Minggu, 14 Oktober 2018

Mengabadikan Kala part VIII


DEMI KITA BERSAMA

Gedung perpustakaan Universitas itu tampak sepi. Hanya ada satu dua mahasiswa yang mondar-mandir keluar-masuk dari pintu utama. Di sudut perpustakaan tampak parkiran kendaraan pun mulai kosong. Siang beranjak semakin naik, hampir separuh isi kampus sudah pulang kerumah masing-masing.
Abad berdiri disana, bersandar di salah satu tiang raksasa penyangga. Matanya menatap teduh pada awan yang berarak, berharap mendapatkan ketenangan sendiri dari segala yang bisa ia pandang. Wajahnya memang tampak tak apa, namun Abad tahu pasti hatinya nyaris pecah belah sendiri saat ini.
“Hai.”
Suara lembut itu menyapa telinga Abad di waktu yang tepat. Dadanya nyaris membuncah menumpahkan rindu, namun saat ini segalanya ia tahan setengah mati.
“Hai, Kal.” Abad tak mampu lagi mengelak, matanya dibuat setengah mati jatuh hati melihat Kala yang semakin cantik setiap hari.
Keduanya bagai sepasang yang baru saja bertemu untuk pertama kali, canggung, kaku serta senyum datar itu terasa begitu kental.
Kala ikut menyandarkan tubuhnya pada tiang penyangga gedung, sejajar dengan Abad. Matanya menyauh jauh pada lampu-lampu taman kampus yang tampak bergelayut manja disela pepohonan.
“Kamu sehat?” Tanya Abad membuka pembicaraan.
Kala mengangguk, tanpa menoleh sedikitpun. Berbagai macam perasaan sedang beradu di dalam kepalanya. “Sehat. Kamu?”
“Sehat.”
Hening.
“Gimana kerjaan kamu?”
Abad mengangkat bahu, “gitu-gitu aja. Gimana co-ass kamu?”
“Gitu-gitu aja juga.”
Keduanya seketika saling pandang, lalu tertawa bersama. Tawa canggung tidak seperti biasanya.
“Jadi siapa duluan yang mau bicara?” tanya Abad kemudian.
“Kamu.”
“Gimana kalau kamu? Kan perempuan selalu minta di dahulukan.”
“Tapi aku bukan seperti perempuan kebanyakan.” Kala tersenyum kecil. Tatapannya ia hempaskan pada langit yang mulai mendung.
Iya, Kal, kamu benar, kamu memang tak pernah sama dengan wanita manapun. Abad membenarkan sendiri pernyataan itu dalam hati.
“Oke. Biar adil kita lomba aja. Yang kalah ngomong duluan.” Usul Abad kemudian.
Kala mengernyit, lelaki ini selalu saja memiliki isi kepala yang begitu abstrak. Kala ingin menolak namun tak ingin terlihat seperti pecundang. “Boleh. Mau lomba apa?”
“Lari.”
“Ke?”
“Sejauh-jauhnya sampai salah satu diantara kita capek.”
Kala tergelak. “Kamu mau ngajak lomba apa mau ngajak aku bunuh diri?”
“Ah lama… kita mulai ya… 1 2 3…” dengan aba-aba yang ia buat sendiri, Abad mulai berlari, meninggalkan Kala yang masih terdiam di belakang dengan wajah bingung.
“Hey tunggu! Dasar curang!” Kala mulai ikut berlari, menyusul Abad yang mengunggulinya beberapa meter di depan. Kala menghitung denyut jantungnya sendiri. Debar itu, bukan sebab lari yang ia lakukan, debar itu terasa pahit, perasaannya seolah berbisik bagai pertanda bahwa hari ini akan ada sesuatu yang membuatnya berduka.

¤¤¤

Abad dan Kala baru berhenti berlari ketika langkah mereka memasuki areal pemakaman kota yang terletak nyaris satu kilometer dari kampus. Keduanya terduduk bersama di trotoar, kelelahan, sembari menyelonjorkan kaki masing-masing.
“Curang kamu! Gimana ga menang, kamu mulai duluan!”
Abad terpingkal-pingkal melihat ekspresi Kala yang memelototinya dengan wajah sebal. Menggemaskan sekali. “Aku yang menang ya. Berarti kamu yang bicara duluan.” Tembak Abad langsung.
Kala tampak celingukan, tidak fokus pada apa yang Abad katakan. “Ini pemakaman kota kan? Temenin aku yuk ziarah tempat Papa. Mumpung lewat.”
Abad terdiam, mendengar kata ‘Papa’ mendadak hatinya menjadi perih sendiri. Lelaki itu, Braja Pramudya nan baik hati itu adalah salah satu lelaki terbaik yang pernah ia kenal. Salah satu alasan kuat mengapa ia begitu berhati-hati menjaga Kala.
“Boleh.” Abad tak kuasa menolak.
Sepasang manusia itu pun melangkah masuk ke areal pemakaman dengan hati-hati. Kala tak kuasa menahan gerimis di matanya ketika pusara Braja mulai tampak di depan mata. Sosok itu selalu berhasil membuatnya rindu.
“Assalamualaikum, Papa. Kala datang…” Kala melirik Abad yang bersimpuh di sisi lain makam, di seberangnya. “Sama Abad, Pa.”
Abad mendengar kalimat itu bagai pisau. Mengiris telinganya hingga sakit.
Kala merapal doa-doa sembari memejamkan mata, Abad serempak melakukan hal yang sama. Beberapa menit hening. Keduanya khusyuk dalam tadahan tangan masing-masing.
“Kal.” Panggil Abad halus.
“Ya?” Kala mendongak, menatap mata Abad lurus.
“Kamu kalah. Ayo bicara duluan.”
Kalau saja tidak ingat ini di pemakaman, mungkin Kala sudah memarahi Abad dengan kesal. “Baik. Mau mulai darimana?”
“Terserah.”
Hening. Kala menyusun kalimat demi kalimat di kepalanya. Ia sendiri sebenarnya bingung apa yang harus dibicarakan. Bibirnya terlalu kelu untuk memulai, takut salah bicara dan memutuskan.
“Aku minta maaf,” akhirnya hanya itu yang mampu Kala lontarkan.
Abad diam sejenak, ditatapnya mata Kala sekilas demi kemudian membuang pandangan ke sembarang arah, tak sanggup membaca kesedihan yang terpapar jelas dikedua bola mata itu. “Bukannya seharusnya aku yang bilang kaya gitu?”
Kala menggeleng lemah. “Entahlah, Bad. Aku ngerasa aku juga punya banyak salah terhadap kamu dan Ibu.”
Abad diam, tak menyangkal, mencoba kembali menjadi pendengar yang baik.
“Bad, kita harus apa? Setelah semua ini aku sendiri jadi ga yakin dengan diriku untuk terus bisa sama-sama kamu.”
Abad terhenyak mendengar kalimat itu. Jauh dari segala prasangkanya. Abad pikir Kala justru ingin mempertahankan hubungan ini.
“Kal, jujur, aku juga bingung harus apa. Di satu sisi kamu begitu aku cintai tapi disisi lain ada Ibuku yang juga harus kuhormati.” Tanpa aba-aba Abad tak lagi mampu menahan seluruh kata demi kata yang ia pendam sedari tadi.
Kala diam. Jauh dalam hatinya ia juga sama terkejut. Kala juga sama berpikir bahwa Abad akan membuatnya kembali yakin untuk menjalani hubungan ini. Kala juga sama berpikir bahwa Abad lah yang akan memintanya mempertahankan semuanya. Tapi nyatanya? Ia barusan bilang apa?
“Jadi?” tanya Kala kemudian.
Abad menelan ludah, menarik nafas berkali-kali, membuang pandang ke remahan daun yang bertaburan, menenangkan dirinya sekuat tenaga. “Kal, aku minta maaf, tapi sepertinya… aku harus dengar Ibuku… ngga, Kal, bukan berarti aku ga sayang sama kamu. Hey, u know me so much yea? I love you from the deepest of my heart.” Abad menggenggam tangan Kala yang mulai tampak gemetar. Sungguh, Abad berani bersumpah kalimat itu begitu berat untuk ia ucapkan. “Kal, aku baru sadar sekarang kalau kamu itu bukan porsi keluargaku. Kamu itu wanita hebat yang bisa mendapatkan lingkungan sekitar yang lebih baik dari keluargaku. Bukan kamu yang ga pantas untuk aku, tapi aku…”
“Bad, aku sudah janji dengan diriku kalau aku ga akan sedih dengan apapun keputusan antara kita, tapi ternyata… susah… aku ga kuat…” Kala mulai menitikkan air mata, dielusnya pusara Braja dengan khidmat, genggaman tangan Abad itu tak mampu lagi menyelaraskan hatinya, tak ada lagi ketenangan disana. “Aku sudah merasa bahwa kita ga akan baik –baik saja. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk tapi ternyata aku belum siap sepenuhnya.”
“Kal… ini bukan keputusan mudah buat aku. Aku sayang, Kal, dengan kamu. Sayaaang sekali. Tapi aku ga bisa menyiksa kamu terus dengan keadaan yang begini. Ibuku itu…” Abad menggantung kalimatnya, tampak putus asa menjelaskan. “Kal, aku gamau buat kamu sedih dan nangis terus. Kamu itu berhak bebas, Kal. Berhak menjadi Kala yang apa adanya. Kala yang bahagia.”
Kala diam. Namun air matanya terus bicara.
“Kal, selepas ini. Aku yakin akan ada sosok yang lebih baik. Yang ga akan pernah menyakiti kamu. Maafkan aku atas janji-janjiku yang ingkar. Aku harus memilih walaupun pilihan ini adalah hal berat. Aku begini bukan karena aku gamau berjuang sama kamu. Aku begini justru karena aku mencintai kamu dengan sangat dan ingin lihat kamu bahagia, Kal.”
“Pa…” tiba-tiba Kala bersuara pada makam Braja, “Papa dengar sendiri kan? Laki-laki yang paling Papa percaya untuk menjaga Kala, mengingkari janjinya sendiri di depan Papa.” Kala menghapus air matanya. “Tapi Papa tenang aja, Kala kuat, Kala pasti bisa melalui masa-masa sulit ini.”
“Kal… aku…”
“Bad, sudah… sudah jangan dilanjutkan… simpan saja semua kalimat yang sudah kamu rangkai. Aku sudah cukup paham dan ga butuh penjelasan panjang lebar.” Kala bangkit berdiri, “aku pamit, Bad. Pamit undur diri dari hidup kamu. Semoga ibumu lekas menemukan wanita yang dia idam-idamkan untuk jadi calon menantu. Selamat tinggal.” Kala memutar tubuhnya, berjalan cepat. Abad seketika langsung bangkit berdiri mencoba menjegal langkah Kala, maksud hati menyampaikan permintaan maaf, sebelum akhirnya Kala hilang dibawa taksi yang berjalan menjauh meninggalkan Abad sendiri berdiri kaku dalam hening yang menyakitkan.

¤¤¤

Ponsel Kala terus berdering. Menjerit meminta telepon itu lekas dijawab. Namun Kala hanya bergeming, memandangi layar ponsel itu, membaca sebuah nama yang begitu lekat dikepalanya. Diletakannya ponsel itu pelan untuk kesekian kali, bersamaan dengan hatinya yang remuk ribuan kali.
Kala pikir ia sudah siap, ia sudah mampu, namun nyatanya ia belum sampai pada tahap itu. Segalanya terlalu indah untuk diakhiri, terlalu bahagia untuk disia-siakan.
“Kala… Kala…” terdengar suara Lilia memanggil dari balik pintu kamar.
Kala mematung dibalik selimut yang melingkupinya, matanya yang sembab sebab menangis sejak kemarin sore masih belum mampu ia tutupi.  Ia hanya mampu berdiam, berpura-pura tidur rasanya lebih baik.
Tiba-tiba terdengar suara gagang pintu dibuka. Kala terdiam. Semakin menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut, berharap Lilia beranjak pergi segera.
“Kal, ada Abad.” Ucap Lilia kemudian memecah keheningan.
Bulu kuduk Kala langsung berdiri mendengar nama itu disebut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat demi pada detik berikutnya sekujur tubuhnya lemas. Tak kuasa menahan beban luka yang begitu berat.
Kala membuka selimut dengan pelan, dan mendapati sosok itu, lelaki betubuh atletis dengan warna kulit sawo matang itu berdiri disana, memandang Kala dengan tatapan nanar. Menghujam Kala tepat ke dasar jurang jantungnya.
“Mama tinggal dulu ya, lagi nyetrika di bawah.” Lilia beranjak pergi tanpa merasa berdosa. Meninggalkan Abad dan Kala membangun sunyi diantara mereka.
Kala terdiam, membenarkan posisi duduknya diatas ranjang, membuang pandang ke arah lain, sengaja, tak ingin menatap Abad berlama-lama sebab Kala tahu hal itu adalah titik terlemahnya saat ini.
Abad mendekat, pelan tapi pasti derap langkah kakinya terdengar di telinga Kala. Jangan… jangan mendekat… sungguh Kala tak mampu…
Abad berhenti tepat di sisi kanan ranjang Kala, jaraknya hanya separuh meter dari tubuh Kala yang benar-benar sudah lunglai.
“Kal, bisa bicara kan?” tanya Abad pelan. Tanpa permisi, ia duduk di sisi Kala.
Kala dengan sekuat tenaga, memutar arah pandangnya, menatap mata teduh itu dengan segala rasa yang tak bisa dijabarkan. “Bicara apa lagi?”
Abad menarik tangan Kala kemudian menggenggamnya, “Kal, aku mau kita berpisah baik-baik, bukannya begini.”
“Bagaimana bisa baik-baik kalau kamu meninggalkan aku saat aku sedang sayang-sayangnya?
“Lalu mau seperti apa, Kal? Apa harus menunggu sayang kita sama-sama habis karena banyaknya luka jika kita tetap dipaksakan bersama?”
“Tapi setidaknya jangan tiba-tiba, Bad…”
“Lalu mau yang bagaimana, Kal? Harus menunggu kita siap? Kamu pikir aku siap? Aku juga ga mau, Kal, kita begini. Gamau…”
“Tapi kamu lakukan!”
“Demi kamu…”
“Demi aku? Demi memuaskan ego Ibumu yang super mahakuasa itu maksudmu?”
“Kala!”
Kala terhenyak, Abad sungguh tak pernah membentaknya walau hanya sedikit. Dan sore ini… Abad… melakukan itu… ini Abad? Sungguh? Apakah ini Abad yang Kala kenal?
“Pergi dari rumahku sekarang!” sentak Kala, tubuhnya mendorong Abad hingga nyaris jatuh.
Abad menahan keseimbangan tubuhnya demi sedetik kemudian memeluk Kala kencang. “Kala… Sangkala… tenang kumohon…”
Kala terdiam, tak kuasa meronta, tangisnya pecah seketika dalam peluk itu. Peluk yang selalu berhasil menjadi tempat segala rasa dan asanya berpulang. “Bad… kenapa kita kaya gini? Kenapa?...” tanya Kala rintih dalam tangisnya.
Abad mengusap rambut Kala, lembut, menenangkan. “Kal… maafin aku… maaf… aku sayang sekali, Kal, sama kamu. Tapi kalau aku mau lihat kamu bahagia, ini lah satu-satunya jalan yang harus aku lakukan.”
Kala melepas peluk itu, menatap mata Abad dalam. “Bad, kamu… kamu itu… satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Mengerti isi kepalaku luar dalam. Siapa sih laki-laki normal di luar sana yang mau mengerti kesukaanku dengan pantai, dengan lampu-lampu kota, dengan penulis favoritku dan buku-bukunya. Lelaki normal mana, Bad, diluar sana yang mau menemani aku ke pantai nyaris setiap hari, mau bawa aku ke perbukitan cuma buat liat lampu, berjam-jam di toko buku sama aku. Lelaki mana, Bad, yang bisa menerima selera humorku, mengajakku bercanda pun di saat-saat tersulit dan selalu berhasil menenangkanku dengan cara-cara luar biasa. Lelaki normal mana diluar sana yang punya satu suara denganku tentang alam. Kecintaan kamu dengan sawah, kue-kue pastry, ide-ide gila kamu saat kita berdua. Semua itu selaras, Bad. Sama. Kamu itu aku. Aku itu kamu. Semua tentang kita adalah perpaduan serasi yang gapernah aku temuin di laki-laki manapun. Dengan kamu, Bad… cuma dengan kamu… aku bisa jadi diriku seutuhnya. Cuma di kamu, aku menemukan laki-laki yang mencintaiku hingga hal-hal tergila dalam diriku…” Kala menarik nafas panjang, mencoba mengatur denyut jantungnya yang semakin melemah, “itulah kenapa… bagiku… berpisah dengan kamu itu seperti aku kehilangan separuh diriku sendiri. Aku… gabisa…. Ga sanggup….” Tangis Kala kembali pecah. Ia sesenggukkan sejadi-jadinya.
“Kala… kamu ga sendiri. Aku pun merasakan hal yang sama, Kal. Kal, cuma kamu, Kal, satu-satunya perempuan yang mau aku ajak ke sawah, menemaniku makan kue-kue Pak Tora tanpa bosan, mau mendengar humor-humor recehku. Cuma kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaan, bukan kesempurnaan. Tapi, Kal… beberapa hal di dunia ini memang di lahirkan untuk persis seperti kita, begitu seragam, namun tak bisa untuk disatukan. Seperti kita.” Abad mengusap pipi Kala lembut “Sangkala… kamu itu takdirku… sampai kapanpun kamu itu tetap takdirku, ingat itu ya… takdir yang tak kuasa kupilih…”
Kala terdiam, tangisnya berhenti, ia memandang Abad dengan sayu. Segala kesedihan itu tumpah ruah dalam tatapan itu. “Bad… selepas ini, aku bakal benci banget sama kamu… benci…”
“Benci aku, Kal. Aku memang salah.” Abad menggenggam tangan Kala lagi, kesekian kali. “Tapi kamu mau kan janji sama aku, ketika hatimu sudah berdamai dengan semua amarahmu sebabku, kita harus bicara ya? Kita perbaiki semuanya. Kita perbaiki apa yang rusak antara kita. Kita perbaiki semuanya sebagai dua orang yang begitu saling mencinta dan saling melengkapi namun telah berlapang dada tak bisa saling memiliki.”
Kala diam. Dadanya kembali bergemuruh, siap menyurahkan tangis. Semua ini terasa pahit. Pahit sekali hingga Kala enggan menelan ludahnya sendiri.
“Janji ya, Kal, sama aku?”
Kala menggeleng sekuat tenaga, tangis itu pecah lagi kesekian kali. “Aku benci kamu Abadi! Sekarang pergi dari rumahku!”


LUKAKU TAK PERNAH SEPARAH INI

Kala berjalan dengan langkah lunglai menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Disapanya dengan ala kadar saja siapapun yang berpapasan dengannya. Tatapan matanya kosong, namun isi kepalanya penuh dengan bayang-bayang luka yang masih berdenyut nyeri. Kala tak pernah se-tak baik ini.
Kala melahap semua list pasien dengan ogah-ogahan. Ia membaca resume penyakit seadanya saja. Menulis penatalaksanaan dengan singkat tanpa dijabarkan. Dunia rasanya terlalu kejam memaksa orang patah hati melakukan pekerjaan yang menguras isi kepala.
Kala sedang merenguti list pasiennya yang masih tersisa separuh ketika pintu kaca di hadapannya di ketuk. Diva berdiri disana dengan membawa dua gelas es kopi ditangannya.
Kala beranjak, membuka pintu itu, memasang senyum seadanya, “ngapain lo kesini?” tanyanya sedikit heran, mengingat jarak rumah sakit coass Diva lumayan jauh dari rumah sakit coass Kala.
“Jam jaga gue abis, poli udah bubar. Gue pingin aja nyamperin lo kesini. Bawain kopi, supaya mata lo melek biar bisa liat dunia.”
Kala menyeret Diva keluar dari ruangannya. Mengajak gadis berambut keriting itu duduk di bangku tunggu depan ruangan.
Kedua dokter muda itu duduk sejajar. Kala mencomot es kopi ditangan Diva lalu meminumnya dengan cepat.
“Lo udah keliatan baikan.” Celoteh Diva, matanya menelisik Kala dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Baikan apanya? Gue masih belum bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Kepikiran terus.”
“Sama Abad?”
“Iya.”
“Emang dia mikirin lo?” Diva menatap Kala tajam. Kala sampai berhenti menyeruput es kopinya.
“Div… gue gak pernah sebegini sakitnya.” Rasa sesak itu kembali muncul di dada Kala. Membuat kantung air matanya kembali mendidih siap menelurkan bulir-buliran baru.
Diva menatap Kala lurus, pandangannya matanya itu penuh dengan ketegasan membuat siapapun yang menatapnya dipaksa untuk menurut. “Kal, lo itu perempuan terkuat yang pernah gue kenal. Lo inget masa-masa pre-klinik kita? Mahasiswi mana, Kal, yang sanggup seorang diri ngaduin dosennya ke dekan karena dosennya korupsi uang buku? Mahasiswi mana, Kal, yang sanggup jadi ketua angkatan dan ketua BEM disaat bersamaan? Mahasiswi mana, Kal, yang sanggup menghandle makalah mikrobiologi 120 orang hanya dalam satu malam?”
Kala terdiam, pandangannya kini beralih pada bayangannya yang terbias dari kaca pintu masuk utama ruangannya. Ia mematuti bayangannya baik-baik sembari mencerna kalimat demi kalimat yang Diva ucapkan.
“Kal, lo boleh sedih, habiskan semua sedih lo itu sampe bener-bener ga bersisa, tapi plis jangan siksa diri lo. Habiskan sedih lo itu dengan cara yang buat lo justru jadi pribadi yang lebih baik. Lo bisa kan mengalihkan segala kesedihan lo dengan baca buku? Lo bisa kan mengikis sedih lo sampai lupa dengan cara sibuk ngerjain laporan-laporan rumah sakit? Kal, let’s tell me, Kala is still the old strong Kala, the most powerful girl I ever knew.”
Kalimat itu bagai cambuk. Memantik api semangat Kala berkobar tiba-tiba. Rasa sedih itu mulai ikut terbakar jua. Kala tersenyum, memeluk Diva dengan begitu erat. “Div, makasih. Gue janji Kala adalah tetap Kala. Ga berubah.”
Diva mengangguk mantap, “oke. Sekarang lo bangun,” Diva merapikan snelli Kala yang tampak berantakan, “lo balik ke ruangan lo, kerjain semua laporan dan list pasien dengan semangat. Lo itu calon dokter hebat, Kal. Nyawa banyak manusia ada di tangan lo. Jangan cuma karena laki-laki macam Abad lo jadi hancur dan ikut ambil andil buruk buat kesehatan pasien-pasien lo.”
Kala mengangguk sembari tersenyum, tubuhnya segera bangkit berdiri, mengisyaratkan Diva untuk lekas pergi. Kala kembali ke ruangannya, menatap setumpuk list pasien dengan begitu bergairah. Hei dunia, dengar ini baik baik ya! Kala memang sedang terluka… tapi Kala tetap mempunyai mental baja paripurna… Kala takkan roboh dengan apapun juga! Bisik batin Kala pada dirinya sendiri.

¤¤¤

Kala menghentikan sepeda motornya di parkiran utama milik The Sawah Pastry. Tampak beberapa motor lain memenuhi jejeran tempat parkir. Aroma pastry-pastry yang baru saja dipanggang menyengat sekali. Membuat perut Kala menjadi lapar. Hingar bingar dengungan suara manusia terdengar dari segala sudut. Toko kue itu tampak cukup ramai siang ini.
Kala melangkah masuk, mendentingkan bunyi bel di daun pintu, berhasil membuat Pak Tora melongohkan kepalanya dari balik tirai dapur yang tertutup.
“Hei, Kala!” sapanya dengan suara menggelegar. Senyum sumringah itu selalu saja terpampang di wajahnya. “Kamu semakin hari semakin cantik saja hahahahahaha.”
Kala tersenyum, mendekat sembari melihat-lihat beragam kue yang di pajang di balik etalase. “Biasa, Pak. Strawberry Cheesecake dan cokelat hangat ya.”
Setelah memesan, Kala berjalan, dan memilih duduk di bangku yang berada di balkon samping toko. Pemandangan sawah menghampar luas darisana memenuhi setiap sudut bola matanya. Kala terdiam, mengatur nafasnya, menciumi aroma sawah yang khas itu, aroma kesukaan sesosok makhluk yang masih ia cintai dengan teramat sangat hingga detik ini. Matanya tak berkedip, menelisik setiap jengkal sawah itu dengan teliti, membongkar kotak-kotak kenangannya satu persatu.
“Satu strawberry cheesecake dan segelas cokelat hangat,” Pak Tora datang, membawa pesanan Kala diatas nampan bermotif bunga-bunga.
“Makasih, Pak.” Kala menyeruput dengan segera cokelat hangatnya itu.
Pak Tora berdeham, “Kala, boleh saya duduk disini sebentar?”
Kala mengangguk mengiyakan.
“Kala, boleh saya beritahu kamu satu hal?”
Kala menoleh, menatap wajah pria paruh baya itu dengan bingung. Selama mengenal Pak Tora baru kali ini Kala melihat ekspresi lelaki itu begitu tampak serius. “Ya, Pak?”
“Kala… di dunia ini… ada hal-hal yang memang tercipta begitu indah dan tampak serasi dengan kita, namun tak bisa kita miliki. Ibarat matahari dan bumi, serasi sekali. Matahari butuh bumi untuk melepaskan energinya, bumi butuh matahari untuk tetap melangsungkan kehidupan. Tapi apa bumi dan matahari saling memiliki? Apa bumi dan matahari berdekatan? Tidak, Kala… keduanya berjarak.”
Kala terdiam, masih belum paham makna kalimat Pak Tora. Ia bahkan tidak tahu alasan kenapa Pak Tora tiba-tiba membicarakan hal ini.
“Kala… jika Abad adalah Bumi, maka sungguh, ia memang mampu menyerap segala energi luar biasa dari mataharimu. Tapi tidak dengan kedua orang tuanya,” Pak Tora diam sejenak, berusaha memilah milih kalimat dalam kepalanya, “kedua orangtuanya terlalu silau dengan cahaya yang kau nampakkan. Mereka butuh keteduhan seperti Bulan mungkin.”
“Pak… maksud Pak Tora apa?”
“Kala… jika memang kedua orang tua Abad menyukai keteduhan Bulan yang gelap, maka biarkan. Lepaskan. Jangan lantas justru membuat sinar mataharimu meredup. Aku berani bertaruh masih ada banyak makhluk-makhluk lain di luar sana yang mampu menyerap energi mataharimu dengan baik. Mampu menyeimbangimu.”
“Pak…”
“Ikhlaskan. Matahari tak pernah butuh bantuan siapa-siapa untuk bersinar.” Pak Tora bangkit, tersenyum. “Jangan bingung kenapa saya bisa tahu… bahkan nilai semua mata kuliahmu di semester satu pun saya tahu, hahahahaha,” Pak Tora kembali memasang wajah tengil nan sumringahnya. Keseriusan itu hilang tak berbekas. “Saya kembali ke dapur ya. Ada banyak kue menunggu untuk dipanggang.” Pak Tora berlalu, meninggalkan Kala yang duduk terdiam, tak mampu berkata apa-apa dengan kepala yang sibuk menghayati segala perkataan Pak Tora.

¤¤¤

Dua jam lamanya, Kala merenungi kalimat-kalimat Pak Tora dengan hati-hati. Cheesecake nya telah lama habis. Cokelat hangatnya telah lama tandas. Namun Kala tak kunjung bangkit. Ia masih butuh sedikit waktu lagi untuk merapikan isi kepalanya yang mulai ia susun dengan pelan-pelan. Apa yang Pak Tora katakan barusan, ternyata semakin memacu semangatnya untuk melenyapkan segala kegundahan.
Kala membongkar setiap kenangan yang ia simpan. Kenangan tentang sawah, pantai, lampu-lampu kota, taman jembatan raksasa, tempat-tempat makan yang sering ia dan Abad kunjungi, hal-hal manis kecil yang sering Abad lakukan, ia tumpahkan segala kisah itu. Ia keluarkan sedikit demi sedikit dari kepala. Namun enggan memasukkannya kembali ke dalam ingatan. Kala mengilas balik semuanya sembari tersenyum. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala tentang Abad pergi dari hidupnya. Membiarkan kisah itu terlempar jauh diantara padi yang mulai menghijau dihadapannya. Ia meraba hatinya sendiri, ternyata denyut luka itu sudah tak seberapa nyeri lagi.
Kala bangkit setelah ia merasa hatinya cukup pulih. Setelah dari The Sawah Pastry, ia mengarahkan sepeda motornya menuju pantai di pesisir kota. Disana ia duduk diatas pasir yang menyambut tubuhnya dengan hangat. Ditengadahkannya wajah pada semburat mentari yang mulai menjingga. Membiarkan cahayanya menerpa wajah hingga merasuk ke ulu hati. Kala kembali membuka kotak-kotak kenangan itu. Menumpahkannya. Dan tak berniat memasukkannya kembali ke ingatan. Merelakan segala kenangan itu hanyut terbawa ombak yang menerjang buas pada bibir pantai. Semakin lama Kala dapat merasakan tubuhnya terasa ringan.
Selepas dari pantai, ketika hari mulai gelap, Kala mengarahkan sepeda motornya ke sebuah restoran ternama tempat ia dan Abad sering kali makan bersama. Kala sengaja  memilih meja di balkon dengan pemandangan lampu-lampu kota. Disana Kala berdiri di pinggir pagar pembatas, ia memberangus habis segala kenangan di kepalanya yang tersisa sedikit lagi. Membiarkan segala kenangan itu lepas terbawa angin malam yang berputar dengan kencang. Kala memejamkan mata, menarik nafas dalam. Merasakan denyut jantungnya yang kembali berirama. Kala yakin, kini segala pedih itu telah lepas, segala kenangan itu telah ia pangkas.
Kala mengambil lilin diatas meja makannya, menatap lilin itu dengan teduh sembari menggenggamnya kuat. “Hai, Bad. Padamlah… padamlah segala tentangmu di hidupku. Padam dan jangan pernah berkobar lagi.” Kala meniup lilin itu dengan sekuat tenaga dalam satu kali hembusan napas. Berakhir… berakhir sudah segala deritanya… Kala kini telah memaafkan segalanya…


JALAN KEMBALI

“Abadi…”
Sepenggal suara lembut tiba di telinga Abad, ia yang sedang sibuk menggambar sketsa gedung di laboratorium kantornya kontan berhenti. Kepalanya menoleh dan mendapati Arita berdiri di pintu masuk ruangan itu sembari menenteng dua kotak bekal makan berukuran besar.
“Ibu…”
“Ini Ibu bawakan makan siang untuk kamu.” Arita berjalan mendekat, lalu menyodorkan kotak bekal makan itu pada Abad.
Abad menyernyit, menerimanya dengan hati bertanya-tanya. Ia mencium aroma janggal atas kedatangan Arita. “Ibu tumben banget kesini.”
“Gapapa… sesekali Ibu mau lihat anak kesayangan Ibu kerja.” Arita mengambil kursi lalu duduk di sebelah Abad. Dipijatinya pundak anak semata wayangnya itu dengan lembut.
Abad mengerling tajam, lalu melepas pijatan itu dengan pelan. “Ibu mau apa?” tembak Abad tanpa basa-basi. Ia sudah hapal benar sifat Arita yang satu ini.
Arita berdeham, meluruskan duduknya. “Ibu mau bicara.”
“Tentang?”
“Kamu.”
Abad mengernyit lagi untuk kesekian kali. Diputarkannya tubuh, kembali menghadap sketsanya yang belum selesai digambar. Tangannya kembali menggores pensil diatas lembar-lembaran kertas strimin.
“Abad… Ibu mau mengucapkan terimakasih karena kamu sudah mau mendengarkan Ibu. Terimakasih telah meninggalkan Kala.”
Abad bergeming. Mulutnya masih terkatup rapat. Tangannya terus mengukir garis demi garis tanpa tergoyahkan.
“Ibu tahu, ini keputusan yang berat untuk kamu. Tapi sekali lagi, Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Kamu anak semata wayang Ibu.” Arita memandangi punggung Abad dengan mata berkaca-kaca. “Ibu yakin ini yang terbaik.”
Tiba-tiba Abad menghentikan goresan tangannya, ia meletakkan pensil yang ia genggam, memutar kursinya kembali menghadap Arita. Air mukanya itu memancarkan begitu banyak kesedihan yang selama ini ia tahan. Ditatapnya mata Arita dengan dalam. “Bu, kalau saja Ibu bisa rasakan rasanya jadi Abad pasti Ibu akan sedih sekali.” Abad menarik nafas panjang, “Abad ga pernah, Bu, ketemu perempuan yang melengkapi Abad seperti Kala melengkapi Abad. Kami satu pemikiran, memiliki banyak kesamaan tentang hal-hal yang kami sukai. Punya selera humor yang sama. Abad selalu berhasil menjadi Abad yang apa adanya jika bersama Kala. Seperti teka-teki, Kala itu jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini Abad cari, Bu. Dan berpisah dengan Kala adalah suatu hal yang sebenarnya tak pernah ingin Abad lakukan. Tapi ini demi Ibu… Abad mengalah, Bu. Biarlah Abad yang terluka, asalkan jangan Ibu dan Ayah.”
Arita tak mampu lagi menahan air matanya. Ia bangkit, memeluk Abad dengan begitu kuat. “Bad… terimakasih, maafkan Ibu dan Ayah…” Arita menghayati dengan dalam setiap detik dalam pelukan itu. Sudah lama sekali rasanya, ia tak memeluk Abad dengan penuh sayang. Sudah jauh sekali rasanya jarak yang ia dan Abad ciptakan belakangan ini. Hingga Arita merasa menggapai punggung anaknya saja pun ia tak mampu lagi. Namun detik ini, semua itu luluh. Dinding bebatuan cadas itu runtuh dalam diam tanpa bersuara gaduh.
“Maafkan Abad juga, Bu…” Abad membalas pelukan itu sama hangatnya. Meruntuhkan segala amarah yang telah lama ia sarangkan dalam dada.
Arita melepas pelukan itu, menatap mata Abad lurus dan teduh. “Sayang, Ibu punya satu permohonan lagi padamu. Kamu masih mau kan mendengar Ibu?”
Abad mengangguk, tak mampu menolak. Tatapan Arita terlalu magis hingga membuatnya tak berdaya.
“Kembali ke Tita. Menikah lah dengannya. Segera.”

¤¤¤

Malam itu di sudut sebuah pesta taman pernikahan teman sekantornya, Tita duduk termenung, menimati teguk demi teguk sirup leci serta beberapa buah kue kacang, dengan pandangan fokus pada penyanyi di panggung yang sedang menyanyikan sebuah lagu sendu. Riuh redam orang-orang di sekitarnya tak membuat Tita ingin beranjak dan bergabung. Rapat marathon serta kerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini justru membuatnya sangat lelah dan ingin lekas pulang ke kontrakannya saja.
“Ta, kamu ga capek duduk mulu? Bisulan ntar.” Riska, salah seorang rekan kerjanya, menghampiri Tita di meja. Mengambil segelas cocktail sembari menegurnya.
Tita menggeleng lemah, “aku capek, pingin pulang.”
“Yaudah, aku kesana dulu ya.” Riska pergi dengan membawa beberapa gelas cocktail.
Tita kembali memfokuskan pandangannya pada penyanyi di panggung yang kini tengah menyanyikan sebuah lagu melayu. Terlalu khidmat melamun, Tita sampai terkejut sendiri ketika merasakan ponsel yang ia letakkan di dalam tas tangannya bergetar hebat. Tita merogoh ponsel itu demi pada detik berikutnya terkejut membaca sebuah nama terpampang disana.
Tita sampai rela berdiri, menjauh dari kerumunan, keluar dari gerbang taman, dan duduk di sebuah bangku tunggu di depan gerbang. Ditatapnya nama itu lamat-lamat. Telepon itu masih menunggu untuk diangkat.
Tita menarik nafas berkali-kali. Menenangkan dirinya. Berpura biasa-biasa saja.
“Halo?”
“Ta?”
Tita nyaris limbung jatuh kalau saja ia tak cepat-cepat menahan tubuhnya di sandaran kursi. Suara itu mampu mengundang ribuan rindu bercampur luka yang langsung menghujaminya tanpa ampun saat itu juga.
“Ta?” panggil suara itu sekali lagi. Suara yang Tita rindukan teramat sangat sekali.
“Ya?” Tita tak mampu berkata. Ia masih menenangkan dirinya yang tak kuasa lagi menahan beribu macam rasa yang menggelora.
“Aku besok ke kotamu ya.”
“Hah?”
“Iya. Aku besok ke kotamu.”
“Mau ngapain?”
“Tunggu saja besok ya. Ada banyak hal penting yang harus kita bicarakan berdua. Boleh?”
Tita menelan ludah, ingin berkata banyak hal namun tenggorokannya serasa disumpal, “Ya.” Hanya itu akhirnya yang mampu Tita ucapkan. Dirinya tak kuasa menolak. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melampiaskan rindu yang ada.
Tita melihat layar ponselnya, nama itu masih terpampang disana. Detik itu juga Tita benar-benar ingin pingsan, jantungnya menggelegak tak beraturan. Kepalanya mendadak pusing. Ia rasanya butuh oksigen tambahan.
Tita mematikan telepon itu segera, lalu menangis sekencang-kencangnya. Rasa cinta itu ternyata masih tersimpan dengan rapi, dan seketika mampu diberantaki lagi hanya dalam hitungan detik saja.

¤¤¤

Abad tiba di terminal kota tempat Tita bekerja ketika jam menunjukkan pukul satu siang. Abad bergegas menaiki taksi dan meluncur menuju sebuah restoran yang Tita tuliskan di pesan singkat. Gadis itu rela meminta izin pulang lebih cepat demi menunggu kedatangan Abad disana.
Abad terpekur menatap jalanan kota. Ingatannya kembali membias pada kejadian demi kejadian yang berlalu dengan begitu cepat. Tentang Kala yang sedang mencoba diikhlaskannya. Dan tentang Tita yang sedang ia coba untuk cintai kembali. Abad menghela nafas berulang kali. Meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan terbaik. Dibayangkannya wajah Arita dan Wijaya yang tersenyum penuh bahagia melepas kepergian Abad menuju kota Tita. Demi terus melihat senyum itu, mulai saat ini Abad bersumpah rela mengorbankan segalanya. Walaupun segalanya itu harus membuatnya terluka.
Taksi itu berhenti di sebuah restoran kecil dengan dominasi warna abu-abu dan hitam. Pot-pot tanaman gantung memenuhi setiap sudut restoran lengkap dengan wewangian yang menenangkan. Alunan musik klasik pun tak luput samar terdengar dari dalam. Abad menelan ludah, menghentikan langkahnya tepat di depan pintu masuk, menenangkan dirinya sejenak, meyakinkan dirinya bahwa ia akan mampu, ia akan bisa melakukan ini semua.
Abad melangkah masuk, pelan, matanya meneliti satu persatu wajah pengunjung dan berhasil menemukan Tita tengah duduk sembari memainkan ponselnya tepat di meja yang berada di tengah ruangan. Abad bergegas membenahi sikapnya, ia harus tampak biasa saja.
“Hai, Ta.”
Gadis berbaju kuning kunyit itu mendongak. Kemudian tersenyum simpul. “Hai.” Tita berusaha bersikap sebiasa mungkin, mengendalikan emosi liarnya secara mati-matian. Sungguh detik ini, melihat sosok itu duduk di hadapannya Tita begitu ingin berlari kemudian mendekap Abad dan menangis di pundaknya sebab rindu. Rindu yang telah lama ia pupuk dengan begitu subur.
“Maaf kalau lama.” Abad mengambil buku menu, berusaha mengalihkan konsentrasinya, “sudah pesan?”
Tita mengangguk. “Sudah.”
Abad memanggil pelayan, kemudian segera memesan beberapa jenis makanan serta minuman dengan cepat. Selepas pelayan itu pergi, tanpa basa-basi ditiliknya kedua bola mata Tita dengan dalam.
“Kamu apa kabar, Ta?”
“Baik.” Tita mengaduk-ngaduk minumannya, menghilangkan canggung yang menyemai di dada. “Kamu?”
“Baik.”
Hening. Tita tak tau mau berucap apa. Sementara itu Abad tak tahu ingin membahas segalanya darimana.
“Ta…” panggil Abad kemudian, setelah berhasil merangkai pertanyaan demi pertanyaan yang siap ia lontarkan.
“Ya?”
“Gimana kamu sama teman kantormu itu? Masih pacaran?”
Kala mengernyit, kemudian tertawa kecil. “Denish?”
“Mungkin… aku gatau namanya. Pokoknya yang waktu itu…”
“Iya iya itu Denish,” Tita meluruskan duduknya. “Bahkan kamu mengira aku pacaran dengan dia begitu ya?”
Abad mengangguk.
“Itulah, Bad, kenapa di dalam hidup ini kita diajarkan untuk berkepala dingin dan mendengarkan penjelasan orang lain terlebih dahulu sebelum menyimpulkan segala sesuatunya.” Tita tersenyum. Abad melihat hal itu sebagai sesuatu yang tak berubah. Tita tetaplah Tita, yang teguh dalam teduh seberkecamuk apapun suasana hatinya. “Aku gapernah pacaran sama Denish. Cinta pun enggak. Dia memang menyatakan cintanya ke aku di hari itu. Tapi aku tolak. Soal pelukan itu… ya akui aku salah, aku ga langsung melepas pelukan itu ketika dia tiba-tiba memeluk. Tapi Demi Tuhan, pelukan itu ga bermakna apa-apa.”
Abad terdiam, sekian lamanya, berbulan-bulan sejak kejadian itu berlalu dan baru sekarang ia memberikan Tita kesempatan menjelaskan. Abad membodohi dirinya sendiri dalam hati, betapa egoisnya ia selama ini.
“Kalau kamu gimana sama Sangkala? Pacarmu yang sering nemenin kamu jalan-jalan naik gunung itu,” Tita mencomot sesendok eskrim dari gelasnya, pertanyaan barusan membuatnya harus kembali mendinginkan kepala.
“Udah putus,” jawab Abad singat, datar, tanpa ekspresi apapun.
Tita terkejut, namun tetap menampakkan air muka biasa saja. “Kenapa? Bukannya kamu cocok ya sama dia? Hobinya sama.”
Abad terdiam sejenak, matanya masih beradu dengan mata Tita yang mengilatkan rasa penasaran yang begitu kentara. “Ta… izinkan aku jujur sama kamu. Aku akui Kala itu sangat melengkapi hidupku. Dengan dia aku bisa menjalani kegiatan apapun karena isi kepala kami satu. Tapi, Ta, hubungan yang baik adalah ketika keduanya mampu diterima di segala posisi. Aku bisa menerima Kala. Sangat. Segala tentang Kala menyatu sekali dengan jiwaku. Tapi tidak dengan kedua orangtuaku, Ta.”
Tita diam, tangannya sibuk mengaduk-ngaduk kentang goreng dengan saus, tanpa enggan melahapnya.
“Kala itu sosok manusia yang memang mampu menjadi kepingan terakhir dari puzzle-ku. Tapi aku lupa, hidupku bukan tentang puzzle-ku saja, Ta. Orangtuaku juga memiliki puzzle-nya masing-masing. Aku rasa aku tidak boleh egois dengan hanya melengkapi milikku tapi tidak dengan kedua orangtuaku. Untuk itu aku memutuskan untuk kembali pada sosok yang kurasa mampu melengkapi segalanya. Tak hanya aku, tapi keluargaku juga.”
“Maksud kamu?”
“Ta, Ibu dan Ayah, sampai detik ini tidak pernah mau dan tidak pernah mampu menggantikan posisi kamu di hati mereka. Cuma kamu satu-satunya wanita yang mereka restui untuk bersanding denganku. Ta… izinkan aku membahagiakan mereka melaluimu.”
Tita tercengang, dahinya berkerut berkali-kali lipat. Ia masih belum memahami segala perkataan Abad.
“Ta, izinkan aku belajar mencintaimu sekali lagi. Izinkan aku memperbaiki kesalahan-kesalahanku yang dulu. Aku ingin menjadikanmu kepingan puzzle terakhir hidupku. Pelengkap dan penyempurna segalanya.”
“Bad…”
“Jika Kala adalah sosok pelengkap yang tak kuasa ku pilih, maka aku ingin kamu menjadi sosok yang kuasa ku pilih. Dan ku harap kamu memilihku juga.” Abad menggenggam tangan Tita, lembut. “Ta, maafkan aku. Beri aku satu kali lagi kesempatan. Ini bukan hanya demiku, Ta. Tapi demi Ibuku demi Ayahku.”
Tita tercekat. Tenggorokannya begitu ingin bersuara namun tak mampu jua. Matanya berkaca-kaca. Apa yang tersaji di hadapannya saat ini bagaikan mimpi yang telah lama ia elu-elukan.
Abad merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah kotak cincin, lalu menyingkap tutupnya. Darisana, menyembul lah sebuah cincin berwarna perak dengan permata kecil sebagai mahkotanya. “Ta, maukah kamu menjadi wanita yang kupeluk di setiap malam menjelang tidurku?”


BERSAMBUNG....