Minggu, 24 Februari 2019

Kaldera (5th Summit)

5th Summit

Sore itu lembayung tampak tumpah di langit senja, seiring dengan gerimis yang mulai mereda, sekawanan burung pun tak mau ketinggalan turut meramaikan suasana dengan sibuk terbang bergerombol-bergerombol kesana kemari. Bandara di Ibukota Provinsi itu memang tak pernah sepi. Bahkan tak ada hubungannya sama sekali dengan senja, malam, pagi, hujan ataupun tidak, bandara itu tetap bergerak, orang-orang di dalamnya tetap berhilir mudik, antrian check-in tetap mengular, bandara itu sibuk, selalu. Dan disana, ditengah himpitan sesaknya penumpang yang tengah mengantri mengambil bagasi, Malam termenung, ia tak ada di antrian itu, ia tak membawa bagasi apapun, namun ia memilih disana, berkerumun diantara orang-orang agar pikirannya yang kering kerontang itu dapat bekerja. Ia tengah memantapkan hati, menimbang-nimbang untuk terakhir kali keputusan yang akan ia ambil. Sebab setelah sekian lamanya ia biarkan hatinya mengusang, untuk pertama kalinya lagi, Malam ada di posisi ini. Tak mudah, sungguh. Ia tahu apa yang hatinya ingini, tapi logikanya memaksa untuk kembali berpikir ribuan kali.
Diluar sana, entah di bangku tunggu sebelah mana, Malam tahu, lelaki itu menunggunya. Bola mata bulatnya yang dibingkai dengan kacamata kotak itu akan menjadi titik lemah Malam. Daya magis yang selalu berhasil membuat Malam lumpuh bila didekatnya.
Ponsel Malam berbunyi, ia tahu lelaki itu yang meneleponnya.
“Ya, Gi?”
“Kamu dimana?”
“Ini lagi dijalan ke pintu kedatangan, sebentar ya.” Dustanya, padahal ia masih terhimpit diantara antrian bagasi yang membuatnya susah bergerak. Namun Malam merasa tenang diantara keramaian, setidaknya pikirannya tak benar-benar menyendiri.
Malam mematikan telepon itu kemudian menarik nafas panjang. Ia bersandar pada dinding sembari membuang pandang ke antrian yang terus mengular di sekitarnya. Ya, sebuah keputusan besar, sudah ia mantapkan detik itu juga.

♥♥♥♥♥

Mobil itu hening, berjalan membelah jalan utama Ibukota Provinsi yang tampak basah sehabis dilanda hujan. Pagi bungkam, mengatur denyut nadinya yang mulai tak beraturan sembari terus berdoa semoga jawaban yang ia ingini lah yang terucap dari mulut Malam hari ini. Sementara itu di sebelahnya, Malam, sibuk mengatur kalimat yang tepat untuk memulai menjelaskan semuanya.
“Kita mau kemana?” tanya Pagi kemudian memecah suasana.
Malam berpikir sejenak, “ke supermarket di depan aja.”
“Loh ngapain?”
“Pingin beli minum, kepalaku agak sakit.”
“Oh, oke.” Pagi mengangguk, mengiyakan. Ia menepikan mobilnya di sebuah supermarket besar ternama di Ibukota Provinsi itu.
Malam turun, Pagi membuntuti di belakangnya. Tanpa berpikir dua kali, Malam langsung menyambangi deretan etalase yang memajang puluhan jenis minuman.
“Gi.” Panggil Malam, suaranya memanggil Pagi yang berada di belakangnya, namun matanya tetap terfokus pada jajaran minuman yang ada di depannya sembari memilih.
“Ya?”
“Kamu suka minuman yang mana?”
Pagi angkat bahu, “terserah kamu saja pilihkan yang mana.”
Malam tertawa kecil, “berarti kalau aku jawab terserah juga dengan pernyataan cinta kamu kemarin boleh dong?”
Pagi tercengang, tubuhnya menegang seketika, kepalanya muncul begitu banyak tanda tanya. Sekarang? Disini? Malam ingin membahas semuanya di hadapan rak-rak etalase penuh makanan ini?
“Maksudnya, Lam?” hanya itu yang akhirnya mampu Pagi ucapkan ditengah pikirannya yang kelimpungan.
“Laki-laki itu harus tegas, Gi. Maunya apa. Maunya gimana. Mau A ya bilang A. Mau B ya bilang B. Jangan terlalu gampang dengan bilang terserah-terserah gitu,” Malam mendelik ke arah Pagi yang kini telah berdiri berjajar dengannya, “ga seru tahu. Nanti kamu gabisa diajak diskusi sama pasangan kamu.” Malam tersenyum kemudian mengambil sebotol susu kedelai berukuran sedang lalu memasukkannya ke keranjang belanja.
Pagi tersenyum simpul, “aku rasanya mati kutu kamu bilangin begitu.” Dengan sigap Pagi mengambil sebotol air mineral dengan lambang pegunungan di depannya dan turut memasukkannya ke keranjang belanja juga.
“Jadi soal pernyataan cinta kamu kemarin, kamu maunya aku gimana?” dengan santai Malam bertanya sembari mengayunkan langkah kakinya berjalan menelusuri deretan etalase, matanya menggegogoti satu persatu nama dan jenis makanan ringan yang terhampar di depannya. Pagi mengikuti disebelahnya.
Pagi terdiam sejenak, kepalanya dipaksa bekerja keras saat itu juga. “Aku maunya ya... kamu terima aku, Lam.”
“Bisa kasih aku alasan kenapa aku harus terima kamu?”
Pagi menarik nafas panjang, bagi seorang pemuda dengan pengalaman menyatakan perasaan yang sangat minim, hal ini bukan lah hal yang mudah untuk dilakukan. “Aku gabisa janjiin apa-apa dan bermulut manis yang muluk-muluk ke kamu, Lam. Aku cuma bisa buktiinnya langsung dengan tindakan-tindakan aku.”
Malam terdiam, mendengar kalimat-kalimat itu dengan baik di telinganya. Kakinya berhenti di depan etalase yang menjual biskuit, lalu matanya sibuk menilik bermacam-macam jenis biskuit itu.
“Aku serius, Lam, sama kamu. Aku maunya, kalau kamu terima aku, kita menikah. Aku akan langsung bawa kamu ke keluarga aku, untuk dikenalkan.”
Malam terdiam, matanya spontan menatap Pagi yang berdiri disebelahnya dengan begitu lurus, mencari-cari celah janggal disana, namun nihil. Kedua mata itu, Malam tahu, begitu jujur apa adanya.
“Lam, aku serius. Aku gamau janji, tapi aku mau langsung buktiin itu semua ke kamu. Aku ga main-main.”
Bagai ada palu raksasa yang mengetuk dinding pertahanannya, hati Malam roboh seketika, matanya berkaca-kaca demi kemudian tersenyum bahagia. Ia tahu, sejak pertama kali bertemu dengan lelaki ini, sejak matanya membuat segala jendela dunia Malam terbuka, sejak cerita-ceritanya mampu membuat Malam melanglang buana kemana-mana, lelaki ini akan mengubah segala sisi hidupnya menjadi lebih berwarna. Malam yakin, keputusan ini adalah salah keputusan terbaik yang ia ambil. Ia bersumpah, akan membersamai Pagi, hari ini, esok dan seterusnya.

♥♥♥♥♥

Perkumpulan bulanan malam itu tampak berbeda. Aroma kebahagiaan menguap begitu pekat ke segala penjuru. Seolah sudah saling sepakat, bulan ikut meremang, membulat sempurna seolah ikut merayakan kebahagiaan yang ada. Delapan sahabat itu duduk melingkar, tepat di sudut sebuah kafe kecil di kota kecil mereka, saling bertukar cerita.
“Akhirnyaaaaaa.... Pagi ga jomblo lagi. Gue udah khawatir banget kalau-kalau dia homo.” Celetuk Ridho kemudian terbahak, diikuti yang lainnya.
Pagi hanya mampu mesem-mesem. Ia sudah pasrah bila status barunya yang resmi berpacaran dengan Malam akan menjadi olok-olok teman-temannya di pertemuan kali ini.
“Iya. Nyaris, Gi, gue pingin bawa lo ke psikiater.” Tria menyahut kemudian cekikikan sendiri.
Kali ini, Pagi lagi-lagi hanya mampu mesem-mesem tanpa berniat membalas ledekan tersebut.
“Kapan, nih, Gi dikenalin ke kita? Masa baru Siang doang yang kenal.” kali ini Sarah yang angkat suara sembari mendelik ke arah Siang yang sedang sibuk mengunyah roti bakar.
Pagi memutar bola matanya sesaat, berpikir, “nanti deh, gue mau kenalin ke orangtua gue dulu. Baru ntar ke kalian. Sabar. Semua ada waktunya.”
Sorak sorai kontan bergemuruh detik itu juga, “huuuuu sok bijak lu, Giiiiiiii.” Putra menimpuki pagi dengan segulung tisu sembari berucap gemas, disusul dengan koor tertawa dari anggota lainnya.

♥♥♥♥♥

Kota kecil dengan jarak 150 kilometer dari Ibukota Provinsi itu adalah satu-satunya kota dengan akses yang paling mudah untuk dijangkau jika dibandingkan dengan kota-kota kecil lainnya di seluruh penjuru provinsi. Untuk menuju kesana, semua jenis kendaraan darat tersedia; bus-bus besar mulai dari harga belasan ribu tanpa pendingin hingga berharga puluhan ribu dengan fasilitas yang baik, jasa angkutan penyewaan kendaraan pribadi yang menjamur, hingga yang paling modern adalah kereta listrik dengan harga sepuluh ribu rupiah saja.
Di benak Malam, kota itu adalah kota yang sepi dengan pusat perbelanjaan yang sangat sedikit. Ia tak pernah ingin singgah kesana, sungguh, sebab selain tak punya sanak saudara disana, rasa takut lebih dahulu mendahuluinya, sebab menurut desas desus yang beredar, kota itu juga memiliki banyak gedung-gedung tua angker di hampir setiap sudut kota yang kerap membuat takut para penduduk.
Namun kini, sepagi ini, ketik angka di jam tangannya masih menunjukkan pukul enam pagi, ketika mentari bahkan masih setengah sadar menggapai singgasananya di angkasa, Malam ada di sana, di stasiun Ibukota Provinsi bersama sesosok lelaki yang baru saja seminggu menjadi kekasihnya. Bagai mimpi, Malam sendiri nyaris tak mempercayai, ia benar-benar akan mengunjungi kota kecil itu. Sungguh? Malam mengelus dadanya sendiri, menenangkan diri. Ia mendelik pada sosok lelaki di sebelahnya yang sedang asyik membaca buku di deretan kursi tunggu peron stasiun. Kemudian Malam tersenyum, lelaki ini adalah alasan atas segala keberaniannya, apa lagi yang harus ia takutkan?
“Rumah kamu jauh dari pusat kota?” tanya Malam sembari menyentuh sampul buku yang tengah dibaca Pagi.
Pagi menengok sesaat kemudian tersenyum, “engga, cuma lima menit dari stasiun. Kenapa?”
Malam tersenyum simpul, menggeleng, “engga, gapapa.”
“Kamu kan sudah terbiasa berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, seharusnya kamu gaperlu merasa khawatir dan takut lagi.”
“Aku ga takut selama ada kamu, Gi.” Malam menggenggam tangan Pagi erat.
Pagi tersenyum, sebelah tangannya mengacak rambut Malam dengan gemas. “Bunda aku sudah nunggu kamu dirumah. Kotaku juga sudah siap menyambut kamu. Semua akan baik-baik saja.”
Malam mengangguk berbarengan dengan bunyi pengeras suara yang memberi tahu bahwa kereta menuju kota kecil itu akan segera berangkat. Malam dan Pagi bergegas bangun dari kursi tunggu, berjalan beriringan dengan tangan tergenggam erat. Malam siap menyambut gerbang baru kehidupannya, sama siapnya dengan Pagi yang dengan senang hati membuka pintu selapang-lapangnya bagi Malam untuk dapat merengkuh apapun yang ia miliki.

♥♥♥♥♥

Kota itu memang tak benar-benar sepi, kendaraan masih ramai berlalu lalang melintasi jalur utama kota saat jam pulang pergi kantor. Pertokoan ada di hampir setiap sudut kota walaupun tak selalu tampak ramai pembeli. Di beberapa titik bahkan ada restoran-restoran terkenal yang ramai pengunjung dengan aroma bumbu dapur yang meluap hingga ke jalan raya. Kota itu memang tak semegah ibukota tempatnya tinggal, tapi Malam tahu kota itu menyimpan sejuta kehangatan tersendiri yang begitu tabah menyelimuti setiap penduduknya.
Malam sibuk menggerogoti pemandangan kota dengan seluruh daya yang matanya punya. Ia ingin merekam semua jejak itu dengan baik di kepala. Pandangannya membuang jauh, tak berkedip barang sedetik saja, semuanya terlalu sayang untuk dilewatkan.
“Itu namanya Rumah Makan Bu Lintang, rumah makan tertua dan terlaris di kota ini.” Tunjuk Pagi, Malam mengikuti dengan ekor matanya. Disana, diapit gedung-gedung tua, sebuah rumah makan dengan arsitektur kuno bercat putih mengkilap berdiri dengan kokoh. Motor-motor berjajar rapi terparkir di depannya, tak ketinggalan sederetan mobil yang pemiliknya turut ada diantrian pembeli di depan rumah makan. Bangunannya yang tak terlalu besar membuat pemandangan rumah makan itu tampak begitu sesak dengan pembeli yang berjubel di setiap sudut. “Menu andalannya cuma ayam goreng, tapi rasanya...” Pagi memejamkan mata seolah membayangkan ayam goreng itu benar-benar ada di hadapannya, padahal ia dan Malam sedang berada di taksi yang melaju pelan membelah jalanan utama kota menuju rumah Pagi. “Rasanya enak banget pokoknya. Nanti kalau sempat kita mampir kesana ya.”
Malam hanya mampu mengulum senyum sembari mengangguk. Di benaknya, ada banyak hal yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum bisa benar-benar menyempatkan diri untuk mampir di Rumah Makan Bu Lintang andalan kota kecil ini.
Taksi itu mulai memelankan lajunya seiring dengan jalan yang berbelok kearah semakin kecil; sebuah jalanan yang hanya mampu di lewati dua mobil dari dua arah berlawanan. Tepat lima menit dari stasiun, sesudah melewati jalan utama kota, di seberang sebuah gedung perkantoran, jalan kecil itu berada, dan diujung jalan ini, di sebuah rumah berlantai dua dengan cat cokelat gelap dan ornamen berwarna putih tulang; Pagi dibesarkan. Disana lah segala gundah dan senang Pagi berpulang. Tempat ternyaman dimana letih di tubuh Pagi mampu menguap seketika. Tempat dimana Pagi mampu menjadi dirinya seada-adanya.
“Makasih, Pak.” Pagi membayar ongkos taksi lalu bergegas turun dari mobil, disusul
oleh Malam.
Malam menjejakkan kakinya di halaman rumah itu dengan langkah gentar, tubuhnya terhuyung sepersekian detik demi setelahnya mendapatkan keseimbangan kembali. Sekali lagi ia kembali tertampar oleh kenyataan bahwa ia ada disini, dengan tujuan mulia yang sedari kemarin Pagi gaungkan; “Aku mau kenalkan kamu ke Ayah dan Bunda-ku sebagai bentuk keseriusanku yang ingin menikahimu.”
Malam tercenung, menatap bangunan di hadapannya dengan dada gegap gempita.
“Lam, ayo masuk.” Pagi menggenggam tangan Malam erat.
Malam menatap mata Pagi dengan lurus demi kemudian mengangguk tersenyum. Apa lagi yang harus ia takutkan jika ia telah memiliki Pagi disisinya?

♥♥♥♥♥

Perempuan tua bersanggul rapi dengan rambut putih yang menyemai hampir di seluruh kepala itu memasang salah satu senyum paling hangat nan tulus yang pernah Malam lihat. Jauh di dalam hatinya, tanpa perlu berpikir dua kali, Malam tahu perempuan itu adalah perempuan paruh baya baik berhati lembut. Di sebelahnya, seolah tak ingin kalah saing, lelaki berkumis tipis dengan rambut pendek beruban itu juga turut melempar senyum yang tak kalah sumringah. Dengan ringan ia mempersilahkan Malam duduk di ruang tamu dengan meja yang telah penuh tersaji berbagai macam jenis kudapan ringan dan beberapa gelas cangkir kosong serta seteko teh di wadah bening.
“Siapa namanya?” pertanyaan pertama meluncur dari perempuan paruh baya itu. Ia mengambil teko bening kemudian menuangkan satu persatu cangkir kosong agar terisi teh.
Malam tersenyum, berusaha mengendalikan hatinya yang jumpalitan luar biasa. Kakinya begitu terasa ingin melayang ke angkasa. “Rembulan Malam Rinjani, Tante. Panggil saja Malam.”
Sepasang manusia paruh baya itu mengangguk kompak kemudian tersenyum secara bersamaan.
“Silahkan, Malam. Diminum dulu.” Kali ini si lelaki paruh baya yang angkat suara
Dengan canggung Malam mengangkat cangkir tehnya kemudian meneguk cairan itu dua teguk dengan irama yang sangat pelan. Di sebelahnya, Pagi, memasang senyum yang tak kunjung surut. Malam tahu, Pagi sangat bahagia dengan keadaan yang mengelilinginya detik ini.
“Malam rumahnya dimana?” Bunda; begitulah perempuan itu meminta dipanggil kemudian; akhirnya kembali angkat suara
“Di Ibukota, Bunda. Memang dari kecil disana.”
“Oooo berarti belum pernah kesini?”
“Belum, Bunda.” Malam menggeleng pelan, tersipu malu.
“Berarti besok-besok Malam harus sering kesini, kunjungi rumah Ayah dan Bunda, ya?” Bunda melirik lelaki paruh baya di sebelahnya. Lelaki itu mengangguk dengan semangat sambil tertawa kecil.
Malam melihat pemandangan itu demi kemudian meraba dadanya sendiri. Ada sesuatu yang berdentum pelan mengalirkan kehangatan disana. Malam tahu, segala sesuatunya akan menjadi baik sesudah ini. Semoga.

♥♥♥♥♥

Makan siang penuh kehangatan di tengah keluarga Pagi pun usai. Malam bergegas membantu Bunda mencuci piring serta membereskan segala perkakas yang kotor dan membiarkan Pagi mengobrol santai dengan Ayahnya di ruang tengah. Tanpa canggung dan ragu, Malam mengangkat satu persatu piring kotor di meja makan kemudian mencucinya. Sementara itu di sebelahnya, Bunda, dengan gerakan cepat mengelap piring dan menaruhnya kembali di kompartemen dapur.
“Pagi itu ga pernah loh, Lam, bawa perempuan ke rumah ini.” Bunda angkat suara, memecah keheningan.
Malam tersenyum simpul, tangannya masih sibuk mencuci satu persatu piring yang tersisa. “Iya ya, Bun?”
“Iya, beneran. Makanya Bunda sama Ayah kaget banget waktu dia bilang mau bawa pacar dia kesini.” Bunda mengambil sebuah piring yang masih basah, mengelapnya, kemudian sedikit berjinjit menaruh piring tersebut di kompartemen dapur bagian atas, “selama ini yang Bunda dan Ayah tahu, dia itu kerjaannya cuma belajar belajar belajar. Bunda ga pernah dengar sedikitpun dia bahas-bahas perempuan.”
Malam diam, mendengar cerita itu dengan khusyuk.
“Bunda dan Ayah senang sekali, Lam, akhirnya ada perempuan yang bisa buat Pagi jatuh cinta,” Bunda menarik nafas panjang, kemudian menyimpulkan senyum manis di bibirnya, “kamu baik-baik ya sama Pagi. Semoga semuanya berakhir dengan bahagia.”
Malam mematikan keran air tepat ketika piring kotor telah habis. Ia memutar tubuhnya, menghadap Bunda dengan tatapan teduh nan lembut. “Terimakasih, Bunda. Terimakasih juga sudah mau menerima Malam dengan segala kebesaran hati Bunda dan Ayah.”
Seperti ada dorongan kuat yang menyentuh dari dadar hatinya yang oaling dalam, refleks Bunda merentangkan tangannya kemudian memeluk Malam dengan erat, “sama-sama. Besok-besok main kesini lagi ya, Lam, ada banyak orang yang pingin Bunda kenalin ke kamu; kedua kakak Pagi, kakek dan nenek Pagi, sepupu-sepupu Pagi. Mereka harus tahu kalau sekarang Pagi sudah memiliki calon pendamping.” Bunda melepas peluk itu, tampak air mata bercokol di sudut matanya, begitu haru.
Malam tak kuasa menahan gemuruh di dadanya yang juga turut mebahana, ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Bunda, pasti. Pasti Malam akan kembali lagi kesini.”

♥♥♥♥♥

Sore menjemput di kota kecil dengan gedung-gedung tua di setiap sudut itu. Langit menjingga lengkap dengan lanskap awan seputih kapas yang perlahan memudar. Di antara ramainya hilir mudik kendaraan di jalan utama, Pagi dan Malam ada disana, menaiki bis dalam kota yang tampak sepi hendak menuju ke stasiun kereta untuk kembali ke ibukota. Keduanya duduk sejajar tepat di samping pintu masuk sembari melempar pandang ke seluruh penjuru jalan, menikmati pemandangan.
“Gimana? Ga seseram yang kamu bayangkan kan?” Pagi mendelik pada Malam yang sibuk mematuti pemandangan di luar bis dengan khidmat.
Malam menggeleng malu, “engga. Semuanya menyenangkan. Aku mungkin juga bakalan kangen sama kota ini...”
“Besok-besok, kalau kita senggang, kita main lagi kesini ya.”
“Iya dong. Kamu masih punya hutang ajak aku makan di Rumah Makan Bu Lintang loh.”
Pagi tergelak, diacaknya rambut di puncak kepala Malam. “Kita masih punya banyak waktu, Lam. Kamu akan selalu kembali ke kota ini sampai nanti-nanti.” Pagi menggenggam tangan Malam dengan lembut.
Malam tersipu, ia melempar senyum sembari menjatuhkan kepalanya ke pundak Pagi dengan begitu nyaman. Pagi benar, sampai esok dan nanti akan selalu ada waktu untuk kembali ke kota ini. Semua bukan hanya perihal rumah Ayah dan Bunda, namun lebih kepada tentang rasa nyaman yang tumbuh tiba-tiba. Malam sadar, kini ia telah menemukan rumah keduanya.

Bersambung...

Jumat, 01 Februari 2019

Kaldera (4th Summit)


4th Summit

Bertahun-tahun lamanya sejak memutuskan untuk merakit mimpinya seorang diri dan tak membiarkan seseorang pun masuk ke dalam hatinya, Malam sendiri sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ia dengan mudah mengiyakan ajakan makan malam dari seorang lelaki yang baru ia kenal seminggu lalu ini. Malam pun sampai bingung, mengapa segala tentang Pagi tak mampu membuat hatinya menolak. Seluruh tubuhnya bahkan terasa bersinergi dengan apapun yang hendak ia lakukan dengan Pagi. Malam selalu dengan semangat membalas apapun pesan yang Pagi kirimkan, sama semangatnya juga mengangkat setiap panggilan telepon yang Pagi buat, terlebih ketika Pagi menjanjikan sebuah pertemuan, entah kenapa Malam begitu tak sabar ingin melompati waktu demi segera tiba di hari itu. Ini hal aneh, teramat aneh, terlebih sudah bertahun lamanya Malam membiarkan hatinya beku, selepas kejadian patah hati akibat orang ketiga oleh mantan kekasihnya terdahulu. Bagai kekuatan magis yang mengandung mantra super ampuh, kehadiran Pagi adalah sesuatu yang menyihir hidup Malam yang monoton menjadi kembali berwarna.
Malam mengamati buku menu di hadapannya dengan bingung, masih sibuk menata pikirannya sendiri. Ia mendongak, memerhatikan dalam diam Pagi yang sedang sibuk membaca buku menu yang sama ditangannya. Bagaimana bisa lelaki ini seolah dengan mudah membolak-balikkan semua?
“Nasi goreng kambing, minumnya jus tomat, Mas.” Pagi menyebut menu pesanannya pada pelayan yang berdiri di samping meja, kemudian mengalihkan pandangannya pada Malam demi detik berikutnya mendapati Malam tengah menatapinya dengan tatapan kosong. “Lam? Pesen apa?”
Malam terkesiap, buru-buru membuang pandang ke deretan daftar menu yang tiba-tiba menjadi sulit terbaca untuknya. “Sama aja deh, Mas.” Ia memutuskan untuk pasrah, kepalanya sudah terlalu sulit diajak berkompromi.
Pelayan itu mengangguk kemudian undur diri.
“Gimana launching buku kamu?” Pagi membuka pembicaraan setelah sekian lama mereka hanya berdiam diri, sibuk menata perasaan sendiri-sendiri.
Malam tersenyum kikuk, “lancar.”
“Habis ini ke kota mana lagi?”
“Ke Ibukota Provinsi sebelah. Minggu depan.”
Pagi mengangguk. Hening sesaat.
“Kamu… gimana kerjaannya?” kali ini Malam tak mau berdiam diri.
Pagi tersenyum, memandang Malam tepat di kedua bola matanya. “Lancar juga. Lagi padat-padatnya jam kuliah sih. Maklum, tahun ajaran baru.”
Malam mengangguk, bingung hendak bertanya apa lagi. “Oh iya, kamu memang teman dekatnya Siang?”
“Iya. Sahabat dari SMP. Sahabat dekat. Bahkan kami punya kumpulan tersendiri anggotanya delapan orang.”
“Oh… gitu… sejenis geng gitu ya?”
Pagi terkekeh, “sejenis sih, tapi kami gamau menyebutnya geng.”
“Terus apa dong?”
“Paguyuban. Biar formal.”
Kali ini Malam yang tergelak. Pagi menangkap tawa itu sebagai sesuatu yang membuat jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat.Masih diluar imajinasinya bahwa ia mampu membuat perempuan dihadapannya ini tertawa riang.
“Oh iya, Lam, saya sudah baca buku-buku kamu. Belum semua sih, dari sepuluh baru lima yang saya baca,” Pagi meneguk jus tomatnya yang baru saja datang, “saya suka gaya kamu menulis. Sederhana, mengalir, tidak membuat bingung namun tetap menyenangkan. Jalan cerita buku-kamu juga sangat luar biasa, benar-benar diluar nalar dan tidak tertebak. Wajar jika buku-buku kamu banyak di film-kan.”
Malam tersipu malu. Baginya pujian demi pujian bukan lah hal asing yang kerap telinganya dengar. Namun, kali ini, ketika pujian itu tertutur langsung oleh seorang Ufuk Pagi Himalaya, semua terasa berbeda. Hal itu lebih mirip seperti dentingan dawai harpa ditengah konser musik instrumental, menenangkan.
“Makasih.” Malam hanya mampu membalasnya dengan senyum tipis bercampur pipi bersemu merah jambu.
“Saya jatuh cinta dengan tulisan-tulisan kamu.”
Malam mendongak, menatap Pagi dalam ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Dan sepertinya, saya juga mulai jatuh cinta dengan penulisnya.”

♥♥♥♥♥

“What? Lo nembak Malam?” Siang nyaris tersedak dengan lontong sayur yang sedang ia kunyah. Kota kecil mereka yang dingin memang selalu berhasil membuat lontong sayur hangat menjadi menu idaman saat sarapan pagi.
“Engga… bukan nembak,” Pagi menyeruput teh hangatnya yang baru saja diantar oleh pemilik warung lontong sayur favorit mereka ini. “Gue cuma bilang gue mulai jatuh cinta. That’s the point. Gue jujur ke dia kalau gue lagi mencoba mendekati dia dan ingin belajar mencintai dia. Itu aja sih.”
“Terus apa respon dia?”
“Dia cuma senyum, diem. Sambil malu-malu. Memang sifatnya begitu kali ya.”
Siang menghela nafas panjang, “untung ya, Gi, dia baik. Coba kalau dia tuh cewe-cewe sok high class kaya mantan-mantan lo dulu. Udah ilfeel duluan kali. Baru seminggu kenal udah berani bilang cinta-cinta segala.”
“Nah! Itu dia bedanya Malam dengan perempuan lain, Ang. Gue bisa ngerasain. Makanya gue suka.”
Siang melahap sepotong lontong terakhirnya dengan pelan, “terus sekarang apa rencana lo selanjutnya?”
“Gue mau ngelakuin pendekatan ke dia dulu sebulan kedepan. Setelah itu, gue langsung mau menyatakan perasaan gue secara gamblang. Tapi… gue gamau ngajak dia pacaran.”
Alis Siang naik beberapa senti, “terus?”
“Gue mau ajak dia nikah.”
Kali ini Siang nyaris tersedak dengan air putih yang sedang ia teguk. Matanya membelalak, menatap Pagi dengan sorot tak percaya. “Lo gila ya? Kalian itu baru kenal. Main ajak anak orang nikah aja lo.”
“Ang, tunggu apa lagi? Kapan lagi gue ketemu perempuan sebaik dan sehebat Malam? Nanti keburu dia diambil orang.”
Siang geleng-geleng kepala. “Oke… oke… terserah lo. Tapi yang jelas lo harus pikir semuanya baik-baik dan matang-matang. Seengganya kasih waktu buat lo dan Malam saling mengenal dulu sebelum menikah.”
“Kalo itu mah pasti, Ang. Target gue sih enam bulan kedepan nikahnya. Dan selama itu gue bakal berproses dulu dengan Malam. Saling mengenal satu sama lain dan antar keluarga.”
“That’s right. Itu baru masuk akal.”
Pagi mengangguk. “Doain ya, niat baik sahabat lo ini lancar sampai tujuan.”
“Yaps. Dan semoga ga ada penghalang.”

♥♥♥♥♥

Sepagi ini di kantor Gravitama, Malam sudah sibuk dengan ribuan lembar halaman buku yang harus ia tandatangani. Tangannya terasa nyaris mau patah, namun semangatnya terus membara. Bagi seorang penulis, tak ada yang lebih bahagia ketimbang mengetahui bukunya begitu disukai oleh khalayak ramai dan laris manis di pasaran.
“Mbak Malam, yang semangat.” Edi, salah satu office boy senior di Gravitama, tiba-tiba datang, dan menyuguhkan secangkir lemon tea segar ke hadapan Malam.
Malam mendongak lalu melempar senyum, “wah Pak Edi nih tau aja apa yang saya butuh,” Malam cengegesan, meneguk lemon tea itu hingga tersisa setengah, “makasih ya, Pak. Ntar Pak Edi makan siang aja di kantin bawah, makan apa aja yang Bapak mau, biar saya yang bayarin.” Malam kembali mengambil pena lalu berkutat dengan lembaran bukunya lagi
Pak Edi mengerjap bahagia sekaligus memulas senyum sumringah di wajahnya. Malam memang tak selalu ada di kantor sebab agenda peluncuran buku dari kota ke kota yang selalu padat. Namun sekali saja ia hadir di tengah-tengah Gravitama, maka aroma kebahagiaan seolah selalu menyeruak dimana-mana. Gadis itu terlalu baik hati pada siapapun. Dan semua orang di Gravitama sangat menyadari hal itu.
“Nggih, Mbak Malam. Makasih ya, Mbak. Kalau ada perlu apa-apa telepon lagi aja ke pantry, Mbak.”
Malam mengangguk, disusul dengan Edi yang pamit keluar ruangan. Namun sedetik kemudian pintu kembali terbuka dan memunculkan tubuh Mada darisana.
“Lam, ntar sore rapat ya.” Tanpa permisi Mada mengambil posisi duduk di depan Malam.
Malam tak berkutik sedikitpun, matanya masih fokus menandatangani lembar demi lembar halaman buku yang tak habis-habis. “Rapat tentang?”
“Peluncuran buku lo minggu depan.” Mada menarik nafas panjang, asisten manajer Gravitama itu memang selalu tampak berhasil menenangkan diri tak perduli sebanyak apapun pekerjaan yang tengah ia hadapi. “Jadi gini, Lam, gue ga berhasil nemuin EO yang bagus di kota yang akan kita kunjungi minggu depan.Gue juga gamau kalo pake EO yang ga high rate. Jadi mau gamau ga ada pilihan lain. Gue terpaksa boyong Saruanta kesana.”
Malam mendongak, alisnya naik beberapa senti. “Jadi, kita nanti sore rapat dengan Saruanta?”
Mada mengangguk, tatapan matanya meyakinkan Malam yang tampak bingung.
Malam bergidik kemudian mengangguk dengan perasaan acak. Ia membayangkan wajah Siang sekaligus wajah Pagi secara bergantian. Hatinya berdenyut lebih cepat seketika.

♥♥♥♥♥

Malam begitu bersyukur sebab rapat sore itu tak dihadiri oleh Siang yang berhalangan hadir sebab sedang mengurus acara lain di kota kecil tempat Saruanta berasal. Namun menurut pesan yang disampaikan oleh asistennya saat rapat tadi, Siang memastikan diri dapat ikut di peluncuran buku di ibukota provinsi tetangga minggu depan, langsung mengepalai anak-anak buahnya.
Malam tak habis pikir dan tak dapat membayangkan harus bersikap bagaimana jika dirinya dihadapkan dengan Siang. Malam terlalu takut salah tingkah, dan membuat Siang mengadukan tingkah-tingkah anehnya ke Pagi. Hey who knows? Bagaimanapun Pagi adalah teman dekat Siang.
Malam sedang menuruni anak tangga lantai dua tepat ketika ponselnya berbunyi dan memunculkan nama Pagi disana.
“Halo.”
“Halo, Lam. Masih di kantor?”
“Ini mau pulang, baru selesai rapat. Kenapa, Gi?”
“Tunggu sebentar, aku jemput kamu ya, kita makan malam diluar.”
“Ohhh... oke...” seperti biasa, layaknya sihir, apapun ajakan pergi Pagi, tak pernah kuasa Malam tolak. Malam bahkan berani bertaruh, jika Pagi mengajaknya ikut berperang di perbatasan negara, dirinya akan dengan mudah mengiyakan juga. Pagi memang terlalu magis dengan segala hal yang ada dalam dirinya.
“Oke, tunggu di lobby ya.”
Telepon itu mati. Malam dengan langkah lebih riang dan cepat menuruni anak tangga tanpa babibu. Selain cairnya royalti buku, pertemuan dengan Pagi adalah halyang paling dinanti-nantinya di setiap hari saat ini.

♥♥♥♥♥

“Lam?”
“Ya?” Malam mendongak dan menemukan sepasang mata Pagi tengah menatapnya dengan lurus tanpa berkedip. Teduhnya tetap menjadi jawara, tak surut ditengah kebisingan pengamen di tempat makan pecel lele kaki lima ini.
Udara malam yang dingin, tampaknya membuat hampir seluruh isi kota menjadi lapar sehingga semua tempat makan penuh. Malam dan Pagi sampai harus berbagi meja dengan sepasang lain yang duduk di sebelah mereka.
Namun tak masalah, bagai ada sekat tak terlihat yang dibangun oleh dirinya sendiri, bagi Pagi, Malam tetap satu-satunya daya tarik di tempat ini. Tak dihiraukannya orang-orang yang sibuk hilir mudik silih berganti.
“Gapapa.” Pagi tersenyum membuat pipinya tampak bertumpuk menghimpit bingkai kacamata yang ia kenakan.
Malam ikut tersenyum, segala tentang Pagi memang selalu berhasil membuatnya begitu, hatinya menghangat dan seluruh lelah luluh lantah seketika setiap kali Pagi ada di dekatnya, “kenapa? Mau bicara?”
“Engga. Mau manggil nama kamu aja. Aku suka.”
Malam terkekeh, mencubiti lengan Pagi dengan gemas. “Gausah gombal.” Malam menyeruput es tehnya yang baru datang dengan cepat, mencoba menutupi tingkahnya yang jadi serba salah.
“Lam, apa warna favorit kamu?”
“Tebak!”
“Biru?”
“Kok tau?”
“Nebaknya pakai hati.”
Malam terbahak, kali ini ia membenamkan rasa malunya dengan terus menyuapi mulutnya dengan pecel lele hangat yang ada di depan mata. Mengalihkan canggung yang tiada tara. “Kalau kamu suka warna apa, Gi?”
“Tebak!”
“Mmmm…” Malam memutar bola matanya mencermati wajah Pagi baik-baik, “abu-abu?”
“Kok tau?” alis Pagi naik sebelah.
“Nebaknya pakai es teh.” Malam menyeruput es tehnya sembari mengulum senyum. Kali ini Pagi yang terbahak.
“Kalau manusia favorit kamu siapa?” Pagi bertanya lagi.
Malam menghentikan suapannya kemudian menatap Pagi dengan bingung, “maksudnya?”
“Manusia yang segala tentang dia kamu suka.”
“Aneh banget nanyanya.”
“Jawab dong.”
“Mmmm… siapa ya….” Malam mencubiti daging lele di depannya sembari berpikir. “Ibu aku mungkin.” Malam mendongak, menatap mata Pagi yang sedari tadi tidak lepas menatapnya, “kalau kamu?”
“Kamu.” Sepersekian detik tanpa berpikir panjang Pagi meluncurkan jawaban itu dengan begitu ringan, membuat Malam nyaris tersedak nasi yang sedang ia kunyah.
Malam terdiam, menunduk, menyembunyikan rona merah jambu yang menyemu hebat di kedua pipinya tak tahu hendak menanggapi ucapan Pagi barusan dengan bersikap bagaimana.
Pagi ikut terdiam, meredakan debar di dadanya yang pasang surut. Ia menarik nafas. Mengambil ancang-ancang untuk mengucapkan kalimat yang sedari tadi ia simpan, “Lam, kamu mau ga jadi manusia favoritku selamanya?”

♥♥♥♥♥

Ibukota Provinsi tetangga itu memang selalu tampak sunyi. Penduduknya yang tak terlalu banyak ditambah dengan pusat-pusat keramaian yang juga tak terlalu menjamur membuat orang-orang memilih untuk diam dirumah saja ketika hari libur tiba. Semua penduduknya memiliki siklus aktifitas yang sama; keluar rumah hanya untuk bekerja atau berbelanja, kemudian kembali pulang kerumah masing-masing. Namun satu hal yang selalu menjadi daya tarik tersendiri dari kota itu; monumen tinggi berbentuk cerobong berukir batik menjulang gagah di pusat kota, yang selalu berhasil membuat jatuh hati bagi siapapun yang memandang untuk pertama kali. Dan disinilah, saat ini Malam terduduk, melamun, memandangi monumen itu dari kursi-kursi besi yang ada di sekitar tamannya degan pikiran campur aduk. Matanya menatap kosong pada keramaian beberapa meter di depannya yang tampak begitu sibuk menyusun panggung hingga dekorasi backdrop dengan warna pink pastel. Malam berani bersumpah, ia tak pernah se-tak antusias ini dalam acara peluncuran bukunya.
“Lam?”
Malam terkesiap ketika seseorang menyentuh pundaknya dengan pelan.
“Yaelah, Da. Ngagetin aja,” gerutu Malam yang disambut dengan cengegesan Mada.
“Ngelamun aja sih. Eh itu si Siang mau ketemu lo. Lo kan belum technical meeting sama dia. Dia baru sampe tuh.”
Malam nyaris terjatuh dari tempat duduknya. Belum usai segala kegaduhan isi kepalanya tentang Pagi, dan kali ini harus ditambah dengan pertemuan dengan Siang yang tak menutup kemungkinan menyeret-nyeret pembahasan tentang Pagi disela-sela obrolan mereka. Malam memijiti kepalanya yang terasa sakit sekali.
“Gue panggilin ya, wait.”
Tanpa permisi Mada beranjak. Malam mengikuti gerakan lelaki itu dengan ekor matanya. Mada benar-benar mendatangi kerumunan di tengah panggung yang sedang dibangun itu kemudian menghampiri seorang wanita berambut pendek yang wajahnya sudah mulai Malam hapal diluar kepala.
Malam menarik napas, menenangkan dirinya. Siang mulai berjalan mendekat, Malam tak mampu lagi mengelak.
“Hai, Lam. Long time no see ya,” Siang melempar senyum sembari mengambil posisi bangku kosong tepat di sebelah kanan Malam.
Malam hanya mampu tersenyum kaku, bayangan Pagi mendadak terlintas di benaknya, membuat bulu kuduknya meremang.
“Hai.”
“Sebelumnya saya minta maaf, Lam, karena baru bisa menemui kamu sekarang. Banyak pekerjaan lain yang kemarin saya kerjakan,” Siang membenarkan rambutnya yang tampak tertiup angin, “Jadi gimana, kamu suka sama dekorasi panggungnya? Rencananya sih saya juga mau menambahkan sedikit ornamen patung kuda ukuran sedang di sebelah kiri panggung, sebagai simbol dari provinsi ini.”
Malam mengangguk, enggan membantah apapun, “lakukan saja yang terbaik menurut kamu, Ang. Saya percaya.”
Siang tersenyum kemudian manggut-manggut.
Malam membuang pandangnya, sambil berdoa dalam hati semoga Siang lekas beranjak pergi dan tidak membuka pembahasan lain selain acara peluncuran buku hari ini.
“Lam, kamu baik-baik saja? Apa kamu lagi kurang enak badan?” Siang menggerogoti wajah Malam dengan tatapan menyelidik. Gadis itu tampak sedang menahan sesuatu yang bergejolak di kepalanya, membuat wajahnya murung nyaris tanpa ekspresi apa-apa.
Malam tersenyum kaku, sekali lagi. Ada buncahan yang menggebu di dadanya, menuntut segala sesuatu kata-kata yang tertahan itu dimuntahkan saja. Namun di sisi lain, Malam malu dan takut, ia belum sepenuhnya percaya Siang mampu menjadi pendengar yang baik. Namun sepersekian detik kemudian, buncahan di dada Malam semakin bergemuruh nyaris membuat dadanya pecah dan tulang rusuknya patah.
“Ang, apa Pagi itu memang begitu?”
Mendengar nama Pagi disebut, Siang kontan menatap mata Malam dengan lurus, dahinya berkerut hingga sangat kusut. “Begitu bagaimana maksudnya, Lam?”
Malam menarik nafas panjang mencoba mengatur kalimatnya dengan hati-hati, “ya begitu, mudah jatuh cinta.”
“Memangnya Pagi bilang apa, Lam, ke kamu? Dia menyatakan cinta?”
Malam mengangguk, perasaannya mulai tenang, buncahan di dadanya mulai surut, mengalir dengan pelan mengikuti setiap petak kalimat yang ia ucapkan pada Malam, “iya, dan saya... saya pikir itu terlalu cepat.”
Siang membenarkan posisi duduknya, lalu menyentuh pundak Malam dengan lembut, “Lam, saya tiga belas tahun kenal Pagi. Dari kelas satu SMP sampai setua ini,” Siang menatap kedua bola mata Malam dengan dalam. “Pagi itu tipikal laki-laki yang sangat pendiam, ga banyak bicara dan ga neko-neko. Dan dia itu hampir ga pernah jatuh cinta dan dekat dengan perempuan. Dia hanya punya satu mantan pacar waktu SMA. Itu pun kami teman-temannya ini yang menjodohkan, karena Pagi ga pernah bisa mendekati perempuan, dia itu terlalu dingin dan kaku kaya es batu.”
Malam menahan napasnya mendengar cerita Siang, otaknya mencerna dengan baik setiap kalimat itu.
“Makanya, saya kaget banget waktu tau-tau dia bilang dia mau kenalan sama kamu, sampe datengin kamu ke acara peluncuran buku,” Malam tersenyum kecil dengan geli mengingat kejadian itu, “saya gapernah liat Pagi tiba-tiba jadi berani begitu. Saya juga gapernah liat Pagi mikirin perempuan, biasanya dia cuma mikirin buku-buku matematikanya yang setebal bantal.” Siang terkekeh, Malam ikut mengulum senyum. “Saya berani bersumpah, Lam, kamu perempuan pertama yang diperlakukan dengan Pagi seperti ini.”
Malam tercenung, pikirannya kembali melayang ke kejadian di tenda pecel lele tiga hari lalu itu.
“Jadi, saya mewakili Pagi, sebagai teman baiknya mohon maaf ke kamu kalau misalnya Pagi belum terlalu memperlakukan kamu dengan baik dan... ga romantis. Saya berani bertaruh Pagi ga ada romantis-romantisnya.” Siang terkekeh sekali lagi.
“Iya, memang,” Malam mengangguk sambil tersenyum geli, “kemarin aja... dia nyatain cinta di warung pecel lele kaki lima. Bukan di candle light dinner kaya di film-film.”
Mata siang kontan membelalak kemudian terbahak-bahak, “serius, Lam? Tuh kan! Pagi tuh  belum tau bagaimana cara yang baik dan benar memperlakukan perempuan dengan romantis. Harap maklum ya, Lam, dia pacaran aja baru sekali. Itu pun putusnya ya itu... karena mantannya dulu bilang Pagi gada romantis-romantisnya.”
“Hahahahaha, serius?”
“Iya, serius. Masa dulu kata mantannya, si Pagi tuh pernah ngasih bunga kamboja ke dia. Mungkin niatnya mau romantis tapi Pagi belum tahu bunga apa yang harus dibeli untuk perempuan,” Siang kembali terbahak hingga air mata muncul di sudut matanya, “kamu bayangin ga jadi mantannya? Dikasih bunga kamboja loh. Memangnya mantannya sudah meninggal?”
Malam terbahak, membayangkan kejadian itu sembari mengingat wajah Pagi yang tampak lugu dengan kacamata kotak cirikhasnya.
“Yah... jadi begitu lah, Lam. Pagi memang bodoh dan ga romantis soal memperlakukan perempuan, tapi saya yakin, dia bisa menyayangi dan mencintai kamu lebih dari siapapun di dunia ini.”
Malam kembali tercenung, kali ini ia tak berani menatap Siang, ia buang pandangnya jauh-jauh kedepan.
“Soal terlalu cepat atau apa, ya mungkin Pagi hanya berniat baik ingin sesegera mungkin bisa memiliki kamu dan bisa menjaga kamu dengan seluruh jiwa raganya tanpa ada batasan, Lam. Saya pastikan ke kamu, Pagi ga pernah punya niat buruk atau apapun itu. Dia mencintai kamu dengan tulus, hanya itu.”
Malam menarik napas panjang, memejamkan matanya, mencoba memuat dirinya setenang mungkin.
“Kamu pikirkan saja dulu baik-baik, semua memang butuh waktu. Keputusan tetap ada di tangan kamu, Lam.” Siang tersenyum, menyentuh pundak Malam, menenangkan, “saya balik ke panggung lagi ya, Lam. Mau mengawasi yang mendekor. Kamu istirahat dulu kalau pikirannya masih belum enak.”
Malam mengangguk, tersenyum simpul.
Siang beranjak, kembali ke tengah kerumunan yang sedang sibuk mempersiapkan acara peluncuran buku esok siang itu. Malam terdiam, masih duduk di tempat yang sama, tak bergerak barang sedikit saja, pikirannya yang buyar, perlahan mulai menemui titik terang.

♥♥♥♥♥

Cuaca diluar sekali lagi tampak mendung sore ini. Dengan gerakan cepat Pagi mengemas barang-barangnya kemudian pergi meninggalkan gedung dosen, ia selalu benci mengendarai mobil di tengah hujan deras, maka pulang lebih cepat adalah satu-satunya pilihan.
Mobil yang Pagi kendarai baru saja keluar dari area kampus ketika ponselnya berbunyi dan memunculkan nama Malam disana. Pagi terkejut kemudian buru-buru menepikan mobilnya. Sejak kejadian pernyataan cinta empat hari lalu itu, Malam memilih mendiamkan Pagi, Pagi pun tak ingin mengusik, ia tahu Malam butuh waktu.
“Halo?”
“Halo, Gi. Lagi sibuk?”
Pagi menarik nafas, mendengar suara Malam, mampu membuat jantungnya berdebar dengan kencang. “Engga, ada apa, Lam?”
“Besok aku pulang dari provinsi tetangga. Kita ketemu ya, bisa? Aku mau bicara soal kemarin.”
Demi mendengar kalimat itu, Pagi merasakan lututnya menjadi lemas, ia tahu jawaban itu sudah ada di depan mata. Namun ia ingin terdengar baik-baik saja.
“Bisa. Besok aku jemput ya di bandara.”
“Oke. See ya.”
“See ya.”
Telepon itu mati. Pagi kembali mengemudikan mobilnya dengan perasaan kalut setengah mati, memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.



bersambung....

Rabu, 26 Desember 2018

KALDERA (3RD SUMMIT)


3rd Summit

Usai acara peluncuran buku itu, Pagi berhasil pulang dengan mengantongi nomor ponsel Malam yang dengan malu-malu ia pinta di penghujung obrolan singkat mereka. Malam memilih tak banyak bicara, hanya menjawab sekadarnya ketika Pagi bertanya, entah karena terlalu gugup atau bisa juga ia bingung hendak berbicara apa. Namun matanya berbinar bahagia dan tanpa keraguan memberi nomor ponselnya saat Pagi bertanya. Pagi tahu, itu sebuah pertanda baik.
Pagi mengemudikan mobilnya sembari senyum-senyum sendiri membayangkan setiap detil ekspresi wajah Malam yang tampak tersipu setiap kali ia ajak bicara. Ada badai hebat yang melandanya hingga ujung kepala hingga ujung kaki, namun Pagi masih enggan terlalu dini menyebut hal itu sebagai jatuh cinta. Yang jelas saat ini, Pagi tahu, hatinya hendak tertuju kemana.
Pagi tiba dirumahnya pukul sebelas malam. Merebah dirinya diatas kasur sembari memandang langit-langit kamarnya yang memendarkan lampu temaram. Pagi menimang-nimang ponselnya sendiri sambil menimbang-nimbang apakah akan menelepon Malam atau tidak. Pagi kembali terlempar pada detik demi detik di beberapa jam lalu, hatinya menghangat, membuat jemarinya terasa mendidih dan begitu gatal ingin memencet nomor ponsel itu. Pagi tak kuasa, ada debar begitu hebat yang harus ia tuntaskan.
“Halo?” suara perempuan itu menyahut dengan lembut. Pagi menarik nafas, meredakan gugup. Entah jauh ataupun dekat, rasanya selalu sama, Malam selalu berhasil membuat dirinya tenggelam dalam gegap gempita.
“Hai, Lam. Ini aku, Pagi.”
Diam sejenak. “Oh. Hai, Gi.” Suara Malam, terdengar terbata-bata. Sama gugupnya.
“Sudah dirumah?”
“Hmm… sudah. Kamu?”
“Sudah juga.”
Hening.
“Ga tidur, Lam?”
“Sebentar lagi. Kamu ga tidur?”
Pagi terdiam, ingin rasanya menjawab masih enggan tidur sebab ingin berbincang dengan Malam namun rasanya kalimat itu terlalu bar-bar. “Sebentar lagi juga.”
Hening.
“Kamu nunggu apa kok ga tidur?” Pagi bertanya lagi.
“Ga nunggu apa-apa sih. Lah kalau kamu?”
“Sama hehe.”
Hening.
“Yaudah tidur yuk, Lam.” Pagi mengedar pandang, sibuk menghitung jumlah motif zigzag di gorden kamarnya, menghilangkan gugup. Ia begitu ingin mengutuk-ngutuki dirinya sendiri sebab tak mampu membuka topic pembicaraan apapun.
“Oh, oke. Goodnight, Gi.”
Pagi tersenyum, ucapan singkat itu menuncap tepat di jantungnya, menyemaikan bunga-bunga yang membuat tubuhnya terasa jutaan kali lebih baik dari detik sebelumnya, Pagi yakin, malam ini ia akan bermimpi indah. “Goodnight too, Lam.”
Telepon itu pun mati. Pagi memandangi layar ponselnya seolah wajah Malam terpantul jelas disana. Debur degub jantungnya semakin kencang terasa. Pagi bahagia. Dan ia yakin semua ini akan menjadi awal yang baik untuk segalanya.

♥♥♥♥♥

Bagi Malam, beberapa tahun belakangan ini bandara merupakan tempat yang selalu melekat di hari-hari yang ia lalui. Acara peluncuran buku yang mengharuskannya berpindah dari satu kota ke kota lainnya dalam waktu yang berdekatan, mau tak mau memaksanya acap kali mengenyam hidup diantara bandara satu dan lainnya. Desingan pesawat, gemuruh pengeras suara, dan hiruk pikuk antrian bagasi adalah hal yang tak asing lagi. Malam tahu segala sesuatu telah bersahabat, kecuali satu hal hari ini; hatinya sendiri.
Bertahun-tahun menjalani karir kepenulisannya dalam kesendirian, dengan hati tanpa sandaran, dengan isi kepala yang tak pernah memikirkan siapa-siapa, namun pagi ini, Malam berangkat ke bandara dengan hati penuh sesak dengan luapan rasa tak beraturan. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil kantor, Malam tak mampu membuang senyum yang terus memaksa melekat di bibirnya. Setiap mengingat sosok itu, Malam sadar, tubuhnya meluapkan begitu banyak sukacita yang sulit ia bendung tak perduli apapun caranya. Pertemuan itu memang begitu singkat namun begitu membekas di kepala.
Malam membuka ponselnya tepat ketika tubuhnya baru saja duduk di salah satu kursi  ruang tunggu. Melihat nama itu kembali muncul di deretan teratas notifikasi, membuat sofa yang Malam duduki terasa lebih empuk berkali-kali lipat.

Ufuk Pagi Himalaya: Selamat pagi, Lam. Sudah bangun?

Malam tersenyum, ia mendelik pada jam tangannya yang menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi.

Rembulan Malam Rinjani: Sudah. Ini sudah di bandara
Ufuk Pagi Himalaya: Mau kemana?
Rembulan Malam Rinjani: Launching buku di kota pulau seberang, Gi. Doakan lancar ya.
Ufuk Pagi Himalaya: Baik. Semoga sukses. Hati-hati dijalan.

Malam lagi-lagi tak mampu menahan terbitnya senyum sebab membaca deratan kalimat di layar ponselnya itu. Ia bersumpah sebelum pesawat take off nanti ia akan berdoa sepenuh hati bahkan lebih khusyuk dari biasanya agar ia selamat sampai tujuan. Sebab Malam tahu, ada seseorang di suatu sudut bumi yang begitu menanti kabar bahwa ia baik-baik saja.

♥♥♥♥♥

Lelaki bertubuh bidang dengan rambut tipis nyaris plontos itu menggeret kopernya keluar dari tempat pengambilan bagasi dengan rindu yang pasang surut bergumul di benak. Rasanya sudah lama sekali, cukup terlalu lama untuk menampung rindu dan datang kembali ke kota ini. Kota tempat kekasih yang begitu ia cintai tinggal.
Setibanya di lobby, matanya yang bulat sempurna sibuk mencari-cari keberadaan sosok yang berjanji menjemputnya. Dan… ya… disana… diujung lobby kedatangan dengan menggunakan celana jins dan kaus berwarna merah wanita itu menunggu kemudian dengan cepat segera berlari mendekat sekuat tenaga dan menghempaskan peluknya pada tempat tubuhnya selalu ingin pulang mengadu. Rambut sebahunya yang tertiup angin bergoyang nyaris berkibar tak beraturan menutupi wajahnya yang tanpa ampun dibenamkannya dengan begitu dalam di pundak sang lelaki.
“Sore…” desis Siang sembari memeluk lelaki pujaan hatinya itu. Dilepaskannya sampai habis segala rindu yang bercokol dengan erat. Segala rindu yang hanya mengenal kata bertambah tanpa Siang tahu bagaimana caranya agar mengurang selain menuntaskannya dengan sebuah temu.  Siang melepas peluknya, lalu menatap mata Sore dengan lekat. Tangannya sibuk menjamahi wajah Sore seolah ingin memastikan kekasihnya baik-baik saja dan tak ada yang kurang meski satu hal pun jua. “Aku rindu… rindu sekali.”
Sore tersenyum, dielusnya dengan lembut puncak kepala Siang. “Itulah kenapa aku datang kesini. Karena aku sama rindunya dengan kamu, lebih besar malah.”
“Ibu sudah nunggu kamu dirumah. Katanya kangen sama calon menantu.”
Sore tertawa, apapun yang dikatakan Siang nyatanya memang selalu mampu membuat hatinya bahagia. “Aku juga sudah ga sabar jadi menantu benerannya Ibu kamu.”

♥♥♥♥♥

Bagi Sore, selain rumah tempatnya besar di kota udang pulau seberang sana, rumah bercat cokelat putih berlantai dua di kota kecil provinsi seberang ini adalah rumah kedua. Ia selalu bisa pulang kapan saja, pintu manapun dirumah ini tak pernah tertutup untuknya. Terlebih ketika ia tersadar, salah satu penghuni rumah tempat ia tinggal selama masa KKN itu telah membuatnya jatuh hati. Anak perempuan tertua dari Pak Sudibyo dan Ibu Ani itu telah menawan hati Sore sejak pandangan pertama mereka bertemu di meja makan keluarga. Hingga detik ini, cinta itu terus tumbuh, terlebih menjelang hari-hari pernikahan mereka.
Sore masih ingat benar di pertemuan pertama itu, bagaimana Siang turun dari lantai dua mengenakan piama, dengan rambut sebahunya yang tak pernah berubah hingga kini. Kedua bola mata cokelatnya itu menembus sisi pertahanan hati Sore yang keras di detik pertama, demi detik-detik berikutnya membuat sore semakin gila ketika kedua bola mata itu terus menerus secara tak sengaja beradu pandang dengannya.
Hari demi hari berlalu tanpa seharipun Sore lewati dengan memandangi Siang secara diam-diam dari balkon kamarnya di lantai dua. Saat senja hampir terbenam adalah saat terbaik, sebab saat itu lah Siang akan keluar ke halaman belakang, melakukan yoga diatas matras warna ungu kesayangannya hingga adzan maghrib berkumandang. Dan Sore, diatas balkon sana akan duduk termenung diatas kursi plastik andalannya, menunggui Siang hingga selesai bermeditasi sembari terus menumbuhkan perasaannya yang kian tak terbendung lagi.
Sore tahu jiwa dan raganya telah tertawan, masa-masa KKN yang habis memaksa raganya beranjak, namun bagi Sore hatinya tetap tertinggal disini. Dan selepas itu, demi memuaskan dahaganya akan sosok Siang yang selalu ia idam-idamkan, maka sebulan sekali Sore selalu mencari alasan untuk pulang ke kota kecil itu, menginap di rumah Pak Sudibyo dan Ibu Ani demi sebenarnya ingin menangkap sosok Siang di kedua retina matanya, merekam senyum gadis itu baik-baik dalam kepala, untuk kemudian ia jadikan bekal pulang ke kota udangnya, dan kembali lagi kesini sebulan kedepan demi mengisi amunisi senyum itu lagi.
Siang tak pernah sadar atas alasan-alasan yang Sore buat untuk selalu datang kerumahnya adalah demi dirinya. Siang terlalu tak peka membaca gerak gerik Sore yang sering mengajaknya berbincang namun lebih sering Siang acuhkan. Siang tak pernah tahu Sore selalu memanjatkan doa di pagi dan malam agar hati Siang luluh dan mampu melihat semua perjuangannya. Siang sungguh tak pernah menyangka hingga akhirnya di suatu libur panjang, setelah satu tahun lamanya Sore selalu melakukan ritual bulanan datang kerumah, ada sesuatu yang tampak berbeda. Malam itu, di kunjungan kedua belasnya ke rumah Siang, Sore bergelagat aneh. Dengan sopan ia meminta Pak Sudibyo dan Ibu Ani mengizinkannya membawa Siang makan berdua diluar yang disambut dengan anggukan setuju dari keduanya.
Siang masih belum sadar, ia pikir sosok lelaki yang ia anggap sebagai kakak ini hanya mengajaknya makan malam berdua tanpa tujuan tertentu. Tak pernah terlintas sedikitpun di benak Siang bahwa bagi Sore segala rencana bahkan sudah jauh dari itu.
“Ang, kamu tau udara?” tanya Sore saat makanan di piring mereka berdua hampir tandas. Restoran kecil dengan menu khas steak itu sedang sepi pengunjung, membuat suasana sunyi yang terbentuk terasa sangat tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini Sore pendam diam-diam.
Siang mendongak, menatap Sore sedetik kemudian membuang pandang. Alisnya bertaut heran. “Tau. Kenapa?”
“Kamu tahu kan udara itu ada walaupun ga bisa kita lihat?”
Siang mengangguk. Dahinya semakin berkerut.
“Ang, bagaimana kalau ada seseorang yang mencintai kamu seperti udara?”
Siang yang sedang meneguk lemon tea-nya nyaris tersedak. Namun kemudian buru-buru mengendalikan diri.
“Seperti udara, Ang. Ia selalu ada. Tak pernah sedetikpun lepas dari tubuhmu. Ia ikat aliran-aliran darahmu agar tetap hidup.”
Siang semakin termenung. Jantungnya sudah sedari tadi ingin mencelat keluar sebab terlalu terkejut. Ia tahu Sore memandanginya tanpa berkedip sedetikpun. Namun siang memilih menunduk, tak berani menatap kedua mata dengan binar yang masih tak mampu Siang artikan.
“Dan orang itu adalah aku, Ang…”
Siang nyaris jatuh dari kursinya mendengar pernyataan cinta yang benar-benar tak pernah ia prediksi itu. Selama ini, dimata Siang, Sore hanyalah sosok mantan mahasiswi KKN yang menjelma menjadi anak angkat Ibu dan Ayahnya. Walau hanya setitik, Siang tak pernah berpikir bahwa sejak jauh-jauh hari, Sore telah jatuh hati padanya.
Malam itu usai dengan Siang yang memilih bungkam sebab masih butuh waktu untuk mencerna kejadian ini pelan-pelan. Sementara Sore, melenggang pulang dengan langkah begitu ringan sebab telah melepas satu beban yang selama ini ia timbun dalam-dalam.
Siang butuh waktu sekitar dua minggu untuk memantapkan hati, berpikir sekaligus berdiskusi dengan  Ayah dan Ibunya. Demi kemudian menghubungi Sore dan meminta Sore datang kerumahnya sesegera mungkin.
Keesokannya, tanpa ragu Sore datang, jawaban yang ia tunggu-tunggu nampak jelas di depan mata. Namun kali ini, ia tak datang dengan tangan hampa. Di saku kemejanya, telah ia simpan dengan rapi sebuah kotak berwarna biru lapis beludru yang menyimpan sebuah permata indah yang telah Sore siapkan demi sang pujaan hati.
Taman belakang tempat Siang biasa melakukan yoga kali ini tampak berbeda. Tak ada matras disana. Yang ada justru sebuah teko berisi teh hangat dan dua buah gelas yang masih penuh tanpa disentuh. Sementara itu, Siang dan Sore memilih duduk berselonjor diatas rumput memandangi langit.
“Jadi gimana, Ang?” Sore angkat suara.
Siang tersenyum, ia menggeleng lemah. Menarik nafas sembari berharap mulutnya dapat bisa segera diajak berbicara.
Sore memandangi Siang dengan tatapan bingung demi kemudian, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak beludru biru yang ia bawa. “Ang, kalau kamu pikir aku ini main-main, aku ga mungkin menunggu kamu selama ini.” Sore menyodorkan kotak itu ke hadapan Siang dan membukanya pelan-pelan, “Ang, aku sangat serius. Kamu mau kan menikah denganku?”
Siang terbelalak memandangi cincin yang menyembul dari balik kotak beludru biru itu. Tenggorokannya tercekat. Bibirnya semakin tak kuasa berbicara.
“Ang? Please…”
Siang mengehela nafas panjang, mencoba menata kalimat yang hendak ia ucap pelan-pelan. “Re, aku bingung mau memulainya darimana. Ini semua jauh dari perkiraanku. Aku ga tahu selama ini kamu menyimpan rasa. Maaf kalau aku terlalu ga peka.” Siang menatap mata Sore dengan semakin dalam. “Re, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku rasa… aku ga akan mungkin menyia-nyiakan orang yang begitu besar mencintaiku. Karena orang-orang baik dengan cinta yang hebat ga akan pernah datang dua kali di hidup kita, Re. Oleh sebab itu… aku ga mau melewatkan kamu. Karena sama halnya dengan segala keyakinanmu padaku, aku juga begitu yakin dengan kamu, Re. Terimakasih sudah membuatku merasa begitu dicintai.”
Sore terdiam, air mata bahagianya nyaris jatuh menetes.
“Re, tapi ada satu hal yang harus aku beritahu ke kamu,” kesekian kalinya, Siang menghela nafas panjang. “Re, aku mau menikah dengan kamu. Sangat mau, tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu mengenali kamu dan keluargamu dengan lebih dalam. Kamu bisa kan menungguiku lagi hingga siap?”
“Kapan kamu siap, Ang?”
“Dua tahun dari sekarang. Beri aku waktu dua tahun untuk mengenalkan hal-hal baik dan burukku dalam diriku ke kamu. Begitu juga sebaliknya. Kita ini mau menikah kan? Aku pikir bodoh rasanya jika kita menikah tanpa mengenali satu dan lainnya dengan begitu baik.”
Sore terdiam, matanya semakin berkaca-kaca bahagia.
“Cincin ini tetap kuterima, Re. Dengan senang hati akan kuterima sebagai bentuk pengikat dan tanda keseriusanmu padaku.” Siang tersenyum mengambil cincin dari balik kotak beludru biru itu dan mengenakannya di jari manis tangan kirinya. “Taraaaa! Mulai sekarang, aku calon istri kamu, Re.” Siang mengangkat tangan kirinya yang telah mengenakan cincin tepat dihadapan wajah Sore. Bibirnya mengulas senyum sumringah tiada tara.
Tanpa mampu Sore elak, buncahan bahagia itu begitu meledak-ledak. Dengan lekas ia memeluk Siang begitu erat sembari terus mengucapkan kata terimakasih yang tak usai. Sore tahu selama ini ia menunggu pada orang yang tepat.
Pelukan disaat senja hampir terbenam itu tak pernah berubah. Hingga dua tahun waktu bergulir. Dalam pasang surut rindu, amarah dan cinta yang bergulat menjadi satu. Dalam pergolakkan bentangan jarak yang bertikai dengan curiga juga cemburu. Pelukan itu tetap ada sebagai penuntas segala rasa yang berkecamuk di dada. Pelukan itu selalu ada sebagai suatu hal yang Siang rindukan dari Sore, begitupun sebaliknya. Pelukan itu selalu ada, dan Sore berharap, pelukan itu akan menjadi ritual abadi antara ia dan Siang selamanya.
Pikiran Sore kembali terlempar ke masa kini, lamunannya tentang masa-masa mengejar cinta Siang dua tahun silam buyar ketika Ibu Ani keluar dari dapur dan menyuguhkan sepiring besar ayam goreng yang baunya membuat perut Sore terasa begitu lapar.
“Ayam goreng kesukaan Sore. Sengaja Ibu siapin karena kamu mau datang.” Ibu Ani tersenyum kemudian kembali ke dapur.
Dengan sigap Siang menyendokkan nasi ke dalam piring dan meletakkan sepotong ayam goreng diatasnya. Piring itu kemudian ia taruh tepat di depan Sore yang nampak sudah tak sabar ingin melahap makanan favoritnya. “Selamat makan, Sayang.” Siang tersenyum sembari menontoni Sore menyendokkan suap demi suap dengan begitu cepat.
“Besok kita jadi fitting baju ke Ibukota?” tanya Sore kemudian.
“Iya. Penjahitnya sudah telepon aku terus. Minta cepet-cepet dicobain, takut ada yang ga pas katanya.”
“Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pas kalau kamu pakai. Semuanya tampak cantik.”
Siang tertawa sembari mencubiti lengan Sore dengan gemas. Lelaki itu selalu mampu membuatnya bahagia hingga hal-hal terkecil dalam hidupnya.

♥♥♥♥♥

Setelah sekian lama terbiasa melakukan apa-apa sendirian, Malam tampak begitu gugup sekaligus tak bisa percaya bahwa di kepulangannya kali ini ke Ibukota Provinsi, ada seseorang yang menunggunya, bahkan dari jauh-jauh hari sudah menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara. Malam menghentikan langkahnya ketika pintu kedatangan tampak diujung mata, ia mengatur nafasnya yang mulai berantakan, udara-udara yang masuk pun rasanya nyaris tercecer hingga masuk ke gendang telinga, Malam sudah lama sekali tak merasakan tubuhnya sericuh ini.
Nafas Malam semakin tercekat ketika menangkap sosok lelaki itu tepat di sepasang retinanya. Ia berdiri disana, diantara tiang-tiang penyangga bangunan bandara yang kokoh. Ia tersenyum, sama manisnya dengan warna ungu pastel kemeja flanel yang ia kenakan. Kacamata yang bertengger manis diwajah itu, tetap tak mampu membuat Malam lolos dari pancaran aura yang begitu dahsyat.
“Hai, Gi.” Malam berdiri tepat di depan lelaki itu, membalas senyumnya dengan canggung, kemudian sibuk mengelus-elus tengkuknya sendiri, menghilangkan gugup.
“Hai, udah makan?” begitu banyak kalimat di kepala Pagi, namun justru kalimat basa-basi paling sederhana itu yang meluncur keluar.
Malam menggeleng, angin sepoi senja meniup rambut ikalnya hingga sedikit berantakan. “Belum.”
“Makan dulu yuk.”
“Oke.”
Malam mengangguk tanpa bisa menolak. Jantungnya terasa memompa darah dengan lebih cepat. Terlebih ketika Pagi tanpa sungkan membantunya membawa koper dan membukakan pintu mobil bak Malam seorang putri yang harus ia layani.
Malam duduk di kursi samping kemudi dengan bibir terkatup rapat, sibuk membenahi isi kepalanya yang mulai mendenyutkan rasa luar biasa. Sementara itu Pagi, duduk dibalik kemudi dengan hati setengah tak percaya, bahwasanya perempuan yang ia idamkan, kini hanya berjarak tiga jengkal disebelahnya, dan perempuan itu tak menolak ia ajak makan malam bersama.


bersambung...