Selasa, 23 Juli 2013

janji setia kembali (cerpen)



JANJI SETIA KEMBALI

Sore itu hujan lebat melanda kota Yogyakarta. Hujan yang disertai angin kencang itu mengkalangkabutkan banyak orang. Toko-toko di sepanjang jalan Malioboro, memutuskan untuk tutup lebih awal, takut kalau-kalau angin kencang berubah menjadi badai. Tak terkecuali para pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang jalan itu. Mereka memutuskan untuk menutup tenda mereka, karena angin kencang yang terjadi tak menutup kemungkinan akan membuat tenda mereka roboh.
Namun disudut lain Kota Pelajar itu, sepasang muda-mudi justru terlihat sedang sangat menikmati hujan yang turun. Mereka berkejaran di trotoar sepanjang jalan yang mereka lalui, menerobos hujan dengan gelak tawa di setiap detiknya.
“Za… Ziza… hei, tunggu!” ucap sang lelaki memanggil sang kekasih yang telah jauh mendahuluinya berlari didepan.
Gadis bernama Ziza itu berhenti, lalu memutar tubuhnya menghadap kearah datangnya sang lelaki. Dikacakkannya pinggang dengan air muka geli. “Yeeee, kamu kalah sama aku!” Ziza menjulurkan lidahnya. “Marvel kalah sama Ziza. Marvel kalah sama Ziza!” koor Ziza sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa. Menertawakan sang kekasih, Marvel, yang tengah berdiri didepannya sambil mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah, setelah hampir satu kilometer bekejar-kejaran dengan Ziza dibawah hujan.
“Kamu curang, Za. Jelas-jelas aku nggak jago lari. Eh kamu tantangin lomba lari. Jelas aku kalah!” dumel Marvel.
Ziza malah geleng-geleng kepala. “Biar kamu tuh gerak dikit, jadi perutmu nggak buncit lagi kayak gini,” Ziza mengulurkan tangannya lalu mencubit bagian bawah perut Marvel yang memang terlihat berlemak.
Sedang asyiknya bercanda, tiba-tiba angin datang menerpa keduanya. Membuat Marvel dan Ziza terkesiap lalu dengan sigap berlari, menuju halte bus terdekat.
“Aduh, Vel, basah.” Keluh Ziza sambil meneliti tubuhnya dari atas hingga bawah. Tubuhnya basah kuyup, tak ada sejengkal pun yang menyisakan tempat kering.
“Yaaah, gimana sih kamu. Jelas lah basah. Orang kita lari-lari sambil ujan-ujanan. Nggak mungkin nggak basah.” Marvel memandangi Ziza yang sedang serius mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang ia bawa. Cowok itu jadi senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wajah Ziza yang sepertinya sedang dongkol bukan main karena keadaan tubuhnya yang tak kunjung kering. “Udahlah, Za. Percuma dikeringin. Kamu tenang aja, aku janji, kalo minggu depan aku udah beli mobil, kita pasti pulang-pergi kantor pake mobil aku, nggak perlu lagi naik bis, dan nggak perlu lagi ujan-ujanan kayak gini.”
Mendengar penjelasan panjang Marvel itu, kontan Ziza berhenti mengerikan tubuhnya dan menatap Marvel dengan sorot mata susah ditebak. “Iya… iya, sayang.” Ziza tersenyum.
Tiba-tiba Marvel merasakan ada sesuatu yang bergetar didalam tas yang ia bawa. Pasti ponselnya! “Za, ada yang nelpon nih. Tunggu bentar ya.” Marvel pergi menjauh dari Ziza, menuju pojokan Halte yang sepi. Diangkatnya telepon itu disana.
“Ya, halo?”
“Sayang? Kamu kemana? Katanya mau jenguk aku! Aku kan lagi sakit nih. Pengen dijengukin kamu.” Terdengar suara seorang wanita dengan nada manja setengah merajuk dari ujung ponsel.
Marvel menengok kebelakang sesaat, ketempat Ziza masih berdiri, dan mendapati Ziza sedang kembali terlarut dalam kegiatannya mengeringkan tubuh. “Mmmm…, oke, aku bakal kesana sekarang, tunggu sebentar ya.” Klik! Sambungan telepon dimatikan. Setelah menyimpan kembali ponselnya kedalam tas kedap air yang ia bawa, Marvel bergegas menghampiri Ziza.
“Telepon dari siapa, Vel?” Tanya Ziza tanpa curiga sedikitpun. Ia masih asyik dengan handuk kecilnya.
“Oh, itu. Dari…, Mamaku, katanya dia minta temenin aku ke tempat pamanku yang lagi sakit sekarang. Makanya dia nyuruh aku pulang cepet-cepet.” Jawab Marvel setengah gugup.
“Tapi…, gimana kamu mau pulang? Nggak ada bis begini.”
Marvel garuk-garuk kepal sendiri, kebingungan mencari alasan. “Ngg…, aku…, oh ya, tadi Mama bilang mau menjemput aku di deket supermarket yang ada di deket kantor kita. Jadi aku harus kesana sekarang.”
“Loh, jauh amat, Vel? Kenapa kamu nggak minta susul disini aja? Jarak dari sini ke supermarket deket kantor kita kan satu kilometer. Lagian ini ujan kamu…,”
“Aduh, Za. Aku buru-buru nih. Aku kesana lari aja deh. Kan kata kamu bagus kalo aku lari, biar perutku nggak buncit lagi, hehe…,” Marvel tertawa datar. “Oke, Za. Aku pergi dulu ya. Daaah…” tanpa memberikan Ziza kesempatan untuk bicara, Marvel sudah keburu ngibrit, pergi meninggalkan Ziza sendirian di halte bus, tempat yang mungkin…, akan menjadi tempat terakhir kenangan bagi mereka berdua.

* * * *

Marvel terus berlari, memburu waktu yang semakin  tak terkejar. Diva, gadis yang (juga) dicintai oleh Marvel itu telah menunggu kehadirannya. Marvel tahu, Diva sangat membutuhkan Marvel saat ini, lebih dari Ziza membutuhkannya. Maka dari itu, Marvel lebih memilih untuk menjenguk Diva yang memang sedang sakit ketimbang menemani Ziza pulang.
Sudah lebih dari 3 bulan belakangan ini, Marvel memang menjalin hubungan terselubung dengan Diva, teman semasa SMA-nya dahulu, tanpa sepengetahuan Ziza tentunya. Begitu pula Diva, gadis blasteran Indonesia-Belanda itu juga tak tahu bahwa Marvel telah mempunyai seorang kekasih. Marvel sungguh telah membohongi kedua gadis yang sama-sama dicintainya itu.
Perselingkuhan ini terjadi ketika hubungan Ziza dan Marvel memasuki tahun keempat. 4 tahun lebih sudah menjalin hubungan dengan Ziza, menimbulkan sedikit kejenuhan di hati Marvel. Ia butuh sedikit selingan, yang mampu mengusir akan semua kejenuhan itu. Dan semua hal yang diingininya itu, dapat ia temukan pada sosok Diva, teman semasa SMA-nya dulu yang baru setengah tahun lalu kembali bertemu dengan Marvel pada acara reuni SMA mereka.
Marvel sangatlah merasa nyaman dengan hadirnya Diva. Diva mampu mengisi kekosongan hari-hari Marvel ketika Ziza tengah sibuk dengan urusannya. Marvel menyayangi Diva seperti halnya juga ia menyayangi Ziza.
Marvel menghentikan derap kakinya di bawah sebuah pohon rimbun yang ada di pinggir jalan. Ia tengah mencoba untuk mengatur nafasnya yang tengah terputus-putus. Tak sanggup lagi ia berlari dalam keramaian hujan. Tubuhnya sudah terlalu letih untuk melakukan hal itu saat ini.
Tepat ketika tengah memikirkan cara untuk tiba di rumah Diva, tiba-tiba seorang tukang ojek melintas di depan Marvel. Marvel mengenalinya sebagai tukang ojek karena pria tersebut mengenakan jaket sebuah perusahaan ojek terkenal di kota Yogya.
“Ojek! Ojek!” panggil Marvel cepat sebelum ojek itu keburu melaju.
Tukang ojek itu pun berhenti tepat beberapa meter dari tempat Marvel berteduh. Marvel segera berlari kecil, menghampiri tukang ojek iu dan langsung naik ke boncengan motornya. “Bang, pergi ke daerah Jalan Satria ya.”

* * * *

Marvel tiba dirumah Diva ketika hujan telah berhenti dan hanya menyisakan tetes-tetes air pada dedaunan pohon yang berderet di sepanjang jalanan. Setelah membayar ojek, dan membiarkan si tukang ojek pergi, Marvel segera mengeluarkan ponselnya demi menelepon Diva.
“Halo, Div? Aku sekarang udah ada di depan rumah kamu nih. Aku berdiri di trotoar di seberang gerbang rumah kamu. Kamu cepet turun ya…. Oke… daah…” Marvel mematikan sambungan telepon lalu diam mematung di trotoar itu dengan pandangan lurus menghadap teras rumah Diva.
Tak lama, orang yang ditunggu Marvel benar-benar muncul. Diva. Gadis cantik dengan rambut ikal itu keluar dari rumahnya dengan mengenakan kaus lengan panjang dan celana katun panjang. Rambutnya yang ikal alami, dibiarkan tergerai bebas, membingkai wajahnya yang manis.
“Marvel!” Diva melambaikan tangannya dari balik pintu gerbang rumahnya sambil tertawa sumringah. Melihat itu, Marvel buru-buru berlari kecil, menyeberang jalan demi tiba di gerbang rumah Diva, namun….
Tiiiiiinnnnn!!!! Suara klakson membahana, memecah keheningan sore itu. Langit kembali bergemuruh, berguntur hebat, tepat ketika tubuh sesosok pemuda terhempas, tertabrak sebuah minibus.
Darah! Darah! Darah dimana-mana! Tubuh itu tergolek lemas dengan darah yang mengalir dari kepala dan hidung. Tangan dan kakinya pun mengeluarkan darah segar akibat kulit yang terkelupas disana-sini.
“Marveeeeeeeeellll!!!!!” teriak Diva lengking bukan main. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari menghampiri tubuh Marvel yang tergelatak lemah beberapa meter dari gerbang rumahnya. Dipeluknya tubuh Marvel yang bersimbah darah itu dengan erat. “Marvel! Marvel! Bangun, Marvel!” Diva mengguncang tubuh Marvel sambil menangis histeris. Orang-orang yang berkerumun melihat kejadian itu hanya bisa terdiam, tak berani mengusik Diva. Hingga akhirnya beberapa detik kemudian, Diva kembali menjerit histeris…, “tolong! Tolong! Tolong bawa pacar saya ini kerumah sakit! Tolong!”

* * * *

Ziza baru saja menjejakkan kaki di pintu depan rumahnya, tepat ketika ponselnya bergetar, menandakan ada sms masuk.
From: Fadil (office)
Za, Marvel kclakaan. Skrg dia ada drmh skit Kasih Bunda. Cptn ksni.

Jger! Petir serasa menghantam kepala Ziza dan ia hampir saja jatuh limbung begitu membaca pesan teks itu. Tanpa tedeng aling-aling lagi ia segera berlari, keluar dari gerbang rumahnya dan menyetop sebuah angkutan umum yang melintas. “Bang, kerumah sakit Kasih Bunda. Tolong jalannya agak cepet! Saya buru-buru!”

* * * *

Fadil yang baru kembali dari kantin rumah sakit untuk membeli ganjalan perut, terkejut begitu melihat Ziza tengah menangis kebingunan mencari kamar tempat Marvel dirawat. Ziza terlihat sedang menangis sambil mendesak eorang suster untuk mengantarnya ke kamar Marvel.
“Ziza!” panggil Fadil. Ziza menoleh, dan air mukanya langsung menunjukkan sedikit kelegaan begitu mengetahui ternyata Fadil lah yang memanggilnya. Ziza pun berlari, mendekati Fadil lalu memeluk teman sekantornya itu tanpa aba-aba.
“Dil, dimana Marvel? Dimana dia? Gue nyariin dia! Gue khawatir, Dil. Marvel nggak kenapa-napa kan, Dil?” berondong Ziza sambil terus menangis dalam pelukan Fadil.
Fadil melepas pelukan itu dan menatap Ziza dengan raut wajah tenang, meskipun ia tahu dengan pasti, bahwa kabar yang akan ia sampaikan pada Ziza ini bukanlah kabar baik yang akan membuat hati tenang. “Marvel tadi baru selesai mendapatkan penanganan dari tim medis, Za. Dia mengalami gegar otak dan patah pada tulang kaki dan tangan.”
“APA!!??” syok dengan berita yang didengarnya, Ziza nyaris jatuh pingsan kalau saja tubuhnya tidak keburu ditahan oleh Fadil.
“Za…, Ziza…,” Fadil menggotong tubuh Ziza sambil masih mencoba menyadarkan gadis itu. Begitu tiba di sebuah lorong kecil yang menyediakan beberapa buah bangku tunggu, Fadil menghentikan langkahnya, dan meletakkan tubuh Ziza diatas bangku itu.
“Za…, sadar, Za. Lo harus sadar! Lo harus jenguk Marvel biar Marvel cepet sembuh.” Ucap Fadil pelan sambil mengguncang tubuh Ziza. Syukurlah, Ziza memberikan sedikit respons dengan menggerakkan tangannya. Tak lama, mata Ziza pun terbuka.
“Fadil…,” lirih Ziza pelan. “Gue mau Marvel sembuh,” ucap Ziza lantas bangun, mendudukkan tubuhnya. “Ayo, Dil. Anter gue ke kamar Marvel. Gue mau jenguk Marvel.”
* * * *
Kamar 187. Begitu lah tulisan yang terpampang di pintu itu. Ziza jadi gelisah dan takut sendiri melihatnya.
“Gue kok jadi nggak mau masuk ya, Dil? Gue nggak sanggup ngeliat Marvel.” Ziza kembali menitikkan air matanya, membayangkan sosok sang kekasih tercinta yang tengah bejuang antara hidup dan mati.
“Za, coba masuk aja dulu. Lo harus ada di samping Marvel saat ini. Kasih dia semangat. Oke.” Fadil mengacungkan kedua jempolnya diudara, memberikan suntikan semangat pada Ziza. Ziza pun mulai tergerak hatinya dan menganggukan kepala.
“Oke, lo temenin gue ya?”
Fadil mengangguk lalu dengan cepat menarik tangan Ziza memasuki kamar tempat Marvel dirawat. Namun, baru satu langkah masuk kedalam ruangan itu, Fadil dan Ziza dikejutkan begitu mendapati kehadiran sesosok perempuan yang tengah menangis sesenggukkan disamping tubuh Marvel yang masih tak bergerak. Terdengar dari tangisnya, Fadil dan Ziza sudah bisa memastikan bahwa perempuan itu sedang dalam keadaan terpukul saat ini. Sepertinya ia bukan orang biasa dalam kehidupan Marvel.
“Dil, itu siapa?” Tanya Ziza bingung dengan bisikkan pelan. Perempuan itu masih belum menyadari kehadiran Fadil dan Ziza.
Fadil angkat bahu. “Gue nggak tahu. Gue nggak pernah liat dia dari tadi.” Fadil pun mencoba mengingat-ingat kronologi kejadian yang menimpa Marvel. Tadi sore, ketika Fadil tengah mengendarai mobil melewati perumahan di Jalan Satria, ia menemukan kerumunan orang yang tengah panik sambil mencari kendaraan dan menggotong sesosok tubuh laki-laki yang bercucuran darah. Dan begitu dihampirinya kerumunan itu, ia cukup terkejut, mengetahui ternyata lelaki itu adalah Marvel yang baru saja menjadi korban tabrak lari. Kontan, tanpa pikir panjang lagi, Fadil langsung menawari mobilnya sebagai kendaraan untuk membawa Marvel menuju rumah sakit. Tapi…, selama di perjalanan hingga tiba di rumah sakit, Marvel tak pernah melihat sosok wanita ini. Lalu.., dia siapa?
Penasaran, Fadil pun nekat mendekati sosok perempuan berambut ikal itu bersama Ziza. “Permisi.” Fadil menyentuh pundak perempuan itu pelan.
Perempuan itu menoleh, tepat kearah Fadil. Matanya yang telah banjir dengan air mata, beradu pandang dengan mata Fadil selama beberapa detik sebelum akhirnya ia tersadar. “Ya, ada apa?” jawabnya lirih dengan suara berat, menahan tangis.
Fadil dan Ziza saling lirik sesaat sebelum akhirnya Fadil kembali bicara, “saya temannya Marvel. Kalau saya boleh tahu, Anda ini siapa?”
“Oh. Saya pacarnya Marvel. Nama saya Diva.” Jawab perempuan itu enteng lalu kembali memusatkan perhatiannya pada sosok Marvel yang masih terbujur kaku, mengacuhkan Fadil dan Ziza, seolah kedua makhluk itu tak pernah ada.
Mendengar kalimat yang seolah mampu membuatnya terkena serangan jantung itu, Ziza nyaris saja menjerit sambil menangis didalam kamar tempat Marvel dirawat, kalau saja Fadil tak keburu menarik tubuhnya keluar kamar.
“Za?” panggil Fadil pelan pada Ziza yang tengah menundukkan kepalanya sambil menangkupkan kedua tangan didepan wajah.
Ziza mendongak, menatap Fadil dengan tajam menggunakan kedua matanya sudah basah. “Dil. Marvel jahat! Marvel jahat! Dia punya pacar lain selain gue, Dil! Marvel jahat!” ujar Ziza setengah berteriak.
Fadil kontan langsung memeluk Ziza, mencoba menenangkan. “Za…, tenang dulu. Belum tentu dia benar-benar pacarnya Marvel. Bisa aja dia bohongin kita kan?”
Ziza melepas pelukan Marvel dengan paksa. Lalu dengan muka menahan amarah, tanpa aba-aba ia kembali memasuki ruangan tempat Marvel dirawat demi menghampiri Diva. Belum sempat Fadil mencegah, Ziza sudah keburu berdiri di depan Diva dengan tampang dongkol.
“Bener, elo pacarnya Marvel?” Tanya Ziza dengan suara garang. Ditatapnya Diva dengan mata nyalang.
“Eh, pelan-pelan ya lalu ngomong. Kamu nggak liat pacar saya lagi sakit?” jawab Diva ketus.
“Gue nggak nanya itu! Yang gue Tanya, apa bener elo pacar Marvel? Budeg?!”
Diva bangkit berdiri, dihentakkannya kaki dengan kesal. “Kalau memang iya, terus kenapa? Saya sudah 3 bulan pacaran dengan Marvel. Lalu apa urusannya dengan kamu!?”
“Mana buktinya?!” desak Ziza makin menjadi. Ia masih belum percaya bahwan sosok wanita bernama Diva ini adalah pacar Marvel selain dirinya.
Dengan wajah geram, Diva merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan beberapa buah sms dari Marvel, serta beberapa buah foto dirinya dan Marvel berdua. “Puas kamu! Kurang percaya apa lagi?! Emang kamu ini siapa? Apa urusannya kamu dengan Marvel?”
Ziza tak mampu menahan keterkejutannya atas bukti-bukti yang ditunjukkan Diva. Jadi…, Diva benar-benar pacar lain Marvel selain dirinya? Oh Tuhan! Tidak!
Ziza tak mampu lagi membendung air matanya. Ia kembali menangis. Hatinya terluka kini. Teramat sangat dalam. Ia tak percaya, ternyata, orang yang selama ini ia sayangi dengan sepenuh hati, justru mengkhianati cintanya. Sungguh Ziza tak menyangka! Apa kurang dirinya terhadap Marvel sehingga Marvel dengan begitu tega menduakannya!?
Dengan masih sekuat tenaga menahan emosi, Ziza menjawab pertanyaan Diva, “gue…,gue bukan siapa-siapanya Marvel. Maaf udah ganggu.” Lirih Ziza pelan. Kepalanya tertunduk, tak mampu menatap mata Diva lagi. Lalu pada detik berikutnya, iza justru berlari, meninggalkan kamar rawat inap Marvel sambil menahan tangis, melihat Ziza berlari pergi, Fadil pun menyusul.
“Za, lo nggak apa-apa kan?” Tanya Fadil pelan, sambil mencekal tangan Ziza, agar gadis itu berhenti berjalan.
“Gue kecewa banget atas semua ini, Dil. Kecewa!” Ziza tak mampu lagi menahan tangisnya.
Fadil menghela nafas panjang. “Sabar ya, Za,” Fadil memberikan suntikan semangat pada Ziza, sebagai tanda prihatin.
“Terus, setelah ini, gimana kelanjutan hubungan lo dengan Marvel?” Tanya Fadil kemudian
“Lo bilang apa?” Ziza tertawa pahit. “Kelanjutan? Kelanjutan apa? Semuanya udah berakhir sampai sini, Dil. Cukup! Cukup hati hati gue sakit! Nggak ada guna lagi buat gue ngelanjutin semua ini.”

* * * *


“Za? Lo mau kemana?” Tanya Fadil heran, begitu keesokan paginya di kantor mendapati Ziza tengah memasukkan semua barang dan arsip-arsip yang ada di meja kerjanya ke dalam kardus besar.
Ziza mendelik pada Fadil sesaat lalu kembali terfokus pada barang-barang di hadapannya. “Gue mau pindah kantor.”
“Hha?! Pindah?”
“Iya, gue pindah ke kantor cabang yang ada di Magelang.”
Fadil mendekati Ziza, lalu berdiri tepat dihadapan gadis itu dengan mimik serius. “Za, lo apa-apaan sih? Kenapa pake pindah segala.”
Ziza berhenti mengemasi barangnya sesaat, menatap Fadil, lalu menghembuskan nafas berat. “Maafin gue, Dil. Tapi ini memang udah keputusan gue. Gue…, nggak mau satu kantor lagi sama Marvel. Gue nggak mau ngeliat mukanya lagi!”
“Tapi, Za…,”
Sebelum ocehan panjang lebarnya Fadil sampai ditelinganya, Ziza sudah lebih dulu menyumpal telinganya dengan earphone miliknya. Dan dari earphone yang terhubung ke i-Pod itu, mengalunlah lagu yang memang saat ini sedang menggambarkan perasaan Ziza…
Terimakasih ‘tuk luka yang kau beri…
Ku tak percaya kau telah begini.
Dulu kau menjadi malaikat dihati,
Sampai hati kau telah begini…
Berkali-kali kau katakan sendiri…
Kini ku tlah benci, cintaku tlah pergi…
(geisha – pergi saja)

* * * *

3 bulan kemudian…
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Magelang, dengan halaman indah penuh bunga, tampak seorang pria yang berusia sekitar 20 tahunan sedang melamun, duduk termenung diatas kursi roda yang selama hampir 3 bulan ini menjadi tumpuan hidupnya. Tanpa bergerak, tanpa bersuara. Matanya yang jernih, menatap kosong pada rerumputan hijau didepannya. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Vel, kamu kenapa?” seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah, dan langsung menghampiri pria yang ternyata adalah Marvel itu.
Marvel menoleh, menatap ibunya dengan air muka sedih. “Ma, aku pengen ketemu sama Diva.”
“Diva? Diva siapa? Bukannya pacar kamu namanya Ziza.”
Marvel hanya mendengus lemah, lalu matanya kembali kosong, pikirannya menerawang, terbang melayang… tak ditanggapinya pertanyaan sang mama.
Tiga bulan berlalu semenjak kecelakaan itu. Marvel masih belum pulih juga. Sisa-sisa akibat gegar otak berat yang dulu dialaminya, masih saja suka mengganggu. Terkadang, bila terlalu banyak pikiran, maka kepala Marvel akan berdenyut dengan begitu hebat, dan kalau sudah seperti itu, biasanya ia akan jatuh pingsan.
Tak hanya itu, kaki dan tangan kirinya yang patah, masih belum bisa digerakkan karena keretakan yang cukup banyak belum kunjung pulih. Oleh karena itu, sehari-hari, Marvel hanya mampu terduduk di kursi rodanya. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
Selama 3 bulan itu pula. Marvel tak pernah sedikitpun mendengar kabar dari Ziza ataupun Diva. Keduanya seolah menghilang ditelan bumi. Setiap kali Marvel menghubungi ponsel keduanya, selalu saja mailbox.
Bahkan, ketika 2 bulan yang lalu Marvel mengirimi e-mail pada Ziza yang menjelaskan keadaannya sekarang, Ziza tak kunjung membalasnya hingga detik ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ziza dan Diva seolah menjauhi Marvel? Apa karena Marvel yang juga tiba-tiba menghilang dari Yogyakarta dan tak memberitahu mereka?
Ya, 3 bulan lalu, setelah 2 hari terbaring di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta, Mama Marvel memang memutuskan untuk memindahkan Marvel ke sebuah rumah sakit di Magelang yang tak jauh dari rumahnya, agar Marvel lebih mudah diawasi. Namun Mama Marvel, tak memberitahukan perihal tentang kepindahan Marvel ini pada siapapun kecuali pada perusahaan tempat Marvel bekerja. Mama Marvel mengirimi perusahaan itu surat permohonan cuti setengah tahun untuk Marvel, hingga keadaan Marvel benar-benar pulih. Dan Mama Marvel juga meminta pada perusahaan tempat Marvel bekerja untuk tak memberitahukan hal ini pada siapapun. Karena, perempuan paruh baya yang sangat menyayangi Marvel itu ingin proses kesembuhan Marvel dapat berjalan dengan cepat tanpa ada yang mengganggu, maka dari itu, ia merahasiakan kepindahan Marvel pada semua orang.
Marvel memanglah orang Magelang asli, namun sejak SMA, ia sudah bersekolah di Yogyakarta, hingga bekerja disana. Sedangkan ibunya, tetap tinggal di Magelang, bersama kedua adik Marvel yang saat ini masih berkuliah di salah satu universitas swasta di Magelang. Sedangkan Ayah Marvel telah lama berpulang sejak Marvel duduk dikelas 2 SMA.
“Ma, bisa antarkan Marvel ke dalam rumah?” pinta Marvel pada sang Mama. Mama pun menurut, dan mengantarkan Marvel menuju kamarnya, lalu membantu sang anak berbaring di tempat tidur.
Sepeninggal Mama, Marvel merarih ponsel yang ia letakkan di bawah bantal. Coba dihubunginya lagi nomor Diva. Dan berharap akan ada sebuah keberuntungan hari ini.
Dan…, tuuut! Terdengar nada telepon tersambung! Nyaris Marvel melompat kegirangan kalau saja ia tak ingat bahwa tangan dan kaki kirinya tengah patah tulang.
Tak lama, telepon pun diangkat.
“Ya, halo?” Marvel masih ingat, ini memang suara Diva.
“Diva? Ini aku…, Marvel.” Ucap Marvel terbata.
“Marvel?”
“Ya, Marvel, pacarmu.”
Terdengar suaar Diva tertawa mencemooh. “Pacar? Pacarku? Orang cacat seperti kamu jadi pacarku? Yang benar saja!”
Marvel tersentak. “Diva! Apa maksudmu?”
Diva kembali tertawa mencemooh. “Aku tahu semua keadaanmu sekarang, Vel. Dokter yang menanganimu itu adalah sahabatku! Ia bercerita padaku, bahwa kamu sekarang sudah tidak bisa berjalan lagi! Untuk hidup saja, kamu mesti duduk diatas kursi roda. Kamu cacat, Vel! Aku nggak mau punya pacar cacat!”
“Div…,”
“Apa lagi?!” seru Diva ketus. “Aku udah nggak butuh cowok cacat, Vel! Dan asal kamu tahu, aku udah dapetin penggaanti kamu yang jauh lebih baik dari kamu. Jadi aku mohon. Mulai detik ini, kamu jangan ganggu aku lagi.” Klik! Telepon terputus! Marvel memegangi dadanya yang terasa begitu sesak. Perkataan Diva barusan, telah menghujam jantungnya hingga dasar yang paling dalam. Sakit! Perih! Kecewa! Ternyata, selama ini, Diva hanya mencintai Marvel secara fisik. Bukan dengan hati nuraninya.
* * * *
Keesokan paginya…
Marvel terlonjak bangun dari tidurnya. Dari sekujur tubuhnya, mengalirlah tetes-tetes keringat ketegangan. Mimpi yang baru saja ia alami, sungguh membuat batinnya terkoyak-koyak kesedihan bercampur rasa bersalah. Dalam mimpinya itu, Ziza datang lalu menangis di depan Marvel sambil mengatakan bahwa ia sangat sedih atas perlakuan Marvel terhadapnya. Ziza sangatlah kecewa!
Mimpi itu juga seolah memberitahu Marvel dan membuat Marvel sadar sekaligus dapat mengerti, apa yang Ziza rasakan padanya saat ini. Bencikah Ziza pada Marvel?
Tiba-tiba, entah darimana datangnya, rasa rindu dibenak Marvel terhadap Ziza muncul. Memimpikan Ziza, membuat Marvel dapat dengan jelas kembali merasakan kerinduan itu. Kerinduan akan canda Ziza, kerinduan akan omelan Ziza, kejahilan Ziza, semuanya…
Tanpa terasa, Marvel menitikkan air matanya lagi. Ziza… betapa bodohnya Marvel telah menyakiti gadis yang sudah lebih dari 4 tahun selalu mengisi hari-harinya itu.  Ziza selalu memberikan yang terbaik untuk Marvel dengan cinta setulus hatinya. Sedangkan Marvel? Ya Tuhan… betapa bodohnya Marvel.
Sampai hati Marvel mengkhianati cinta Ziza hanya demi Diva, gadis yang tak pernah mencintai dirinya setulus hati.
Kini, Marvel benar-benar menyesali kekeliruannya di masa lampau itu. Ziza, hanya gadis itu yang mampu menerima Marvel apa adanya! Hanya Ziza!
Marvel mendudukkan tubuhnya dengan gerakan hati-hati. Pelan, namun pasti, ia sudah terduduk di pinggir ranjangnya, hendak menjamah laptop kesayangannya yang ia letakkan di meja yang ada di sebelah kiri tempat tidurnya.
Menggunakan tangan kanannya, Marvel pun berhasil mengambil laptop itu lalu meletakkannya di pangkuan. Setelah laptop hidup, tujuan utama Marvel adalah membuka akun e-mailnya, dan menuliskan sebuah pesan untuk Ziza disana.
Subject: I miss you…
Za, apa kabar kamu disana? Sudah tiga bulan aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Aku merindukanmu, Za. Teramat sangat merindukanmu.
Za, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu nggak pernah menghubungiku lagi? Apa ada yang salah, Za? Tolong, beri aku kabar segera.
Za, merindukanmu… aku membutuhkanmu.
* * * *
Sementara itu, disuatu tempat lain, masih di kota Magelang, Ziza tengah termenung sambil menitikkan air mata di depan laptop-nya. E-mail yang baru saja diterimanya dari Marvel, menggugah pikirannya untuk kembali mengingat Marvel lagi. Marvel…, hingga detik ini, Ziza memang masih sangat mencintai cowok itu. Tapi rasanya, akan begitu berat untuk kembali lagi. Ziza merasa tak sanggup.
“Za?” panggil seseorang. Ziza mendongak dan mendapati Pak Pram, bosnya yang sudah berusia kepala 5 itu, tengah menatapnya heran. “Kamu kenapa nangis?”
Dengan terburu-buru Ziza menghapus untaian air matanya. “Ah, gapapa, Pak,” Ziza tersenyum kecut.
Pak Pram tersenyum penuh arti, lalu mendekat pada Ziza. Tubuh tambunnya membuat meja kerja Ziza terasa sesak. “Kamu mungkin bisa bohongin orang lain. Tapi kamu nggak bisa bohongin saya, Za. Kamu…, keinget lagi ya sama si Marvel?”
Ziza tertawa kecil. “Ah, nggak kok, Pak. Saya…,”
“Mau sampai kapan kamu bohongin perasaan kamu? Saya bisa baca dari gerak gerik kamu, kamu masih sayang sama Marvel. Saya bahkan tahu, diam-diam, kamu masih menyimpan foto Marvel di ponsel kamu, iya kan?” Pak Pram tersenyum penuh kemenangan, karena berhasil menskak Ziza hingga cewek itu tak mampu lagi bicara.
Ziza menelungkupkan kepalanya diatas meja. Ia menangis lagi. Baginya, tak ada guna lagi menyembunyikan perasaannya dihadapan Pak Pram, toh Pak Pram ternyata sudah tahu. “Saya emang nggak pernah bisa ngelupain Marvel, Pak.”
Pak Pram melongokkan kepalanya, demi melihat layar laptop Ziza. “Kenapa e-mail Marvel nggak kamu bales? Kesempatan loh buat kembali sama dia.”
Ziza mendongak, menatap Pak Pram dengan matanya yang sudah memerah. “Saya…, belum siap untuk benar-benar kembali sama Marvel, Pak.”
“Sudah sudah…,” Pak Pram menepuk-nepuk bahu Ziza pelan. “Daripada kamu sedih, mending kita jalan-jalan, yuk! Ada konser Sammy Simorangkir di mall. Mending kita nonton itu.”
* * * *
Entah ada angin apa, tiba-tiba sore ini Mama mengajak Marvel keluar rumah untuk berjalan-jalan. Padahal selama 3 bulan terakhir ini, Mama selalu melarang Marvel untuk keluar rumah, walaupun hanya untuk berjemur ditaman.
“Mama sekarang lagi ada waktu. Mumpung cuaca juga lagi cerah, makanya Mama mau ngajak kamu jalan-jalan,” jawab Mama, begitu ditanyai Marvel.
“Memangnya kita mau kemana, Ma?”
“Ada konser Sammy Simorangkir di mall. Mama mau nonton itu. Konsernya terbuka loh untuk umum. Siapa aja boleh nonton. Kalau nggak salah, kamu juga ngefans kan sama Sammy?”
Marvel langsung tersenyum mendegar penuturan Mama. Sammy! Itu penyanyi favoritnya! Suara emas Sammy telah mampu menyihir benak Marvel. Bahkan Marvel sudah mengidolakan Sammy semenjak Sammy masih menjadi vokalis salah satu band papan atas Indonesia.
“Ayo, Ma! Aku juga mau nonton konser itu.”
* * * *
Keadaan salah satu mall terbesar di kota Magelang, sore itu, begitu ramai. Sesak oleh para penonton konser terbuka Sammy. Penonton yang didominasi para remaja putri itu, tak hanya datang kesana dengan tangan hampa, tetapi juga membawa berbagai spanduk yang menunjukkan betapa cintanya mereka pada sosok Sammy.
Di keramaian orang itu, tampak Ziza dan Pak Pram tengah berdiri di tempat yang agak lengang, memadang lurus kearah panggung tanpa berkedip, menatap Sammy yang sedang menyanyikan lagi hits-nya.
Tak jauh dari mereka juga, tanpa Ziza sadari, Marvel dan mamanya pun tengah menonton konser itu. Ibu dan anak itu sengaja menikmati konser dengan jarak lumayan jauh dari panggung, agar tak terlalu berdesakan dengan penonton yang mengerumun.
Marvel, menatap lurus pada Sammy yang tengah bernyanyi dengan penuh penghayatan. Mendengar setiap lirik dari lagi itu secara mendalam, Marvel kemudian tersadar, lagu itu, sangat cocok disematkan untuk kehidupannya saat ini. Lagu yang menggambarkan, betapa ia tengah merindukan sosok seseorang, yang selama ini telah dikhianatinya…
Sedang apa…, dan dimana?
Dirimu yang dulu kucinta.
Ku tak tahu… tak lagi tahu… seperti waktu dulu…
Apakah mungkin, bila kini, kuingin kembali?
Menjalani janji hati kita.
(sedang apa dan dimana – Sammy simorangkir)
Tanpa Marvel sadari, air matanya kembali jatuh menetes seiring dengan usainya Sammy menyanyikan lagu “sedang apa dan dimana”. Kalau saja bisa, Marvel ingin sekali berdiri sambil memberikan tepuk tangan sekencang-kencangnya pada Sammy. Sayang, keadaannya tak memungkinkan hal itu terjadi.
Lagu itu, telah menghantarkan Marvel pada titik kerinduannya terhadap Ziza yang paling tinggi. Ziza… Ziza… dimana kamu, Za? Tanya Batin Marvel.
“Vel, kamu nggak apa-apa?” Mama menyentuh pundak Marvel.
Marvel buru-buru menghapus air matanya. “Nggak kenapa-napa kok, Ma. Aku…, cuma haus.”
“Oh. Oke kalo gitu, Mama beliin kamu minum dulu, ya.” Mama pun pergi meninggalkan Marvel ditengah keramaian itu seorang diri.
Entah kenapa, Marvel sudah kehilangan mood-nya untuk menonton konser Sammy. Hatinya yang sedang dirundung sedih itu, membuatnya sedang tak ingin melakukan apa-apa saat ini. Marvel jadi ingin pulang kerumah saja.
* * * *
“Aku kok jadi inget Marvel lagi ya, Pak.” Ucap Ziza tiba-tiba.
“Oh ya? Kenapa?”
Ziza menghela nafas panjang. “Marvel…, suka banget sama Sammy. Kalau aja dia ada disini, mungkin dia juga bakalan nonton.”
Menyadari Ziza kembali terlarut dalam kesedihannya, Pak Pram pun mengalihkan pembicaraann. “Oh ya, Za. Kamu haus nggak? Mau saya belikan minum?”
Ziza menoleh, sambil tersenyum. “Terserah Bapak aja.”
“Kalo gitu, saya pergi sebentar ya. Jangan kemana-mana.” Pak Pram berlalu.
Lama berdiri, membuat kaki Ziza letih. Ia pun mengedarkan pandangannya, mencari tempat duduk terdekat yang bisa ia jadikan tempat beristirahat.
Namun…, bukannya menemukan tempat duduk, mata Ziza justru menangkap pemandangan ganjil disekitarnya: seorang cowok berkursi roda yang tengah duduk melamun dengan tatapan mata kosong.
Ziza memicingkan matanya, menelisik dengan pasti setiap detail dari wajah cowok yang sepertinya tak asing lagi baginya itu.
Astaga! Ziza tersadar. Itu Marvel! Benar! Itu Marvel! Dia juga ada disini!
Ziza membalikkan tubuhnya, tak berani lagi menatap kearah cowok yang ternyata Marvel itu. Hati Ziza berdegub kencang. Gugup. Tubuhnya terasa berguncang. Marvel! Kenapa dia juga berada disini?
“Za? Kamu kenapa?” Ziza terkesiap, ternyata Pak Pram sudah berada disampingnya lagi dengan membawa dua gelas jus buah ditangannya. “Wajah kamu kenapa? Kok tegang begitu?”
“Pak, ayo kita pergi dari sini. Ada Marvel, Pak! Ada Marvel!” ucap Ziza panik sambil menarik-narik tangan Pak Pram, mengajaknya pergi.
“Loh, memangnya kenapa? Bukannya bagus kalau kamu bertemu Marvel?” mata Pak Pram pun mengedar, mencari tahu, dimana letak keberadaan Marvel sebenarnya.
“Pak, aku nggak mau ketemu dia. Aku belum siap. Aku…,”
“Oh, itu dia Marvel! Ayo kita kesana.” Setelah menemukan posisi Marvel, kini gantian, malah Pak Pram yang menarik tangan Ziza, mengajaknya pergi ke tempat Marvel.
“Pak…, aku nggak mau, Pak. Lepasin aku!” Ziza menarik tangannya dari cengkeraman Pak Pram sekuat tenaga, namun tak kunjung berhasil. Tenaga Pak Pram yang berusia 50 tahunan ini, ternyata tak dapat dikalahkan oleh gadis 20 tahunan macam Ziza.
“Pak…, aku…,” Ziza menelan semua kata-katanya, karena tanpa ia sadari, ia dan pak Pram sudah berada dihadapan Marvel. Ziza terdiam, wajahnya pucat, tubuhnya kaku.
“Hai, Vel!” sapa Pak Pram ramah.
Kontan mata Marvel membola, ia terbangun dari lamunannya. “Pak Pram?” Marvel pun mengalihkan pandangannya pada sosok gadis disamping Pak Pram, dan seketika itu juga, ada sinar bahagia terpancar dari matanya, begitu ia mengetahui ternyata gadis itu adalah Ziza. “Ziza.” Seru Marvel bahagia sambil tersenyum lega.
“Za, saya tinggal dulu ya. Mau beli makanan untuk ganjel perut.” Ujar Pak Pram singkat lalu bergegas kabur sebelum Ziza mencegahnya.
Melihat kejadian itu, Ziza hanya mampu terbengong-bengong tanpa melakukan apapun.
“Za…,” panggil Marvel pelan.
Ziza menoleh sekilas pada Marvel lalu kembali melengos. “Aduh, Vel. Maaf ya, aku buru-buru, daaah…,”
“Za, tunggu!” menggunakan tangan kanannya, Marvel mencekal tangan Ziza. Ia tak akan membiarkan gadis itu pergi. “Za, aku mohon, sebentar aja. Aku mau ngomong sama kamu.”
Ziza menghempas pelan tangan Marvel, lalu menatap cowok itu dengan mata elang. “Mau ngomong apa lagi, Vel?”
“Za, kenapa kamu nggak pernah ngabarin aku?”
”Vel, udahlah. Aku males bahas itu. Nggak ada gunanya.”
“Za, aku mohon. Jelasin sama aku. Apa salahku, sampai kamu begini?” Marvel menatap Ziza sendu.
Ziza menghela nafas pelan, sebelum ia akhirnya angkat bicara. “Diva! Karena dia aku begini!” seru Ziza setengah menjerit.
Mata Marvel kontan membola mendengar nama Diva disebut-sebut oleh Ziza. “Za? Kamu kenal sama…,”
“Ya! Aku kenal! Selingkuhanmu itu kan?” Ziza mendengus sebal lalu melengos, tak lagi memandang Marvel.
Marvel baru sadar kini, apa penyebab Ziza menjauhinya selama 3 bulan terkahir ini. Ternyata…, Ziza sudah tahu mengenai perselingkuhan itu? Bagaimana bisa?
“Za, bagaimana bisa kamu tahu tentang itu?”
“Sudahlah, Vel! Aku malas membahasnya!” Ziza berbalik, hendak pergi. Namun dengan menggunakan tangan kanannya, Marvel mencekal tangan Ziza.
“Za, jangan pergi. Dengerin dulu penjelasanku.” Pinta Marvel.
“Vel, cukup!”
“Za, maafin aku. Aku nyesel banget, Za, udah ngekhianatin kamu dulu. Za, aku sayang kamu. Aku pengen kita kembali seperti dulu.” Marvel menggenggam tangan Ziza lalu mengecupnya perlahan. Adegan romantis antara Ziza dan Marvel itu ternyata menjadi daya tarik bagi pengunjung mall lainnya. Lambat laun, arena disekitar Ziza dan Marvel pun telah disemuti para pengunjung yang membentuk lingkarang, mengelilingi mereka.
Ziza tak mampu menahan rasa malunya dijadikan tontonan, pipinya pun menyemu merah.
“Za, aku mohon. Kasih aku kesempatan sekali lagi. Za, aku sadar, cuma kamu satu-satunya yang mau nerima aku apa adanya. Bukan Diva! Bukan yang lain! Za, pleeeeease…,” Marvel pun memelas.
“Vel, malu tahu, diliatin orang.” Sungut Ziza setengah berbisik.
“Aku nggak perduli, Za. Biar aja mereka tahu, aku emang sayang sama kamu.”
Ziza mendengus kesal. Gombal banget sih, si Marvel!
“Za…, mau kan?” Marvel kini menangis.
Ziza terkejut. 4 tahun berpacaran dengan Marvel, belum pernah sekalipun Ziza melihat Marvel menangis. Yang Ziza tahu, Marvel adalah sosok yang sangat tegar dan kuat dalam menghadapi masalah apapun. Ia tak pernah mengeluh, apalagi menangis. Tapi sekarang? Ada apa dengan Marvel? Apa beban masalah yang ia hadapi dengan Ziza sudah benar-benar terasa berat baginya, hingga ia menangis?
“Vel, jangan nangis.” Ucap Ziza pelan sambil mengusap kedua pipi Marvel yang telah basah dengan air mata. Hati Ziza benar-benar terenyuh. Air mata itu! Benar-benar bukan air mata buaya! Ziza yakin. Air mata itu, telah mampu meyakinkan Ziza, bahwa memang Marvel sangat membutuhkannya.
Tiba-tiba Ziza berlutut, memeluk Marvel yang masih terbujur diatas kursi rodanya. “Iya, Vel, aku mau ngasih kamu kesempatan sekali lagi. Aku juga sayang, Vel, sama kamu.” Ziza pun ikut menangis.
Orang-orang yang berkerumun menyaksikan adegan itu pun bertepuk tangan dengan begitu meriah, sebagai tanda ucapan selamat atas kembalinya sepasang kekasih ini.
Dan tanpa Marvel dan Ziza sadari, diantara begitu banyak orang dikerumunan itu yang turut berbahagia, ada dua orang yang paling dapat merasakan kebahagiaan itu: Pak Pram dan Mama Marvel, yang menyaksikan adegan itu dalam diam, dan cucuran air mata bahagia.
SELESAI