Rabu, 03 Oktober 2018

Mengabadikan Kala part VII


CINTA HARUS KUAT

Arita baru saja keluar dari ballroom lantai sembilan belas hotel setelah mengadakan pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya, ketika matanya menangkap sosok Abad berdiri di depan lift ballroom. Demi memastikan, Arita memicingkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat.
“Abadi?” Arita terkejut sendiri setelah dengan pasti membenarkan bahwa itu adalah sosok anak lelaki semata wayangnya. “Kamu kok bisa sampai sini?”
“Abad mau bicara sama Ibu.”
Arita menggeleng, “bicara apa? Apa ga bisa nunggu ibu sampai dirumah?”
“Aku sudah terlanjur sampai disini, Bu. Bisa kan kita bicara?”
Arita tercengang, air wajah itu, air wajah keras nan serius yang tak pernah Arita lihat sebelumnya ada pada Abad.
Arita akhirnya memutuskan untuk mengalah. Mengangguk. Lalu menggiring Abad menuju kamarnya. Kini ia tahu pada siapa sifat keras kepalanya telah diwariskan.

¤¤¤

Abad duduk berhadapan dengan Arita di balkon kamar yang menyajikan pemandangan langsung kearah jembatan raksasa kota. Semilir angin nampak membuai membuat keduanya nyaris terkantuk.
“Bu… Abad sudah dengar semuanya.” Abad mulai angkat bicara. Ditatapnya mata Arita sekilas lalu membuang pandang pada senja yang mulai terbenam.
Arita mengernyit, ia meletakkan gelas teh yang sedari tadi ia timang, “dengar tentang apa?” denyut nadi Arita mulai berdetak acak, sepertinya ia mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Arita bukan perempuan bodoh yang tak pandai membaca situasi.
“Apa yang Ibu lakukan pada Kala?” Abad bertanya dengan nada sengit, datar dan tajam. Tak sedikitpun ia tolehkan tatapannya pada Arita.
“Maksudnya?” Arita masih mencoba berpura-pura tidak tahu, memancing Abad untuk mengatakan segala kata-kata yang anak semata wayangnya itu pendam.
“Bu… bukannya kita sudah pernah janji untuk mengenal Kala lebih jauh? Kita sudah berjanji kan, Bu, untuk belajar memahami Kala terlebih dahulu tapi kenapa ibu…”
“Tunggu… tunggu…” Arita memotong kalimat Abad. “Jadi Kala yang menyuruh kamu kesini? Lalu dia bercerita tidak-tidak tentang kejadian antara ibu dan dia semalam?”
Abad tertawa sinis, “bu… dari kalimat ibu barusan saja ibu sudah melakukan sebuah penuduhan terhadap Kala. Ibu tuh ya emang gapernah bisa berpikir baik-baik tentang Kala. Kala salah apa sih bu sama Ibu? Sampai ibu tuh sebegini teganya dengan Kala?”
“Abadi, dengarkan Ibu baik-baik,” nada tegas pada suara Arita mulai terdengar. “Kala itu bukan perempuan baik dan tepat untuk kamu.”
“Kenapa?!” tanya Abad dengan nada tinggi, emosinya mulai menanjak naik.
“Abadi… Kamu pikir ibu melakukan ini semua untuk siapa? Untuk kamu, Sayang. Ibu ga mau anak lelaki satu-satunya kesayangan Ibu jatuh di pelukan perempuan yang tidak tepat. Itu lah kenapa…”
“Itulah kenapa Ibu sampai tega menguji Kala sedemikian rupanya? Begitu?”
“Abadi… perempuan yang kamu sebut sebagai calon istrimu itu tidak bisa masak, tidak mahir membereskan rumah, bangun kesiangan. Sungguh bukan sosok calon ibu yang baik untuk anak-anak kamu.”
“Jadi ibu menilai Kala tidak baik untuk aku hanya karena permasalahan sepele seperti itu?” Abad tertawa terbahak beberapa detik, kemudian ia diam dan matanya menatap lurus pada Arita, “sekarang aku tanya sama ibu, apa dari kecil ibu pernah masakin aku makanan? Apa dari kecil ibu pernah ngurusin aku? Apa dari dulu ibu pernah membereskan rumah? Enggak kan bu? Semuanya dilakukan pembantu.”
Arita diam.
“Begitu juga aku, Bu. Aku sayang sama Kala. Soal dia tidak bisa melakukan pekerjaan rumah biarkan. Aku mampu, Bu, menyewa bahkan sepuluh pembantu untuk melayani Kala, Ibu, Ayah dan aku. Aku cari istri bu, bukan cari pelayan.”
Arita masih diam. Tenggorokannya mulai sakit, menahan tangis.
“Kalau ibu saja tidak pernah melakukan hal itu, kenapa Ibu mewajibkan Kala untuk melakukan hal itu, Bu?”
“Ibu memang tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tapi Ibu bisa, Bad. Ibu bisa melakukannya walaupun tidak pernah Ibu kerjakan. Ibu bisa masak, ibu bisa membereskan rumah, Ibu bisa…”
“Bu… jangan pernah bandingkan Kala dengan Ibu. Aku tahu Ibu sempurna. Ibu maha hebat. Ibu maha segala-galanya. Tapi Kala tidak, Bu. Dia hanya seorang gadis yang sedang belajar memperbaiki dirinya. Ibarat berlian, Bu, dia sedang diasah untuk bersinar. Apa Ibu tidak paham filosofi itu? Bukannya Ibu seorang pengusaha berlian?”
Arita kembali terdiam.  Dihelanya nafas berkali-kali mencoba menenangkan diri.
“Bu, ada banyak sisi baik dari Kala yang bisa ibu lihat. Bukan hanya sekadar dari sisi sepele seperti itu. Kala itu cantik, Bu. Dia pintar. Dia seorang dokter. Dia baik. Dia pekerja keras. Apa Ibu tidak bisa melihat sisi itu?”
“Tapi, Bad, perempuan itu pada dasarnya tetaplah perempuan, sehebat apapun ia. Ia harus tetap memiliki kemampuan mengatur rumah tangganya. Kemampuan untuk melayani suami dan anak-anaknya. Dari hal kecil saja Kala sudah tidak bisa, bagaimana dia mau mengurus kamu dan anak-anak kamu kelak.”
“Bu! Sudah!” Abad sudah tak tahan lagi, dibentaknya Arita dengan nada tinggi, “mata hati ibu itu sudah tertutup dengan segala kebencian dan ketidaksukaan. Jadi apapun yang Kala lakukan selalu salah dimata Ibu. Ibu itu sudah tidak punya hati nurani!”
Arita sudah tidak tahan lagi, matanya mulai menitikkan air mata, “Kala tidak sebaik Tita, Bad…” desisnya pelan. Ditatapnya mata Abad dengan air mata yang mulai membanjir.
Abad meremas kepalanya, geram. “Oh jadi karena ini makanya Ibu sampai hati menguji Kala? Karena ibu belum bisa melupakan Tita, begitu? Ibu tahu darimana Kala tidak sebaik Tita kalau ibu saja tidak pernah mau membuka diri atas semua kebaikan-kebaikan Kala?” Abad menggerogoti mata Arita dengan tajam, namun dalam hati ia turut merasa bersalah telah membuat Arita menitikkan air mata. “Bu… sudahlah… Abad minta sama Ibu supaya ibu mau membuka hati seluas-luasnya. Lupakan Tita. Jangan pernah bandingkan Kala dengan siapapun, Abad mohon.” Abad mulai memelankan nada bicaranya. Ia dekati Arita kemudian memeluk ibunya itu dengan kencang. “Maafkan, Abad, Bu. Sudah buat Ibu nangis. Tapi Abad mohon sekali ini saja Ibu dengar permintaan Abad. Ya, Bu? Berdamailah dengan segala yang terjadi, Bu. Tita sudah tidak ada. Yang ada sekarang adalah Kala.”
Arita terenyuh, perlahan bongkahan es di dadanya menyusut dan mencair. Air matanya berhenti menetes dan berganti dengan sesal yang menimpukinya beribu-ribu kali lipat. Ya Tuhan kenapa aku menjadi kejam sekali seperti ini, Arita membatin. “Maafkan Ibu juga, Bad. Maaf…” hanya itu yang mampu Arita katakan. Sepasang Ibu dan anak itupun akhirnya berpelukan. Melepas segala amarah. Melunturkan segala kesedihan. Menyatukan segala perbedaan. Bersama dengan senja yang meluntur dan langit yang menggelap, keduanya sepakat untuk menghentikan semua perdebatan.

¤¤¤

Kala terduduk melamun diatas sebuah bangku taman di pinggir jembatan raksasa kota. Matanya menatap lirih pada sungai yang tampak mengalir tenang. Pikirannya begitu kalut bagai ditelan gelap yang mulai menyemai.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, nama Abad muncul disana.
“Halo?”
“Kal, kamu masih di jembatan?”
“Masih.”
“Oke tunggu. Aku kesana.” Sambungan telepon itu mati.
Lima belas menit kemudian Abad tiba. Tubuh atletisnya tampak membayang samar dari kejauhan dibawah temaramnya lampu taman yang bersinar di kegelapan.
Tanpa diminta, Abad langsung menempati bagian kosong di sisi kursi Kala. “Kamu masih sedih?” Abad bertanya sambil tersenyum tenang, diusapnya pipi Kala lembut.
Kala tanpa diperintah ikut tersenyum juga, Abad memang selalu berhasil membuat keadaan apapun tampak lebih baik. “Masih. Sedikit.” Kala tertawa pelan. Tawa pertamanya di sepanjang hari ini.
“Sayang, kamu jangan sedih lagi. Aku sudah bicara dengan Ibu. Semua masalah sudah selesai,” Abad tersenyum tipis, “Ibu janji akan menerima kamu setelah semua kejadian ini. Aku jamin, kejadian seperti ini ga akan keulang lagi, kamu percaya kan?”
Kala tercengang setengah percaya tak percaya dengan semua perkataan Abad. Hatinya mendadak tenang luar biasa. Sorot mata Abad itu, Kala tahu, tak ada sedikitpun ragu dan kebohongan disana. “Serius? Memang kamu bicara apa aja dengan Ibu?” tanya Kala dengan nada begitu penasaran.
“Aku jelasin ke Ibu kalau kamu itu baik,” Abad mencolek hidung Kala gemas, “dan kamu layak diperjuangkan.”
Sebuah kalimat pendek, namun berhasil membuat Kala spontan tersenyum sumringah lalu memeluk Abad kencang. “Bad… makasih ya… makasih mau selalu berjuang untuk kita.”
Abad melepas pelukan itu lalu mencium kening Kala dengan khidmat. “Sama-sama, Sayang. Oh iya, Ibu menyampaikan permintaan maaf ibu yang sangat dalam untuk kamu. Ibu minta maaf belum bisa menyampaikan maafnya secara langsung. Ibu tadi buru-buru mau pergi lagi ke pulau seberang. Ibu bilang, nanti kalau sudah ada waktu, dia mau ketemu kamu lagi dan bilang maaf secara langsung.”
Kala tersenyum lagi untuk kesekian kali. Hatinya berbunga, begitu bahagia. “Iya. Besok-besok aku pasti mau banget ketemu Ibu.”


KEHILANGAN SANDARAN

“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Suara lelaki dengan nada berat itu terus terngiang di di telinga Kala. Membuat tubuhnya terasa semakin gelisah. Hendak membuka mata namun tak sanggup. Hendak beranjak bangun namun seperti ada yang menahannya.
“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Suara itu memanggil lagi. Namun kini terasa semakin menjauh dan menggaung semakin lemah. Samar namun pasti suara itu semakin menghilang. Kala semakin gelisah. Ia begitu ingin berlari mengejar suara itu namun kakinya seperti tertancap di tanah. Ia begitu ingin menggapai suara itu dengan tangannya namun tangannya terasa seperti diikat.
“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Kala tak lagi kuasa, disontakkannya tubuh kedepan memberontak dari segala ketidakmampuannya bergerak. “Papaaaaaaaaaaaaaa…..” teriaknya dengan begitu kencang. Matanya membuka dengan lebar. Nafasnya berat dan terengah-engah. Keringat mengucur deras dari pelipis Kala. Kala mengedarkan pandang dan tersadar ia sedang berada di ranjang kamarnya. Mimpi tadi, terasa begitu nyata.
Pada detik berikutnya Kala tercenung menatap sekeliling kamarnya, air matanya menitik satu persatu, di sudut kamar itu seolah muncul bayangan Braja yang melambaikan tangan padanya. “Papa…” Kala segera bangkit berdiri, hendak memeluk bayangan itu, namun bayangan itu musnah tepat ketika tangan Kala terulur untuk meraihnya. “Papa…” desis Kala kemudian.
Terdengar suara pintu kamar dibuka dengan kasar, Kala memutar tubuhnya dan menemukan Lilia berdiri disana dengan pakaian serba hitam. “Kala? Kamu kenapa, Nak?” Lilia mendekat, memeluk Kala yang tampak menangis dalam sunyi.
“Papa, Ma… Kala mimpiin Papa.” Tangis Kala semakin menjadi dalam peluk itu.
Lilia membelai dengan lembut rambut Kala yang tampak berantakan, “Kala, sudah… Papa sudah tenang, Sayang. Di ikhlaskan ya,” Lilia melepas pelukan itu dan menatap Kala dari ujung rambut hingga ujung kaki, anak gadis sulungnya itu masih mengenakan pakaian semi formal khas anak co-ass. Kejadian satu jam lalu pun terputar di kepala Lilia, ketika anak sulungnya itu harus pulang mendadak dari rumah sakit dan langsung jatuh pingsan ketika setibanya di rumah sebab mendapati Braja telah terbujur kaku akibat serangan jantung. “Sekarang kamu ganti pakaian, turun ke bawah. Kita doakan Papa sama-sama ya.”
Kala mengangguk, menghapus air matanya satu persatu. Mencoba menegarkan dirinya sendiri atas kepergian Braja yang tanpa isyarat ini.

¤¤¤

Kala termenung menatap tubuh Braja yang telah diselimuti kain-kain putih dihadapannya. Air matanya tak berhenti menetes, mulutnya terus merapal doa-doa, kepalanya terus memutar kenangan demi kenangan. Kala tak pernah berpikir bahwa Braja akan pergi meninggalkannya secepat ini. Dalam angannya, Kala sudah sering kali membayangkan Braja akan menjadi wali di hari pernikahannya kelak, membayangkan Braja akan menggendong anaknya dan membelikan cucu-cucunya eskrim setiap hari, membayangkan Braja bercanda mengolok-olok Lilia ketika gigi Lilia sudah mulai ompong sebab menua. Braja terlalu dini untuk pergi saat semua angan Kala belum tersampaikan padanya.
“Kal…”
Seseorang menyentuh punggungnya, Kala menoleh, suara itu begitu hangat menyapa telinga, suara yang begitu akrab di dengar Kala. “Abad.” Abad berdiri disana dengan mata berkaca-kaca menatap Kala, seolah dapat merasakan kesedihan yang sama. Abad duduk, mengambil posisi tepat di sebelah Kala.
“Aku turut berduka cita untuk Papa.” Ucapnya setengah berbisik. Disentuhnya pundak Kala, menyalurkan ketenangan seperti biasa.
Kala mengangguk, air matanya kembali menitik. Ia masih belum sanggup untuk banyak bicara. Kehilangan ini benar-benar memukulnya. Serasa separuh jiwa Kala turut tiada bersama perginya Braja. Kala telah kehilangan sandaran, semangat hidup, tempat mengadu, tempat bercerita, sosok Papa, sosok pelipur lara, sosok yang selalu ada, Kala kehilangan salah satu hartanya yang paling ia sanjung di dunia.
“Kamu jangan nangis terus, doakan Papa,” Abad mengulurkan sebuah buku surat Yassin pada Kala. Kala mengangguk, meredam emosinya sendiri demi kemudian tersadar satu-satunya untuk tetap membuat Braja ada dihatinya adalah dengan berdoa.

¤¤¤

“Kal? Aku baru pulang kerja nih.”
Kala memberingsutkan tubuhnya semakin dalam ke dalam gumpalan selimut. Cuaca sore itu nampak begitu memanjakkan, rintik bercampur mendung berhasil membuat Kala terkantuk-kantuk. “Iya, hati-hati dijalan.” Ucap Kala singkat pada sosok kekasihnya itu di ujung telepon.
“Kita gamau kemana-mana? Mumpung kamu libur.”
“Mau kemana memang, Bad?”
Abad diam sejenak, berpikir, “ke toko buku yuk. Kamu kayanya udah lama deh ga beli novel. Banyak novel keluaran baru akhir-akhir ini. Kamu harus baca.” Abad tampak begitu bersemangat seolah ingin mengajak Kala ikut bersemangat juga. Lebih tepatnya, Abad ingin menghibur Kala yang sudah hampir satu minggu larut dalam kesedihan sejak hari dimana Braja meninggal dunia. “Yuk! Mau kan?” ajak Abad sekali lagi dengan nada lebih bersemangat.
Kala diam sejenak, berpikir. Menata perasannya sendiri yang sebenarnya belum baik-baik saja. Entah sudah berapa ajakan Abad untuk keluar rumah yang ia tolak. Entah sudah berapa banyak makanan yang Abad bawakan kerumah namun tak ia sentuh. Kala… sehancur itu…
Lama terdiam, Abad kembali angkat bicara. “Sayang… Sangkala-ku… Sangkala Indah Lestari-ku… kamu gaboleh berlarut-larut sedih terus, Sayang. Nanti di Sana Papa juga sedih loh kalau kamu sedih. Papa ga tenang kalau kamu belum ikhlas. Segala sesuatu yang diikhlaskan itu akan membuat hidup kita terus berjalan kedepan dan lebih baik. Tuhan itu punya rencana indah dibalik setiap kehilangan. Tuhan percaya kamu sudah mampu hidup tanpa sosok Papa, itu berarti Tuhan percaya kamu hebat, Kal. Sangkala-ku hebat…”
Kala terdiam mendengar kalimat itu. Entah sudah berapa ribu kalimat yang Abad rangkai untuk menyemangati Kala, namun kalimat ini adalah yang paling menyentuh hatinya. Kala menarik nafas panjang, merasakan setiap tarikan nafas itu mengalirkan energi positif hingga ke sel-sel terkecil tubuhnya.
Kala tanpa sadar tersenyum sendiri, semangat di hatinya perlahan tumbuh, “yaudah kamu jemput aku kerumah ya sekarang. See you!”
Mendengar nada suara Kala yang tampak bersemangat, Abad langsung menaikkan kecepatan mobilnya, membara melaju ditengah jalanan kota, tak sabar bertemu Kala dengan senyum terpampang diwajah manisnya.


TERPAPAR MASA LALU

Bagi seorang Sangkala Indah Lestari, selain laut dan pemandangan lampu-lampu kota, toko buku adalah syurga baginya. Kala suka wewangian buku saat halamannya saling bergesekan, Kala suka mozaik warna-warni dari tumpukan bermacam-macam buku yang di pajang, Kala suka berjalan-jalan melintasi rak demi rak bagai melalui labirin yang tiada habisnya. Tentang toko buku, Kala selalu jatuh cinta, tak perduli seburuk dan setua apapun kondisi toko bukunya.
“Kal, ini buku baru penulis favorit kamu kan?” Abad mengacungkan sebuah buku bersampul hitam pekat dengan gambar lingkaran merah bertumpuk-tumpuk ditengahnya. Nama penulis favorit Kala yang hanya memiliki 3 huruf itu terukir manis dibawah buku. “Mau beli ini?”
Tanpa ragu Kala mengangguk cepat dan memasukkan buku it ke shopping bag-nya.
Abad melihat pemandangan itu sebagai suatu keajaiban. Kala sudah bisa tertawa sekarang.
Kala dan Abad terus berjalan mengelilingi toko buku, memilah milih judul, memasukkan buku yang dirasa cocok ke shopping bag. Begitu terus, berulang-ulang tanpa lelah. Obrolan demi obrolan pun  terus berjalan seiring dengan waktu yang semakin merangkak naik.
Hingga tiba di suatu titik, tepat ketika Kala hendak mengambil sebuah buku dibarisan novel terjemahan adaptif, tangannya bersentuhan dengan sebuah tangan halus berkulit bersih dari sisi rak seberang, tangan itu hendak mengambil buku yang sama. Kala berjinjit sedikit melihat sosok itu demi kemudian terkejut setengah mati mengetahui tangan yang disentuhnya adalah tangan milik Arita.
“Ibu?”
“Ibu?”
Kala dan Abad berseru kompak. Terkejut.
Arita dengan wajah terkejut namun tenang hanya mampu tersenyum, “loh kalian disini juga?” ia pun berjalan menyeberangi rak buku, mendekati sepasang kekasih itu. “Kala apa kabar?” diciuminya pipi Kala kanan dan kiri. Kala membalas sapaan itu dengan canggung. Sementara Abad hanya mampu diam mematung. Di kepalanya Kala masih ingat dengan baik kejadian terakhir yang menimpanya saat ia bertemu dengan Arita. Kejadian yang hingga detik ini entah mengapa masih saja membekaskan luka.
“Kala, ibu turut berduka cita ya atas meninggalnya Papa kamu kemarin. Maaf ibu tidak bisa datang karena ada urusan,” mata Arita itu memancarkan sorot sedih bukan main. Namun Kala jengah, ia tidak mau lagi tertipu dengan ucapan manis Arita. Dalam hatinya ia tetap waspada dan tak ingin terhanyut.
“Iya, Bu. Makasih ya.” Kala tersenyum tipis. “Ibu lagi cari buku juga?”
Arita mengangguk. “Iya. Lagi cari buku-buku bisnis. Kalian cari apa?” Arita melirik Kala dan Abad bergantian.
“Ini, Bu. Kala juga mau cari buku bacaan.” Kali ini Abad bersuara.
“Buku apa? Tentang ekonomi? Budaya? Oh atau tentang politik?” Arita bertanya dengan nada antusias.
Kala tersenyum miris, malas menjawab.
“Yuk kalau gitu kita cari buku bareng-bareng aja. Sekalian sharing dan ngobrol.” Arita tanpa sungkan merangkul lengan Kala. Abad melihat kejadian itu sambil dalam hati berdoa semoga kali ini Ibu menepati janjinya.
Dengan Abad yang mengintili di belakang, Arita menggandeng Kala terus masuk ke dalam jajaran rak buku yang tak pernah Kala singgahi; rak buku tanpa terjemahan dengan berbagai macam judul.
Arita mengambil satu buah buku kemudian membolak balik halamannya, “Oh iya, Kal. Soal waktu itu ibu minta maaf.”
Kala mengernyit. Bingung.
“Itu… kejadian di hotel kemarin. Ibu benar-benar gak bermaksud…”
“Bu… sudah… jangan dibahas. Kala juga salah dengan segala tingkah laku Kala ke Ibu. Maafkan Kala juga ya, Bu.” Potong Kala, tak ingin memperpanjang pembahasan. Segala tentang kejadian malam itu hanya membuatnya sakit kepala jika semakin dipikirkan.
Arita tersenyum mengiyakan, “oh iya, Kala pernah baca buku ini?” Arita menunjukkan buku yang ia pegang.
Kala terdiam, melihat sampul bukunya saja ia merasa sangat asing. Buku-buku tanpa terjemahan adalah buku yang nyaris tak pernah Kala sentuh. Sebab Kala terlalu malas jika otaknya harus bekerja dua kali lipat demi membaca sembari menerjemahkan isinya ke bahasa Indonesia.
“Ga tau, Bu. Ga pernah baca.”
“Ooohhh Kala gapernah baca buku ini? Ini bagus loh padahal. Ibu suka buku ini. Cerita tentang Kerajaan India yang pertama.” Arita meletakkan buku itu kemudian mengajak Kala ke labirin rak sebelah. Tangannya menggamit sebuah buku yang lagi-lagi tak pernah Kala lihat. Kala memang pecinta buku, sungguh, tapi bukan berarti Kala telah membaca semua buku di dunia ini. Kala manusia, bukan ensiklopedia. “Kalau buku ini Kala tahu?”
Kala memerhatikan lamat-lamat buku bersampul merah tua dengan aksara-aksara China di depannya itu hanya demi berpura-pura agar terlihat berpikir. “Belum juga, Bu. Kala lebih banyak baca buku-buku dari Indonesia dan novel-novel fiksi.”
Arita manggut-manggut, “Kala harus baca ini kapan-kapan. Ini ceritanya tentang ekspansi perdagangan China ke seluruh dunia. Dari buku ini kita bisa belajar gimana cara berbisnis yang baik.” Jelas Arita kemudian, Kala hanya mengangguk sambil tersenyum. Abad melihat kejadian itu dengan perasaan semakin cemas. Ibunya sungguh… kali ini masih tampak sedang menguji Kala namun dengan cara dan bahasa yang lebih halus.
“Bu… kita makan aja yuk.” Sela Abad kemudian, berusaha menghentikan segala tindakan konyol ibunya.
“Nanti dulu. Ibu belum selesai cari buku.”
“Tapi aku sama Kala sudah selesai, Bu,” Abad menunjukkan shopping bag mereka yang tampak penuh. “Abad sama Kala makan duluan saja ya, Bu?”
Arita menggeleng tegas, “sebentar lagi… yuk, Kal. Sebelah sana belum kita lihat.” Arita tanpa aba-aba langsung menggiring Kala menuju labirin paling pojok. Abad menyerah. Terpaksa mengikuti dari belakang.
“Kalau yang ini udah pernah baca?” lagi-lagi Arita menunjukkan sebuah buku bersampul hijau lumut dengan huruf-huruf romawi kuno.
Kala menggeleng tegas, “belum, Bu. Sepertinya Kala belum pernah baca semua buku yang ibu baca. Ibu selera bacanya bagus.” Puji Kala kemudian berharap semua ini cepat berakhir. Firasatnya mulai mengatakan hal tidak baik tentang Arita.
“Wah kalau gitu Kala harus lebih rajin baca bukunya. Ada banyak buku-buku luar yang bagus.” Arita tertawa kecil. “Beda sekali sama Tita ya. Tita sudah pernah baca semua buku yang tadi Ibu tunjukkan. Bahkan ia ikut berdiskusi dengan Ibu membedah buku itu.”
Kala tersentak, jantungnya serasa ingin berhenti berdetak mendengar Arita mendengungkan nama itu. “Tita?”
“Iya Tita. Mantan pacarnya Abad kemarin ini. Tita itu hampir semua buku sudah pernah dibacanya loh, Kal. Jadi kalau ngobrol apa saja dengan Tita nyambung sekali. Bahkan buku-buku parenting dan masakan juga Tita baca. Makanya Tita jadi pintar sekali memasak dan juga mahir soal urusan mengatur rumah.” Celoteh Arita panjang lebar tanpa merasa berdosa. Sementara itu, Kala setengah mati menahan emosinya yang nyaris meledak. Sekuat tenaga, menahan air matanya yang hendak tumpah. Lagi, kesekian kali, Arita berhasil melukainya.
“Ibu!” Bentak Abad tiba-tiba. Wajahnya memerah padam. “Ibu ngomong apa sih? Kenapa jadi bahas-bahas Tita? Maksud ibu apa?” Abad sungguh tak mampu lagi meredam segala amarahnya. “Bu, kita sudah sepakat ya kalau ibu ga akan lagi memperlakukan Kala dengan seperti ini. Kenapa ibu masih…”
“Bad… sudah…” Kala menahan Abad bicara demi pada detik berikutnya matanya yang mulai berkaca-kaca menatap mata Arita dengan lurus dan tajam. “Ibu Arita Kusuma Negara yang terhormat,” Kala menarik nafas panjang, suaranya mulai bergetar, “sebelumnya saya tidak pernah tahu kenapa Anda begitu tidak menyukai saya. Saya bingung sekali dimana letak salah saya hingga apapun yang saya lakukan tampak selalu bercela di mata Anda. Saya pikir salahnya ada di saya. Sehingga saya terus menerus mencari solusi, bagaimana saya bisa bertransformasi menjadi calon menantu yang Anda inginkan. Saya terus belajar memperbaiki diri saya hingga bahkan saya sudah tidak bisa menemukan diri saya sendiri lagi,” setetes air mata Kala mulai jatuh. “Tapi ternyata saya salah besar, Ibu Arita. Hari ini saya sadar, kesalahannya ternyata bukan terletak pada saya… tapi pada Anda. Anda yang terus mencoba mengubah saya seperti Tita. Anda yang terus membanding-bandingkan saya Tita. Anda yang masih belum bisa ikhlas melepas Tita sehingga Anda berharap bahwa saya bisa seperti Tita,” tangis Kala pun semakin menjadi, “Ibu Arita Kusuma Negara yang terhormat. Sampai kapanpun tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar sama di dunia ini. Dan sampai kapanpun jika Anda tidak pernah membuka hati Anda untuk saya, meski seribu kalipun saya berbuat baik mau sejuta buku pun yang saya baca untuk belajar menjadi seperti yang Anda mau, maka saya akan tetap saja salah.”
“Kal…” Abad berusaha merangkul Kala, namun Kala menepisnya. Matanya tak bergerak barang sesenti pun dari kedua bola mata Arita yang menatapnya dengan wajah merah padam.
“Maaf, Ibu Arita. Saya menyerah. Saya mundur dari lingkaran ini. Saya bukannya tidak bisa menjadi apa yang Anda mau. Saya bisa. Sangat bisa. Itu hal mudah bagi saya jika saya mau mempelajarinya. Tapi maaf, saya tidak bisa hidup dengan orang-orang yang masih terpapar dengan masa lalu. Saya tidak akan pernah bisa hidup dengan orang-orang yang tidak mau menerima keburukan saya. Sebab saya manusia, bukan Tuhan Yang Maha Sempurna,” Kala mengambil sebuah buku yang tepat berada di rak buku dekat tanganya. Buku berwarna pink pastel bercorak bunga-bunga. “Anda sudah pernah baca buku ini?” tanya Kala, namun tanpa memberikan kesempatan Arita menjawab ia segera melanjutkan kalimatnya. “Buku ini berisi tentang berbagai macam metode untuk membuat jiwa dan pola pikir menjadi sehat dan baik, karangan seorang psikolog terkenal dari Rusia, yang sudah dua puluh kali cetak ulang.” Wajah Arita semakin merah padam, matanya semakin menyorot tajam. “Saya sudah membaca buku ini sejak saya duduk di bangku SMP, dan semua ajaran di buku ini selalu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari saya, itu lah mengapa saya selalu berbuat baik kepada semua orang sebab jiwa dan pola pikir saya sudah sehat dan baik.” Kala menghapus air matanya yang mulai membajir, “Dan saya rasa Anda belum membacanya. Benar, bukan?” Kala tertawa kecil, “pesan terakhir dari saya untuk anda adalah saya sangat merekomendasikan buku ini untuk Anda baca Ibu Arita. Selamat tinggal.” Kala meletakkan buku itu ke genggaman Arita dengan paksa lalu melenggang pergi meninggalkan Arita yang terdiam tak mampu lagi bicara.
Kala terus berjalan keluar toko buku, menerobos langit gelap malam yang menurunkan gerimis, tak perduli meski Abad berlari mengejarnya, berpura-pura tuli meski Abad meneriaki nama Kala berulang kali hingga pita suaranya nyaris putus.

¤¤¤

Kala tak lagi kuasa. Di dalam mobil taksi yang membawanya semakin menjauh dari toko buku, ia menangis, sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya, sesengguk-sengguknya. Supir taksi yang ia tumpangi hanya mampu menyaksikan adegan itu sembari terdiam dan sesekali curi pandang dari balik kaca spion.
Hujan semakin deras, gemuruh petir terdengar bersahutan, kilat berkali-kali menyambar. Kala menyaksikan semua itu dengan mata yang juga sama basahnya. Hatinya remuk. Bak jatuh dari angkasa menuju bumi. Berkeping berjuta kali.
Tak di acuhkannya ponselnya yang terus berdering. Tanpa melihat, Kala tahu siapa yang menelepon. Dan oleh sebab itu Kala tak ingin menjawabnya.
Tita… gadis itu. Sekalipun Kala belum pernah bertemu dengannya. Sebaik itu kah ia? Sesempurna itu kah hingga mampu membuat Arita tergila-gila? Dalam hati Kala terus bertanya-tanya. Namun semakin ia memunculkan tanda tanya itu semakin air matanya mengebah tak henti-henti. Kala terluka, segala tingkah laku Arita tak mampu lagi ia terima.
Sementara itu di parkiran toko buku, Abad terus menerus mengotak atik ponselnya, mencoba menelepon dan mengirimi kala berpuluh-puluh pesan. Tak diperdulikannya Arita yang sedari tadi entah sudah pergi kemana, melenggang tanpa berucap barang hanya sepatah kata.
Abad mengutuki dirinya sendiri. Memaki-maki kebodohannya atas ketidakmampuannya menjaga Kala dari segala tingkah kejam Arita. Ia sungguh ingin menangis namun air mata pun rasanya tak sanggup mewakili seluruh perasaan yang kini berkecamuk di kepalanya. Abad terluka… sama terlukanya seperti Kala…

¤¤¤

“Abad! Abadi!”
Abad melirik sekilas pada Arita yang menungguinya pulang di ruang tamu, lalu melengos tanpa ampun, tak perduli. Dilangkahkannya kaki menuju kamarnya tanpa menengok lagi sedikitpun.
“Abadi! Dengar ibu mau bicara! Abadi!” Arita tak menyerah, dikerjarnya Abad, kemudian ditahannya tangan Abad secara paksa.
Abad menghentikan langkahnya lalu dengan ekspresi datar menatap Arita.
“Abad, dengarkan Ibu. Ibu ga ada maksud melukai Kala seperti itu. Ibu benar-benar…”
“Sudahlah, Bu,” Abad melepas tangan Arita. “Abad ga nyangka, Ibu bisa setega itu. Dan Abad lebih ga nyangka lagi punya Ibu seorang pengingkar janji… berkali-kali!”
“Abadi! Dengarkan Ibu…” mata Arita mulai tampak sayu, “segala sesuatu yang Ibu ucapkan di toko buku tadi murni tidak sengaja. Ibu benar-benar tidak ada maksud menyinggung Kala. Semua itu terjadi begitu saja… sebab ibu masih terlalu sering mengingat Tita… maafkan Ibu, Bad…”
“Maaf, Bu. Aku udah gabisa lagi percaya semua omongan Ibu.”
“Abadi… kamu ga percaya lagi sama Ibumu sendiri?”
Abad diam, wajahnya masih sama datarnya. Dalam hati, ia sedang berusaha keras menahan gejolak emosi yang meletup-letup.
”Dengar Ibu, Nak… Ibu benar-benar tidak sengaja membahas Tita tadi, sungguh.” Arita menatap Abad tajam. “Tapi kamu lihat sendiri kan sesudahnya? Kamu saksikan sendiri kan? Gadis itu tidak ada sopan santun sama sekali. Dia memperlakukan Ibumu ini seperti sampah, Nak.”
Abad menggeleng, “apa ibu bilang? Kala memperlakukan Ibu seperti sampah? Bukannya Ibu lebih dahulu membuat Kala seperti sampah di mata Ibu?”
“Tapi dia tidak seharusnya memperlakukan Ibu seperti itu!”
“Ibu juga tidak seharusnya memperlakukan Kala seperti itu!”
Arita terdiam. Kilatan marah di mata anak tunggalnya itu tampak jelas terbaca. Abad benar-benar murka.
“Jadi kamu terima-terima saja Ibumu diperlakukan tidak sopan seperti tadi?”
“Bu… bisa tidak Ibu berhenti merasa paling sempurna? Bisa tidak Ibu berhenti egois dan ingin selalu menang? Bisa tidak Ibu berhenti memaksakan kehendak Ibu pada orang lain?” Abad menghela nafas panjang, mengatur emosinya yang mulai memuncak. Meredam amarahnya dan kembali mengingat bahwa ia sedang bicara dengan ibu kandungnya sendiri. “Di saat seperti ini saja Ibu masih bisa membela diri seolah Ibu tidak salah dan justru menyalahkan sikap orang lain atas apa yang Ibu perbuat. Aku ga habis pikir sama Ibu.”
Arita mundur selangkah, wajahnya kembali menenang, kembali menjadi Arita yang tampak damai sehebat apapun badai yang melanda perasaannya. “Baiklah. Sekarang yang jelas satu hal yang ibu tegaskan; Ibu tidak akan pernah menyetujui hubunganmu dengan perempuan tidak punya sopan santun seperti itu.” Arita memutar tubuhnya berjalan menjauhi Abad tanpa menunggu anak tunggalnya itu membalas perkataannya.
“Halah… bilang saja Ibu memang cari-cari alasan kan untuk tidak menyetujui hubunganku dengan Kala!” teriak Abad kemudian. Arita mendengar suara itu dari kejauhan, samar, tertelan dinding-dinding lorong menuju kamar tidurnya yang kokoh. Arita tersenyum, sebuah senyum kemenangan atas pertarungan panjang. Malam ini ia bisa tidur dengan nyenyak.


BIMBANG

Abad terpekur memandang lautan luas yang membentang di hadapannya. Sudah dua jam tubuhnya tak beranjak, tatapan matanya begitu menyakitkan, ia tak dapat menemukan Kala dimana-mana.
Sejak kejadian malam itu hingga hari ini tepat seminggu, Kala lenyap bak ditelan bumi. Abad mencoba menyambangi rumahnya, namun tak menemukan Kala disana, Maryam hanya bilang bahwa Kala pergi berlibur dan Maryam tak tahu dimana tempatnya. Abad mencari Kala ke rumah sakit, namun semua teman-temannya bilang Kala sedang mengambil libur dua minggu sebab ia baru saja menyelesaikan dua stase mayor. Abad mencari Kala di atap gedung fakultas kedokteran, di segala tempat tinggi dan perbukitan kota, berharap menemukan Kala sedang terduduk memandang pemandangan  lampu-lampu kota, namun nihil, semua hampa, Kala masih tak juga berada disana. Abad mencari Kala ke semua toko buku di penjuru kota, namun bukannya menemukan Kala di antara tumpukan buku-buku yang menggurita, Abad justru semakin cemas sebab Kala masih tak juga tampak di depan mata. Hingga akhirnya sore ini Abad memutuskan untuk berkeliling dari satu pantai ke pantai di seluruh pesisir kota, berharap menemukan Kala sedang duduk di atas pasir meminum cokelat panas sembari memandang sunset kesukaannya, namun tetap saja, hasilnya sama, Kala hilang, tak berbekas, tanpa meninggalkan jejak apapun.
Abad terduduk lemas, pijaran mentari yang mulai menguning menerpa wajahnya yang sayu, lelaki itu sedang dilanda badai kesedihan yang hebat, taufan kecemasan yang luar biasa. Abad bertekad, bagaimanapun, entah sesulit apa jalannya, meski harus berdarah, terjatuh, tak perduli walau harus mencari tanpa ada petunjuk pasti, Kala harus ditemukan. Gadis itu harus pulang dalam pelukan.
“Kal… kamu dimana… “ desis Abad tanpa ia sadari setetes air matanya jatuh membasahi pasir dibawah kakinya.

¤¤¤

“Kal, lo yakin gamau makan?” Diva menyodorkan semangkuk bubur ayam hangat dan segelas cokelat panas, minuman favorit Kala.
Kala menggeleng lemas, mata dengan kantung bengkak miliknya hanya mampu menatap kosong keluar jendela, berpaku pada rerumputan kebun belakang rumah Diva yang sangat rimbun.
“Kal, ini sudah seminggu, mau sampai kapan sembunyi dari Abad? Mau sampai kapan membohongi semua orang dengan bilang lo liburan di negeri tetangga padahal lo mendekap di kamar gue ga bergerak sesentipun, makan gamau, keluar kamar gamau, hp dimatiin? Mau sampai kapan, Kal?” Diva menatap mata Kala lurus. Sahabatnya itu, ia tahu, sedang dilanda dentuman hebat di titik terlemahnya dengan sangat luar biasa. “Kal, lo pikir dengan lo diem semua masalah bakal kelar? Engga, Kal. Yang ada semua malah tambah rumit. Semua bakal tambah membingungkan dan ga ada ujungnya.”
“Tapi, Div…’
“Kal… coba lah lo berpikir jernih. Semua masalah itu dibicarakan, Kal, biar ketemu jalan keluarnya. Orang kalau nyasar aja nanya, Kal, bukan diem. Kalau diem, nanti malah jalannya salah terus masuk jurang.”
Kala menggeleng kecil, “gue cuma ga nyangka aja, ada orang di dunia ini yang sebegitunya benci sama gue padahal…”
“Padahal Sangkala Indah Lestari adalah seorang calon dokter hebat dengan begitu banyak pengagum dan ga akan terpuruk hanya karena ada satu orang yang membenci, begitu kan?” Diva memotong kalimat Kala kemudian mengakhirinya dengan tersenyum.
Mendengar semua itu, Kala hanya mampu menarik nafas panjang. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan ke kamar mandi tanpa suara. Saat ini isi kepalanya benar-benar kusut, bak benang, sudah tak dapat lagi di urai. Semua rentetan kejadian ini teramat sangat melukai batinnya hingga ke lapisan paling dasar. Ini bukan hanya mengenai cinta, ini semua juga mengenai harga diri Kala sebagai seorang wanita. Kala bersumpah, seumur hidup ia tak pernah diremehkan hingga sebegininya. Tak pernah ada yang tak menyukai Kala hingga sebegitu besarnya sampai-sampai Kala sendiri bingung dosa apa yang ia lakukan, hingga Arita tak pernah mau menerima Kala dengan lapang dada.
Kala mencuci mukanya. Bercermin. Dan menemukan matanya bengkak hebat, bibirnya pucat, wajahnya kusam, akibat dari tidur dibawah lima jam dan menangis selama seminggu belakangan ini.
Kala menyentuh bayangannya itu, meraba-raba wajahnya dari balik kaca, mendadak, ada segumpal perasaan lain muncul dari benaknya, “Kal… ini bukan elo. Kala ga begini. Kala itu kuat, tangguh, mampu menghadapi apapun, ga bisa dijatuhkan siapapun.” Kala berbicara dengan nada tegas pada bayangannya sendiri, semangat itu perlahan tumbuh bak bunga layu disiram hujan deras. “Enggak, Kal! Lo ga boleh kaya gini! Sekarang lo mandi, Kal. Lo keluar dari rumah Diva. Lo shopping, lo makan yang banyak, lo jalan ke pantai, lo liat lampu-lampu kota!”

¤¤¤

Abad terbangun di pagi itu sebab seseorang membuka gorden kamarnya sehingga sinar matahari menerpanya tepat di wajah. Abad mengulat kemudian membuka matanya setengah. Bibirnya yang siap mengumpat tiba-tiba menjadi kaku begitu melihat siapa yang baru saja melakukan hal itu terhadapnya.
“Ibu…” desis Abad pelan. Kantuknya bak diangkat tak bersisa.
Sejak kejadian di toko buku itu, Abad dan Arita seperti membangun gunung es besar yang berdiri diantara mereka. Jangankan bertegur sapa, saling melirik ketika berpapasan di dalam rumah pun tidak mereka lakukan. Arita masih terlalu gengsi untuk memulai percakapan, sementara Abad masih terlalu marah untuk mulai memaafkan.
“Selamat pagi anak semata wayang Ibu.” Arita tersenyum sembari berjalan mendekat, duduk tepat di sisi tubuh Abad.
Abad terdiam, membuang muka ke segala arah, tak ingin matanya bertumbukan dengan mata Arita.
“Sarapan sudah matang dibawah, mau makan dibawah atau ibu bawakan ke kamar?” tawar Arita lembut.
“Ibu mau apa?” tanya Abad ketus. Amarah itu masih menggelegak di dadanya.
Arita tersenyum, sikap tenang pengendali emosinya mulai nampak, “Bad, Ibu mau minta maaf kalau Ibu melukai kamu dan membuat kamu marah. Dimanapun, seorang Ibu tetaplah seorang Ibu, Bad. Dia selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sikap ibu, karena ibu ingin yang terbaik untuk kamu.” Arita mengucapkan kalimatnya sepatah demi sepatah membiarkan Abad menyerapnya dengan baik.

“Abad tahu, Ibu memang menginginkan yang terbaik untuk Abad, tapi tidak dengan memaksa, Bu.” Perlahan, hati Abad mulai melunak.
Arita mengangguk, “maaf kalau ibu terkesan memaksa kamu. Tapi Abad mau kan sekali ini saja dengarkan Ibu? Ibu ingin bicara baik baik dari hati ke hati.” Arita menatap Abad dalam. Seperti sedang berusaha merasuki perasaan anak tunggalnya itu.
Abad mengangguk, meluruskan tubuhnya, mendengarkan.
“Abad, Ibu tahu kamu mencintai Kala. Tapi apakah cintamu pada wanita itu mampu mengalahkan restu Ibu dan Ayah kandungmu? Apakah cinta itu terlalu buta sehingga kamu tidak dapat lagi meraba mana yang sedarah denganmu mana yang tidak?”
Abad terhenyak, perkataan itu menusuk tepat di jantungnya.
“Nak, kamu renungkan hal ini baik baik. Dalam shalatmu mintalah petunjuk. Jika memang Kala yang terbaik untukmu maka Tuhan akan senantiasa menggiring hatimu menujunya. Namun jika Kala bukanlah sosok yang namanya disandingkan namamu oleh takdir Tuhan, maka Tuhan akan selalu punya sejuta cara untuk menjauhkan dan menunjukkan.” Arita bangkir berdiri, tersenyum, kemudian melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Abad terdiam diatas ranjangnya, menatap punggung Arita yang menghilang di balik pintu dengan berbagai macam rasa yang tak dapat dijabarkan. Hiruk pikuk di kepalanya kembali hidup. Kejadian pagi ini memaksa otaknya berpikir keras kembali.

¤¤¤

“Kal lo udah siap?” Diva menatap Kala yang dengan rakus melahap tiga porsi burger sekaligus. Hiruk pikuk orang-orang di antrian pemesanan restoran fast food itu tak seberisik kunyahan mulut Kala yang tak dapat lagi berhenti. Sejak kemarin, Kala tak henti-hentinya mengajak Diva berwisata kuliner dari satu tempat makan ke tempat makan lain. Tak hanya itu, Kala berbelanja begitu banyak baju dan sepatu, menguras separuh tabungannya tanpa ampun. Tak lupa, Kala juga mengajak Diva menghabiskan sore hingga malam di dermaga pinggir kota, menikmati laut sekaligus lampu-lampu dermaga yang tampak berkilau di malam hari. Untung saja, Diva juga sedang libur coass, sehingga mampu meladeni segala kegilaan Kala yang tak bisa lagi ditahan. Diva sadar benar, kesedihan itu memang membuat Kala sungguh tampak berbeda.
Kala mengangguk, diteguknya segelas besar lemonade hingga hanya menyisakan es batu di dasar gelas. “Lo yang bilang kalau semuanya harus diselesaikan.”
“Iya memang seharusnya begitu, Kal.” Diva mencomot sepotong kentang goreng dari piring dihadapannya dan mengunyah kentang itu dengan ogah-ogahan, “jadi kapan mau menghubungi Abad?”
“Besok.”
“Beneran sudah siap ya, Kal? Apapun nanti keputusan dan jalan keluarnya? No drama drama lagi, okay?”
Kala mengangguk mantap, membersihkan mulutnya dengan tisu. “Siap!”

