5th Summit
Sore itu lembayung tampak tumpah di langit senja, seiring dengan gerimis yang mulai mereda, sekawanan burung pun tak mau ketinggalan turut meramaikan suasana dengan sibuk terbang bergerombol-bergerombol kesana kemari. Bandara di Ibukota Provinsi itu memang tak pernah sepi. Bahkan tak ada hubungannya sama sekali dengan senja, malam, pagi, hujan ataupun tidak, bandara itu tetap bergerak, orang-orang di dalamnya tetap berhilir mudik, antrian check-in tetap mengular, bandara itu sibuk, selalu. Dan disana, ditengah himpitan sesaknya penumpang yang tengah mengantri mengambil bagasi, Malam termenung, ia tak ada di antrian itu, ia tak membawa bagasi apapun, namun ia memilih disana, berkerumun diantara orang-orang agar pikirannya yang kering kerontang itu dapat bekerja. Ia tengah memantapkan hati, menimbang-nimbang untuk terakhir kali keputusan yang akan ia ambil. Sebab setelah sekian lamanya ia biarkan hatinya mengusang, untuk pertama kalinya lagi, Malam ada di posisi ini. Tak mudah, sungguh. Ia tahu apa yang hatinya ingini, tapi logikanya memaksa untuk kembali berpikir ribuan kali.
Diluar sana, entah di bangku tunggu sebelah mana, Malam tahu, lelaki itu menunggunya. Bola mata bulatnya yang dibingkai dengan kacamata kotak itu akan menjadi titik lemah Malam. Daya magis yang selalu berhasil membuat Malam lumpuh bila didekatnya.
Ponsel Malam berbunyi, ia tahu lelaki itu yang meneleponnya.
“Ya, Gi?”
“Kamu dimana?”
“Ini lagi dijalan ke pintu kedatangan, sebentar ya.” Dustanya, padahal ia masih terhimpit diantara antrian bagasi yang membuatnya susah bergerak. Namun Malam merasa tenang diantara keramaian, setidaknya pikirannya tak benar-benar menyendiri.
Malam mematikan telepon itu kemudian menarik nafas panjang. Ia bersandar pada dinding sembari membuang pandang ke antrian yang terus mengular di sekitarnya. Ya, sebuah keputusan besar, sudah ia mantapkan detik itu juga.
♥♥♥♥♥
Mobil itu hening, berjalan membelah jalan utama Ibukota Provinsi yang tampak basah sehabis dilanda hujan. Pagi bungkam, mengatur denyut nadinya yang mulai tak beraturan sembari terus berdoa semoga jawaban yang ia ingini lah yang terucap dari mulut Malam hari ini. Sementara itu di sebelahnya, Malam, sibuk mengatur kalimat yang tepat untuk memulai menjelaskan semuanya.
“Kita mau kemana?” tanya Pagi kemudian memecah suasana.
Malam berpikir sejenak, “ke supermarket di depan aja.”
“Loh ngapain?”
“Pingin beli minum, kepalaku agak sakit.”
“Oh, oke.” Pagi mengangguk, mengiyakan. Ia menepikan mobilnya di sebuah supermarket besar ternama di Ibukota Provinsi itu.
Malam turun, Pagi membuntuti di belakangnya. Tanpa berpikir dua kali, Malam langsung menyambangi deretan etalase yang memajang puluhan jenis minuman.
“Gi.” Panggil Malam, suaranya memanggil Pagi yang berada di belakangnya, namun matanya tetap terfokus pada jajaran minuman yang ada di depannya sembari memilih.
“Ya?”
“Kamu suka minuman yang mana?”
Pagi angkat bahu, “terserah kamu saja pilihkan yang mana.”
Malam tertawa kecil, “berarti kalau aku jawab terserah juga dengan pernyataan cinta kamu kemarin boleh dong?”
Pagi tercengang, tubuhnya menegang seketika, kepalanya muncul begitu banyak tanda tanya. Sekarang? Disini? Malam ingin membahas semuanya di hadapan rak-rak etalase penuh makanan ini?
“Maksudnya, Lam?” hanya itu yang akhirnya mampu Pagi ucapkan ditengah pikirannya yang kelimpungan.
“Laki-laki itu harus tegas, Gi. Maunya apa. Maunya gimana. Mau A ya bilang A. Mau B ya bilang B. Jangan terlalu gampang dengan bilang terserah-terserah gitu,” Malam mendelik ke arah Pagi yang kini telah berdiri berjajar dengannya, “ga seru tahu. Nanti kamu gabisa diajak diskusi sama pasangan kamu.” Malam tersenyum kemudian mengambil sebotol susu kedelai berukuran sedang lalu memasukkannya ke keranjang belanja.
Pagi tersenyum simpul, “aku rasanya mati kutu kamu bilangin begitu.” Dengan sigap Pagi mengambil sebotol air mineral dengan lambang pegunungan di depannya dan turut memasukkannya ke keranjang belanja juga.
“Jadi soal pernyataan cinta kamu kemarin, kamu maunya aku gimana?” dengan santai Malam bertanya sembari mengayunkan langkah kakinya berjalan menelusuri deretan etalase, matanya menggegogoti satu persatu nama dan jenis makanan ringan yang terhampar di depannya. Pagi mengikuti disebelahnya.
Pagi terdiam sejenak, kepalanya dipaksa bekerja keras saat itu juga. “Aku maunya ya... kamu terima aku, Lam.”
“Bisa kasih aku alasan kenapa aku harus terima kamu?”
Pagi menarik nafas panjang, bagi seorang pemuda dengan pengalaman menyatakan perasaan yang sangat minim, hal ini bukan lah hal yang mudah untuk dilakukan. “Aku gabisa janjiin apa-apa dan bermulut manis yang muluk-muluk ke kamu, Lam. Aku cuma bisa buktiinnya langsung dengan tindakan-tindakan aku.”
Malam terdiam, mendengar kalimat-kalimat itu dengan baik di telinganya. Kakinya berhenti di depan etalase yang menjual biskuit, lalu matanya sibuk menilik bermacam-macam jenis biskuit itu.
“Aku serius, Lam, sama kamu. Aku maunya, kalau kamu terima aku, kita menikah. Aku akan langsung bawa kamu ke keluarga aku, untuk dikenalkan.”
Malam terdiam, matanya spontan menatap Pagi yang berdiri disebelahnya dengan begitu lurus, mencari-cari celah janggal disana, namun nihil. Kedua mata itu, Malam tahu, begitu jujur apa adanya.
“Lam, aku serius. Aku gamau janji, tapi aku mau langsung buktiin itu semua ke kamu. Aku ga main-main.”
Bagai ada palu raksasa yang mengetuk dinding pertahanannya, hati Malam roboh seketika, matanya berkaca-kaca demi kemudian tersenyum bahagia. Ia tahu, sejak pertama kali bertemu dengan lelaki ini, sejak matanya membuat segala jendela dunia Malam terbuka, sejak cerita-ceritanya mampu membuat Malam melanglang buana kemana-mana, lelaki ini akan mengubah segala sisi hidupnya menjadi lebih berwarna. Malam yakin, keputusan ini adalah salah keputusan terbaik yang ia ambil. Ia bersumpah, akan membersamai Pagi, hari ini, esok dan seterusnya.
♥♥♥♥♥
Perkumpulan bulanan malam itu tampak berbeda. Aroma kebahagiaan menguap begitu pekat ke segala penjuru. Seolah sudah saling sepakat, bulan ikut meremang, membulat sempurna seolah ikut merayakan kebahagiaan yang ada. Delapan sahabat itu duduk melingkar, tepat di sudut sebuah kafe kecil di kota kecil mereka, saling bertukar cerita.
“Akhirnyaaaaaa.... Pagi ga jomblo lagi. Gue udah khawatir banget kalau-kalau dia homo.” Celetuk Ridho kemudian terbahak, diikuti yang lainnya.
Pagi hanya mampu mesem-mesem. Ia sudah pasrah bila status barunya yang resmi berpacaran dengan Malam akan menjadi olok-olok teman-temannya di pertemuan kali ini.
“Iya. Nyaris, Gi, gue pingin bawa lo ke psikiater.” Tria menyahut kemudian cekikikan sendiri.
Kali ini, Pagi lagi-lagi hanya mampu mesem-mesem tanpa berniat membalas ledekan tersebut.
“Kapan, nih, Gi dikenalin ke kita? Masa baru Siang doang yang kenal.” kali ini Sarah yang angkat suara sembari mendelik ke arah Siang yang sedang sibuk mengunyah roti bakar.
Pagi memutar bola matanya sesaat, berpikir, “nanti deh, gue mau kenalin ke orangtua gue dulu. Baru ntar ke kalian. Sabar. Semua ada waktunya.”
Sorak sorai kontan bergemuruh detik itu juga, “huuuuu sok bijak lu, Giiiiiiii.” Putra menimpuki pagi dengan segulung tisu sembari berucap gemas, disusul dengan koor tertawa dari anggota lainnya.
♥♥♥♥♥
Kota kecil dengan jarak 150 kilometer dari Ibukota Provinsi itu adalah satu-satunya kota dengan akses yang paling mudah untuk dijangkau jika dibandingkan dengan kota-kota kecil lainnya di seluruh penjuru provinsi. Untuk menuju kesana, semua jenis kendaraan darat tersedia; bus-bus besar mulai dari harga belasan ribu tanpa pendingin hingga berharga puluhan ribu dengan fasilitas yang baik, jasa angkutan penyewaan kendaraan pribadi yang menjamur, hingga yang paling modern adalah kereta listrik dengan harga sepuluh ribu rupiah saja.
Di benak Malam, kota itu adalah kota yang sepi dengan pusat perbelanjaan yang sangat sedikit. Ia tak pernah ingin singgah kesana, sungguh, sebab selain tak punya sanak saudara disana, rasa takut lebih dahulu mendahuluinya, sebab menurut desas desus yang beredar, kota itu juga memiliki banyak gedung-gedung tua angker di hampir setiap sudut kota yang kerap membuat takut para penduduk.
Namun kini, sepagi ini, ketik angka di jam tangannya masih menunjukkan pukul enam pagi, ketika mentari bahkan masih setengah sadar menggapai singgasananya di angkasa, Malam ada di sana, di stasiun Ibukota Provinsi bersama sesosok lelaki yang baru saja seminggu menjadi kekasihnya. Bagai mimpi, Malam sendiri nyaris tak mempercayai, ia benar-benar akan mengunjungi kota kecil itu. Sungguh? Malam mengelus dadanya sendiri, menenangkan diri. Ia mendelik pada sosok lelaki di sebelahnya yang sedang asyik membaca buku di deretan kursi tunggu peron stasiun. Kemudian Malam tersenyum, lelaki ini adalah alasan atas segala keberaniannya, apa lagi yang harus ia takutkan?
“Rumah kamu jauh dari pusat kota?” tanya Malam sembari menyentuh sampul buku yang tengah dibaca Pagi.
Pagi menengok sesaat kemudian tersenyum, “engga, cuma lima menit dari stasiun. Kenapa?”
Malam tersenyum simpul, menggeleng, “engga, gapapa.”
“Kamu kan sudah terbiasa berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, seharusnya kamu gaperlu merasa khawatir dan takut lagi.”
“Aku ga takut selama ada kamu, Gi.” Malam menggenggam tangan Pagi erat.
Pagi tersenyum, sebelah tangannya mengacak rambut Malam dengan gemas. “Bunda aku sudah nunggu kamu dirumah. Kotaku juga sudah siap menyambut kamu. Semua akan baik-baik saja.”
Malam mengangguk berbarengan dengan bunyi pengeras suara yang memberi tahu bahwa kereta menuju kota kecil itu akan segera berangkat. Malam dan Pagi bergegas bangun dari kursi tunggu, berjalan beriringan dengan tangan tergenggam erat. Malam siap menyambut gerbang baru kehidupannya, sama siapnya dengan Pagi yang dengan senang hati membuka pintu selapang-lapangnya bagi Malam untuk dapat merengkuh apapun yang ia miliki.
♥♥♥♥♥
Kota itu memang tak benar-benar sepi, kendaraan masih ramai berlalu lalang melintasi jalur utama kota saat jam pulang pergi kantor. Pertokoan ada di hampir setiap sudut kota walaupun tak selalu tampak ramai pembeli. Di beberapa titik bahkan ada restoran-restoran terkenal yang ramai pengunjung dengan aroma bumbu dapur yang meluap hingga ke jalan raya. Kota itu memang tak semegah ibukota tempatnya tinggal, tapi Malam tahu kota itu menyimpan sejuta kehangatan tersendiri yang begitu tabah menyelimuti setiap penduduknya.
Malam sibuk menggerogoti pemandangan kota dengan seluruh daya yang matanya punya. Ia ingin merekam semua jejak itu dengan baik di kepala. Pandangannya membuang jauh, tak berkedip barang sedetik saja, semuanya terlalu sayang untuk dilewatkan.
“Itu namanya Rumah Makan Bu Lintang, rumah makan tertua dan terlaris di kota ini.” Tunjuk Pagi, Malam mengikuti dengan ekor matanya. Disana, diapit gedung-gedung tua, sebuah rumah makan dengan arsitektur kuno bercat putih mengkilap berdiri dengan kokoh. Motor-motor berjajar rapi terparkir di depannya, tak ketinggalan sederetan mobil yang pemiliknya turut ada diantrian pembeli di depan rumah makan. Bangunannya yang tak terlalu besar membuat pemandangan rumah makan itu tampak begitu sesak dengan pembeli yang berjubel di setiap sudut. “Menu andalannya cuma ayam goreng, tapi rasanya...” Pagi memejamkan mata seolah membayangkan ayam goreng itu benar-benar ada di hadapannya, padahal ia dan Malam sedang berada di taksi yang melaju pelan membelah jalanan utama kota menuju rumah Pagi. “Rasanya enak banget pokoknya. Nanti kalau sempat kita mampir kesana ya.”
Malam hanya mampu mengulum senyum sembari mengangguk. Di benaknya, ada banyak hal yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum bisa benar-benar menyempatkan diri untuk mampir di Rumah Makan Bu Lintang andalan kota kecil ini.
Taksi itu mulai memelankan lajunya seiring dengan jalan yang berbelok kearah semakin kecil; sebuah jalanan yang hanya mampu di lewati dua mobil dari dua arah berlawanan. Tepat lima menit dari stasiun, sesudah melewati jalan utama kota, di seberang sebuah gedung perkantoran, jalan kecil itu berada, dan diujung jalan ini, di sebuah rumah berlantai dua dengan cat cokelat gelap dan ornamen berwarna putih tulang; Pagi dibesarkan. Disana lah segala gundah dan senang Pagi berpulang. Tempat ternyaman dimana letih di tubuh Pagi mampu menguap seketika. Tempat dimana Pagi mampu menjadi dirinya seada-adanya.
“Makasih, Pak.” Pagi membayar ongkos taksi lalu bergegas turun dari mobil, disusul
oleh Malam.
Malam menjejakkan kakinya di halaman rumah itu dengan langkah gentar, tubuhnya terhuyung sepersekian detik demi setelahnya mendapatkan keseimbangan kembali. Sekali lagi ia kembali tertampar oleh kenyataan bahwa ia ada disini, dengan tujuan mulia yang sedari kemarin Pagi gaungkan; “Aku mau kenalkan kamu ke Ayah dan Bunda-ku sebagai bentuk keseriusanku yang ingin menikahimu.”
Malam tercenung, menatap bangunan di hadapannya dengan dada gegap gempita.
“Lam, ayo masuk.” Pagi menggenggam tangan Malam erat.
Malam menatap mata Pagi dengan lurus demi kemudian mengangguk tersenyum. Apa lagi yang harus ia takutkan jika ia telah memiliki Pagi disisinya?
♥♥♥♥♥
Perempuan tua bersanggul rapi dengan rambut putih yang menyemai hampir di seluruh kepala itu memasang salah satu senyum paling hangat nan tulus yang pernah Malam lihat. Jauh di dalam hatinya, tanpa perlu berpikir dua kali, Malam tahu perempuan itu adalah perempuan paruh baya baik berhati lembut. Di sebelahnya, seolah tak ingin kalah saing, lelaki berkumis tipis dengan rambut pendek beruban itu juga turut melempar senyum yang tak kalah sumringah. Dengan ringan ia mempersilahkan Malam duduk di ruang tamu dengan meja yang telah penuh tersaji berbagai macam jenis kudapan ringan dan beberapa gelas cangkir kosong serta seteko teh di wadah bening.
“Siapa namanya?” pertanyaan pertama meluncur dari perempuan paruh baya itu. Ia mengambil teko bening kemudian menuangkan satu persatu cangkir kosong agar terisi teh.
Malam tersenyum, berusaha mengendalikan hatinya yang jumpalitan luar biasa. Kakinya begitu terasa ingin melayang ke angkasa. “Rembulan Malam Rinjani, Tante. Panggil saja Malam.”
Sepasang manusia paruh baya itu mengangguk kompak kemudian tersenyum secara bersamaan.
“Silahkan, Malam. Diminum dulu.” Kali ini si lelaki paruh baya yang angkat suara
Dengan canggung Malam mengangkat cangkir tehnya kemudian meneguk cairan itu dua teguk dengan irama yang sangat pelan. Di sebelahnya, Pagi, memasang senyum yang tak kunjung surut. Malam tahu, Pagi sangat bahagia dengan keadaan yang mengelilinginya detik ini.
“Malam rumahnya dimana?” Bunda; begitulah perempuan itu meminta dipanggil kemudian; akhirnya kembali angkat suara
“Di Ibukota, Bunda. Memang dari kecil disana.”
“Oooo berarti belum pernah kesini?”
“Belum, Bunda.” Malam menggeleng pelan, tersipu malu.
“Berarti besok-besok Malam harus sering kesini, kunjungi rumah Ayah dan Bunda, ya?” Bunda melirik lelaki paruh baya di sebelahnya. Lelaki itu mengangguk dengan semangat sambil tertawa kecil.
Malam melihat pemandangan itu demi kemudian meraba dadanya sendiri. Ada sesuatu yang berdentum pelan mengalirkan kehangatan disana. Malam tahu, segala sesuatunya akan menjadi baik sesudah ini. Semoga.
♥♥♥♥♥
Makan siang penuh kehangatan di tengah keluarga Pagi pun usai. Malam bergegas membantu Bunda mencuci piring serta membereskan segala perkakas yang kotor dan membiarkan Pagi mengobrol santai dengan Ayahnya di ruang tengah. Tanpa canggung dan ragu, Malam mengangkat satu persatu piring kotor di meja makan kemudian mencucinya. Sementara itu di sebelahnya, Bunda, dengan gerakan cepat mengelap piring dan menaruhnya kembali di kompartemen dapur.
“Pagi itu ga pernah loh, Lam, bawa perempuan ke rumah ini.” Bunda angkat suara, memecah keheningan.
Malam tersenyum simpul, tangannya masih sibuk mencuci satu persatu piring yang tersisa. “Iya ya, Bun?”
“Iya, beneran. Makanya Bunda sama Ayah kaget banget waktu dia bilang mau bawa pacar dia kesini.” Bunda mengambil sebuah piring yang masih basah, mengelapnya, kemudian sedikit berjinjit menaruh piring tersebut di kompartemen dapur bagian atas, “selama ini yang Bunda dan Ayah tahu, dia itu kerjaannya cuma belajar belajar belajar. Bunda ga pernah dengar sedikitpun dia bahas-bahas perempuan.”
Malam diam, mendengar cerita itu dengan khusyuk.
“Bunda dan Ayah senang sekali, Lam, akhirnya ada perempuan yang bisa buat Pagi jatuh cinta,” Bunda menarik nafas panjang, kemudian menyimpulkan senyum manis di bibirnya, “kamu baik-baik ya sama Pagi. Semoga semuanya berakhir dengan bahagia.”
Malam mematikan keran air tepat ketika piring kotor telah habis. Ia memutar tubuhnya, menghadap Bunda dengan tatapan teduh nan lembut. “Terimakasih, Bunda. Terimakasih juga sudah mau menerima Malam dengan segala kebesaran hati Bunda dan Ayah.”
Seperti ada dorongan kuat yang menyentuh dari dadar hatinya yang oaling dalam, refleks Bunda merentangkan tangannya kemudian memeluk Malam dengan erat, “sama-sama. Besok-besok main kesini lagi ya, Lam, ada banyak orang yang pingin Bunda kenalin ke kamu; kedua kakak Pagi, kakek dan nenek Pagi, sepupu-sepupu Pagi. Mereka harus tahu kalau sekarang Pagi sudah memiliki calon pendamping.” Bunda melepas peluk itu, tampak air mata bercokol di sudut matanya, begitu haru.
Malam tak kuasa menahan gemuruh di dadanya yang juga turut mebahana, ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Bunda, pasti. Pasti Malam akan kembali lagi kesini.”
♥♥♥♥♥
Sore menjemput di kota kecil dengan gedung-gedung tua di setiap sudut itu. Langit menjingga lengkap dengan lanskap awan seputih kapas yang perlahan memudar. Di antara ramainya hilir mudik kendaraan di jalan utama, Pagi dan Malam ada disana, menaiki bis dalam kota yang tampak sepi hendak menuju ke stasiun kereta untuk kembali ke ibukota. Keduanya duduk sejajar tepat di samping pintu masuk sembari melempar pandang ke seluruh penjuru jalan, menikmati pemandangan.
“Gimana? Ga seseram yang kamu bayangkan kan?” Pagi mendelik pada Malam yang sibuk mematuti pemandangan di luar bis dengan khidmat.
Malam menggeleng malu, “engga. Semuanya menyenangkan. Aku mungkin juga bakalan kangen sama kota ini...”
“Besok-besok, kalau kita senggang, kita main lagi kesini ya.”
“Iya dong. Kamu masih punya hutang ajak aku makan di Rumah Makan Bu Lintang loh.”
Pagi tergelak, diacaknya rambut di puncak kepala Malam. “Kita masih punya banyak waktu, Lam. Kamu akan selalu kembali ke kota ini sampai nanti-nanti.” Pagi menggenggam tangan Malam dengan lembut.
Malam tersipu, ia melempar senyum sembari menjatuhkan kepalanya ke pundak Pagi dengan begitu nyaman. Pagi benar, sampai esok dan nanti akan selalu ada waktu untuk kembali ke kota ini. Semua bukan hanya perihal rumah Ayah dan Bunda, namun lebih kepada tentang rasa nyaman yang tumbuh tiba-tiba. Malam sadar, kini ia telah menemukan rumah keduanya.
Bersambung...