JANJI SETIA KEMBALI
Sore
itu hujan lebat melanda kota Yogyakarta. Hujan yang disertai angin kencang itu
mengkalangkabutkan banyak orang. Toko-toko di sepanjang jalan Malioboro,
memutuskan untuk tutup lebih awal, takut kalau-kalau angin kencang berubah menjadi
badai. Tak terkecuali para pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang jalan
itu. Mereka memutuskan untuk menutup tenda mereka, karena angin kencang yang
terjadi tak menutup kemungkinan akan membuat tenda mereka roboh.
Namun
disudut lain Kota Pelajar itu, sepasang muda-mudi justru terlihat sedang sangat
menikmati hujan yang turun. Mereka berkejaran di trotoar sepanjang jalan yang
mereka lalui, menerobos hujan dengan gelak tawa di setiap detiknya.
“Za…
Ziza… hei, tunggu!” ucap sang lelaki memanggil sang kekasih yang telah jauh
mendahuluinya berlari didepan.
Gadis
bernama Ziza itu berhenti, lalu memutar tubuhnya menghadap kearah datangnya
sang lelaki. Dikacakkannya pinggang dengan air muka geli. “Yeeee, kamu kalah
sama aku!” Ziza menjulurkan lidahnya. “Marvel kalah sama Ziza. Marvel kalah
sama Ziza!” koor Ziza sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa. Menertawakan
sang kekasih, Marvel, yang tengah berdiri didepannya sambil mencoba mengatur
nafasnya yang terengah-engah, setelah hampir satu kilometer bekejar-kejaran
dengan Ziza dibawah hujan.
“Kamu
curang, Za. Jelas-jelas aku nggak jago lari. Eh kamu tantangin lomba lari.
Jelas aku kalah!” dumel Marvel.
Ziza
malah geleng-geleng kepala. “Biar kamu tuh gerak dikit, jadi perutmu nggak
buncit lagi kayak gini,” Ziza mengulurkan tangannya lalu mencubit bagian bawah
perut Marvel yang memang terlihat berlemak.
Sedang
asyiknya bercanda, tiba-tiba angin datang menerpa keduanya. Membuat Marvel dan
Ziza terkesiap lalu dengan sigap berlari, menuju halte bus terdekat.
“Aduh,
Vel, basah.” Keluh Ziza sambil meneliti tubuhnya dari atas hingga bawah.
Tubuhnya basah kuyup, tak ada sejengkal pun yang menyisakan tempat kering.
“Yaaah,
gimana sih kamu. Jelas lah basah. Orang kita lari-lari sambil ujan-ujanan.
Nggak mungkin nggak basah.” Marvel memandangi Ziza yang sedang serius
mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang ia bawa. Cowok itu jadi
senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wajah Ziza yang sepertinya sedang
dongkol bukan main karena keadaan tubuhnya yang tak kunjung kering. “Udahlah,
Za. Percuma dikeringin. Kamu tenang aja, aku janji, kalo minggu depan aku udah
beli mobil, kita pasti pulang-pergi kantor pake mobil aku, nggak perlu lagi
naik bis, dan nggak perlu lagi ujan-ujanan kayak gini.”
Mendengar
penjelasan panjang Marvel itu, kontan Ziza berhenti mengerikan tubuhnya dan
menatap Marvel dengan sorot mata susah ditebak. “Iya… iya, sayang.” Ziza
tersenyum.
Tiba-tiba
Marvel merasakan ada sesuatu yang bergetar didalam tas yang ia bawa. Pasti
ponselnya! “Za, ada yang nelpon nih. Tunggu bentar ya.” Marvel pergi menjauh
dari Ziza, menuju pojokan Halte yang sepi. Diangkatnya telepon itu disana.
“Ya,
halo?”
“Sayang?
Kamu kemana? Katanya mau jenguk aku! Aku kan lagi sakit nih. Pengen dijengukin
kamu.” Terdengar suara seorang wanita dengan nada manja setengah merajuk dari
ujung ponsel.
Marvel
menengok kebelakang sesaat, ketempat Ziza masih berdiri, dan mendapati Ziza
sedang kembali terlarut dalam kegiatannya mengeringkan tubuh. “Mmmm…, oke, aku
bakal kesana sekarang, tunggu sebentar ya.” Klik!
Sambungan telepon dimatikan. Setelah menyimpan kembali ponselnya kedalam tas
kedap air yang ia bawa, Marvel bergegas menghampiri Ziza.
“Telepon
dari siapa, Vel?” Tanya Ziza tanpa curiga sedikitpun. Ia masih asyik dengan
handuk kecilnya.
“Oh,
itu. Dari…, Mamaku, katanya dia minta temenin aku ke tempat pamanku yang lagi
sakit sekarang. Makanya dia nyuruh aku pulang cepet-cepet.” Jawab Marvel
setengah gugup.
“Tapi…,
gimana kamu mau pulang? Nggak ada bis begini.”
Marvel
garuk-garuk kepal sendiri, kebingungan mencari alasan. “Ngg…, aku…, oh ya, tadi
Mama bilang mau menjemput aku di deket supermarket yang ada di deket kantor
kita. Jadi aku harus kesana sekarang.”
“Loh,
jauh amat, Vel? Kenapa kamu nggak minta susul disini aja? Jarak dari sini ke
supermarket deket kantor kita kan satu kilometer. Lagian ini ujan kamu…,”
“Aduh,
Za. Aku buru-buru nih. Aku kesana lari aja deh. Kan kata kamu bagus kalo aku
lari, biar perutku nggak buncit lagi, hehe…,” Marvel tertawa datar. “Oke, Za.
Aku pergi dulu ya. Daaah…” tanpa memberikan Ziza kesempatan untuk bicara,
Marvel sudah keburu ngibrit, pergi meninggalkan Ziza sendirian di halte bus, tempat
yang mungkin…, akan menjadi tempat terakhir kenangan bagi mereka berdua.
* * * *
Marvel
terus berlari, memburu waktu yang semakin
tak terkejar. Diva, gadis yang (juga) dicintai oleh Marvel itu telah
menunggu kehadirannya. Marvel tahu, Diva sangat membutuhkan Marvel saat ini,
lebih dari Ziza membutuhkannya. Maka dari itu, Marvel lebih memilih untuk menjenguk
Diva yang memang sedang sakit ketimbang menemani Ziza pulang.
Sudah
lebih dari 3 bulan belakangan ini, Marvel memang menjalin hubungan terselubung
dengan Diva, teman semasa SMA-nya dahulu, tanpa sepengetahuan Ziza tentunya.
Begitu pula Diva, gadis blasteran Indonesia-Belanda itu juga tak tahu bahwa
Marvel telah mempunyai seorang kekasih. Marvel sungguh telah membohongi kedua
gadis yang sama-sama dicintainya itu.
Perselingkuhan
ini terjadi ketika hubungan Ziza dan Marvel memasuki tahun keempat. 4 tahun
lebih sudah menjalin hubungan dengan Ziza, menimbulkan sedikit kejenuhan di
hati Marvel. Ia butuh sedikit selingan, yang mampu mengusir akan semua
kejenuhan itu. Dan semua hal yang diingininya itu, dapat ia temukan pada sosok
Diva, teman semasa SMA-nya dulu yang baru setengah tahun lalu kembali bertemu
dengan Marvel pada acara reuni SMA mereka.
Marvel
sangatlah merasa nyaman dengan hadirnya Diva. Diva mampu mengisi kekosongan
hari-hari Marvel ketika Ziza tengah sibuk dengan urusannya. Marvel menyayangi
Diva seperti halnya juga ia menyayangi Ziza.
Marvel
menghentikan derap kakinya di bawah sebuah pohon rimbun yang ada di pinggir
jalan. Ia tengah mencoba untuk mengatur nafasnya yang tengah terputus-putus.
Tak sanggup lagi ia berlari dalam keramaian hujan. Tubuhnya sudah terlalu letih
untuk melakukan hal itu saat ini.
Tepat
ketika tengah memikirkan cara untuk tiba di rumah Diva, tiba-tiba seorang
tukang ojek melintas di depan Marvel. Marvel mengenalinya sebagai tukang ojek
karena pria tersebut mengenakan jaket sebuah perusahaan ojek terkenal di kota
Yogya.
“Ojek!
Ojek!” panggil Marvel cepat sebelum ojek itu keburu melaju.
Tukang
ojek itu pun berhenti tepat beberapa meter dari tempat Marvel berteduh. Marvel
segera berlari kecil, menghampiri tukang ojek iu dan langsung naik ke boncengan
motornya. “Bang, pergi ke daerah Jalan Satria ya.”
* * * *
Marvel
tiba dirumah Diva ketika hujan telah berhenti dan hanya menyisakan tetes-tetes
air pada dedaunan pohon yang berderet di sepanjang jalanan. Setelah membayar
ojek, dan membiarkan si tukang ojek pergi, Marvel segera mengeluarkan ponselnya
demi menelepon Diva.
“Halo,
Div? Aku sekarang udah ada di depan rumah kamu nih. Aku berdiri di trotoar di
seberang gerbang rumah kamu. Kamu cepet turun ya…. Oke… daah…” Marvel mematikan
sambungan telepon lalu diam mematung di trotoar itu dengan pandangan lurus
menghadap teras rumah Diva.
Tak
lama, orang yang ditunggu Marvel benar-benar muncul. Diva. Gadis cantik dengan
rambut ikal itu keluar dari rumahnya dengan mengenakan kaus lengan panjang dan
celana katun panjang. Rambutnya yang ikal alami, dibiarkan tergerai bebas, membingkai
wajahnya yang manis.
“Marvel!”
Diva melambaikan tangannya dari balik pintu gerbang rumahnya sambil tertawa
sumringah. Melihat itu, Marvel buru-buru berlari kecil, menyeberang jalan demi
tiba di gerbang rumah Diva, namun….
Tiiiiiinnnnn!!!! Suara klakson
membahana, memecah keheningan sore itu. Langit kembali bergemuruh, berguntur
hebat, tepat ketika tubuh sesosok pemuda terhempas, tertabrak sebuah minibus.
Darah!
Darah! Darah dimana-mana! Tubuh itu tergolek lemas dengan darah yang mengalir
dari kepala dan hidung. Tangan dan kakinya pun mengeluarkan darah segar akibat
kulit yang terkelupas disana-sini.
“Marveeeeeeeeellll!!!!!”
teriak Diva lengking bukan main. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari
menghampiri tubuh Marvel yang tergelatak lemah beberapa meter dari gerbang
rumahnya. Dipeluknya tubuh Marvel yang bersimbah darah itu dengan erat.
“Marvel! Marvel! Bangun, Marvel!” Diva mengguncang tubuh Marvel sambil menangis
histeris. Orang-orang yang berkerumun melihat kejadian itu hanya bisa terdiam,
tak berani mengusik Diva. Hingga akhirnya beberapa detik kemudian, Diva kembali
menjerit histeris…, “tolong! Tolong! Tolong bawa pacar saya ini kerumah sakit!
Tolong!”
* * * *
Ziza
baru saja menjejakkan kaki di pintu depan rumahnya, tepat ketika ponselnya
bergetar, menandakan ada sms masuk.
From:
Fadil (office)
Za, Marvel
kclakaan. Skrg dia ada drmh skit Kasih Bunda. Cptn ksni.
Jger!
Petir serasa menghantam kepala Ziza dan ia hampir saja jatuh limbung begitu
membaca pesan teks itu. Tanpa tedeng aling-aling lagi ia segera berlari, keluar
dari gerbang rumahnya dan menyetop sebuah angkutan umum yang melintas. “Bang,
kerumah sakit Kasih Bunda. Tolong jalannya agak cepet! Saya buru-buru!”
* * * *
Fadil
yang baru kembali dari kantin rumah sakit untuk membeli ganjalan perut,
terkejut begitu melihat Ziza tengah menangis kebingunan mencari kamar tempat
Marvel dirawat. Ziza terlihat sedang menangis sambil mendesak eorang suster
untuk mengantarnya ke kamar Marvel.
“Ziza!”
panggil Fadil. Ziza menoleh, dan air mukanya langsung menunjukkan sedikit
kelegaan begitu mengetahui ternyata Fadil lah yang memanggilnya. Ziza pun
berlari, mendekati Fadil lalu memeluk teman sekantornya itu tanpa aba-aba.
“Dil,
dimana Marvel? Dimana dia? Gue nyariin dia! Gue khawatir, Dil. Marvel nggak
kenapa-napa kan, Dil?” berondong Ziza sambil terus menangis dalam pelukan
Fadil.
Fadil
melepas pelukan itu dan menatap Ziza dengan raut wajah tenang, meskipun ia tahu
dengan pasti, bahwa kabar yang akan ia sampaikan pada Ziza ini bukanlah kabar
baik yang akan membuat hati tenang. “Marvel tadi baru selesai mendapatkan
penanganan dari tim medis, Za. Dia mengalami gegar otak dan patah pada tulang
kaki dan tangan.”
“APA!!??”
syok dengan berita yang didengarnya, Ziza nyaris jatuh pingsan kalau saja
tubuhnya tidak keburu ditahan oleh Fadil.
“Za…,
Ziza…,” Fadil menggotong tubuh Ziza sambil masih mencoba menyadarkan gadis itu.
Begitu tiba di sebuah lorong kecil yang menyediakan beberapa buah bangku
tunggu, Fadil menghentikan langkahnya, dan meletakkan tubuh Ziza diatas bangku
itu.
“Za…,
sadar, Za. Lo harus sadar! Lo harus jenguk Marvel biar Marvel cepet sembuh.”
Ucap Fadil pelan sambil mengguncang tubuh Ziza. Syukurlah, Ziza memberikan
sedikit respons dengan menggerakkan tangannya. Tak lama, mata Ziza pun terbuka.
“Fadil…,”
lirih Ziza pelan. “Gue mau Marvel sembuh,” ucap Ziza lantas bangun, mendudukkan
tubuhnya. “Ayo, Dil. Anter gue ke kamar Marvel. Gue mau jenguk Marvel.”
* * * *
Kamar
187. Begitu lah tulisan yang terpampang di pintu itu. Ziza jadi gelisah dan
takut sendiri melihatnya.
“Gue
kok jadi nggak mau masuk ya, Dil? Gue nggak sanggup ngeliat Marvel.” Ziza
kembali menitikkan air matanya, membayangkan sosok sang kekasih tercinta yang
tengah bejuang antara hidup dan mati.
“Za,
coba masuk aja dulu. Lo harus ada di samping Marvel saat ini. Kasih dia
semangat. Oke.” Fadil mengacungkan kedua jempolnya diudara, memberikan suntikan
semangat pada Ziza. Ziza pun mulai tergerak hatinya dan menganggukan kepala.
“Oke,
lo temenin gue ya?”
Fadil
mengangguk lalu dengan cepat menarik tangan Ziza memasuki kamar tempat Marvel
dirawat. Namun, baru satu langkah masuk kedalam ruangan itu, Fadil dan Ziza
dikejutkan begitu mendapati kehadiran sesosok perempuan yang tengah menangis
sesenggukkan disamping tubuh Marvel yang masih tak bergerak. Terdengar dari
tangisnya, Fadil dan Ziza sudah bisa memastikan bahwa perempuan itu sedang
dalam keadaan terpukul saat ini. Sepertinya ia bukan orang biasa dalam
kehidupan Marvel.
“Dil,
itu siapa?” Tanya Ziza bingung dengan bisikkan pelan. Perempuan itu masih belum
menyadari kehadiran Fadil dan Ziza.
Fadil
angkat bahu. “Gue nggak tahu. Gue nggak pernah liat dia dari tadi.” Fadil pun
mencoba mengingat-ingat kronologi kejadian yang menimpa Marvel. Tadi sore,
ketika Fadil tengah mengendarai mobil melewati perumahan di Jalan Satria, ia
menemukan kerumunan orang yang tengah panik sambil mencari kendaraan dan
menggotong sesosok tubuh laki-laki yang bercucuran darah. Dan begitu
dihampirinya kerumunan itu, ia cukup terkejut, mengetahui ternyata lelaki itu
adalah Marvel yang baru saja menjadi korban tabrak lari. Kontan, tanpa pikir
panjang lagi, Fadil langsung menawari mobilnya sebagai kendaraan untuk membawa
Marvel menuju rumah sakit. Tapi…, selama di perjalanan hingga tiba di rumah
sakit, Marvel tak pernah melihat sosok wanita ini. Lalu.., dia siapa?
Penasaran,
Fadil pun nekat mendekati sosok perempuan berambut ikal itu bersama Ziza.
“Permisi.” Fadil menyentuh pundak perempuan itu pelan.
Perempuan
itu menoleh, tepat kearah Fadil. Matanya yang telah banjir dengan air mata,
beradu pandang dengan mata Fadil selama beberapa detik sebelum akhirnya ia
tersadar. “Ya, ada apa?” jawabnya lirih dengan suara berat, menahan tangis.
Fadil
dan Ziza saling lirik sesaat sebelum akhirnya Fadil kembali bicara, “saya
temannya Marvel. Kalau saya boleh tahu, Anda ini siapa?”
“Oh.
Saya pacarnya Marvel. Nama saya Diva.” Jawab perempuan itu enteng lalu kembali
memusatkan perhatiannya pada sosok Marvel yang masih terbujur kaku, mengacuhkan
Fadil dan Ziza, seolah kedua makhluk itu tak pernah ada.
Mendengar
kalimat yang seolah mampu membuatnya terkena serangan jantung itu, Ziza nyaris
saja menjerit sambil menangis didalam kamar tempat Marvel dirawat, kalau saja
Fadil tak keburu menarik tubuhnya keluar kamar.
“Za?”
panggil Fadil pelan pada Ziza yang tengah menundukkan kepalanya sambil
menangkupkan kedua tangan didepan wajah.
Ziza
mendongak, menatap Fadil dengan tajam menggunakan kedua matanya sudah basah.
“Dil. Marvel jahat! Marvel jahat! Dia punya pacar lain selain gue, Dil! Marvel
jahat!” ujar Ziza setengah berteriak.
Fadil
kontan langsung memeluk Ziza, mencoba menenangkan. “Za…, tenang dulu. Belum
tentu dia benar-benar pacarnya Marvel. Bisa aja dia bohongin kita kan?”
Ziza
melepas pelukan Marvel dengan paksa. Lalu dengan muka menahan amarah, tanpa
aba-aba ia kembali memasuki ruangan tempat Marvel dirawat demi menghampiri
Diva. Belum sempat Fadil mencegah, Ziza sudah keburu berdiri di depan Diva
dengan tampang dongkol.
“Bener,
elo pacarnya Marvel?” Tanya Ziza dengan suara garang. Ditatapnya Diva dengan
mata nyalang.
“Eh,
pelan-pelan ya lalu ngomong. Kamu nggak liat pacar saya lagi sakit?” jawab Diva
ketus.
“Gue
nggak nanya itu! Yang gue Tanya, apa bener elo pacar Marvel? Budeg?!”
Diva bangkit berdiri, dihentakkannya kaki dengan kesal. “Kalau memang iya, terus kenapa? Saya sudah 3 bulan pacaran dengan Marvel. Lalu apa urusannya dengan kamu!?”
Diva bangkit berdiri, dihentakkannya kaki dengan kesal. “Kalau memang iya, terus kenapa? Saya sudah 3 bulan pacaran dengan Marvel. Lalu apa urusannya dengan kamu!?”
“Mana
buktinya?!” desak Ziza makin menjadi. Ia masih belum percaya bahwan sosok
wanita bernama Diva ini adalah pacar Marvel selain dirinya.
Dengan
wajah geram, Diva merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya lalu
menunjukkan beberapa buah sms dari Marvel, serta beberapa buah foto dirinya dan
Marvel berdua. “Puas kamu! Kurang percaya apa lagi?! Emang kamu ini siapa? Apa
urusannya kamu dengan Marvel?”
Ziza tak mampu menahan keterkejutannya atas bukti-bukti yang ditunjukkan Diva. Jadi…, Diva benar-benar pacar lain Marvel selain dirinya? Oh Tuhan! Tidak!
Ziza tak mampu menahan keterkejutannya atas bukti-bukti yang ditunjukkan Diva. Jadi…, Diva benar-benar pacar lain Marvel selain dirinya? Oh Tuhan! Tidak!
Ziza
tak mampu lagi membendung air matanya. Ia kembali menangis. Hatinya terluka
kini. Teramat sangat dalam. Ia tak percaya, ternyata, orang yang selama ini ia
sayangi dengan sepenuh hati, justru mengkhianati cintanya. Sungguh Ziza tak
menyangka! Apa kurang dirinya terhadap Marvel sehingga Marvel dengan begitu
tega menduakannya!?
Dengan
masih sekuat tenaga menahan emosi, Ziza menjawab pertanyaan Diva, “gue…,gue
bukan siapa-siapanya Marvel. Maaf udah ganggu.” Lirih Ziza pelan. Kepalanya
tertunduk, tak mampu menatap mata Diva lagi. Lalu pada detik berikutnya, iza
justru berlari, meninggalkan kamar rawat inap Marvel sambil menahan tangis, melihat
Ziza berlari pergi, Fadil pun menyusul.
“Za,
lo nggak apa-apa kan?” Tanya Fadil pelan, sambil mencekal tangan Ziza, agar
gadis itu berhenti berjalan.
“Gue
kecewa banget atas semua ini, Dil. Kecewa!” Ziza tak mampu lagi menahan
tangisnya.
Fadil
menghela nafas panjang. “Sabar ya, Za,” Fadil memberikan suntikan semangat pada
Ziza, sebagai tanda prihatin.
“Terus,
setelah ini, gimana kelanjutan hubungan lo dengan Marvel?” Tanya Fadil kemudian
“Lo
bilang apa?” Ziza tertawa pahit. “Kelanjutan? Kelanjutan apa? Semuanya udah
berakhir sampai sini, Dil. Cukup! Cukup hati hati gue sakit! Nggak ada guna
lagi buat gue ngelanjutin semua ini.”
* * * *
“Za?
Lo mau kemana?” Tanya Fadil heran, begitu keesokan paginya di kantor mendapati
Ziza tengah memasukkan semua barang dan arsip-arsip yang ada di meja kerjanya
ke dalam kardus besar.
Ziza
mendelik pada Fadil sesaat lalu kembali terfokus pada barang-barang di
hadapannya. “Gue mau pindah kantor.”
“Hha?!
Pindah?”
“Iya,
gue pindah ke kantor cabang yang ada di Magelang.”
Fadil
mendekati Ziza, lalu berdiri tepat dihadapan gadis itu dengan mimik serius.
“Za, lo apa-apaan sih? Kenapa pake pindah segala.”
Ziza
berhenti mengemasi barangnya sesaat, menatap Fadil, lalu menghembuskan nafas
berat. “Maafin gue, Dil. Tapi ini memang udah keputusan gue. Gue…, nggak mau
satu kantor lagi sama Marvel. Gue nggak mau ngeliat mukanya lagi!”
“Tapi,
Za…,”
Sebelum
ocehan panjang lebarnya Fadil sampai ditelinganya, Ziza sudah lebih dulu
menyumpal telinganya dengan earphone
miliknya. Dan dari earphone yang terhubung ke i-Pod itu, mengalunlah lagu yang
memang saat ini sedang menggambarkan perasaan Ziza…
Terimakasih
‘tuk luka yang kau beri…
Ku
tak percaya kau telah begini.
Dulu
kau menjadi malaikat dihati,
Sampai
hati kau telah begini…
Berkali-kali
kau katakan sendiri…
Kini
ku tlah benci, cintaku tlah pergi…
(geisha – pergi saja)
* * * *
3 bulan kemudian…
Di
sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Magelang, dengan halaman indah penuh
bunga, tampak seorang pria yang berusia sekitar 20 tahunan sedang melamun,
duduk termenung diatas kursi roda yang selama hampir 3 bulan ini menjadi
tumpuan hidupnya. Tanpa bergerak, tanpa bersuara. Matanya yang jernih, menatap
kosong pada rerumputan hijau didepannya. Sepertinya ia sedang memikirkan
sesuatu.
“Vel,
kamu kenapa?” seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah, dan langsung
menghampiri pria yang ternyata adalah Marvel itu.
Marvel
menoleh, menatap ibunya dengan air muka sedih. “Ma, aku pengen ketemu sama
Diva.”
“Diva?
Diva siapa? Bukannya pacar kamu namanya Ziza.”
Marvel
hanya mendengus lemah, lalu matanya kembali kosong, pikirannya menerawang,
terbang melayang… tak ditanggapinya pertanyaan sang mama.
Tiga
bulan berlalu semenjak kecelakaan itu. Marvel masih belum pulih juga. Sisa-sisa
akibat gegar otak berat yang dulu dialaminya, masih saja suka mengganggu.
Terkadang, bila terlalu banyak pikiran, maka kepala Marvel akan berdenyut
dengan begitu hebat, dan kalau sudah seperti itu, biasanya ia akan jatuh
pingsan.
Tak
hanya itu, kaki dan tangan kirinya yang patah, masih belum bisa digerakkan
karena keretakan yang cukup banyak belum kunjung pulih. Oleh karena itu, sehari-hari,
Marvel hanya mampu terduduk di kursi rodanya. Tak ada hal lain yang bisa ia
lakukan.
Selama
3 bulan itu pula. Marvel tak pernah sedikitpun mendengar kabar dari Ziza
ataupun Diva. Keduanya seolah menghilang ditelan bumi. Setiap kali Marvel
menghubungi ponsel keduanya, selalu saja mailbox.
Bahkan,
ketika 2 bulan yang lalu Marvel mengirimi e-mail pada Ziza yang menjelaskan
keadaannya sekarang, Ziza tak kunjung membalasnya hingga detik ini. Apa yang
sebenarnya terjadi? Mengapa Ziza dan Diva seolah menjauhi Marvel? Apa karena
Marvel yang juga tiba-tiba menghilang dari Yogyakarta dan tak memberitahu
mereka?
Ya,
3 bulan lalu, setelah 2 hari terbaring di sebuah rumah sakit swasta di
Yogyakarta, Mama Marvel memang memutuskan untuk memindahkan Marvel ke sebuah
rumah sakit di Magelang yang tak jauh dari rumahnya, agar Marvel lebih mudah
diawasi. Namun Mama Marvel, tak memberitahukan perihal tentang kepindahan
Marvel ini pada siapapun kecuali pada perusahaan tempat Marvel bekerja. Mama
Marvel mengirimi perusahaan itu surat permohonan cuti setengah tahun untuk
Marvel, hingga keadaan Marvel benar-benar pulih. Dan Mama Marvel juga meminta
pada perusahaan tempat Marvel bekerja untuk tak memberitahukan hal ini pada
siapapun. Karena, perempuan paruh baya yang sangat menyayangi Marvel itu ingin
proses kesembuhan Marvel dapat berjalan dengan cepat tanpa ada yang mengganggu,
maka dari itu, ia merahasiakan kepindahan Marvel pada semua orang.
Marvel
memanglah orang Magelang asli, namun sejak SMA, ia sudah bersekolah di
Yogyakarta, hingga bekerja disana. Sedangkan ibunya, tetap tinggal di Magelang,
bersama kedua adik Marvel yang saat ini masih berkuliah di salah satu
universitas swasta di Magelang. Sedangkan Ayah Marvel telah lama berpulang
sejak Marvel duduk dikelas 2 SMA.
“Ma,
bisa antarkan Marvel ke dalam rumah?” pinta Marvel pada sang Mama. Mama pun
menurut, dan mengantarkan Marvel menuju kamarnya, lalu membantu sang anak
berbaring di tempat tidur.
Sepeninggal
Mama, Marvel merarih ponsel yang ia letakkan di bawah bantal. Coba dihubunginya
lagi nomor Diva. Dan berharap akan ada sebuah keberuntungan hari ini.
Dan…,
tuuut! Terdengar nada telepon
tersambung! Nyaris Marvel melompat kegirangan kalau saja ia tak ingat bahwa
tangan dan kaki kirinya tengah patah tulang.
Tak
lama, telepon pun diangkat.
“Ya,
halo?” Marvel masih ingat, ini memang suara Diva.
“Diva?
Ini aku…, Marvel.” Ucap Marvel terbata.
“Marvel?”
“Ya,
Marvel, pacarmu.”
Terdengar
suaar Diva tertawa mencemooh. “Pacar? Pacarku? Orang cacat seperti kamu jadi
pacarku? Yang benar saja!”
Marvel
tersentak. “Diva! Apa maksudmu?”
Diva kembali tertawa mencemooh. “Aku tahu semua keadaanmu sekarang, Vel. Dokter yang menanganimu itu adalah sahabatku! Ia bercerita padaku, bahwa kamu sekarang sudah tidak bisa berjalan lagi! Untuk hidup saja, kamu mesti duduk diatas kursi roda. Kamu cacat, Vel! Aku nggak mau punya pacar cacat!”
Diva kembali tertawa mencemooh. “Aku tahu semua keadaanmu sekarang, Vel. Dokter yang menanganimu itu adalah sahabatku! Ia bercerita padaku, bahwa kamu sekarang sudah tidak bisa berjalan lagi! Untuk hidup saja, kamu mesti duduk diatas kursi roda. Kamu cacat, Vel! Aku nggak mau punya pacar cacat!”
“Div…,”
“Apa
lagi?!” seru Diva ketus. “Aku udah nggak butuh cowok cacat, Vel! Dan asal kamu
tahu, aku udah dapetin penggaanti kamu yang jauh lebih baik dari kamu. Jadi aku
mohon. Mulai detik ini, kamu jangan ganggu aku lagi.” Klik! Telepon terputus!
Marvel memegangi dadanya yang terasa begitu sesak. Perkataan Diva barusan,
telah menghujam jantungnya hingga dasar yang paling dalam. Sakit! Perih!
Kecewa! Ternyata, selama ini, Diva hanya mencintai Marvel secara fisik. Bukan
dengan hati nuraninya.
* * * *
Keesokan paginya…
Marvel
terlonjak bangun dari tidurnya. Dari sekujur tubuhnya, mengalirlah tetes-tetes
keringat ketegangan. Mimpi yang baru saja ia alami, sungguh membuat batinnya
terkoyak-koyak kesedihan bercampur rasa bersalah. Dalam mimpinya itu, Ziza datang
lalu menangis di depan Marvel sambil mengatakan bahwa ia sangat sedih atas
perlakuan Marvel terhadapnya. Ziza sangatlah kecewa!
Mimpi
itu juga seolah memberitahu Marvel dan membuat Marvel sadar sekaligus dapat
mengerti, apa yang Ziza rasakan padanya saat ini. Bencikah Ziza pada Marvel?
Tiba-tiba,
entah darimana datangnya, rasa rindu dibenak Marvel terhadap Ziza muncul.
Memimpikan Ziza, membuat Marvel dapat dengan jelas kembali merasakan kerinduan
itu. Kerinduan akan canda Ziza, kerinduan akan omelan Ziza, kejahilan Ziza,
semuanya…
Tanpa
terasa, Marvel menitikkan air matanya lagi. Ziza… betapa bodohnya Marvel telah
menyakiti gadis yang sudah lebih dari 4 tahun selalu mengisi hari-harinya
itu. Ziza selalu memberikan yang terbaik
untuk Marvel dengan cinta setulus hatinya. Sedangkan Marvel? Ya Tuhan… betapa
bodohnya Marvel.
Sampai
hati Marvel mengkhianati cinta Ziza hanya demi Diva, gadis yang tak pernah
mencintai dirinya setulus hati.
Kini,
Marvel benar-benar menyesali kekeliruannya di masa lampau itu. Ziza, hanya
gadis itu yang mampu menerima Marvel apa adanya! Hanya Ziza!
Marvel
mendudukkan tubuhnya dengan gerakan hati-hati. Pelan, namun pasti, ia sudah
terduduk di pinggir ranjangnya, hendak menjamah laptop kesayangannya yang ia letakkan di meja yang ada di sebelah
kiri tempat tidurnya.
Menggunakan
tangan kanannya, Marvel pun berhasil mengambil laptop itu lalu meletakkannya di pangkuan. Setelah laptop hidup, tujuan utama Marvel adalah
membuka akun e-mailnya, dan menuliskan sebuah pesan untuk Ziza disana.
Subject:
I miss you…
Za,
apa kabar kamu disana? Sudah tiga bulan aku tak pernah mendengar kabarmu lagi.
Aku merindukanmu, Za. Teramat sangat merindukanmu.
Za,
ada apa sebenarnya? Kenapa kamu nggak pernah menghubungiku lagi? Apa ada yang
salah, Za? Tolong, beri aku kabar segera.
Za,
merindukanmu… aku membutuhkanmu.
* * * *
Sementara
itu, disuatu tempat lain, masih di kota Magelang, Ziza tengah termenung sambil
menitikkan air mata di depan laptop-nya.
E-mail yang baru saja diterimanya dari Marvel, menggugah pikirannya untuk
kembali mengingat Marvel lagi. Marvel…, hingga detik ini, Ziza memang masih
sangat mencintai cowok itu. Tapi rasanya, akan begitu berat untuk kembali lagi.
Ziza merasa tak sanggup.
“Za?”
panggil seseorang. Ziza mendongak dan mendapati Pak Pram, bosnya yang sudah
berusia kepala 5 itu, tengah menatapnya heran. “Kamu kenapa nangis?”
Dengan
terburu-buru Ziza menghapus untaian air matanya. “Ah, gapapa, Pak,” Ziza
tersenyum kecut.
Pak
Pram tersenyum penuh arti, lalu mendekat pada Ziza. Tubuh tambunnya membuat
meja kerja Ziza terasa sesak. “Kamu mungkin bisa bohongin orang lain. Tapi kamu
nggak bisa bohongin saya, Za. Kamu…, keinget lagi ya sama si Marvel?”
Ziza
tertawa kecil. “Ah, nggak kok, Pak. Saya…,”
“Mau
sampai kapan kamu bohongin perasaan kamu? Saya bisa baca dari gerak gerik kamu,
kamu masih sayang sama Marvel. Saya bahkan tahu, diam-diam, kamu masih
menyimpan foto Marvel di ponsel kamu, iya kan?” Pak Pram tersenyum penuh kemenangan,
karena berhasil menskak Ziza hingga cewek itu tak mampu lagi bicara.
Ziza
menelungkupkan kepalanya diatas meja. Ia menangis lagi. Baginya, tak ada guna
lagi menyembunyikan perasaannya dihadapan Pak Pram, toh Pak Pram ternyata sudah
tahu. “Saya emang nggak pernah bisa ngelupain Marvel, Pak.”
Pak
Pram melongokkan kepalanya, demi melihat layar laptop Ziza. “Kenapa e-mail Marvel nggak kamu bales? Kesempatan loh
buat kembali sama dia.”
Ziza
mendongak, menatap Pak Pram dengan matanya yang sudah memerah. “Saya…, belum
siap untuk benar-benar kembali sama Marvel, Pak.”
“Sudah
sudah…,” Pak Pram menepuk-nepuk bahu Ziza pelan. “Daripada kamu sedih, mending
kita jalan-jalan, yuk! Ada konser Sammy Simorangkir di mall. Mending kita
nonton itu.”
* * * *
Entah
ada angin apa, tiba-tiba sore ini Mama mengajak Marvel keluar rumah untuk
berjalan-jalan. Padahal selama 3 bulan terakhir ini, Mama selalu melarang
Marvel untuk keluar rumah, walaupun hanya untuk berjemur ditaman.
“Mama
sekarang lagi ada waktu. Mumpung cuaca juga lagi cerah, makanya Mama mau ngajak
kamu jalan-jalan,” jawab Mama, begitu ditanyai Marvel.
“Memangnya
kita mau kemana, Ma?”
“Ada
konser Sammy Simorangkir di mall. Mama mau nonton itu. Konsernya terbuka loh
untuk umum. Siapa aja boleh nonton. Kalau nggak salah, kamu juga ngefans kan
sama Sammy?”
Marvel
langsung tersenyum mendegar penuturan Mama. Sammy! Itu penyanyi favoritnya!
Suara emas Sammy telah mampu menyihir benak Marvel. Bahkan Marvel sudah
mengidolakan Sammy semenjak Sammy masih menjadi vokalis salah satu band papan
atas Indonesia.
“Ayo,
Ma! Aku juga mau nonton konser itu.”
* * * *
Keadaan
salah satu mall terbesar di kota Magelang, sore itu, begitu ramai. Sesak oleh
para penonton konser terbuka Sammy. Penonton yang didominasi para remaja putri
itu, tak hanya datang kesana dengan tangan hampa, tetapi juga membawa berbagai
spanduk yang menunjukkan betapa cintanya mereka pada sosok Sammy.
Di
keramaian orang itu, tampak Ziza dan Pak Pram tengah berdiri di tempat yang
agak lengang, memadang lurus kearah panggung tanpa berkedip, menatap Sammy yang
sedang menyanyikan lagi hits-nya.
Tak
jauh dari mereka juga, tanpa Ziza sadari, Marvel dan mamanya pun tengah
menonton konser itu. Ibu dan anak itu sengaja menikmati konser dengan jarak
lumayan jauh dari panggung, agar tak terlalu berdesakan dengan penonton yang
mengerumun.
Marvel,
menatap lurus pada Sammy yang tengah bernyanyi dengan penuh penghayatan.
Mendengar setiap lirik dari lagi itu secara mendalam, Marvel kemudian tersadar,
lagu itu, sangat cocok disematkan untuk kehidupannya saat ini. Lagu yang
menggambarkan, betapa ia tengah merindukan sosok seseorang, yang selama ini
telah dikhianatinya…
Sedang
apa…, dan dimana?
Dirimu
yang dulu kucinta.
Ku
tak tahu… tak lagi tahu… seperti waktu dulu…
Apakah
mungkin, bila kini, kuingin kembali?
Menjalani
janji hati kita.
(sedang apa dan dimana – Sammy simorangkir)
Tanpa
Marvel sadari, air matanya kembali jatuh menetes seiring dengan usainya Sammy
menyanyikan lagu “sedang apa dan dimana”. Kalau saja bisa, Marvel ingin sekali
berdiri sambil memberikan tepuk tangan sekencang-kencangnya pada Sammy. Sayang,
keadaannya tak memungkinkan hal itu terjadi.
Lagu
itu, telah menghantarkan Marvel pada titik kerinduannya terhadap Ziza yang
paling tinggi. Ziza… Ziza… dimana kamu, Za? Tanya Batin Marvel.
“Vel,
kamu nggak apa-apa?” Mama menyentuh pundak Marvel.
Marvel
buru-buru menghapus air matanya. “Nggak kenapa-napa kok, Ma. Aku…, cuma haus.”
“Oh.
Oke kalo gitu, Mama beliin kamu minum dulu, ya.” Mama pun pergi meninggalkan
Marvel ditengah keramaian itu seorang diri.
Entah
kenapa, Marvel sudah kehilangan mood-nya untuk menonton konser Sammy. Hatinya
yang sedang dirundung sedih itu, membuatnya sedang tak ingin melakukan apa-apa
saat ini. Marvel jadi ingin pulang kerumah saja.
* * * *
“Aku
kok jadi inget Marvel lagi ya, Pak.” Ucap Ziza tiba-tiba.
“Oh
ya? Kenapa?”
Ziza
menghela nafas panjang. “Marvel…, suka banget sama Sammy. Kalau aja dia ada
disini, mungkin dia juga bakalan nonton.”
Menyadari
Ziza kembali terlarut dalam kesedihannya, Pak Pram pun mengalihkan
pembicaraann. “Oh ya, Za. Kamu haus nggak? Mau saya belikan minum?”
Ziza
menoleh, sambil tersenyum. “Terserah Bapak aja.”
“Kalo
gitu, saya pergi sebentar ya. Jangan kemana-mana.” Pak Pram berlalu.
Lama
berdiri, membuat kaki Ziza letih. Ia pun mengedarkan pandangannya, mencari
tempat duduk terdekat yang bisa ia jadikan tempat beristirahat.
Namun…,
bukannya menemukan tempat duduk, mata Ziza justru menangkap pemandangan ganjil
disekitarnya: seorang cowok berkursi roda yang tengah duduk melamun dengan
tatapan mata kosong.
Ziza
memicingkan matanya, menelisik dengan pasti setiap detail dari wajah cowok yang
sepertinya tak asing lagi baginya itu.
Astaga!
Ziza tersadar. Itu Marvel! Benar! Itu Marvel! Dia juga ada disini!
Ziza
membalikkan tubuhnya, tak berani lagi menatap kearah cowok yang ternyata Marvel
itu. Hati Ziza berdegub kencang. Gugup. Tubuhnya terasa berguncang. Marvel!
Kenapa dia juga berada disini?
“Za?
Kamu kenapa?” Ziza terkesiap, ternyata Pak Pram sudah berada disampingnya lagi
dengan membawa dua gelas jus buah ditangannya. “Wajah kamu kenapa? Kok tegang
begitu?”
“Pak,
ayo kita pergi dari sini. Ada Marvel, Pak! Ada Marvel!” ucap Ziza panik sambil
menarik-narik tangan Pak Pram, mengajaknya pergi.
“Loh,
memangnya kenapa? Bukannya bagus kalau kamu bertemu Marvel?” mata Pak Pram pun
mengedar, mencari tahu, dimana letak keberadaan Marvel sebenarnya.
“Pak,
aku nggak mau ketemu dia. Aku belum siap. Aku…,”
“Oh,
itu dia Marvel! Ayo kita kesana.” Setelah menemukan posisi Marvel, kini gantian,
malah Pak Pram yang menarik tangan Ziza, mengajaknya pergi ke tempat Marvel.
“Pak…,
aku nggak mau, Pak. Lepasin aku!” Ziza menarik tangannya dari cengkeraman Pak
Pram sekuat tenaga, namun tak kunjung berhasil. Tenaga Pak Pram yang berusia 50
tahunan ini, ternyata tak dapat dikalahkan oleh gadis 20 tahunan macam Ziza.
“Pak…,
aku…,” Ziza menelan semua kata-katanya, karena tanpa ia sadari, ia dan pak Pram
sudah berada dihadapan Marvel. Ziza terdiam, wajahnya pucat, tubuhnya kaku.
“Hai,
Vel!” sapa Pak Pram ramah.
Kontan
mata Marvel membola, ia terbangun dari lamunannya. “Pak Pram?” Marvel pun mengalihkan
pandangannya pada sosok gadis disamping Pak Pram, dan seketika itu juga, ada
sinar bahagia terpancar dari matanya, begitu ia mengetahui ternyata gadis itu
adalah Ziza. “Ziza.” Seru Marvel bahagia sambil tersenyum lega.
“Za,
saya tinggal dulu ya. Mau beli makanan untuk ganjel perut.” Ujar Pak Pram
singkat lalu bergegas kabur sebelum Ziza mencegahnya.
Melihat
kejadian itu, Ziza hanya mampu terbengong-bengong tanpa melakukan apapun.
“Za…,”
panggil Marvel pelan.
Ziza
menoleh sekilas pada Marvel lalu kembali melengos. “Aduh, Vel. Maaf ya, aku
buru-buru, daaah…,”
“Za,
tunggu!” menggunakan tangan kanannya, Marvel mencekal tangan Ziza. Ia tak akan
membiarkan gadis itu pergi. “Za, aku mohon, sebentar aja. Aku mau ngomong sama
kamu.”
Ziza
menghempas pelan tangan Marvel, lalu menatap cowok itu dengan mata elang. “Mau
ngomong apa lagi, Vel?”
“Za,
kenapa kamu nggak pernah ngabarin aku?”
”Vel, udahlah. Aku males bahas itu. Nggak ada gunanya.”
”Vel, udahlah. Aku males bahas itu. Nggak ada gunanya.”
“Za,
aku mohon. Jelasin sama aku. Apa salahku, sampai kamu begini?” Marvel menatap
Ziza sendu.
Ziza
menghela nafas pelan, sebelum ia akhirnya angkat bicara. “Diva! Karena dia aku
begini!” seru Ziza setengah menjerit.
Mata
Marvel kontan membola mendengar nama Diva disebut-sebut oleh Ziza. “Za? Kamu
kenal sama…,”
“Ya!
Aku kenal! Selingkuhanmu itu kan?” Ziza mendengus sebal lalu melengos, tak lagi
memandang Marvel.
Marvel
baru sadar kini, apa penyebab Ziza menjauhinya selama 3 bulan terkahir ini.
Ternyata…, Ziza sudah tahu mengenai perselingkuhan itu? Bagaimana bisa?
“Za,
bagaimana bisa kamu tahu tentang itu?”
“Sudahlah,
Vel! Aku malas membahasnya!” Ziza berbalik, hendak pergi. Namun dengan
menggunakan tangan kanannya, Marvel mencekal tangan Ziza.
“Za,
jangan pergi. Dengerin dulu penjelasanku.” Pinta Marvel.
“Vel,
cukup!”
“Za,
maafin aku. Aku nyesel banget, Za, udah ngekhianatin kamu dulu. Za, aku sayang
kamu. Aku pengen kita kembali seperti dulu.” Marvel menggenggam tangan Ziza
lalu mengecupnya perlahan. Adegan romantis antara Ziza dan Marvel itu ternyata
menjadi daya tarik bagi pengunjung mall lainnya. Lambat laun, arena disekitar
Ziza dan Marvel pun telah disemuti para pengunjung yang membentuk lingkarang,
mengelilingi mereka.
Ziza
tak mampu menahan rasa malunya dijadikan tontonan, pipinya pun menyemu merah.
“Za,
aku mohon. Kasih aku kesempatan sekali lagi. Za, aku sadar, cuma kamu
satu-satunya yang mau nerima aku apa adanya. Bukan Diva! Bukan yang lain! Za,
pleeeeease…,” Marvel pun memelas.
“Vel,
malu tahu, diliatin orang.” Sungut Ziza setengah berbisik.
“Aku
nggak perduli, Za. Biar aja mereka tahu, aku emang sayang sama kamu.”
Ziza
mendengus kesal. Gombal banget sih, si Marvel!
“Za…,
mau kan?” Marvel kini menangis.
Ziza
terkejut. 4 tahun berpacaran dengan Marvel, belum pernah sekalipun Ziza melihat
Marvel menangis. Yang Ziza tahu, Marvel adalah sosok yang sangat tegar dan kuat
dalam menghadapi masalah apapun. Ia tak pernah mengeluh, apalagi menangis. Tapi
sekarang? Ada apa dengan Marvel? Apa beban masalah yang ia hadapi dengan Ziza
sudah benar-benar terasa berat baginya, hingga ia menangis?
“Vel,
jangan nangis.” Ucap Ziza pelan sambil mengusap kedua pipi Marvel yang telah
basah dengan air mata. Hati Ziza benar-benar terenyuh. Air mata itu!
Benar-benar bukan air mata buaya! Ziza yakin. Air mata itu, telah mampu
meyakinkan Ziza, bahwa memang Marvel sangat membutuhkannya.
Tiba-tiba
Ziza berlutut, memeluk Marvel yang masih terbujur diatas kursi rodanya. “Iya,
Vel, aku mau ngasih kamu kesempatan sekali lagi. Aku juga sayang, Vel, sama
kamu.” Ziza pun ikut menangis.
Orang-orang
yang berkerumun menyaksikan adegan itu pun bertepuk tangan dengan begitu
meriah, sebagai tanda ucapan selamat atas kembalinya sepasang kekasih ini.
Dan
tanpa Marvel dan Ziza sadari, diantara begitu banyak orang dikerumunan itu yang
turut berbahagia, ada dua orang yang paling dapat merasakan kebahagiaan itu:
Pak Pram dan Mama Marvel, yang menyaksikan adegan itu dalam diam, dan cucuran
air mata bahagia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar