3rd
Summit
Usai acara peluncuran buku itu, Pagi
berhasil pulang dengan mengantongi nomor ponsel Malam yang dengan malu-malu ia
pinta di penghujung obrolan singkat mereka. Malam memilih tak banyak bicara,
hanya menjawab sekadarnya ketika Pagi bertanya, entah karena terlalu gugup atau
bisa juga ia bingung hendak berbicara apa. Namun matanya berbinar bahagia dan
tanpa keraguan memberi nomor ponselnya saat Pagi bertanya. Pagi tahu, itu
sebuah pertanda baik.
Pagi mengemudikan mobilnya sembari
senyum-senyum sendiri membayangkan setiap detil ekspresi wajah Malam yang
tampak tersipu setiap kali ia ajak bicara. Ada badai hebat yang melandanya
hingga ujung kepala hingga ujung kaki, namun Pagi masih enggan terlalu dini
menyebut hal itu sebagai jatuh cinta. Yang jelas saat ini, Pagi tahu, hatinya
hendak tertuju kemana.
Pagi tiba dirumahnya pukul sebelas
malam. Merebah dirinya diatas kasur sembari memandang langit-langit kamarnya
yang memendarkan lampu temaram. Pagi menimang-nimang ponselnya sendiri sambil menimbang-nimbang
apakah akan menelepon Malam atau tidak. Pagi kembali terlempar pada detik demi
detik di beberapa jam lalu, hatinya menghangat, membuat jemarinya terasa mendidih
dan begitu gatal ingin memencet nomor ponsel itu. Pagi tak kuasa, ada debar
begitu hebat yang harus ia tuntaskan.
“Halo?” suara perempuan itu menyahut
dengan lembut. Pagi menarik nafas, meredakan gugup. Entah jauh ataupun dekat,
rasanya selalu sama, Malam selalu berhasil membuat dirinya tenggelam dalam
gegap gempita.
“Hai, Lam. Ini aku, Pagi.”
Diam sejenak. “Oh. Hai, Gi.” Suara
Malam, terdengar terbata-bata. Sama gugupnya.
“Sudah dirumah?”
“Hmm… sudah. Kamu?”
“Sudah juga.”
Hening.
“Ga tidur, Lam?”
“Sebentar lagi. Kamu ga tidur?”
Pagi terdiam, ingin rasanya menjawab
masih enggan tidur sebab ingin berbincang dengan Malam namun rasanya kalimat
itu terlalu bar-bar. “Sebentar lagi juga.”
Hening.
“Kamu nunggu apa kok ga tidur?” Pagi
bertanya lagi.
“Ga nunggu apa-apa sih. Lah kalau kamu?”
“Sama hehe.”
Hening.
“Yaudah tidur yuk, Lam.” Pagi mengedar
pandang, sibuk menghitung jumlah motif zigzag di gorden kamarnya, menghilangkan
gugup. Ia begitu ingin mengutuk-ngutuki dirinya sendiri sebab tak mampu membuka
topic pembicaraan apapun.
“Oh, oke. Goodnight, Gi.”
Pagi tersenyum, ucapan singkat itu
menuncap tepat di jantungnya, menyemaikan bunga-bunga yang membuat tubuhnya
terasa jutaan kali lebih baik dari detik sebelumnya, Pagi yakin, malam ini ia
akan bermimpi indah. “Goodnight too, Lam.”
Telepon itu pun mati. Pagi memandangi
layar ponselnya seolah wajah Malam terpantul jelas disana. Debur degub
jantungnya semakin kencang terasa. Pagi bahagia. Dan ia yakin semua ini akan
menjadi awal yang baik untuk segalanya.
♥♥♥♥♥
Bagi Malam, beberapa tahun belakangan
ini bandara merupakan tempat yang selalu melekat di hari-hari yang ia lalui.
Acara peluncuran buku yang mengharuskannya berpindah dari satu kota ke kota
lainnya dalam waktu yang berdekatan, mau tak mau memaksanya acap kali mengenyam
hidup diantara bandara satu dan lainnya. Desingan pesawat, gemuruh pengeras
suara, dan hiruk pikuk antrian bagasi adalah hal yang tak asing lagi. Malam
tahu segala sesuatu telah bersahabat, kecuali satu hal hari ini; hatinya
sendiri.
Bertahun-tahun menjalani karir
kepenulisannya dalam kesendirian, dengan hati tanpa sandaran, dengan isi kepala
yang tak pernah memikirkan siapa-siapa, namun pagi ini, Malam berangkat ke
bandara dengan hati penuh sesak dengan luapan rasa tak beraturan. Sepanjang
perjalanan menggunakan mobil kantor, Malam tak mampu membuang senyum yang terus
memaksa melekat di bibirnya. Setiap mengingat sosok itu, Malam sadar, tubuhnya
meluapkan begitu banyak sukacita yang sulit ia bendung tak perduli apapun
caranya. Pertemuan itu memang begitu singkat namun begitu membekas di kepala.
Malam membuka ponselnya tepat ketika
tubuhnya baru saja duduk di salah satu kursi
ruang tunggu. Melihat nama itu kembali muncul di deretan teratas
notifikasi, membuat sofa yang Malam duduki terasa lebih empuk berkali-kali
lipat.
Ufuk Pagi Himalaya: Selamat pagi, Lam.
Sudah bangun?
Malam tersenyum, ia mendelik pada jam
tangannya yang menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi.
Rembulan Malam Rinjani: Sudah. Ini
sudah di bandara
Ufuk Pagi Himalaya: Mau kemana?
Rembulan Malam Rinjani: Launching buku
di kota pulau seberang, Gi. Doakan lancar ya.
Ufuk Pagi Himalaya: Baik. Semoga
sukses. Hati-hati dijalan.
Malam lagi-lagi tak mampu menahan
terbitnya senyum sebab membaca deratan kalimat di layar ponselnya itu. Ia
bersumpah sebelum pesawat take off nanti ia akan berdoa sepenuh hati bahkan
lebih khusyuk dari biasanya agar ia selamat sampai tujuan. Sebab Malam tahu, ada
seseorang di suatu sudut bumi yang begitu menanti kabar bahwa ia baik-baik saja.
♥♥♥♥♥
Lelaki bertubuh bidang dengan rambut
tipis nyaris plontos itu menggeret kopernya keluar dari tempat pengambilan
bagasi dengan rindu yang pasang surut bergumul di benak. Rasanya sudah lama
sekali, cukup terlalu lama untuk menampung rindu dan datang kembali ke kota
ini. Kota tempat kekasih yang begitu ia cintai tinggal.
Setibanya di lobby, matanya yang bulat
sempurna sibuk mencari-cari keberadaan sosok yang berjanji menjemputnya. Dan…
ya… disana… diujung lobby kedatangan dengan menggunakan celana jins dan kaus
berwarna merah wanita itu menunggu kemudian dengan cepat segera berlari
mendekat sekuat tenaga dan menghempaskan peluknya pada tempat tubuhnya selalu
ingin pulang mengadu. Rambut sebahunya yang tertiup angin bergoyang nyaris
berkibar tak beraturan menutupi wajahnya yang tanpa ampun dibenamkannya dengan
begitu dalam di pundak sang lelaki.
“Sore…” desis Siang sembari memeluk
lelaki pujaan hatinya itu. Dilepaskannya sampai habis segala rindu yang
bercokol dengan erat. Segala rindu yang hanya mengenal kata bertambah tanpa
Siang tahu bagaimana caranya agar mengurang selain menuntaskannya dengan sebuah
temu. Siang melepas peluknya, lalu
menatap mata Sore dengan lekat. Tangannya sibuk menjamahi wajah Sore seolah
ingin memastikan kekasihnya baik-baik saja dan tak ada yang kurang meski satu
hal pun jua. “Aku rindu… rindu sekali.”
Sore tersenyum, dielusnya dengan lembut
puncak kepala Siang. “Itulah kenapa aku datang kesini. Karena aku sama rindunya
dengan kamu, lebih besar malah.”
“Ibu sudah nunggu kamu dirumah. Katanya
kangen sama calon menantu.”
Sore tertawa, apapun yang dikatakan
Siang nyatanya memang selalu mampu membuat hatinya bahagia. “Aku juga sudah ga
sabar jadi menantu benerannya Ibu kamu.”
♥♥♥♥♥
Bagi Sore, selain rumah tempatnya besar
di kota udang pulau seberang sana, rumah bercat cokelat putih berlantai dua di
kota kecil provinsi seberang ini adalah rumah kedua. Ia selalu bisa pulang
kapan saja, pintu manapun dirumah ini tak pernah tertutup untuknya. Terlebih
ketika ia tersadar, salah satu penghuni rumah tempat ia tinggal selama masa KKN
itu telah membuatnya jatuh hati. Anak perempuan tertua dari Pak Sudibyo dan Ibu
Ani itu telah menawan hati Sore sejak pandangan pertama mereka bertemu di meja
makan keluarga. Hingga detik ini, cinta itu terus tumbuh, terlebih menjelang
hari-hari pernikahan mereka.
Sore masih ingat benar di pertemuan
pertama itu, bagaimana Siang turun dari lantai dua mengenakan piama, dengan
rambut sebahunya yang tak pernah berubah hingga kini. Kedua bola mata
cokelatnya itu menembus sisi pertahanan hati Sore yang keras di detik pertama,
demi detik-detik berikutnya membuat sore semakin gila ketika kedua bola mata itu
terus menerus secara tak sengaja beradu pandang dengannya.
Hari demi hari berlalu tanpa seharipun
Sore lewati dengan memandangi Siang secara diam-diam dari balkon kamarnya di
lantai dua. Saat senja hampir terbenam adalah saat terbaik, sebab saat itu lah
Siang akan keluar ke halaman belakang, melakukan yoga diatas matras warna ungu
kesayangannya hingga adzan maghrib berkumandang. Dan Sore, diatas balkon sana
akan duduk termenung diatas kursi plastik andalannya, menunggui Siang hingga
selesai bermeditasi sembari terus menumbuhkan perasaannya yang kian tak
terbendung lagi.
Sore tahu jiwa dan raganya telah
tertawan, masa-masa KKN yang habis memaksa raganya beranjak, namun bagi Sore hatinya
tetap tertinggal disini. Dan selepas itu, demi memuaskan dahaganya akan sosok
Siang yang selalu ia idam-idamkan, maka sebulan sekali Sore selalu mencari
alasan untuk pulang ke kota kecil itu, menginap di rumah Pak Sudibyo dan Ibu
Ani demi sebenarnya ingin menangkap sosok Siang di kedua retina matanya,
merekam senyum gadis itu baik-baik dalam kepala, untuk kemudian ia jadikan
bekal pulang ke kota udangnya, dan kembali lagi kesini sebulan kedepan demi mengisi
amunisi senyum itu lagi.
Siang tak pernah sadar atas
alasan-alasan yang Sore buat untuk selalu datang kerumahnya adalah demi
dirinya. Siang terlalu tak peka membaca gerak gerik Sore yang sering
mengajaknya berbincang namun lebih sering Siang acuhkan. Siang tak pernah tahu
Sore selalu memanjatkan doa di pagi dan malam agar hati Siang luluh dan mampu
melihat semua perjuangannya. Siang sungguh tak pernah menyangka hingga akhirnya
di suatu libur panjang, setelah satu tahun lamanya Sore selalu melakukan ritual
bulanan datang kerumah, ada sesuatu yang tampak berbeda. Malam itu, di
kunjungan kedua belasnya ke rumah Siang, Sore bergelagat aneh. Dengan sopan ia
meminta Pak Sudibyo dan Ibu Ani mengizinkannya membawa Siang makan berdua
diluar yang disambut dengan anggukan setuju dari keduanya.
Siang masih belum sadar, ia pikir sosok
lelaki yang ia anggap sebagai kakak ini hanya mengajaknya makan malam berdua
tanpa tujuan tertentu. Tak pernah terlintas sedikitpun di benak Siang bahwa
bagi Sore segala rencana bahkan sudah jauh dari itu.
“Ang, kamu tau udara?” tanya Sore saat
makanan di piring mereka berdua hampir tandas. Restoran kecil dengan menu khas
steak itu sedang sepi pengunjung, membuat suasana sunyi yang terbentuk terasa
sangat tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini Sore pendam diam-diam.
Siang mendongak, menatap Sore sedetik
kemudian membuang pandang. Alisnya bertaut heran. “Tau. Kenapa?”
“Kamu tahu kan udara itu ada walaupun ga
bisa kita lihat?”
Siang mengangguk. Dahinya semakin
berkerut.
“Ang, bagaimana kalau ada seseorang yang
mencintai kamu seperti udara?”
Siang yang sedang meneguk lemon tea-nya
nyaris tersedak. Namun kemudian buru-buru mengendalikan diri.
“Seperti udara, Ang. Ia selalu ada. Tak
pernah sedetikpun lepas dari tubuhmu. Ia ikat aliran-aliran darahmu agar tetap
hidup.”
Siang semakin termenung. Jantungnya
sudah sedari tadi ingin mencelat keluar sebab terlalu terkejut. Ia tahu Sore
memandanginya tanpa berkedip sedetikpun. Namun siang memilih menunduk, tak
berani menatap kedua mata dengan binar yang masih tak mampu Siang artikan.
“Dan orang itu adalah aku, Ang…”
Siang nyaris jatuh dari kursinya
mendengar pernyataan cinta yang benar-benar tak pernah ia prediksi itu. Selama
ini, dimata Siang, Sore hanyalah sosok mantan mahasiswi KKN yang menjelma
menjadi anak angkat Ibu dan Ayahnya. Walau hanya setitik, Siang tak pernah
berpikir bahwa sejak jauh-jauh hari, Sore telah jatuh hati padanya.
Malam itu usai dengan Siang yang memilih
bungkam sebab masih butuh waktu untuk mencerna kejadian ini pelan-pelan.
Sementara Sore, melenggang pulang dengan langkah begitu ringan sebab telah
melepas satu beban yang selama ini ia timbun dalam-dalam.
Siang butuh waktu sekitar dua minggu untuk
memantapkan hati, berpikir sekaligus berdiskusi dengan Ayah dan Ibunya. Demi kemudian menghubungi
Sore dan meminta Sore datang kerumahnya sesegera mungkin.
Keesokannya, tanpa ragu Sore datang,
jawaban yang ia tunggu-tunggu nampak jelas di depan mata. Namun kali ini, ia
tak datang dengan tangan hampa. Di saku kemejanya, telah ia simpan dengan rapi
sebuah kotak berwarna biru lapis beludru yang menyimpan sebuah permata indah
yang telah Sore siapkan demi sang pujaan hati.
Taman belakang tempat Siang biasa
melakukan yoga kali ini tampak berbeda. Tak ada matras disana. Yang ada justru
sebuah teko berisi teh hangat dan dua buah gelas yang masih penuh tanpa
disentuh. Sementara itu, Siang dan Sore memilih duduk berselonjor diatas rumput
memandangi langit.
“Jadi gimana, Ang?” Sore angkat suara.
Siang tersenyum, ia menggeleng lemah.
Menarik nafas sembari berharap mulutnya dapat bisa segera diajak berbicara.
Sore memandangi Siang dengan tatapan
bingung demi kemudian, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak beludru biru yang
ia bawa. “Ang, kalau kamu pikir aku ini main-main, aku ga mungkin menunggu kamu
selama ini.” Sore menyodorkan kotak itu ke hadapan Siang dan membukanya
pelan-pelan, “Ang, aku sangat serius. Kamu mau kan menikah denganku?”
Siang terbelalak memandangi cincin yang
menyembul dari balik kotak beludru biru itu. Tenggorokannya tercekat. Bibirnya
semakin tak kuasa berbicara.
“Ang? Please…”
Siang mengehela nafas panjang, mencoba
menata kalimat yang hendak ia ucap pelan-pelan. “Re, aku bingung mau memulainya
darimana. Ini semua jauh dari perkiraanku. Aku ga tahu selama ini kamu
menyimpan rasa. Maaf kalau aku terlalu ga peka.” Siang menatap mata Sore dengan
semakin dalam. “Re, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku rasa… aku ga akan
mungkin menyia-nyiakan orang yang begitu besar mencintaiku. Karena orang-orang
baik dengan cinta yang hebat ga akan pernah datang dua kali di hidup kita, Re.
Oleh sebab itu… aku ga mau melewatkan kamu. Karena sama halnya dengan segala
keyakinanmu padaku, aku juga begitu yakin dengan kamu, Re. Terimakasih sudah
membuatku merasa begitu dicintai.”
Sore terdiam, air mata bahagianya nyaris
jatuh menetes.
“Re, tapi ada satu hal yang harus aku
beritahu ke kamu,” kesekian kalinya, Siang menghela nafas panjang. “Re, aku mau
menikah dengan kamu. Sangat mau, tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu mengenali
kamu dan keluargamu dengan lebih dalam. Kamu bisa kan menungguiku lagi hingga
siap?”
“Kapan kamu siap, Ang?”
“Dua tahun dari sekarang. Beri aku waktu
dua tahun untuk mengenalkan hal-hal baik dan burukku dalam diriku ke kamu.
Begitu juga sebaliknya. Kita ini mau menikah kan? Aku pikir bodoh rasanya jika
kita menikah tanpa mengenali satu dan lainnya dengan begitu baik.”
Sore terdiam, matanya semakin
berkaca-kaca bahagia.
“Cincin ini tetap kuterima, Re. Dengan
senang hati akan kuterima sebagai bentuk pengikat dan tanda keseriusanmu
padaku.” Siang tersenyum mengambil cincin dari balik kotak beludru biru itu dan
mengenakannya di jari manis tangan kirinya. “Taraaaa! Mulai sekarang, aku calon
istri kamu, Re.” Siang mengangkat tangan kirinya yang telah mengenakan cincin
tepat dihadapan wajah Sore. Bibirnya mengulas senyum sumringah tiada tara.
Tanpa mampu Sore elak, buncahan bahagia
itu begitu meledak-ledak. Dengan lekas ia memeluk Siang begitu erat sembari
terus mengucapkan kata terimakasih yang tak usai. Sore tahu selama ini ia
menunggu pada orang yang tepat.
Pelukan disaat senja hampir terbenam itu
tak pernah berubah. Hingga dua tahun waktu bergulir. Dalam pasang surut rindu,
amarah dan cinta yang bergulat menjadi satu. Dalam pergolakkan bentangan jarak
yang bertikai dengan curiga juga cemburu. Pelukan itu tetap ada sebagai
penuntas segala rasa yang berkecamuk di dada. Pelukan itu selalu ada sebagai suatu
hal yang Siang rindukan dari Sore, begitupun sebaliknya. Pelukan itu selalu
ada, dan Sore berharap, pelukan itu akan menjadi ritual abadi antara ia dan Siang
selamanya.
Pikiran Sore kembali terlempar ke masa
kini, lamunannya tentang masa-masa mengejar cinta Siang dua tahun silam buyar
ketika Ibu Ani keluar dari dapur dan menyuguhkan sepiring besar ayam goreng
yang baunya membuat perut Sore terasa begitu lapar.
“Ayam goreng kesukaan Sore. Sengaja Ibu
siapin karena kamu mau datang.” Ibu Ani tersenyum kemudian kembali ke dapur.
Dengan sigap Siang menyendokkan nasi ke
dalam piring dan meletakkan sepotong ayam goreng diatasnya. Piring itu kemudian
ia taruh tepat di depan Sore yang nampak sudah tak sabar ingin melahap makanan
favoritnya. “Selamat makan, Sayang.” Siang tersenyum sembari menontoni Sore
menyendokkan suap demi suap dengan begitu cepat.
“Besok kita jadi fitting baju ke
Ibukota?” tanya Sore kemudian.
“Iya. Penjahitnya sudah telepon aku
terus. Minta cepet-cepet dicobain, takut ada yang ga pas katanya.”
“Tidak ada satu hal pun di dunia ini
yang tidak pas kalau kamu pakai. Semuanya tampak cantik.”
Siang tertawa sembari mencubiti lengan
Sore dengan gemas. Lelaki itu selalu mampu membuatnya bahagia hingga hal-hal
terkecil dalam hidupnya.
♥♥♥♥♥
Setelah sekian lama terbiasa melakukan
apa-apa sendirian, Malam tampak begitu gugup sekaligus tak bisa percaya bahwa
di kepulangannya kali ini ke Ibukota Provinsi, ada seseorang yang menunggunya,
bahkan dari jauh-jauh hari sudah menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara.
Malam menghentikan langkahnya ketika pintu kedatangan tampak diujung mata, ia
mengatur nafasnya yang mulai berantakan, udara-udara yang masuk pun rasanya
nyaris tercecer hingga masuk ke gendang telinga, Malam sudah lama sekali tak
merasakan tubuhnya sericuh ini.
Nafas Malam semakin tercekat ketika
menangkap sosok lelaki itu tepat di sepasang retinanya. Ia berdiri disana,
diantara tiang-tiang penyangga bangunan bandara yang kokoh. Ia tersenyum, sama
manisnya dengan warna ungu pastel kemeja flanel yang ia kenakan. Kacamata yang
bertengger manis diwajah itu, tetap tak mampu membuat Malam lolos dari pancaran
aura yang begitu dahsyat.
“Hai, Gi.” Malam berdiri tepat di depan
lelaki itu, membalas senyumnya dengan canggung, kemudian sibuk mengelus-elus
tengkuknya sendiri, menghilangkan gugup.
“Hai, udah makan?” begitu banyak kalimat
di kepala Pagi, namun justru kalimat basa-basi paling sederhana itu yang
meluncur keluar.
Malam menggeleng, angin sepoi senja
meniup rambut ikalnya hingga sedikit berantakan. “Belum.”
“Makan dulu yuk.”
“Oke.”
Malam mengangguk tanpa bisa menolak.
Jantungnya terasa memompa darah dengan lebih cepat. Terlebih ketika Pagi tanpa
sungkan membantunya membawa koper dan membukakan pintu mobil bak Malam seorang
putri yang harus ia layani.
Malam duduk di kursi samping kemudi
dengan bibir terkatup rapat, sibuk membenahi isi kepalanya yang mulai
mendenyutkan rasa luar biasa. Sementara itu Pagi, duduk dibalik kemudi dengan
hati setengah tak percaya, bahwasanya perempuan yang ia idamkan, kini hanya
berjarak tiga jengkal disebelahnya, dan perempuan itu tak menolak ia ajak makan
malam bersama.
bersambung...