ARITA KUSUMA NEGARA
Makan malam di
kediaman Wijayanto Kusuma Negara tampak berbeda malam itu, selain jejeran
makanan yang tersusun rapi dari ujung satu ke ujung lainnya, meja makan itu
tampak dipenuhi lilin-lilin yang menimbulkan aroma wewangian penenang. Yang
paling mencolok dan mencuri perhatian tentu saja adanya sebuah kue tart
berwarna putih dengan corak biru tua setinggi satu meter tepat berada ditengah
meja makan. Tepat di pucuk kue sepasang lilin angka 53 tahun tertancap dengan
sempurna.
“Selamat ulang
tahun, Ayah,” Arita Kusuma Negara tampak menyambut kedatangan sang suami ke
meja makan dengan ucapan disertai dengan pelukan hangat. Wijayanto, lelaki
pendiam nyaris tanpa ekspresi itu, malam ini tak bisa menyembunyikan
kebahagiaan yang terpancar jelas dari kedua matanya. Ia membalas pelukan hangat
sang istri dengan sebuah kecupan singkat di dahi.
Abad tampak
berdiri dibelakang Arita dengan membawa sebuah kado berukuran kubus kecil yang
ia timang-timang sejak tadi, “selamat ulang tahun, Yah,” ucapnya kemudian
ketika mata Wijayanto beralih padanya. Abad menciumi tangan lelaki yang telah
membesarkannya itu dengan khidmat. “Ini kado dari Ibu dan aku,” Abad tersenyum,
mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka kepada sang ibu.
Wijayanto
tersenyum kemudian menerima kado itu dengan senang hati. Matanya semakin
berbinar melihat dibalik kotak kubus itu muncul lah sebuah jam tangan mewah
keluaran jepang dengan merk favoritnya, “terimakasih ya,” ucapnya kemudian.
“Ayo, kita makan malam.”
Keluarga kecil
itu pun melangkah menuju meja makan. Setelah sesi tiup lilin dan potong kue,
ketiganya mulai duduk, menempati kursi masing-masing. Pembicaraan hangat malam
itu pun mengalir dengan sempurna. Ketiga manusia itu saling bertukar cerita;
Wijayanto dengan cerita perusahaan lumbung berasnya, Arita dengan cerita bisnis
berliannya, dan Abad dengan cerita kerja kerasnya di lapangan sebagai
kontraktor.
“Oh iya, Bad,
kok Ibu sudah lama ga lihat Tita ya? Biasanya dia rajin kamu ajakin kesini.”
Celetuk Arita tiba tiba ditengah sesi tukar cerita membuat Abad nyaris tersedak
oleh telur yang sedang ia kunyah.
Wijayanto nampak
manggut-manggut, “iya, tahun lalu, kamu ajak Tita ke acara ulang tahun Ayah,
kenapa hari ini ga diajak juga?”
Abad terdiam,
selera makan malamnya hilang seketika. Hal yang dikhawatirkannya pun tiba; Ayah
dan Ibunya menanyakan keberadaan Tita. Tita, memang sudah terlanjur sangat
dekat dengan keluarganya. Lima tahun bersama Abad, lima tahun pula Tita
habiskan untuk masuk kehati satu per satu anggota keluarga Abad, terutama sang
ibu, Arita Kusuma Negara. Arita, entah mengapa, sejak pandangan pertama,
hatinya langsung terpaut pada sosok Tita. Arita tak mampu memungkiri, sejak detik
pertama ia melihat Tita, hati kecilnya berkata bahwa Tita adalah gadis baik
yang tepat untuk Abad anak semata wayangnya. Sejak hari itu, hingga lima tahun
berjalan lamanya, Arita tak pernah sungkan mengajak Tita menghabiskan waktu
bersama, entah itu berbelanja atau sekadar masak berdua. Bahkan beberapa kali,
Tita ikut bersama di liburan keluarga mereka. Bagi Arita, Tita telah memiliki
tempat tersendiri dihatinya. Kelembutan, kesantunan, serta kebaikan gadis itu
mampu membuat Arita jatuh cinta.
Abad berdeham,
kepalanya sedang berpikir keras menyusun kalimat, “Ibu, Ayah, Abad sudah engga
sama Tita lagi, jadi tolong jangan dibahas-bahas ya.” Jawab Abad sesingkat
mungkin, malas membahas lebih jauh.
Arita kontan
tercengang, ia menaruh lagi sesendok sup yang baru saja hendak ia suap ke dalam
mulutnya, “Abad, kamu lagi ga bercandain ibu sama ayah kan?”
Abad menggeleng,
“Yah, Bu, sudahlah…”
“Kenapa kamu
bisa pisah sama Tita?” Arita tanpa ampun langsung memberondong Abad dengan
tatapan tajam. Disebelahnya, Wijayanto nampak sama kagetnya namun berusaha
tetap memasang wajah tenang sembari sesekali meneguk teh hangat yang berada di
mejanya.
Abad kontan
mematung, bingung harus menjelaskan duduk permasalahannya darimana. Kepalanya
mendadak sakit. Ia lantas bangkit berdiri lalu meninggalkan meja makan itu
tanpa aba-aba.
“Abad! Abadi!”
panggil Arita pada tubuh Abad yang semakin menghilang dibalik undakan tangga.
Hatinya tak bisa terima sebelum ia mendapatkan penjelasan dengan
sebenar-benarnya. Bagaimana bisa ia harus kehilangan sesosok gadis yang begitu
ia sayangi selama ini, sesosok gadis yang membuatnya dapat merasakan bagaimana
rasanya memiliki anak perempuan, sesosok gadis santun nan baik hati yang Arita
sayangi bak anak sendiri.
“Bu, sudahlah…
Abad butuh waktu,” Wijayanto nampak menenangkan istrinya.
Arita menghela
nafas, mengendalikan emosinya. Detik itu juga ia langsung berpikir untuk
menghubungi Tita.
¤¤¤
“Halo,
assalamualaikum, Ibu.” Deringan telepon itu diangkat tepat setelah berbunyi tut
untuk kelima kalinya, Arita menghela napas lega mendengar suara lemah lembut
yang begitu dikenalinya itu.
“Waalaikumsalam,”
jawab Arita lembut, kepalanya kini tengah sibuk menata kalimat dengan
hati-hati, “Tita apa kabarnya? Kok gapernah main ke rumah lagi? Ibu kangen
loh.” Dari begitu banyaknya pertanyaan yang hendak menyembur dari mulutnya,
hanya kalimat itu yang kini mampu Arita ucapkan sebagai pembuka.
Sementara
diujung telepon sana, tanpa Arita ketahui, Tita tengah panas dingin mendengar
kalimat yang baru saja tiba di gendang telinganya itu. Tubuh Tita gemetar tanpa
penyebab, bibirnya terkunci rapat, terlalu takut salah berucap.
“Tita?” panggil
Arita kemudian, setelah keheningan hadir diantara pembicaraan mereka.
Tita terkesiap,
“i… iya, Bu.”
“Tita kenapa?
Biasanya kalau Ibu telepon Tita gapernah diam begini.”
Tita menghela
napas panjang, “Ibu, begini… hmm…” Tita memotong kalimatnya. Wajah Arita kontan
berkelebat begitu saja di benak Tita, segala kenangan antara dirinya dan Arita
menyeruak tanpa bisa Tita elak, membuat Tita semakin tidak tega mengatakan hal
yang Tita tahu akan membuat Arita mungkin terluka. “Ibu maaf, Tita sudah tidak
dengan Abad lagi. Sudah enam bulan ini, Bu.” Jawab Tita dalam satu tarikan
napas.
Arita tak
terkejut lagi mendengar hal itu, sebab yang ia butuhkan memanglah sebuah
pengakuan dari mulut Tita sendiri.
Hening sesaat.
Arita kembali menata kalimatnya.
“Tita sudah
tidak lagi dengan Abad? Memangnya ada masalah apa sayang kalau ibu boleh tahu?”
Tita kembali
terdiam. Menjelaskan rentetan kejadian yang begitu pedih dan melukai batinnya
itu adalah hal yang Tita takkan lakukan lagi, ia telah berjanji pada dirinya
sendiri.
“Bu, maaf,
bukannya Tita gamau cerita sama ibu tapi Tita sudah gamau bahas lagi. Mungkin
Abad juga begitu. Hal ini sama-sama melukai kami berdua. Jadi Tita mohon sama
ibu jangan ditanya-tanya lagi ya, Bu.”
Arita tercenung
mendegar jawaban Tita. Kursi yang ia duduki bahkan terasa tak empuk lagi. Rasa
kehilangan perlahan mulai menyemai dihati Arita. Ia menyayangi Tita dengan
begitu dalam, ia mengagumi gadis itu sebagai sosok anak perempuan yang selama
ini ia idam-idamkan. Kehadiran Tita selalu Arita anggap sebagai kehadiran gadis
yang lahir dari rahimnya sendiri namun tak pernah terjadi.
Perlahan air
mata Arita terbit setetes dua tetes, “Tita…” panggilnya pada sosok gadis
kesayangannya itu di ujung telepon sana, suara Arita mulai terdengar serak.
“Iya bu?”
“Tita jangan
pisah ya sama Abad. Tita harus kembali dengan Abad. Ibu dan Ayah sangat sayang
dengan Tita. Ibu dan Ayah tidak ingin ada perempuan lain yang menggantikan
posisi Tita disamping Abad. Nanti ibu bantu bujuk-bujuk Abad ya.”
Tita tercengang
seketika mendengar rentetan kalimat itu keluar dari suara lembut Arita yang
mendayu-dayu. Dicubitinya lengannya sendiri untuk memastikan hal yang barusan
di dengarnya bukanlah mimpi. Tita nyaris terperanjat kegirangan sebelum sedetik
kemudian ia menyadari ia tak boleh melakukan hal ini. Hati Abad telah dimiliki
perempuan lain dan demi perempuan yang kini telah memiliki Abad Tita bersumpah
takkan menghancurkan hubungan mereka sekalipun Arita dan Wijayanto memohon
padanya untuk kembali pada anak lelaki semata wayang kesayangan mereka itu.
“Ibu…”
“Iya?”
Tita berdeham,
“Ibu, maaf, bukan Tita tidak menyayangi Ibu dan Ayah, Tita sudah menganggap Ibu
dan Ayah sebagai orangtua Tita sendiri, tapi Bu, ada hal-hal yang memang tak
bisa dipaksakan untuk bersama di dunia ini, salah satunya Tita dan Abad. Tita
tidak ingin memaksa Abad untuk kembali ke Tita begitu juga sebaliknya. Biarlah,
Bu, biarkan saja takdir yang menentukan. Kelak jika memang Tita ini jodohnya
Abad, Tita dan Abad pasti kembali bersama lagi sejauh apapun jarak kami nanti
atau sebanyak apapun pasangan-pasangan kami sesudah ini,” Tita menarik nafas
sembari memejamkan matanya, berusaha menenangkan hatinya sendiri, “semua
manusia selalu tahu jalan pulang menuju rumahnya, Bu.”
Arita menghapus
dengan tangannya sendiri dua tetes air mata yang bergulir di pipinya, kesedihan
itu tak dapat lagi ia bendung. Ya, Arita sekehilangan itu. “Baiklah kalau
begitu. Ibu mengerti,” suara Arita semakin serak seiring dengan air mata yang
terus mengalir, “Ibu doakan semoga Tita bahagia, semoga Tita selalu sehat. Tita
jangan sungkan untuk menghubungi Ayah atau Ibu atau main-main kerumah kalau
Tita mau. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Tita, sebab Tita sudah Ibu dan
Ayah anggap sebagai anak gadis kesayangan kami.”
Mendengar suara
isakan yang sayup terselip diantara kalimat-kalimat Arita, kontan membuat hati
Tita ikut mendung saat itu juga. Matanya mulai berkaca-kaca. Tita pikir
kehilangan Abad adalah hal tersedih, namun nyatanya mengucapkan kata pisah pada
orang tua Abad adalah hal yang lebih pedih.
“Iya, bu,
terimakasih.” Jawab Tita singkat sembari menghapus air matanya yang mulai
membanjir. Tita tak sanggup lagi, dimatikannya sambungan telepon itu tanpa
permisi demi kemudian menangis terisak dalam sunyi dengan dinding-dinding
sebagai saksi. Tita terluka… lagi… kembali… kesekian kali…
¤¤¤
Abad duduk
terdiam di sofa panjang ruang tengah rumahnya. Dihadapannya, Wijayanto dan
Arita duduk bersanding dengan tatapan mata terpusat penuh pada Abad yang
tertunduk kaku. Suasana sore itu menegang.
“Abadi…” panggil
Arita pelan namun dengan tekanan nada tegas, menandakan ini adalah pembicaraan
serius.
Abad mendongak,
menatap mata kedua orang tuanya bergantian. Tampak tak gentar sedikitpun.
“Abad, Ibu tidak
tahu apa masalah kamu dan Tita sehingga kalian harus berpisah. Tapi ibu mohon,
selagi masalah itu bisa diperbaiki, apa kalian ga bisa tetap sama-sama?” Arita
langsung memuntahkan kalimatnya detik itu juga. Kalimat yang sudah ia pendam
sejak tadi pagi, menunggu Abad pulang bekerja demi memulai obrolan ini. Hatinya
masih terus ingin mengusahakan agar Tita dan Abad bersatu kembali.
Abad menggeleng
pelan, “Bu, Yah… sudahlah…”
“Ibu dan Ayah
sayang sekali dengan Tita, kamu tahu kan?” Arita memotong dengan cepat kalimat
Abad yang masih menggantung di udara.
Abad terhenyak,
dihempaskannya tubuh pada sandaran sofa. Batinnya lelah seketika. “Ibu sama
Ayah masih boleh sayang sama Tita. Abad ga larang. Ibu dan Ayah boleh anggap
Tita sebagai anak kalian, mau diangkat sebagai saudara pun silahkan, Abad
izinkan. Tapi tidak dengan memaksa Abad untuk kembali dengan Tita, Bu, Yah.”
Wijayanto berdeham,
mulai membaca situasi yang memanas, “Abad…”
“Yah, denger
Abad dulu,” potong Abad cepat sebelum Wijayanto berceracau lebih jauh, “Abad
mengambil keputusan ini pun bukan mudah. Ada masalah yang memang Abad dan Tita
sudah gabisa tangani bersama. Makanya kita pisah. Ayah sama Ibu boleh merasa
bahagia dengan melihat Tita ada disamping Abad terus, tapi apa Ayah sama Ibu
mikirin perasaan Abad juga? Apa Abad bahagia dengan Tita disamping Abad saat
ini? Engga, Bu, Yah…”
Arita dan
Wijayanto terdiam mendengar rentetan kalimat itu. Kepala mereka mencerna kata
demi kata itu dengan baik, kemudian serempak membenarkan perkataan Abad di
dalam hati.
“Kalau Ayah dan
Ibu melakukan hal ini karena takut Abad ga bakal dapet lagi wanita sebaik Tita,
Ayah sama Ibu gausah khawatir,” Abad menghentikan ucapannya sejenak sebelum
mengeluarkan kalimat pamungkas yang sudah ia siapkan, “Abad sudah menemukan
wanita lain, Bu, Yah, yang sekarang sedang menjalin hubungan dengan Abad.
InsyaAllah dia lebih baik dari Tita.”
Arita dan
Wijayanto terhenyak mendapat sebuah fakta baru yang baru saja mereka berdua
dengar dengan telinga masing-masing. Sepasang suami istri itu kontan bertukar
pandang, saling lirik dalam kebingungan bercampur kepasrahan. Detik itu juga
Arita dan Wijayanto langsung tunduk mengaku kalah dan menyerah.
SEBUAH KEYAKINAN
Sore itu, seusai
jam jaga paginya berakhir, Kala dengan terburu-buru pulang kerumah demi
bersiap-siap untuk menyambut ajakan makan malam dengan Abad. Seperti biasa, di
waktu senggang sepasang kekasih itu akan selalu menghabiskan waktu berdua.
Abad menjemput Kala
tepat pukul setengah tujuh. Setelah memamiti Kala dengan kedua orangtuanya,
Abad bergegas meluncurkan mobilnya menuju salah satu restoran ternama di pusat
kota.
“Kamu cantik…”
puji Abad sembari melirik sekilas pada Kala yang tengah mematung sembari
menaburkan pandangannya keluar jendela mobil. “Selalu cantik.” Tambah Abad
kemudian.
Kala melirik
Abad sembari tersenyum geli, “gausah kamu bilangin, aku juga tahu kok aku
cantik.”
“Ga jadi ding,
aku bercanda tadi.”
Tawa pun pecah
diantara keduanya. Menghamburkan aroma kebahagiaan yang pekat.
Mereka tiba di
restoran tepat pukul tujuh malam. Sebuah meja yang telah dipesan oleh Abad
sebelumnya telah disiapkan. Meja istimewa di paviliun dengan pemandangan hamburan
lampu-lampu dari seluruh penjuru kota.
Ditengah meja
terpajang cantik tiga buah lilin yang apinya bergoyang meliuk ketika ditiup
angin. Wajah Kala tampak semakin cantik dipandang dari balik kobar api lilin
yang temaram. Abad tersenyum mendapati hal itu tersaji dengan indah di depan
matanya.
“Kal…” panggil
Abad pelan.
Kala yang tengah
sibuk menggerogoti pemandangan lampu-lampu kota hanya menggumam tanpa menengok.
“Aku mau bicara
sesuatu.”
Kala melirik
Abad sekilas, tersenyum, lalu kembali membuang pandangnya pada hamparan
lampu-lampu yang semakin malam terlihat semakin benderang. “Bicara apa? Ini
kita lagi bicara.”
“Bicara hal yang
penting, bisa lihat aku kesini?”
Kala terdiam
sejenak, membaca nada bicara Abad yang kental dengan ketegasan. Kemudian ia bergegas
memutar tubuhnya, menghadap Abad, menatap mata Abad dengan tajam.
“Baik. Mau
bicara apa?”
Abad berdeham,
“Kal… begini… aku sudah bicara dengan kedua orangtuaku tentang hubungan kita,
dan mereka minta aku untuk bawa kamu kerumah, dikenalkan dengan Ibu dan
Ayahku.”
Kala yang sedang
mengaduk-ngaduk minumannya kontan berhenti, menatap Abad dengan wajah terkejut
luar biasa. “Bad… are you serious?” Kala dapat merasakan sekujur tubuhnya
dingin seketika. Bulu kuduknya bahkan merinding mendengar apa yang baru saja
Abad ucapkan.
Abad meraih
tangan Kala, menggenggam tangan kekasihnya itu dengan lembut, menyalurkan
ketenangan. Abad tahu dan sangat paham, disaat-saat seperti ini Kala selalu
butuh ditenangkan dengan baik. “Kal… aku serius. Sangat serius. Seserius aku
menjalani hubungan kita,” Abad menatap mata Kala lembut, meyakinkan, “Sekarang
waktunya, Kal. Waktu yang tepat untuk memulai hubungan kita ke jenjang yang
lebih serius. Aku akan mengenalkan kamu dengan Ibu Ayahku dan pelan-pelan kamu
juga mengenalkan aku lebih dalam ke Mama dan Papamu. Kita pasti bisa, Kal. Kita
ini berdua. Bukan sendiri-sendiri. Kita ini satu. Kamu ga perlu takut. Kamu
punya aku.”
Kala terdiam,
masih tak mampu memahami rencana Tuhan yang sedang dijalankan untuknya saat
ini. Secepat ini? Apa Kala bisa? Kala bahkan ragu pada dirinya sendiri sebab ia
tak pernah menjalani hubungan sejauh ini.
“Kal… kamu
percaya kan sama aku? Kamu percaya kan kalau kita bisa melalui semuanya karena
kita punya cinta yang luar biasa?” tanya Abad sekali lagi, menyadarkan Kala
dari lamunannya.
Kala menghela
nafas panjang, memejamkan matanya beberapa detik, mencari ketenangan.
Digenggamnya tangan Abad dengan semakin kencang seolah ingin merampas seluruh
energi yang ada. Perlahan, ia dapat merasakannya, hatinya mulai menghangat,
keyakinan itu mulai datang. Kala membuka matanya perlahan, menatap Abad dengan
sungguh dalam.
“Terimakasih,
Bad. Kamu selalu berhasil membuatku yakin,” Kala tersenyum, “iya, aku yakin
kita bisa. Aku yakin akan semuanya.”
Abad kontan
tersenyum dengan lebih sumringah, “sama-sama, Sayang. Itu lah kenapa aku ada
disini, disisi kamu, untuk mendampingimu melawan apapun rintangan yang ada
dihadapan kita.”
Kala tak tahan
lagi, ia bangkit berdiri, berlari kecil menyeberangi meja lalu memeluk Abad
dengan khidmat, meluapkan rasa cintanya yang semakin meledak-ledak. Disaksikan
sejuta gemintang di langit malam, Abad dan Kala bersumpah untuk tetap bersama
sesulit apapun keadaan yang akan mereka hadapi kedepannya.
¤¤¤
Selepas makan
malam hari itu, Kala mempersiapkan segalanya, demi pertemuan penting antara
dirinya dengan kedua orang Tua Abad. Ditengah kesibukannya bergelut dengan
dunia co-ass, kini Kala menyempatkan waktu-waktu senggangnya untuk melatih
kepribadiannya. Kala membeli beberapa buku bacaan tentang self-manner dan
mempelajari segalanya darisana. Kala yang nada bicaranya acap kali tinggi dan
cenderung nyablak, perlahan belajar menata kalimatnya dan mengubah intonasi
suaranya menjadi lemah lembut. Kala yang gaya berjalannya serampangan, mulai
belajar menata langkahnya satu-satu bak peragawati kelas kakap. Kala yang
biasanya makan dengan kecepatan tinggi, perlahan mulai mengatur waktu makannya
agar terlihat seperti manusia normal lainnya.
Dua minggu
berlalu dengan cepat, Kala memang belum sempurna benar menjadi sosok perempuan
anggun nan kemayu yang selalu Abad katakan sebagai wanita idaman kedua orangtua
Abad, tapi Kala tahu dirinya telah jauh membaik dari sebelumnya.
Siang itu,
selepas shalat dzuhur, mobil Abad tiba di pelataran parkir rumah Kala. Kala
mengintip dari balik gorden kamarnya dengan degub jantung luar biasa tak
berirama. Ia turun meniti anak tangga dengan langkah kemayu, seperti yang ia
sudah pelajari dua minggu belakangan ini. Rumahnya tengah kosong, Maryam sedang
sekolah, sedangkan keduaorangtuanya tengah menghadiri sebuah acara keluarga.
Ditengah kelengangan rumahnya, Kala mengedarkan pandang, mencari ketenangan
yang ia juga tak tahu darimana dapat ia temukan. Kala berhenti melangkah
sejenak, tepat sebelum membuka pintu utama rumahnya. Ia meneliti kembali
tubuhnya sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dress polos selutut
berwarna hijau toska dengan payet kecil-kecil disekitar leher itu terbalut
sempurna di tubuh rampingnya. Ia mengendus-endus tubuhnya sendiri. Wangi parfum
permen karet favoritnya sontak merebak memenuhi penciuman Kala. Siapapun yang
melihatnya, dapat langsung menilai Kala nampak sempurna. Cantik sekali. Namun
bagi Kala entah mengapa ia begitu takut ada yang kurang pada dirinya.
Sementara itu di
dalam mobil, Abad menunggu dengan sama cemasnya, namun ia berusaha terlihat
tenang. Ia yakin Kala akan mampu melalui hari ini dengan baik. Ia yakin, Ibu
dan Ayahnya pun akan jatuh cinta pada Kala di pandangan pertama.
Abad membuka
laci dasbor mobilnya hendak mencari kaset lagu favoritnya, tepat ketika
tangannya menyentuh sebuah foto yang tintanya tampak telah pudar. Abad
mengambil foto itu demi sedetik kemudian memandanginya dengan seksama; foto
Tita dan Ibunya. Kali ini foto itu berlatar belakang taman rumah Abad dengan
objek Tita yang memegang kue tart dengan lilin 48 menancap kokoh diatasnya,
sementara itu tangan kanan Tita memeluk Arita dengan erat. Keduanya tampak
tersenyum dengan sumringah. Tampak jelas sebuah kebahagiaan tanpa kepura-puraan
tercetak disana.
Abad masih ingat,
foto ini diambil dua tahun lalu di momen ulang tahun Ibunya. Tita yang baru
saja pulang dari praktikum di desa ujung timur kota, dengan wajah lelahnya
diam-diam datang kerumah Abad demi memberikan kejutan untuk Arita. Abad pun
masih ingat dengan jelas, betapa bahagianya Arita ketika mengetahui Tita
memberinya kado berupa sebuah syal rajut buatan tangan Tita sendiri. Arita
memeluk Tita dengan binar mata yang Abad tahu hanya ada ketika Arita bersama
Tita. Binar bahagia yang selalu muncul dengan satu alasan yang sama; Titania
Ningtyas Larasati.
Tok tok tok.
Terdengar bunyi kaca mobil diketuk. Abad mendapati Kala berdiri disamping pintu
mobil menunggu pintu dibukakan. Dengan gerakan cepat Abad meremas foto yang ada
digenggaman tangannya itu, dan memasukkannya kembali ke laci dasbor mobil.
Abad membuka
kunci pintu mobil lalu mempersilahkan Tita masuk.
“Selamat siang,
Cantik.” Puji Abad dengan kerlingan mata jenaka.
Kala tak mampu
menyembunyikan kegugupannya, ia hanya membalas godaan itu dengan senyum simpul,
tak seperti biasanya.
Abad mendekat,
mengelus pipi Tita lembut, menyalurkan ketenangan, seperti yang biasa ia
lakukan. “Jangan takut, Sangkala-ku pasti bisa.” Abad menatap mata Kala lekat.
Kala tahu,
lelaki berisi kepala abstrak ini akan selalu berhasil menenangkannya dengan
berbagai cara. Seharusnya Kala tak perlu sibuk mencari-cari ketenangan itu
sendiri, sebab semuanya sudah bermuara pada Abad. Kala dapat merasakan degub
jantungnya kembali normal. Kala tersenyum dengan sumringah menandakan hatinya
telah baik-baik saja.
Melihat senyuman
Kala telah kembali seperti semula. Abad segera membenarkan posisi duduknya di
balik kemudi. Mobil itu pun meluncur mulus membelah jalanan kota yang nampak
sepi.
¤¤¤
Mobil itu tiba
di parkiran sebuah rumah megah bercat cokelat susu tepat pukul satu siang. Kala
mengatur nafasnya yang mulai menderu dengan menggebu, kemudian melihat wajah
Abad sekilas demi mereguk ketenangan dirinya kembali.
Abad membukakan
pintu mobil, mempersilahkan Kala Turun. Digenggamnya tangan Kala erat memasuki
rumah megahnya itu.
Derit pintu
utama rumah, membuat Arita dan Wijayanto yang tengah berbincang di ruang tengah
saling pandang satu sama lain seolah mengisyaratkan mereka tahu bahwa yang
datang adalah Abad bersama kekasihnya. Sepasang suami istri itu kontan berdiri,
menyambut kedatangan mereka..
Arita dengan
sorot mata lembut bercampur tajam memandang pada satu titik itu. Sesosok gadis
dengan tubuh semampai berkulit bersih berbalut dress hijau toska dan sepatu
heels berwarna abu-abu tua dengan rambut digerai sedada. Pipinya merona merah,
entah karena sentuhan blush on atau karena malu yang menggerogoti dirinya.
Arita menghela nafas panjang, meyakinkan dirinya, memantapkan hatinya, belajar
menerima bahwa gadis ini lah yang kini harus ia kenal dari nol lagi sebagai
calon pendamping hidup Abad.
Arita tersenyum,
ia melangkah mendekati Kala yang berdiri mematung disamping Abad beberapa meter
di depannya. “Hai, Cantik,” sapanya lembut, ia kemudian mencium pipi kanan dan
kiri Kala. Kala tersenyum gugup, terkejut mendapatkan sambutan yang sebegitu
hangatnya. “Saya, Arita Kusuma Negara, ibunya Abad. Panggil saja Ibu,” Arita
kemudian melirik Wijayanto dan memberi kode agar Wijayanto mendekat, “nah ini,
Wijayanto Kusuma Negara, ayahnya Abad. Panggil saja Ayah.”
Kala tersenyum,
menganggukkan kepalanya pada Wijayanto sebagai tanda hormat. Lelaki paruh baya
itu tersenyum simpul.
“Saya, Sangkala
Indah Lestari, Ibu, Ayah. Biasa dipanggil Kala.” Jawab Kala dengan nada
intonasi lembut.
Abad tersenyum
mendengar nada suara Kala berbeda dari biasanya. Kala sudah banyak belajar.
Arita pun
menggiring Kala dan Abad langsung ke meja makan. Disana sudah tersaji berbagai
macam hidangan makan siang yang masih hangat. Baru saja dimasak oleh chef-chef
terbaik keluarga Wijayanto.
Kala duduk
disamping Abad, Wijayanto seperti biasa duduk di singgasananya, di kursi
tunggal di puncak meja makan, sementara Arita duduk berseberangan dengan Kala.
“Ayo, Kala.
Diambil jangan malu-malu.” Arita tampak menyendoki nasi ke piring Wijayanto
lalu kemudian ke piring Kala dan Abad secara bergantian.
Kala bingung
harus melakukan apa. Ia takut berbuat suatu kecerobohan diatas meja makan super
megah ini. Untuk mengambil sepotong ayam goreng yang tak jauh dari jangkauan
tangannya saja Kala harus berpikir ulang apakah ia akan mengambil ayam itu
dengan tangan kosong, atau menggunakan sendok yang masih berada dalam wadah?
Kala benar-benar takut salah mengambil tindakan.
Abad yang dapat
membaca ekspresi kaku nan bingung diwajah Kala kontan membantu dengan menuangkan
beberapa jenis lauk ke piring Kala. Kala masih tercengang melihat adegan itu
terjadi di hadapannya.
“Kala? Ayo
makan.” Ajak Arita kemudian, melihat Kala masih terdiam mematung.
Kala kembali
tersenyum kaku entah sudah keberapa kalinya. Ia masih terlalu gugup dan tak
terbiasa dengan pertemuan keluarga serius macam ini.
Kala mengambil
sendok makan di sisi piringnya dengan hati-hati. Memotong ayam goreng dengan
benar-benar pelan, begitu takut sendoknya menyentuh piring lalu berbunyi.
Kala benar-benar
makan dengan irama lambat siang itu, lebih karena kehati-hatiannya takut salah
bersikap. Sementara itu Arita terus menerus memancing Kala untuk berbicara
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keseharian dan keluarga Kala. Wijayanto
dan Abad hanya mampu melihat kejadian bak polisi menginterogasi tahanan itu
tanpa mampu berbuat apa-apa.
¤¤¤
“Kal, maafin ibu
ya kalau ada salah kata sama kamu. Ibu memang gitu kalau ketemu orang baru,
suka banyak tanya.”
Kala menarik
nafas dalam-dalam, kemudian tersenyum, melirik Abad yang sedang terfokus penuh
dibalik kemudi, “iya, gapapa. Ibu kamu itu baik. Makanya dia mau yang terbaik
buat anaknya. Wajar beliau banyak mau tahu tentang aku. Beliau sedang menilai,
Bad.”
Abad mengangguk
kecil. Lega mendengar jawaban Kala. “Makasih ya, Kal. Udah mau meladeni mauku
dan orangtuaku.”
“Kenapa harus
makasih? Itu sebuah keharusan dalam sebuah keseriusan hubungan.”
Abad mendelik
tajam pada Kala, gemas, diacak-acaknya rambut Kala sambil terkekeh, “kamu
tumben serius banget sih ngomongnya hahahahaha.”
Kala pun ikut
tertawa, menyadari perkataan yang barusan saja meluncur dari mulutnya itu jauh
dari celotehannya yang biasa.
Mobil Abad pun
tiba dirumah Kala tepat pukul lima sore. Setelah berpamitan pada Kala, sebab
kedua orangtua Kala pun belum pulang, Abad bergegas memutar balik kemudinya
menuju rumah. Ada sebongkah beban yang terangkat dari dalam dadanya, lega.
Semoga segalanya berjalan sesuai rencana. Semoga Ibu dan Ayah menilai Kala
dengan sebaik-baiknya, pinta Abad khusyuk dalam hati.
Sementara itu
Kala, menjejakkan kaki di dalam rumah dengan langkah hampa. Kepalanya masih
berusaha menyeimbangkan seluruh anggota tubuhnya yang dipaksa menjadi kaku
dalam kurun waktu empat jam terakhir.
Kala memasuki
kamarnya dengan lunglai, seperti ada banyak hal yang menyedot energi tubuhnya
hingga habis. Kemudian ia terduduk diam di depan cermin kamarnya, mematuti
dirinya kembali, meniti setiap detil tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Kala tersenyum miris, mata beningnya mulai berkaca-kaca, Kala tersadar
bahkan dalam bayangan cermin pun ia tak lagi dapat menemukan dirinya sendiri.
PERTANDA BAIK
Sesudah makan
siang bersama Kala, Abad memilih untuk banyak diam ketika bertemu Ayah dan
Ibunya dirumah. Tak ingin banyak tanya mengenai kesan pertama kedua orangtuanya
itu pada Kala. Abad sungguh penasaran sebenarnya, namun ia memilih untuk
membiarkan kedua orangtuanya berpikir jernih dan jauh tentang hal ini. Biarkan
Ibu dan Ayahnya yang akan berbicara sendiri jika mereka sudah ingin.
Hingga akhirnya,
nyaris 2 minggu setelah makan siang itu, Arita meminta Abad untuk menemaninya ke
sebuah perkebunan sayur di kota sebelah yang berjarak 5 jam dari kota mereka,
“sekalian ada yang mau ibu bicarakan, mumpung sempat,” begitu pesan Arita
diakhir pembicaraan pada Abad di telepon sehari sebelum kepergian mereka,
membuat Abad langsung bersemangat dan tak bisa menolak ajakan Arita.
Abad dan Arita
tiba di perkebunan itu ketika matahari mulai menanjak tinggi. Seperti biasa,
para pekerja disana yang sudah sangat mengenali Arita akan menyambut dengan
ramah dan berbicara sepatah dua patah bahasan demi kemudian Arita kembali
melanjutkan mengelilingi perkebunan, memilih sayur-sayur segar terbaik untuk
dibelinya sebagai persediaan dirumah.
“Kamu gimana
sama Kala?” celetuk Arita tiba-tiba ditengah kesibukannya meneliti satu persatu
cabai segar yang masih bertengger manis di pohon dengan tangannya sendiri.
Abad tak kaget
lagi mendengar kalimat yang Arita ucapkan, sebab memang hal ini lah yang
belakangan ini sudah ia tunggu-tunggu, dan ia tahu pembicaraan hari ini akan
mengarah ke pembahasan tentang Kala. “Baik. Kala masih sibuk co-ass. Sudah
separuh jalan.” Abad memetik sebuah cabai segar dari batangnya, mempermainkan
cabai itu ditangannya, “kalau ibu gimana sama Kala? Ibu suka?” tembak Abad
langsung ke inti pembicaraan.
Arita tampak
tenang, diam sejenak, tangannya masih sibuk memetiki cabai satu persatu dan
memasukannya ke keranjang plastik yang ia bawa. “Ibu suka sama Kala. Dia gadis
baik. Tapi masih butuh banyak proses lagi untuk bisa kenal Kala lebih jauh.”
Abad tersenyum
simpul, sebuah perasaan bahagia menjatuhi hatinya tiba-tiba, “jangankan Ibu,
aku saja masih butuh waktu banyak untuk kenal segala hal tentang Kala.”
Arita melirik
Abad, dan balas tersenyum, “ya, begitulah.”
“Kalau begitu,
kita sama-sama belajar mengenal Kala lebih jauh ya, Bu. Aku belajar, Ibu
belajar, Ayah belajar, biar kita sama-sama memahami dan kenal. Deal?” Abad
mengulurkan tangannya pada Arita. Senyum manis terpampang jelas di wajahnya.
Arita tanpa ragu
menyambut uluran tangan itu, menjabat tangan Abad dengan erat tanpa pikir
panjang, “deal.”
¤¤¤
Sore itu sembari
menyicipi beberapa jenis kue baru yang ditawarkan Pak Tora, dilengkapi dengan
pemandangan rimbun sawah yang mulai menghijau siap dipanen, Kala dan Abad duduk
bersanding, berbicara apa saja, selama mereka masih bisa bercerita, selama
hanya berdua, semua kata terasa takkan pernah ada habisnya.
Kala menyesap
hingga tak bersisa cokelat panas favoritnya, “aku dinas malam nih nanti, balik
yuk.”
Abad mencegah
tangan Kala yang hendak membereskan tasnya dengan cepat, “sebentar… aku belum
bicara sesuatu.”
Kala terdiam,
memandang mata kekasihnya itu dengan lurus, “apa lagi, Sayangku?” godanya
dengan senyum nakal. Dirapikannya kembali duduknya ke semula.
“Sayang, kamu
mau tahu gak?” Abad memotong pembicaraannya dengan nada yang sungguh membuat
penasaran.
“Apa?” jawab
Kala pura-pura cuek padahal hatinya sudah gemas.
“Aku sayang
kamu.” Abad kemudian terkekeh.
Kala tertawa
kecil kemudian mencubiti lengan Abad dengan gemas, “aku gak sayang sama kamu
tapi.”
“Yang bener?”
“IYAAAA.”
“Tapi ibuku
mulai mau sayang nih sama kamu, gimana dong? Masa kamu ga sayang sama anaknya?”
Tawa Kala kontan
terhenti, wajahnya berubah ekspresi menjadi tercengang bercampur bingung,
“apa??? Kamu bilang apa barusan?”
Abad tersenyum
simpul, menggenggam tangan Kala erat, menyalurkan ketenangan seperti biasa,
“ibu bilang kamu baik, ibu mau kenal kamu lebih jauh.” Abad mengacak-acak
rambut Kala dengan gemas, “semoga pertanda baik ya.”
Kala terdiam,
tubuhnya lemas, seperti ada beban besar yang Tuhan angkat dari pundaknya. Ia
nyaris menangis bahagia namun sedetik kemudian ia teringat, ini barulah awal,
belum lah apa-apa.
“Kalau Ibu dan
Ayah kamu sudah kasih lampu hijau, gimana kalau kita…” Kala menggantung
kalimatnya.
Abad menanti
sambungan kalimat itu dengan penuh tanda tanya. Kita apa? Menikah? Tebak Abad
sendiri dalam batinnya. Namun buru-buru ia menepis bayangan itu dari
pikirannya.
“Kita kenalkan
hubungan kita lebih jauh ke kedua orangtuaku, kamu mau kan?”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar