DEMI KITA BERSAMA
Gedung
perpustakaan Universitas itu tampak sepi. Hanya ada satu dua mahasiswa yang
mondar-mandir keluar-masuk dari pintu utama. Di sudut perpustakaan tampak
parkiran kendaraan pun mulai kosong. Siang beranjak semakin naik, hampir
separuh isi kampus sudah pulang kerumah masing-masing.
Abad berdiri
disana, bersandar di salah satu tiang raksasa penyangga. Matanya menatap teduh
pada awan yang berarak, berharap mendapatkan ketenangan sendiri dari segala
yang bisa ia pandang. Wajahnya memang tampak tak apa, namun Abad tahu pasti
hatinya nyaris pecah belah sendiri saat ini.
“Hai.”
Suara lembut itu
menyapa telinga Abad di waktu yang tepat. Dadanya nyaris membuncah menumpahkan
rindu, namun saat ini segalanya ia tahan setengah mati.
“Hai, Kal.” Abad
tak mampu lagi mengelak, matanya dibuat setengah mati jatuh hati melihat Kala
yang semakin cantik setiap hari.
Keduanya bagai
sepasang yang baru saja bertemu untuk pertama kali, canggung, kaku serta senyum
datar itu terasa begitu kental.
Kala ikut
menyandarkan tubuhnya pada tiang penyangga gedung, sejajar dengan Abad. Matanya
menyauh jauh pada lampu-lampu taman kampus yang tampak bergelayut manja disela
pepohonan.
“Kamu sehat?”
Tanya Abad membuka pembicaraan.
Kala mengangguk,
tanpa menoleh sedikitpun. Berbagai macam perasaan sedang beradu di dalam
kepalanya. “Sehat. Kamu?”
“Sehat.”
Hening.
“Gimana kerjaan
kamu?”
Abad mengangkat
bahu, “gitu-gitu aja. Gimana co-ass kamu?”
“Gitu-gitu aja
juga.”
Keduanya
seketika saling pandang, lalu tertawa bersama. Tawa canggung tidak seperti
biasanya.
“Jadi siapa
duluan yang mau bicara?” tanya Abad kemudian.
“Kamu.”
“Gimana kalau
kamu? Kan perempuan selalu minta di dahulukan.”
“Tapi aku bukan
seperti perempuan kebanyakan.” Kala tersenyum kecil. Tatapannya ia hempaskan
pada langit yang mulai mendung.
Iya, Kal, kamu
benar, kamu memang tak pernah sama dengan wanita manapun. Abad membenarkan sendiri
pernyataan itu dalam hati.
“Oke. Biar adil
kita lomba aja. Yang kalah ngomong duluan.” Usul Abad kemudian.
Kala mengernyit,
lelaki ini selalu saja memiliki isi kepala yang begitu abstrak. Kala ingin
menolak namun tak ingin terlihat seperti pecundang. “Boleh. Mau lomba apa?”
“Lari.”
“Ke?”
“Sejauh-jauhnya
sampai salah satu diantara kita capek.”
Kala tergelak.
“Kamu mau ngajak lomba apa mau ngajak aku bunuh diri?”
“Ah lama… kita mulai ya… 1 2 3…” dengan aba-aba yang ia buat sendiri, Abad mulai berlari, meninggalkan Kala yang masih terdiam di belakang dengan wajah bingung.
“Ah lama… kita mulai ya… 1 2 3…” dengan aba-aba yang ia buat sendiri, Abad mulai berlari, meninggalkan Kala yang masih terdiam di belakang dengan wajah bingung.
“Hey tunggu!
Dasar curang!” Kala mulai ikut berlari, menyusul Abad yang mengunggulinya
beberapa meter di depan. Kala menghitung denyut jantungnya sendiri. Debar itu,
bukan sebab lari yang ia lakukan, debar itu terasa pahit, perasaannya seolah
berbisik bagai pertanda bahwa hari ini akan ada sesuatu yang membuatnya
berduka.
¤¤¤
Abad dan Kala
baru berhenti berlari ketika langkah mereka memasuki areal pemakaman kota yang
terletak nyaris satu kilometer dari kampus. Keduanya terduduk bersama di
trotoar, kelelahan, sembari menyelonjorkan kaki masing-masing.
“Curang kamu!
Gimana ga menang, kamu mulai duluan!”
Abad
terpingkal-pingkal melihat ekspresi Kala yang memelototinya dengan wajah sebal.
Menggemaskan sekali. “Aku yang menang ya. Berarti kamu yang bicara duluan.”
Tembak Abad langsung.
Kala tampak
celingukan, tidak fokus pada apa yang Abad katakan. “Ini pemakaman kota kan?
Temenin aku yuk ziarah tempat Papa. Mumpung lewat.”
Abad terdiam, mendengar
kata ‘Papa’ mendadak hatinya menjadi perih sendiri. Lelaki itu, Braja Pramudya
nan baik hati itu adalah salah satu lelaki terbaik yang pernah ia kenal. Salah
satu alasan kuat mengapa ia begitu berhati-hati menjaga Kala.
“Boleh.” Abad
tak kuasa menolak.
Sepasang manusia
itu pun melangkah masuk ke areal pemakaman dengan hati-hati. Kala tak kuasa
menahan gerimis di matanya ketika pusara Braja mulai tampak di depan mata.
Sosok itu selalu berhasil membuatnya rindu.
“Assalamualaikum,
Papa. Kala datang…” Kala melirik Abad yang bersimpuh di sisi lain makam, di
seberangnya. “Sama Abad, Pa.”
Abad mendengar
kalimat itu bagai pisau. Mengiris telinganya hingga sakit.
Kala merapal
doa-doa sembari memejamkan mata, Abad serempak melakukan hal yang sama.
Beberapa menit hening. Keduanya khusyuk dalam tadahan tangan masing-masing.
“Kal.” Panggil
Abad halus.
“Ya?” Kala
mendongak, menatap mata Abad lurus.
“Kamu kalah. Ayo
bicara duluan.”
Kalau saja tidak
ingat ini di pemakaman, mungkin Kala sudah memarahi Abad dengan kesal. “Baik.
Mau mulai darimana?”
“Terserah.”
Hening. Kala
menyusun kalimat demi kalimat di kepalanya. Ia sendiri sebenarnya bingung apa
yang harus dibicarakan. Bibirnya terlalu kelu untuk memulai, takut salah bicara
dan memutuskan.
“Aku minta
maaf,” akhirnya hanya itu yang mampu Kala lontarkan.
Abad diam
sejenak, ditatapnya mata Kala sekilas demi kemudian membuang pandangan ke
sembarang arah, tak sanggup membaca kesedihan yang terpapar jelas dikedua bola
mata itu. “Bukannya seharusnya aku yang bilang kaya gitu?”
Kala menggeleng
lemah. “Entahlah, Bad. Aku ngerasa aku juga punya banyak salah terhadap kamu
dan Ibu.”
Abad diam, tak
menyangkal, mencoba kembali menjadi pendengar yang baik.
“Bad, kita harus
apa? Setelah semua ini aku sendiri jadi ga yakin dengan diriku untuk terus bisa
sama-sama kamu.”
Abad terhenyak
mendengar kalimat itu. Jauh dari segala prasangkanya. Abad pikir Kala justru
ingin mempertahankan hubungan ini.
“Kal, jujur, aku
juga bingung harus apa. Di satu sisi kamu begitu aku cintai tapi disisi lain
ada Ibuku yang juga harus kuhormati.” Tanpa aba-aba Abad tak lagi mampu menahan
seluruh kata demi kata yang ia pendam sedari tadi.
Kala diam. Jauh
dalam hatinya ia juga sama terkejut. Kala juga sama berpikir bahwa Abad akan
membuatnya kembali yakin untuk menjalani hubungan ini. Kala juga sama berpikir
bahwa Abad lah yang akan memintanya mempertahankan semuanya. Tapi nyatanya? Ia
barusan bilang apa?
“Jadi?” tanya
Kala kemudian.
Abad menelan
ludah, menarik nafas berkali-kali, membuang pandang ke remahan daun yang
bertaburan, menenangkan dirinya sekuat tenaga. “Kal, aku minta maaf, tapi
sepertinya… aku harus dengar Ibuku… ngga, Kal, bukan berarti aku ga sayang sama
kamu. Hey, u know me so much yea? I love you from the deepest of my heart.”
Abad menggenggam tangan Kala yang mulai tampak gemetar. Sungguh, Abad berani
bersumpah kalimat itu begitu berat untuk ia ucapkan. “Kal, aku baru sadar
sekarang kalau kamu itu bukan porsi keluargaku. Kamu itu wanita hebat yang bisa
mendapatkan lingkungan sekitar yang lebih baik dari keluargaku. Bukan kamu yang
ga pantas untuk aku, tapi aku…”
“Bad, aku sudah
janji dengan diriku kalau aku ga akan sedih dengan apapun keputusan antara
kita, tapi ternyata… susah… aku ga kuat…” Kala mulai menitikkan air mata,
dielusnya pusara Braja dengan khidmat, genggaman tangan Abad itu tak mampu lagi
menyelaraskan hatinya, tak ada lagi ketenangan disana. “Aku sudah merasa bahwa
kita ga akan baik –baik saja. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan
terburuk tapi ternyata aku belum siap sepenuhnya.”
“Kal… ini bukan
keputusan mudah buat aku. Aku sayang, Kal, dengan kamu. Sayaaang sekali. Tapi
aku ga bisa menyiksa kamu terus dengan keadaan yang begini. Ibuku itu…” Abad menggantung
kalimatnya, tampak putus asa menjelaskan. “Kal, aku gamau buat kamu sedih dan
nangis terus. Kamu itu berhak bebas, Kal. Berhak menjadi Kala yang apa adanya.
Kala yang bahagia.”
Kala diam. Namun
air matanya terus bicara.
“Kal, selepas
ini. Aku yakin akan ada sosok yang lebih baik. Yang ga akan pernah menyakiti
kamu. Maafkan aku atas janji-janjiku yang ingkar. Aku harus memilih walaupun
pilihan ini adalah hal berat. Aku begini bukan karena aku gamau berjuang sama
kamu. Aku begini justru karena aku mencintai kamu dengan sangat dan ingin lihat
kamu bahagia, Kal.”
“Pa…” tiba-tiba
Kala bersuara pada makam Braja, “Papa dengar sendiri kan? Laki-laki yang paling
Papa percaya untuk menjaga Kala, mengingkari janjinya sendiri di depan Papa.”
Kala menghapus air matanya. “Tapi Papa tenang aja, Kala kuat, Kala pasti bisa
melalui masa-masa sulit ini.”
“Kal… aku…”
“Bad, sudah…
sudah jangan dilanjutkan… simpan saja semua kalimat yang sudah kamu rangkai.
Aku sudah cukup paham dan ga butuh penjelasan panjang lebar.” Kala bangkit
berdiri, “aku pamit, Bad. Pamit undur diri dari hidup kamu. Semoga ibumu lekas
menemukan wanita yang dia idam-idamkan untuk jadi calon menantu. Selamat
tinggal.” Kala memutar tubuhnya, berjalan cepat. Abad seketika langsung bangkit
berdiri mencoba menjegal langkah Kala, maksud hati menyampaikan permintaan
maaf, sebelum akhirnya Kala hilang dibawa taksi yang berjalan menjauh
meninggalkan Abad sendiri berdiri kaku dalam hening yang menyakitkan.
¤¤¤
Ponsel Kala
terus berdering. Menjerit meminta telepon itu lekas dijawab. Namun Kala hanya
bergeming, memandangi layar ponsel itu, membaca sebuah nama yang begitu lekat
dikepalanya. Diletakannya ponsel itu pelan untuk kesekian kali, bersamaan
dengan hatinya yang remuk ribuan kali.
Kala pikir ia
sudah siap, ia sudah mampu, namun nyatanya ia belum sampai pada tahap itu.
Segalanya terlalu indah untuk diakhiri, terlalu bahagia untuk disia-siakan.
“Kala… Kala…”
terdengar suara Lilia memanggil dari balik pintu kamar.
Kala mematung
dibalik selimut yang melingkupinya, matanya yang sembab sebab menangis sejak
kemarin sore masih belum mampu ia tutupi.
Ia hanya mampu berdiam, berpura-pura tidur rasanya lebih baik.
Tiba-tiba
terdengar suara gagang pintu dibuka. Kala terdiam. Semakin menenggelamkan
tubuhnya di dalam selimut, berharap Lilia beranjak pergi segera.
“Kal, ada Abad.”
Ucap Lilia kemudian memecah keheningan.
Bulu kuduk Kala
langsung berdiri mendengar nama itu disebut. Jantungnya berhenti berdetak
sesaat demi pada detik berikutnya sekujur tubuhnya lemas. Tak kuasa menahan
beban luka yang begitu berat.
Kala membuka
selimut dengan pelan, dan mendapati sosok itu, lelaki betubuh atletis dengan
warna kulit sawo matang itu berdiri disana, memandang Kala dengan tatapan
nanar. Menghujam Kala tepat ke dasar jurang jantungnya.
“Mama tinggal
dulu ya, lagi nyetrika di bawah.” Lilia beranjak pergi tanpa merasa berdosa.
Meninggalkan Abad dan Kala membangun sunyi diantara mereka.
Kala terdiam,
membenarkan posisi duduknya diatas ranjang, membuang pandang ke arah lain,
sengaja, tak ingin menatap Abad berlama-lama sebab Kala tahu hal itu adalah
titik terlemahnya saat ini.
Abad mendekat,
pelan tapi pasti derap langkah kakinya terdengar di telinga Kala. Jangan…
jangan mendekat… sungguh Kala tak mampu…
Abad berhenti
tepat di sisi kanan ranjang Kala, jaraknya hanya separuh meter dari tubuh Kala
yang benar-benar sudah lunglai.
“Kal, bisa
bicara kan?” tanya Abad pelan. Tanpa permisi, ia duduk di sisi Kala.
Kala dengan
sekuat tenaga, memutar arah pandangnya, menatap mata teduh itu dengan segala
rasa yang tak bisa dijabarkan. “Bicara apa lagi?”
Abad menarik tangan
Kala kemudian menggenggamnya, “Kal, aku mau kita berpisah baik-baik, bukannya
begini.”
“Bagaimana bisa
baik-baik kalau kamu meninggalkan aku saat aku sedang sayang-sayangnya?
“Lalu mau seperti apa, Kal? Apa harus menunggu sayang kita sama-sama habis karena banyaknya luka jika kita tetap dipaksakan bersama?”
“Lalu mau seperti apa, Kal? Apa harus menunggu sayang kita sama-sama habis karena banyaknya luka jika kita tetap dipaksakan bersama?”
“Tapi setidaknya
jangan tiba-tiba, Bad…”
“Lalu mau yang
bagaimana, Kal? Harus menunggu kita siap? Kamu pikir aku siap? Aku juga ga mau,
Kal, kita begini. Gamau…”
“Tapi kamu
lakukan!”
“Demi kamu…”
“Demi aku? Demi
memuaskan ego Ibumu yang super mahakuasa itu maksudmu?”
“Kala!”
Kala terhenyak,
Abad sungguh tak pernah membentaknya walau hanya sedikit. Dan sore ini… Abad…
melakukan itu… ini Abad? Sungguh? Apakah ini Abad yang Kala kenal?
“Pergi dari
rumahku sekarang!” sentak Kala, tubuhnya mendorong Abad hingga nyaris jatuh.
Abad menahan
keseimbangan tubuhnya demi sedetik kemudian memeluk Kala kencang. “Kala…
Sangkala… tenang kumohon…”
Kala terdiam,
tak kuasa meronta, tangisnya pecah seketika dalam peluk itu. Peluk yang selalu
berhasil menjadi tempat segala rasa dan asanya berpulang. “Bad… kenapa kita
kaya gini? Kenapa?...” tanya Kala rintih dalam tangisnya.
Abad mengusap
rambut Kala, lembut, menenangkan. “Kal… maafin aku… maaf… aku sayang sekali,
Kal, sama kamu. Tapi kalau aku mau lihat kamu bahagia, ini lah satu-satunya
jalan yang harus aku lakukan.”
Kala melepas
peluk itu, menatap mata Abad dalam. “Bad, kamu… kamu itu… satu-satunya orang
yang paling mengerti aku. Mengerti isi kepalaku luar dalam. Siapa sih laki-laki
normal di luar sana yang mau mengerti kesukaanku dengan pantai, dengan
lampu-lampu kota, dengan penulis favoritku dan buku-bukunya. Lelaki normal
mana, Bad, diluar sana yang mau menemani aku ke pantai nyaris setiap hari, mau
bawa aku ke perbukitan cuma buat liat lampu, berjam-jam di toko buku sama aku. Lelaki
mana, Bad, yang bisa menerima selera humorku, mengajakku bercanda pun di
saat-saat tersulit dan selalu berhasil menenangkanku dengan cara-cara luar
biasa. Lelaki normal mana diluar sana yang punya satu suara denganku tentang
alam. Kecintaan kamu dengan sawah, kue-kue pastry, ide-ide gila kamu saat kita
berdua. Semua itu selaras, Bad. Sama. Kamu itu aku. Aku itu kamu. Semua tentang
kita adalah perpaduan serasi yang gapernah aku temuin di laki-laki manapun.
Dengan kamu, Bad… cuma dengan kamu… aku bisa jadi diriku seutuhnya. Cuma di
kamu, aku menemukan laki-laki yang mencintaiku hingga hal-hal tergila dalam
diriku…” Kala menarik nafas panjang, mencoba mengatur denyut jantungnya yang
semakin melemah, “itulah kenapa… bagiku… berpisah dengan kamu itu seperti aku
kehilangan separuh diriku sendiri. Aku… gabisa…. Ga sanggup….” Tangis Kala
kembali pecah. Ia sesenggukkan sejadi-jadinya.
“Kala… kamu ga
sendiri. Aku pun merasakan hal yang sama, Kal. Kal, cuma kamu, Kal,
satu-satunya perempuan yang mau aku ajak ke sawah, menemaniku makan kue-kue Pak
Tora tanpa bosan, mau mendengar humor-humor recehku. Cuma kamu satu-satunya
perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaan, bukan
kesempurnaan. Tapi, Kal… beberapa hal di dunia ini memang di lahirkan untuk
persis seperti kita, begitu seragam, namun tak bisa untuk disatukan. Seperti
kita.” Abad mengusap pipi Kala lembut “Sangkala… kamu itu takdirku… sampai
kapanpun kamu itu tetap takdirku, ingat itu ya… takdir yang tak kuasa kupilih…”
Kala terdiam,
tangisnya berhenti, ia memandang Abad dengan sayu. Segala kesedihan itu tumpah
ruah dalam tatapan itu. “Bad… selepas ini, aku bakal benci banget sama kamu…
benci…”
“Benci aku, Kal.
Aku memang salah.” Abad menggenggam tangan Kala lagi, kesekian kali. “Tapi kamu
mau kan janji sama aku, ketika hatimu sudah berdamai dengan semua amarahmu
sebabku, kita harus bicara ya? Kita perbaiki semuanya. Kita perbaiki apa yang
rusak antara kita. Kita perbaiki semuanya sebagai dua orang yang begitu saling
mencinta dan saling melengkapi namun telah berlapang dada tak bisa saling
memiliki.”
Kala diam.
Dadanya kembali bergemuruh, siap menyurahkan tangis. Semua ini terasa pahit.
Pahit sekali hingga Kala enggan menelan ludahnya sendiri.
“Janji ya, Kal,
sama aku?”
Kala menggeleng
sekuat tenaga, tangis itu pecah lagi kesekian kali. “Aku benci kamu Abadi!
Sekarang pergi dari rumahku!”
LUKAKU TAK PERNAH SEPARAH INI
Kala berjalan
dengan langkah lunglai menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Disapanya dengan
ala kadar saja siapapun yang berpapasan dengannya. Tatapan matanya kosong,
namun isi kepalanya penuh dengan bayang-bayang luka yang masih berdenyut nyeri.
Kala tak pernah se-tak baik ini.
Kala melahap
semua list pasien dengan ogah-ogahan. Ia membaca resume penyakit seadanya saja.
Menulis penatalaksanaan dengan singkat tanpa dijabarkan. Dunia rasanya terlalu
kejam memaksa orang patah hati melakukan pekerjaan yang menguras isi kepala.
Kala sedang
merenguti list pasiennya yang masih tersisa separuh ketika pintu kaca di
hadapannya di ketuk. Diva berdiri disana dengan membawa dua gelas es kopi
ditangannya.
Kala beranjak,
membuka pintu itu, memasang senyum seadanya, “ngapain lo kesini?” tanyanya
sedikit heran, mengingat jarak rumah sakit coass Diva lumayan jauh dari rumah
sakit coass Kala.
“Jam jaga gue
abis, poli udah bubar. Gue pingin aja nyamperin lo kesini. Bawain kopi, supaya
mata lo melek biar bisa liat dunia.”
Kala menyeret
Diva keluar dari ruangannya. Mengajak gadis berambut keriting itu duduk di
bangku tunggu depan ruangan.
Kedua dokter
muda itu duduk sejajar. Kala mencomot es kopi ditangan Diva lalu meminumnya dengan cepat.
“Lo udah
keliatan baikan.” Celoteh Diva, matanya menelisik Kala dari ujung rambut hingga
ujung kaki.
“Baikan apanya?
Gue masih belum bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Kepikiran
terus.”
“Sama Abad?”
“Iya.”
“Emang dia
mikirin lo?” Diva menatap Kala tajam. Kala sampai berhenti menyeruput es
kopinya.
“Div… gue gak
pernah sebegini sakitnya.” Rasa sesak itu kembali muncul di dada Kala. Membuat
kantung air matanya kembali mendidih siap menelurkan bulir-buliran baru.
Diva menatap
Kala lurus, pandangannya matanya itu penuh dengan ketegasan membuat siapapun
yang menatapnya dipaksa untuk menurut. “Kal, lo itu perempuan terkuat yang pernah
gue kenal. Lo inget masa-masa pre-klinik kita? Mahasiswi mana, Kal, yang
sanggup seorang diri ngaduin dosennya ke dekan karena dosennya korupsi uang
buku? Mahasiswi mana, Kal, yang sanggup jadi ketua angkatan dan ketua BEM
disaat bersamaan? Mahasiswi mana, Kal, yang sanggup menghandle makalah
mikrobiologi 120 orang hanya dalam satu malam?”
Kala terdiam,
pandangannya kini beralih pada bayangannya yang terbias dari kaca pintu masuk
utama ruangannya. Ia mematuti bayangannya baik-baik sembari mencerna kalimat
demi kalimat yang Diva ucapkan.
“Kal, lo boleh
sedih, habiskan semua sedih lo itu sampe bener-bener ga bersisa, tapi plis
jangan siksa diri lo. Habiskan sedih lo itu dengan cara yang buat lo justru
jadi pribadi yang lebih baik. Lo bisa kan mengalihkan segala kesedihan lo
dengan baca buku? Lo bisa kan mengikis sedih lo sampai lupa dengan cara sibuk
ngerjain laporan-laporan rumah sakit? Kal, let’s tell me, Kala is still the old
strong Kala, the most powerful girl I ever knew.”
Kalimat itu bagai
cambuk. Memantik api semangat Kala berkobar tiba-tiba. Rasa sedih itu mulai
ikut terbakar jua. Kala tersenyum, memeluk Diva dengan begitu erat. “Div,
makasih. Gue janji Kala adalah tetap Kala. Ga berubah.”
Diva mengangguk
mantap, “oke. Sekarang lo bangun,” Diva merapikan snelli Kala yang tampak
berantakan, “lo balik ke ruangan lo, kerjain semua laporan dan list pasien
dengan semangat. Lo itu calon dokter hebat, Kal. Nyawa banyak manusia ada di
tangan lo. Jangan cuma karena laki-laki macam Abad lo jadi hancur dan ikut
ambil andil buruk buat kesehatan pasien-pasien lo.”
Kala mengangguk
sembari tersenyum, tubuhnya segera bangkit berdiri, mengisyaratkan Diva untuk
lekas pergi. Kala kembali ke ruangannya, menatap setumpuk list pasien dengan
begitu bergairah. Hei dunia, dengar ini baik baik ya! Kala memang sedang
terluka… tapi Kala tetap mempunyai mental baja paripurna… Kala takkan roboh
dengan apapun juga! Bisik batin Kala pada dirinya sendiri.
¤¤¤
Kala
menghentikan sepeda motornya di parkiran utama milik The Sawah Pastry. Tampak
beberapa motor lain memenuhi jejeran tempat parkir. Aroma pastry-pastry yang
baru saja dipanggang menyengat sekali. Membuat perut Kala menjadi lapar. Hingar
bingar dengungan suara manusia terdengar dari segala sudut. Toko kue itu tampak
cukup ramai siang ini.
Kala melangkah
masuk, mendentingkan bunyi bel di daun pintu, berhasil membuat Pak Tora
melongohkan kepalanya dari balik tirai dapur yang tertutup.
“Hei, Kala!”
sapanya dengan suara menggelegar. Senyum sumringah itu selalu saja terpampang
di wajahnya. “Kamu semakin hari semakin cantik saja hahahahahaha.”
Kala tersenyum,
mendekat sembari melihat-lihat beragam kue yang di pajang di balik etalase.
“Biasa, Pak. Strawberry Cheesecake dan cokelat hangat ya.”
Setelah memesan,
Kala berjalan, dan memilih duduk di bangku yang berada di balkon samping toko.
Pemandangan sawah menghampar luas darisana memenuhi setiap sudut bola matanya.
Kala terdiam, mengatur nafasnya, menciumi aroma sawah yang khas itu, aroma
kesukaan sesosok makhluk yang masih ia cintai dengan teramat sangat hingga
detik ini. Matanya tak berkedip, menelisik setiap jengkal sawah itu dengan
teliti, membongkar kotak-kotak kenangannya satu persatu.
“Satu strawberry
cheesecake dan segelas cokelat hangat,” Pak Tora datang, membawa pesanan Kala
diatas nampan bermotif bunga-bunga.
“Makasih, Pak.”
Kala menyeruput dengan segera cokelat hangatnya itu.
Pak Tora
berdeham, “Kala, boleh saya duduk disini sebentar?”
Kala mengangguk
mengiyakan.
“Kala, boleh
saya beritahu kamu satu hal?”
Kala menoleh,
menatap wajah pria paruh baya itu dengan bingung. Selama mengenal Pak Tora baru
kali ini Kala melihat ekspresi lelaki itu begitu tampak serius. “Ya, Pak?”
“Kala… di dunia
ini… ada hal-hal yang memang tercipta begitu indah dan tampak serasi dengan
kita, namun tak bisa kita miliki. Ibarat matahari dan bumi, serasi sekali.
Matahari butuh bumi untuk melepaskan energinya, bumi butuh matahari untuk tetap
melangsungkan kehidupan. Tapi apa bumi dan matahari saling memiliki? Apa bumi
dan matahari berdekatan? Tidak, Kala… keduanya berjarak.”
Kala terdiam,
masih belum paham makna kalimat Pak Tora. Ia bahkan tidak tahu alasan kenapa
Pak Tora tiba-tiba membicarakan hal ini.
“Kala… jika Abad
adalah Bumi, maka sungguh, ia memang mampu menyerap segala energi luar biasa
dari mataharimu. Tapi tidak dengan kedua orang tuanya,” Pak Tora diam sejenak,
berusaha memilah milih kalimat dalam kepalanya, “kedua orangtuanya terlalu
silau dengan cahaya yang kau nampakkan. Mereka butuh keteduhan seperti Bulan
mungkin.”
“Pak… maksud Pak
Tora apa?”
“Kala… jika
memang kedua orang tua Abad menyukai keteduhan Bulan yang gelap, maka biarkan.
Lepaskan. Jangan lantas justru membuat sinar mataharimu meredup. Aku berani
bertaruh masih ada banyak makhluk-makhluk lain di luar sana yang mampu menyerap
energi mataharimu dengan baik. Mampu menyeimbangimu.”
“Pak…”
“Ikhlaskan.
Matahari tak pernah butuh bantuan siapa-siapa untuk bersinar.” Pak Tora
bangkit, tersenyum. “Jangan bingung kenapa saya bisa tahu… bahkan nilai semua
mata kuliahmu di semester satu pun saya tahu, hahahahaha,” Pak Tora kembali
memasang wajah tengil nan sumringahnya. Keseriusan itu hilang tak berbekas.
“Saya kembali ke dapur ya. Ada banyak kue menunggu untuk dipanggang.” Pak Tora
berlalu, meninggalkan Kala yang duduk terdiam, tak mampu berkata apa-apa dengan
kepala yang sibuk menghayati segala perkataan Pak Tora.
¤¤¤
Dua jam lamanya,
Kala merenungi kalimat-kalimat Pak Tora dengan hati-hati. Cheesecake nya telah
lama habis. Cokelat hangatnya telah lama tandas. Namun Kala tak kunjung
bangkit. Ia masih butuh sedikit waktu lagi untuk merapikan isi kepalanya yang
mulai ia susun dengan pelan-pelan. Apa yang Pak Tora katakan barusan, ternyata
semakin memacu semangatnya untuk melenyapkan segala kegundahan.
Kala membongkar
setiap kenangan yang ia simpan. Kenangan tentang sawah, pantai, lampu-lampu
kota, taman jembatan raksasa, tempat-tempat makan yang sering ia dan Abad
kunjungi, hal-hal manis kecil yang sering Abad lakukan, ia tumpahkan segala
kisah itu. Ia keluarkan sedikit demi sedikit dari kepala. Namun enggan
memasukkannya kembali ke dalam ingatan. Kala mengilas balik semuanya sembari
tersenyum. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala tentang Abad pergi dari
hidupnya. Membiarkan kisah itu terlempar jauh diantara padi yang mulai
menghijau dihadapannya. Ia meraba hatinya sendiri, ternyata denyut luka itu sudah tak
seberapa nyeri lagi.
Kala bangkit
setelah ia merasa hatinya cukup pulih. Setelah dari The Sawah Pastry, ia
mengarahkan sepeda motornya menuju pantai di pesisir kota. Disana ia duduk
diatas pasir yang menyambut tubuhnya dengan hangat. Ditengadahkannya wajah pada
semburat mentari yang mulai menjingga. Membiarkan cahayanya menerpa wajah
hingga merasuk ke ulu hati. Kala kembali membuka kotak-kotak kenangan
itu. Menumpahkannya. Dan tak berniat memasukkannya kembali ke ingatan.
Merelakan segala kenangan itu hanyut terbawa ombak yang menerjang buas pada
bibir pantai. Semakin lama Kala dapat merasakan tubuhnya terasa ringan.
Selepas dari
pantai, ketika hari mulai gelap, Kala mengarahkan sepeda motornya ke sebuah
restoran ternama tempat ia dan Abad sering kali makan bersama. Kala
sengaja memilih meja di balkon dengan
pemandangan lampu-lampu kota. Disana Kala berdiri di pinggir pagar pembatas, ia
memberangus habis segala kenangan di kepalanya yang tersisa sedikit lagi.
Membiarkan segala kenangan itu lepas terbawa angin malam yang berputar dengan
kencang. Kala memejamkan mata, menarik nafas dalam. Merasakan denyut jantungnya
yang kembali berirama. Kala yakin, kini segala pedih itu telah lepas, segala
kenangan itu telah ia pangkas.
Kala mengambil
lilin diatas meja makannya, menatap lilin itu dengan teduh sembari
menggenggamnya kuat. “Hai, Bad. Padamlah… padamlah segala tentangmu di hidupku.
Padam dan jangan pernah berkobar lagi.” Kala meniup lilin itu dengan sekuat
tenaga dalam satu kali hembusan napas. Berakhir… berakhir sudah segala
deritanya… Kala kini telah memaafkan segalanya…
JALAN KEMBALI
“Abadi…”
Sepenggal suara
lembut tiba di telinga Abad, ia yang sedang sibuk menggambar sketsa gedung di
laboratorium kantornya kontan berhenti. Kepalanya menoleh dan mendapati Arita
berdiri di pintu masuk ruangan itu sembari menenteng dua kotak bekal makan
berukuran besar.
“Ibu…”
“Ini Ibu bawakan
makan siang untuk kamu.” Arita berjalan mendekat, lalu menyodorkan kotak bekal
makan itu pada Abad.
Abad menyernyit,
menerimanya dengan hati bertanya-tanya. Ia mencium aroma janggal atas
kedatangan Arita. “Ibu tumben banget kesini.”
“Gapapa…
sesekali Ibu mau lihat anak kesayangan Ibu kerja.” Arita mengambil kursi lalu
duduk di sebelah Abad. Dipijatinya pundak anak semata wayangnya itu dengan
lembut.
Abad mengerling
tajam, lalu melepas pijatan itu dengan pelan. “Ibu mau apa?” tembak Abad tanpa
basa-basi. Ia sudah hapal benar sifat Arita yang satu ini.
Arita berdeham,
meluruskan duduknya. “Ibu mau bicara.”
“Tentang?”
“Kamu.”
“Kamu.”
Abad mengernyit
lagi untuk kesekian kali. Diputarkannya tubuh, kembali menghadap sketsanya yang
belum selesai digambar. Tangannya kembali menggores pensil diatas
lembar-lembaran kertas strimin.
“Abad… Ibu mau
mengucapkan terimakasih karena kamu sudah mau mendengarkan Ibu. Terimakasih
telah meninggalkan Kala.”
Abad bergeming.
Mulutnya masih terkatup rapat. Tangannya terus mengukir garis demi garis tanpa
tergoyahkan.
“Ibu tahu, ini
keputusan yang berat untuk kamu. Tapi sekali lagi, Ibu hanya ingin yang terbaik
untuk kamu. Kamu anak semata wayang Ibu.” Arita memandangi punggung Abad dengan
mata berkaca-kaca. “Ibu yakin ini yang terbaik.”
Tiba-tiba Abad
menghentikan goresan tangannya, ia meletakkan pensil yang ia genggam, memutar
kursinya kembali menghadap Arita. Air mukanya itu memancarkan begitu banyak
kesedihan yang selama ini ia tahan. Ditatapnya mata Arita dengan dalam. “Bu,
kalau saja Ibu bisa rasakan rasanya jadi Abad pasti Ibu akan sedih sekali.”
Abad menarik nafas panjang, “Abad ga pernah, Bu, ketemu perempuan yang
melengkapi Abad seperti Kala melengkapi Abad. Kami satu pemikiran, memiliki
banyak kesamaan tentang hal-hal yang kami sukai. Punya selera humor yang sama. Abad
selalu berhasil menjadi Abad yang apa adanya jika bersama Kala. Seperti
teka-teki, Kala itu jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini Abad cari,
Bu. Dan berpisah dengan Kala adalah suatu hal yang sebenarnya tak pernah ingin
Abad lakukan. Tapi ini demi Ibu… Abad mengalah, Bu. Biarlah Abad yang terluka,
asalkan jangan Ibu dan Ayah.”
Arita tak mampu
lagi menahan air matanya. Ia bangkit, memeluk Abad dengan begitu kuat. “Bad…
terimakasih, maafkan Ibu dan Ayah…” Arita menghayati dengan dalam setiap detik
dalam pelukan itu. Sudah lama sekali rasanya, ia tak memeluk Abad dengan penuh
sayang. Sudah jauh sekali rasanya jarak yang ia dan Abad ciptakan belakangan
ini. Hingga Arita merasa menggapai punggung anaknya saja pun ia tak mampu lagi.
Namun detik ini, semua itu luluh. Dinding bebatuan cadas itu runtuh dalam diam
tanpa bersuara gaduh.
“Maafkan Abad
juga, Bu…” Abad membalas pelukan itu sama hangatnya. Meruntuhkan segala amarah
yang telah lama ia sarangkan dalam dada.
Arita melepas
pelukan itu, menatap mata Abad lurus dan teduh. “Sayang, Ibu punya satu permohonan
lagi padamu. Kamu masih mau kan mendengar Ibu?”
Abad mengangguk,
tak mampu menolak. Tatapan Arita terlalu magis hingga membuatnya tak berdaya.
“Kembali ke
Tita. Menikah lah dengannya. Segera.”
¤¤¤
Malam itu di
sudut sebuah pesta taman pernikahan teman sekantornya, Tita duduk termenung,
menimati teguk demi teguk sirup leci serta beberapa buah kue kacang, dengan
pandangan fokus pada penyanyi di panggung yang sedang menyanyikan sebuah lagu
sendu. Riuh redam orang-orang di sekitarnya tak membuat Tita ingin beranjak
dan bergabung. Rapat marathon serta kerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini
justru membuatnya sangat lelah dan ingin lekas pulang ke kontrakannya saja.
“Ta, kamu ga
capek duduk mulu? Bisulan ntar.” Riska, salah seorang rekan kerjanya, menghampiri
Tita di meja. Mengambil segelas cocktail sembari menegurnya.
Tita menggeleng
lemah, “aku capek, pingin pulang.”
“Yaudah, aku
kesana dulu ya.” Riska pergi dengan membawa beberapa gelas cocktail.
Tita kembali
memfokuskan pandangannya pada penyanyi di panggung yang kini tengah menyanyikan
sebuah lagu melayu. Terlalu khidmat melamun, Tita sampai terkejut sendiri
ketika merasakan ponsel yang ia letakkan di dalam tas tangannya bergetar hebat.
Tita merogoh ponsel itu demi pada detik berikutnya terkejut membaca sebuah nama
terpampang disana.
Tita sampai rela
berdiri, menjauh dari kerumunan, keluar dari gerbang taman, dan duduk di sebuah
bangku tunggu di depan gerbang. Ditatapnya nama itu lamat-lamat. Telepon itu
masih menunggu untuk diangkat.
Tita menarik nafas
berkali-kali. Menenangkan dirinya. Berpura biasa-biasa saja.
“Halo?”
“Ta?”
Tita nyaris
limbung jatuh kalau saja ia tak cepat-cepat menahan tubuhnya di sandaran kursi.
Suara itu mampu mengundang ribuan rindu bercampur luka yang langsung
menghujaminya tanpa ampun saat itu juga.
“Ta?” panggil
suara itu sekali lagi. Suara yang Tita rindukan teramat sangat sekali.
“Ya?” Tita tak
mampu berkata. Ia masih menenangkan dirinya yang tak kuasa lagi menahan beribu
macam rasa yang menggelora.
“Aku besok ke
kotamu ya.”
“Hah?”
“Iya. Aku besok ke kotamu.”
“Iya. Aku besok ke kotamu.”
“Mau ngapain?”
“Tunggu saja besok ya. Ada banyak hal penting yang harus kita bicarakan berdua.
Boleh?”
Tita menelan
ludah, ingin berkata banyak hal namun tenggorokannya serasa disumpal, “Ya.” Hanya
itu akhirnya yang mampu Tita ucapkan. Dirinya tak kuasa menolak. Ada dorongan
kuat dalam hatinya untuk melampiaskan rindu yang ada.
Tita melihat
layar ponselnya, nama itu masih terpampang disana. Detik itu juga Tita
benar-benar ingin pingsan, jantungnya menggelegak tak beraturan. Kepalanya
mendadak pusing. Ia rasanya butuh oksigen tambahan.
Tita mematikan
telepon itu segera, lalu menangis sekencang-kencangnya. Rasa cinta itu ternyata
masih tersimpan dengan rapi, dan seketika mampu diberantaki lagi hanya dalam
hitungan detik saja.
¤¤¤
Abad tiba di
terminal kota tempat Tita bekerja ketika jam menunjukkan pukul satu siang. Abad
bergegas menaiki taksi dan meluncur menuju sebuah restoran yang Tita tuliskan
di pesan singkat. Gadis itu rela meminta izin pulang lebih cepat demi menunggu
kedatangan Abad disana.
Abad terpekur
menatap jalanan kota. Ingatannya kembali membias pada kejadian demi kejadian
yang berlalu dengan begitu cepat. Tentang Kala yang sedang mencoba
diikhlaskannya. Dan tentang Tita yang sedang ia coba untuk cintai kembali. Abad
menghela nafas berulang kali. Meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan
terbaik. Dibayangkannya wajah Arita dan Wijaya yang tersenyum penuh bahagia
melepas kepergian Abad menuju kota Tita. Demi terus melihat senyum itu, mulai
saat ini Abad bersumpah rela mengorbankan segalanya. Walaupun segalanya itu
harus membuatnya terluka.
Taksi itu
berhenti di sebuah restoran kecil dengan dominasi warna abu-abu dan hitam. Pot-pot
tanaman gantung memenuhi setiap sudut restoran lengkap dengan wewangian yang
menenangkan. Alunan musik klasik pun tak luput samar terdengar dari dalam. Abad
menelan ludah, menghentikan langkahnya tepat di depan pintu masuk, menenangkan
dirinya sejenak, meyakinkan dirinya bahwa ia akan mampu, ia akan bisa melakukan
ini semua.
Abad melangkah
masuk, pelan, matanya meneliti satu persatu wajah pengunjung dan berhasil
menemukan Tita tengah duduk sembari memainkan ponselnya tepat di meja yang
berada di tengah ruangan. Abad bergegas membenahi sikapnya, ia harus tampak
biasa saja.
“Hai, Ta.”
Gadis berbaju
kuning kunyit itu mendongak. Kemudian tersenyum simpul. “Hai.” Tita berusaha
bersikap sebiasa mungkin, mengendalikan emosi liarnya secara mati-matian. Sungguh
detik ini, melihat sosok itu duduk di hadapannya Tita begitu ingin berlari
kemudian mendekap Abad dan menangis di pundaknya sebab rindu. Rindu yang telah
lama ia pupuk dengan begitu subur.
“Maaf kalau
lama.” Abad mengambil buku menu, berusaha mengalihkan konsentrasinya, “sudah
pesan?”
Tita mengangguk.
“Sudah.”
Abad memanggil
pelayan, kemudian segera memesan beberapa jenis makanan serta minuman dengan
cepat. Selepas pelayan itu pergi, tanpa basa-basi ditiliknya kedua bola mata
Tita dengan dalam.
“Kamu apa kabar,
Ta?”
“Baik.” Tita
mengaduk-ngaduk minumannya, menghilangkan canggung yang menyemai di dada. “Kamu?”
“Baik.”
Hening. Tita tak
tau mau berucap apa. Sementara itu Abad tak tahu ingin membahas segalanya
darimana.
“Ta…” panggil
Abad kemudian, setelah berhasil merangkai pertanyaan demi pertanyaan yang siap
ia lontarkan.
“Ya?”
“Gimana kamu
sama teman kantormu itu? Masih pacaran?”
Kala mengernyit,
kemudian tertawa kecil. “Denish?”
“Mungkin… aku
gatau namanya. Pokoknya yang waktu itu…”
“Iya iya itu
Denish,” Tita meluruskan duduknya. “Bahkan kamu mengira aku pacaran dengan dia
begitu ya?”
Abad mengangguk.
“Itulah, Bad,
kenapa di dalam hidup ini kita diajarkan untuk berkepala dingin dan mendengarkan
penjelasan orang lain terlebih dahulu sebelum menyimpulkan segala sesuatunya.”
Tita tersenyum. Abad melihat hal itu sebagai sesuatu yang tak berubah. Tita tetaplah
Tita, yang teguh dalam teduh seberkecamuk apapun suasana hatinya. “Aku gapernah
pacaran sama Denish. Cinta pun enggak. Dia memang menyatakan cintanya ke aku di
hari itu. Tapi aku tolak. Soal pelukan itu… ya akui aku salah, aku ga langsung
melepas pelukan itu ketika dia tiba-tiba memeluk. Tapi Demi Tuhan, pelukan itu
ga bermakna apa-apa.”
Abad terdiam,
sekian lamanya, berbulan-bulan sejak kejadian itu berlalu dan baru sekarang ia
memberikan Tita kesempatan menjelaskan. Abad membodohi dirinya sendiri dalam hati,
betapa egoisnya ia selama ini.
“Kalau kamu
gimana sama Sangkala? Pacarmu yang sering nemenin kamu jalan-jalan naik gunung
itu,” Tita mencomot sesendok eskrim dari gelasnya, pertanyaan barusan
membuatnya harus kembali mendinginkan kepala.
“Udah putus,”
jawab Abad singat, datar, tanpa ekspresi apapun.
Tita terkejut,
namun tetap menampakkan air muka biasa saja. “Kenapa? Bukannya kamu cocok ya
sama dia? Hobinya sama.”
Abad terdiam
sejenak, matanya masih beradu dengan mata Tita yang mengilatkan rasa penasaran
yang begitu kentara. “Ta… izinkan aku jujur sama kamu. Aku akui Kala itu sangat
melengkapi hidupku. Dengan dia aku bisa menjalani kegiatan apapun karena isi
kepala kami satu. Tapi, Ta, hubungan yang baik adalah ketika keduanya mampu
diterima di segala posisi. Aku bisa menerima Kala. Sangat. Segala tentang Kala
menyatu sekali dengan jiwaku. Tapi tidak dengan kedua orangtuaku, Ta.”
Tita diam,
tangannya sibuk mengaduk-ngaduk kentang goreng dengan saus, tanpa enggan
melahapnya.
“Kala itu sosok
manusia yang memang mampu menjadi kepingan terakhir dari puzzle-ku. Tapi aku
lupa, hidupku bukan tentang puzzle-ku saja, Ta. Orangtuaku juga memiliki
puzzle-nya masing-masing. Aku rasa aku tidak boleh egois dengan hanya
melengkapi milikku tapi tidak dengan kedua orangtuaku. Untuk itu aku memutuskan
untuk kembali pada sosok yang kurasa mampu melengkapi segalanya. Tak hanya aku,
tapi keluargaku juga.”
“Maksud kamu?”
“Ta, Ibu dan
Ayah, sampai detik ini tidak pernah mau dan tidak pernah mampu menggantikan
posisi kamu di hati mereka. Cuma kamu satu-satunya wanita yang mereka restui
untuk bersanding denganku. Ta… izinkan aku membahagiakan mereka melaluimu.”
Tita tercengang,
dahinya berkerut berkali-kali lipat. Ia masih belum memahami segala perkataan
Abad.
“Ta, izinkan aku
belajar mencintaimu sekali lagi. Izinkan aku memperbaiki kesalahan-kesalahanku
yang dulu. Aku ingin menjadikanmu kepingan puzzle terakhir hidupku. Pelengkap dan
penyempurna segalanya.”
“Bad…”
“Jika Kala
adalah sosok pelengkap yang tak kuasa ku pilih, maka aku ingin kamu menjadi
sosok yang kuasa ku pilih. Dan ku harap kamu memilihku juga.” Abad menggenggam
tangan Tita, lembut. “Ta, maafkan aku. Beri aku satu kali lagi kesempatan. Ini bukan
hanya demiku, Ta. Tapi demi Ibuku demi Ayahku.”
Tita tercekat. Tenggorokannya
begitu ingin bersuara namun tak mampu jua. Matanya berkaca-kaca. Apa yang tersaji
di hadapannya saat ini bagaikan mimpi yang telah lama ia elu-elukan.
Abad merogoh
saku kemejanya, mengeluarkan sebuah kotak cincin, lalu menyingkap tutupnya. Darisana,
menyembul lah sebuah cincin berwarna perak dengan permata kecil sebagai
mahkotanya. “Ta, maukah kamu menjadi wanita yang kupeluk di setiap malam
menjelang tidurku?”
BERSAMBUNG....