¤¤¤

Malam bergulir, sejak pagi Abad tak beranjak barang hanya selangkah dari kursi empuk di sudut The Sawah Pastry. Pak tora yang melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang ganjil, memutuskan untuk diam, enggan bertanya lebih jauh.
“Mau saya masakkan makan malam, Bad?” tawar Pak Tora ketika mengantarkan Abad segelas kopi pahit. Gelas kopi ketujuh Abad hari ini.
Abad menggeleng tegas, “engga, Pak. Gausah. Saya ga lapar.”
“Hahahahaha bagaimana bisa kamu ga lapar? Kamu dari pagi cuma minum kopi dan tiga potong red velvet,” Pak Tora terbahak dengan nada tertawa khasnya. Membuat Abad tak mampu menahan seringai senyumnya.
“Pak, Bapak pernah ga jatuh cinta terus ga direstui orangtua?” tanya Abad tiba-tiba, membuat Pak Tora yang hampir saja beranjak, mendadak mengambil posisi duduk di depan Abad, menatap mata Abad lurus.
“Jadi masalah itu yang membuat kamu dari tadi pagi linglung seperti orang gila?”
Abad terdiam sejenak, kemudian mengangguk, dilemparnya pandangan ke segala arah.
“Kala?” tanya Pak Tora.
Abad mengangguk lagi untuk kedua kalinya.
“Bad, kamu tahu ga? Saat pertama kali saya lihat gadis itu datang kesini bersama kamu dan dia pakai piama, apa yang ada di pikiran saya?”
“Apa, Pak?”
Pak Tora tersenyum sumringah, “Gadis itu memiliki energi baik yang luar biasa. Terlalu luar biasa sampai tak semua orang mampu memahami dan menyerap.”
Abad mengernyit, “maksud Bapak?”
“Kala itu memiliki isi kepala yang bermacam-macam. Kepribadian yang begitu warna-warni. Ide-ide cemerlang yang bervariasi,” Pak Tora mengambil vas bunga berwarna pink pastel yang terleta diantara ia dan Abad, “kamu lihat vas ini? Apa vas ini cocok di taruh di meja ini?”
“Cocok, Pak.”
“Kenapa?”
“Karena warnanya seragam dengan mejanya.”
Pak Tora tersenyum simpul kemudian mengambil sebuah vas di meja sebelah dengan warna abstrak yang acak, nampak begitu ramai di pandang mata. “Sekarang vas ini, apa vas ini cocok ditaruh di meja ini?”
Abad memerhatikan vas itu dengan seksama kemudian menggeleng tegas, “tidak, Pak.”
“Kenapa?”
“Warnanya tampak bertabrakan. Terlalu ramai.”
“Nah begitulah Kala.”
Abad menggeleng, masih tak mampu memahami maksud pak Tora.
“Kala itu memiliki pemikiran dan kepribadian yang berbeda dan tak pernah seragam dengan orang-orang kebanyakan. Saya rasa kamu tahu itu, kamu kekasihnya kan?”
Abad terdiam, kemudian segala tentang Kala mulai berotasi di kepalanya; buku-buku yang Kala baca, kesukaaan Kala dengan pantai dan lampu kota, cara tertawanya, cara Kala bicara, cara Kala bercanda, cara Kala menghadapi masalah, gerak-geriknya, tutur katanya, segalanya, mendadak membuat Abad sakit kepala. Pak Tora benar, Kala memang gadis unik dengan segala caranya menjalani hidup.
“Kamu tahu, ketika seseorang berbeda, maka tak semua orang bisa menerimanya? Kamu tahu, ketika seseorang nampak tak seragam maka hanya orang-orang tertentu yang dapat menyeragami dengan dirinya?”
Abad terdiam, meneguk kopinya yang mulai mendingin, berharap sakit di kepalanya hilang seketika.
“Kamu dan keluargamu itu ibarat meja ini. Satu warna. Yang kemudian berharap dipasangkan dengan vas berwarna sama agar tampak serasi dan cantik. Tiba-tiba Kala datang dengan segala kewarna-warniannya, segala pola pikirnya yang berbeda, dan keluargamu tidak dapat menerima,” Pak Tora menghela nafas panjang, “yang salah bukan Kala, dia sudah mencoba menjadi seragam dengan keluargamu, mencoba membunuh warna-warnanya hanya demi menjadi satu warna dengan kamu dan keluargamu, namun ternyata keluargamu yang masih tak mampu mencoba menyeimbangkan diri dengannya. Sesungguhnya, keluargamu yang tak pantas dengannya, Bad. Kenapa? Karena sosok sehebat Kala tak pantas jika harus dibunuh karakternya. Kala tak pantas jika harus menjadi satu warna padahal ada banyak tempat lain yang bisa menerimanya dan menyeimbangkan diri dengan segala kewarna-warniannya.”
Abad mencerna kalimat itu pelan-pelan. Sosok Kala dan Tita mendadak muncul bersamaan di benaknya. Pak Tora benar, Tita memiliki sifat yang sama dengan kedua orangtuanya. Sedangkan Kala? Gadis itu terlalu meledak-ledak dengan segala tingkah lakunya jika harus disandingkan dengan Arita maupun Wijaya.
“Pak Tora tahu darimana kalau keluarga saya dan Kala…”
“Hahahahahaha…” Pak Tora tertawa lepas, “saya ini tahu segalanya, Abadi. Bahkan warna kaus dalam kamu tiga hari lalu saja saya bisa tahu.”
Abad terdiam.
“Sudahlah, lepaskan gadis itu. Dia berhak bebas dan lepas dari kungkungan keluargamu. Ia layak untuk mendapatkan tempat lebih baik yang menerima dirinya sebagai sosok dengan kepribadian luar biasa. Kasihan dia...”
“Tapi, Pak…”
“Kenapa? Kamu cinta sama dia? Kalau kamu cinta seharusnya kamu tahu kalau lepas dari keluarga kamu adalah jalan agar dia bahagia, Bad. Berhenti menyiksa Kala. Seperti yang kubilang tadi di awal, tak semua orang mampu menyerap energi baik yang luar biasa dari dirinya. Hanya orang-orang tertentu saja yang sama hebatnya. Dan keluargamu tak sanggup melakukan hal itu.”
“Jadi maksud Bapak saya dan keluarga saya tidak pantas dan tidak hebat?”
“Ya. Begitu lah. Keluargamu itu statis sekali. Kaku. Maaf jika aku lancang. Namun lebih baik ku katakan yang sejujurnya ketimbang kau kusanjung namun kemudian kau hancur.” Pak Tora bangkit berdiri, “pikirkan kata-kataku baik-baik. Berhenti menjadi egois untuk dirimu sendiri.”
Pak Tora melenggang pergi, meninggalkan Abad dengan kepala hampir meledak tak kuasa menahan beban dikepalanya yang mulai meluap berantakan tak beraturan.

¤¤¤

“Halo?”
“Ya? Halo?”
“Bisa kita bicara?”
Hening.
“Bisa. Kapan?”
“Siang ini.”
“Dimana?”
“Di tempat kita pertama kali bertemu. Kamu masih ingat?”
“Bagaimana bisa aku lupa.”
“Ku kira begitu. Sebab kamu menghilang tanpa kabar tak tahu kemana.”
Hening lagi.
“Bisa kan kita bahas ini saat bertemu saja?”
“Baik.”
“Kutunggu.”



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar