1st
Summit
“Pagi!”
Semua orang yang sedang mengantri
membeli tiket bus di loket spontan menengok, mengira lelaki bersuara
menggelegar bertubuh kurus yang tengah berlari dari arah pintu masuk itu sedang
gila sebab mengucapkan kalimat “pagi” ditengah cuaca mendung sore berbalur
gerimis diluar sana.
Namun tiba-tiba seorang pria bertubuh
tinggi besar dengan kacamata segiempat membingkai wajahnya yang putih bersih
menyelak keluar antrian, menyambut lelaki kurus aneh itu. “Lama banget lo!
Hampir gue naik bus.”
Pria bertubuh kurus itu cengegesan,
“sorry, biasa Si Doel ngambek minta bawa ke bengkel.” Ucapnya sembari melirik
pada mobil sedan tahun 90-an miliknya yang tengah mandi diguyur gerimis yang
semakin menjadi diluar loket.
“Si Doel tuh minta ganti sama yang baru
kali, Fer.” Seloroh lelaki bertubuh tinggi berkacamata itu sembari menenteng
tas besar di tangannya dengan gagah, melangkah keluar loket.
“Iya, Gi. Nanti gua beliin adek baru
buat Si Doel tunggu gue jadi komisaris bank tempat gue kerja.” Kelakar si kurus
bernama Ferdi itu, sembari membuntuti lelaki tinggi berkacamata berjalan menuju
mobilnya.
Hujan semakin deras, mobil sedan itu
melaju terseok-seok ditengah macetnya kota yang luar biasa. Lelaki tinggi
berkacamata itu duduk melamun di kursi sebelah pengemudi dengan pandangan
menerawang keluar jendela, membayangkan bertumpuk-tumpuk tugas menantinya
begitu ia tiba di ibukota.
Ia teringat akan lembar-lembar hasil
ujian mahasiswa-mahasiswanya yang belum ia periksa, ia teringat akan rentetan
e-mail masuk mengenai ajuan proposal skripsi, ia juga teringat akan nilai-nilai
yang belum ia input di forum belajar online. Lelaki itu membenarkan posisi
kacamatanya yang melorot, menjadi dosen memang sungguhlah rumit, bahkan
terkadang ia menyesali langkah yang ia ambil ini.
“Gi…” Panggil Ferdi setelah lama mereka
berdua berdiam diri.
“Apa?” lelaki itu masih enggan melepas
pandangannya dari luar jendela, menangkap pemandangan pedagang asongan yang
tengah berteduh di salah satu minimarket.
“Hape lo bunyi daritadi. Angkat ngapa?
Berisik banget.”
Lelaki itu membuyarkan lamunan di
kepalanya, memeriksa ponselnya yang ia letakkan di dasbor dan menemukan nomor
asing tercetak dilayarnya. “Ya halo?”
“Selamat sore Pak Pagi. Saya mahasiswi bimbingan
bapak…”
Lelaki itu meremas rambutnya kesal,
“telepon saya tiga jam lagi ya, saya sedang dijalan.” Potongnya pada suara perempuan
muda diujung telepon sana dengan nada kaku dan dingin ciri khasnya, nada yang
selalu saja berhasil membuat siapapun enggan melanjutkan pembicaraan.
“Baik, Pak. Terimakasih. Maaf
mengganggu.” Telepon itu pun mati.
Ferdi melihat pemandangan itu demi
kemudian menggidikkan bahunya, memilih bungkam. Ia sangat paham bahwa lelaki
berkacamata yang telah menjadi sahabatnya sejak masa putih abu-abu itu memang tak
bisa diajak bicara jika suasana hatinya sedang tidak baik.
Menit berikutnya, tampak lelaki itu
menghempas tubuhnya ke sandaran kursi, menarik napas berkali-kali, menenangkan
diri. Welcome to the real world, Ufuk Pagi Himalaya, liburan akhir semestermu
telah usai! Desisnya meringis dalam hati.
♥♥♥♥♥
Di salah sudut kota kecil, persis di
dalam sebuah gedung berlantai dua tempat sebuah Event Organizer ternama
bernaung, tampak kerumunan para pekerja mulai menyusut. Hujan yang diperkirakan
akan tiba setengah jam lagi membuat semua orang tergopoh-gopoh untuk pulang.
Namun hal itu tidak berlaku bagi perempuan berambut pendek sebahu di ruangan
dengan pintu bertuliskan “Head of Creative”. Matanya masih tampak jeli
menggambar konsep dekorasi beberapa kliennya yang acaranya akan digelar dalam
minggu ini.
Tepat ketika perempuan itu tengah
mencari-cari rautan pensil di laci meja kantornya, suara ketukan pintu
terdengar.
“Ya masuk.” Sahutnya singkat.
Pintu tersingkap, memunculkan sosok
Anti, asistennya. “Maaf, Bu Siang, ada kiriman paket di bawah.”
Perempuan itu mendongak, menaikkan
sebelah alisnya kemudian tersenyum. “Oke. Sebentar lagi saya turun.
Terimakasih, An.”
Anti mengangguk kemudian menutup pintu
itu kembali.
Perempuan berambut pendek itu bergegas merapikan
alat tulis dan kertas-kertasnya demi kemudian turun ke lantai satu. Disana,
seorang kurir berjaket oranye tampak menunggu dengan sebuah kotak berukuran
sedang yang ia pangku.
“Selamat sore, Pak.” Perempuan itu
mengulurkan tangan dengan sopan.
Kurir itu menyambut jabat tangan itu
dengan sigap, “benar dengan Ibu Mentari Siang Mahameru?”
“Ya, saya.”
“Ya, saya.”
“Ini ada paket, Bu. Tolong tanda tangan
disini.” Kurir itu menyerahkan secarik kertas dengan kolom tanda tangan di
pojok kanan bawah. Setelah perempuan berambut sebahu itu membubuhkan tanda
tangannya, kurir itu bergegas pergi. Sama, ia juga takut kehujanan rupanya.
Baru saja hendak membaca kartu ucapan
yang tertempel di paketnya, ponsel di saku perempuan itu berbunyi, memunculkan
nama salah satu sahabat kentalnya sejak seragam putih biru. “Ya, Gi?”
“Ang, gue lagi ngantri di loket bus, mau
balik ke kota, kabarin sama anak-anak yang lain ya gue ga bisa ikutan kumpul
ntar malem. Kerjaan gue banyak banget soalnya.”
Saat mendengar suaranya, sekilas wajah
putih bersih berkacamata sang pemilik suara terlintas di pikiran perempuan itu,
“oke, hati hati, Gi.”
“Oke.”
Telepon itu pun mati.
Perempuan itu bergegas melanjutkan
hasratnya yang sempat tertunda tadi. Ia membuka dengan cepat kartu ucapan
berwarna biru metalik yang merekat erat di sampul paket yang dibungkus dengan
kertas kado berwarna hitam polos itu.
Untuk
perempuan yang paling kucinta di dunia ini setelah ibuku; Mentari Siang
Mahameru
Salam
hangat dari pulau seberang
Happy
2nd Anniversary
Dan
selamat menjelang enam bulan pernikahan kita! See you soon~~
Dan di akhir kalimat, terbubuh lah
sebuah nama. Nama yang begitu lekat di kepala perempuan itu sejak dua tahun
lalu lamanya. Ia tersenyum, kemudian meneteskan setitik air mata, bahagia.
Detik berikutnya, ia membuka kado itu
dengan perlahan sembari membayangkan wajah sang pengirim dengan rindu yang
berdenyut-denyut. Sebuah boneka beruang berwarana cokelat seukuran tangan
menyembul dari balik kotak. Perempuan itu kembali sumringah, memeluk dengan
erat boneka itu seolah sedang memeluk erat kekasih hatinya nun jauh di seberang
sana.
Sedang khusyuknya menikmati rasa bahagia
yang membuncah, ponsel perempuan itu kembali berdering, kali ini, salah satu
sahabatnya yang lain menelepon. Perempuan itu, mau tak mau mengangkat telepon
itu dengan ogah-ogahan, “Ya, Rah?”
“Ang, Pagi kok gada kabar ya? Dia ikutan
kumpul ga sih ntar malem?”
“Pagi udah balik. Barusan dia telepon
gue, banyak kerjaan katanya.”
“Yaelahhhh. Si Pagi sialan. Sok sibuk
banget.” Perempuan bernama Sarah itu menyahut dengan nada gemas. “Ang, lo
buruan sini, ntar hujan. Mandi di rumah gue aja. Biar ntar malem perginya juga
sama gue.”
Perempuan berambut sebahu itu tak kuasa
menahan senyum. Meski acara malam ini hanyalah sekedar kumpul-kumpul rutin bulanan
bagi persahabatan yang mereka bina sejak duduk di bangku SMP, Sarah selalu saja
yang paling tampak antusias dan akan mengomel panjang lebar jika ada salah satu
saja diantara delapan anggota yang berhalangan hadir. Seolah perkumpulan rutin
bulanan ini adalah agenda besar sekelas Konferensi Asia Afrika.
“Oke. Lima belas menit lagi gue sampe
sana. Bye.” Perempuan itu mematikan telepon. Kemudian bergegas naik
keruangannya, membereskan segala pekerjaan, dan dengan sigap berlari ke halte
di depan kantornya demi menaiki taksi menuju rumah Sarah.
♥♥♥♥♥
Senja di kota khas udang itu tampak
begitu temaram. Musim hujan yang sedang melanda tak surut membuat awan mendung
turut berarak memayunginya. Gerimis kecil mulai turun. Semua orang sibuk
mempercepat laju kendaraan, berharap segera tiba di tujuan.
Di sebuah rumah sakit besar di pusat
kota, seorang lelaki bertubuh bidang dengan rambut nyaris plontos duduk
termangu, matanya dengan cermat menilik layar komputer dihadapannya tanpa
bergeser sesentipun.
“Re, gue duluan ya. Mau hujan.” Seorang
wanita tampak menyembul dari balik pintu bertuliskan “Gudang Penyimpanan Obat”
dengan tergesa-gesa. “Nih, laporan obat yang keluar bulan ini. Lo bisa kan
kelarin sendiri? Suami gue udah nunggu di parkiran soalnya.”
Lelaki itu mendongak kemudian tersenyum,
“oke.”
“Lo emang apoteker andalan gue! Thanks
ya!” perempuan dengan name-tag di baju kiri bertuliskan “Anggi” itu menepuk
pundak sang lelaki demi kemudian berlalu dengan cepat.
Lelaki itu menatap punggung rekan
sejawatnya yang menghilang di balik pintu dengan tatapan iri, dalam hati ia
bertanya-tanya seperti apa rasanya berumah tangga.
Ah namun lelaki itu tak perlu merasa
khawatir dan begitu penasaran, sebab enam bulan lagi ia akan melangsungkan
pernikahan dengan kekasih hatinya yang berasal dari pulau seberang. Perempuan
cantik dengan nama yang tak kalah cantik pula. Perempuan yang selalu berhasil
memenangkan hatinya sekalipun keadaan telah mengalahkan segalanya.
Ia juga akan segera merasakan nikmatnya
biduk rumah tangga. Membangun keluarga kecil dengan anak-anak yang lucu.
Menyicipi masakan istrinya setiap hari. Terbangun di pagi hari dengan keadaan
sang istri berada di sisinya. Indah bukan? Siapa yang tak ingin berlekas-lekas
menikah jika membayangkan hal-hal bahagia sesudahnya?
Baru saja terlintas di benak, ponsel
lelaki itu tiba-tiba berbunyi memunculkan nama sang pujaan hati di layar.
“Hai, Sayang!” serunya semangat. Pipinya
merekah merah, menahan buncahan cinta bercampur rindu yang begitu hebat di
dada.
“Sayang… paketnya sudah sampai. Makasi
yaaa! I love you!” suara perempuan itu terdengar begitu bahagia. Ada begitu
banyak cinta yang bisa ditangkap dari kata demi katanya.
“Iya sama-sama. I love you too. Happy
anniversary, Mentari Siang Mahameru-ku…”
“Happy anniversary too Jingga Sore
Krakatoa-ku…”
Lelaki itu tersenyum, begitu sumringah,
kantor apotek yang begitu kecil terasa menjadi sangat lapang detik itu juga.
Ditatapinya satu-persatu obat yang berjejer rapi di etalase-etalase kaca dengan
mata berbinar, seolah semua tempat itu berhasil memunculkan wajah kekasihnya
dimana-mana. “By the way, kamu lagi dimana, Sayang?”
Terdengar suara lengkingan perempuan
lain di ujung telepon, “lagi di rumah Sarah nih, berisik banget ya?”
Lelaki itu tergelak, “mau pergi kumpul
bulanan ya nanti malam? Hati-hati ya. I miss you…”
“I miss you too. Kamu kalau sudah pulang
kerja kabarin aku.”
“Oke.”
“Bye…”
Telepon pun mati. Lelaki itu menghempas
tubuhnya di sandaran kursi sembari memejamkan mata. Membayangan wajah
kekasihnya memang selalu berhasil menghilangkan segala rasa lelah akibat
bekerja. Dalam hati ia rasanya begitu tak sabar menanti hari pernikahan mereka
segera tiba.
♥♥♥♥♥
Ibukota Provinsi itu tak pernah sepi.
Hingar bingarnya selalu tampak tak pernah mati. Sekalipun hujan sedang
mengguyur dengan deras-derasnya, keramaian tetap tampak dimana-mana.
Seorang perempuan bertubuh tinggi dengan
ramput sepinggang yang ikal dibawah tampak berlari menembus hujan diantara
kerumunan pejalan kaki dengan heels tingginya yang berketuk-ketuk kesana
kemari. Kemeja cokelat susu yang ia gunakan tampak basah separuh, sementara itu
tangan kanannya ia gunakan untuk menepis tempias hujan sembari tangan kirinya
membawa tumpukan map. Kakinya terus menerobos undakan trotoar tanpa ampun,
menuju sebuah gedung berlantai empat yang tinggal seratus meter lagi dari
jangkauan.
“Mbak, Malam? Kenapa ga minta jemput
supir aja?” sapa seorang satpam yang membukakannya pintu kantor. Perempuan itu
sibuk membenahi bajunya yang basah sembari mengetuk-ngetukkan sepatu hak tingginya
diatas keset selamat datang di lobbi gedung.
“Ah nanti ngerepotin aja, Pak. Lagian rumah
saya deket sini,” perempuan itu tersenyum simpul sembari terus mengeringkan
bajunya dengan handuk kecil yang ia bawa. “Pak Teo udah makan belum? Aku tadi
udah telepon delivery ayam goreng, pesen banyak, sekalian buat anak-anak
diatas, nanti Pak Teo ambil satu ya.”
Satpam bernama Teo itu tersenyum,
matanya merekah. Perempuan di hadapannya ini adalah salah satu sosok terbaik
yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Karir sebagai penulis terkenal dengan
banyak judul buku yang sudah di filmkan tak lantas membuatnya angkuh. Perempuan
itu tetap membumi, satu hal yang justru membuatnya semakin melejit sebab
doa-doa dari banyak orang yang menerima kemurahan hatinya.
“Siap, Mbak. Makasih ya, Mbak.”
Perempuan itu mengangguk lalu
mengedipkan sebelah mata jenaka, “saya ke atas dulu ya, Pak.”
Pak Teo menganggukkan kepala lalu
melepas kepergian perempuan itu dengan satu lagi doa baik; semoga perempuan itu
senantiasa sehat selalu sehingga bisa membahagiakan lebih banyak orang
disekitarnya.
Undak demi undak tangga terus melejit
keatas, tampak di ujung anak tangga lantai tiga, sebuah pintu kaca yang
tertutup rapat. Perempuan itu menarik napas panjang, lalu memantapkan diri,
membuka pintu itu dengan hati-hati.
“Selamat sore, maaf menunggu.” Ia
membungkukkan sedikit badan sebagai tanda permintaan maaf pada beberapa orang
redaksi yang telah menunggunya.
Seorang laki-laki dengan jenggot tipis
menggelayut di dagu bangkit dari kursi, dari raut wajahnya tampak ia seumuran
dengan perempuan itu. “Gapapa, Lam. Silahkan duduk.” Lelaki itu membuka salah
satu celah kursi di sampingnya. Perempuan itu bergegas duduk disana. “Kehujanan
ya?” bisiknya kemudian pada perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk kecil,
tangannya sibuk membuka map yang ia bawa lalu menyusun satu persatu kertas di
dalamnya. “Iya, Da. Sorry ya. EO nya pasti kesel nih sama gue.”
Lelaki bernama Mada itu menggeleng,
“engga kok, daritadi sambil nunggu lo, kita suplai mereka dengan makanan enak,
makanya mereka ga bawel.”
Perempuan itu tersenyum kecil, menarik
napas lega.
“Baiklah, rapat bisa kita mulai.” Mada
kemudian bersuara. “Kepada Ibu Siang, selaku perwakilan dari Saruanta Event
Organizer saya persilahkan.”
Seorang perempuan dengan rambut sebahu
berdiri. Matanya nyalang, memancarkan kepercayaan diri yang luar biasa. “Terimakasih
atas waktunya Pak Mada,” perempuan bernama Siang itu melempar senyum kepada
seluruh ruangan. “Baiklah, disini, saya selaku head of creative dari Saruanta
Event Organizer akan memaparkan konsep temu sapa penggemar dalam langka
peluncuran buku baru dari salah satu penulis andalan penerbit Gravitama” Siang
kembali melempar senyum dan matanya langsung menumbuk pada sosok perempuan yang
baru datang itu, “mari kita beri tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas
karya-karyanya kepada Rembulan Malam Rinjani.” Siang memulai koor tepuk tangan
itu diikuti yang lain.
Perempuan berambut sepinggang dengan
bagian ikal di bawah itu tertegun, kemudian tersipu malu mendapat tepuk tangan
sebagai bagian pembuka dari rapat peluncuran buku barunya itu. Ia berkeliling
menatap sekitar, demi kemudian matanya bertumbuk dengan mata sang Siang yang
juga sedang menatapnya tanpa berkedip.
Detik itu juga, tanpa perlu dijelaskan,
tanpa perlu banyak pemaparan, seolah mendapatkan bisikkan dari Tuhan, seorang
Rembulan Malam Rinjani tahu bahwa pertemuannya dengan perempuan ini akan
menjadi awal sebuah kisah yang panjang.
BERSAMBUNG...
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar