Selasa, 27 November 2018

KALDERA (1st Summit)


1st Summit

“Pagi!”
Semua orang yang sedang mengantri membeli tiket bus di loket spontan menengok, mengira lelaki bersuara menggelegar bertubuh kurus yang tengah berlari dari arah pintu masuk itu sedang gila sebab mengucapkan kalimat “pagi” ditengah cuaca mendung sore berbalur gerimis diluar sana.
Namun tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi besar dengan kacamata segiempat membingkai wajahnya yang putih bersih menyelak keluar antrian, menyambut lelaki kurus aneh itu. “Lama banget lo! Hampir gue naik bus.”
Pria bertubuh kurus itu cengegesan, “sorry, biasa Si Doel ngambek minta bawa ke bengkel.” Ucapnya sembari melirik pada mobil sedan tahun 90-an miliknya yang tengah mandi diguyur gerimis yang semakin menjadi diluar loket.
“Si Doel tuh minta ganti sama yang baru kali, Fer.” Seloroh lelaki bertubuh tinggi berkacamata itu sembari menenteng tas besar di tangannya dengan gagah, melangkah keluar loket.
“Iya, Gi. Nanti gua beliin adek baru buat Si Doel tunggu gue jadi komisaris bank tempat gue kerja.” Kelakar si kurus bernama Ferdi itu, sembari membuntuti lelaki tinggi berkacamata berjalan menuju mobilnya.
Hujan semakin deras, mobil sedan itu melaju terseok-seok ditengah macetnya kota yang luar biasa. Lelaki tinggi berkacamata itu duduk melamun di kursi sebelah pengemudi dengan pandangan menerawang keluar jendela, membayangkan bertumpuk-tumpuk tugas menantinya begitu ia tiba di ibukota.
Ia teringat akan lembar-lembar hasil ujian mahasiswa-mahasiswanya yang belum ia periksa, ia teringat akan rentetan e-mail masuk mengenai ajuan proposal skripsi, ia juga teringat akan nilai-nilai yang belum ia input di forum belajar online. Lelaki itu membenarkan posisi kacamatanya yang melorot, menjadi dosen memang sungguhlah rumit, bahkan terkadang ia menyesali langkah yang ia ambil ini.
“Gi…” Panggil Ferdi setelah lama mereka berdua berdiam diri.
“Apa?” lelaki itu masih enggan melepas pandangannya dari luar jendela, menangkap pemandangan pedagang asongan yang tengah berteduh di salah satu minimarket.
“Hape lo bunyi daritadi. Angkat ngapa? Berisik banget.”
Lelaki itu membuyarkan lamunan di kepalanya, memeriksa ponselnya yang ia letakkan di dasbor dan menemukan nomor asing tercetak dilayarnya. “Ya halo?”
“Selamat sore Pak Pagi. Saya mahasiswi bimbingan bapak…”
Lelaki itu meremas rambutnya kesal, “telepon saya tiga jam lagi ya, saya sedang dijalan.” Potongnya pada suara perempuan muda diujung telepon sana dengan nada kaku dan dingin ciri khasnya, nada yang selalu saja berhasil membuat siapapun enggan melanjutkan pembicaraan.
“Baik, Pak. Terimakasih. Maaf mengganggu.” Telepon itu pun mati.
Ferdi melihat pemandangan itu demi kemudian menggidikkan bahunya, memilih bungkam. Ia sangat paham bahwa lelaki berkacamata yang telah menjadi sahabatnya sejak masa putih abu-abu itu memang tak bisa diajak bicara jika suasana hatinya sedang tidak baik.
Menit berikutnya, tampak lelaki itu menghempas tubuhnya ke sandaran kursi, menarik napas berkali-kali, menenangkan diri. Welcome to the real world, Ufuk Pagi Himalaya, liburan akhir semestermu telah usai! Desisnya meringis dalam hati.

♥♥♥♥♥

Di salah sudut kota kecil, persis di dalam sebuah gedung berlantai dua tempat sebuah Event Organizer ternama bernaung, tampak kerumunan para pekerja mulai menyusut. Hujan yang diperkirakan akan tiba setengah jam lagi membuat semua orang tergopoh-gopoh untuk pulang. Namun hal itu tidak berlaku bagi perempuan berambut pendek sebahu di ruangan dengan pintu bertuliskan “Head of Creative”. Matanya masih tampak jeli menggambar konsep dekorasi beberapa kliennya yang acaranya akan digelar dalam minggu ini.
Tepat ketika perempuan itu tengah mencari-cari rautan pensil di laci meja kantornya, suara ketukan pintu terdengar.
“Ya masuk.” Sahutnya singkat.
Pintu tersingkap, memunculkan sosok Anti, asistennya. “Maaf, Bu Siang, ada kiriman paket di bawah.”
Perempuan itu mendongak, menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum. “Oke. Sebentar lagi saya turun. Terimakasih, An.”
Anti mengangguk kemudian menutup pintu itu kembali.
Perempuan berambut pendek itu bergegas merapikan alat tulis dan kertas-kertasnya demi kemudian turun ke lantai satu. Disana, seorang kurir berjaket oranye tampak menunggu dengan sebuah kotak berukuran sedang yang ia pangku.
“Selamat sore, Pak.” Perempuan itu mengulurkan tangan dengan sopan.
Kurir itu menyambut jabat tangan itu dengan sigap, “benar dengan Ibu Mentari Siang Mahameru?”
“Ya, saya.”
“Ini ada paket, Bu. Tolong tanda tangan disini.” Kurir itu menyerahkan secarik kertas dengan kolom tanda tangan di pojok kanan bawah. Setelah perempuan berambut sebahu itu membubuhkan tanda tangannya, kurir itu bergegas pergi. Sama, ia juga takut kehujanan rupanya.
Baru saja hendak membaca kartu ucapan yang tertempel di paketnya, ponsel di saku perempuan itu berbunyi, memunculkan nama salah satu sahabat kentalnya sejak seragam putih biru. “Ya, Gi?”
“Ang, gue lagi ngantri di loket bus, mau balik ke kota, kabarin sama anak-anak yang lain ya gue ga bisa ikutan kumpul ntar malem. Kerjaan gue banyak banget soalnya.”
Saat mendengar suaranya, sekilas wajah putih bersih berkacamata sang pemilik suara terlintas di pikiran perempuan itu,  “oke, hati hati, Gi.”
“Oke.”
Telepon itu pun mati.
Perempuan itu bergegas melanjutkan hasratnya yang sempat tertunda tadi. Ia membuka dengan cepat kartu ucapan berwarna biru metalik yang merekat erat di sampul paket yang dibungkus dengan kertas kado berwarna hitam polos itu.

Untuk perempuan yang paling kucinta di dunia ini setelah ibuku; Mentari Siang Mahameru
Salam hangat dari pulau seberang
Happy 2nd Anniversary
Dan selamat menjelang enam bulan pernikahan kita! See you soon~~

Dan di akhir kalimat, terbubuh lah sebuah nama. Nama yang begitu lekat di kepala perempuan itu sejak dua tahun lalu lamanya. Ia tersenyum, kemudian meneteskan setitik air mata, bahagia.
Detik berikutnya, ia membuka kado itu dengan perlahan sembari membayangkan wajah sang pengirim dengan rindu yang berdenyut-denyut. Sebuah boneka beruang berwarana cokelat seukuran tangan menyembul dari balik kotak. Perempuan itu kembali sumringah, memeluk dengan erat boneka itu seolah sedang memeluk erat kekasih hatinya nun jauh di seberang sana.
Sedang khusyuknya menikmati rasa bahagia yang membuncah, ponsel perempuan itu kembali berdering, kali ini, salah satu sahabatnya yang lain menelepon. Perempuan itu, mau tak mau mengangkat telepon itu dengan ogah-ogahan, “Ya, Rah?”
“Ang, Pagi kok gada kabar ya? Dia ikutan kumpul ga sih ntar malem?”
“Pagi udah balik. Barusan dia telepon gue, banyak kerjaan katanya.”
“Yaelahhhh. Si Pagi sialan. Sok sibuk banget.” Perempuan bernama Sarah itu menyahut dengan nada gemas. “Ang, lo buruan sini, ntar hujan. Mandi di rumah gue aja. Biar ntar malem perginya juga sama gue.”
Perempuan berambut sebahu itu tak kuasa menahan senyum. Meski acara malam ini hanyalah sekedar kumpul-kumpul rutin bulanan bagi persahabatan yang mereka bina sejak duduk di bangku SMP, Sarah selalu saja yang paling tampak antusias dan akan mengomel panjang lebar jika ada salah satu saja diantara delapan anggota yang berhalangan hadir. Seolah perkumpulan rutin bulanan ini adalah agenda besar sekelas Konferensi Asia Afrika.
“Oke. Lima belas menit lagi gue sampe sana. Bye.” Perempuan itu mematikan telepon. Kemudian bergegas naik keruangannya, membereskan segala pekerjaan, dan dengan sigap berlari ke halte di depan kantornya demi menaiki taksi menuju rumah Sarah.

♥♥♥♥♥

Senja di kota khas udang itu tampak begitu temaram. Musim hujan yang sedang melanda tak surut membuat awan mendung turut berarak memayunginya. Gerimis kecil mulai turun. Semua orang sibuk mempercepat laju kendaraan, berharap segera tiba di tujuan.
Di sebuah rumah sakit besar di pusat kota, seorang lelaki bertubuh bidang dengan rambut nyaris plontos duduk termangu, matanya dengan cermat menilik layar komputer dihadapannya tanpa bergeser sesentipun.
“Re, gue duluan ya. Mau hujan.” Seorang wanita tampak menyembul dari balik pintu bertuliskan “Gudang Penyimpanan Obat” dengan tergesa-gesa. “Nih, laporan obat yang keluar bulan ini. Lo bisa kan kelarin sendiri? Suami gue udah nunggu di parkiran soalnya.”
Lelaki itu mendongak kemudian tersenyum, “oke.”
“Lo emang apoteker andalan gue! Thanks ya!” perempuan dengan name-tag di baju kiri bertuliskan “Anggi” itu menepuk pundak sang lelaki demi kemudian berlalu dengan cepat.
Lelaki itu menatap punggung rekan sejawatnya yang menghilang di balik pintu dengan tatapan iri, dalam hati ia bertanya-tanya seperti apa rasanya berumah tangga.
Ah namun lelaki itu tak perlu merasa khawatir dan begitu penasaran, sebab enam bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasih hatinya yang berasal dari pulau seberang. Perempuan cantik dengan nama yang tak kalah cantik pula. Perempuan yang selalu berhasil memenangkan hatinya sekalipun keadaan telah mengalahkan segalanya.
Ia juga akan segera merasakan nikmatnya biduk rumah tangga. Membangun keluarga kecil dengan anak-anak yang lucu. Menyicipi masakan istrinya setiap hari. Terbangun di pagi hari dengan keadaan sang istri berada di sisinya. Indah bukan? Siapa yang tak ingin berlekas-lekas menikah jika membayangkan hal-hal bahagia sesudahnya?
Baru saja terlintas di benak, ponsel lelaki itu tiba-tiba berbunyi memunculkan nama sang pujaan hati di layar.
“Hai, Sayang!” serunya semangat. Pipinya merekah merah, menahan buncahan cinta bercampur rindu yang begitu hebat di dada.
“Sayang… paketnya sudah sampai. Makasi yaaa! I love you!” suara perempuan itu terdengar begitu bahagia. Ada begitu banyak cinta yang bisa ditangkap dari kata demi katanya.
“Iya sama-sama. I love you too. Happy anniversary, Mentari Siang Mahameru-ku…”
“Happy anniversary too Jingga Sore Krakatoa-ku…”
Lelaki itu tersenyum, begitu sumringah, kantor apotek yang begitu kecil terasa menjadi sangat lapang detik itu juga. Ditatapinya satu-persatu obat yang berjejer rapi di etalase-etalase kaca dengan mata berbinar, seolah semua tempat itu berhasil memunculkan wajah kekasihnya dimana-mana. “By the way, kamu lagi dimana, Sayang?”
Terdengar suara lengkingan perempuan lain di ujung telepon, “lagi di rumah Sarah nih, berisik banget ya?”
Lelaki itu tergelak, “mau pergi kumpul bulanan ya nanti malam? Hati-hati ya. I miss you…”
“I miss you too. Kamu kalau sudah pulang kerja kabarin aku.”
“Oke.”
“Bye…”
Telepon pun mati. Lelaki itu menghempas tubuhnya di sandaran kursi sembari memejamkan mata. Membayangan wajah kekasihnya memang selalu berhasil menghilangkan segala rasa lelah akibat bekerja. Dalam hati ia rasanya begitu tak sabar menanti hari pernikahan mereka segera tiba.

♥♥♥♥♥

Ibukota Provinsi itu tak pernah sepi. Hingar bingarnya selalu tampak tak pernah mati. Sekalipun hujan sedang mengguyur dengan deras-derasnya, keramaian tetap tampak dimana-mana.
Seorang perempuan bertubuh tinggi dengan ramput sepinggang yang ikal dibawah tampak berlari menembus hujan diantara kerumunan pejalan kaki dengan heels tingginya yang berketuk-ketuk kesana kemari. Kemeja cokelat susu yang ia gunakan tampak basah separuh, sementara itu tangan kanannya ia gunakan untuk menepis tempias hujan sembari tangan kirinya membawa tumpukan map. Kakinya terus menerobos undakan trotoar tanpa ampun, menuju sebuah gedung berlantai empat yang tinggal seratus meter lagi dari jangkauan.
“Mbak, Malam? Kenapa ga minta jemput supir aja?” sapa seorang satpam yang membukakannya pintu kantor. Perempuan itu sibuk membenahi bajunya yang basah sembari mengetuk-ngetukkan sepatu hak tingginya diatas keset selamat datang di lobbi gedung.
“Ah nanti ngerepotin aja, Pak. Lagian rumah saya deket sini,” perempuan itu tersenyum simpul sembari terus mengeringkan bajunya dengan handuk kecil yang ia bawa. “Pak Teo udah makan belum? Aku tadi udah telepon delivery ayam goreng, pesen banyak, sekalian buat anak-anak diatas, nanti Pak Teo ambil satu ya.”
Satpam bernama Teo itu tersenyum, matanya merekah. Perempuan di hadapannya ini adalah salah satu sosok terbaik yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Karir sebagai penulis terkenal dengan banyak judul buku yang sudah di filmkan tak lantas membuatnya angkuh. Perempuan itu tetap membumi, satu hal yang justru membuatnya semakin melejit sebab doa-doa dari banyak orang yang menerima kemurahan hatinya.
“Siap, Mbak. Makasih ya, Mbak.”
Perempuan itu mengangguk lalu mengedipkan sebelah mata jenaka, “saya ke atas dulu ya, Pak.”
Pak Teo menganggukkan kepala lalu melepas kepergian perempuan itu dengan satu lagi doa baik; semoga perempuan itu senantiasa sehat selalu sehingga bisa membahagiakan lebih banyak orang disekitarnya.
Undak demi undak tangga terus melejit keatas, tampak di ujung anak tangga lantai tiga, sebuah pintu kaca yang tertutup rapat. Perempuan itu menarik napas panjang, lalu memantapkan diri, membuka pintu itu dengan hati-hati.
“Selamat sore, maaf menunggu.” Ia membungkukkan sedikit badan sebagai tanda permintaan maaf pada beberapa orang redaksi yang telah menunggunya.
Seorang laki-laki dengan jenggot tipis menggelayut di dagu bangkit dari kursi, dari raut wajahnya tampak ia seumuran dengan perempuan itu. “Gapapa, Lam. Silahkan duduk.” Lelaki itu membuka salah satu celah kursi di sampingnya. Perempuan itu bergegas duduk disana. “Kehujanan ya?” bisiknya kemudian pada perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk kecil, tangannya sibuk membuka map yang ia bawa lalu menyusun satu persatu kertas di dalamnya. “Iya, Da. Sorry ya. EO nya pasti kesel nih sama gue.”
Lelaki bernama Mada itu menggeleng, “engga kok, daritadi sambil nunggu lo, kita suplai mereka dengan makanan enak, makanya mereka ga bawel.”
Perempuan itu tersenyum kecil, menarik napas lega.
“Baiklah, rapat bisa kita mulai.” Mada kemudian bersuara. “Kepada Ibu Siang, selaku perwakilan dari Saruanta Event Organizer saya persilahkan.”
Seorang perempuan dengan rambut sebahu berdiri. Matanya nyalang, memancarkan kepercayaan diri yang luar biasa. “Terimakasih atas waktunya Pak Mada,” perempuan bernama Siang itu melempar senyum kepada seluruh ruangan. “Baiklah, disini, saya selaku head of creative dari Saruanta Event Organizer akan memaparkan konsep temu sapa penggemar dalam langka peluncuran buku baru dari salah satu penulis andalan penerbit Gravitama” Siang kembali melempar senyum dan matanya langsung menumbuk pada sosok perempuan yang baru datang itu, “mari kita beri tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas karya-karyanya kepada Rembulan Malam Rinjani.” Siang memulai koor tepuk tangan itu diikuti yang lain.
Perempuan berambut sepinggang dengan bagian ikal di bawah itu tertegun, kemudian tersipu malu mendapat tepuk tangan sebagai bagian pembuka dari rapat peluncuran buku barunya itu. Ia berkeliling menatap sekitar, demi kemudian matanya bertumbuk dengan mata sang Siang yang juga sedang menatapnya tanpa berkedip.
Detik itu juga, tanpa perlu dijelaskan, tanpa perlu banyak pemaparan, seolah mendapatkan bisikkan dari Tuhan, seorang Rembulan Malam Rinjani tahu bahwa pertemuannya dengan perempuan ini akan menjadi awal sebuah kisah yang panjang.


BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar