Rabu, 26 Desember 2018

KALDERA (3RD SUMMIT)


3rd Summit

Usai acara peluncuran buku itu, Pagi berhasil pulang dengan mengantongi nomor ponsel Malam yang dengan malu-malu ia pinta di penghujung obrolan singkat mereka. Malam memilih tak banyak bicara, hanya menjawab sekadarnya ketika Pagi bertanya, entah karena terlalu gugup atau bisa juga ia bingung hendak berbicara apa. Namun matanya berbinar bahagia dan tanpa keraguan memberi nomor ponselnya saat Pagi bertanya. Pagi tahu, itu sebuah pertanda baik.
Pagi mengemudikan mobilnya sembari senyum-senyum sendiri membayangkan setiap detil ekspresi wajah Malam yang tampak tersipu setiap kali ia ajak bicara. Ada badai hebat yang melandanya hingga ujung kepala hingga ujung kaki, namun Pagi masih enggan terlalu dini menyebut hal itu sebagai jatuh cinta. Yang jelas saat ini, Pagi tahu, hatinya hendak tertuju kemana.
Pagi tiba dirumahnya pukul sebelas malam. Merebah dirinya diatas kasur sembari memandang langit-langit kamarnya yang memendarkan lampu temaram. Pagi menimang-nimang ponselnya sendiri sambil menimbang-nimbang apakah akan menelepon Malam atau tidak. Pagi kembali terlempar pada detik demi detik di beberapa jam lalu, hatinya menghangat, membuat jemarinya terasa mendidih dan begitu gatal ingin memencet nomor ponsel itu. Pagi tak kuasa, ada debar begitu hebat yang harus ia tuntaskan.
“Halo?” suara perempuan itu menyahut dengan lembut. Pagi menarik nafas, meredakan gugup. Entah jauh ataupun dekat, rasanya selalu sama, Malam selalu berhasil membuat dirinya tenggelam dalam gegap gempita.
“Hai, Lam. Ini aku, Pagi.”
Diam sejenak. “Oh. Hai, Gi.” Suara Malam, terdengar terbata-bata. Sama gugupnya.
“Sudah dirumah?”
“Hmm… sudah. Kamu?”
“Sudah juga.”
Hening.
“Ga tidur, Lam?”
“Sebentar lagi. Kamu ga tidur?”
Pagi terdiam, ingin rasanya menjawab masih enggan tidur sebab ingin berbincang dengan Malam namun rasanya kalimat itu terlalu bar-bar. “Sebentar lagi juga.”
Hening.
“Kamu nunggu apa kok ga tidur?” Pagi bertanya lagi.
“Ga nunggu apa-apa sih. Lah kalau kamu?”
“Sama hehe.”
Hening.
“Yaudah tidur yuk, Lam.” Pagi mengedar pandang, sibuk menghitung jumlah motif zigzag di gorden kamarnya, menghilangkan gugup. Ia begitu ingin mengutuk-ngutuki dirinya sendiri sebab tak mampu membuka topic pembicaraan apapun.
“Oh, oke. Goodnight, Gi.”
Pagi tersenyum, ucapan singkat itu menuncap tepat di jantungnya, menyemaikan bunga-bunga yang membuat tubuhnya terasa jutaan kali lebih baik dari detik sebelumnya, Pagi yakin, malam ini ia akan bermimpi indah. “Goodnight too, Lam.”
Telepon itu pun mati. Pagi memandangi layar ponselnya seolah wajah Malam terpantul jelas disana. Debur degub jantungnya semakin kencang terasa. Pagi bahagia. Dan ia yakin semua ini akan menjadi awal yang baik untuk segalanya.

♥♥♥♥♥

Bagi Malam, beberapa tahun belakangan ini bandara merupakan tempat yang selalu melekat di hari-hari yang ia lalui. Acara peluncuran buku yang mengharuskannya berpindah dari satu kota ke kota lainnya dalam waktu yang berdekatan, mau tak mau memaksanya acap kali mengenyam hidup diantara bandara satu dan lainnya. Desingan pesawat, gemuruh pengeras suara, dan hiruk pikuk antrian bagasi adalah hal yang tak asing lagi. Malam tahu segala sesuatu telah bersahabat, kecuali satu hal hari ini; hatinya sendiri.
Bertahun-tahun menjalani karir kepenulisannya dalam kesendirian, dengan hati tanpa sandaran, dengan isi kepala yang tak pernah memikirkan siapa-siapa, namun pagi ini, Malam berangkat ke bandara dengan hati penuh sesak dengan luapan rasa tak beraturan. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil kantor, Malam tak mampu membuang senyum yang terus memaksa melekat di bibirnya. Setiap mengingat sosok itu, Malam sadar, tubuhnya meluapkan begitu banyak sukacita yang sulit ia bendung tak perduli apapun caranya. Pertemuan itu memang begitu singkat namun begitu membekas di kepala.
Malam membuka ponselnya tepat ketika tubuhnya baru saja duduk di salah satu kursi  ruang tunggu. Melihat nama itu kembali muncul di deretan teratas notifikasi, membuat sofa yang Malam duduki terasa lebih empuk berkali-kali lipat.

Ufuk Pagi Himalaya: Selamat pagi, Lam. Sudah bangun?

Malam tersenyum, ia mendelik pada jam tangannya yang menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi.

Rembulan Malam Rinjani: Sudah. Ini sudah di bandara
Ufuk Pagi Himalaya: Mau kemana?
Rembulan Malam Rinjani: Launching buku di kota pulau seberang, Gi. Doakan lancar ya.
Ufuk Pagi Himalaya: Baik. Semoga sukses. Hati-hati dijalan.

Malam lagi-lagi tak mampu menahan terbitnya senyum sebab membaca deratan kalimat di layar ponselnya itu. Ia bersumpah sebelum pesawat take off nanti ia akan berdoa sepenuh hati bahkan lebih khusyuk dari biasanya agar ia selamat sampai tujuan. Sebab Malam tahu, ada seseorang di suatu sudut bumi yang begitu menanti kabar bahwa ia baik-baik saja.

♥♥♥♥♥

Lelaki bertubuh bidang dengan rambut tipis nyaris plontos itu menggeret kopernya keluar dari tempat pengambilan bagasi dengan rindu yang pasang surut bergumul di benak. Rasanya sudah lama sekali, cukup terlalu lama untuk menampung rindu dan datang kembali ke kota ini. Kota tempat kekasih yang begitu ia cintai tinggal.
Setibanya di lobby, matanya yang bulat sempurna sibuk mencari-cari keberadaan sosok yang berjanji menjemputnya. Dan… ya… disana… diujung lobby kedatangan dengan menggunakan celana jins dan kaus berwarna merah wanita itu menunggu kemudian dengan cepat segera berlari mendekat sekuat tenaga dan menghempaskan peluknya pada tempat tubuhnya selalu ingin pulang mengadu. Rambut sebahunya yang tertiup angin bergoyang nyaris berkibar tak beraturan menutupi wajahnya yang tanpa ampun dibenamkannya dengan begitu dalam di pundak sang lelaki.
“Sore…” desis Siang sembari memeluk lelaki pujaan hatinya itu. Dilepaskannya sampai habis segala rindu yang bercokol dengan erat. Segala rindu yang hanya mengenal kata bertambah tanpa Siang tahu bagaimana caranya agar mengurang selain menuntaskannya dengan sebuah temu.  Siang melepas peluknya, lalu menatap mata Sore dengan lekat. Tangannya sibuk menjamahi wajah Sore seolah ingin memastikan kekasihnya baik-baik saja dan tak ada yang kurang meski satu hal pun jua. “Aku rindu… rindu sekali.”
Sore tersenyum, dielusnya dengan lembut puncak kepala Siang. “Itulah kenapa aku datang kesini. Karena aku sama rindunya dengan kamu, lebih besar malah.”
“Ibu sudah nunggu kamu dirumah. Katanya kangen sama calon menantu.”
Sore tertawa, apapun yang dikatakan Siang nyatanya memang selalu mampu membuat hatinya bahagia. “Aku juga sudah ga sabar jadi menantu benerannya Ibu kamu.”

♥♥♥♥♥

Bagi Sore, selain rumah tempatnya besar di kota udang pulau seberang sana, rumah bercat cokelat putih berlantai dua di kota kecil provinsi seberang ini adalah rumah kedua. Ia selalu bisa pulang kapan saja, pintu manapun dirumah ini tak pernah tertutup untuknya. Terlebih ketika ia tersadar, salah satu penghuni rumah tempat ia tinggal selama masa KKN itu telah membuatnya jatuh hati. Anak perempuan tertua dari Pak Sudibyo dan Ibu Ani itu telah menawan hati Sore sejak pandangan pertama mereka bertemu di meja makan keluarga. Hingga detik ini, cinta itu terus tumbuh, terlebih menjelang hari-hari pernikahan mereka.
Sore masih ingat benar di pertemuan pertama itu, bagaimana Siang turun dari lantai dua mengenakan piama, dengan rambut sebahunya yang tak pernah berubah hingga kini. Kedua bola mata cokelatnya itu menembus sisi pertahanan hati Sore yang keras di detik pertama, demi detik-detik berikutnya membuat sore semakin gila ketika kedua bola mata itu terus menerus secara tak sengaja beradu pandang dengannya.
Hari demi hari berlalu tanpa seharipun Sore lewati dengan memandangi Siang secara diam-diam dari balkon kamarnya di lantai dua. Saat senja hampir terbenam adalah saat terbaik, sebab saat itu lah Siang akan keluar ke halaman belakang, melakukan yoga diatas matras warna ungu kesayangannya hingga adzan maghrib berkumandang. Dan Sore, diatas balkon sana akan duduk termenung diatas kursi plastik andalannya, menunggui Siang hingga selesai bermeditasi sembari terus menumbuhkan perasaannya yang kian tak terbendung lagi.
Sore tahu jiwa dan raganya telah tertawan, masa-masa KKN yang habis memaksa raganya beranjak, namun bagi Sore hatinya tetap tertinggal disini. Dan selepas itu, demi memuaskan dahaganya akan sosok Siang yang selalu ia idam-idamkan, maka sebulan sekali Sore selalu mencari alasan untuk pulang ke kota kecil itu, menginap di rumah Pak Sudibyo dan Ibu Ani demi sebenarnya ingin menangkap sosok Siang di kedua retina matanya, merekam senyum gadis itu baik-baik dalam kepala, untuk kemudian ia jadikan bekal pulang ke kota udangnya, dan kembali lagi kesini sebulan kedepan demi mengisi amunisi senyum itu lagi.
Siang tak pernah sadar atas alasan-alasan yang Sore buat untuk selalu datang kerumahnya adalah demi dirinya. Siang terlalu tak peka membaca gerak gerik Sore yang sering mengajaknya berbincang namun lebih sering Siang acuhkan. Siang tak pernah tahu Sore selalu memanjatkan doa di pagi dan malam agar hati Siang luluh dan mampu melihat semua perjuangannya. Siang sungguh tak pernah menyangka hingga akhirnya di suatu libur panjang, setelah satu tahun lamanya Sore selalu melakukan ritual bulanan datang kerumah, ada sesuatu yang tampak berbeda. Malam itu, di kunjungan kedua belasnya ke rumah Siang, Sore bergelagat aneh. Dengan sopan ia meminta Pak Sudibyo dan Ibu Ani mengizinkannya membawa Siang makan berdua diluar yang disambut dengan anggukan setuju dari keduanya.
Siang masih belum sadar, ia pikir sosok lelaki yang ia anggap sebagai kakak ini hanya mengajaknya makan malam berdua tanpa tujuan tertentu. Tak pernah terlintas sedikitpun di benak Siang bahwa bagi Sore segala rencana bahkan sudah jauh dari itu.
“Ang, kamu tau udara?” tanya Sore saat makanan di piring mereka berdua hampir tandas. Restoran kecil dengan menu khas steak itu sedang sepi pengunjung, membuat suasana sunyi yang terbentuk terasa sangat tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini Sore pendam diam-diam.
Siang mendongak, menatap Sore sedetik kemudian membuang pandang. Alisnya bertaut heran. “Tau. Kenapa?”
“Kamu tahu kan udara itu ada walaupun ga bisa kita lihat?”
Siang mengangguk. Dahinya semakin berkerut.
“Ang, bagaimana kalau ada seseorang yang mencintai kamu seperti udara?”
Siang yang sedang meneguk lemon tea-nya nyaris tersedak. Namun kemudian buru-buru mengendalikan diri.
“Seperti udara, Ang. Ia selalu ada. Tak pernah sedetikpun lepas dari tubuhmu. Ia ikat aliran-aliran darahmu agar tetap hidup.”
Siang semakin termenung. Jantungnya sudah sedari tadi ingin mencelat keluar sebab terlalu terkejut. Ia tahu Sore memandanginya tanpa berkedip sedetikpun. Namun siang memilih menunduk, tak berani menatap kedua mata dengan binar yang masih tak mampu Siang artikan.
“Dan orang itu adalah aku, Ang…”
Siang nyaris jatuh dari kursinya mendengar pernyataan cinta yang benar-benar tak pernah ia prediksi itu. Selama ini, dimata Siang, Sore hanyalah sosok mantan mahasiswi KKN yang menjelma menjadi anak angkat Ibu dan Ayahnya. Walau hanya setitik, Siang tak pernah berpikir bahwa sejak jauh-jauh hari, Sore telah jatuh hati padanya.
Malam itu usai dengan Siang yang memilih bungkam sebab masih butuh waktu untuk mencerna kejadian ini pelan-pelan. Sementara Sore, melenggang pulang dengan langkah begitu ringan sebab telah melepas satu beban yang selama ini ia timbun dalam-dalam.
Siang butuh waktu sekitar dua minggu untuk memantapkan hati, berpikir sekaligus berdiskusi dengan  Ayah dan Ibunya. Demi kemudian menghubungi Sore dan meminta Sore datang kerumahnya sesegera mungkin.
Keesokannya, tanpa ragu Sore datang, jawaban yang ia tunggu-tunggu nampak jelas di depan mata. Namun kali ini, ia tak datang dengan tangan hampa. Di saku kemejanya, telah ia simpan dengan rapi sebuah kotak berwarna biru lapis beludru yang menyimpan sebuah permata indah yang telah Sore siapkan demi sang pujaan hati.
Taman belakang tempat Siang biasa melakukan yoga kali ini tampak berbeda. Tak ada matras disana. Yang ada justru sebuah teko berisi teh hangat dan dua buah gelas yang masih penuh tanpa disentuh. Sementara itu, Siang dan Sore memilih duduk berselonjor diatas rumput memandangi langit.
“Jadi gimana, Ang?” Sore angkat suara.
Siang tersenyum, ia menggeleng lemah. Menarik nafas sembari berharap mulutnya dapat bisa segera diajak berbicara.
Sore memandangi Siang dengan tatapan bingung demi kemudian, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak beludru biru yang ia bawa. “Ang, kalau kamu pikir aku ini main-main, aku ga mungkin menunggu kamu selama ini.” Sore menyodorkan kotak itu ke hadapan Siang dan membukanya pelan-pelan, “Ang, aku sangat serius. Kamu mau kan menikah denganku?”
Siang terbelalak memandangi cincin yang menyembul dari balik kotak beludru biru itu. Tenggorokannya tercekat. Bibirnya semakin tak kuasa berbicara.
“Ang? Please…”
Siang mengehela nafas panjang, mencoba menata kalimat yang hendak ia ucap pelan-pelan. “Re, aku bingung mau memulainya darimana. Ini semua jauh dari perkiraanku. Aku ga tahu selama ini kamu menyimpan rasa. Maaf kalau aku terlalu ga peka.” Siang menatap mata Sore dengan semakin dalam. “Re, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku rasa… aku ga akan mungkin menyia-nyiakan orang yang begitu besar mencintaiku. Karena orang-orang baik dengan cinta yang hebat ga akan pernah datang dua kali di hidup kita, Re. Oleh sebab itu… aku ga mau melewatkan kamu. Karena sama halnya dengan segala keyakinanmu padaku, aku juga begitu yakin dengan kamu, Re. Terimakasih sudah membuatku merasa begitu dicintai.”
Sore terdiam, air mata bahagianya nyaris jatuh menetes.
“Re, tapi ada satu hal yang harus aku beritahu ke kamu,” kesekian kalinya, Siang menghela nafas panjang. “Re, aku mau menikah dengan kamu. Sangat mau, tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu mengenali kamu dan keluargamu dengan lebih dalam. Kamu bisa kan menungguiku lagi hingga siap?”
“Kapan kamu siap, Ang?”
“Dua tahun dari sekarang. Beri aku waktu dua tahun untuk mengenalkan hal-hal baik dan burukku dalam diriku ke kamu. Begitu juga sebaliknya. Kita ini mau menikah kan? Aku pikir bodoh rasanya jika kita menikah tanpa mengenali satu dan lainnya dengan begitu baik.”
Sore terdiam, matanya semakin berkaca-kaca bahagia.
“Cincin ini tetap kuterima, Re. Dengan senang hati akan kuterima sebagai bentuk pengikat dan tanda keseriusanmu padaku.” Siang tersenyum mengambil cincin dari balik kotak beludru biru itu dan mengenakannya di jari manis tangan kirinya. “Taraaaa! Mulai sekarang, aku calon istri kamu, Re.” Siang mengangkat tangan kirinya yang telah mengenakan cincin tepat dihadapan wajah Sore. Bibirnya mengulas senyum sumringah tiada tara.
Tanpa mampu Sore elak, buncahan bahagia itu begitu meledak-ledak. Dengan lekas ia memeluk Siang begitu erat sembari terus mengucapkan kata terimakasih yang tak usai. Sore tahu selama ini ia menunggu pada orang yang tepat.
Pelukan disaat senja hampir terbenam itu tak pernah berubah. Hingga dua tahun waktu bergulir. Dalam pasang surut rindu, amarah dan cinta yang bergulat menjadi satu. Dalam pergolakkan bentangan jarak yang bertikai dengan curiga juga cemburu. Pelukan itu tetap ada sebagai penuntas segala rasa yang berkecamuk di dada. Pelukan itu selalu ada sebagai suatu hal yang Siang rindukan dari Sore, begitupun sebaliknya. Pelukan itu selalu ada, dan Sore berharap, pelukan itu akan menjadi ritual abadi antara ia dan Siang selamanya.
Pikiran Sore kembali terlempar ke masa kini, lamunannya tentang masa-masa mengejar cinta Siang dua tahun silam buyar ketika Ibu Ani keluar dari dapur dan menyuguhkan sepiring besar ayam goreng yang baunya membuat perut Sore terasa begitu lapar.
“Ayam goreng kesukaan Sore. Sengaja Ibu siapin karena kamu mau datang.” Ibu Ani tersenyum kemudian kembali ke dapur.
Dengan sigap Siang menyendokkan nasi ke dalam piring dan meletakkan sepotong ayam goreng diatasnya. Piring itu kemudian ia taruh tepat di depan Sore yang nampak sudah tak sabar ingin melahap makanan favoritnya. “Selamat makan, Sayang.” Siang tersenyum sembari menontoni Sore menyendokkan suap demi suap dengan begitu cepat.
“Besok kita jadi fitting baju ke Ibukota?” tanya Sore kemudian.
“Iya. Penjahitnya sudah telepon aku terus. Minta cepet-cepet dicobain, takut ada yang ga pas katanya.”
“Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pas kalau kamu pakai. Semuanya tampak cantik.”
Siang tertawa sembari mencubiti lengan Sore dengan gemas. Lelaki itu selalu mampu membuatnya bahagia hingga hal-hal terkecil dalam hidupnya.

♥♥♥♥♥

Setelah sekian lama terbiasa melakukan apa-apa sendirian, Malam tampak begitu gugup sekaligus tak bisa percaya bahwa di kepulangannya kali ini ke Ibukota Provinsi, ada seseorang yang menunggunya, bahkan dari jauh-jauh hari sudah menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara. Malam menghentikan langkahnya ketika pintu kedatangan tampak diujung mata, ia mengatur nafasnya yang mulai berantakan, udara-udara yang masuk pun rasanya nyaris tercecer hingga masuk ke gendang telinga, Malam sudah lama sekali tak merasakan tubuhnya sericuh ini.
Nafas Malam semakin tercekat ketika menangkap sosok lelaki itu tepat di sepasang retinanya. Ia berdiri disana, diantara tiang-tiang penyangga bangunan bandara yang kokoh. Ia tersenyum, sama manisnya dengan warna ungu pastel kemeja flanel yang ia kenakan. Kacamata yang bertengger manis diwajah itu, tetap tak mampu membuat Malam lolos dari pancaran aura yang begitu dahsyat.
“Hai, Gi.” Malam berdiri tepat di depan lelaki itu, membalas senyumnya dengan canggung, kemudian sibuk mengelus-elus tengkuknya sendiri, menghilangkan gugup.
“Hai, udah makan?” begitu banyak kalimat di kepala Pagi, namun justru kalimat basa-basi paling sederhana itu yang meluncur keluar.
Malam menggeleng, angin sepoi senja meniup rambut ikalnya hingga sedikit berantakan. “Belum.”
“Makan dulu yuk.”
“Oke.”
Malam mengangguk tanpa bisa menolak. Jantungnya terasa memompa darah dengan lebih cepat. Terlebih ketika Pagi tanpa sungkan membantunya membawa koper dan membukakan pintu mobil bak Malam seorang putri yang harus ia layani.
Malam duduk di kursi samping kemudi dengan bibir terkatup rapat, sibuk membenahi isi kepalanya yang mulai mendenyutkan rasa luar biasa. Sementara itu Pagi, duduk dibalik kemudi dengan hati setengah tak percaya, bahwasanya perempuan yang ia idamkan, kini hanya berjarak tiga jengkal disebelahnya, dan perempuan itu tak menolak ia ajak makan malam bersama.


bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar