah repot jauh-jauh nganterin gue kesini cuma mau dengerin gue curhat.”
“Enggak, Kal. Ga ada yang ngerasa direpotin kok. Gue ngelakuin ini ya karena memang gue mau. Panggilan dari hati,” kalimat itu tercetus dengan spontan dari mulut Abad, membuat Kala senyum-senyum sendiri mendengarnya. Namun berselang beberapa detik, mimik wajah Kala berubah menjadi serius.
“Bad… pacar gue selingkuh sama sahabat gue sendiri.” Tanpa aba-aba Kala langsung berbicara ke inti cerita.
Abad terhenyak, “lo tau darimana? Liat sendiri?”
Kala pun menceritakan secara detail kejanggalan-kejanggalan yang ia temui hingga kejadian dirumah Berna kemarin. Abad terdiam mendengar semuanya.
“Tapi gue gatau kenapa, gue ga sedih kalau mesti kehilangan Berna, Bad. Entah kenapa hati gue bilang ikhlasin aja. Gue tuh ngerasa hati gue kayak memang udah ga ada tempat lagi untuk dia entah sejak kapan. Perasaan sayangnya mulai terkikis,” Kala menarik nafas panjang, “yang bikin gue sedih itu justru kalau gue harus kehilangan Diva, gue ga siap dan gue gamau itu kejadian.”
“Kal, kalau memang lo ikhlas melepas Berna untuk Diva, lo bicarain  langsung baik-baik ke mereka, lo jelasin semuanya, supaya lo ga kehilangan siapa-siapa. Sebelum semua kesalahpahaman ini makin jadi,” Abad menyentuh pundak Kala, “Kalau lo bisa ikhlas ngeliat mereka bersatu demi kebahagiaan mereka, lo ga bakal kehilangan apapun, Kal. Bahkan Berna juga bisa jadi sahabat lo.”
Kala mencerna kalimat Abad barusan dengan perlahan. Ia tahu ini tidak akan semudah itu. Ia sendiri masih bingung bagaimana caranya mengungkapkan hal ini di hadapan Berna dan Diva. Kala sendiri belum paham apa yang harus tubuhnya perbuat.
Kala menyentuh tangan Abad yang mengenggam pundaknya erat, “Bad… perkataan lo barusan itu bener banget. Sekarang tinggal gimana cara gue mengeksekusinya. Makasih ya, Bad.”
Abad tahu, di sinar mata Kala yang memantulkan rona jingga sore itu, ia semakin tenggelam, makin dalam dan jauh pada rasa yang tak bisa ia jelaskan bagaimana rupanya.
“Kal…” Abad  memecah keheningan setelah sekian detik matanya dan Kala saling beradu tatap. “Kenapa lo suka pantai?” entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja, seolah ada yang menggelitik lidah Abad untuk menanyakannya.
Kala spontan langsung sumringah, ada begitu banyak kalimat yang siap meluncur dari mulutnya, otaknya sedang memilah milih kata yang pas. “Karena suara ombak yang beradu dengan pasir itu kayak magic. Lo dengerin suara itu baik-baik, setiap hantaman ombaknya, bum! Kaya energi listrik yang ngalirin semangat.”
Abad menangkap mata Kala begitu berapi-api menjelaskan kalimat itu. “Lo itu emang unik ya.” Abad terkekeh.
“Ya iya lah. Gue kalo lagi marah bisa berubah jadi kutil.”
“Loh kok jadi kutil?”
“Ya gapapa, pengen aja, hahahahaha.”
Sore itu, Kala sadar manusia abstrak di hadapannya ini telah berhasil membawanya jauh ke dalam gerbang kebahagiaan bahkan sebelum pintu kesedihan dibelakangnya tertutup rapat. Abad… Kala tahu lelaki ini memang tiada duanya.

¤¤¤

Sepulangnya dari pantai, Kala meminta Abad mengantarkannya ke salah satu kafe penjual jus kesukaannya, berhubung jaraknya tak jauh dari rumah, Kala meminta Abad pulang tak usah menemaninya, Kala rasa ia butuh waktu sendiri saat ini, mencerna apa-apa yang belakangan ini terjadi.
Kala memesan jus alpukat dan roti bakar cokelat, kemudian mengeluarkan buku yang sedari tadi ia bawa di tas jinjingnya. Membaca, membuat Kala dapat berlari dari situasi yang memusingkannya ini.
Kala sibuk membolak-balik halaman buku sambil terus meneyeruput jus didepannya. Ketika ia sadar jus di gelasnya tandas, Kala menurunkan bukunya, celingukan mencari pelayan, hendak memesan satu gelas lagi. Namun matanya justru tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di toko kue di seberang kafe, ia sangat mengenali mobil itu, mobil Berna.
Buru-buru Kala membereskan bukunya dan membayar di kasir, lalu pelan-pelan berjalan mendekati mobil yang terparkir di bawah pohon itu. Kala melirik jam tangannya, pukul 10 malam, kotanya di jam-jam segini memang sudah sepi, hanya tampak satu atau dua kendaraan yang lewat di jalan raya. Kala mengendap, mendekati mobil dari bagian belakang, terlihat siluet-siluet dua orang yang sedang berbicara di kursi depan. Tak lama berselang, tampak siluet-siluet seperti api-api kecil yang menyala, Kala memandanginya sesaat kemudain tersadar itu adalah siluet lilin. Sedang merayakan apa mereka?
Rasa penasaran yang tak dapat lagi dibendungnya membuat kaki Kala bergerak menuju bagian depan mobil. Kala berdiri tepat di depan kaca mobil utama dan dengan mata kepalanya sendiri berhasil menyaksikan Berna dan Diva tengah berciuman dengan tangan Diva yang masih membawa kue tart dengan lilin-lilin kecil diatasnya. Beberapa detik, mereka berdua tampak begitu khusyuk hingga tidak sadar Kala menyaksikan adegan itu dengan air mata hampir meleleh tepat di hadapan mereka.
Berna melepas ciuman itu terlebih dahulu, menatap mata Diva sambil tersenyum, sebelum akhirnya ia sadar ada sesosok manusia berdiri tepat di depan mobilnya.
“Kala…” desis Berna pelan, tak percaya, matanya membulat sempurna. Sementara Diva disampingnya hanya mampu tercenung, tangannya gemetar, kue yang ia pegang nyaris jatuh.
Kala bergerak menuju kaca disamping kursi pengemudi, air matanya telah berjatuhan satu persatu sedari tadi. Berna menurunkan kaca itu, kemudian hendak membuka pintu. “Jangan keluar!” sentak Kala.
Dari kaca yang telah terbuka Kala mampu melihat tulisan diatas kue tart itu dengan jelas, “It’s our 6th Months, Babe!
Kala tak tahu lagi harus dengan kalimat apa ia menjelaskan betapa ia ia hancur saat ini. Seperti ada yang melempar granat padanya secara bertubi-tubi, telinganya nyaris tuli tak mampu mendengar lagi, seluruh bagian tubuhnya terluka dibagian yang tak nampak, Kala remuk dengan begitu sangat, pecah dengan begitu berkeping. Air matanya semakin mengebah, bak bendungan yang jebol sebab didera badai setahun berkepanjangan.
“Kal…” Berna memaksa membuka pintu mobil, namun tangan Kala menahan gerakan itu.
“Ber… Div… gue tahu suatu saat hal ini bakal kebongkar. Tapi gue ga tahu kalau kebongkarnya dengan cara sesakit ini,” Kala terisak, “gue tahu kalian berdua ada hubungan, gue tahu. Semua sudah ada pertandanya sejak beberapa bulan lalu. Gue milih diem karena gue belum siap terluka. Gue belum siap kalo harus patah lagi.”
Diva dengan gerakan cepat menaruh kue di kursi belakang, lalu hendak membuka pintu, “Div! Diem disitu aja!” tahan Kala, Diva kembali lagi di posisi semula, terduduk dengan wajah menunduk di kursinya, matanya juga sudah basah.
“Ber… demi Tuhan, gue bukan takut kehilangan lo, lelaki di dunia ini banyak, Ber… banyak banget! Tapi gue takut gue kehilangan Diva. Dimana lagi, Ber, gue bisa cari sahabat kaya Diva, dimana? Gue takut ketika hal ini terjadi, persahabatan gue dan Diva rusak, itu yang gue gamau!”
“Kal… dengerin gue dulu…”
“Lo kenapa sih, Ber, nyari selingkuhan kok sahabat gue sendiri? Kenapa?” nada suara Kala semakin menjadi, untungnya jalanan kota telah sepi, sehingga tak banyak yang menyaksikan adegan dramatis itu.
Berna tak tahan lagi, dengan cepat ia membuka pintu disaat Kala sedang lengah, lalu memeluk gadis itu dengan erat. Berna dapat merasakan bajunya basah dengan sekejap, air mata Kala tumpah dalam pelukannya.
“Kal… maafin gue ya, Kal… gue ga tau sejak kapan hal ini bermula. Tapi semakin lama, gue ngerasa kalau gue cintanya sama Diva, Kal... gue udah ngerasain hal ini sedari dulu ke Diva, tapi gue selalu nyangkal karena gue pikir gue sama dia sahabat dan Diva juga ga suka sama gue.” Berna mengelus puncak kepala Kala dengan lembut, menenangkan sembari menjelaskan. “Gue tahu, Kal, cara ini salah. Gue tahu, gue bego banget dengan ngelakuin hal ini, tapi hati gue gabisa bohong, Kal… semenjak gue menangkap sinyal kalau Diva juga sebenernya sayang sama gue, gue gabisa nahan diri gue untuk…”
“Berhenti, Ber… berhenti…” Kala memotong perkataan Berna. Dilepasnya pelukan itu dan ditatapnya mata Berna dengan nyalang. "Ber, gue juga sebenernya akhir-akhir ini udah ngerasa kurang nyaman sama lo, dengan segala sikap lo yang otoriter, makanya gue memilih ga perduli dengan apapun yang lo lakuin di belakang gue. Satu yang gue takutin, kehilangan Diva, udah itu aja. Bukan kehilangan lo ataupun yang lain.” Kala menelan ludah, “Ber, gue ikhlas lo sama Diva, demi Tuhan gue ikhlas, silahkan kalian menjalin hubungan, sudah enam bulan, kan? Jangan sampe kandas karena ketahuan sama gue kaya gini. Lo harus bahagia, Ber, sama Diva. Lo harus bikin sahabat gue bahagia,” air mata Kala satu persatu mulai menetes lagi.
“Kal… makasih ya… gue gatau harus bilang apa lagi buat berterimakasih atas kebesaran hati lo.”
Tanpa disadari Kala, diam-diam Diva membuka pintu mobil, mendekati Kala, lalu memeluk Kala dari belakang. “Kal…” panggil Diva lirih, “maafin gue…”
Kala berbalik, memeluk Diva erat, “lo ga salah apa-apa, Div. Gue yang salah karena hadir jadi benalu diantara kalian yang dari dulu udah saling sayang,” Kala melepas pelukan itu, lalu menatap Diva lekat-lekat, “Div, gue ga akan kehilangan lo kan?”
Diva menggeleng kuat-kuat, isakannya semakin menjadi, “Kal, yang seharusnya nanya kaya gitu itu gue, apa lo masih mau sahabatan sama pengkhianat ini, Kal? Gue banyak dosa, Kal, sama lo. Gue nusuk elo dari belakang.”
“Div, justru gue yang takut lo jadi ngerasa ga enak atau canggung setelah kejadian ini. Plis, bersikap biasa aja, gue ga benci elo ataupun Berna. Kalian sahabat gue sekarang.” Kala kembali membenamkan pelukannya pada tubuh Diva. Sementara itu Berna tak mampu menahan gemuruh didadanya, ia menyaksikan kejadian itu dengan mata berkaca-kaca.


LONG DISTANCE RELATIONSHIP

Waktu bergulir, dua bulan semenjak kejadian di depan toko kue itu, Kala, Diva dan Berna semakin akur dan tak lagi sungkan menunjukkan keakraban mereka di depan khalayak umum. Kala tak merasa canggung ketika ia sempat beberapa kali menemani Berna dan Diva pergi, ia juga tak risih jika sekarang telinganya kerap mendengar cerita tentang Berna dari mulut Diva. Ia justru merasa sangat ikut berbahagia atas keduanya, tak perduli orang-orang diluar sana mencibir Diva sebagai perusak hubungannya dengan Berna, baginya Diva tetaplah sahabat terbaik. Perihal kejadian itu Kala telah menerimanya secara utuh sebagai takdir. Mengikhlaskannya.
“Kal, gue duluan ya, Berna udah di depan,” Diva buru-buru memasukkan semua bukunya kedalam tas lalu meninggalkan Kala duduk sendirian di salah satu sudut perpustakaan kampus mereka.
Kala memandangi tubuh Diva yang hilang ditelan pintu keluar sambil tersenyum. Dalam hati ia berdoa semoga ia lekas mendapatkan bahagia yang sama.
Kemudian ia kembali memusatkan perhatian pada laptop dihadapannya, merevisi skripsinya yang baru saja dikonsulkan. Tepat lima menit setelah itu, ponselnya berbunyi, nama Abad muncul disana.

¤¤¤

“Bad! Ngapain?!” teriak Kala dari ujung pintu atap gedung fakultas kedokteran itu, tempat favoritnya jika ia sedang ingin sendiri. Abad menunggunya disana, pandangannya tertuju pada hamparan kota.
Kala berlari kecil menghampiri Abad, Abad kontan menoleh dan tersenyum mendapati gadis itu berdiri di hadapannya.
“Lo lagi revisian? Udah kelar?”
Kala mengangguk, “udah, gue mau seminar akhir bulan depan soalnya.”
Abad mengangguk, “Kal, gue mau cerita.” Ucapnya kemudian langsung pada tujuan.
Kala ikut memosisikan tubuhnya duduk pada bangku kecil panjang sama seperti Abad, kedua matanya menatap Abad nanar, “cerita apa?”
“Tita.”
“Tita?”
“Iya.”
“Kenapa dia?”
Abad menarik napas panjang, “dia mau kerja di pulau seberang,”  Abad kemudian menyebutkan sebuah pulau terbesar di negara ini.
Kepala abad memutar kembali kejadian dua minggu lalu ketika sepulangnya ia mengantar Tita dari acara wisuda kekasihnya itu, tanpa aba-aba Tita langsung menceritakan rencananya untuk bekerja di kota pulau seberang. Disana ia sudah diterima disebuah perusahaan penghasil jamu ternama.
Abad… entah kenapa yang berkecamuk di kepalanya bukan lah rasa takut kehilangan pun berjauhan dari Tita, ia justru bingung ketika kepalanya malah dipenuhi dengan rasa lega seolah ada suatu beban yang terlepas dari pundaknya. Rasa itu lah yang kini menghantui hari-harinya. Ia bingung dengan isi kepala dan tubuhnya sendiri. Di depan Tita ia hanya bisa berpura-pura memasang muka murung setiap Tita bertanya “kamu ga sedih mau jauhan sama aku?” padahal nyatanya, isi hatinya tak berkata begitu.
“Bad… lo pasti sedih banget ya mau LDR?”
Abad tercenung, diam seketika mendengar pertanyaan Kala. Bukan, Kal… bukan… gue justru gatau kenapa gue ga sedih… gue bingung…
“Kal…” panggil Abad pada Kala yang tengah sibuk memandangi hamparan pemandangan kota.
“Mmm…”
“Pernah ga lo ngerasa lo tiba-tiba ga cinta lagi sama seseorang?”
Kala menoleh pelan pada Abad, mata mereka beradu, seolah saling bercerita akan satu hal yang sama. Sepintas bayangan Berna lewat di benak Kala. Lelaki itu… iya… Berna… cintanya pada Berna hilang tak menjejak setitikpun bahkan sebelum ia tahu Berna berselingkuh dengan Diva. Kala tahu sekali rasanya. Kala juga sebenarnya mulai tahu apa yang menyebabkan hal itu, meski ia belum teguh yakin, ia masih juga sama bingungnya.
“Pernah.” Jawab Kala singkat akhirnya.
“Kapan?”
“Kemarin.”
“Kemarin.”
“Iya. Sama Berna.”
“Kenapa bisa gitu?”
Kala menggeleng, “aku gatau. Semuanya tiba-tiba. Aku juga bingung.” Kala menarik nafas panjang, “memangnya kenapa?”
Abad menggenggam tangan Kala pelan, “Kal, kayanya gue lagi ngerasain kaya apa yang lo rasain ke Berna kemarin.”

¤¤¤

Kala terduduk di kamarnya, ponselnya ia biarkan berbunyi, tak di perdulikannya siapapun itu yang menelepon. Pikirannya sedang benar-benar berusaha menerima kejadian tadi sore diatap gedung itu.
“Kal, sepertinya, aku jatuh cinta sama kamu.” Abad tiba-tiba mengubah kata “gue-elo” dalam dialog mereka menjadi “aku-kamu” seolah menandakan yang ia ajak bicara saat ini bukanlah orang yang ia anggap sembarangan lagi. “Semua hal yang ada di kepala aku itu tentang kamu,  rasa sayang aku ke Tita itu pelan-pelan terkikis semenjak aku sadar ada orang lain yang buat aku lebih nyaman… dan itu kamu.”
Kala merasakan kepalanya berdenyut sepuluh kali lebih hebat ketika adegan itu terulang di kepalanya.
“Kal… aku tahu mungkin ini kurang pantas. Tapi aku gabisa nyalahin cinta dan sayang yang pelan-pelan tumbuh,” Abad menatap mata Kala dengan dalam, genggaman tangannya semakin erat, “Kal… aku ga sedih sama sekali Tita pergi jauh. Sumpah demi Tuhan. Aku malah ngerasa aku bebas ga ada dia. Aku gabisa lagi ngerasain rasa kehilangan dan sedih ke Tita karena pikiran aku semuanya sudah penuh dengan kamu.”
Kala benar-benar nyaris limbung. Hujan yang perlahan turun diluar jendela kamar, membuat hatinya semakin mendayu-dayu.
“Kal… ini bukan rayuan… bukan gombal. Aku serius. Aku juga gatau sejak kapan rasa ini mulai ada, tapi yang jelas sejak pertemuan pertama kita aku tahu kamu beda. Ada suatu magnet yang membuat aku pengennya terus ada di dekat kamu dalam waktu lama. Aku juga awalnya bingung ada apa sama diri aku. Sampai akhirnya aku sadar pelan-pelan. Kal… aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya dengan kamu.”
Hujan semakin lebat, petir semakin menggelegar.
“Sangkala Indah Lestari, Abadi Kusuma Negara telah jatuh cinta dengan dentuman yang begitu besar, dengan aliran yang begitu bandang, dengan kedalaman yang tak terukur lagi padamu.”
Kala nyaris menjatuhkan tubuhnya yang sedang begitu dahsyat menerima ribuan hujaman perasaan tepat ketika ponselnya berbunyi entah untuk yang keberapa kalinya.
Kala mengambil ponsel itu dan mendapati nama Abad terpampang jelas disana.
“Kal… Kala…” Abad menyahut tenang, namun nada panik terselip disana.
“Iya?”
“Kamu gapapa? Maafin aku…”
Kala terdiam, kepalanya kembali memutar saat dimana ia bangun tiba-tiba dari duduknya dan berlari sekencang mungkin meninggalkan Abad sendirian di atap gedung. Tidak… Kala belum siap… Kala belum siap untuk semua ini.
“Bad… aku gapapa, aku butuh sendiri aja dulu, oke?”

¤¤¤

Bersambung~~~~~