Rabu, 26 Desember 2018

KALDERA (3RD SUMMIT)


3rd Summit

Usai acara peluncuran buku itu, Pagi berhasil pulang dengan mengantongi nomor ponsel Malam yang dengan malu-malu ia pinta di penghujung obrolan singkat mereka. Malam memilih tak banyak bicara, hanya menjawab sekadarnya ketika Pagi bertanya, entah karena terlalu gugup atau bisa juga ia bingung hendak berbicara apa. Namun matanya berbinar bahagia dan tanpa keraguan memberi nomor ponselnya saat Pagi bertanya. Pagi tahu, itu sebuah pertanda baik.
Pagi mengemudikan mobilnya sembari senyum-senyum sendiri membayangkan setiap detil ekspresi wajah Malam yang tampak tersipu setiap kali ia ajak bicara. Ada badai hebat yang melandanya hingga ujung kepala hingga ujung kaki, namun Pagi masih enggan terlalu dini menyebut hal itu sebagai jatuh cinta. Yang jelas saat ini, Pagi tahu, hatinya hendak tertuju kemana.
Pagi tiba dirumahnya pukul sebelas malam. Merebah dirinya diatas kasur sembari memandang langit-langit kamarnya yang memendarkan lampu temaram. Pagi menimang-nimang ponselnya sendiri sambil menimbang-nimbang apakah akan menelepon Malam atau tidak. Pagi kembali terlempar pada detik demi detik di beberapa jam lalu, hatinya menghangat, membuat jemarinya terasa mendidih dan begitu gatal ingin memencet nomor ponsel itu. Pagi tak kuasa, ada debar begitu hebat yang harus ia tuntaskan.
“Halo?” suara perempuan itu menyahut dengan lembut. Pagi menarik nafas, meredakan gugup. Entah jauh ataupun dekat, rasanya selalu sama, Malam selalu berhasil membuat dirinya tenggelam dalam gegap gempita.
“Hai, Lam. Ini aku, Pagi.”
Diam sejenak. “Oh. Hai, Gi.” Suara Malam, terdengar terbata-bata. Sama gugupnya.
“Sudah dirumah?”
“Hmm… sudah. Kamu?”
“Sudah juga.”
Hening.
“Ga tidur, Lam?”
“Sebentar lagi. Kamu ga tidur?”
Pagi terdiam, ingin rasanya menjawab masih enggan tidur sebab ingin berbincang dengan Malam namun rasanya kalimat itu terlalu bar-bar. “Sebentar lagi juga.”
Hening.
“Kamu nunggu apa kok ga tidur?” Pagi bertanya lagi.
“Ga nunggu apa-apa sih. Lah kalau kamu?”
“Sama hehe.”
Hening.
“Yaudah tidur yuk, Lam.” Pagi mengedar pandang, sibuk menghitung jumlah motif zigzag di gorden kamarnya, menghilangkan gugup. Ia begitu ingin mengutuk-ngutuki dirinya sendiri sebab tak mampu membuka topic pembicaraan apapun.
“Oh, oke. Goodnight, Gi.”
Pagi tersenyum, ucapan singkat itu menuncap tepat di jantungnya, menyemaikan bunga-bunga yang membuat tubuhnya terasa jutaan kali lebih baik dari detik sebelumnya, Pagi yakin, malam ini ia akan bermimpi indah. “Goodnight too, Lam.”
Telepon itu pun mati. Pagi memandangi layar ponselnya seolah wajah Malam terpantul jelas disana. Debur degub jantungnya semakin kencang terasa. Pagi bahagia. Dan ia yakin semua ini akan menjadi awal yang baik untuk segalanya.

♥♥♥♥♥

Bagi Malam, beberapa tahun belakangan ini bandara merupakan tempat yang selalu melekat di hari-hari yang ia lalui. Acara peluncuran buku yang mengharuskannya berpindah dari satu kota ke kota lainnya dalam waktu yang berdekatan, mau tak mau memaksanya acap kali mengenyam hidup diantara bandara satu dan lainnya. Desingan pesawat, gemuruh pengeras suara, dan hiruk pikuk antrian bagasi adalah hal yang tak asing lagi. Malam tahu segala sesuatu telah bersahabat, kecuali satu hal hari ini; hatinya sendiri.
Bertahun-tahun menjalani karir kepenulisannya dalam kesendirian, dengan hati tanpa sandaran, dengan isi kepala yang tak pernah memikirkan siapa-siapa, namun pagi ini, Malam berangkat ke bandara dengan hati penuh sesak dengan luapan rasa tak beraturan. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil kantor, Malam tak mampu membuang senyum yang terus memaksa melekat di bibirnya. Setiap mengingat sosok itu, Malam sadar, tubuhnya meluapkan begitu banyak sukacita yang sulit ia bendung tak perduli apapun caranya. Pertemuan itu memang begitu singkat namun begitu membekas di kepala.
Malam membuka ponselnya tepat ketika tubuhnya baru saja duduk di salah satu kursi  ruang tunggu. Melihat nama itu kembali muncul di deretan teratas notifikasi, membuat sofa yang Malam duduki terasa lebih empuk berkali-kali lipat.

Ufuk Pagi Himalaya: Selamat pagi, Lam. Sudah bangun?

Malam tersenyum, ia mendelik pada jam tangannya yang menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi.

Rembulan Malam Rinjani: Sudah. Ini sudah di bandara
Ufuk Pagi Himalaya: Mau kemana?
Rembulan Malam Rinjani: Launching buku di kota pulau seberang, Gi. Doakan lancar ya.
Ufuk Pagi Himalaya: Baik. Semoga sukses. Hati-hati dijalan.

Malam lagi-lagi tak mampu menahan terbitnya senyum sebab membaca deratan kalimat di layar ponselnya itu. Ia bersumpah sebelum pesawat take off nanti ia akan berdoa sepenuh hati bahkan lebih khusyuk dari biasanya agar ia selamat sampai tujuan. Sebab Malam tahu, ada seseorang di suatu sudut bumi yang begitu menanti kabar bahwa ia baik-baik saja.

♥♥♥♥♥

Lelaki bertubuh bidang dengan rambut tipis nyaris plontos itu menggeret kopernya keluar dari tempat pengambilan bagasi dengan rindu yang pasang surut bergumul di benak. Rasanya sudah lama sekali, cukup terlalu lama untuk menampung rindu dan datang kembali ke kota ini. Kota tempat kekasih yang begitu ia cintai tinggal.
Setibanya di lobby, matanya yang bulat sempurna sibuk mencari-cari keberadaan sosok yang berjanji menjemputnya. Dan… ya… disana… diujung lobby kedatangan dengan menggunakan celana jins dan kaus berwarna merah wanita itu menunggu kemudian dengan cepat segera berlari mendekat sekuat tenaga dan menghempaskan peluknya pada tempat tubuhnya selalu ingin pulang mengadu. Rambut sebahunya yang tertiup angin bergoyang nyaris berkibar tak beraturan menutupi wajahnya yang tanpa ampun dibenamkannya dengan begitu dalam di pundak sang lelaki.
“Sore…” desis Siang sembari memeluk lelaki pujaan hatinya itu. Dilepaskannya sampai habis segala rindu yang bercokol dengan erat. Segala rindu yang hanya mengenal kata bertambah tanpa Siang tahu bagaimana caranya agar mengurang selain menuntaskannya dengan sebuah temu.  Siang melepas peluknya, lalu menatap mata Sore dengan lekat. Tangannya sibuk menjamahi wajah Sore seolah ingin memastikan kekasihnya baik-baik saja dan tak ada yang kurang meski satu hal pun jua. “Aku rindu… rindu sekali.”
Sore tersenyum, dielusnya dengan lembut puncak kepala Siang. “Itulah kenapa aku datang kesini. Karena aku sama rindunya dengan kamu, lebih besar malah.”
“Ibu sudah nunggu kamu dirumah. Katanya kangen sama calon menantu.”
Sore tertawa, apapun yang dikatakan Siang nyatanya memang selalu mampu membuat hatinya bahagia. “Aku juga sudah ga sabar jadi menantu benerannya Ibu kamu.”

♥♥♥♥♥

Bagi Sore, selain rumah tempatnya besar di kota udang pulau seberang sana, rumah bercat cokelat putih berlantai dua di kota kecil provinsi seberang ini adalah rumah kedua. Ia selalu bisa pulang kapan saja, pintu manapun dirumah ini tak pernah tertutup untuknya. Terlebih ketika ia tersadar, salah satu penghuni rumah tempat ia tinggal selama masa KKN itu telah membuatnya jatuh hati. Anak perempuan tertua dari Pak Sudibyo dan Ibu Ani itu telah menawan hati Sore sejak pandangan pertama mereka bertemu di meja makan keluarga. Hingga detik ini, cinta itu terus tumbuh, terlebih menjelang hari-hari pernikahan mereka.
Sore masih ingat benar di pertemuan pertama itu, bagaimana Siang turun dari lantai dua mengenakan piama, dengan rambut sebahunya yang tak pernah berubah hingga kini. Kedua bola mata cokelatnya itu menembus sisi pertahanan hati Sore yang keras di detik pertama, demi detik-detik berikutnya membuat sore semakin gila ketika kedua bola mata itu terus menerus secara tak sengaja beradu pandang dengannya.
Hari demi hari berlalu tanpa seharipun Sore lewati dengan memandangi Siang secara diam-diam dari balkon kamarnya di lantai dua. Saat senja hampir terbenam adalah saat terbaik, sebab saat itu lah Siang akan keluar ke halaman belakang, melakukan yoga diatas matras warna ungu kesayangannya hingga adzan maghrib berkumandang. Dan Sore, diatas balkon sana akan duduk termenung diatas kursi plastik andalannya, menunggui Siang hingga selesai bermeditasi sembari terus menumbuhkan perasaannya yang kian tak terbendung lagi.
Sore tahu jiwa dan raganya telah tertawan, masa-masa KKN yang habis memaksa raganya beranjak, namun bagi Sore hatinya tetap tertinggal disini. Dan selepas itu, demi memuaskan dahaganya akan sosok Siang yang selalu ia idam-idamkan, maka sebulan sekali Sore selalu mencari alasan untuk pulang ke kota kecil itu, menginap di rumah Pak Sudibyo dan Ibu Ani demi sebenarnya ingin menangkap sosok Siang di kedua retina matanya, merekam senyum gadis itu baik-baik dalam kepala, untuk kemudian ia jadikan bekal pulang ke kota udangnya, dan kembali lagi kesini sebulan kedepan demi mengisi amunisi senyum itu lagi.
Siang tak pernah sadar atas alasan-alasan yang Sore buat untuk selalu datang kerumahnya adalah demi dirinya. Siang terlalu tak peka membaca gerak gerik Sore yang sering mengajaknya berbincang namun lebih sering Siang acuhkan. Siang tak pernah tahu Sore selalu memanjatkan doa di pagi dan malam agar hati Siang luluh dan mampu melihat semua perjuangannya. Siang sungguh tak pernah menyangka hingga akhirnya di suatu libur panjang, setelah satu tahun lamanya Sore selalu melakukan ritual bulanan datang kerumah, ada sesuatu yang tampak berbeda. Malam itu, di kunjungan kedua belasnya ke rumah Siang, Sore bergelagat aneh. Dengan sopan ia meminta Pak Sudibyo dan Ibu Ani mengizinkannya membawa Siang makan berdua diluar yang disambut dengan anggukan setuju dari keduanya.
Siang masih belum sadar, ia pikir sosok lelaki yang ia anggap sebagai kakak ini hanya mengajaknya makan malam berdua tanpa tujuan tertentu. Tak pernah terlintas sedikitpun di benak Siang bahwa bagi Sore segala rencana bahkan sudah jauh dari itu.
“Ang, kamu tau udara?” tanya Sore saat makanan di piring mereka berdua hampir tandas. Restoran kecil dengan menu khas steak itu sedang sepi pengunjung, membuat suasana sunyi yang terbentuk terasa sangat tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini Sore pendam diam-diam.
Siang mendongak, menatap Sore sedetik kemudian membuang pandang. Alisnya bertaut heran. “Tau. Kenapa?”
“Kamu tahu kan udara itu ada walaupun ga bisa kita lihat?”
Siang mengangguk. Dahinya semakin berkerut.
“Ang, bagaimana kalau ada seseorang yang mencintai kamu seperti udara?”
Siang yang sedang meneguk lemon tea-nya nyaris tersedak. Namun kemudian buru-buru mengendalikan diri.
“Seperti udara, Ang. Ia selalu ada. Tak pernah sedetikpun lepas dari tubuhmu. Ia ikat aliran-aliran darahmu agar tetap hidup.”
Siang semakin termenung. Jantungnya sudah sedari tadi ingin mencelat keluar sebab terlalu terkejut. Ia tahu Sore memandanginya tanpa berkedip sedetikpun. Namun siang memilih menunduk, tak berani menatap kedua mata dengan binar yang masih tak mampu Siang artikan.
“Dan orang itu adalah aku, Ang…”
Siang nyaris jatuh dari kursinya mendengar pernyataan cinta yang benar-benar tak pernah ia prediksi itu. Selama ini, dimata Siang, Sore hanyalah sosok mantan mahasiswi KKN yang menjelma menjadi anak angkat Ibu dan Ayahnya. Walau hanya setitik, Siang tak pernah berpikir bahwa sejak jauh-jauh hari, Sore telah jatuh hati padanya.
Malam itu usai dengan Siang yang memilih bungkam sebab masih butuh waktu untuk mencerna kejadian ini pelan-pelan. Sementara Sore, melenggang pulang dengan langkah begitu ringan sebab telah melepas satu beban yang selama ini ia timbun dalam-dalam.
Siang butuh waktu sekitar dua minggu untuk memantapkan hati, berpikir sekaligus berdiskusi dengan  Ayah dan Ibunya. Demi kemudian menghubungi Sore dan meminta Sore datang kerumahnya sesegera mungkin.
Keesokannya, tanpa ragu Sore datang, jawaban yang ia tunggu-tunggu nampak jelas di depan mata. Namun kali ini, ia tak datang dengan tangan hampa. Di saku kemejanya, telah ia simpan dengan rapi sebuah kotak berwarna biru lapis beludru yang menyimpan sebuah permata indah yang telah Sore siapkan demi sang pujaan hati.
Taman belakang tempat Siang biasa melakukan yoga kali ini tampak berbeda. Tak ada matras disana. Yang ada justru sebuah teko berisi teh hangat dan dua buah gelas yang masih penuh tanpa disentuh. Sementara itu, Siang dan Sore memilih duduk berselonjor diatas rumput memandangi langit.
“Jadi gimana, Ang?” Sore angkat suara.
Siang tersenyum, ia menggeleng lemah. Menarik nafas sembari berharap mulutnya dapat bisa segera diajak berbicara.
Sore memandangi Siang dengan tatapan bingung demi kemudian, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak beludru biru yang ia bawa. “Ang, kalau kamu pikir aku ini main-main, aku ga mungkin menunggu kamu selama ini.” Sore menyodorkan kotak itu ke hadapan Siang dan membukanya pelan-pelan, “Ang, aku sangat serius. Kamu mau kan menikah denganku?”
Siang terbelalak memandangi cincin yang menyembul dari balik kotak beludru biru itu. Tenggorokannya tercekat. Bibirnya semakin tak kuasa berbicara.
“Ang? Please…”
Siang mengehela nafas panjang, mencoba menata kalimat yang hendak ia ucap pelan-pelan. “Re, aku bingung mau memulainya darimana. Ini semua jauh dari perkiraanku. Aku ga tahu selama ini kamu menyimpan rasa. Maaf kalau aku terlalu ga peka.” Siang menatap mata Sore dengan semakin dalam. “Re, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku rasa… aku ga akan mungkin menyia-nyiakan orang yang begitu besar mencintaiku. Karena orang-orang baik dengan cinta yang hebat ga akan pernah datang dua kali di hidup kita, Re. Oleh sebab itu… aku ga mau melewatkan kamu. Karena sama halnya dengan segala keyakinanmu padaku, aku juga begitu yakin dengan kamu, Re. Terimakasih sudah membuatku merasa begitu dicintai.”
Sore terdiam, air mata bahagianya nyaris jatuh menetes.
“Re, tapi ada satu hal yang harus aku beritahu ke kamu,” kesekian kalinya, Siang menghela nafas panjang. “Re, aku mau menikah dengan kamu. Sangat mau, tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu mengenali kamu dan keluargamu dengan lebih dalam. Kamu bisa kan menungguiku lagi hingga siap?”
“Kapan kamu siap, Ang?”
“Dua tahun dari sekarang. Beri aku waktu dua tahun untuk mengenalkan hal-hal baik dan burukku dalam diriku ke kamu. Begitu juga sebaliknya. Kita ini mau menikah kan? Aku pikir bodoh rasanya jika kita menikah tanpa mengenali satu dan lainnya dengan begitu baik.”
Sore terdiam, matanya semakin berkaca-kaca bahagia.
“Cincin ini tetap kuterima, Re. Dengan senang hati akan kuterima sebagai bentuk pengikat dan tanda keseriusanmu padaku.” Siang tersenyum mengambil cincin dari balik kotak beludru biru itu dan mengenakannya di jari manis tangan kirinya. “Taraaaa! Mulai sekarang, aku calon istri kamu, Re.” Siang mengangkat tangan kirinya yang telah mengenakan cincin tepat dihadapan wajah Sore. Bibirnya mengulas senyum sumringah tiada tara.
Tanpa mampu Sore elak, buncahan bahagia itu begitu meledak-ledak. Dengan lekas ia memeluk Siang begitu erat sembari terus mengucapkan kata terimakasih yang tak usai. Sore tahu selama ini ia menunggu pada orang yang tepat.
Pelukan disaat senja hampir terbenam itu tak pernah berubah. Hingga dua tahun waktu bergulir. Dalam pasang surut rindu, amarah dan cinta yang bergulat menjadi satu. Dalam pergolakkan bentangan jarak yang bertikai dengan curiga juga cemburu. Pelukan itu tetap ada sebagai penuntas segala rasa yang berkecamuk di dada. Pelukan itu selalu ada sebagai suatu hal yang Siang rindukan dari Sore, begitupun sebaliknya. Pelukan itu selalu ada, dan Sore berharap, pelukan itu akan menjadi ritual abadi antara ia dan Siang selamanya.
Pikiran Sore kembali terlempar ke masa kini, lamunannya tentang masa-masa mengejar cinta Siang dua tahun silam buyar ketika Ibu Ani keluar dari dapur dan menyuguhkan sepiring besar ayam goreng yang baunya membuat perut Sore terasa begitu lapar.
“Ayam goreng kesukaan Sore. Sengaja Ibu siapin karena kamu mau datang.” Ibu Ani tersenyum kemudian kembali ke dapur.
Dengan sigap Siang menyendokkan nasi ke dalam piring dan meletakkan sepotong ayam goreng diatasnya. Piring itu kemudian ia taruh tepat di depan Sore yang nampak sudah tak sabar ingin melahap makanan favoritnya. “Selamat makan, Sayang.” Siang tersenyum sembari menontoni Sore menyendokkan suap demi suap dengan begitu cepat.
“Besok kita jadi fitting baju ke Ibukota?” tanya Sore kemudian.
“Iya. Penjahitnya sudah telepon aku terus. Minta cepet-cepet dicobain, takut ada yang ga pas katanya.”
“Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pas kalau kamu pakai. Semuanya tampak cantik.”
Siang tertawa sembari mencubiti lengan Sore dengan gemas. Lelaki itu selalu mampu membuatnya bahagia hingga hal-hal terkecil dalam hidupnya.

♥♥♥♥♥

Setelah sekian lama terbiasa melakukan apa-apa sendirian, Malam tampak begitu gugup sekaligus tak bisa percaya bahwa di kepulangannya kali ini ke Ibukota Provinsi, ada seseorang yang menunggunya, bahkan dari jauh-jauh hari sudah menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara. Malam menghentikan langkahnya ketika pintu kedatangan tampak diujung mata, ia mengatur nafasnya yang mulai berantakan, udara-udara yang masuk pun rasanya nyaris tercecer hingga masuk ke gendang telinga, Malam sudah lama sekali tak merasakan tubuhnya sericuh ini.
Nafas Malam semakin tercekat ketika menangkap sosok lelaki itu tepat di sepasang retinanya. Ia berdiri disana, diantara tiang-tiang penyangga bangunan bandara yang kokoh. Ia tersenyum, sama manisnya dengan warna ungu pastel kemeja flanel yang ia kenakan. Kacamata yang bertengger manis diwajah itu, tetap tak mampu membuat Malam lolos dari pancaran aura yang begitu dahsyat.
“Hai, Gi.” Malam berdiri tepat di depan lelaki itu, membalas senyumnya dengan canggung, kemudian sibuk mengelus-elus tengkuknya sendiri, menghilangkan gugup.
“Hai, udah makan?” begitu banyak kalimat di kepala Pagi, namun justru kalimat basa-basi paling sederhana itu yang meluncur keluar.
Malam menggeleng, angin sepoi senja meniup rambut ikalnya hingga sedikit berantakan. “Belum.”
“Makan dulu yuk.”
“Oke.”
Malam mengangguk tanpa bisa menolak. Jantungnya terasa memompa darah dengan lebih cepat. Terlebih ketika Pagi tanpa sungkan membantunya membawa koper dan membukakan pintu mobil bak Malam seorang putri yang harus ia layani.
Malam duduk di kursi samping kemudi dengan bibir terkatup rapat, sibuk membenahi isi kepalanya yang mulai mendenyutkan rasa luar biasa. Sementara itu Pagi, duduk dibalik kemudi dengan hati setengah tak percaya, bahwasanya perempuan yang ia idamkan, kini hanya berjarak tiga jengkal disebelahnya, dan perempuan itu tak menolak ia ajak makan malam bersama.


bersambung...

Kamis, 13 Desember 2018

Kaldera (2nd Summit)



2nd Summit

Siang beranjak dari kantor Gravitama saat langit mulai menampakkan pendar bintang. Langkahnya langsung ia tujukan pada sebuah restoran seafood di jantung Ibukota Provinsi, tempat dimana teman-temannya telah menunggu. Seperti biasa, perkumpulan bulanan mereka dijadwalkan hari ini. Dan demi membunuh jenuh sebab selalu mengadakan pertemuan di kota kecil tempat mereka tinggal, maka seluruh anggota rela menempuh tiga jam perjalanan demi menemukan suasana baru. Sebuah kebetulan yang manis sebab Siang sedang menangani peluncuran buku Gravitama, sehingga ia tak perlu terlalu direpotkan dengan perjalanan pulang-pergi yang cukup menguras tenaga.
Siang tiba dengan disambut tatapan mata jengah dari seluruh teman-temannya yang duduk berhadap-hadapan pada sebuah meja panjang tepat di tengah restoran, ada satu yang janggal, Pagi belum tampak disana. Diluar prasangka Siang, sebab Pagi menetap dan bekerja di Ibukota ini, seharusnya ia lah yang datang terlebih dahulu.
“Kenapa sih pada cemberut?” Siang meletakkan tumpukkan berkas-berkasnya keatas meja dan langsung duduk di hadapan Sarah. Matanya mengedar pandang pada keenam temannya; Ridho, Tria, Sarah, Elva, Anton dan Putra.
“Pagi ga ada kabar.” Sahut Tria, perempuan bertubuh tambun dengan gaya khas rambutnya yang selalu dikucir itu.
Siang mengernyit, “loh bukannya tadi dia bilang dia bisa?”
“Gue udah telepon hapenya puluhan kali tapi ga diangkat,” Ridho, si kumis tipis bertubuh pendek menimpali. “Jauh-jauh kesini, yang jadi tuan rumah malah ngaret.” Gerutunya kemudian.
Siang menghela napas panjang, Pagi tak biasanya seperti ini. Diantara mereka berdelapan justru sosok lelaki berkacamata itu lah yang paling tepat waktu. “Dia lagi ada kerjaan mungkin. Tungguin aja. Udah yuk, pesen dulu aja nih… “ Siang membagikan buku menu ke seluruh penjuru meja, membubarkan aroma-aroma kekesalan yang mulai kental terasa.

♥♥♥♥♥

Malam semakin larut ketika Pagi baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Bertumpuk-tumpuk nilai yang harus di input ke sistem KRS online membuatnya mau tak mau melemburkan diri dan tenggelam dalam kesunyian gedung universitas yang tak lagi tampak hingar bingar. Ia memilih mengacuhkan ponselnya yang sedari tadi berbunyi sebab puluhan panggilan masuk dari teman-temannya secara bergantian. Begitulah Pagi, jika sedang bekerja ia tak mau diganggu sama sekali.
Pagi buru-buru turun dari gedung berlantai empat itu menuju parkiran yang tampak sepi. Diliriknya ponsel yang ia genggam dengan layar menunjukkan notifikasi bahwa ponsel itu sebentar lagi akan mati sebab batrenya telah habis. Pagi mendengus kesal, lalu semakin terburu-buru menyalakan mobil, menuju restoran tempat pertemuan itu diadakan. Dalam benaknya, ia sudah dapat membayangkan Sarah yang akan mengomel panjang lebar sebab keterlambatannya yang sangat keterlaluan ini.
“Sialan!” Pagi memukul stir mobilnya dengan kesal mendapati hamparan kendaraan yang macet dihadapannya. Kendaraan-kendaraan itu memanjang dengan rapi, tak bergerak sedikitpun. Pagi membuka kaca jendela, tepat ketika seorang pedagang asongan mendekat padanya, “Bang, ada apaan nih? Kenapa macet?” tanya Pagi heran, mengingat jalan utama dekat kampusnya selalu lancar-lancar saja.
“Ada dua truk terguling, Bang. Mobil dereknya masih dijalan. Ini udah setengah jam nih ga gerak-gerak.” Sahut sang pedangan asongan menjelaskan, “permen, Bang? Kali-kali aja bosen nunggu macet,” pedagang asongan itu menawarkan jualannya pada Pagi dan sebagai imbalan atas pertanyaannya barusan, Pagi membeli dua bungkus permen sekaligus yang disambut dengan senyuman sumringah dari sang pedagang asongan sambil berlalu menjajakan dagangannya ke kendaraan lain.
Pagi mengedarkan pandang dan mendapati pengendara di sekelilingnya ramai-ramai keluar dari mobil lalu duduk di trotoar. Tanpa pikir panjang, Pagi ikut-ikutan mematikan mesin mobilnya, lalu bergerak keluar mobil menuju sebuah swalayan yang terletak di kiri jalan. Kepalanya sakit, rasanya ia butuh kopi seduh.
Pagi duduk di kursi besi depan swalayan sembari meneguk kopi seduhnya, matanya menatap nanar pada deretan mobil yang semakin memanjang namun tak bergerak. Ponselnya yang mati digeletakkannya begitu saja di dalam mobil, ia rasa teman-temannya dapat memaklumi keterlambatannya malam ini.
Kopi digelasnya tersisa dua teguk lagi, tepat ketika mata Pagi menangkap sesosok perempuan berjalan mendekati swalayan. Sepertinya perempuan itu bernasib sama dengan Pagi melihat air mukanya yang begitu keruh nan jengkel. Perempuan itu melangkah terburu-buru kemudian menghempas tubuhnya duduk tepat di sebelah Pagi. Kemudian ia membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebotol air mineral darisana yang dengan lekas segera ia teguk.
Pagi melirik diam-diam gadis itu melalui ekor matanya, tampak ia sedang gusar sembari melihat terus menerus jam tangan yang ia kenakan. Gadis itu benar-benar tak sadar bahwa Pagi sedari tadi memerhatikannya.
Pagi terus mencuri-curi pandang, memerhatikan setiap potongan demi potongan wajah gadis ini yang entah mengapa seperti mengandung daya tarik tersendiri. Hidungnya mancung dengan bola mata cokelat lengkap dengan kantung mata yang entah kenapa justru menjadi cirikhas pemanis di wajah gadis itu. Rambutnya yang ikal dibagian bawah menjuntai lalu bergoyang ketika tertiup angin. Pagi terus menerus mencuri pandang hingga akhirnya tanpa sengaja gadis itu menangkap basah Pagi, kontan membuat Pagi gelagapan.
Gadis itu tetap memilih diam meski menyadari ia sedang diperhatikan, demi sedetik kemudian kembali menjadi sosok yang tak perduli dengan Pagi yang duduk disampingnya.
Pagi menghela napas, memutuskan segera bangkit berdiri dan kembali menuju mobilnya. Dadanya gusar dan berdetak lebih cepat. Sudah lama sekali rasanya ia tak menemukan wanita dengan daya tarik seperti ini.

♥♥♥♥♥

“Sorry… Sorry… telat banget ya. Tadi gue lagi ada kerjaan terus kejebak macet di jalan,” tanpa babibu Pagi menyeruak masuk ditengah kerumunan teman-temannya yang sedang asyik berbincang, sontak semuanya terdiam dan kompak melempar pandangan murka padanya. Namun Pagi dengan santai malah cengegesan sambil garuk-garuk kepala, “udah deh biar pada ga ngambek, malem ini gue yang traktir semuanya.”
Detik berikutnya terdengar sahut-sahutan tawa terbahak-bahak, tanda suasana mulai mencair. Manusia mana yang pada hakikatnya tak suka sesuatu yang gratis.
Pagi mengedar pandang lalu mulai mengikuti arus perbincangan teman-temannya yang mulai membahas berbagai macam jenis obrolan. Semakin larut, obrolan semakin tak tentu arah, tawa pecah dimana-mana. Sekumpulan manusia itu memang selalu bahagia jika disatukan bersama.
Berporsi-porsi cemilan silih berganti keluar masuk dari dapur restoran, memenuhi meja, kemudian habis. Terus menerus seperti itu hingga jam menunjukkan hampir tengah malam. Namun bukannya kehabisan bahan obrolan, delapan sahabat itu justru semakin semangat seolah ingin menentang malam dan menua menunggu pagi bersama.
“Jadi, Ang, udah sampe mana persiapan pernikahan lo?” Anton, si lelaki kurus degan rambut panjang sebahu itu bersuara sembari mengunyah bakpao isi kacang yang masih hangat. Seluruh tatapan kontan mengarah pada Siang dengan lurus. Topik ini adalah salah satu bahasan hangat di setiap perkumpulan mereka, mengingat diantara mereka, Siang adalah orang pertama yang akan menikah.
“Udah mulai jahit baju sih gue, kemarin begitu sampe sini gue langsung cari bahan kebaya sekalian cari penjahit. Di kota kita kan ga ada penjahit baju pengantin yang bagus.”
“Wah mantap! Lo pasti jahit maju ala-ala princess kan? Yang bagian bottomnya mengembang nyapu lantai terus ekornya 10 meter?” Sahut Putra, si tubuh bidang dengan jenggot tipis, menimpali kalimat Siang yang disambut dengan kekehan kompak dari teman-temannya yang lain.
Siang melotot, sadar itu adalah sebuah ejekan bagi dirinya. “Se-tampak manja itu kah gue???”
Ketujuh orang lainnya kompak tak mau menjawab, malah asyik terus tertawa terbahak-bahak. Siang semakin melipat wajahnya, dan demi menghindari semua tertawaan itu, ia memilih membuka berkas-berkas pekerjaannya yang belum rampung. Membiarkan teman-temannya meredakan tawa dengan sendirinya.
Siang membuka catatan-catatan kecil yang sedang ia kerjakan tentang acara launching buku Gravitama esok lusa. Pagi, yang duduk disampingnya, melirik sekilas demi kemudian tanpa permisi mencomot selembar pamflet yang menyembul keluar dari balik paperbagnya.
Pagi mengamati pamflet itu dengan alis bertaut, dahi keriting dan kepala yang berpikir ratusan kali lipat lebih keras. Dideliknya Siang dengan penuh tanda tanya, “perempuan ini siapa, Ang?” tunjuknya pada sosok perempuan yang fotonya terpajang di dalam pamflet dalam posisi sedang duduk sembari tersenyum.
Siang melirik sekilas demi kemudian kembali terfokus pada catatan kecil miliknya, “oh, itu Rembulan Malam Rinjani, itu loh penulis terkenal yang buku-bukunya sering diangkat ke layar lebar. Lo tahu film Sayap Dara? Itu dari buku Si Malam ini.”
Dahi Pagi semakin keriting, “terus?”
“Hmmm…” Siang tampak berpikir sebentar, “lo inget kita berdelapan pernah nonton film Teman Tapi Musuh? Itu juga diangkat dari buku dia. Ah kalau laki-laki mah mana paham.” Siang menjelaskan sambil menggerutu.
“Iya. Iya. Gue tahu film-film itu. Tapi gue baru tahu sosok penulisnya.” Pagi manggut-manggut. Di negara ini, wajah dan fisik seorang penulis memang jarang diketahui publik, beberapa penulis memilih merahasiakannya, namun banyak juga yang tidak diketahui sebab masyarakat tak perduli, yang terpenting hanya karyanya bisa dinikmati. “Jadi ini penulis yang acara launching bukunya lagi EO lo garap?”
“Yup.”
Pagi terdiam, dunia ini terasa sempit sekali. Dadanya berdetak cepat saat menatap wajah itu sekali lagi melakui pamflet yang ia genggam. Dalam sekejap Pagi seolah dapat merasakan kehadiran gadis itu duduk tepat disebelahnya lagi lengkap dengan rambut bawah ikalnya yang tertiup angin.
Pagi membaca pamflet itu dengan seksama, menghapal baik-baik lokasi, tanggal serta pukul berapa launching itu akan dilaksanakan. Ia memantapkan hati, rasa penasarannya tak bisa lagi ia tutupi; launching buku itu harus ia datangi!

♥♥♥♥♥

Malam itu, pelataran parkir sebuah kafe mewah di pusat Ibukota Provinsi tampak lebih ramai dari biasanya. Sebuah spanduk membentang luas dibagian depan. Sedangkan bagian-bagian dalam kafe dihias dengan ornamen-ornamen cantik seperti balon, lampu tumblr serta stiker stiker kecil yang di dominasi warna perak metalik.
Di lantai dua kafe itu, kerumunan orang tampak mulai meramai. Kursi-kursi berjejer rapi dengan sebuah panggung mini terpampang di depan. Disana, Malam duduk manis, melempar pandangnya pada sekitar dengan hati gegap gempita. Meski ini bukanlah peluncuran bukunya yang pertama, hatinya tetap gugup luar biasa, entah benar-benar canggung atau ada rasa bahagia menggebu yang turut bercampur juga. Yang jelas bagi Malam, di setiap momen peluncuran bukunya, segala sesuatu terasa berbeda dan tak akan sama.
Acara itu akan segera dimulai, di sudut lain lantai dua, Siang mengamati pemandangan sekitar dengan awas, memerhatikan setiap detil dekorasi dengan teliti sekaligus mengawasi anak buahnya yang sibuk berkeliaran kesana kemari. Siang tersenyum puas, dekorasi acara peluncuran buku hari ini sesuai dengan ekspektasinya.
Sementara itu di lapangan parkir kafe, Pagi baru saja tiba dengan mengendarai mobilnya. Ia berjalan masuk ke dalam kafe dengan jantung yang lagi-lagi bergedup lebih cepat. Pagi sibuk mengatur nafas sembari meniti satu persatu anak tangga menuju lantai dua.
Pagi terdiam, tercengang beberapa detik dibalik pintu kaca yang membatasinya menuju ruangan tempat acara diselenggarakan. Dari sini ia dapat melihat dengan jelas sosok perempuan berkantung mata dan berambut ikal dibagian bawah itu duduk sembari bercuap-cuap dengan mikrofon yang ia genggam. Tanpa sadar, pagi dibuat senyum-senyum sendiri melihatnya.
“Tiket, Mas?” seorang laki-laki berumur 20 tahunan menghampiri Pagi, meminta tiket sebagai kunci agar Pagi boleh masuk ke dalam ruangan itu.
“Oh maaf saya belum beli. Disini ada jualan tiketnya?”
“Ada, Mas. Sebentar.” Laki-laki itu menyobek sebuah tiket dari segepok tiket yang ia genggam kemudian menyerahkan tiket itu kepada Pagi seusai Pagi membayarnya.
Dengan perasaan menggebu, Pagi melangkah masuk ke ruangan peluncuran buku itu dengan langkah pelan. Dan tanpa bisa Pagi duga, matanya langsung bertumbukan dengan mata Siang yang berdiri tak jauh dari pintu masuk.
Siang mengernyit, menghampiri Pagi dengan tanda tanya memenuhi kepala. “Lo ngapain, Gi?” Siang menggerogoti Pagi dengan tatapan dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Seumur-umur gue kenal elo, gue ga pernah tahu lo suka dateng ke acara ginian.”
Pagi tersenyum simpul sambil menggaruk-garuk kepala, ia sudah terlanjur tertangkap basah. “Gue… mau kenalan sama Rembulan Malam Rinjani.”
Alis Siang naik beberapa senti, “apa?! Gue ga salah denger???”
Pagi menggeleng sambil tersipu malu. “Waktu malam kita kumpulan itu, gue ketemu dia lagi kejebak macet juga, eh pas banget waktu liat pamflet yang lo pegang ternyata dia penulis yang peluncuran bukunya digarap sama EO lo, Ang.” Jelas Pagi kemudian. “Gue penasaran banget, makanya gue kesini.”
“Emang waktu ketemu kemarin belum sempet kenalan?”
Pagi menggeleng lemah, matanya kembali menatap panggung tanpa berkedip. Kali ini Malam tengah tertawa sebab mendengar salah seorang penonton menanyakan pertanyaan yang membuat dirinya tergelitik.
Siang tersenyum kemudian tertawa terbahak-bahak, “ya ampun, Giiiiii. Sejak kapan sih lo jadi berani ngajak cewe kenalan sampe rela nyamper-nyamperin gini? Kaya bukan Pagi yang gue kenal.” Siang geleng-geleng kepala sendiri. “Ufuk Pagi Himalaya tuh ya setahu gue kaya robot es, kaku, dingin, galak! Hahahahaha.”
Pagi berdecak kesal, wajahnya ditekuk hingga kusut, “seharusnya lo seneng dong, Ang, sahabat lo ini udah ada kemajuan sekarang.”
Siang menghentikan tawanya kemudian menatap Pagi lurus. “Yaudah ntar selesai acara gue kenalin.” Siang mengangkat kedua jempolnya tepat dihadapan wajah Pagi. “Udah lo duduk aja dulu, santai. Gue masih banyak kerjaan. Gue tinggal dulu ya.” Siang pun berlalu, kembali di tengah rekan-rekan kerjanya yang tengah sibuk mengatur cemilan di meja seberang.
Pagi meraba dadanya, degup jantung itu makin tak beraturan. Jika bisa, Pagi ingin menggulung waktu segera, agar segera tiba di penghujung acara.

♥♥♥♥♥

Acara berlangsung dengan sukses. Penjualan buku bertanda-tangan khusus Malam bahkan habis tanpa sisa. Semua hadirin pulang dengan wajah sumringah, beberapa juga berhasil mendapat foto bersama dengan Malam. Peluncuran buku itu sungguh telah berhasil menebarkan aroma bahagia dan senyum di seluruh penjuru ruangan.
“Mbak Malam, selamat ya! Acaranya sukses sekali.” Siang menghampiri Malam yang tengah menyeduh teh hangat di belakang panggung.
Malam tergeragap, lalu dengan sumringah mengaduk teh nya pelan. “Makasih, Mbak Siang. Ini juga berkat EO Mbak Siang yang luar biasa.”
Siang mengulum senyum, “jangan panggil ‘Mbak”, panggil ‘Siang’ aja.”
Malam mengangguk, “kalau gitu sama, panggil saya nama saja, Mbak… eh… Siang maksudnya,” Malam terkekeh. Ia meneguk tehnya kemudian.
“Oh iya, Lam, kalau boleh, ada teman saya mau kenalan sama kamu.” Siang berdeham sembari mencuri pandang, membaca ekspresi Malam dengan cermat.
Malam mendelik heran, dahinya berkerut, “siapa, Ang?”
“Mau saya panggilkan?”
Malam terdiam sebentar, kemudian mengangguk. Otaknya tak mampu menolak, seolah memerintah setiap inci tubuhnya untuk menerima permintaan itu.
“Kalau gitu, saya ke depan sebentar.” Siang mengedipkan sebelah mata kemudian berlari dan menghilang di balik pintu kaca ruangan. Malam melihat kejadian itu sembari meraba jantungnya yang mulai berirama tak beraturan. Ada apakah gerangan?

♥♥♥♥♥

Siang kembali ke ruangan itu dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit bersih lengkap dengan kacamata segiempat membingkai wajahnya. Kemeja flannel berwarna hijau serta celana jins yang ia kenakan tampak melekat dengan baik ditubuhnya yang begitu bidang. Malam menatapi sosok itu lamat-lamat dengan teliti, seolah sedang berusaha menemukan dimana letak celah kekurangan dari lelaki yang secara fisik nampak nyaris sempurna itu. Malam mengatur nafasnya yang mulai memburu, semakin lama semakin sosok itu semakin mendekat, tubuhnya semakin tak karuan, namun ia setengah mati berusaha tampak tenang.
“Lam, kenalkan…” Siang menghentikan langkahnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Malam yang sedang duduk diatas sofa belakang panggung, matanya kemudian mendelik pada Pagi yang berdiri dengan wajah merah merona dibelakangnya, “ini teman saya.” Dengan isyarat, Siang memerintah Pagi untuk mengenalkan diri secara pribadi.
Pagi maju beberapa langkah kedepan, membuat tubuhnya berhadapan langsung dengan Malam. Wajahnya semakin tersipu malu. Sungguh, Pagi tak pernah melakukan hal ini seumur hidupnya. “Perkenalkan,” Pagi mengulurkan tangannya, “nama saya Ufuk Pagi Himalaya, panggil saja Pagi.”
Malam tercengang, menatapi tangan yang terjulur itu dengan bingung demi kemudian menyambutnya dengan jabat yang canggung. “Nama saya Rembulan Malam Rinjani, panggil saja Malam.”
Keduanya pun kompak melepas jabat itu dengan kaku. Sibuk saling membuang pandang, tak ingin satu dan lainnya tahu bahwa pipi mereka sama-sama merona merah jambu.
“Kalian butuh ngobrol mungkin? Aku tinggal dulu ya.” Tanpa meminta persetujuan keduanya, Siang buru-buru melangkah pergi dengan cepat lalu sibuk berkecimpung dengan anak buahnya yang sedang membereskan dekor di bagian depan ruangan.
Pagi dan Malam kontan terbujur kaku. Malam terduduk tegak di sofanya dengan wajah tegang, sementara Pagi berdiri dengan kaki yang terasa ingin amblas kedalam bumi lengkap dengan wajahnya yang pucat pasi. Kedua sosok manusia itu bak sepasang yang baru pertama kali berkenalan dengan lawan jenis. Pagi bingung harus memulai percakapan darimana, sementara Malam justru kebingungan sendiri mengapa ia menjadi begitu gugup seperti ini.
“Gi, sini duduk.” Malam menggeser tubuhnya, memberikan ruang di sebelah kiri sofa sekaligus membuka pembicaraan.
Pagi dengan kaku mengangguk lalu duduk dengan hati hati. Diam-diam ia mencuri pandang pada Malam yang kini sedang terdiam dengan tatapan kosong. “Maaf, Lam, saya kurang sopan ya?”
Malam mengerling kearah Pagi sesaat lalu kembali membuang pandang, “ga sopan maksudnya?”
“Ya, saya tiba-tiba datang kesini, ngajak kamu kenalan.”
Malam tersenyum simpul, “gapapa. Biasa aja, Gi.”
“Oh iya, kamu ga ingat saya?”
Sekali lagi, Malam mengerling pada Pagi, “memang kita pernah ketemu?”
“Kamu ga ingat ya?” Pagi tertawa kecil dengan nada malu, pipinya kembali menyemburat merah. Kini ia sadar, pertemuan di tengah kemacetan itu hanya berkesan di pikirannya saja, tidak di pikiran Malam. Atau jangan-jangan justru sosok Malam lah yang terlalu berkesan untuk Pagi? Sehingga pertemuan singkat itu saja sudah mampu membuatnya gelisah bercampur penasaran setengah mati? Pagi sekali lagi tertawa, menyadari kebodohan dirinya sendiri. “Kita pernah ketemu di depan swalayan beberapa hari lalu waktu terjebak macet, ingat? Saya duduk di sebelah kamu, sambil minum kopi.”
Malam menaikan sebelah alisnya, mencoba mengingat, kemudian terkekeh pelan, “oooohhhh, iya iya… saya ingat. Kamu laki-laki yang diam-diam curi pandang ke saya itu kan?” Malam terbahak.
Pagi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum sendiri, menahan malu. “Iya… maaf…”
“Gapapa… santai aja…” Malam mengibaskan tangannya di udara. “Jadi kamu kesini karena…”
“Iya… karena saya begitu tertarik melihat kamu dari pandangan pertama.” Pagi memotong kalimat malam di udara sembari menatap mata Malam dengan begitu lurus dan dalam.
Malam terdiam, terhenyak, pandangan itu membuatnya menjadi begitu tersudut. Jantungnya kembali berirama tak beraturan, nafasnya kembali melambat. Malam tahu, sudah lama ia tak merasa seperti ini ketika dekat dengan seorang lelaki.


BERSAMBUNG...