CINTA HARUS KUAT
Arita baru saja
keluar dari ballroom lantai sembilan belas hotel setelah mengadakan pertemuan
dengan rekan-rekan bisnisnya, ketika matanya menangkap sosok Abad berdiri di
depan lift ballroom. Demi memastikan, Arita memicingkan matanya berkali-kali
sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat.
“Abadi?” Arita
terkejut sendiri setelah dengan pasti membenarkan bahwa itu adalah sosok anak
lelaki semata wayangnya. “Kamu kok bisa sampai sini?”
“Abad mau bicara
sama Ibu.”
Arita
menggeleng, “bicara apa? Apa ga bisa nunggu ibu sampai dirumah?”
“Aku sudah
terlanjur sampai disini, Bu. Bisa kan kita bicara?”
Arita
tercengang, air wajah itu, air wajah keras nan serius yang tak pernah Arita
lihat sebelumnya ada pada Abad.
Arita akhirnya
memutuskan untuk mengalah. Mengangguk. Lalu menggiring Abad menuju kamarnya.
Kini ia tahu pada siapa sifat keras kepalanya telah diwariskan.
¤¤¤
Abad duduk
berhadapan dengan Arita di balkon kamar yang menyajikan pemandangan langsung
kearah jembatan raksasa kota. Semilir angin nampak membuai membuat keduanya
nyaris terkantuk.
“Bu… Abad sudah
dengar semuanya.” Abad mulai angkat bicara. Ditatapnya mata Arita sekilas lalu
membuang pandang pada senja yang mulai terbenam.
Arita
mengernyit, ia meletakkan gelas teh yang sedari tadi ia timang, “dengar tentang
apa?” denyut nadi Arita mulai berdetak acak, sepertinya ia mulai mengerti
kemana arah pembicaraan ini. Arita bukan perempuan bodoh yang tak pandai
membaca situasi.
“Apa yang Ibu
lakukan pada Kala?” Abad bertanya dengan nada sengit, datar dan tajam. Tak
sedikitpun ia tolehkan tatapannya pada Arita.
“Maksudnya?”
Arita masih mencoba berpura-pura tidak tahu, memancing Abad untuk mengatakan segala
kata-kata yang anak semata wayangnya itu pendam.
“Bu… bukannya
kita sudah pernah janji untuk mengenal Kala lebih jauh? Kita sudah berjanji
kan, Bu, untuk belajar memahami Kala terlebih dahulu tapi kenapa ibu…”
“Tunggu…
tunggu…” Arita memotong kalimat Abad. “Jadi Kala yang menyuruh kamu kesini?
Lalu dia bercerita tidak-tidak tentang kejadian antara ibu dan dia semalam?”
Abad tertawa
sinis, “bu… dari kalimat ibu barusan saja ibu sudah melakukan sebuah penuduhan
terhadap Kala. Ibu tuh ya emang gapernah bisa berpikir baik-baik tentang Kala.
Kala salah apa sih bu sama Ibu? Sampai ibu tuh sebegini teganya dengan Kala?”
“Abadi,
dengarkan Ibu baik-baik,” nada tegas pada suara Arita mulai terdengar. “Kala
itu bukan perempuan baik dan tepat untuk kamu.”
“Kenapa?!” tanya
Abad dengan nada tinggi, emosinya mulai menanjak naik.
“Abadi… Kamu
pikir ibu melakukan ini semua untuk siapa? Untuk kamu, Sayang. Ibu ga mau anak
lelaki satu-satunya kesayangan Ibu jatuh di pelukan perempuan yang tidak tepat.
Itu lah kenapa…”
“Itulah kenapa
Ibu sampai tega menguji Kala sedemikian rupanya? Begitu?”
“Abadi… perempuan yang kamu sebut sebagai calon istrimu itu tidak bisa masak, tidak mahir membereskan rumah, bangun kesiangan. Sungguh bukan sosok calon ibu yang baik untuk anak-anak kamu.”
“Abadi… perempuan yang kamu sebut sebagai calon istrimu itu tidak bisa masak, tidak mahir membereskan rumah, bangun kesiangan. Sungguh bukan sosok calon ibu yang baik untuk anak-anak kamu.”
“Jadi ibu
menilai Kala tidak baik untuk aku hanya karena permasalahan sepele seperti
itu?” Abad tertawa terbahak beberapa detik, kemudian ia diam dan matanya
menatap lurus pada Arita, “sekarang aku tanya sama ibu, apa dari kecil ibu
pernah masakin aku makanan? Apa dari kecil ibu pernah ngurusin aku? Apa dari
dulu ibu pernah membereskan rumah? Enggak kan bu? Semuanya dilakukan pembantu.”
Arita diam.
“Begitu juga
aku, Bu. Aku sayang sama Kala. Soal dia tidak bisa melakukan pekerjaan rumah
biarkan. Aku mampu, Bu, menyewa bahkan sepuluh pembantu untuk melayani Kala,
Ibu, Ayah dan aku. Aku cari istri bu, bukan cari pelayan.”
Arita masih
diam. Tenggorokannya mulai sakit, menahan tangis.
“Kalau ibu saja
tidak pernah melakukan hal itu, kenapa Ibu mewajibkan Kala untuk melakukan hal
itu, Bu?”
“Ibu memang
tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tapi Ibu bisa, Bad. Ibu bisa
melakukannya walaupun tidak pernah Ibu kerjakan. Ibu bisa masak, ibu bisa
membereskan rumah, Ibu bisa…”
“Bu… jangan
pernah bandingkan Kala dengan Ibu. Aku tahu Ibu sempurna. Ibu maha hebat. Ibu
maha segala-galanya. Tapi Kala tidak, Bu. Dia hanya seorang gadis yang sedang
belajar memperbaiki dirinya. Ibarat berlian, Bu, dia sedang diasah untuk
bersinar. Apa Ibu tidak paham filosofi itu? Bukannya Ibu seorang pengusaha
berlian?”
Arita kembali
terdiam. Dihelanya nafas berkali-kali
mencoba menenangkan diri.
“Bu, ada banyak
sisi baik dari Kala yang bisa ibu lihat. Bukan hanya sekadar dari sisi sepele
seperti itu. Kala itu cantik, Bu. Dia pintar. Dia seorang dokter. Dia baik. Dia
pekerja keras. Apa Ibu tidak bisa melihat sisi itu?”
“Tapi, Bad,
perempuan itu pada dasarnya tetaplah perempuan, sehebat apapun ia. Ia harus
tetap memiliki kemampuan mengatur rumah tangganya. Kemampuan untuk melayani
suami dan anak-anaknya. Dari hal kecil saja Kala sudah tidak bisa, bagaimana
dia mau mengurus kamu dan anak-anak kamu kelak.”
“Bu! Sudah!”
Abad sudah tak tahan lagi, dibentaknya Arita dengan nada tinggi, “mata hati ibu
itu sudah tertutup dengan segala kebencian dan ketidaksukaan. Jadi apapun yang
Kala lakukan selalu salah dimata Ibu. Ibu itu sudah tidak punya hati nurani!”
Arita sudah
tidak tahan lagi, matanya mulai menitikkan air mata, “Kala tidak sebaik Tita,
Bad…” desisnya pelan. Ditatapnya mata Abad dengan air mata yang mulai
membanjir.
Abad meremas
kepalanya, geram. “Oh jadi karena ini makanya Ibu sampai hati menguji Kala?
Karena ibu belum bisa melupakan Tita, begitu? Ibu tahu darimana Kala tidak
sebaik Tita kalau ibu saja tidak pernah mau membuka diri atas semua
kebaikan-kebaikan Kala?” Abad menggerogoti mata Arita dengan tajam, namun dalam
hati ia turut merasa bersalah telah membuat Arita menitikkan air mata. “Bu…
sudahlah… Abad minta sama Ibu supaya ibu mau membuka hati seluas-luasnya.
Lupakan Tita. Jangan pernah bandingkan Kala dengan siapapun, Abad mohon.” Abad
mulai memelankan nada bicaranya. Ia dekati Arita kemudian memeluk ibunya itu
dengan kencang. “Maafkan, Abad, Bu. Sudah buat Ibu nangis. Tapi Abad mohon
sekali ini saja Ibu dengar permintaan Abad. Ya, Bu? Berdamailah dengan segala
yang terjadi, Bu. Tita sudah tidak ada. Yang ada sekarang adalah Kala.”
Arita terenyuh,
perlahan bongkahan es di dadanya menyusut dan mencair. Air matanya berhenti
menetes dan berganti dengan sesal yang menimpukinya beribu-ribu kali lipat. Ya
Tuhan kenapa aku menjadi kejam sekali seperti ini, Arita membatin. “Maafkan Ibu
juga, Bad. Maaf…” hanya itu yang mampu Arita katakan. Sepasang Ibu dan anak
itupun akhirnya berpelukan. Melepas segala amarah. Melunturkan segala
kesedihan. Menyatukan segala perbedaan. Bersama dengan senja yang meluntur dan
langit yang menggelap, keduanya sepakat untuk menghentikan semua perdebatan.
¤¤¤
Kala terduduk
melamun diatas sebuah bangku taman di pinggir jembatan raksasa kota. Matanya
menatap lirih pada sungai yang tampak mengalir tenang. Pikirannya begitu kalut
bagai ditelan gelap yang mulai menyemai.
Ponselnya
tiba-tiba berbunyi, nama Abad muncul disana.
“Halo?”
“Kal, kamu masih
di jembatan?”
“Masih.”
“Oke tunggu. Aku
kesana.” Sambungan telepon itu mati.
Lima belas menit
kemudian Abad tiba. Tubuh atletisnya tampak membayang samar dari kejauhan
dibawah temaramnya lampu taman yang bersinar di kegelapan.
Tanpa diminta,
Abad langsung menempati bagian kosong di sisi kursi Kala. “Kamu masih sedih?”
Abad bertanya sambil tersenyum tenang, diusapnya pipi Kala lembut.
Kala tanpa
diperintah ikut tersenyum juga, Abad memang selalu berhasil membuat keadaan
apapun tampak lebih baik. “Masih. Sedikit.” Kala tertawa pelan. Tawa pertamanya
di sepanjang hari ini.
“Sayang, kamu
jangan sedih lagi. Aku sudah bicara dengan Ibu. Semua masalah sudah selesai,”
Abad tersenyum tipis, “Ibu janji akan menerima kamu setelah semua kejadian ini.
Aku jamin, kejadian seperti ini ga akan keulang lagi, kamu percaya kan?”
Kala tercengang
setengah percaya tak percaya dengan semua perkataan Abad. Hatinya mendadak
tenang luar biasa. Sorot mata Abad itu, Kala tahu, tak ada sedikitpun ragu dan
kebohongan disana. “Serius? Memang kamu bicara apa aja dengan Ibu?” tanya Kala
dengan nada begitu penasaran.
“Aku jelasin ke
Ibu kalau kamu itu baik,” Abad mencolek hidung Kala gemas, “dan kamu layak
diperjuangkan.”
Sebuah kalimat
pendek, namun berhasil membuat Kala spontan tersenyum sumringah lalu memeluk
Abad kencang. “Bad… makasih ya… makasih mau selalu berjuang untuk kita.”
Abad melepas
pelukan itu lalu mencium kening Kala dengan khidmat. “Sama-sama, Sayang. Oh
iya, Ibu menyampaikan permintaan maaf ibu yang sangat dalam untuk kamu. Ibu
minta maaf belum bisa menyampaikan maafnya secara langsung. Ibu tadi buru-buru
mau pergi lagi ke pulau seberang. Ibu bilang, nanti kalau sudah ada waktu, dia
mau ketemu kamu lagi dan bilang maaf secara langsung.”
Kala tersenyum
lagi untuk kesekian kali. Hatinya berbunga, begitu bahagia. “Iya. Besok-besok
aku pasti mau banget ketemu Ibu.”
KEHILANGAN SANDARAN
“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Suara lelaki
dengan nada berat itu terus terngiang di di telinga Kala. Membuat tubuhnya
terasa semakin gelisah. Hendak membuka mata namun tak sanggup. Hendak beranjak
bangun namun seperti ada yang menahannya.
“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Suara itu
memanggil lagi. Namun kini terasa semakin menjauh dan menggaung semakin lemah.
Samar namun pasti suara itu semakin menghilang. Kala semakin gelisah. Ia begitu
ingin berlari mengejar suara itu namun kakinya seperti tertancap di tanah. Ia
begitu ingin menggapai suara itu dengan tangannya namun tangannya terasa seperti
diikat.
“Kala…”
“Kala…”
“Kala…”
Kala tak lagi kuasa, disontakkannya tubuh kedepan memberontak dari segala ketidakmampuannya bergerak. “Papaaaaaaaaaaaaaa…..” teriaknya dengan begitu kencang. Matanya membuka dengan lebar. Nafasnya berat dan terengah-engah. Keringat mengucur deras dari pelipis Kala. Kala mengedarkan pandang dan tersadar ia sedang berada di ranjang kamarnya. Mimpi tadi, terasa begitu nyata.
Kala tak lagi kuasa, disontakkannya tubuh kedepan memberontak dari segala ketidakmampuannya bergerak. “Papaaaaaaaaaaaaaa…..” teriaknya dengan begitu kencang. Matanya membuka dengan lebar. Nafasnya berat dan terengah-engah. Keringat mengucur deras dari pelipis Kala. Kala mengedarkan pandang dan tersadar ia sedang berada di ranjang kamarnya. Mimpi tadi, terasa begitu nyata.
Pada detik
berikutnya Kala tercenung menatap sekeliling kamarnya, air matanya menitik satu
persatu, di sudut kamar itu seolah muncul bayangan Braja yang melambaikan
tangan padanya. “Papa…” Kala segera bangkit berdiri, hendak memeluk bayangan
itu, namun bayangan itu musnah tepat ketika tangan Kala terulur untuk
meraihnya. “Papa…” desis Kala kemudian.
Terdengar suara
pintu kamar dibuka dengan kasar, Kala memutar tubuhnya dan menemukan Lilia
berdiri disana dengan pakaian serba hitam. “Kala? Kamu kenapa, Nak?” Lilia
mendekat, memeluk Kala yang tampak menangis dalam sunyi.
“Papa, Ma… Kala
mimpiin Papa.” Tangis Kala semakin menjadi dalam peluk itu.
Lilia membelai
dengan lembut rambut Kala yang tampak berantakan, “Kala, sudah… Papa sudah
tenang, Sayang. Di ikhlaskan ya,” Lilia melepas pelukan itu dan menatap Kala
dari ujung rambut hingga ujung kaki, anak gadis sulungnya itu masih mengenakan
pakaian semi formal khas anak co-ass. Kejadian satu jam lalu pun terputar di
kepala Lilia, ketika anak sulungnya itu harus pulang mendadak dari rumah sakit dan
langsung jatuh pingsan ketika setibanya di rumah sebab mendapati Braja telah
terbujur kaku akibat serangan jantung. “Sekarang kamu ganti pakaian, turun ke
bawah. Kita doakan Papa sama-sama ya.”
Kala mengangguk,
menghapus air matanya satu persatu. Mencoba menegarkan dirinya sendiri atas
kepergian Braja yang tanpa isyarat ini.
¤¤¤
Kala termenung
menatap tubuh Braja yang telah diselimuti kain-kain putih dihadapannya. Air
matanya tak berhenti menetes, mulutnya terus merapal doa-doa, kepalanya terus
memutar kenangan demi kenangan. Kala tak pernah berpikir bahwa Braja akan pergi
meninggalkannya secepat ini. Dalam angannya, Kala sudah sering kali
membayangkan Braja akan menjadi wali di hari pernikahannya kelak, membayangkan
Braja akan menggendong anaknya dan membelikan cucu-cucunya eskrim setiap hari,
membayangkan Braja bercanda mengolok-olok Lilia ketika gigi Lilia sudah mulai
ompong sebab menua. Braja terlalu dini untuk pergi saat semua angan Kala belum
tersampaikan padanya.
“Kal…”
Seseorang
menyentuh punggungnya, Kala menoleh, suara itu begitu hangat menyapa telinga, suara
yang begitu akrab di dengar Kala. “Abad.” Abad berdiri disana dengan mata
berkaca-kaca menatap Kala, seolah dapat merasakan kesedihan yang sama. Abad
duduk, mengambil posisi tepat di sebelah Kala.
“Aku turut
berduka cita untuk Papa.” Ucapnya setengah berbisik. Disentuhnya pundak Kala,
menyalurkan ketenangan seperti biasa.
Kala mengangguk,
air matanya kembali menitik. Ia masih belum sanggup untuk banyak bicara.
Kehilangan ini benar-benar memukulnya. Serasa separuh jiwa Kala turut tiada
bersama perginya Braja. Kala telah kehilangan sandaran, semangat hidup, tempat
mengadu, tempat bercerita, sosok Papa, sosok pelipur lara, sosok yang selalu
ada, Kala kehilangan salah satu hartanya yang paling ia sanjung di dunia.
“Kamu jangan
nangis terus, doakan Papa,” Abad mengulurkan sebuah buku surat Yassin pada
Kala. Kala mengangguk, meredam emosinya sendiri demi kemudian tersadar
satu-satunya untuk tetap membuat Braja ada dihatinya adalah dengan berdoa.
¤¤¤
“Kal? Aku baru
pulang kerja nih.”
Kala
memberingsutkan tubuhnya semakin dalam ke dalam gumpalan selimut. Cuaca sore
itu nampak begitu memanjakkan, rintik bercampur mendung berhasil membuat Kala
terkantuk-kantuk. “Iya, hati-hati dijalan.” Ucap Kala singkat pada sosok
kekasihnya itu di ujung telepon.
“Kita gamau
kemana-mana? Mumpung kamu libur.”
“Mau kemana
memang, Bad?”
Abad diam
sejenak, berpikir, “ke toko buku yuk. Kamu kayanya udah lama deh ga beli novel.
Banyak novel keluaran baru akhir-akhir ini. Kamu harus baca.” Abad tampak
begitu bersemangat seolah ingin mengajak Kala ikut bersemangat juga. Lebih
tepatnya, Abad ingin menghibur Kala yang sudah hampir satu minggu larut dalam
kesedihan sejak hari dimana Braja meninggal dunia. “Yuk! Mau kan?” ajak Abad
sekali lagi dengan nada lebih bersemangat.
Kala diam
sejenak, berpikir. Menata perasannya sendiri yang sebenarnya belum baik-baik
saja. Entah sudah berapa ajakan Abad untuk keluar rumah yang ia tolak. Entah
sudah berapa banyak makanan yang Abad bawakan kerumah namun tak ia sentuh.
Kala… sehancur itu…
Lama terdiam,
Abad kembali angkat bicara. “Sayang… Sangkala-ku… Sangkala Indah Lestari-ku…
kamu gaboleh berlarut-larut sedih terus, Sayang. Nanti di Sana Papa juga sedih
loh kalau kamu sedih. Papa ga tenang kalau kamu belum ikhlas. Segala sesuatu
yang diikhlaskan itu akan membuat hidup kita terus berjalan kedepan dan lebih
baik. Tuhan itu punya rencana indah dibalik setiap kehilangan. Tuhan percaya
kamu sudah mampu hidup tanpa sosok Papa, itu berarti Tuhan percaya kamu hebat,
Kal. Sangkala-ku hebat…”
Kala terdiam
mendengar kalimat itu. Entah sudah berapa ribu kalimat yang Abad rangkai untuk
menyemangati Kala, namun kalimat ini adalah yang paling menyentuh hatinya. Kala
menarik nafas panjang, merasakan setiap tarikan nafas itu mengalirkan energi
positif hingga ke sel-sel terkecil tubuhnya.
Kala tanpa sadar
tersenyum sendiri, semangat di hatinya perlahan tumbuh, “yaudah kamu jemput aku
kerumah ya sekarang. See you!”
Mendengar nada
suara Kala yang tampak bersemangat, Abad langsung menaikkan kecepatan mobilnya,
membara melaju ditengah jalanan kota, tak sabar bertemu Kala dengan senyum
terpampang diwajah manisnya.
TERPAPAR MASA LALU
Bagi seorang
Sangkala Indah Lestari, selain laut dan pemandangan lampu-lampu kota, toko buku
adalah syurga baginya. Kala suka wewangian buku saat halamannya saling
bergesekan, Kala suka mozaik warna-warni dari tumpukan bermacam-macam buku yang
di pajang, Kala suka berjalan-jalan melintasi rak demi rak bagai melalui
labirin yang tiada habisnya. Tentang toko buku, Kala selalu jatuh cinta, tak
perduli seburuk dan setua apapun kondisi toko bukunya.
“Kal, ini buku
baru penulis favorit kamu kan?” Abad mengacungkan sebuah buku bersampul hitam
pekat dengan gambar lingkaran merah bertumpuk-tumpuk ditengahnya. Nama penulis
favorit Kala yang hanya memiliki 3 huruf itu terukir manis dibawah buku. “Mau
beli ini?”
Tanpa ragu Kala
mengangguk cepat dan memasukkan buku it ke shopping bag-nya.
Abad melihat
pemandangan itu sebagai suatu keajaiban. Kala sudah bisa tertawa sekarang.
Kala dan Abad
terus berjalan mengelilingi toko buku, memilah milih judul, memasukkan buku
yang dirasa cocok ke shopping bag. Begitu terus, berulang-ulang tanpa lelah.
Obrolan demi obrolan pun terus berjalan
seiring dengan waktu yang semakin merangkak naik.
Hingga tiba di
suatu titik, tepat ketika Kala hendak mengambil sebuah buku dibarisan novel
terjemahan adaptif, tangannya bersentuhan dengan sebuah tangan halus berkulit
bersih dari sisi rak seberang, tangan itu hendak mengambil buku yang sama. Kala
berjinjit sedikit melihat sosok itu demi kemudian terkejut setengah mati
mengetahui tangan yang disentuhnya adalah tangan milik Arita.
“Ibu?”
“Ibu?”
Kala dan Abad
berseru kompak. Terkejut.
Arita dengan
wajah terkejut namun tenang hanya mampu tersenyum, “loh kalian disini juga?” ia
pun berjalan menyeberangi rak buku, mendekati sepasang kekasih itu. “Kala apa
kabar?” diciuminya pipi Kala kanan dan kiri. Kala membalas sapaan itu dengan
canggung. Sementara Abad hanya mampu diam mematung. Di kepalanya Kala masih
ingat dengan baik kejadian terakhir yang menimpanya saat ia bertemu dengan
Arita. Kejadian yang hingga detik ini entah mengapa masih saja membekaskan
luka.
“Kala, ibu turut
berduka cita ya atas meninggalnya Papa kamu kemarin. Maaf ibu tidak bisa datang
karena ada urusan,” mata Arita itu memancarkan sorot sedih bukan main. Namun
Kala jengah, ia tidak mau lagi tertipu dengan ucapan manis Arita. Dalam hatinya
ia tetap waspada dan tak ingin terhanyut.
“Iya, Bu.
Makasih ya.” Kala tersenyum tipis. “Ibu lagi cari buku juga?”
Arita
mengangguk. “Iya. Lagi cari buku-buku bisnis. Kalian cari apa?” Arita melirik
Kala dan Abad bergantian.
“Ini, Bu. Kala
juga mau cari buku bacaan.” Kali ini Abad bersuara.
“Buku apa?
Tentang ekonomi? Budaya? Oh atau tentang politik?” Arita bertanya dengan nada
antusias.
Kala tersenyum
miris, malas menjawab.
“Yuk kalau gitu
kita cari buku bareng-bareng aja. Sekalian sharing dan ngobrol.” Arita tanpa
sungkan merangkul lengan Kala. Abad melihat kejadian itu sambil dalam hati
berdoa semoga kali ini Ibu menepati janjinya.
Dengan Abad yang
mengintili di belakang, Arita menggandeng Kala terus masuk ke dalam jajaran rak
buku yang tak pernah Kala singgahi; rak buku tanpa terjemahan dengan berbagai
macam judul.
Arita mengambil
satu buah buku kemudian membolak balik halamannya, “Oh iya, Kal. Soal waktu itu
ibu minta maaf.”
Kala mengernyit.
Bingung.
“Itu… kejadian
di hotel kemarin. Ibu benar-benar gak bermaksud…”
“Bu… sudah…
jangan dibahas. Kala juga salah dengan segala tingkah laku Kala ke Ibu. Maafkan
Kala juga ya, Bu.” Potong Kala, tak ingin memperpanjang pembahasan. Segala
tentang kejadian malam itu hanya membuatnya sakit kepala jika semakin
dipikirkan.
Arita tersenyum
mengiyakan, “oh iya, Kala pernah baca buku ini?” Arita menunjukkan buku yang ia
pegang.
Kala terdiam,
melihat sampul bukunya saja ia merasa sangat asing. Buku-buku tanpa terjemahan
adalah buku yang nyaris tak pernah Kala sentuh. Sebab Kala terlalu malas jika
otaknya harus bekerja dua kali lipat demi membaca sembari menerjemahkan isinya ke
bahasa Indonesia.
“Ga tau, Bu. Ga
pernah baca.”
“Ooohhh Kala
gapernah baca buku ini? Ini bagus loh padahal. Ibu suka buku ini. Cerita
tentang Kerajaan India yang pertama.” Arita meletakkan buku itu kemudian
mengajak Kala ke labirin rak sebelah. Tangannya menggamit sebuah buku yang
lagi-lagi tak pernah Kala lihat. Kala memang pecinta buku, sungguh, tapi bukan
berarti Kala telah membaca semua buku di dunia ini. Kala manusia, bukan
ensiklopedia. “Kalau buku ini Kala tahu?”
Kala
memerhatikan lamat-lamat buku bersampul merah tua dengan aksara-aksara China di
depannya itu hanya demi berpura-pura agar terlihat berpikir. “Belum juga, Bu.
Kala lebih banyak baca buku-buku dari Indonesia dan novel-novel fiksi.”
Arita
manggut-manggut, “Kala harus baca ini kapan-kapan. Ini ceritanya tentang
ekspansi perdagangan China ke seluruh dunia. Dari buku ini kita bisa belajar
gimana cara berbisnis yang baik.” Jelas Arita kemudian, Kala hanya mengangguk
sambil tersenyum. Abad melihat kejadian itu dengan perasaan semakin cemas.
Ibunya sungguh… kali ini masih tampak sedang menguji Kala namun dengan cara dan
bahasa yang lebih halus.
“Bu… kita makan
aja yuk.” Sela Abad kemudian, berusaha menghentikan segala tindakan konyol
ibunya.
“Nanti dulu. Ibu
belum selesai cari buku.”
“Tapi aku sama
Kala sudah selesai, Bu,” Abad menunjukkan shopping bag mereka yang tampak
penuh. “Abad sama Kala makan duluan saja ya, Bu?”
Arita menggeleng
tegas, “sebentar lagi… yuk, Kal. Sebelah sana belum kita lihat.” Arita tanpa
aba-aba langsung menggiring Kala menuju labirin paling pojok. Abad menyerah.
Terpaksa mengikuti dari belakang.
“Kalau yang ini
udah pernah baca?” lagi-lagi Arita menunjukkan sebuah buku bersampul hijau
lumut dengan huruf-huruf romawi kuno.
Kala menggeleng
tegas, “belum, Bu. Sepertinya Kala belum pernah baca semua buku yang ibu baca.
Ibu selera bacanya bagus.” Puji Kala kemudian berharap semua ini cepat
berakhir. Firasatnya mulai mengatakan hal tidak baik tentang Arita.
“Wah kalau gitu
Kala harus lebih rajin baca bukunya. Ada banyak buku-buku luar yang bagus.”
Arita tertawa kecil. “Beda sekali sama Tita ya. Tita sudah pernah baca semua
buku yang tadi Ibu tunjukkan. Bahkan ia ikut berdiskusi dengan Ibu membedah
buku itu.”
Kala tersentak,
jantungnya serasa ingin berhenti berdetak mendengar Arita mendengungkan nama
itu. “Tita?”
“Iya Tita.
Mantan pacarnya Abad kemarin ini. Tita itu hampir semua buku sudah pernah
dibacanya loh, Kal. Jadi kalau ngobrol apa saja dengan Tita nyambung sekali.
Bahkan buku-buku parenting dan masakan juga Tita baca. Makanya Tita jadi pintar
sekali memasak dan juga mahir soal urusan mengatur rumah.” Celoteh Arita
panjang lebar tanpa merasa berdosa. Sementara itu, Kala setengah mati menahan
emosinya yang nyaris meledak. Sekuat tenaga, menahan air matanya yang hendak
tumpah. Lagi, kesekian kali, Arita berhasil melukainya.
“Ibu!” Bentak
Abad tiba-tiba. Wajahnya memerah padam. “Ibu ngomong apa sih? Kenapa jadi
bahas-bahas Tita? Maksud ibu apa?” Abad sungguh tak mampu lagi meredam segala
amarahnya. “Bu, kita sudah sepakat ya kalau ibu ga akan lagi memperlakukan Kala dengan seperti ini. Kenapa ibu masih…”
“Bad… sudah…” Kala menahan Abad bicara demi pada detik berikutnya matanya yang mulai
berkaca-kaca menatap mata Arita dengan lurus dan tajam. “Ibu Arita Kusuma
Negara yang terhormat,” Kala menarik nafas panjang, suaranya mulai bergetar, “sebelumnya
saya tidak pernah tahu kenapa Anda begitu tidak menyukai saya. Saya bingung
sekali dimana letak salah saya hingga apapun yang saya lakukan tampak selalu
bercela di mata Anda. Saya pikir salahnya ada di saya. Sehingga saya terus
menerus mencari solusi, bagaimana saya bisa bertransformasi menjadi calon
menantu yang Anda inginkan. Saya terus belajar memperbaiki diri saya hingga
bahkan saya sudah tidak bisa menemukan diri saya sendiri lagi,” setetes air
mata Kala mulai jatuh. “Tapi ternyata saya salah besar, Ibu Arita. Hari ini
saya sadar, kesalahannya ternyata bukan terletak pada saya… tapi pada Anda.
Anda yang terus mencoba mengubah saya seperti Tita. Anda yang terus
membanding-bandingkan saya Tita. Anda yang masih belum bisa ikhlas melepas Tita
sehingga Anda berharap bahwa saya bisa seperti Tita,” tangis Kala pun semakin
menjadi, “Ibu Arita Kusuma Negara yang terhormat. Sampai kapanpun tidak akan
pernah ada manusia yang benar-benar sama di dunia ini. Dan sampai kapanpun jika
Anda tidak pernah membuka hati Anda untuk saya, meski seribu kalipun saya
berbuat baik mau sejuta buku pun yang saya baca untuk belajar menjadi seperti
yang Anda mau, maka saya akan tetap saja salah.”
“Kal…” Abad
berusaha merangkul Kala, namun Kala menepisnya. Matanya tak bergerak barang
sesenti pun dari kedua bola mata Arita yang menatapnya dengan wajah merah
padam.
“Maaf, Ibu
Arita. Saya menyerah. Saya mundur dari lingkaran ini. Saya bukannya tidak bisa
menjadi apa yang Anda mau. Saya bisa. Sangat bisa. Itu hal mudah bagi saya jika
saya mau mempelajarinya. Tapi maaf, saya tidak bisa hidup dengan orang-orang
yang masih terpapar dengan masa lalu. Saya tidak akan pernah bisa hidup dengan
orang-orang yang tidak mau menerima keburukan saya. Sebab saya manusia, bukan
Tuhan Yang Maha Sempurna,” Kala mengambil sebuah buku yang tepat berada di rak
buku dekat tanganya. Buku berwarna pink pastel bercorak bunga-bunga. “Anda
sudah pernah baca buku ini?” tanya Kala, namun tanpa memberikan kesempatan
Arita menjawab ia segera melanjutkan kalimatnya. “Buku ini berisi tentang
berbagai macam metode untuk membuat jiwa dan pola pikir menjadi sehat dan baik,
karangan seorang psikolog terkenal dari Rusia, yang sudah dua puluh kali cetak
ulang.” Wajah Arita semakin merah padam, matanya semakin menyorot tajam. “Saya
sudah membaca buku ini sejak saya duduk di bangku SMP, dan semua ajaran di buku
ini selalu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari saya, itu lah mengapa saya
selalu berbuat baik kepada semua orang sebab jiwa dan pola pikir saya sudah
sehat dan baik.” Kala menghapus air matanya yang mulai membajir, “Dan saya rasa
Anda belum membacanya. Benar, bukan?” Kala tertawa kecil, “pesan terakhir dari
saya untuk anda adalah saya sangat merekomendasikan buku ini untuk Anda baca Ibu
Arita. Selamat tinggal.” Kala meletakkan buku itu ke genggaman Arita dengan
paksa lalu melenggang pergi meninggalkan Arita yang terdiam tak mampu lagi
bicara.
Kala terus
berjalan keluar toko buku, menerobos langit gelap malam yang menurunkan
gerimis, tak perduli meski Abad berlari mengejarnya, berpura-pura tuli meski Abad
meneriaki nama Kala berulang kali hingga pita suaranya nyaris putus.
¤¤¤
Kala tak lagi
kuasa. Di dalam mobil taksi yang membawanya semakin menjauh dari toko buku, ia
menangis, sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya, sesengguk-sengguknya. Supir taksi
yang ia tumpangi hanya mampu menyaksikan adegan itu sembari terdiam dan
sesekali curi pandang dari balik kaca spion.
Hujan semakin
deras, gemuruh petir terdengar bersahutan, kilat berkali-kali menyambar. Kala
menyaksikan semua itu dengan mata yang juga sama basahnya. Hatinya remuk. Bak
jatuh dari angkasa menuju bumi. Berkeping berjuta kali.
Tak di
acuhkannya ponselnya yang terus berdering. Tanpa melihat, Kala tahu siapa yang
menelepon. Dan oleh sebab itu Kala tak ingin menjawabnya.
Tita… gadis itu.
Sekalipun Kala belum pernah bertemu dengannya. Sebaik itu kah ia? Sesempurna
itu kah hingga mampu membuat Arita tergila-gila? Dalam hati Kala terus
bertanya-tanya. Namun semakin ia memunculkan tanda tanya itu semakin air
matanya mengebah tak henti-henti. Kala terluka, segala tingkah laku Arita tak
mampu lagi ia terima.
Sementara itu di
parkiran toko buku, Abad terus menerus mengotak atik ponselnya, mencoba
menelepon dan mengirimi kala berpuluh-puluh pesan. Tak diperdulikannya Arita
yang sedari tadi entah sudah pergi kemana, melenggang tanpa berucap barang
hanya sepatah kata.
Abad mengutuki
dirinya sendiri. Memaki-maki kebodohannya atas ketidakmampuannya menjaga Kala
dari segala tingkah kejam Arita. Ia sungguh ingin menangis namun air mata pun
rasanya tak sanggup mewakili seluruh perasaan yang kini berkecamuk di
kepalanya. Abad terluka… sama terlukanya seperti Kala…
¤¤¤
“Abad! Abadi!”
Abad melirik
sekilas pada Arita yang menungguinya pulang di ruang tamu, lalu melengos tanpa
ampun, tak perduli. Dilangkahkannya kaki menuju kamarnya tanpa menengok lagi
sedikitpun.
“Abadi! Dengar
ibu mau bicara! Abadi!” Arita tak menyerah, dikerjarnya Abad, kemudian
ditahannya tangan Abad secara paksa.
Abad
menghentikan langkahnya lalu dengan ekspresi datar menatap Arita.
“Abad, dengarkan
Ibu. Ibu ga ada maksud melukai Kala seperti itu. Ibu benar-benar…”
“Sudahlah, Bu,”
Abad melepas tangan Arita. “Abad ga nyangka, Ibu bisa setega itu. Dan Abad
lebih ga nyangka lagi punya Ibu seorang pengingkar janji… berkali-kali!”
“Abadi!
Dengarkan Ibu…” mata Arita mulai tampak sayu, “segala sesuatu yang Ibu ucapkan
di toko buku tadi murni tidak sengaja. Ibu benar-benar tidak ada maksud
menyinggung Kala. Semua itu terjadi begitu saja… sebab ibu masih terlalu sering
mengingat Tita… maafkan Ibu, Bad…”
“Maaf, Bu. Aku
udah gabisa lagi percaya semua omongan Ibu.”
“Abadi… kamu ga
percaya lagi sama Ibumu sendiri?”
Abad diam,
wajahnya masih sama datarnya. Dalam hati, ia sedang berusaha keras menahan
gejolak emosi yang meletup-letup.
”Dengar Ibu,
Nak… Ibu benar-benar tidak sengaja membahas Tita tadi, sungguh.” Arita menatap
Abad tajam. “Tapi kamu lihat sendiri kan sesudahnya? Kamu saksikan sendiri kan?
Gadis itu tidak ada sopan santun sama sekali. Dia memperlakukan Ibumu ini seperti
sampah, Nak.”
Abad menggeleng,
“apa ibu bilang? Kala memperlakukan Ibu seperti sampah? Bukannya Ibu lebih
dahulu membuat Kala seperti sampah di mata Ibu?”
“Tapi dia tidak
seharusnya memperlakukan Ibu seperti itu!”
“Ibu juga tidak
seharusnya memperlakukan Kala seperti itu!”
Arita terdiam.
Kilatan marah di mata anak tunggalnya itu tampak jelas terbaca. Abad
benar-benar murka.
“Jadi kamu
terima-terima saja Ibumu diperlakukan tidak sopan seperti tadi?”
“Bu… bisa tidak
Ibu berhenti merasa paling sempurna? Bisa tidak Ibu berhenti egois dan ingin
selalu menang? Bisa tidak Ibu berhenti memaksakan kehendak Ibu pada orang
lain?” Abad menghela nafas panjang, mengatur emosinya yang mulai memuncak.
Meredam amarahnya dan kembali mengingat bahwa ia sedang bicara dengan ibu
kandungnya sendiri. “Di saat seperti ini saja Ibu masih bisa membela diri
seolah Ibu tidak salah dan justru menyalahkan sikap orang lain atas apa yang
Ibu perbuat. Aku ga habis pikir sama Ibu.”
Arita mundur
selangkah, wajahnya kembali menenang, kembali menjadi Arita yang tampak damai
sehebat apapun badai yang melanda perasaannya. “Baiklah. Sekarang yang jelas
satu hal yang ibu tegaskan; Ibu tidak akan pernah menyetujui hubunganmu dengan
perempuan tidak punya sopan santun seperti itu.” Arita memutar tubuhnya
berjalan menjauhi Abad tanpa menunggu anak tunggalnya itu membalas perkataannya.
“Halah… bilang
saja Ibu memang cari-cari alasan kan untuk tidak menyetujui hubunganku dengan
Kala!” teriak Abad kemudian. Arita mendengar suara itu dari kejauhan, samar,
tertelan dinding-dinding lorong menuju kamar tidurnya yang kokoh. Arita
tersenyum, sebuah senyum kemenangan atas pertarungan panjang. Malam ini ia bisa
tidur dengan nyenyak.
BIMBANG
Abad terpekur
memandang lautan luas yang membentang di hadapannya. Sudah dua jam tubuhnya tak
beranjak, tatapan matanya begitu menyakitkan, ia tak dapat menemukan Kala
dimana-mana.
Sejak kejadian
malam itu hingga hari ini tepat seminggu, Kala lenyap bak ditelan bumi. Abad mencoba
menyambangi rumahnya, namun tak menemukan Kala disana, Maryam hanya bilang
bahwa Kala pergi berlibur dan Maryam tak tahu dimana tempatnya. Abad mencari Kala
ke rumah sakit, namun semua teman-temannya bilang Kala sedang mengambil libur
dua minggu sebab ia baru saja menyelesaikan dua stase mayor. Abad mencari Kala
di atap gedung fakultas kedokteran, di segala tempat tinggi dan perbukitan
kota, berharap menemukan Kala sedang terduduk memandang pemandangan lampu-lampu kota, namun nihil, semua hampa,
Kala masih tak juga berada disana. Abad mencari Kala ke semua toko buku di
penjuru kota, namun bukannya menemukan Kala di antara tumpukan buku-buku yang
menggurita, Abad justru semakin cemas sebab Kala masih tak juga tampak di depan
mata. Hingga akhirnya sore ini Abad memutuskan untuk berkeliling dari satu
pantai ke pantai di seluruh pesisir kota, berharap menemukan Kala sedang duduk
di atas pasir meminum cokelat panas sembari memandang sunset
kesukaannya, namun tetap saja, hasilnya sama, Kala hilang, tak berbekas, tanpa
meninggalkan jejak apapun.
Abad terduduk
lemas, pijaran mentari yang mulai menguning menerpa wajahnya yang sayu, lelaki
itu sedang dilanda badai kesedihan yang hebat, taufan kecemasan yang luar
biasa. Abad bertekad, bagaimanapun, entah sesulit apa jalannya, meski harus
berdarah, terjatuh, tak perduli walau harus mencari tanpa ada petunjuk pasti,
Kala harus ditemukan. Gadis itu harus pulang dalam pelukan.
“Kal… kamu
dimana… “ desis Abad tanpa ia sadari setetes air matanya jatuh membasahi pasir
dibawah kakinya.
¤¤¤
“Kal, lo yakin
gamau makan?” Diva menyodorkan semangkuk bubur ayam hangat dan segelas cokelat
panas, minuman favorit Kala.
Kala menggeleng lemas,
mata dengan kantung bengkak miliknya hanya mampu menatap kosong keluar jendela,
berpaku pada rerumputan kebun belakang rumah Diva yang sangat rimbun.
“Kal, ini sudah
seminggu, mau sampai kapan sembunyi dari Abad? Mau sampai kapan membohongi
semua orang dengan bilang lo liburan di negeri tetangga padahal lo mendekap di
kamar gue ga bergerak sesentipun, makan gamau, keluar kamar gamau, hp dimatiin?
Mau sampai kapan, Kal?” Diva menatap mata Kala lurus. Sahabatnya itu, ia tahu,
sedang dilanda dentuman hebat di titik terlemahnya dengan sangat luar biasa. “Kal,
lo pikir dengan lo diem semua masalah bakal kelar? Engga, Kal. Yang ada semua
malah tambah rumit. Semua bakal tambah membingungkan dan ga ada ujungnya.”
“Tapi, Div…’
“Kal… coba lah
lo berpikir jernih. Semua masalah itu dibicarakan, Kal, biar ketemu jalan
keluarnya. Orang kalau nyasar aja nanya, Kal, bukan diem. Kalau diem, nanti
malah jalannya salah terus masuk jurang.”
Kala menggeleng
kecil, “gue cuma ga nyangka aja, ada orang di dunia ini yang sebegitunya benci
sama gue padahal…”
“Padahal
Sangkala Indah Lestari adalah seorang calon dokter hebat dengan begitu banyak
pengagum dan ga akan terpuruk hanya karena ada satu orang yang membenci, begitu
kan?” Diva memotong kalimat Kala kemudian mengakhirinya dengan tersenyum.
Mendengar semua
itu, Kala hanya mampu menarik nafas panjang. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan
ke kamar mandi tanpa suara. Saat ini isi kepalanya benar-benar kusut, bak
benang, sudah tak dapat lagi di urai. Semua rentetan kejadian ini teramat
sangat melukai batinnya hingga ke lapisan paling dasar. Ini bukan hanya
mengenai cinta, ini semua juga mengenai harga diri Kala sebagai seorang wanita.
Kala bersumpah, seumur hidup ia tak pernah diremehkan hingga sebegininya. Tak pernah
ada yang tak menyukai Kala hingga sebegitu besarnya sampai-sampai Kala sendiri
bingung dosa apa yang ia lakukan, hingga Arita tak pernah mau menerima Kala
dengan lapang dada.
Kala mencuci
mukanya. Bercermin. Dan menemukan matanya bengkak hebat, bibirnya pucat,
wajahnya kusam, akibat dari tidur dibawah lima jam dan menangis selama seminggu
belakangan ini.
Kala menyentuh
bayangannya itu, meraba-raba wajahnya dari balik kaca, mendadak, ada segumpal
perasaan lain muncul dari benaknya, “Kal… ini bukan elo. Kala ga begini. Kala itu
kuat, tangguh, mampu menghadapi apapun, ga bisa dijatuhkan siapapun.” Kala berbicara
dengan nada tegas pada bayangannya sendiri, semangat itu perlahan tumbuh bak
bunga layu disiram hujan deras. “Enggak, Kal! Lo ga boleh kaya gini! Sekarang lo
mandi, Kal. Lo keluar dari rumah Diva. Lo shopping, lo makan yang banyak, lo
jalan ke pantai, lo liat lampu-lampu kota!”
¤¤¤
Abad terbangun
di pagi itu sebab seseorang membuka gorden kamarnya sehingga sinar matahari
menerpanya tepat di wajah. Abad mengulat kemudian membuka matanya setengah. Bibirnya
yang siap mengumpat tiba-tiba menjadi kaku begitu melihat siapa yang baru saja
melakukan hal itu terhadapnya.
“Ibu…” desis
Abad pelan. Kantuknya bak diangkat tak bersisa.
Sejak kejadian
di toko buku itu, Abad dan Arita seperti membangun gunung es besar yang berdiri
diantara mereka. Jangankan bertegur sapa, saling melirik ketika berpapasan di
dalam rumah pun tidak mereka lakukan. Arita masih terlalu gengsi untuk memulai
percakapan, sementara Abad masih terlalu marah untuk mulai memaafkan.
“Selamat pagi
anak semata wayang Ibu.” Arita tersenyum sembari berjalan mendekat, duduk tepat
di sisi tubuh Abad.
Abad terdiam,
membuang muka ke segala arah, tak ingin matanya bertumbukan dengan mata Arita.
“Sarapan sudah
matang dibawah, mau makan dibawah atau ibu bawakan ke kamar?” tawar Arita
lembut.
“Ibu mau apa?”
tanya Abad ketus. Amarah itu masih menggelegak di dadanya.
Arita tersenyum,
sikap tenang pengendali emosinya mulai nampak, “Bad, Ibu mau minta maaf kalau
Ibu melukai kamu dan membuat kamu marah. Dimanapun, seorang Ibu tetaplah seorang
Ibu, Bad. Dia selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sikap ibu,
karena ibu ingin yang terbaik untuk kamu.” Arita mengucapkan kalimatnya sepatah
demi sepatah membiarkan Abad menyerapnya dengan baik.
“Abad tahu, Ibu
memang menginginkan yang terbaik untuk Abad, tapi tidak dengan memaksa, Bu.” Perlahan,
hati Abad mulai melunak.
Arita mengangguk,
“maaf kalau ibu terkesan memaksa kamu. Tapi Abad mau kan sekali ini saja
dengarkan Ibu? Ibu ingin bicara baik baik dari hati ke hati.” Arita menatap
Abad dalam. Seperti sedang berusaha merasuki perasaan anak tunggalnya itu.
Abad mengangguk,
meluruskan tubuhnya, mendengarkan.
“Abad, Ibu tahu
kamu mencintai Kala. Tapi apakah cintamu pada wanita itu mampu mengalahkan
restu Ibu dan Ayah kandungmu? Apakah cinta itu terlalu buta sehingga kamu tidak
dapat lagi meraba mana yang sedarah denganmu mana yang tidak?”
Abad terhenyak,
perkataan itu menusuk tepat di jantungnya.
“Nak, kamu
renungkan hal ini baik baik. Dalam shalatmu mintalah petunjuk. Jika memang Kala
yang terbaik untukmu maka Tuhan akan senantiasa menggiring hatimu menujunya. Namun
jika Kala bukanlah sosok yang namanya disandingkan namamu oleh takdir Tuhan,
maka Tuhan akan selalu punya sejuta cara untuk menjauhkan dan menunjukkan.” Arita
bangkir berdiri, tersenyum, kemudian melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Abad terdiam
diatas ranjangnya, menatap punggung Arita yang menghilang di balik pintu dengan
berbagai macam rasa yang tak dapat dijabarkan. Hiruk pikuk di kepalanya kembali
hidup. Kejadian pagi ini memaksa otaknya berpikir keras kembali.
¤¤¤
“Kal lo udah
siap?” Diva menatap Kala yang dengan rakus melahap tiga porsi burger sekaligus.
Hiruk pikuk orang-orang di antrian pemesanan restoran fast food itu tak
seberisik kunyahan mulut Kala yang tak dapat lagi berhenti. Sejak kemarin, Kala
tak henti-hentinya mengajak Diva berwisata kuliner dari satu tempat makan ke
tempat makan lain. Tak hanya itu, Kala berbelanja begitu banyak baju dan
sepatu, menguras separuh tabungannya tanpa ampun. Tak lupa, Kala juga mengajak
Diva menghabiskan sore hingga malam di dermaga pinggir kota, menikmati laut
sekaligus lampu-lampu dermaga yang tampak berkilau di malam hari. Untung saja,
Diva juga sedang libur coass, sehingga mampu meladeni segala kegilaan Kala yang
tak bisa lagi ditahan. Diva sadar benar, kesedihan itu memang membuat Kala
sungguh tampak berbeda.
Kala mengangguk,
diteguknya segelas besar lemonade hingga hanya menyisakan es batu di dasar
gelas. “Lo yang bilang kalau semuanya harus diselesaikan.”
“Iya memang
seharusnya begitu, Kal.” Diva mencomot sepotong kentang goreng dari piring
dihadapannya dan mengunyah kentang itu dengan ogah-ogahan, “jadi kapan mau
menghubungi Abad?”
“Besok.”
“Beneran sudah
siap ya, Kal? Apapun nanti keputusan dan jalan keluarnya? No drama drama lagi,
okay?”
Kala mengangguk
mantap, membersihkan mulutnya dengan tisu. “Siap!”
¤¤¤
Malam bergulir, sejak
pagi Abad tak beranjak barang hanya selangkah dari kursi empuk di sudut The
Sawah Pastry. Pak tora yang melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang
ganjil, memutuskan untuk diam, enggan bertanya lebih jauh.
“Mau saya
masakkan makan malam, Bad?” tawar Pak Tora ketika mengantarkan Abad segelas
kopi pahit. Gelas kopi ketujuh Abad hari ini.
Abad menggeleng
tegas, “engga, Pak. Gausah. Saya ga lapar.”
“Hahahahaha
bagaimana bisa kamu ga lapar? Kamu dari pagi cuma minum kopi dan tiga potong
red velvet,” Pak Tora terbahak dengan nada tertawa khasnya. Membuat Abad tak
mampu menahan seringai senyumnya.
“Pak, Bapak
pernah ga jatuh cinta terus ga direstui orangtua?” tanya Abad tiba-tiba,
membuat Pak Tora yang hampir saja beranjak, mendadak mengambil posisi duduk di
depan Abad, menatap mata Abad lurus.
“Jadi masalah
itu yang membuat kamu dari tadi pagi linglung seperti orang gila?”
Abad terdiam
sejenak, kemudian mengangguk, dilemparnya pandangan ke segala arah.
“Kala?” tanya
Pak Tora.
Abad mengangguk
lagi untuk kedua kalinya.
“Bad, kamu tahu
ga? Saat pertama kali saya lihat gadis itu datang kesini bersama kamu dan dia
pakai piama, apa yang ada di pikiran saya?”
“Apa, Pak?”
Pak Tora
tersenyum sumringah, “Gadis itu memiliki energi baik yang luar biasa. Terlalu luar
biasa sampai tak semua orang mampu memahami dan menyerap.”
Abad mengernyit,
“maksud Bapak?”
“Kala itu memiliki
isi kepala yang bermacam-macam. Kepribadian yang begitu warna-warni. Ide-ide
cemerlang yang bervariasi,” Pak Tora mengambil vas bunga berwarna pink pastel
yang terleta diantara ia dan Abad, “kamu lihat vas ini? Apa vas ini cocok di
taruh di meja ini?”
“Cocok, Pak.”
“Kenapa?”
“Karena warnanya
seragam dengan mejanya.”
Pak Tora
tersenyum simpul kemudian mengambil sebuah vas di meja sebelah dengan warna
abstrak yang acak, nampak begitu ramai di pandang mata. “Sekarang vas ini, apa
vas ini cocok ditaruh di meja ini?”
Abad memerhatikan
vas itu dengan seksama kemudian menggeleng tegas, “tidak, Pak.”
“Kenapa?”
“Warnanya tampak
bertabrakan. Terlalu ramai.”
“Nah begitulah
Kala.”
Abad menggeleng,
masih tak mampu memahami maksud pak Tora.
“Kala itu
memiliki pemikiran dan kepribadian yang berbeda dan tak pernah seragam dengan
orang-orang kebanyakan. Saya rasa kamu tahu itu, kamu kekasihnya kan?”
Abad terdiam,
kemudian segala tentang Kala mulai berotasi di kepalanya; buku-buku yang Kala
baca, kesukaaan Kala dengan pantai dan lampu kota, cara tertawanya, cara Kala
bicara, cara Kala bercanda, cara Kala menghadapi masalah, gerak-geriknya, tutur
katanya, segalanya, mendadak membuat Abad sakit kepala. Pak Tora benar, Kala
memang gadis unik dengan segala caranya menjalani hidup.
“Kamu tahu,
ketika seseorang berbeda, maka tak semua orang bisa menerimanya? Kamu tahu,
ketika seseorang nampak tak seragam maka hanya orang-orang tertentu yang dapat
menyeragami dengan dirinya?”
Abad terdiam,
meneguk kopinya yang mulai mendingin, berharap sakit di kepalanya hilang
seketika.
“Kamu dan
keluargamu itu ibarat meja ini. Satu warna. Yang kemudian berharap dipasangkan
dengan vas berwarna sama agar tampak serasi dan cantik. Tiba-tiba Kala datang
dengan segala kewarna-warniannya, segala pola pikirnya yang berbeda, dan
keluargamu tidak dapat menerima,” Pak Tora menghela nafas panjang, “yang salah bukan
Kala, dia sudah mencoba menjadi seragam dengan keluargamu, mencoba membunuh
warna-warnanya hanya demi menjadi satu warna dengan kamu dan keluargamu, namun
ternyata keluargamu yang masih tak mampu mencoba menyeimbangkan diri dengannya.
Sesungguhnya, keluargamu yang tak pantas dengannya, Bad. Kenapa? Karena sosok
sehebat Kala tak pantas jika harus dibunuh karakternya. Kala tak pantas jika
harus menjadi satu warna padahal ada banyak tempat lain yang bisa menerimanya
dan menyeimbangkan diri dengan segala kewarna-warniannya.”
Abad mencerna
kalimat itu pelan-pelan. Sosok Kala dan Tita mendadak muncul bersamaan di
benaknya. Pak Tora benar, Tita memiliki sifat yang sama dengan kedua
orangtuanya. Sedangkan Kala? Gadis itu terlalu meledak-ledak dengan segala
tingkah lakunya jika harus disandingkan dengan Arita maupun Wijaya.
“Pak Tora tahu
darimana kalau keluarga saya dan Kala…”
“Hahahahahaha…”
Pak Tora tertawa lepas, “saya ini tahu segalanya, Abadi. Bahkan warna kaus
dalam kamu tiga hari lalu saja saya bisa tahu.”
Abad terdiam.
“Sudahlah,
lepaskan gadis itu. Dia berhak bebas dan lepas dari kungkungan keluargamu. Ia layak
untuk mendapatkan tempat lebih baik yang menerima dirinya sebagai sosok dengan
kepribadian luar biasa. Kasihan dia...”
“Tapi, Pak…”
“Kenapa? Kamu
cinta sama dia? Kalau kamu cinta seharusnya kamu tahu kalau lepas dari keluarga
kamu adalah jalan agar dia bahagia, Bad. Berhenti menyiksa Kala. Seperti yang
kubilang tadi di awal, tak semua orang mampu menyerap energi baik yang luar
biasa dari dirinya. Hanya orang-orang tertentu saja yang sama hebatnya. Dan keluargamu
tak sanggup melakukan hal itu.”
“Jadi maksud
Bapak saya dan keluarga saya tidak pantas dan tidak hebat?”
“Ya. Begitu lah.
Keluargamu itu statis sekali. Kaku. Maaf jika aku lancang. Namun lebih baik ku katakan
yang sejujurnya ketimbang kau kusanjung namun kemudian kau hancur.” Pak Tora
bangkit berdiri, “pikirkan kata-kataku baik-baik. Berhenti menjadi egois untuk
dirimu sendiri.”
Pak Tora
melenggang pergi, meninggalkan Abad dengan kepala hampir meledak tak kuasa
menahan beban dikepalanya yang mulai meluap berantakan tak beraturan.
¤¤¤
“Halo?”
“Ya? Halo?”
“Bisa kita bicara?”
Hening.
“Bisa. Kapan?”
“Siang ini.”
“Dimana?”
“Di tempat kita pertama kali bertemu. Kamu masih
ingat?”
“Bagaimana bisa aku lupa.”
“Ku kira begitu. Sebab kamu menghilang tanpa kabar tak
tahu kemana.”
Hening lagi.
“Bisa kan kita bahas ini saat bertemu saja?”
“Baik.”
“Baik.”
“Kutunggu.”
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar