Selasa, 27 November 2018

KALDERA (1st Summit)


1st Summit

“Pagi!”
Semua orang yang sedang mengantri membeli tiket bus di loket spontan menengok, mengira lelaki bersuara menggelegar bertubuh kurus yang tengah berlari dari arah pintu masuk itu sedang gila sebab mengucapkan kalimat “pagi” ditengah cuaca mendung sore berbalur gerimis diluar sana.
Namun tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi besar dengan kacamata segiempat membingkai wajahnya yang putih bersih menyelak keluar antrian, menyambut lelaki kurus aneh itu. “Lama banget lo! Hampir gue naik bus.”
Pria bertubuh kurus itu cengegesan, “sorry, biasa Si Doel ngambek minta bawa ke bengkel.” Ucapnya sembari melirik pada mobil sedan tahun 90-an miliknya yang tengah mandi diguyur gerimis yang semakin menjadi diluar loket.
“Si Doel tuh minta ganti sama yang baru kali, Fer.” Seloroh lelaki bertubuh tinggi berkacamata itu sembari menenteng tas besar di tangannya dengan gagah, melangkah keluar loket.
“Iya, Gi. Nanti gua beliin adek baru buat Si Doel tunggu gue jadi komisaris bank tempat gue kerja.” Kelakar si kurus bernama Ferdi itu, sembari membuntuti lelaki tinggi berkacamata berjalan menuju mobilnya.
Hujan semakin deras, mobil sedan itu melaju terseok-seok ditengah macetnya kota yang luar biasa. Lelaki tinggi berkacamata itu duduk melamun di kursi sebelah pengemudi dengan pandangan menerawang keluar jendela, membayangkan bertumpuk-tumpuk tugas menantinya begitu ia tiba di ibukota.
Ia teringat akan lembar-lembar hasil ujian mahasiswa-mahasiswanya yang belum ia periksa, ia teringat akan rentetan e-mail masuk mengenai ajuan proposal skripsi, ia juga teringat akan nilai-nilai yang belum ia input di forum belajar online. Lelaki itu membenarkan posisi kacamatanya yang melorot, menjadi dosen memang sungguhlah rumit, bahkan terkadang ia menyesali langkah yang ia ambil ini.
“Gi…” Panggil Ferdi setelah lama mereka berdua berdiam diri.
“Apa?” lelaki itu masih enggan melepas pandangannya dari luar jendela, menangkap pemandangan pedagang asongan yang tengah berteduh di salah satu minimarket.
“Hape lo bunyi daritadi. Angkat ngapa? Berisik banget.”
Lelaki itu membuyarkan lamunan di kepalanya, memeriksa ponselnya yang ia letakkan di dasbor dan menemukan nomor asing tercetak dilayarnya. “Ya halo?”
“Selamat sore Pak Pagi. Saya mahasiswi bimbingan bapak…”
Lelaki itu meremas rambutnya kesal, “telepon saya tiga jam lagi ya, saya sedang dijalan.” Potongnya pada suara perempuan muda diujung telepon sana dengan nada kaku dan dingin ciri khasnya, nada yang selalu saja berhasil membuat siapapun enggan melanjutkan pembicaraan.
“Baik, Pak. Terimakasih. Maaf mengganggu.” Telepon itu pun mati.
Ferdi melihat pemandangan itu demi kemudian menggidikkan bahunya, memilih bungkam. Ia sangat paham bahwa lelaki berkacamata yang telah menjadi sahabatnya sejak masa putih abu-abu itu memang tak bisa diajak bicara jika suasana hatinya sedang tidak baik.
Menit berikutnya, tampak lelaki itu menghempas tubuhnya ke sandaran kursi, menarik napas berkali-kali, menenangkan diri. Welcome to the real world, Ufuk Pagi Himalaya, liburan akhir semestermu telah usai! Desisnya meringis dalam hati.

♥♥♥♥♥

Di salah sudut kota kecil, persis di dalam sebuah gedung berlantai dua tempat sebuah Event Organizer ternama bernaung, tampak kerumunan para pekerja mulai menyusut. Hujan yang diperkirakan akan tiba setengah jam lagi membuat semua orang tergopoh-gopoh untuk pulang. Namun hal itu tidak berlaku bagi perempuan berambut pendek sebahu di ruangan dengan pintu bertuliskan “Head of Creative”. Matanya masih tampak jeli menggambar konsep dekorasi beberapa kliennya yang acaranya akan digelar dalam minggu ini.
Tepat ketika perempuan itu tengah mencari-cari rautan pensil di laci meja kantornya, suara ketukan pintu terdengar.
“Ya masuk.” Sahutnya singkat.
Pintu tersingkap, memunculkan sosok Anti, asistennya. “Maaf, Bu Siang, ada kiriman paket di bawah.”
Perempuan itu mendongak, menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum. “Oke. Sebentar lagi saya turun. Terimakasih, An.”
Anti mengangguk kemudian menutup pintu itu kembali.
Perempuan berambut pendek itu bergegas merapikan alat tulis dan kertas-kertasnya demi kemudian turun ke lantai satu. Disana, seorang kurir berjaket oranye tampak menunggu dengan sebuah kotak berukuran sedang yang ia pangku.
“Selamat sore, Pak.” Perempuan itu mengulurkan tangan dengan sopan.
Kurir itu menyambut jabat tangan itu dengan sigap, “benar dengan Ibu Mentari Siang Mahameru?”
“Ya, saya.”
“Ini ada paket, Bu. Tolong tanda tangan disini.” Kurir itu menyerahkan secarik kertas dengan kolom tanda tangan di pojok kanan bawah. Setelah perempuan berambut sebahu itu membubuhkan tanda tangannya, kurir itu bergegas pergi. Sama, ia juga takut kehujanan rupanya.
Baru saja hendak membaca kartu ucapan yang tertempel di paketnya, ponsel di saku perempuan itu berbunyi, memunculkan nama salah satu sahabat kentalnya sejak seragam putih biru. “Ya, Gi?”
“Ang, gue lagi ngantri di loket bus, mau balik ke kota, kabarin sama anak-anak yang lain ya gue ga bisa ikutan kumpul ntar malem. Kerjaan gue banyak banget soalnya.”
Saat mendengar suaranya, sekilas wajah putih bersih berkacamata sang pemilik suara terlintas di pikiran perempuan itu,  “oke, hati hati, Gi.”
“Oke.”
Telepon itu pun mati.
Perempuan itu bergegas melanjutkan hasratnya yang sempat tertunda tadi. Ia membuka dengan cepat kartu ucapan berwarna biru metalik yang merekat erat di sampul paket yang dibungkus dengan kertas kado berwarna hitam polos itu.

Untuk perempuan yang paling kucinta di dunia ini setelah ibuku; Mentari Siang Mahameru
Salam hangat dari pulau seberang
Happy 2nd Anniversary
Dan selamat menjelang enam bulan pernikahan kita! See you soon~~

Dan di akhir kalimat, terbubuh lah sebuah nama. Nama yang begitu lekat di kepala perempuan itu sejak dua tahun lalu lamanya. Ia tersenyum, kemudian meneteskan setitik air mata, bahagia.
Detik berikutnya, ia membuka kado itu dengan perlahan sembari membayangkan wajah sang pengirim dengan rindu yang berdenyut-denyut. Sebuah boneka beruang berwarana cokelat seukuran tangan menyembul dari balik kotak. Perempuan itu kembali sumringah, memeluk dengan erat boneka itu seolah sedang memeluk erat kekasih hatinya nun jauh di seberang sana.
Sedang khusyuknya menikmati rasa bahagia yang membuncah, ponsel perempuan itu kembali berdering, kali ini, salah satu sahabatnya yang lain menelepon. Perempuan itu, mau tak mau mengangkat telepon itu dengan ogah-ogahan, “Ya, Rah?”
“Ang, Pagi kok gada kabar ya? Dia ikutan kumpul ga sih ntar malem?”
“Pagi udah balik. Barusan dia telepon gue, banyak kerjaan katanya.”
“Yaelahhhh. Si Pagi sialan. Sok sibuk banget.” Perempuan bernama Sarah itu menyahut dengan nada gemas. “Ang, lo buruan sini, ntar hujan. Mandi di rumah gue aja. Biar ntar malem perginya juga sama gue.”
Perempuan berambut sebahu itu tak kuasa menahan senyum. Meski acara malam ini hanyalah sekedar kumpul-kumpul rutin bulanan bagi persahabatan yang mereka bina sejak duduk di bangku SMP, Sarah selalu saja yang paling tampak antusias dan akan mengomel panjang lebar jika ada salah satu saja diantara delapan anggota yang berhalangan hadir. Seolah perkumpulan rutin bulanan ini adalah agenda besar sekelas Konferensi Asia Afrika.
“Oke. Lima belas menit lagi gue sampe sana. Bye.” Perempuan itu mematikan telepon. Kemudian bergegas naik keruangannya, membereskan segala pekerjaan, dan dengan sigap berlari ke halte di depan kantornya demi menaiki taksi menuju rumah Sarah.

♥♥♥♥♥

Senja di kota khas udang itu tampak begitu temaram. Musim hujan yang sedang melanda tak surut membuat awan mendung turut berarak memayunginya. Gerimis kecil mulai turun. Semua orang sibuk mempercepat laju kendaraan, berharap segera tiba di tujuan.
Di sebuah rumah sakit besar di pusat kota, seorang lelaki bertubuh bidang dengan rambut nyaris plontos duduk termangu, matanya dengan cermat menilik layar komputer dihadapannya tanpa bergeser sesentipun.
“Re, gue duluan ya. Mau hujan.” Seorang wanita tampak menyembul dari balik pintu bertuliskan “Gudang Penyimpanan Obat” dengan tergesa-gesa. “Nih, laporan obat yang keluar bulan ini. Lo bisa kan kelarin sendiri? Suami gue udah nunggu di parkiran soalnya.”
Lelaki itu mendongak kemudian tersenyum, “oke.”
“Lo emang apoteker andalan gue! Thanks ya!” perempuan dengan name-tag di baju kiri bertuliskan “Anggi” itu menepuk pundak sang lelaki demi kemudian berlalu dengan cepat.
Lelaki itu menatap punggung rekan sejawatnya yang menghilang di balik pintu dengan tatapan iri, dalam hati ia bertanya-tanya seperti apa rasanya berumah tangga.
Ah namun lelaki itu tak perlu merasa khawatir dan begitu penasaran, sebab enam bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasih hatinya yang berasal dari pulau seberang. Perempuan cantik dengan nama yang tak kalah cantik pula. Perempuan yang selalu berhasil memenangkan hatinya sekalipun keadaan telah mengalahkan segalanya.
Ia juga akan segera merasakan nikmatnya biduk rumah tangga. Membangun keluarga kecil dengan anak-anak yang lucu. Menyicipi masakan istrinya setiap hari. Terbangun di pagi hari dengan keadaan sang istri berada di sisinya. Indah bukan? Siapa yang tak ingin berlekas-lekas menikah jika membayangkan hal-hal bahagia sesudahnya?
Baru saja terlintas di benak, ponsel lelaki itu tiba-tiba berbunyi memunculkan nama sang pujaan hati di layar.
“Hai, Sayang!” serunya semangat. Pipinya merekah merah, menahan buncahan cinta bercampur rindu yang begitu hebat di dada.
“Sayang… paketnya sudah sampai. Makasi yaaa! I love you!” suara perempuan itu terdengar begitu bahagia. Ada begitu banyak cinta yang bisa ditangkap dari kata demi katanya.
“Iya sama-sama. I love you too. Happy anniversary, Mentari Siang Mahameru-ku…”
“Happy anniversary too Jingga Sore Krakatoa-ku…”
Lelaki itu tersenyum, begitu sumringah, kantor apotek yang begitu kecil terasa menjadi sangat lapang detik itu juga. Ditatapinya satu-persatu obat yang berjejer rapi di etalase-etalase kaca dengan mata berbinar, seolah semua tempat itu berhasil memunculkan wajah kekasihnya dimana-mana. “By the way, kamu lagi dimana, Sayang?”
Terdengar suara lengkingan perempuan lain di ujung telepon, “lagi di rumah Sarah nih, berisik banget ya?”
Lelaki itu tergelak, “mau pergi kumpul bulanan ya nanti malam? Hati-hati ya. I miss you…”
“I miss you too. Kamu kalau sudah pulang kerja kabarin aku.”
“Oke.”
“Bye…”
Telepon pun mati. Lelaki itu menghempas tubuhnya di sandaran kursi sembari memejamkan mata. Membayangan wajah kekasihnya memang selalu berhasil menghilangkan segala rasa lelah akibat bekerja. Dalam hati ia rasanya begitu tak sabar menanti hari pernikahan mereka segera tiba.

♥♥♥♥♥

Ibukota Provinsi itu tak pernah sepi. Hingar bingarnya selalu tampak tak pernah mati. Sekalipun hujan sedang mengguyur dengan deras-derasnya, keramaian tetap tampak dimana-mana.
Seorang perempuan bertubuh tinggi dengan ramput sepinggang yang ikal dibawah tampak berlari menembus hujan diantara kerumunan pejalan kaki dengan heels tingginya yang berketuk-ketuk kesana kemari. Kemeja cokelat susu yang ia gunakan tampak basah separuh, sementara itu tangan kanannya ia gunakan untuk menepis tempias hujan sembari tangan kirinya membawa tumpukan map. Kakinya terus menerobos undakan trotoar tanpa ampun, menuju sebuah gedung berlantai empat yang tinggal seratus meter lagi dari jangkauan.
“Mbak, Malam? Kenapa ga minta jemput supir aja?” sapa seorang satpam yang membukakannya pintu kantor. Perempuan itu sibuk membenahi bajunya yang basah sembari mengetuk-ngetukkan sepatu hak tingginya diatas keset selamat datang di lobbi gedung.
“Ah nanti ngerepotin aja, Pak. Lagian rumah saya deket sini,” perempuan itu tersenyum simpul sembari terus mengeringkan bajunya dengan handuk kecil yang ia bawa. “Pak Teo udah makan belum? Aku tadi udah telepon delivery ayam goreng, pesen banyak, sekalian buat anak-anak diatas, nanti Pak Teo ambil satu ya.”
Satpam bernama Teo itu tersenyum, matanya merekah. Perempuan di hadapannya ini adalah salah satu sosok terbaik yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Karir sebagai penulis terkenal dengan banyak judul buku yang sudah di filmkan tak lantas membuatnya angkuh. Perempuan itu tetap membumi, satu hal yang justru membuatnya semakin melejit sebab doa-doa dari banyak orang yang menerima kemurahan hatinya.
“Siap, Mbak. Makasih ya, Mbak.”
Perempuan itu mengangguk lalu mengedipkan sebelah mata jenaka, “saya ke atas dulu ya, Pak.”
Pak Teo menganggukkan kepala lalu melepas kepergian perempuan itu dengan satu lagi doa baik; semoga perempuan itu senantiasa sehat selalu sehingga bisa membahagiakan lebih banyak orang disekitarnya.
Undak demi undak tangga terus melejit keatas, tampak di ujung anak tangga lantai tiga, sebuah pintu kaca yang tertutup rapat. Perempuan itu menarik napas panjang, lalu memantapkan diri, membuka pintu itu dengan hati-hati.
“Selamat sore, maaf menunggu.” Ia membungkukkan sedikit badan sebagai tanda permintaan maaf pada beberapa orang redaksi yang telah menunggunya.
Seorang laki-laki dengan jenggot tipis menggelayut di dagu bangkit dari kursi, dari raut wajahnya tampak ia seumuran dengan perempuan itu. “Gapapa, Lam. Silahkan duduk.” Lelaki itu membuka salah satu celah kursi di sampingnya. Perempuan itu bergegas duduk disana. “Kehujanan ya?” bisiknya kemudian pada perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk kecil, tangannya sibuk membuka map yang ia bawa lalu menyusun satu persatu kertas di dalamnya. “Iya, Da. Sorry ya. EO nya pasti kesel nih sama gue.”
Lelaki bernama Mada itu menggeleng, “engga kok, daritadi sambil nunggu lo, kita suplai mereka dengan makanan enak, makanya mereka ga bawel.”
Perempuan itu tersenyum kecil, menarik napas lega.
“Baiklah, rapat bisa kita mulai.” Mada kemudian bersuara. “Kepada Ibu Siang, selaku perwakilan dari Saruanta Event Organizer saya persilahkan.”
Seorang perempuan dengan rambut sebahu berdiri. Matanya nyalang, memancarkan kepercayaan diri yang luar biasa. “Terimakasih atas waktunya Pak Mada,” perempuan bernama Siang itu melempar senyum kepada seluruh ruangan. “Baiklah, disini, saya selaku head of creative dari Saruanta Event Organizer akan memaparkan konsep temu sapa penggemar dalam langka peluncuran buku baru dari salah satu penulis andalan penerbit Gravitama” Siang kembali melempar senyum dan matanya langsung menumbuk pada sosok perempuan yang baru datang itu, “mari kita beri tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas karya-karyanya kepada Rembulan Malam Rinjani.” Siang memulai koor tepuk tangan itu diikuti yang lain.
Perempuan berambut sepinggang dengan bagian ikal di bawah itu tertegun, kemudian tersipu malu mendapat tepuk tangan sebagai bagian pembuka dari rapat peluncuran buku barunya itu. Ia berkeliling menatap sekitar, demi kemudian matanya bertumbuk dengan mata sang Siang yang juga sedang menatapnya tanpa berkedip.
Detik itu juga, tanpa perlu dijelaskan, tanpa perlu banyak pemaparan, seolah mendapatkan bisikkan dari Tuhan, seorang Rembulan Malam Rinjani tahu bahwa pertemuannya dengan perempuan ini akan menjadi awal sebuah kisah yang panjang.


BERSAMBUNG...

Jumat, 02 November 2018

Mengabadikan Kala part IX (Ending)


SEBUAH PENERIMAAN

Malam beranjak naik, Tita merebah tubuhnya diranjang dengan tatapan kosong menatap langit-langit kamarnya. Ditangannya ia menimang-nimang kotak berisi cincin yang Abad berikan. Tita belum menerima juga belum menolak lamaran Abad. Ia masih butuh waktu untuk menyetabilkan hatinya, ia masih butuh masa-masa untuk meyakinkan hatinya kembali selepas semua sakit yang ia jalani selama ini.
Tita tahu segalanya takkan mudah. Ia pernah merasakan sakit yang begitu dalam sebab ditinggalkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Namun di sisi lain, Tita juga tak mampu mengelak, cinta itu masihlah ada, utuh, tak retak walau hanya segaris, meski telah penuh lebam di segala sisi.
Mengapa? Mengapa dengan mudah Abad meminta kembali setelah semua peristiwa yang begitu menyakitkan ini?
Sedang asyik melamun, ponsel Tita tiba-tiba bergetar memunculkan nama Abad di layarnya.
“Halo?”
“Aku di depan kontrakan kamu.”
“Hah?” sekejap, Tita bergegas berlari keluar dari kamar, lalu membuka pintu utama rumahnya. Dan benar saja, Abad berdiri di balik pintu, sembari menenteng beberapa kardus besar.
“Aku kira kamu pulang.” Tita mengingat-ngingat kembali perkataan Abad selepas mereka berpisah di restoran.
Abad menggeleng, “ga jadi. Aku mau disini.”
“Ngapain?”
“Gapapa, nemenin kamu.” Abad tersenyum simpul. “Aku masuk ya.” Abad menerobos masuk tanpa persetujuan Tita. Tita hanya mampu tercengang sembari mengikuti langkah kaki lelaki itu menuju ruang tengah rumah kontrakannya.
Abad meletakkan kardus-kardus yang ia bawa ke lantai lalu membongkarnya satu persatu. “Aku bawain kamu bunga bunga hidup.”
Tita mengernyit, dahinya menjadi keriting sekali. “Buat apa?”
“Buat dipajang dirumah kamu.”
“Bad…”
Abad mengeluarkan satu pot plastik berukuran sedang yang sudah ditanami bunga melati, kemudian ia mengeluarkan lagi satu pot yang sudah ditanami mawar. Tita hanya mampu memandangi adegan itu dengan kepala penuh kebingungan.
Abad terus mengeluarkan isi kardus-kardus itu dengan total enam buah pot dan enam jenis bunga yang berbeda. Abad kemudian menggotong pot pot itu satu persatu ke balkon samping rumah Tita, menjejerkannya dengan rapi di sebuah meja kayu yang terletak disana.
“Ta, aku gatau lagi gimana caranya buat hati kamu luluh dan percaya. Yang bisa aku lakukan sekarang cuma mempengaruhi pikiran kamu agar berubah dengan hal-hal yang aku usahakan.” Abad menatap Tita yang berdiri di depan pintu balkon dengan tajam. “Ta, anggaplah bunga-bunga ini perasaanmu terhadapku. Kalau kamu memang mau mencoba mencintaiku sekali lagi, kalau memang kamu mau mencoba untuk menumbuhkan lagi apa yang sudah mati diantara kita, kamu pasti akan menyirami bunga-bunga ini setiap hari hingga mekar.”
“Bad, aku…”
“Ta, ini usaha terakhirku. Aku rasa aku gabisa memaksa kamu terlalu jauh. Aku ingin perasaanmu itu tumbuh dengan sendirinya.” Abad mendekat, menggenggam tangan Tita dengan erat. “Sekali ini biarkan hatimu yang bekerja, Ta, bukan isi kepalamu, kumohon.”
Tita terdiam, genggaman tangan itu tak mampu ia tolak.
“Aku akan ada disini, di kotamu, sampai beberapa bulan ke depan. Aku sudah mengurus permohonan untuk mengerjakan proyek yang kebetulan ada disini. Aku akan ada disini, Ta, sampai kamu menemukan jawaban untukku. Yakinkan hatimu baik-baik. Aku menunggu.” Abad melepas genggaman itu. “Aku pulang dulu, aku tinggal di mess pegawai di dekat taman kota. Hubungi saja aku kapanpun kamu butuh sesuatu.” Abad tersenyum, mengelus pipi Tita dengan lembut lalu beranjak pergi.
Tita menatap punggung Abad yang menghilang dengan perasaan yang berupa-rupa. Tuhan, harus apa lagi aku sekarang? Desisnya dalam hati pada dirinya sendiri.

¤¤¤

Abad menelusuri jalanan kota dengan kakinya yang melangkah dalam lega. Ia tak menyangka akan mampu melalui ini semua. Melamar Tita sungguh tak pernah ada dalam rencana jangka dekatnya, namun ternyata Tuhan berkata lain, ini la yang harus Abad lakukan, demi kebaikan segalanya. Keputusan besar untuk tetap berada di kota Tita juga adalah sebuah bagian dari usaha yang Abad lakukan, semoga dengan begini ia bisa mendapatkan hasil terbaik. Semoga Tita mau menerimanya kembali.
Langit mulai menggelap ketika Abad menghentikan langkahnya di sebuah kedai nasi goreng pinggir jalan tepat beberapa ratus meter sebelum indekos miliknya. Kejadian demi kejadian hari in sungguh menguras tenaga. Rasanya ia ingin makan nasi goreng dua porsi sekaligus.
“Bang, nasi goreng dua.” Abad mengambil kursi lalu duduk dengan menghadap jalanan yang tampak ramai.
Ditatapinya satu persatu kendaraan yang berlalu lalang sembari membuka beberapa buku catatan kecilnya dan menggores beberapa rencana kerja baru disana. Tempat kerja baru, suasana baru, proyek baru, orang-orang baru, segala hal baru yang mulai harus Abad adaptasikan dari nol lagi. Abad harus mempersiapkan segalanya dengan matang.
Nasi goreng itu pun datang, Abad menutup buku catatannya dan menatapi lamat-lamat dua piring yang tersaji dihadapannya itu. Pikirannya berhasil dibawa melayang pada kejadian beberapa bulan lalu saat ia menyatakan cintanya pada Kala. Saat itu, Abad tahu hatinya sebegitu yakin, tak gentar barang sedikit saja, ia percaya Kala akan menjadi tempat berlabuh dari segala pencariannya. Saat itu ia tahu, demi Kala, ia rela mengorbankan apapun miliknya asal gadis itu dapat ia rengkuh dalam utuh, Kala membuatnya nyaris gila dan bertekuk lutut sepasrah-pasrahnya, gadis itu adalah pusat gravitasi hidup Abad yang semula bergerak pada poros tak beraturan. Saat itu Abad tahu, ia dan Kala akan selamanya, sebelum akhirnya segala bencana tiba…
Abad menelan ludah, kerongkongannya terasa sakit, dadanya sesak, luka itu muncul lagi ke permukaan. Segala tentang Kala sejatinya memang belum mampu ia lupa. Abad menyingkirkan dua piring nasi goreng itu tanpa berniat memakannya, nafsu makannya hilang seketika dibawa luka yang mendera-dera.
Abad bangkit dari duduknya, membayar nasi goreng itu dan berhasil mendapatkan tatapan heran dari sang penjual sebab ia tak menyentuh makanan itu sedikitpun. Selepas itu, ia beranjak pergi, melangkahkan kakinya dengan mata bening berkaca-kaca yang membuat lampu-lampu sepanjang jalan terasa bias jika ia tatap. Abad terluka sendiri, luka akibat rindu pada seseorang yang ia raih bayangnya saja lagi pun rasanya tak mungkin lagi.

¤¤¤

Tita menyeruput espresso hangatnya sambil melirik sekilas dari balik gelas pada sosok lelaki dihadapannya. Lelaki itu tampak begitu salah tingkah, canggung, wajahnya meronakan raut malu yang khas. Tita tahu Denish selalu begitu.
“Nish…” panggil Tita, membuat Denish yang sedari tadi sibuk mengaduk-ngaduk kopinya tanpa hendak meminum itu mendongak, menatap mata Tita dengan canggung, lalu membuang pandangannya kembali. “Nish, kamu ga perlu canggung lagi sama saya. Saya ini ngajak kamu ketemu karena saya mau kita saling memaafkan.”
Denish menghempas tubuhnya ke sandaran kursi lalu menatap Tita dalam, “maksud kamu?”
“Nish, saya tahu dan sangat sadar sekali, menyimpan amarah dalam benak adalah suatu hal yang ga baik. Maafkan saya, Nish.”
“Ta… engga… seharusnya saya yang minta maaf…”
“Saya juga salah, Nish.”
“Ta…”
“Nish, pokoknya saya juga salah,” Tita mengulurkan tangannya tepat di hadapan wajah Denish, “mulai sekarang ga ada lagi rasa marah, canggung, dan dendam antara kita ya. Kita berteman lagi. Kamu mau kan?” Tita tersenyum, senyum yang selalu membuat Denish mabuk kepayang.
Denish dengan sigap menyambut uluran tangan itu, menggenggam tangan Tita dalam sebuah jabat, jabat yang mampu mengalirkan energi bahagia luar biasa dalam tubuh Denish. Untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan ini, Denish mampu tersenyum tanpa beban, tubuhnya terasa berhasil melepaskan segala gundah yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
Tita melepas jabat itu lalu mencomot sebuah roti dan mengunyahnya dengan pelan, “Nish, gimana kantor?”
Denish ikut-ikutan mencomot roti lalu memakannya juga, “baik. Penjualan kita yang jelas gapernah sebaik saat kamu masih di kantor, Ta.”
Tita terkekeh.
“Ta, ngomong-ngomong ada angin apa kamu tiba-tiba memaafkan saya?” Denish tak mampu lagi menyembunyikan tanda tanya besar diatas kepalanya.
“Saya sudah banyak berpikir,  Nish, selama beberapa bulan belakangan ini. Ada banyak hal yang sudah saya lalui dan membuat saya sadar. Saya ga akan bisa, Nish, memasuki babak hidup baru kalau saya belum memaafkan orang-orang yang pernah berselisih dengan saya, termasuk kamu.”
“Babak hidup baru?”
Tita mengangguk, “Abad melamar saya, Nish.”
Denish nyaris saja tersedak roti yang ia telan kalau saja ia tak buru-buru mengendalikan diri kemudian berpura-pura tenang. “Melamar?”
“Iya. Tapi belum saya jawab.”
“Kenapa?” Denish dapat merasakan dengan jelas sekali denyut jantungnya memompakan darah dengan sangat lamban, membuat oksigen di sel-sel darahnya semakin sedikit, dan ia sesak, sesak sebab sakit yang begitu kentara.
Tita menggeleng, “saya butuh berpikir jernih dan butuh waktu pastinya. Ini bukan perihal mudah. Dan saya rasa salah satu hal yang dapat membuat saya berpikir jernih adalah dengan melepaskan beban-beban amarah. Itulah kenapa saya mau memaafkan kamu.”
Denish limbung, ia kembali menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menenangkan hatinya. Mencoba berpikir jernih. Hey! Kenapa saya harus sedih? Tita layak bahagia, bahagia dengan yang ia cinta! Desis batin Denish menjerit-jerit di dalam kepala. Denish menghela nafas berkali-kali, kemudian mencoba menyunggingkan bibirnya, membuat senyum, dan menatap mata Tita dalam. “Ta, kalau kamu saja mampu memberikan saya maaf, kenapa tidak dengan Abad? Terima lah, Ta… terima saja dia…” Denish kembali mengatur nafasnya, kalimat barusan membuat seluruh tubuhnya terasa bekerja lebih keras. Mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan isi hati memang sulit sekali.
“Kamu benar, Nish.” Tita tersenyum, enggan melanjutkan perbincangan lebih jauh. Diliriknya jam tangan yang ia kenakan. Pukul delapan malam rupanya. “Nish, saya pamit ya. Besok ada rapat pagi di kantor. Saya harus istirahat.” Tita bangkit lalu mengambil jaketnya yang ia sampirkan di kursi, “makasih ya, Nish. Makasih sudah memaafkan saya.”
Denish pun bangkit, tersenyum, meski hatinya nyeri. “Sama-sama, Ta. Semoga kamu lekas bahagia.”
“Iya, Nish. Kamu juga.”
Dilepas dengan kalimat-kalimat saling mendoakan. Kedua manusia itu berpisah. Tita melangkah dengan hati lega luar biasa, Denish duduk terdiam dengan luka menganga yang berdarah dengan begitu hebatnya.

¤¤¤

Abad keluar dari kantornya dengan menaiki sebuah taksi online. Setelah googling beberapa lama, Abad memutuskan untuk menuju sebuah mall di pusat kota yang  konon katanya memiliki sebuah bar outdoor di lantai paling atas.
Abad tiba disana tepat pukul sembilan malam, saat tepat dimana pengunjung sedang ramai-ramainya. Alunan musik dari panggung tak henti-hentinya mengalun dari penyanyi. Bar-bar yang ada di setiap sudut ruangan tampak penuh. Kursi pun nampak sesak dengan kumpulan orang-orang yang meminum berbotol-botol anggur secara bergantian. Abad melangkah, menuju balkon, memilih duduk di sebuah kursi tunggal di pagar pembatas. Setelah memesan kopi pahit, Abad mulai membakar sebatang rokok. Pandangannya nanar menatap lampu-lampu kota, pikirannya sepi, meski sekitarnya sangatlah ramai sekali.
Bayangan Kala kembali terlintas dengan sangat jelas. Kal, ini pemandangan kesukaan kamu, lampu-lampu kota, Abad membatin. Abad menghela nafas, mencoba memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba Abad merasakan hatinya berdesir, seperti ada bongkahan besar yang hendak keluar kemudian pecah. Abad semakin khusyuk memejamkan mata, semakin dalam. Dikilas baliknya segala kenangan tentang ia dan Kala. Senyum gadis itu, rambutnya yang berterbangan saat tertiup angin pantai, langkah-langkah kakinya berlari kecil di selasar sawah. Abad tersenyum, ia tak pernah membayangkan Kala dengan perasaan selega ini. Ada suatu perasaan bebas yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Abad menyeruput kopi pahitnya yang baru datang, hatinya mulai menghangat, seiring dengan rokoknya yang hampir tandas Abad dapat merasakan dengan jelas dihatinya mulai menyemai perasaan ikhlas. Abad kembali mengulik ingatannya, membayangkan Kala yang begitu bahagia lepas dari terkaman Ibunya, Abad juga mulai membayangkan Kala di masa depan akan tumbuh menjadi gadis yang begitu hebat sebab tak ada lagi yang memaksa Kala untuk merubah jati dirinya. Kala yang warna-warni itu akan tetap jadi pelangi dimanapun ia berada.
Abad mendongak, menatap langit dengan mata berkaca-kaca bahagia, senyuman tersungging jelas di wajahnya. “Tuhan, terimakasih, aku tahu ini keputusan terbaik. Kala akan bahagia tanpaku. Dan aku sudah ikhlas akan hal itu…”

¤¤¤

Tita bangun pagi itu dengan suasana hati berbeda. Minggu-minggu belakangan ini  berlalu begitu cepat dari hidupnya. Tita enggan mengganggu Abad, pun begitu sebaliknya, Abad sepertinya membiarkan rasa Tita bekerja memutuskan semuanya menggunakan nurani semata.
Tita terus melakukan aktivitas seperti biasa; bekerja, masak, membereskan rumah, sesekali makan di luar dengan teman-teman sekantornya, kemudian pulang dan tidur. Oh ya, ditambah dengan satu lagi kebiasaan baru, sebelum berangkat kerja, Tita menjadi rutin sekali mengunjungi balkon samping rumah kontrakannya, memandangi jejeran bunga pemberian Abad, menimang-nimang akan menyirami bunga tersebut atau tidak, walaupun akhirnya setiap hari hatinya tak mampu melawan segala rasa, ia terus menyirami bunga-bunga itu tanpa jeda, berharap mereka segera mekar dengan segera.
Tita tak mampu menolak lagi, hatinya sungguh sangat-sangat ingin melihat pendar warna-warni dari kuncup itu segera merekah. Sama seperti hatinya yang perlahan mulai menyusun kembali kepingan demi kepingan jalan setapak pulang menuju Abad. Tita tahu ini sudah diluar kuasanya, namun Tita tak berdaya bila hatinya yang sudah bekerja.
Tita membuka selimut yang membungkus tubuhnya, matanya menatap nanar mentari yang bersinar lebih cerah di hari Minggu pagi itu. Matahari itu seperti tersenyum padanya, seolah menandakan hal-hal baik akan tiba.
Tita berjalan menuju balkon samping, menatap bunga-bunga itu entah untuk keberapa ratus kali demi kemudian mendapati suatu hal yang menyenangkan; bunga-bunga itu mulai merekah pagi ini. Tita mendekat, menyentuh kelopak-kelopak bunga itu dengan takjub, matanya berbinar, memancarkan kebahagiaan yang berasal dari dasar hatinya yang paling dalam.
Sudah tibakah saatnya Tuhan?

¤¤¤

Abad terkejut, saat sedang asyik-asyiknya mengawasi pembangunan gedung mall yang ia tangani, salah seorang bawahannya mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang menunggunya di depan gedung konstruksi yang belum jadi ini. Abad mengernyit, lantas segera melesak diantara beton-beton yang terhampar demi menuju bagian depan gedung.
“Tita?” Abad tak mampu lagi menahan rasa kagetnya. Gadis itu, sudah dua bulan tak ia lihat, terakhir, saat Abad mengantarkan pot-pot bunga kerumahnya. Selepas itu, jangankan bertemu, menghubungi Tita pun Abad enggan, sesuai janjinya, ia tak ingin Tita merasa terganggu.
Tita tersenyum, rambutnya terkoyak-koyak tertiup angin yang berhembus dengan sangat kencang.
Abad mendekat, “kamu tahu darimana aku disini?”
“Tadi aku ke kantor kamu. Katanya kamu lagi ke lapangan, terus aku dikasih alamatnya. Aku mau bicara.”
Abad melepas helm pelindung kepalanya, “jangan disini, ga aman. Nanti kamu kenapa-kenapa kalau ga pakai alat pelindung.” Abad menggiring Tita menuju sebuah saung yang biasa dipakai para pekerja untuk beristirahat. Disana mereka duduk sejajar, dengan tatapan saling membuang pada kerangka gedung di hadapan mereka.
“Mau bicara apa, Ta?” Abad bertanya, memecah kesunyian.
Tita bergegas merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan kotak cincin pemberian Abad, “Aku mau balikin ini.”
Abad terkejut bukan main, jantungnya terasa ingin lepas detik itu juga. “Jadi, kamu… menolak lamaranku, Ta?”
Tita tersenyum, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Aku mau balikin kotak itu soalnya ga ada gunanya lagi. Udah gada isinya.”
“Maksud kamu?”
Tita dengan gerakan lamban menaikkan tangan kirinya. Sejajar menghadap wajah Abad. dan tepat di jari manis Tita, melingkar lah cincin pemberian Abad disana. “Kotak itu kosong, Bad. Cincinnya udah aku pakai. Gamau aku lepas-lepas lagi.”
Abad tercengang, bingung harus bereaksi seperti apa. Ada jutaan buncahan bunga yang meledak di hatinya, namun ia bingung bagaimana harus mengutarakan itu semua.
“Oh iya, satu lagi,” Tita merogoh paper bag yang ia bawa kemudian mengeluaran sebuket bunga yang ia ikat dengan pita warna-warni, “bunganya sudah mekar semua, aku siram setiap hari soalnya.” Tita mengulurkan buket itu, memberikannya pada Abad.
Abad menerima buket itu dengan mata berkaca-kaca. Detik berikutnya tanpa mampu ia bendung, ia peluk Tita sekuat tenaga, mencoba mengalirkan rasa bahagia yang tiada tara. Abad terharu. Sebab untuk pertama kalinya ia dapat merasakan diberikan kesempatan kedua.


KESEMPATAN MEMAAFKAN

Pagi datang dengan iring-iringan awan teduh yang menyemai di segala sudut langit. Mentari tak mau kalah dengan mulai merangkak naik, mementaskan sinar yang membias begitu terang. Seperti ikut merayakan cuaca yang begitu apik, Kala keluar dari rumahnya dengan berjalan kaki. Menelusuri trotoar demi trotoar tanpa arah. Ia hanya ingin terus melangkah, membiarkan nalurinya membawanya kemana saja.
Akhir-akhir ini Kala lebih senang menyendiri, tidak dengan diganggu Diva, tidak pula dengan riuh ramai teman-teman co-ass-nya. Kala seperti butuh waktu untuk lebih dalam mengikhlaskan segalanya. Mengobati sendiri petak demi petak hatinya yang sempat mati.
Langkah kaki Kala terhenti setelah berhasil berjalan melewati beberapa jalan utama dari rumahnya. Tepat di depan sebuah butik yang cukup ternama di seantero kota. Kala melangkahkan kaki masuk, kemudian memilah milih baju yang dipajang dan berhasil menemukan dua buah kemeja yang ia rasa cocok dengannya.
“Mba, kamar gantinya mana?” tanya Kala pada seorang pegawai. Pegawai itu menunjuk sebuah sudut dengan beberapa kubikel kamar ganti yang berjajar rapi. Kala bergegas masuk ke salah satu diantaranya.
Kala mencoba kemeja pertama, sebuah kemeja berwarna putih tulang dengan bordiran zigzag kecil-kecil di dada kiri. Tubuhnya yang proporsional tampak melekat dengan begitu baik di balik kemeja itu. Kala sampai senyum-senyum sendiri melihat bayangannya di cermin. Cukup lama ia mematuti dirinya sembari memutar-mutar tubuh dari segala sisi.
“Sayang, tunggu bentar ya.” Terdengar kamar ganti sebelah dimasuki seorang perempuan yang tampaknya membawa baju dengan jumlah lumayan banyak. Terdengar dari banyaknya bunyi hanger yang bergesekan diantara kapstok.
Kala bergidik, lalu mulai mencoba kemeja keduanya.
“Bagus ga? Sesuai dengan tema pertunangan kita yang golden-white kan?” pintu kamar ganti sebelah terdengar terbuka dan suara perempuan sebelah kembali menyeruak. Kala tak mampu mengelak telinganya untuk tak mendengar, bagaimana tidak, kamar ganti keduanya benar-benar bersebelahan.
“Bagus. Tapi aku lebih suka yang satunya. Yang tangannya sedikit mengkerut diujung.” Terdengar suara laki-laki yang membalas pertanyaan perempuan itu. Kala tercenung, ia berani bersumpah suara laki-laki itu begitu ia kenal dengan sangat baik.
Kala mengancingi kemeja kedua yang ia coba dengan perlahan, sembari mencoba terus mencuri dengar dari kamar ganti sebelah.
“Oke. Aku coba dulu.” Terdengar suara pintu kembali di tutup. Tak lama pintu kembali terbuka dan perempuan itu kembali bertanya. “Yang ini, Bad, maksud kamu?”
Bad? Mata Kala kontan membulat sempurna mendengar sepenggal nama itu disebut oleh perempuan di kamar ganti sebelah. Kala sampai urung mematuti dirinya di cermin. Ia justru menempelkan telinganya di dinding kamar ganti, mencoba mendengar segalanya dengan lebih jelas.
“Iya, Ta, aku suka yang ini. Yang ini aja gimana?”
Ta? Jantung Kala nyaris mencelos mendengar sepenggal nama lain yang tak asing kembali disebutkan oleh suara laki-laki tadi.
Bad… Ta… Bad… Ta… Kala menerka-nerka sendiri di dalam pikirannya. Penasaran yang membabi buta itu, membuat Kala semakin merekatkan daun telinganya, mencoba mencari kepastian lebih jauh.
Terdengar suara perempuan itu tertawa kecil, “apa yang engga buat Abadi-ku.”
“Tita-ku memang selalu cantik.” Balas suara laki-laki tadi, diiringi tawa yang tak kalah riangnya.
Kala nyaris jatuh kalau saja ia tak buru-buru menahan dirinya pada gagang pintu. Hasrat untuk mencoba kemeja hilang tak berbekas. Ia mencopot kemeja itu, lalu merapikan kembali dirinya. Terdengar pintu kamar ganti sebelah kembali terbuka, kali ini perempuan dan laki-laki itu sepertinya telah pergi sebab telah menjatuhkan pilihan pada gaun kedua.
Kala tak kuasa menahan diri, dibukanya sedikit pintu kamar gantinya, mengintip. Lengkap sudah kepingan rasa penasaran Kala ketika benar saja kedua retinanya menangkap sosok Abad tengah berdiri di kasir bersama seorang perempuan di sisinya. Ditiliknya baik-baik wajah perempuan berparas ayu dengan rambut bergelombang dibagian bawah itu. Perempuan itukah yang bernama Tita? Yang selama ini selalu berhasil menjadi juara atas dirinya?
Mata Kala tak kuasa menolak dengan terus membuntuti gerak gerik sepasang itu. Setelah membayar, keduanya bergegas keluar, dan benar saja, Kala mendapati keduanya memasuki mobil yang sangat ia kenali; mobil sedan berwarna perak yang dulu kerap ia tumpangi.
Kala menutup kembali pintu kamar gantinya. Ia hanya mampu mengelus dada, menahan gemuruh yang bergejolak diluar kuasa. Kala mematuti dirinya di cermin kemudian tersenyum simpul pada dirinya sendiri. Inilah saatnya, saat semua amarahnya harus diakhiri. Saat yang tepat keikhlasannya untuk diuji. Abad sudah memilih Tita kembali dan Kala harus berdamai dengan semua ini.

¤¤¤

Siang menjelang sore di sebuah sudut gedung berlantai sepuluh, Abad tengah sibuk di laboratorium kantornya, menguji sampel sebuah beton ketika ponselnya berbunyi nyaring dan memunculkan nama sesosok wanita yang demi melihat nama itu kembali tertulis di layar ponselnya, Abad bahkan rela menunggu hingga tua.
“Kala?” Abad tak kuasa lagi menahan gejolak yang ada. Rindu itu telah tumbuh dengan begitu rimbun.
“Kamu sibuk?”
Demi mendengar dua patah kalimat itu di telinganya, Abad setengah mati harus menahan air mata haru. Gadis ini, akhirnya mau buka suara.
“Engga, Kal. Ada apa?” dusta Abad, tak diperdulikannya segala sesuatu tentang urusan kantor detik itu juga.
“Aku mau ketemu. Mau bicara.”
“Kapan?” seru Abad dengan nada tak sabar.
“Besok.”
“Dimana?” rasa menggebu-gebu itu semakin tak terkendali.
“Di The Sawah Pastry. Jam 4 sore.”
Abad mengangguk semangat, meski ia tahu Kala tak dapat melihatnya. “Baik, Kal. Besok aku tunggu kamu disana,” bahkan kalau perlu dari jam tiga subuh sudah kutunggui, lanjut Abad dalam hati.
Telepon itu mati. Abad terduduk di kursi kerjanya dengan perasaan riang. Setitik senyum terbit di wajahnya. Apakah ini pertanda Kala sudah mau memaafkan?

¤¤¤

Rintik hujan turun sore itu, membuat tempias-tempias kecil bagi siapapun yang terkena tetesnya. Angin terasa meliuk membawa udara dingin yang merasuk. Awan mendung berarak memayungi bumi. Segala tentang sore itu membuat siapapun rasanya lebih memilih untuk bergumul di balik selimut ketimbang beraktivitas diluar rumah.
Namun, di antara sawah-sawah di kaki perbukitan pesisir kota, tepat di samping The Sawah Pastry, Kala berdiri, diantara selasar-selasar sawah yang sedang rimbun menghijau dan berbuah lebat, kakinya teguh bertelanjang kaki menyesapi lumpur-lumpur yang terasa lembut nan menggelitik. Tangannya menggenggam payung berwarna biru metalik yang mengembang sempurna, menutupi tubuhnya dari rintik hujan yang mengguyur bumi. Matanya menatap nanar sekaligus awas memerhatikan kalau-kalau sosok yang ia tunggu telah datang. Kala menghela nafas, ia yakin ia telah siap.
Sementara itu di pelataran parkir The Sawah Pastry, Abad baru saja tiba mengendarai mobilnya. Ia bergegas masuk kedalam, namun tak mendapati Kala disana.
“Cari Kala?” Pak Tora tiba-tiba menyembul dari balik pintu dapur dan berdiri dibelakang Abad. Alisnya terangkat sebelah.
“Iya, Pak. Dia ga kesini ya?”
Pak Tora tersenyum lalu melirik ke arah sawah di sebelah kiri toko kuenya. “Itu, perempuan berpayung biru itu yang kamu maksud kan?”
Kedua bola mata Abad kontan mengikuti arah pandangan Pak Tora, kemudian tersenyum lega, mendapati Kala disana. “Makasih, Pak. Saya kesana dulu.” Bergegas Abad memutar tubuhnya, namun suara Pak Tora menahan langkahnya sesaat.
“Lepas dia dengan hati-hati, Bad. Kalau kamu tidak mau kacau sendiri nantinya.”
Abad tersenyum, mengangguk, seolah sudah mampu menangkap maksud Pak Tora dari kalimat singkat itu. “Siap, Pak.”
Dengan gerakan kilat Abad keluar dari pintu utama toko, melepas sandalnya, menggulung celana, mengambil payung yang ia simpan di dalam mobil kemudian mengenakannya. Kontraktor handal itu berjalan pelan menelusuri sawah dengan payung merah mengembang diatas kepala.
Kala sudah tahu, lelaki itu tiba, Kala mengamati setiap detik pergerakan Abad dan merekamnya baik-baik di kepala, sebagai salah satu kenang-kenangan yang bisa ia ingat sambil tertawa nantinya.
Tepat ketika Abad berjarak beberapa meter darinya, Kala memutar tubuh, menghadap Abad yang terus mendekat. Kedua mata itu pun adu pandang dalam diam, saling melempar kata tanpa suara.
“Kal…” Abad tiba, berdiri tepat di hadapan Kala, terlalu dekat, hingga payung keduanya saling bersentuhan.
Kala tersenyum, menilik Abad tepat di kedua bola matanya dengan lama, sebab Kala tahu, selepas ini ia takkan lagi bisa menatap keteduhan itu di tempat yang sama. “Bau sawah ternyata tambah enak ya kalau lagi hujan.”
Abad ikut tersenyum, canggung. Begitu ingin rasanya ia meluapkan segala kerinduan. Namun tubuhnya justru berdiri kaku. Mulutnya terkatup membisu.
“Bad… maafin aku yang kemarin-kemarin bertindak diluar batas. Seharusnya aku ga begitu.” Kala memulai pembicaraan menuju titik sasaran.
Abad terdiam sejenak, menyusun kalimat demi kalimat di kepalanya. “Kal, melepas seseorang yang kita sayang itu memang ga mudah. Aku juga kalau jadi kamu mungkin akan lebih marah. Bahkan aku yang jahat ke kamu aja rasanya aku mau marah ke diriku sendiri. Kenapa aku bisa sejahat itu.”
“Ga ada yang jahat ga ada yang baik, Bad, disini. Semua sama. Kamu ingin menjadi anak yang berbakti dan aku yang seharusnya tahu diri.”
“Kal, aku gatau lagi mau bilang apa selain maaf…”
“Sudah-sudah… aku sudah gamau bahas itu lagi. Aku sudah berdamai, Bad, dengan diriku. Aku sudah berdamai dengan emosi dan keegoisanku. Aku salah kalau aku tetap mau mempertahankan kamu. Kamu benar, akan ada banyak luka kalau kita dipaksakan bersama.”
Abad tak mampu lagi menahan sesak didadanya, setetes air mata jatuh, seiring dengan rintik hujan yang semakin menderas, membuat air mata itu dilindas air yang tempias. “Kal… kalau saja aku bisa. Aku ingin kita baik-baik saja. Sungguh.”
“Tapi sayangnya kita gabisa kan, Bad?” Kala menghapus air mata demi air mata yang jatuh di pipi Abad. Kala sudah berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjadi kuat hari ini, takkan ada tangis, takkan ada sedih.
“Kal, kamu itu takdirku, Kal. Takdir yang tak kuasa ku pilih. Sampai kapanpun kamu tetap takdirku. Ingat itu.”
Kala tersenyum, kemudian menggeleng lemah. “Sudah, ikhlaskan semuanya.”
“Ga ada satupun perempuan di dunia ini yang mengerti aku dan isi kepalaku sedalam kamu.”
“Iya, aku tahu. Aku juga begitu ke kamu. Aku sudah pernah bilang kan? Tapi sudahlah, Bad. Mungkin takdir kita hanya sebatas dua orang yang saling melengkapi bukan saling memiliki.”
Abad menggenggam sebelah tangan Kala, kemudian menciuminya berkali-kali, “Kal, kamu harus bahagia ya selepas ini.”
“Kamu juga. Bahagiakan Tita ya, jangan pernah sakiti dia.”
Kedua bola mata Abad kontan membelalak. “Kamu… kamu…”
“Aku tahu tanpa perlu kamu jelaskan. Kamu itu kan aku. Aku itu kan kamu. Kita ini sepikir. Sejiwa. Apa yang kamu rasa aku rasa. Apa yang kamu lakukan dapat ku tebak. Tuhan pun dengan mudah menggiringku untuk membaca apapun tentang kamu.”
Abad terdiam, bising rintik yang memekakan telinga disekitarnya terasa kalah dengan semua ucapan Kala.
“Kamu ga salah dengan keputusanmu kembali ke Tita. Demi Ibumu, Demi Ayahmu. Demi kamu. Tita yang terbaik. Aku tahu.” Kala mengatur nafasnya, seiring dengan nafasnya yang memburu, sedikit demi sedikit beban itu ikut musnah tak bersisa, luka itu lenyap tak berbekas. Kala tahu kini ia telah bebas seutuhnya dari belenggu bayang-bayang Abadi Kusuma Negara. “Sudah sore. Aku mau pulang. Mau dinas malam. Kamu pulang juga, ganti bajumu, lembab. Jaga kesehatanmu. Jangan sampai bertemu aku di rumah sakit.” Kala tersenyum kemudian melangkah pergi, meninggalkan Abad yang masih membujur kaku ditempatnya.
Dokter muda itu berjalan menyelurusi selasar-selasar sawah dengan langkah kaki yang begitu ringan. Segala penderitaan telah usai. Segala gundah telah habis. Takkan ada lagi tangis ceracau. Kala telah menutup kotak lama itu dan menyimpannya dengan baik di sebuah tempat asing yang takkan pernah ia singgahi. Detik ini, Sangkala Indah Lestari telah siap memulai lembar baru kehidupan lagi.


BAHAGIA YANG SAMA

Bulan demi bulan bergulir. Di suatu pagi tepat ketika matahari sedang benderang dengan cerianya di musim panas, Kala berdiri disana, diatas podium gedung wisuda universitasnya dengan bangga. Ia kenakan kembali toga itu untuk kedua kalinya. Hari ini ia resmi bergelar sebagai dokter setelah memalui masa co-ass yang begitu panjang.
Toga itu berpindah dari kiri ke kanan, Kala pun turun podium dengan bangga, memamerkan senyum terbaik yang ia punya. Di sisi kiri bangku penonton Lilia dan Maryam tampak begitu asyik mengambil gambar berpuluh-puluh kali sambil melambai-lambaikan tangan.
Seusai acara wisuda, Kala bergegas pulang kerumah dan menghampiri sanak saudaranya yang berkumpul disana, sedang melakukan perayaan kecil-kecilan.
“Waaahhh akhirnya di keluarga kita ada dokter juga ya. Jadi kalau ada yang sakit ga usah jauh-jauh,” seloroh Om Purna, adik Almarhum Braja yang paling bungsu, Kala terkekeh mendengarnya. “Kalau Om yang berobat, gratis kan, Kal?” Om Purna melirik Kala yang tengah mengunyah makaroni dengan jenaka.
Kala melambaikan tangan di udara, “enak aja, justru karena keluarga tarifnya dua kali lipat, supaya aku cepat kaya.” Kala tergelak, diikuti dengan seluruh keluarganya yang juga tertawa mendengar celotehan itu.
Hari mulai beranjak sore, satu persatu sanak saudara Kala mulai undur diri, hingga menjelang maghrib tersisalah Kala, Maryam dan Lilia saja.
Kala merebah tubuhnya dikamar, menatap langit-langit. Tangannya kemudian meraba sebuah benda yang ia simpan dibawah bantalnya sejak ia terima kemarin sore. Sebuah undangan yang diantar oleh tukang pos. Mungkin sang pengundang terlalu takut menyampaikan undangan itu secara langsung sehingga terpaksa melalui perantara.
“The Wedding of Abad & Tita” tulis sampul depan undangan itu. Bercorak putih dan emas; sesuai dengan apa yang Kala dengar di ruang ganti baju butik beberapa bulan lalu, undangan itu tampak apik dengan lambang huruf A dan T terukir secara timbul di bagian depannya.
Kala tersenyum membaca kalimat demi kalimat di undangan itu. Sebuah tanggal yang jatuh tiga hari lagi adalah tanggal yang sepasang itu pilih. Kala meraba dadanya, ada bahagia tak terjelaskan menyemai disana. Saat ini adalah saat yang paling ia tunggu. Akhirnya Abad mampu bahagia walaupun bukan dengan dirinya jua.
Kala menutup undangan itu. Menaruhnya di laci nakas. Kemudian bergegas menutupi dirinya dengan selimut, memejamkan mata sembari memastikan dirinya akan datang kesana.

¤¤¤

“Lo emang selalu cantik, Kal.” Diva menatap Kala tanpa berkedip, gaun beludru backless semata kaki dengan warna abu-abu itu melekat dengan sempurna di tubuh Kala, seolah penjahitnya memang menciptakan baju itu khusus untuk dirinya seorang.
“Rambut gue bagusnya diapain nih?” Kala masih sibuk memegang-megang rambutnya sembari bercermin. Wajahnya ia sapu dengan polesan make up tipis dan lipstik berwarna maroon.
Diva bangkit mendekati Kala, “sini biar gue bantuin.” Diva membentuk rambut itu menjadi sebuah cepol bulat yang rapi, dan sebagai penghias ia menyelipkan tusuk konde berwarna perak dengan pernak-pernik berbentuk tulip diujungnya. “Sempurna.” Diva tersenyum puas melihat penampilan Kala yang Diva sendiri berani bertaruh siapapun yang melihatnya akan langsung terpikat tanpa mampu menolak. “Let’s give applause to the miraculous Sangkala Indah Lestari.” Diva bertepuk tangan sembari terkekeh.
Sementara itu Kala hanya tersenyum simpul sembari terus mematuti dirinya pada cermin. “Div, gue dandan cantik bukan supaya Abad menyesal loh ya.”
“Iya… iya… gue tahu. You make it for your own self. Sangkala kan memang selalu begitu.”
Kala bangkit kemudian tersenyum. “Yuk, ntar udah keburu mulai acaranya.” Kala menyambit tas tangan berwarna senada dari atas nakas kamarnya, lalu berjalan keluar diiringi Diva. Sementara itu dibawah, Berna sudah siap siaga, turut mengantarkan Kala menuju pesta pernikahan Abad dan Tita.

¤¤¤

Mobil Berna menurunkan Kala tepat di depan pintu utama gedung. Setelah menyemangati sahabatnya itu, Diva dan Berna pergi, dan berjanji akan menjemput Kala seusai acara pesta berakhir nanti.
Kala mengedarkan pandang, kakinya mengalun lembut diatas karpet merah bertabur bunga yang digelar dipelataran pintu masuk. Hingar-bingar kebahagiaan tampak di segala sudut. Musik mengalun pelan, membasahi gendang telinga Kala sekaligus membuat hatinya menjadi jauh begitu tenang. Kala siap, ia masuk lebih dalam ke dalam jantung utama gedung.
Disana, tepat diatas singgasana itu, Abad duduk dengan jas putih yang melekat sempurna ditubuhnya yang atletis. Kulit sawo matangnya tampak mengilat ditimpah gemintang cahaya lampu sorot dari segala arah. Disebelahnya, Tita, duduk begitu manis, dengan gaun berwarna putih dan manik-manik emas bertabur mewah disetiap inci, sapuan make up lembut namun tampak tegas, disempurnakan dengan senyum yang melengkung dengan indah, ia tampak begitu cantik. Sepasang itu tampak bahagia. Kala sampai dapat merasakan sendiri kebahagiaan itu ikut menyemai dihatinya.
Kala berdiri dibalik sebuah meja dengan hidangan minuman dan makanan kecil tertata rapi diatasnya. Ia ambil segelas soda lalu meminumnya seteguk, matanya tak dapat berhenti memandang sepasang itu dari kejauhan.
Kala tersenyum. Akhirnya. Hari ini tiba. Hari dimana segalanya dapat ia ikhlaskan dengan lapang dada. Hari dimana segala dendam telah usai, segala amarah telah habis. Tak ada yang perlu merasa benar, tak ada yang perlu merasa salah. Tak ada yang perlu merasa ditinggalkan, tak ada yang perlu merasa meninggalkan. Semua telah berdamai pada jalan hidupnya masing-masing.
Soda di gelasnya tandas, Kala meletakkan gelas kosong ditangannya lalu mulai beranjak maju mendekati pelaminan. Desir di dadanya berdetak ceria. Kala akan ingat dengan baik bahwa ini adalah salah satu momen terbahagia dalam hidup yang ia punya; menyaksikan seseorang yang begitu melengkapinya dapat dilengkapi dengan sosok lain yang lebih pantas. Kala tahu Abad adalah sosok yang ia cari, namun Tuhan lebih tahu bahwa pencarian Kala tak bisa berhenti disini.
Kala kini berdiri tepat di depan sepasang itu, menyalami Tita dengan senyum merekah terpampang diwajahnya, “selamat ya, Ta. Semoga bahagia. Aku Kala.” Kala tanpa ragu memperkenalkan dirinya.
Tita tampak terkejut namun berusaha tenang, untuk pertama kalinya akhirnya ia melihat sosok Kala secara langsung. Kalau saja sedang tak berada di pelaminan, rasanya Tita begitu ingin memeluk Kala kemudian meminta maaf atas semua kejadian yang melukai hatinya. “Terimakasih, Kal. Kamu juga harus bahagia ya.” Akhirnya hanya itu yang mampu Tita ucap.
Kala mengangguk, tersenyum sumringah lalu melangkahkan kaki menuju Abad yang Kala tahu sedari tadi telah takjub sendiri memandangi Kala tanpa henti. Kala mengulurkan tangan, menyalami Abad dengan tulus, “selamat berbahagia, Bad. Jaga Tita baik-baik.”
Abad tersenyum, menggenggam tangan Kala dengan begitu lama, seolah tak ingin melepasnya. “Makasih ya, Ta. Kamu juga jaga diri baik-baik.”
Kala melepas jabat tangan itu lalu tersenyum. Berlalu tanpa membalas kalimat Abad. Kini ia berjalan menuju Arita dan Wijayanto yang duduk di kursi setelah Abad. Kala menyalami keduanya dengan santun sembari tersenyum sumringah, menunjukkan kedikdayaan dirinya yang telah bangkit tanpa meninggalkan jejak keterpurukan sedikitpun. Arita tersenyum, hendak mengucap beribu maaf pada Kala atas segala sikapnya, namun bibirnya terasa kelu. Kala berlalu dari sepasang suami istri itu tanpa mengucap sepatah katapun.
Hari ini, Abad dan Tita memanglah duduk di singgasana. Namun sejatinya, Kala yakin ia lah jawara sesungguhnya, jawara atas segala ego yang ia menangkan sebab telah berhasil mengikhlaskan takdir yang tak kuasa ia pilih. Kala bangga, Kala lah pemenangnya.


PERTEMUAN BARU

Kala duduk diruang tunggu bandara sembari meneguk lemonade dingin, sementara itu tangannya sibuk membolak-balik halaman sebuah buku yang baru ia baca seperempat bagian.
Tepat ketika Kala baru saja hendak membuka bungkus wafer yang ia beli, speaker bandara berbunyi, menyuarakan panggilan penumpang dengan nomor pesawat yang Kala tumpangi. Kala bergegas membereskan barang-barangnya, lalu berjalan sembari menggeret koper dengan sedikit tergesa.
Gubrak!
Baru beberapa meter berjalan, seseorang dari arah berlawanan menabraknya. Kala terjatuh dengan posisi terduduk, koper yang Kala bawa tumbang dan tergeletak setelah berhasil membuat suara debuman lumayan kencang. Kala memijat kepalanya yang juga ikut terbentur dengan orang yang baru saja menabraknya. Pelipisnya terasa begitu nyeri.
“Sorry… ga sengaja. Saya buru-buru.” Lelaki itu dengan cepat membereskan koper Kala, dan beberapa barang kecil Kala yang berserakkan disekitarnya.
Kala menilik wajah lelaki itu dengan detil sembari terus memijat pelipisnya.
“Kamu ga kenapa-kenapa? Pelipisnya sakit?” lelaki itu berjongkok kemudian mendekati Kala yang masih terduduk, memerhatikan pelipis Kala dengan seksama sehingga membuat wajahnya hanya berjarak beberapa centi dari wajah Kala. Kala bahkan sampai mampu mendengar bunyi nafas lelaki berkulit putih bersih ini dengan sangat jelas sekali.
Kala menggeleng pelan kemudian tersenyum kecil, “gapapa…” Kala bangkit berdiri kemudian menggenggam erat kopernya lagi, “makasih udah dibantuin. Duluan ya.” Kala bergegas menarik kopernya lagi kemudian berlari kecil.
Lelaki itu tercenung menatap punggung Kala yang semakin menjauh tanpa berkedip. Sekejap saja ia dapat merasakan jantungnya berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.
Lelaki itu baru saja hendak melangkah pergi ketika ia sadari suatu benda tertinggal di dekat kakinya; sebuah buku bersampul putih dengan judul cerita klasik tentang sebuah kerajaan Spanyol. Lelaki itu menaikkan alisnya sedikit, kemudian membuka lembar halaman pertama buku itu. “Sangkala Indah Lestari” tulisan yang sangat ia yakini sebagai nama perempuan yang ia tabrak tadi sekaligus sang pemilik buku.
Lelaki itu tersenyum, bak menemukan titik terang atas sebuah jalan, buku itu ditatapnya dengan sumringah, ia yakin benda itu dapat ia jadikan sebagai kunci atas awal pertemuan baru. Dimasukkannya buku itu ke dalam tas jinjingnya, demi detik berikutnya ia sibuk membenarkan kemeja yang sempat berantakan akibat tabrakan tadi. “Denish Adrian dan Sangkala Indah Lestari, cocok sekali bukan?” gumam lelaki itu pada dirinya sendiri.




SELESAI