Selasa, 04 September 2018

Mengabadikan Kala part V



ARITA KUSUMA NEGARA

Makan malam di kediaman Wijayanto Kusuma Negara tampak berbeda malam itu, selain jejeran makanan yang tersusun rapi dari ujung satu ke ujung lainnya, meja makan itu tampak dipenuhi lilin-lilin yang menimbulkan aroma wewangian penenang. Yang paling mencolok dan mencuri perhatian tentu saja adanya sebuah kue tart berwarna putih dengan corak biru tua setinggi satu meter tepat berada ditengah meja makan. Tepat di pucuk kue sepasang lilin angka 53 tahun tertancap dengan sempurna.
“Selamat ulang tahun, Ayah,” Arita Kusuma Negara tampak menyambut kedatangan sang suami ke meja makan dengan ucapan disertai dengan pelukan hangat. Wijayanto, lelaki pendiam nyaris tanpa ekspresi itu, malam ini tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar jelas dari kedua matanya. Ia membalas pelukan hangat sang istri dengan sebuah kecupan singkat di dahi.
Abad tampak berdiri dibelakang Arita dengan membawa sebuah kado berukuran kubus kecil yang ia timang-timang sejak tadi, “selamat ulang tahun, Yah,” ucapnya kemudian ketika mata Wijayanto beralih padanya. Abad menciumi tangan lelaki yang telah membesarkannya itu dengan khidmat. “Ini kado dari Ibu dan aku,” Abad tersenyum, mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka kepada sang ibu.
Wijayanto tersenyum kemudian menerima kado itu dengan senang hati. Matanya semakin berbinar melihat dibalik kotak kubus itu muncul lah sebuah jam tangan mewah keluaran jepang dengan merk favoritnya, “terimakasih ya,” ucapnya kemudian. “Ayo, kita makan malam.”
Keluarga kecil itu pun melangkah menuju meja makan. Setelah sesi tiup lilin dan potong kue, ketiganya mulai duduk, menempati kursi masing-masing. Pembicaraan hangat malam itu pun mengalir dengan sempurna. Ketiga manusia itu saling bertukar cerita; Wijayanto dengan cerita perusahaan lumbung berasnya, Arita dengan cerita bisnis berliannya, dan Abad dengan cerita kerja kerasnya di lapangan sebagai kontraktor.
“Oh iya, Bad, kok Ibu sudah lama ga lihat Tita ya? Biasanya dia rajin kamu ajakin kesini.” Celetuk Arita tiba tiba ditengah sesi tukar cerita membuat Abad nyaris tersedak oleh telur yang sedang ia kunyah.
Wijayanto nampak manggut-manggut, “iya, tahun lalu, kamu ajak Tita ke acara ulang tahun Ayah, kenapa hari ini ga diajak juga?”
Abad terdiam, selera makan malamnya hilang seketika. Hal yang dikhawatirkannya pun tiba; Ayah dan Ibunya menanyakan keberadaan Tita. Tita, memang sudah terlanjur sangat dekat dengan keluarganya. Lima tahun bersama Abad, lima tahun pula Tita habiskan untuk masuk kehati satu per satu anggota keluarga Abad, terutama sang ibu, Arita Kusuma Negara. Arita, entah mengapa, sejak pandangan pertama, hatinya langsung terpaut pada sosok Tita. Arita tak mampu memungkiri, sejak detik pertama ia melihat Tita, hati kecilnya berkata bahwa Tita adalah gadis baik yang tepat untuk Abad anak semata wayangnya. Sejak hari itu, hingga lima tahun berjalan lamanya, Arita tak pernah sungkan mengajak Tita menghabiskan waktu bersama, entah itu berbelanja atau sekadar masak berdua. Bahkan beberapa kali, Tita ikut bersama di liburan keluarga mereka. Bagi Arita, Tita telah memiliki tempat tersendiri dihatinya. Kelembutan, kesantunan, serta kebaikan gadis itu mampu membuat Arita jatuh cinta.
Abad berdeham, kepalanya sedang berpikir keras menyusun kalimat, “Ibu, Ayah, Abad sudah engga sama Tita lagi, jadi tolong jangan dibahas-bahas ya.” Jawab Abad sesingkat mungkin, malas membahas lebih jauh.
Arita kontan tercengang, ia menaruh lagi sesendok sup yang baru saja hendak ia suap ke dalam mulutnya, “Abad, kamu lagi ga bercandain ibu sama ayah kan?”
Abad menggeleng, “Yah, Bu, sudahlah…”
“Kenapa kamu bisa pisah sama Tita?” Arita tanpa ampun langsung memberondong Abad dengan tatapan tajam. Disebelahnya, Wijayanto nampak sama kagetnya namun berusaha tetap memasang wajah tenang sembari sesekali meneguk teh hangat yang berada di mejanya.
Abad kontan mematung, bingung harus menjelaskan duduk permasalahannya darimana. Kepalanya mendadak sakit. Ia lantas bangkit berdiri lalu meninggalkan meja makan itu tanpa aba-aba.
“Abad! Abadi!” panggil Arita pada tubuh Abad yang semakin menghilang dibalik undakan tangga. Hatinya tak bisa terima sebelum ia mendapatkan penjelasan dengan sebenar-benarnya. Bagaimana bisa ia harus kehilangan sesosok gadis yang begitu ia sayangi selama ini, sesosok gadis yang membuatnya dapat merasakan bagaimana rasanya memiliki anak perempuan, sesosok gadis santun nan baik hati yang Arita sayangi bak anak sendiri.
“Bu, sudahlah… Abad butuh waktu,” Wijayanto nampak menenangkan istrinya.
Arita menghela nafas, mengendalikan emosinya. Detik itu juga ia langsung berpikir untuk menghubungi Tita.

¤¤¤

“Halo, assalamualaikum, Ibu.” Deringan telepon itu diangkat tepat setelah berbunyi tut untuk kelima kalinya, Arita menghela napas lega mendengar suara lemah lembut yang begitu dikenalinya itu.
“Waalaikumsalam,” jawab Arita lembut, kepalanya kini tengah sibuk menata kalimat dengan hati-hati, “Tita apa kabarnya? Kok gapernah main ke rumah lagi? Ibu kangen loh.” Dari begitu banyaknya pertanyaan yang hendak menyembur dari mulutnya, hanya kalimat itu yang kini mampu Arita ucapkan sebagai pembuka.
Sementara diujung telepon sana, tanpa Arita ketahui, Tita tengah panas dingin mendengar kalimat yang baru saja tiba di gendang telinganya itu. Tubuh Tita gemetar tanpa penyebab, bibirnya terkunci rapat, terlalu takut salah berucap.
“Tita?” panggil Arita kemudian, setelah keheningan hadir diantara pembicaraan mereka.
Tita terkesiap, “i… iya, Bu.”
“Tita kenapa? Biasanya kalau Ibu telepon Tita gapernah diam begini.”
Tita menghela napas panjang, “Ibu, begini… hmm…” Tita memotong kalimatnya. Wajah Arita kontan berkelebat begitu saja di benak Tita, segala kenangan antara dirinya dan Arita menyeruak tanpa bisa Tita elak, membuat Tita semakin tidak tega mengatakan hal yang Tita tahu akan membuat Arita mungkin terluka. “Ibu maaf, Tita sudah tidak dengan Abad lagi. Sudah enam bulan ini, Bu.” Jawab Tita dalam satu tarikan napas.
Arita tak terkejut lagi mendengar hal itu, sebab yang ia butuhkan memanglah sebuah pengakuan dari mulut Tita sendiri.
Hening sesaat. Arita kembali menata kalimatnya.
“Tita sudah tidak lagi dengan Abad? Memangnya ada masalah apa sayang kalau ibu boleh tahu?”
Tita kembali terdiam. Menjelaskan rentetan kejadian yang begitu pedih dan melukai batinnya itu adalah hal yang Tita takkan lakukan lagi, ia telah berjanji pada dirinya sendiri.
“Bu, maaf, bukannya Tita gamau cerita sama ibu tapi Tita sudah gamau bahas lagi. Mungkin Abad juga begitu. Hal ini sama-sama melukai kami berdua. Jadi Tita mohon sama ibu jangan ditanya-tanya lagi ya, Bu.”
Arita tercenung mendegar jawaban Tita. Kursi yang ia duduki bahkan terasa tak empuk lagi. Rasa kehilangan perlahan mulai menyemai dihati Arita. Ia menyayangi Tita dengan begitu dalam, ia mengagumi gadis itu sebagai sosok anak perempuan yang selama ini ia idam-idamkan. Kehadiran Tita selalu Arita anggap sebagai kehadiran gadis yang lahir dari rahimnya sendiri namun tak pernah terjadi.
Perlahan air mata Arita terbit setetes dua tetes, “Tita…” panggilnya pada sosok gadis kesayangannya itu di ujung telepon sana, suara Arita mulai terdengar serak.
“Iya bu?”
“Tita jangan pisah ya sama Abad. Tita harus kembali dengan Abad. Ibu dan Ayah sangat sayang dengan Tita. Ibu dan Ayah tidak ingin ada perempuan lain yang menggantikan posisi Tita disamping Abad. Nanti ibu bantu bujuk-bujuk Abad ya.”
Tita tercengang seketika mendengar rentetan kalimat itu keluar dari suara lembut Arita yang mendayu-dayu. Dicubitinya lengannya sendiri untuk memastikan hal yang barusan di dengarnya bukanlah mimpi. Tita nyaris terperanjat kegirangan sebelum sedetik kemudian ia menyadari ia tak boleh melakukan hal ini. Hati Abad telah dimiliki perempuan lain dan demi perempuan yang kini telah memiliki Abad Tita bersumpah takkan menghancurkan hubungan mereka sekalipun Arita dan Wijayanto memohon padanya untuk kembali pada anak lelaki semata wayang kesayangan mereka itu.
“Ibu…”
“Iya?”
Tita berdeham, “Ibu, maaf, bukan Tita tidak menyayangi Ibu dan Ayah, Tita sudah menganggap Ibu dan Ayah sebagai orangtua Tita sendiri, tapi Bu, ada hal-hal yang memang tak bisa dipaksakan untuk bersama di dunia ini, salah satunya Tita dan Abad. Tita tidak ingin memaksa Abad untuk kembali ke Tita begitu juga sebaliknya. Biarlah, Bu, biarkan saja takdir yang menentukan. Kelak jika memang Tita ini jodohnya Abad, Tita dan Abad pasti kembali bersama lagi sejauh apapun jarak kami nanti atau sebanyak apapun pasangan-pasangan kami sesudah ini,” Tita menarik nafas sembari memejamkan matanya, berusaha menenangkan hatinya sendiri, “semua manusia selalu tahu jalan pulang menuju rumahnya, Bu.”
Arita menghapus dengan tangannya sendiri dua tetes air mata yang bergulir di pipinya, kesedihan itu tak dapat lagi ia bendung. Ya, Arita sekehilangan itu. “Baiklah kalau begitu. Ibu mengerti,” suara Arita semakin serak seiring dengan air mata yang terus mengalir, “Ibu doakan semoga Tita bahagia, semoga Tita selalu sehat. Tita jangan sungkan untuk menghubungi Ayah atau Ibu atau main-main kerumah kalau Tita mau. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Tita, sebab Tita sudah Ibu dan Ayah anggap sebagai anak gadis kesayangan kami.”
Mendengar suara isakan yang sayup terselip diantara kalimat-kalimat Arita, kontan membuat hati Tita ikut mendung saat itu juga. Matanya mulai berkaca-kaca. Tita pikir kehilangan Abad adalah hal tersedih, namun nyatanya mengucapkan kata pisah pada orang tua Abad adalah hal yang lebih pedih.
“Iya, bu, terimakasih.” Jawab Tita singkat sembari menghapus air matanya yang mulai membanjir. Tita tak sanggup lagi, dimatikannya sambungan telepon itu tanpa permisi demi kemudian menangis terisak dalam sunyi dengan dinding-dinding sebagai saksi. Tita terluka… lagi… kembali… kesekian kali…

¤¤¤

Abad duduk terdiam di sofa panjang ruang tengah rumahnya. Dihadapannya, Wijayanto dan Arita duduk bersanding dengan tatapan mata terpusat penuh pada Abad yang tertunduk kaku. Suasana sore itu menegang.
“Abadi…” panggil Arita pelan namun dengan tekanan nada tegas, menandakan ini adalah pembicaraan serius.
Abad mendongak, menatap mata kedua orang tuanya bergantian. Tampak tak gentar sedikitpun.
“Abad, Ibu tidak tahu apa masalah kamu dan Tita sehingga kalian harus berpisah. Tapi ibu mohon, selagi masalah itu bisa diperbaiki, apa kalian ga bisa tetap sama-sama?” Arita langsung memuntahkan kalimatnya detik itu juga. Kalimat yang sudah ia pendam sejak tadi pagi, menunggu Abad pulang bekerja demi memulai obrolan ini. Hatinya masih terus ingin mengusahakan agar Tita dan Abad bersatu kembali.
Abad menggeleng pelan, “Bu, Yah… sudahlah…”
“Ibu dan Ayah sayang sekali dengan Tita, kamu tahu kan?” Arita memotong dengan cepat kalimat Abad yang masih menggantung di udara.
Abad terhenyak, dihempaskannya tubuh pada sandaran sofa. Batinnya lelah seketika. “Ibu sama Ayah masih boleh sayang sama Tita. Abad ga larang. Ibu dan Ayah boleh anggap Tita sebagai anak kalian, mau diangkat sebagai saudara pun silahkan, Abad izinkan. Tapi tidak dengan memaksa Abad untuk kembali dengan Tita, Bu, Yah.”
Wijayanto berdeham, mulai membaca situasi yang memanas, “Abad…”
“Yah, denger Abad dulu,” potong Abad cepat sebelum Wijayanto berceracau lebih jauh, “Abad mengambil keputusan ini pun bukan mudah. Ada masalah yang memang Abad dan Tita sudah gabisa tangani bersama. Makanya kita pisah. Ayah sama Ibu boleh merasa bahagia dengan melihat Tita ada disamping Abad terus, tapi apa Ayah sama Ibu mikirin perasaan Abad juga? Apa Abad bahagia dengan Tita disamping Abad saat ini? Engga, Bu, Yah…”
Arita dan Wijayanto terdiam mendengar rentetan kalimat itu. Kepala mereka mencerna kata demi kata itu dengan baik, kemudian serempak membenarkan perkataan Abad di dalam hati.
“Kalau Ayah dan Ibu melakukan hal ini karena takut Abad ga bakal dapet lagi wanita sebaik Tita, Ayah sama Ibu gausah khawatir,” Abad menghentikan ucapannya sejenak sebelum mengeluarkan kalimat pamungkas yang sudah ia siapkan, “Abad sudah menemukan wanita lain, Bu, Yah, yang sekarang sedang menjalin hubungan dengan Abad. InsyaAllah dia lebih baik dari Tita.”
Arita dan Wijayanto terhenyak mendapat sebuah fakta baru yang baru saja mereka berdua dengar dengan telinga masing-masing. Sepasang suami istri itu kontan bertukar pandang, saling lirik dalam kebingungan bercampur kepasrahan. Detik itu juga Arita dan Wijayanto langsung tunduk mengaku kalah dan menyerah.


SEBUAH KEYAKINAN

Sore itu, seusai jam jaga paginya berakhir, Kala dengan terburu-buru pulang kerumah demi bersiap-siap untuk menyambut ajakan makan malam dengan Abad. Seperti biasa, di waktu senggang sepasang kekasih itu akan selalu menghabiskan waktu berdua.
Abad menjemput Kala tepat pukul setengah tujuh. Setelah memamiti Kala dengan kedua orangtuanya, Abad bergegas meluncurkan mobilnya menuju salah satu restoran ternama di pusat kota.
“Kamu cantik…” puji Abad sembari melirik sekilas pada Kala yang tengah mematung sembari menaburkan pandangannya keluar jendela mobil. “Selalu cantik.” Tambah Abad kemudian.
Kala melirik Abad sembari tersenyum geli, “gausah kamu bilangin, aku juga tahu kok aku cantik.”
“Ga jadi ding, aku bercanda tadi.”
Tawa pun pecah diantara keduanya. Menghamburkan aroma kebahagiaan yang pekat.
Mereka tiba di restoran tepat pukul tujuh malam. Sebuah meja yang telah dipesan oleh Abad sebelumnya telah disiapkan. Meja istimewa di paviliun dengan pemandangan hamburan lampu-lampu dari seluruh penjuru kota.
Ditengah meja terpajang cantik tiga buah lilin yang apinya bergoyang meliuk ketika ditiup angin. Wajah Kala tampak semakin cantik dipandang dari balik kobar api lilin yang temaram. Abad tersenyum mendapati hal itu tersaji dengan indah di depan matanya.
“Kal…” panggil Abad pelan.
Kala yang tengah sibuk menggerogoti pemandangan lampu-lampu kota hanya menggumam tanpa menengok.
“Aku mau bicara sesuatu.”
Kala melirik Abad sekilas, tersenyum, lalu kembali membuang pandangnya pada hamparan lampu-lampu yang semakin malam terlihat semakin benderang. “Bicara apa? Ini kita lagi bicara.”
“Bicara hal yang penting, bisa lihat aku kesini?”
Kala terdiam sejenak, membaca nada bicara Abad yang kental dengan ketegasan. Kemudian ia bergegas memutar tubuhnya, menghadap Abad, menatap mata Abad dengan tajam.
“Baik. Mau bicara apa?”
Abad berdeham, “Kal… begini… aku sudah bicara dengan kedua orangtuaku tentang hubungan kita, dan mereka minta aku untuk bawa kamu kerumah, dikenalkan dengan Ibu dan Ayahku.”
Kala yang sedang mengaduk-ngaduk minumannya kontan berhenti, menatap Abad dengan wajah terkejut luar biasa. “Bad… are you serious?” Kala dapat merasakan sekujur tubuhnya dingin seketika. Bulu kuduknya bahkan merinding mendengar apa yang baru saja Abad ucapkan.
Abad meraih tangan Kala, menggenggam tangan kekasihnya itu dengan lembut, menyalurkan ketenangan. Abad tahu dan sangat paham, disaat-saat seperti ini Kala selalu butuh ditenangkan dengan baik. “Kal… aku serius. Sangat serius. Seserius aku menjalani hubungan kita,” Abad menatap mata Kala lembut, meyakinkan, “Sekarang waktunya, Kal. Waktu yang tepat untuk memulai hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Aku akan mengenalkan kamu dengan Ibu Ayahku dan pelan-pelan kamu juga mengenalkan aku lebih dalam ke Mama dan Papamu. Kita pasti bisa, Kal. Kita ini berdua. Bukan sendiri-sendiri. Kita ini satu. Kamu ga perlu takut. Kamu punya aku.”
Kala terdiam, masih tak mampu memahami rencana Tuhan yang sedang dijalankan untuknya saat ini. Secepat ini? Apa Kala bisa? Kala bahkan ragu pada dirinya sendiri sebab ia tak pernah menjalani hubungan sejauh ini.
“Kal… kamu percaya kan sama aku? Kamu percaya kan kalau kita bisa melalui semuanya karena kita punya cinta yang luar biasa?” tanya Abad sekali lagi, menyadarkan Kala dari lamunannya.
Kala menghela nafas panjang, memejamkan matanya beberapa detik, mencari ketenangan. Digenggamnya tangan Abad dengan semakin kencang seolah ingin merampas seluruh energi yang ada. Perlahan, ia dapat merasakannya, hatinya mulai menghangat, keyakinan itu mulai datang. Kala membuka matanya perlahan, menatap Abad dengan sungguh dalam.
“Terimakasih, Bad. Kamu selalu berhasil membuatku yakin,” Kala tersenyum, “iya, aku yakin kita bisa. Aku yakin akan semuanya.”
Abad kontan tersenyum dengan lebih sumringah, “sama-sama, Sayang. Itu lah kenapa aku ada disini, disisi kamu, untuk mendampingimu melawan apapun rintangan yang ada dihadapan kita.”
Kala tak tahan lagi, ia bangkit berdiri, berlari kecil menyeberangi meja lalu memeluk Abad dengan khidmat, meluapkan rasa cintanya yang semakin meledak-ledak. Disaksikan sejuta gemintang di langit malam, Abad dan Kala bersumpah untuk tetap bersama sesulit apapun keadaan yang akan mereka hadapi kedepannya.

¤¤¤

Selepas makan malam hari itu, Kala mempersiapkan segalanya, demi pertemuan penting antara dirinya dengan kedua orang Tua Abad. Ditengah kesibukannya bergelut dengan dunia co-ass, kini Kala menyempatkan waktu-waktu senggangnya untuk melatih kepribadiannya. Kala membeli beberapa buku bacaan tentang self-manner dan mempelajari segalanya darisana. Kala yang nada bicaranya acap kali tinggi dan cenderung nyablak, perlahan belajar menata kalimatnya dan mengubah intonasi suaranya menjadi lemah lembut. Kala yang gaya berjalannya serampangan, mulai belajar menata langkahnya satu-satu bak peragawati kelas kakap. Kala yang biasanya makan dengan kecepatan tinggi, perlahan mulai mengatur waktu makannya agar terlihat seperti manusia normal lainnya.
Dua minggu berlalu dengan cepat, Kala memang belum sempurna benar menjadi sosok perempuan anggun nan kemayu yang selalu Abad katakan sebagai wanita idaman kedua orangtua Abad, tapi Kala tahu dirinya telah jauh membaik dari sebelumnya.
Siang itu, selepas shalat dzuhur, mobil Abad tiba di pelataran parkir rumah Kala. Kala mengintip dari balik gorden kamarnya dengan degub jantung luar biasa tak berirama. Ia turun meniti anak tangga dengan langkah kemayu, seperti yang ia sudah pelajari dua minggu belakangan ini. Rumahnya tengah kosong, Maryam sedang sekolah, sedangkan keduaorangtuanya tengah menghadiri sebuah acara keluarga. Ditengah kelengangan rumahnya, Kala mengedarkan pandang, mencari ketenangan yang ia juga tak tahu darimana dapat ia temukan. Kala berhenti melangkah sejenak, tepat sebelum membuka pintu utama rumahnya. Ia meneliti kembali tubuhnya sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dress polos selutut berwarna hijau toska dengan payet kecil-kecil disekitar leher itu terbalut sempurna di tubuh rampingnya. Ia mengendus-endus tubuhnya sendiri. Wangi parfum permen karet favoritnya sontak merebak memenuhi penciuman Kala. Siapapun yang melihatnya, dapat langsung menilai Kala nampak sempurna. Cantik sekali. Namun bagi Kala entah mengapa ia begitu takut ada yang kurang pada dirinya.
Sementara itu di dalam mobil, Abad menunggu dengan sama cemasnya, namun ia berusaha terlihat tenang. Ia yakin Kala akan mampu melalui hari ini dengan baik. Ia yakin, Ibu dan Ayahnya pun akan jatuh cinta pada Kala di pandangan pertama.
Abad membuka laci dasbor mobilnya hendak mencari kaset lagu favoritnya, tepat ketika tangannya menyentuh sebuah foto yang tintanya tampak telah pudar. Abad mengambil foto itu demi sedetik kemudian memandanginya dengan seksama; foto Tita dan Ibunya. Kali ini foto itu berlatar belakang taman rumah Abad dengan objek Tita yang memegang kue tart dengan lilin 48 menancap kokoh diatasnya, sementara itu tangan kanan Tita memeluk Arita dengan erat. Keduanya tampak tersenyum dengan sumringah. Tampak jelas sebuah kebahagiaan tanpa kepura-puraan tercetak disana.
Abad masih ingat, foto ini diambil dua tahun lalu di momen ulang tahun Ibunya. Tita yang baru saja pulang dari praktikum di desa ujung timur kota, dengan wajah lelahnya diam-diam datang kerumah Abad demi memberikan kejutan untuk Arita. Abad pun masih ingat dengan jelas, betapa bahagianya Arita ketika mengetahui Tita memberinya kado berupa sebuah syal rajut buatan tangan Tita sendiri. Arita memeluk Tita dengan binar mata yang Abad tahu hanya ada ketika Arita bersama Tita. Binar bahagia yang selalu muncul dengan satu alasan yang sama; Titania Ningtyas Larasati.
Tok tok tok. Terdengar bunyi kaca mobil diketuk. Abad mendapati Kala berdiri disamping pintu mobil menunggu pintu dibukakan. Dengan gerakan cepat Abad meremas foto yang ada digenggaman tangannya itu, dan memasukkannya kembali ke laci dasbor mobil.
Abad membuka kunci pintu mobil lalu mempersilahkan Tita masuk.
“Selamat siang, Cantik.” Puji Abad dengan kerlingan mata jenaka.
Kala tak mampu menyembunyikan kegugupannya, ia hanya membalas godaan itu dengan senyum simpul, tak seperti biasanya.
Abad mendekat, mengelus pipi Tita lembut, menyalurkan ketenangan, seperti yang biasa ia lakukan. “Jangan takut, Sangkala-ku pasti bisa.” Abad menatap mata Kala lekat.
Kala tahu, lelaki berisi kepala abstrak ini akan selalu berhasil menenangkannya dengan berbagai cara. Seharusnya Kala tak perlu sibuk mencari-cari ketenangan itu sendiri, sebab semuanya sudah bermuara pada Abad. Kala dapat merasakan degub jantungnya kembali normal. Kala tersenyum dengan sumringah menandakan hatinya telah baik-baik saja.
Melihat senyuman Kala telah kembali seperti semula. Abad segera membenarkan posisi duduknya di balik kemudi. Mobil itu pun meluncur mulus membelah jalanan kota yang nampak sepi.

¤¤¤

Mobil itu tiba di parkiran sebuah rumah megah bercat cokelat susu tepat pukul satu siang. Kala mengatur nafasnya yang mulai menderu dengan menggebu, kemudian melihat wajah Abad sekilas demi mereguk ketenangan dirinya kembali.
Abad membukakan pintu mobil, mempersilahkan Kala Turun. Digenggamnya tangan Kala erat memasuki rumah megahnya itu.
Derit pintu utama rumah, membuat Arita dan Wijayanto yang tengah berbincang di ruang tengah saling pandang satu sama lain seolah mengisyaratkan mereka tahu bahwa yang datang adalah Abad bersama kekasihnya. Sepasang suami istri itu kontan berdiri, menyambut kedatangan mereka..
Arita dengan sorot mata lembut bercampur tajam memandang pada satu titik itu. Sesosok gadis dengan tubuh semampai berkulit bersih berbalut dress hijau toska dan sepatu heels berwarna abu-abu tua dengan rambut digerai sedada. Pipinya merona merah, entah karena sentuhan blush on atau karena malu yang menggerogoti dirinya. Arita menghela nafas panjang, meyakinkan dirinya, memantapkan hatinya, belajar menerima bahwa gadis ini lah yang kini harus ia kenal dari nol lagi sebagai calon pendamping hidup Abad.
Arita tersenyum, ia melangkah mendekati Kala yang berdiri mematung disamping Abad beberapa meter di depannya. “Hai, Cantik,” sapanya lembut, ia kemudian mencium pipi kanan dan kiri Kala. Kala tersenyum gugup, terkejut mendapatkan sambutan yang sebegitu hangatnya. “Saya, Arita Kusuma Negara, ibunya Abad. Panggil saja Ibu,” Arita kemudian melirik Wijayanto dan memberi kode agar Wijayanto mendekat, “nah ini, Wijayanto Kusuma Negara, ayahnya Abad. Panggil saja Ayah.”
Kala tersenyum, menganggukkan kepalanya pada Wijayanto sebagai tanda hormat. Lelaki paruh baya itu tersenyum simpul.
“Saya, Sangkala Indah Lestari, Ibu, Ayah. Biasa dipanggil Kala.” Jawab Kala dengan nada intonasi lembut.
Abad tersenyum mendengar nada suara Kala berbeda dari biasanya. Kala sudah banyak belajar.
Arita pun menggiring Kala dan Abad langsung ke meja makan. Disana sudah tersaji berbagai macam hidangan makan siang yang masih hangat. Baru saja dimasak oleh chef-chef terbaik keluarga Wijayanto.
Kala duduk disamping Abad, Wijayanto seperti biasa duduk di singgasananya, di kursi tunggal di puncak meja makan, sementara Arita duduk berseberangan dengan Kala.
“Ayo, Kala. Diambil jangan malu-malu.” Arita tampak menyendoki nasi ke piring Wijayanto lalu kemudian ke piring Kala dan Abad secara bergantian.
Kala bingung harus melakukan apa. Ia takut berbuat suatu kecerobohan diatas meja makan super megah ini. Untuk mengambil sepotong ayam goreng yang tak jauh dari jangkauan tangannya saja Kala harus berpikir ulang apakah ia akan mengambil ayam itu dengan tangan kosong, atau menggunakan sendok yang masih berada dalam wadah? Kala benar-benar takut salah mengambil tindakan.
Abad yang dapat membaca ekspresi kaku nan bingung diwajah Kala kontan membantu dengan menuangkan beberapa jenis lauk ke piring Kala. Kala masih tercengang melihat adegan itu terjadi di hadapannya.
“Kala? Ayo makan.” Ajak Arita kemudian, melihat Kala masih terdiam mematung.
Kala kembali tersenyum kaku entah sudah keberapa kalinya. Ia masih terlalu gugup dan tak terbiasa dengan pertemuan keluarga serius macam ini.
Kala mengambil sendok makan di sisi piringnya dengan hati-hati. Memotong ayam goreng dengan benar-benar pelan, begitu takut sendoknya menyentuh piring lalu berbunyi.
Kala benar-benar makan dengan irama lambat siang itu, lebih karena kehati-hatiannya takut salah bersikap. Sementara itu Arita terus menerus memancing Kala untuk berbicara dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keseharian dan keluarga Kala. Wijayanto dan Abad hanya mampu melihat kejadian bak polisi menginterogasi tahanan itu tanpa mampu berbuat apa-apa.

¤¤¤

“Kal, maafin ibu ya kalau ada salah kata sama kamu. Ibu memang gitu kalau ketemu orang baru, suka banyak tanya.”
Kala menarik nafas dalam-dalam, kemudian tersenyum, melirik Abad yang sedang terfokus penuh dibalik kemudi, “iya, gapapa. Ibu kamu itu baik. Makanya dia mau yang terbaik buat anaknya. Wajar beliau banyak mau tahu tentang aku. Beliau sedang menilai, Bad.”
Abad mengangguk kecil. Lega mendengar jawaban Kala. “Makasih ya, Kal. Udah mau meladeni mauku dan orangtuaku.”
“Kenapa harus makasih? Itu sebuah keharusan dalam sebuah keseriusan hubungan.”
Abad mendelik tajam pada Kala, gemas, diacak-acaknya rambut Kala sambil terkekeh, “kamu tumben serius banget sih ngomongnya hahahahaha.”
Kala pun ikut tertawa, menyadari perkataan yang barusan saja meluncur dari mulutnya itu jauh dari celotehannya yang biasa.
Mobil Abad pun tiba dirumah Kala tepat pukul lima sore. Setelah berpamitan pada Kala, sebab kedua orangtua Kala pun belum pulang, Abad bergegas memutar balik kemudinya menuju rumah. Ada sebongkah beban yang terangkat dari dalam dadanya, lega. Semoga segalanya berjalan sesuai rencana. Semoga Ibu dan Ayah menilai Kala dengan sebaik-baiknya, pinta Abad khusyuk dalam hati.
Sementara itu Kala, menjejakkan kaki di dalam rumah dengan langkah hampa. Kepalanya masih berusaha menyeimbangkan seluruh anggota tubuhnya yang dipaksa menjadi kaku dalam kurun waktu empat jam terakhir.
Kala memasuki kamarnya dengan lunglai, seperti ada banyak hal yang menyedot energi tubuhnya hingga habis. Kemudian ia terduduk diam di depan cermin kamarnya, mematuti dirinya kembali, meniti setiap detil tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kala tersenyum miris, mata beningnya mulai berkaca-kaca, Kala tersadar bahkan dalam bayangan cermin pun ia tak lagi dapat menemukan dirinya sendiri.


PERTANDA BAIK

Sesudah makan siang bersama Kala, Abad memilih untuk banyak diam ketika bertemu Ayah dan Ibunya dirumah. Tak ingin banyak tanya mengenai kesan pertama kedua orangtuanya itu pada Kala. Abad sungguh penasaran sebenarnya, namun ia memilih untuk membiarkan kedua orangtuanya berpikir jernih dan jauh tentang hal ini. Biarkan Ibu dan Ayahnya yang akan berbicara sendiri jika mereka sudah ingin.
Hingga akhirnya, nyaris 2 minggu setelah makan siang itu, Arita meminta Abad untuk menemaninya ke sebuah perkebunan sayur di kota sebelah yang berjarak 5 jam dari kota mereka, “sekalian ada yang mau ibu bicarakan, mumpung sempat,” begitu pesan Arita diakhir pembicaraan pada Abad di telepon sehari sebelum kepergian mereka, membuat Abad langsung bersemangat dan tak bisa menolak ajakan Arita.
Abad dan Arita tiba di perkebunan itu ketika matahari mulai menanjak tinggi. Seperti biasa, para pekerja disana yang sudah sangat mengenali Arita akan menyambut dengan ramah dan berbicara sepatah dua patah bahasan demi kemudian Arita kembali melanjutkan mengelilingi perkebunan, memilih sayur-sayur segar terbaik untuk dibelinya sebagai persediaan dirumah.
“Kamu gimana sama Kala?” celetuk Arita tiba-tiba ditengah kesibukannya meneliti satu persatu cabai segar yang masih bertengger manis di pohon dengan tangannya sendiri.
Abad tak kaget lagi mendengar kalimat yang Arita ucapkan, sebab memang hal ini lah yang belakangan ini sudah ia tunggu-tunggu, dan ia tahu pembicaraan hari ini akan mengarah ke pembahasan tentang Kala. “Baik. Kala masih sibuk co-ass. Sudah separuh jalan.” Abad memetik sebuah cabai segar dari batangnya, mempermainkan cabai itu ditangannya, “kalau ibu gimana sama Kala? Ibu suka?” tembak Abad langsung ke inti pembicaraan.
Arita tampak tenang, diam sejenak, tangannya masih sibuk memetiki cabai satu persatu dan memasukannya ke keranjang plastik yang ia bawa. “Ibu suka sama Kala. Dia gadis baik. Tapi masih butuh banyak proses lagi untuk bisa kenal Kala lebih jauh.”
Abad tersenyum simpul, sebuah perasaan bahagia menjatuhi hatinya tiba-tiba, “jangankan Ibu, aku saja masih butuh waktu banyak untuk kenal segala hal tentang Kala.”
Arita melirik Abad, dan balas tersenyum, “ya, begitulah.”
“Kalau begitu, kita sama-sama belajar mengenal Kala lebih jauh ya, Bu. Aku belajar, Ibu belajar, Ayah belajar, biar kita sama-sama memahami dan kenal. Deal?” Abad mengulurkan tangannya pada Arita. Senyum manis terpampang jelas di wajahnya.
Arita tanpa ragu menyambut uluran tangan itu, menjabat tangan Abad dengan erat tanpa pikir panjang, “deal.”

¤¤¤

Sore itu sembari menyicipi beberapa jenis kue baru yang ditawarkan Pak Tora, dilengkapi dengan pemandangan rimbun sawah yang mulai menghijau siap dipanen, Kala dan Abad duduk bersanding, berbicara apa saja, selama mereka masih bisa bercerita, selama hanya berdua, semua kata terasa takkan pernah ada habisnya.
Kala menyesap hingga tak bersisa cokelat panas favoritnya, “aku dinas malam nih nanti, balik yuk.”
Abad mencegah tangan Kala yang hendak membereskan tasnya dengan cepat, “sebentar… aku belum bicara sesuatu.”
Kala terdiam, memandang mata kekasihnya itu dengan lurus, “apa lagi, Sayangku?” godanya dengan senyum nakal. Dirapikannya kembali duduknya ke semula.
“Sayang, kamu mau tahu gak?” Abad memotong pembicaraannya dengan nada yang sungguh membuat penasaran.
“Apa?” jawab Kala pura-pura cuek padahal hatinya sudah gemas.
“Aku sayang kamu.” Abad kemudian terkekeh.
Kala tertawa kecil kemudian mencubiti lengan Abad dengan gemas, “aku gak sayang sama kamu tapi.”
“Yang bener?”
“IYAAAA.”
“Tapi ibuku mulai mau sayang nih sama kamu, gimana dong? Masa kamu ga sayang sama anaknya?”
Tawa Kala kontan terhenti, wajahnya berubah ekspresi menjadi tercengang bercampur bingung, “apa??? Kamu bilang apa barusan?”
Abad tersenyum simpul, menggenggam tangan Kala erat, menyalurkan ketenangan seperti biasa, “ibu bilang kamu baik, ibu mau kenal kamu lebih jauh.” Abad mengacak-acak rambut Kala dengan gemas, “semoga pertanda baik ya.”
Kala terdiam, tubuhnya lemas, seperti ada beban besar yang Tuhan angkat dari pundaknya. Ia nyaris menangis bahagia namun sedetik kemudian ia teringat, ini barulah awal, belum lah apa-apa.
“Kalau Ibu dan Ayah kamu sudah kasih lampu hijau, gimana kalau kita…” Kala menggantung kalimatnya.
Abad menanti sambungan kalimat itu dengan penuh tanda tanya. Kita apa? Menikah? Tebak Abad sendiri dalam batinnya. Namun buru-buru ia menepis bayangan itu dari pikirannya.
“Kita kenalkan hubungan kita lebih jauh ke kedua orangtuaku, kamu mau kan?”


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar