SEBUAH PENERIMAAN
Malam beranjak
naik, Tita merebah tubuhnya diranjang dengan tatapan kosong menatap
langit-langit kamarnya. Ditangannya ia menimang-nimang kotak berisi cincin yang
Abad berikan. Tita belum menerima juga belum menolak lamaran Abad. Ia masih
butuh waktu untuk menyetabilkan hatinya, ia masih butuh masa-masa untuk
meyakinkan hatinya kembali selepas semua sakit yang ia jalani selama ini.
Tita tahu
segalanya takkan mudah. Ia pernah merasakan sakit yang begitu dalam sebab
ditinggalkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Namun di sisi lain,
Tita juga tak mampu mengelak, cinta itu masihlah ada, utuh, tak retak walau
hanya segaris, meski telah penuh lebam di segala sisi.
Mengapa? Mengapa
dengan mudah Abad meminta kembali setelah semua peristiwa yang begitu
menyakitkan ini?
Sedang asyik
melamun, ponsel Tita tiba-tiba bergetar memunculkan nama Abad di layarnya.
“Halo?”
“Aku di depan kontrakan kamu.”
“Hah?” sekejap, Tita
bergegas berlari keluar dari kamar, lalu membuka pintu utama rumahnya. Dan
benar saja, Abad berdiri di balik pintu, sembari menenteng beberapa kardus
besar.
“Aku kira kamu
pulang.” Tita mengingat-ngingat kembali perkataan Abad selepas mereka berpisah
di restoran.
Abad menggeleng,
“ga jadi. Aku mau disini.”
“Ngapain?”
“Gapapa, nemenin kamu.” Abad tersenyum simpul. “Aku masuk ya.” Abad menerobos
masuk tanpa persetujuan Tita. Tita hanya mampu tercengang sembari mengikuti
langkah kaki lelaki itu menuju ruang tengah rumah kontrakannya.
Abad meletakkan
kardus-kardus yang ia bawa ke lantai lalu membongkarnya satu persatu. “Aku
bawain kamu bunga bunga hidup.”
Tita mengernyit,
dahinya menjadi keriting sekali. “Buat apa?”
“Buat dipajang
dirumah kamu.”
“Bad…”
Abad mengeluarkan satu pot plastik
berukuran sedang yang sudah ditanami bunga melati, kemudian ia mengeluarkan
lagi satu pot yang sudah ditanami mawar. Tita hanya mampu
memandangi adegan itu dengan kepala penuh kebingungan.
Abad terus
mengeluarkan isi kardus-kardus itu dengan total enam buah pot dan enam jenis
bunga yang berbeda. Abad kemudian menggotong pot pot itu satu persatu ke balkon
samping rumah Tita, menjejerkannya dengan rapi di sebuah meja kayu yang
terletak disana.
“Ta, aku gatau
lagi gimana caranya buat hati kamu luluh dan percaya. Yang bisa aku lakukan
sekarang cuma mempengaruhi pikiran kamu agar berubah dengan hal-hal yang aku
usahakan.” Abad menatap Tita yang berdiri di depan pintu balkon dengan tajam.
“Ta, anggaplah bunga-bunga ini perasaanmu terhadapku. Kalau kamu memang mau
mencoba mencintaiku sekali lagi, kalau memang kamu mau mencoba untuk
menumbuhkan lagi apa yang sudah mati diantara kita, kamu pasti akan menyirami
bunga-bunga ini setiap hari hingga mekar.”
“Bad, aku…”
“Ta, ini usaha
terakhirku. Aku rasa aku gabisa memaksa kamu terlalu jauh. Aku ingin perasaanmu
itu tumbuh dengan sendirinya.” Abad mendekat, menggenggam tangan Tita dengan
erat. “Sekali ini biarkan hatimu yang bekerja, Ta, bukan isi kepalamu,
kumohon.”
Tita terdiam,
genggaman tangan itu tak mampu ia tolak.
“Aku akan ada
disini, di kotamu, sampai beberapa bulan ke depan. Aku sudah mengurus
permohonan untuk mengerjakan proyek yang kebetulan ada disini. Aku akan ada
disini, Ta, sampai kamu menemukan jawaban untukku. Yakinkan hatimu baik-baik.
Aku menunggu.” Abad melepas genggaman itu. “Aku pulang dulu, aku tinggal di
mess pegawai di dekat taman kota. Hubungi saja aku kapanpun kamu butuh
sesuatu.” Abad tersenyum, mengelus pipi Tita dengan lembut lalu beranjak pergi.
Tita menatap
punggung Abad yang menghilang dengan perasaan yang berupa-rupa. Tuhan, harus
apa lagi aku sekarang? Desisnya dalam hati pada dirinya sendiri.
¤¤¤
Abad menelusuri
jalanan kota dengan kakinya yang melangkah dalam lega. Ia tak menyangka akan mampu
melalui ini semua. Melamar Tita sungguh tak pernah ada dalam rencana jangka
dekatnya, namun ternyata Tuhan berkata lain, ini la yang harus Abad lakukan,
demi kebaikan segalanya. Keputusan besar untuk tetap berada di kota Tita juga adalah
sebuah bagian dari usaha yang Abad lakukan, semoga dengan begini ia bisa
mendapatkan hasil terbaik. Semoga Tita mau menerimanya kembali.
Langit mulai
menggelap ketika Abad menghentikan langkahnya di sebuah kedai nasi goreng
pinggir jalan tepat beberapa ratus meter sebelum indekos miliknya. Kejadian
demi kejadian hari in sungguh menguras tenaga. Rasanya ia ingin makan nasi
goreng dua porsi sekaligus.
“Bang, nasi
goreng dua.” Abad mengambil kursi lalu duduk dengan menghadap jalanan yang
tampak ramai.
Ditatapinya satu
persatu kendaraan yang berlalu lalang sembari membuka beberapa buku catatan
kecilnya dan menggores beberapa rencana kerja baru disana. Tempat kerja baru,
suasana baru, proyek baru, orang-orang baru, segala hal baru yang mulai harus
Abad adaptasikan dari nol lagi. Abad harus mempersiapkan segalanya dengan
matang.
Nasi goreng itu
pun datang, Abad menutup buku catatannya dan menatapi lamat-lamat dua piring
yang tersaji dihadapannya itu. Pikirannya berhasil dibawa melayang pada
kejadian beberapa bulan lalu saat ia menyatakan cintanya pada Kala. Saat itu,
Abad tahu hatinya sebegitu yakin, tak gentar barang sedikit saja, ia percaya
Kala akan menjadi tempat berlabuh dari segala pencariannya. Saat itu ia tahu,
demi Kala, ia rela mengorbankan apapun miliknya asal gadis itu dapat ia rengkuh
dalam utuh, Kala membuatnya nyaris gila dan bertekuk lutut sepasrah-pasrahnya,
gadis itu adalah pusat gravitasi hidup Abad yang semula bergerak pada poros tak
beraturan. Saat itu Abad tahu, ia dan Kala akan selamanya, sebelum akhirnya segala
bencana tiba…
Abad menelan
ludah, kerongkongannya terasa sakit, dadanya sesak, luka itu muncul lagi ke
permukaan. Segala tentang Kala sejatinya memang belum mampu ia lupa. Abad
menyingkirkan dua piring nasi goreng itu tanpa berniat memakannya, nafsu makannya
hilang seketika dibawa luka yang mendera-dera.
Abad bangkit
dari duduknya, membayar nasi goreng itu dan berhasil mendapatkan tatapan heran
dari sang penjual sebab ia tak menyentuh makanan itu sedikitpun. Selepas itu,
ia beranjak pergi, melangkahkan kakinya dengan mata bening berkaca-kaca yang
membuat lampu-lampu sepanjang jalan terasa bias jika ia tatap. Abad terluka
sendiri, luka akibat rindu pada seseorang yang ia raih bayangnya saja lagi pun
rasanya tak mungkin lagi.
¤¤¤
Tita menyeruput
espresso hangatnya sambil melirik sekilas dari balik gelas pada sosok lelaki
dihadapannya. Lelaki itu tampak begitu salah tingkah, canggung, wajahnya
meronakan raut malu yang khas. Tita tahu Denish selalu begitu.
“Nish…” panggil
Tita, membuat Denish yang sedari tadi sibuk mengaduk-ngaduk kopinya tanpa
hendak meminum itu mendongak, menatap mata Tita dengan canggung, lalu membuang
pandangannya kembali. “Nish, kamu ga perlu canggung lagi sama saya. Saya ini
ngajak kamu ketemu karena saya mau kita saling memaafkan.”
Denish
menghempas tubuhnya ke sandaran kursi lalu menatap Tita dalam, “maksud kamu?”
“Nish, saya tahu dan sangat sadar sekali, menyimpan amarah dalam benak adalah
suatu hal yang ga baik. Maafkan saya, Nish.”
“Ta… engga…
seharusnya saya yang minta maaf…”
“Saya juga
salah, Nish.”
“Ta…”
“Nish, pokoknya
saya juga salah,” Tita mengulurkan tangannya tepat di hadapan wajah Denish,
“mulai sekarang ga ada lagi rasa marah, canggung, dan dendam antara kita ya.
Kita berteman lagi. Kamu mau kan?” Tita tersenyum, senyum yang selalu membuat
Denish mabuk kepayang.
Denish dengan
sigap menyambut uluran tangan itu, menggenggam tangan Tita dalam sebuah jabat,
jabat yang mampu mengalirkan energi bahagia luar biasa dalam tubuh Denish.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan ini, Denish mampu tersenyum tanpa
beban, tubuhnya terasa berhasil melepaskan segala gundah yang selama ini ia
pendam dalam-dalam.
Tita melepas
jabat itu lalu mencomot sebuah roti dan mengunyahnya dengan pelan, “Nish,
gimana kantor?”
Denish
ikut-ikutan mencomot roti lalu memakannya juga, “baik. Penjualan kita yang
jelas gapernah sebaik saat kamu masih di kantor, Ta.”
Tita terkekeh.
“Ta,
ngomong-ngomong ada angin apa kamu tiba-tiba memaafkan saya?” Denish tak mampu
lagi menyembunyikan tanda tanya besar diatas kepalanya.
“Saya sudah
banyak berpikir, Nish, selama beberapa
bulan belakangan ini. Ada banyak hal yang sudah saya lalui dan membuat saya
sadar. Saya ga akan bisa, Nish, memasuki babak hidup baru kalau saya belum
memaafkan orang-orang yang pernah berselisih dengan saya, termasuk kamu.”
“Babak hidup
baru?”
Tita mengangguk,
“Abad melamar saya, Nish.”
Denish nyaris
saja tersedak roti yang ia telan kalau saja ia tak buru-buru mengendalikan diri
kemudian berpura-pura tenang. “Melamar?”
“Iya. Tapi belum
saya jawab.”
“Kenapa?” Denish
dapat merasakan dengan jelas sekali denyut jantungnya memompakan darah dengan
sangat lamban, membuat oksigen di sel-sel darahnya semakin sedikit, dan ia
sesak, sesak sebab sakit yang begitu kentara.
Tita menggeleng,
“saya butuh berpikir jernih dan butuh waktu pastinya. Ini bukan perihal mudah.
Dan saya rasa salah satu hal yang dapat membuat saya berpikir jernih adalah
dengan melepaskan beban-beban amarah. Itulah kenapa saya mau memaafkan kamu.”
Denish limbung,
ia kembali menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menenangkan hatinya.
Mencoba berpikir jernih. Hey! Kenapa saya harus sedih? Tita layak bahagia,
bahagia dengan yang ia cinta! Desis batin Denish menjerit-jerit di dalam kepala.
Denish menghela nafas berkali-kali, kemudian mencoba menyunggingkan bibirnya,
membuat senyum, dan menatap mata Tita dalam. “Ta, kalau kamu saja mampu
memberikan saya maaf, kenapa tidak dengan Abad? Terima lah, Ta… terima saja
dia…” Denish kembali mengatur nafasnya, kalimat barusan membuat seluruh tubuhnya
terasa bekerja lebih keras. Mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan isi hati
memang sulit sekali.
“Kamu benar,
Nish.” Tita tersenyum, enggan melanjutkan perbincangan lebih jauh. Diliriknya
jam tangan yang ia kenakan. Pukul delapan malam rupanya. “Nish, saya pamit ya.
Besok ada rapat pagi di kantor. Saya harus istirahat.” Tita bangkit lalu
mengambil jaketnya yang ia sampirkan di kursi, “makasih ya, Nish. Makasih sudah
memaafkan saya.”
Denish pun
bangkit, tersenyum, meski hatinya nyeri. “Sama-sama, Ta. Semoga kamu lekas
bahagia.”
“Iya, Nish. Kamu
juga.”
Dilepas dengan
kalimat-kalimat saling mendoakan. Kedua manusia itu berpisah. Tita melangkah
dengan hati lega luar biasa, Denish duduk terdiam dengan luka menganga yang
berdarah dengan begitu hebatnya.
¤¤¤
Abad keluar dari
kantornya dengan menaiki sebuah taksi online. Setelah googling beberapa lama,
Abad memutuskan untuk menuju sebuah mall di pusat kota yang konon katanya memiliki sebuah bar outdoor di
lantai paling atas.
Abad tiba disana
tepat pukul sembilan malam, saat tepat dimana pengunjung sedang ramai-ramainya.
Alunan musik dari panggung tak henti-hentinya mengalun dari penyanyi. Bar-bar
yang ada di setiap sudut ruangan tampak penuh. Kursi pun nampak sesak dengan
kumpulan orang-orang yang meminum berbotol-botol anggur secara bergantian. Abad
melangkah, menuju balkon, memilih duduk di sebuah kursi tunggal di pagar
pembatas. Setelah memesan kopi pahit, Abad mulai membakar sebatang rokok.
Pandangannya nanar menatap lampu-lampu kota, pikirannya sepi, meski sekitarnya
sangatlah ramai sekali.
Bayangan Kala
kembali terlintas dengan sangat jelas. Kal, ini pemandangan kesukaan kamu,
lampu-lampu kota, Abad membatin. Abad menghela nafas, mencoba memejamkan mata,
menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba Abad merasakan hatinya berdesir,
seperti ada bongkahan besar yang hendak keluar kemudian pecah. Abad semakin
khusyuk memejamkan mata, semakin dalam. Dikilas baliknya segala kenangan
tentang ia dan Kala. Senyum gadis itu, rambutnya yang berterbangan saat tertiup
angin pantai, langkah-langkah kakinya berlari kecil di selasar sawah. Abad
tersenyum, ia tak pernah membayangkan Kala dengan perasaan selega ini. Ada
suatu perasaan bebas yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Abad menyeruput
kopi pahitnya yang baru datang, hatinya mulai menghangat, seiring dengan
rokoknya yang hampir tandas Abad dapat merasakan dengan jelas dihatinya mulai
menyemai perasaan ikhlas. Abad kembali mengulik ingatannya, membayangkan Kala
yang begitu bahagia lepas dari terkaman Ibunya, Abad juga mulai membayangkan
Kala di masa depan akan tumbuh menjadi gadis yang begitu hebat sebab tak ada
lagi yang memaksa Kala untuk merubah jati dirinya. Kala yang warna-warni itu
akan tetap jadi pelangi dimanapun ia berada.
Abad mendongak,
menatap langit dengan mata berkaca-kaca bahagia, senyuman tersungging jelas di
wajahnya. “Tuhan, terimakasih, aku tahu ini keputusan terbaik. Kala akan
bahagia tanpaku. Dan aku sudah ikhlas akan hal itu…”
¤¤¤
Tita bangun pagi
itu dengan suasana hati berbeda. Minggu-minggu belakangan ini berlalu begitu cepat dari hidupnya. Tita
enggan mengganggu Abad, pun begitu sebaliknya, Abad sepertinya membiarkan rasa
Tita bekerja memutuskan semuanya menggunakan nurani semata.
Tita terus
melakukan aktivitas seperti biasa; bekerja, masak, membereskan rumah, sesekali
makan di luar dengan teman-teman sekantornya, kemudian pulang dan tidur. Oh ya,
ditambah dengan satu lagi kebiasaan baru, sebelum berangkat kerja, Tita menjadi
rutin sekali mengunjungi balkon samping rumah kontrakannya, memandangi jejeran
bunga pemberian Abad, menimang-nimang akan menyirami bunga tersebut atau tidak,
walaupun akhirnya setiap hari hatinya tak mampu melawan segala rasa, ia terus
menyirami bunga-bunga itu tanpa jeda, berharap mereka segera mekar dengan
segera.
Tita tak mampu
menolak lagi, hatinya sungguh sangat-sangat ingin melihat pendar warna-warni
dari kuncup itu segera merekah. Sama seperti hatinya yang perlahan mulai
menyusun kembali kepingan demi kepingan jalan setapak pulang menuju Abad. Tita
tahu ini sudah diluar kuasanya, namun Tita tak berdaya bila hatinya yang sudah
bekerja.
Tita membuka
selimut yang membungkus tubuhnya, matanya menatap nanar mentari yang bersinar
lebih cerah di hari Minggu pagi itu. Matahari itu seperti tersenyum padanya,
seolah menandakan hal-hal baik akan tiba.
Tita berjalan
menuju balkon samping, menatap bunga-bunga itu entah untuk keberapa ratus kali
demi kemudian mendapati suatu hal yang menyenangkan; bunga-bunga itu mulai
merekah pagi ini. Tita mendekat, menyentuh kelopak-kelopak bunga itu dengan
takjub, matanya berbinar, memancarkan kebahagiaan yang berasal dari dasar
hatinya yang paling dalam.
Sudah tibakah
saatnya Tuhan?
¤¤¤
Abad terkejut,
saat sedang asyik-asyiknya mengawasi pembangunan gedung mall yang ia tangani,
salah seorang bawahannya mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang
menunggunya di depan gedung konstruksi yang belum jadi ini. Abad mengernyit,
lantas segera melesak diantara beton-beton yang terhampar demi menuju bagian
depan gedung.
“Tita?” Abad tak
mampu lagi menahan rasa kagetnya. Gadis itu, sudah dua bulan tak ia lihat,
terakhir, saat Abad mengantarkan pot-pot bunga kerumahnya. Selepas itu,
jangankan bertemu, menghubungi Tita pun Abad enggan, sesuai janjinya, ia tak
ingin Tita merasa terganggu.
Tita tersenyum,
rambutnya terkoyak-koyak tertiup angin yang berhembus dengan sangat kencang.
Abad mendekat,
“kamu tahu darimana aku disini?”
“Tadi aku ke
kantor kamu. Katanya kamu lagi ke lapangan, terus aku dikasih alamatnya. Aku
mau bicara.”
Abad melepas
helm pelindung kepalanya, “jangan disini, ga aman. Nanti kamu kenapa-kenapa
kalau ga pakai alat pelindung.” Abad menggiring Tita menuju sebuah saung yang
biasa dipakai para pekerja untuk beristirahat. Disana mereka duduk sejajar,
dengan tatapan saling membuang pada kerangka gedung di hadapan mereka.
“Mau bicara apa,
Ta?” Abad bertanya, memecah kesunyian.
Tita bergegas
merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan kotak cincin pemberian Abad, “Aku mau
balikin ini.”
Abad terkejut
bukan main, jantungnya terasa ingin lepas detik itu juga. “Jadi, kamu… menolak
lamaranku, Ta?”
Tita tersenyum,
kemudian tertawa terbahak-bahak. “Aku mau balikin kotak itu soalnya ga ada
gunanya lagi. Udah gada isinya.”
“Maksud kamu?”
Tita dengan
gerakan lamban menaikkan tangan kirinya. Sejajar menghadap wajah Abad. dan
tepat di jari manis Tita, melingkar lah cincin pemberian Abad disana. “Kotak
itu kosong, Bad. Cincinnya udah aku pakai. Gamau aku lepas-lepas lagi.”
Abad tercengang,
bingung harus bereaksi seperti apa. Ada jutaan buncahan bunga yang meledak di
hatinya, namun ia bingung bagaimana harus mengutarakan itu semua.
“Oh iya, satu
lagi,” Tita merogoh paper bag yang ia bawa kemudian mengeluaran sebuket bunga
yang ia ikat dengan pita warna-warni, “bunganya sudah mekar semua, aku siram
setiap hari soalnya.” Tita mengulurkan buket itu, memberikannya pada Abad.
Abad menerima
buket itu dengan mata berkaca-kaca. Detik berikutnya tanpa mampu ia bendung, ia
peluk Tita sekuat tenaga, mencoba mengalirkan rasa bahagia yang tiada tara.
Abad terharu. Sebab untuk pertama kalinya ia dapat merasakan diberikan
kesempatan kedua.
KESEMPATAN MEMAAFKAN
Pagi datang
dengan iring-iringan awan teduh yang menyemai di segala sudut langit. Mentari tak
mau kalah dengan mulai merangkak naik, mementaskan sinar yang membias begitu
terang. Seperti ikut merayakan cuaca yang begitu apik, Kala keluar dari
rumahnya dengan berjalan kaki. Menelusuri trotoar demi trotoar tanpa arah. Ia
hanya ingin terus melangkah, membiarkan nalurinya membawanya kemana saja.
Akhir-akhir ini
Kala lebih senang menyendiri, tidak dengan diganggu Diva, tidak pula dengan
riuh ramai teman-teman co-ass-nya. Kala seperti butuh waktu untuk lebih dalam
mengikhlaskan segalanya. Mengobati sendiri petak demi petak hatinya yang sempat
mati.
Langkah kaki
Kala terhenti setelah berhasil berjalan melewati beberapa jalan utama dari
rumahnya. Tepat di depan sebuah butik yang cukup ternama di seantero kota. Kala
melangkahkan kaki masuk, kemudian memilah milih baju yang dipajang dan berhasil
menemukan dua buah kemeja yang ia rasa cocok dengannya.
“Mba, kamar
gantinya mana?” tanya Kala pada seorang pegawai. Pegawai itu menunjuk sebuah
sudut dengan beberapa kubikel kamar ganti yang berjajar rapi. Kala bergegas
masuk ke salah satu diantaranya.
Kala mencoba
kemeja pertama, sebuah kemeja berwarna putih tulang dengan bordiran zigzag
kecil-kecil di dada kiri. Tubuhnya yang proporsional tampak melekat dengan
begitu baik di balik kemeja itu. Kala sampai senyum-senyum sendiri melihat
bayangannya di cermin. Cukup lama ia mematuti dirinya sembari memutar-mutar
tubuh dari segala sisi.
“Sayang, tunggu
bentar ya.” Terdengar kamar ganti sebelah dimasuki seorang perempuan yang
tampaknya membawa baju dengan jumlah lumayan banyak. Terdengar dari banyaknya
bunyi hanger yang bergesekan diantara kapstok.
Kala bergidik,
lalu mulai mencoba kemeja keduanya.
“Bagus ga?
Sesuai dengan tema pertunangan kita yang golden-white kan?” pintu kamar ganti
sebelah terdengar terbuka dan suara perempuan sebelah kembali menyeruak. Kala
tak mampu mengelak telinganya untuk tak mendengar, bagaimana tidak, kamar ganti
keduanya benar-benar bersebelahan.
“Bagus. Tapi aku
lebih suka yang satunya. Yang tangannya sedikit mengkerut diujung.” Terdengar
suara laki-laki yang membalas pertanyaan perempuan itu. Kala tercenung, ia
berani bersumpah suara laki-laki itu begitu ia kenal dengan sangat baik.
Kala mengancingi
kemeja kedua yang ia coba dengan perlahan, sembari mencoba terus mencuri dengar
dari kamar ganti sebelah.
“Oke. Aku coba
dulu.” Terdengar suara pintu kembali di tutup. Tak lama pintu kembali terbuka
dan perempuan itu kembali bertanya. “Yang ini, Bad, maksud kamu?”
Bad? Mata Kala
kontan membulat sempurna mendengar sepenggal nama itu disebut oleh perempuan di
kamar ganti sebelah. Kala sampai urung mematuti dirinya di cermin. Ia justru
menempelkan telinganya di dinding kamar ganti, mencoba mendengar segalanya
dengan lebih jelas.
“Iya, Ta, aku
suka yang ini. Yang ini aja gimana?”
Ta? Jantung Kala
nyaris mencelos mendengar sepenggal nama lain yang tak asing kembali disebutkan
oleh suara laki-laki tadi.
Bad… Ta… Bad…
Ta… Kala menerka-nerka sendiri di dalam pikirannya. Penasaran yang membabi buta
itu, membuat Kala semakin merekatkan daun telinganya, mencoba mencari kepastian
lebih jauh.
Terdengar suara
perempuan itu tertawa kecil, “apa yang engga buat Abadi-ku.”
“Tita-ku memang
selalu cantik.” Balas suara laki-laki tadi, diiringi tawa yang tak kalah
riangnya.
Kala nyaris
jatuh kalau saja ia tak buru-buru menahan dirinya pada gagang pintu. Hasrat
untuk mencoba kemeja hilang tak berbekas. Ia mencopot kemeja itu, lalu
merapikan kembali dirinya. Terdengar pintu kamar ganti sebelah kembali terbuka,
kali ini perempuan dan laki-laki itu sepertinya telah pergi sebab telah
menjatuhkan pilihan pada gaun kedua.
Kala tak kuasa
menahan diri, dibukanya sedikit pintu kamar gantinya, mengintip. Lengkap sudah
kepingan rasa penasaran Kala ketika benar saja kedua retinanya menangkap sosok
Abad tengah berdiri di kasir bersama seorang perempuan di sisinya. Ditiliknya
baik-baik wajah perempuan berparas ayu dengan rambut bergelombang dibagian
bawah itu. Perempuan itukah yang bernama Tita? Yang selama ini selalu berhasil
menjadi juara atas dirinya?
Mata Kala tak
kuasa menolak dengan terus membuntuti gerak gerik sepasang itu. Setelah
membayar, keduanya bergegas keluar, dan benar saja, Kala mendapati keduanya
memasuki mobil yang sangat ia kenali; mobil sedan berwarna perak yang dulu
kerap ia tumpangi.
Kala menutup
kembali pintu kamar gantinya. Ia hanya mampu mengelus dada, menahan gemuruh
yang bergejolak diluar kuasa. Kala mematuti dirinya di cermin kemudian
tersenyum simpul pada dirinya sendiri. Inilah saatnya, saat semua amarahnya
harus diakhiri. Saat yang tepat keikhlasannya untuk diuji. Abad sudah memilih
Tita kembali dan Kala harus berdamai dengan semua ini.
¤¤¤
Siang menjelang
sore di sebuah sudut gedung berlantai sepuluh, Abad tengah sibuk di
laboratorium kantornya, menguji sampel sebuah beton ketika ponselnya berbunyi
nyaring dan memunculkan nama sesosok wanita yang demi melihat nama itu kembali
tertulis di layar ponselnya, Abad bahkan rela menunggu hingga tua.
“Kala?” Abad tak
kuasa lagi menahan gejolak yang ada. Rindu itu telah tumbuh dengan begitu
rimbun.
“Kamu sibuk?”
Demi mendengar
dua patah kalimat itu di telinganya, Abad setengah mati harus menahan air mata
haru. Gadis ini, akhirnya mau buka suara.
“Engga, Kal. Ada
apa?” dusta Abad, tak diperdulikannya segala sesuatu tentang urusan kantor
detik itu juga.
“Aku mau ketemu.
Mau bicara.”
“Kapan?” seru
Abad dengan nada tak sabar.
“Besok.”
“Dimana?” rasa
menggebu-gebu itu semakin tak terkendali.
“Di The Sawah
Pastry. Jam 4 sore.”
Abad mengangguk
semangat, meski ia tahu Kala tak dapat melihatnya. “Baik, Kal. Besok aku tunggu
kamu disana,” bahkan kalau perlu dari jam tiga subuh sudah kutunggui, lanjut
Abad dalam hati.
Telepon itu
mati. Abad terduduk di kursi kerjanya dengan perasaan riang. Setitik senyum
terbit di wajahnya. Apakah ini pertanda Kala sudah mau memaafkan?
¤¤¤
Rintik hujan turun
sore itu, membuat tempias-tempias kecil bagi siapapun yang terkena tetesnya.
Angin terasa meliuk membawa udara dingin yang merasuk. Awan mendung berarak
memayungi bumi. Segala tentang sore itu membuat siapapun rasanya lebih memilih
untuk bergumul di balik selimut ketimbang beraktivitas diluar rumah.
Namun, di antara
sawah-sawah di kaki perbukitan pesisir kota, tepat di samping The Sawah Pastry,
Kala berdiri, diantara selasar-selasar sawah yang sedang rimbun menghijau dan
berbuah lebat, kakinya teguh bertelanjang kaki menyesapi lumpur-lumpur yang
terasa lembut nan menggelitik. Tangannya menggenggam payung berwarna biru
metalik yang mengembang sempurna, menutupi tubuhnya dari rintik hujan yang
mengguyur bumi. Matanya menatap nanar sekaligus awas memerhatikan kalau-kalau
sosok yang ia tunggu telah datang. Kala menghela nafas, ia yakin ia telah siap.
Sementara itu di
pelataran parkir The Sawah Pastry, Abad baru saja tiba mengendarai mobilnya. Ia
bergegas masuk kedalam, namun tak mendapati Kala disana.
“Cari Kala?” Pak
Tora tiba-tiba menyembul dari balik pintu dapur dan berdiri dibelakang Abad.
Alisnya terangkat sebelah.
“Iya, Pak. Dia
ga kesini ya?”
Pak Tora
tersenyum lalu melirik ke arah sawah di sebelah kiri toko kuenya. “Itu,
perempuan berpayung biru itu yang kamu maksud kan?”
Kedua bola mata
Abad kontan mengikuti arah pandangan Pak Tora, kemudian tersenyum lega,
mendapati Kala disana. “Makasih, Pak. Saya kesana dulu.” Bergegas Abad memutar
tubuhnya, namun suara Pak Tora menahan langkahnya sesaat.
“Lepas dia
dengan hati-hati, Bad. Kalau kamu tidak mau kacau sendiri nantinya.”
Abad tersenyum,
mengangguk, seolah sudah mampu menangkap maksud Pak Tora dari kalimat singkat
itu. “Siap, Pak.”
Dengan gerakan
kilat Abad keluar dari pintu utama toko, melepas sandalnya, menggulung celana,
mengambil payung yang ia simpan di dalam mobil kemudian mengenakannya.
Kontraktor handal itu berjalan pelan menelusuri sawah dengan payung merah
mengembang diatas kepala.
Kala sudah tahu,
lelaki itu tiba, Kala mengamati setiap detik pergerakan Abad dan merekamnya
baik-baik di kepala, sebagai salah satu kenang-kenangan yang bisa ia ingat
sambil tertawa nantinya.
Tepat ketika
Abad berjarak beberapa meter darinya, Kala memutar tubuh, menghadap Abad yang
terus mendekat. Kedua mata itu pun adu pandang dalam diam, saling melempar kata
tanpa suara.
“Kal…” Abad
tiba, berdiri tepat di hadapan Kala, terlalu dekat, hingga payung keduanya
saling bersentuhan.
Kala tersenyum,
menilik Abad tepat di kedua bola matanya dengan lama, sebab Kala tahu, selepas
ini ia takkan lagi bisa menatap keteduhan itu di tempat yang sama. “Bau sawah
ternyata tambah enak ya kalau lagi hujan.”
Abad ikut
tersenyum, canggung. Begitu ingin rasanya ia meluapkan segala kerinduan. Namun
tubuhnya justru berdiri kaku. Mulutnya terkatup membisu.
“Bad… maafin aku
yang kemarin-kemarin bertindak diluar batas. Seharusnya aku ga begitu.” Kala
memulai pembicaraan menuju titik sasaran.
Abad terdiam
sejenak, menyusun kalimat demi kalimat di kepalanya. “Kal, melepas seseorang
yang kita sayang itu memang ga mudah. Aku juga kalau jadi kamu mungkin akan
lebih marah. Bahkan aku yang jahat ke kamu aja rasanya aku mau marah ke diriku
sendiri. Kenapa aku bisa sejahat itu.”
“Ga ada yang
jahat ga ada yang baik, Bad, disini. Semua sama. Kamu ingin menjadi anak yang
berbakti dan aku yang seharusnya tahu diri.”
“Kal, aku gatau
lagi mau bilang apa selain maaf…”
“Sudah-sudah… aku
sudah gamau bahas itu lagi. Aku sudah berdamai, Bad, dengan diriku. Aku sudah
berdamai dengan emosi dan keegoisanku. Aku salah kalau aku tetap mau
mempertahankan kamu. Kamu benar, akan ada banyak luka kalau kita dipaksakan
bersama.”
Abad tak mampu
lagi menahan sesak didadanya, setetes air mata jatuh, seiring dengan rintik
hujan yang semakin menderas, membuat air mata itu dilindas air yang tempias. “Kal…
kalau saja aku bisa. Aku ingin kita baik-baik saja. Sungguh.”
“Tapi sayangnya
kita gabisa kan, Bad?” Kala menghapus air mata demi air mata yang jatuh di pipi
Abad. Kala sudah berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjadi kuat hari ini,
takkan ada tangis, takkan ada sedih.
“Kal, kamu itu
takdirku, Kal. Takdir yang tak kuasa ku pilih. Sampai kapanpun kamu tetap
takdirku. Ingat itu.”
Kala tersenyum,
kemudian menggeleng lemah. “Sudah, ikhlaskan semuanya.”
“Ga ada satupun
perempuan di dunia ini yang mengerti aku dan isi kepalaku sedalam kamu.”
“Iya, aku tahu.
Aku juga begitu ke kamu. Aku sudah pernah bilang kan? Tapi sudahlah, Bad.
Mungkin takdir kita hanya sebatas dua orang yang saling melengkapi bukan saling
memiliki.”
Abad menggenggam
sebelah tangan Kala, kemudian menciuminya berkali-kali, “Kal, kamu harus
bahagia ya selepas ini.”
“Kamu juga.
Bahagiakan Tita ya, jangan pernah sakiti dia.”
Kedua bola mata
Abad kontan membelalak. “Kamu… kamu…”
“Aku tahu tanpa
perlu kamu jelaskan. Kamu itu kan aku. Aku itu kan kamu. Kita ini sepikir.
Sejiwa. Apa yang kamu rasa aku rasa. Apa yang kamu lakukan dapat ku tebak.
Tuhan pun dengan mudah menggiringku untuk membaca apapun tentang kamu.”
Abad terdiam,
bising rintik yang memekakan telinga disekitarnya terasa kalah dengan semua
ucapan Kala.
“Kamu ga salah
dengan keputusanmu kembali ke Tita. Demi Ibumu, Demi Ayahmu. Demi kamu. Tita
yang terbaik. Aku tahu.” Kala mengatur nafasnya, seiring dengan nafasnya yang
memburu, sedikit demi sedikit beban itu ikut musnah tak bersisa, luka itu
lenyap tak berbekas. Kala tahu kini ia telah bebas seutuhnya dari belenggu
bayang-bayang Abadi Kusuma Negara. “Sudah sore. Aku mau pulang. Mau dinas
malam. Kamu pulang juga, ganti bajumu, lembab. Jaga kesehatanmu. Jangan sampai
bertemu aku di rumah sakit.” Kala tersenyum kemudian melangkah pergi,
meninggalkan Abad yang masih membujur kaku ditempatnya.
Dokter muda itu
berjalan menyelurusi selasar-selasar sawah dengan langkah kaki yang begitu
ringan. Segala penderitaan telah usai. Segala gundah telah habis. Takkan ada
lagi tangis ceracau. Kala telah menutup kotak lama itu dan menyimpannya dengan
baik di sebuah tempat asing yang takkan pernah ia singgahi. Detik ini, Sangkala
Indah Lestari telah siap memulai lembar baru kehidupan lagi.
BAHAGIA YANG SAMA
Bulan demi bulan
bergulir. Di suatu pagi tepat ketika matahari sedang benderang dengan cerianya
di musim panas, Kala berdiri disana, diatas podium gedung wisuda universitasnya
dengan bangga. Ia kenakan kembali toga itu untuk kedua kalinya. Hari ini ia
resmi bergelar sebagai dokter setelah memalui masa co-ass yang begitu panjang.
Toga itu
berpindah dari kiri ke kanan, Kala pun turun podium dengan bangga, memamerkan
senyum terbaik yang ia punya. Di sisi kiri bangku penonton Lilia dan Maryam
tampak begitu asyik mengambil gambar berpuluh-puluh kali sambil melambai-lambaikan
tangan.
Seusai acara
wisuda, Kala bergegas pulang kerumah dan menghampiri sanak saudaranya yang
berkumpul disana, sedang melakukan perayaan kecil-kecilan.
“Waaahhh
akhirnya di keluarga kita ada dokter juga ya. Jadi kalau ada yang sakit ga usah
jauh-jauh,” seloroh Om Purna, adik Almarhum Braja yang paling bungsu, Kala
terkekeh mendengarnya. “Kalau Om yang berobat, gratis kan, Kal?” Om Purna
melirik Kala yang tengah mengunyah makaroni dengan jenaka.
Kala melambaikan
tangan di udara, “enak aja, justru karena keluarga tarifnya dua kali lipat,
supaya aku cepat kaya.” Kala tergelak, diikuti dengan seluruh keluarganya yang juga
tertawa mendengar celotehan itu.
Hari mulai
beranjak sore, satu persatu sanak saudara Kala mulai undur diri, hingga
menjelang maghrib tersisalah Kala, Maryam dan Lilia saja.
Kala merebah
tubuhnya dikamar, menatap langit-langit. Tangannya kemudian meraba sebuah benda
yang ia simpan dibawah bantalnya sejak ia terima kemarin sore. Sebuah undangan
yang diantar oleh tukang pos. Mungkin sang pengundang terlalu takut
menyampaikan undangan itu secara langsung sehingga terpaksa melalui perantara.
“The Wedding of Abad & Tita” tulis sampul depan undangan itu. Bercorak putih dan
emas; sesuai dengan apa yang Kala dengar di ruang ganti baju butik beberapa
bulan lalu, undangan itu tampak apik dengan lambang huruf A dan T terukir
secara timbul di bagian depannya.
Kala tersenyum
membaca kalimat demi kalimat di undangan itu. Sebuah tanggal yang jatuh tiga
hari lagi adalah tanggal yang sepasang itu pilih. Kala meraba dadanya, ada
bahagia tak terjelaskan menyemai disana. Saat ini adalah saat yang paling ia
tunggu. Akhirnya Abad mampu bahagia walaupun bukan dengan dirinya jua.
Kala menutup
undangan itu. Menaruhnya di laci nakas. Kemudian bergegas menutupi dirinya
dengan selimut, memejamkan mata sembari memastikan dirinya akan datang kesana.
¤¤¤
“Lo emang selalu
cantik, Kal.” Diva menatap Kala tanpa berkedip, gaun beludru backless semata kaki dengan warna
abu-abu itu melekat dengan sempurna di tubuh Kala, seolah penjahitnya memang
menciptakan baju itu khusus untuk dirinya seorang.
“Rambut gue
bagusnya diapain nih?” Kala masih sibuk memegang-megang rambutnya sembari
bercermin. Wajahnya ia sapu dengan polesan make up tipis dan lipstik berwarna
maroon.
Diva bangkit
mendekati Kala, “sini biar gue bantuin.” Diva membentuk rambut itu menjadi
sebuah cepol bulat yang rapi, dan sebagai penghias ia menyelipkan tusuk konde
berwarna perak dengan pernak-pernik berbentuk tulip diujungnya. “Sempurna.”
Diva tersenyum puas melihat penampilan Kala yang Diva sendiri berani bertaruh
siapapun yang melihatnya akan langsung terpikat tanpa mampu menolak. “Let’s
give applause to the miraculous Sangkala Indah Lestari.” Diva bertepuk tangan
sembari terkekeh.
Sementara itu
Kala hanya tersenyum simpul sembari terus mematuti dirinya pada cermin. “Div,
gue dandan cantik bukan supaya Abad menyesal loh ya.”
“Iya… iya… gue
tahu. You make it for your own self. Sangkala kan memang selalu begitu.”
Kala bangkit
kemudian tersenyum. “Yuk, ntar udah keburu mulai acaranya.” Kala menyambit tas
tangan berwarna senada dari atas nakas kamarnya, lalu berjalan keluar diiringi
Diva. Sementara itu dibawah, Berna sudah siap siaga, turut mengantarkan Kala
menuju pesta pernikahan Abad dan Tita.
¤¤¤
Mobil Berna
menurunkan Kala tepat di depan pintu utama gedung. Setelah menyemangati
sahabatnya itu, Diva dan Berna pergi, dan berjanji akan menjemput Kala seusai
acara pesta berakhir nanti.
Kala mengedarkan
pandang, kakinya mengalun lembut diatas karpet merah bertabur bunga yang
digelar dipelataran pintu masuk. Hingar-bingar kebahagiaan tampak di segala
sudut. Musik mengalun pelan, membasahi gendang telinga Kala sekaligus membuat
hatinya menjadi jauh begitu tenang. Kala siap, ia masuk lebih dalam ke dalam
jantung utama gedung.
Disana, tepat
diatas singgasana itu, Abad duduk dengan jas putih yang melekat sempurna
ditubuhnya yang atletis. Kulit sawo matangnya tampak mengilat ditimpah
gemintang cahaya lampu sorot dari segala arah. Disebelahnya, Tita, duduk begitu
manis, dengan gaun berwarna putih dan manik-manik emas bertabur mewah disetiap
inci, sapuan make up lembut namun tampak tegas, disempurnakan dengan senyum
yang melengkung dengan indah, ia tampak begitu cantik. Sepasang itu tampak
bahagia. Kala sampai dapat merasakan sendiri kebahagiaan itu ikut menyemai
dihatinya.
Kala berdiri
dibalik sebuah meja dengan hidangan minuman dan makanan kecil tertata rapi
diatasnya. Ia ambil segelas soda lalu meminumnya seteguk, matanya tak dapat
berhenti memandang sepasang itu dari kejauhan.
Kala tersenyum. Akhirnya.
Hari ini tiba. Hari dimana segalanya dapat ia ikhlaskan dengan lapang dada. Hari
dimana segala dendam telah usai, segala amarah telah habis. Tak ada yang perlu
merasa benar, tak ada yang perlu merasa salah. Tak ada yang perlu merasa
ditinggalkan, tak ada yang perlu merasa meninggalkan. Semua telah berdamai pada
jalan hidupnya masing-masing.
Soda di gelasnya tandas, Kala meletakkan gelas kosong ditangannya lalu mulai beranjak maju
mendekati pelaminan. Desir di dadanya berdetak ceria. Kala akan ingat dengan
baik bahwa ini adalah salah satu momen terbahagia dalam hidup yang ia punya;
menyaksikan seseorang yang begitu melengkapinya dapat dilengkapi dengan sosok
lain yang lebih pantas. Kala tahu Abad adalah sosok yang ia cari, namun Tuhan
lebih tahu bahwa pencarian Kala tak bisa berhenti disini.
Kala kini
berdiri tepat di depan sepasang itu, menyalami Tita dengan senyum merekah
terpampang diwajahnya, “selamat ya, Ta. Semoga bahagia. Aku Kala.” Kala tanpa
ragu memperkenalkan dirinya.
Tita tampak
terkejut namun berusaha tenang, untuk pertama kalinya akhirnya ia melihat sosok
Kala secara langsung. Kalau saja sedang tak berada di pelaminan, rasanya Tita
begitu ingin memeluk Kala kemudian meminta maaf atas semua kejadian yang
melukai hatinya. “Terimakasih, Kal. Kamu juga harus bahagia ya.” Akhirnya hanya
itu yang mampu Tita ucap.
Kala mengangguk,
tersenyum sumringah lalu melangkahkan kaki menuju Abad yang Kala tahu sedari
tadi telah takjub sendiri memandangi Kala tanpa henti. Kala mengulurkan tangan,
menyalami Abad dengan tulus, “selamat berbahagia, Bad. Jaga Tita baik-baik.”
Abad tersenyum,
menggenggam tangan Kala dengan begitu lama, seolah tak ingin melepasnya. “Makasih
ya, Ta. Kamu juga jaga diri baik-baik.”
Kala melepas
jabat tangan itu lalu tersenyum. Berlalu tanpa membalas kalimat Abad. Kini ia
berjalan menuju Arita dan Wijayanto yang duduk di kursi setelah Abad. Kala
menyalami keduanya dengan santun sembari tersenyum sumringah, menunjukkan
kedikdayaan dirinya yang telah bangkit tanpa meninggalkan jejak keterpurukan
sedikitpun. Arita tersenyum, hendak mengucap beribu maaf pada Kala atas segala
sikapnya, namun bibirnya terasa kelu. Kala berlalu dari sepasang suami istri
itu tanpa mengucap sepatah katapun.
Hari ini, Abad
dan Tita memanglah duduk di singgasana. Namun sejatinya, Kala yakin ia lah
jawara sesungguhnya, jawara atas segala ego yang ia menangkan sebab telah
berhasil mengikhlaskan takdir yang tak kuasa ia pilih. Kala bangga, Kala lah
pemenangnya.
PERTEMUAN BARU
Kala duduk diruang
tunggu bandara sembari meneguk lemonade dingin, sementara itu tangannya sibuk
membolak-balik halaman sebuah buku yang baru ia baca seperempat bagian.
Tepat ketika
Kala baru saja hendak membuka bungkus wafer yang ia beli, speaker bandara
berbunyi, menyuarakan panggilan penumpang dengan nomor pesawat yang Kala
tumpangi. Kala bergegas membereskan barang-barangnya, lalu berjalan sembari
menggeret koper dengan sedikit tergesa.
Gubrak!
Baru beberapa
meter berjalan, seseorang dari arah berlawanan menabraknya. Kala terjatuh
dengan posisi terduduk, koper yang Kala bawa tumbang dan tergeletak setelah
berhasil membuat suara debuman lumayan kencang. Kala memijat kepalanya yang
juga ikut terbentur dengan orang yang baru saja menabraknya. Pelipisnya terasa
begitu nyeri.
“Sorry… ga
sengaja. Saya buru-buru.” Lelaki itu dengan cepat membereskan koper Kala, dan
beberapa barang kecil Kala yang berserakkan disekitarnya.
Kala menilik
wajah lelaki itu dengan detil sembari terus memijat pelipisnya.
“Kamu ga
kenapa-kenapa? Pelipisnya sakit?” lelaki itu berjongkok kemudian mendekati Kala
yang masih terduduk, memerhatikan pelipis Kala dengan seksama sehingga membuat
wajahnya hanya berjarak beberapa centi dari wajah Kala. Kala bahkan sampai
mampu mendengar bunyi nafas lelaki berkulit putih bersih ini dengan sangat
jelas sekali.
Kala menggeleng
pelan kemudian tersenyum kecil, “gapapa…” Kala bangkit berdiri kemudian
menggenggam erat kopernya lagi, “makasih udah dibantuin. Duluan ya.” Kala bergegas
menarik kopernya lagi kemudian berlari kecil.
Lelaki itu
tercenung menatap punggung Kala yang semakin menjauh tanpa berkedip. Sekejap saja
ia dapat merasakan jantungnya berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.
Lelaki itu baru
saja hendak melangkah pergi ketika ia sadari suatu benda tertinggal di dekat
kakinya; sebuah buku bersampul putih dengan judul cerita klasik tentang sebuah kerajaan
Spanyol. Lelaki itu menaikkan alisnya sedikit, kemudian membuka lembar halaman pertama
buku itu. “Sangkala Indah Lestari”
tulisan yang sangat ia yakini sebagai nama perempuan yang ia tabrak tadi
sekaligus sang pemilik buku.
Lelaki itu
tersenyum, bak menemukan titik terang atas sebuah jalan, buku itu ditatapnya
dengan sumringah, ia yakin benda itu dapat ia jadikan sebagai kunci atas awal
pertemuan baru. Dimasukkannya buku itu ke dalam tas jinjingnya, demi detik
berikutnya ia sibuk membenarkan kemeja yang sempat berantakan akibat tabrakan
tadi. “Denish Adrian dan Sangkala Indah Lestari, cocok sekali bukan?” gumam
lelaki itu pada dirinya sendiri.
SELESAI