Jumat, 01 Februari 2019

Kaldera (4th Summit)


4th Summit

Bertahun-tahun lamanya sejak memutuskan untuk merakit mimpinya seorang diri dan tak membiarkan seseorang pun masuk ke dalam hatinya, Malam sendiri sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ia dengan mudah mengiyakan ajakan makan malam dari seorang lelaki yang baru ia kenal seminggu lalu ini. Malam pun sampai bingung, mengapa segala tentang Pagi tak mampu membuat hatinya menolak. Seluruh tubuhnya bahkan terasa bersinergi dengan apapun yang hendak ia lakukan dengan Pagi. Malam selalu dengan semangat membalas apapun pesan yang Pagi kirimkan, sama semangatnya juga mengangkat setiap panggilan telepon yang Pagi buat, terlebih ketika Pagi menjanjikan sebuah pertemuan, entah kenapa Malam begitu tak sabar ingin melompati waktu demi segera tiba di hari itu. Ini hal aneh, teramat aneh, terlebih sudah bertahun lamanya Malam membiarkan hatinya beku, selepas kejadian patah hati akibat orang ketiga oleh mantan kekasihnya terdahulu. Bagai kekuatan magis yang mengandung mantra super ampuh, kehadiran Pagi adalah sesuatu yang menyihir hidup Malam yang monoton menjadi kembali berwarna.
Malam mengamati buku menu di hadapannya dengan bingung, masih sibuk menata pikirannya sendiri. Ia mendongak, memerhatikan dalam diam Pagi yang sedang sibuk membaca buku menu yang sama ditangannya. Bagaimana bisa lelaki ini seolah dengan mudah membolak-balikkan semua?
“Nasi goreng kambing, minumnya jus tomat, Mas.” Pagi menyebut menu pesanannya pada pelayan yang berdiri di samping meja, kemudian mengalihkan pandangannya pada Malam demi detik berikutnya mendapati Malam tengah menatapinya dengan tatapan kosong. “Lam? Pesen apa?”
Malam terkesiap, buru-buru membuang pandang ke deretan daftar menu yang tiba-tiba menjadi sulit terbaca untuknya. “Sama aja deh, Mas.” Ia memutuskan untuk pasrah, kepalanya sudah terlalu sulit diajak berkompromi.
Pelayan itu mengangguk kemudian undur diri.
“Gimana launching buku kamu?” Pagi membuka pembicaraan setelah sekian lama mereka hanya berdiam diri, sibuk menata perasaan sendiri-sendiri.
Malam tersenyum kikuk, “lancar.”
“Habis ini ke kota mana lagi?”
“Ke Ibukota Provinsi sebelah. Minggu depan.”
Pagi mengangguk. Hening sesaat.
“Kamu… gimana kerjaannya?” kali ini Malam tak mau berdiam diri.
Pagi tersenyum, memandang Malam tepat di kedua bola matanya. “Lancar juga. Lagi padat-padatnya jam kuliah sih. Maklum, tahun ajaran baru.”
Malam mengangguk, bingung hendak bertanya apa lagi. “Oh iya, kamu memang teman dekatnya Siang?”
“Iya. Sahabat dari SMP. Sahabat dekat. Bahkan kami punya kumpulan tersendiri anggotanya delapan orang.”
“Oh… gitu… sejenis geng gitu ya?”
Pagi terkekeh, “sejenis sih, tapi kami gamau menyebutnya geng.”
“Terus apa dong?”
“Paguyuban. Biar formal.”
Kali ini Malam yang tergelak. Pagi menangkap tawa itu sebagai sesuatu yang membuat jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat.Masih diluar imajinasinya bahwa ia mampu membuat perempuan dihadapannya ini tertawa riang.
“Oh iya, Lam, saya sudah baca buku-buku kamu. Belum semua sih, dari sepuluh baru lima yang saya baca,” Pagi meneguk jus tomatnya yang baru saja datang, “saya suka gaya kamu menulis. Sederhana, mengalir, tidak membuat bingung namun tetap menyenangkan. Jalan cerita buku-kamu juga sangat luar biasa, benar-benar diluar nalar dan tidak tertebak. Wajar jika buku-buku kamu banyak di film-kan.”
Malam tersipu malu. Baginya pujian demi pujian bukan lah hal asing yang kerap telinganya dengar. Namun, kali ini, ketika pujian itu tertutur langsung oleh seorang Ufuk Pagi Himalaya, semua terasa berbeda. Hal itu lebih mirip seperti dentingan dawai harpa ditengah konser musik instrumental, menenangkan.
“Makasih.” Malam hanya mampu membalasnya dengan senyum tipis bercampur pipi bersemu merah jambu.
“Saya jatuh cinta dengan tulisan-tulisan kamu.”
Malam mendongak, menatap Pagi dalam ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Dan sepertinya, saya juga mulai jatuh cinta dengan penulisnya.”

♥♥♥♥♥

“What? Lo nembak Malam?” Siang nyaris tersedak dengan lontong sayur yang sedang ia kunyah. Kota kecil mereka yang dingin memang selalu berhasil membuat lontong sayur hangat menjadi menu idaman saat sarapan pagi.
“Engga… bukan nembak,” Pagi menyeruput teh hangatnya yang baru saja diantar oleh pemilik warung lontong sayur favorit mereka ini. “Gue cuma bilang gue mulai jatuh cinta. That’s the point. Gue jujur ke dia kalau gue lagi mencoba mendekati dia dan ingin belajar mencintai dia. Itu aja sih.”
“Terus apa respon dia?”
“Dia cuma senyum, diem. Sambil malu-malu. Memang sifatnya begitu kali ya.”
Siang menghela nafas panjang, “untung ya, Gi, dia baik. Coba kalau dia tuh cewe-cewe sok high class kaya mantan-mantan lo dulu. Udah ilfeel duluan kali. Baru seminggu kenal udah berani bilang cinta-cinta segala.”
“Nah! Itu dia bedanya Malam dengan perempuan lain, Ang. Gue bisa ngerasain. Makanya gue suka.”
Siang melahap sepotong lontong terakhirnya dengan pelan, “terus sekarang apa rencana lo selanjutnya?”
“Gue mau ngelakuin pendekatan ke dia dulu sebulan kedepan. Setelah itu, gue langsung mau menyatakan perasaan gue secara gamblang. Tapi… gue gamau ngajak dia pacaran.”
Alis Siang naik beberapa senti, “terus?”
“Gue mau ajak dia nikah.”
Kali ini Siang nyaris tersedak dengan air putih yang sedang ia teguk. Matanya membelalak, menatap Pagi dengan sorot tak percaya. “Lo gila ya? Kalian itu baru kenal. Main ajak anak orang nikah aja lo.”
“Ang, tunggu apa lagi? Kapan lagi gue ketemu perempuan sebaik dan sehebat Malam? Nanti keburu dia diambil orang.”
Siang geleng-geleng kepala. “Oke… oke… terserah lo. Tapi yang jelas lo harus pikir semuanya baik-baik dan matang-matang. Seengganya kasih waktu buat lo dan Malam saling mengenal dulu sebelum menikah.”
“Kalo itu mah pasti, Ang. Target gue sih enam bulan kedepan nikahnya. Dan selama itu gue bakal berproses dulu dengan Malam. Saling mengenal satu sama lain dan antar keluarga.”
“That’s right. Itu baru masuk akal.”
Pagi mengangguk. “Doain ya, niat baik sahabat lo ini lancar sampai tujuan.”
“Yaps. Dan semoga ga ada penghalang.”

♥♥♥♥♥

Sepagi ini di kantor Gravitama, Malam sudah sibuk dengan ribuan lembar halaman buku yang harus ia tandatangani. Tangannya terasa nyaris mau patah, namun semangatnya terus membara. Bagi seorang penulis, tak ada yang lebih bahagia ketimbang mengetahui bukunya begitu disukai oleh khalayak ramai dan laris manis di pasaran.
“Mbak Malam, yang semangat.” Edi, salah satu office boy senior di Gravitama, tiba-tiba datang, dan menyuguhkan secangkir lemon tea segar ke hadapan Malam.
Malam mendongak lalu melempar senyum, “wah Pak Edi nih tau aja apa yang saya butuh,” Malam cengegesan, meneguk lemon tea itu hingga tersisa setengah, “makasih ya, Pak. Ntar Pak Edi makan siang aja di kantin bawah, makan apa aja yang Bapak mau, biar saya yang bayarin.” Malam kembali mengambil pena lalu berkutat dengan lembaran bukunya lagi
Pak Edi mengerjap bahagia sekaligus memulas senyum sumringah di wajahnya. Malam memang tak selalu ada di kantor sebab agenda peluncuran buku dari kota ke kota yang selalu padat. Namun sekali saja ia hadir di tengah-tengah Gravitama, maka aroma kebahagiaan seolah selalu menyeruak dimana-mana. Gadis itu terlalu baik hati pada siapapun. Dan semua orang di Gravitama sangat menyadari hal itu.
“Nggih, Mbak Malam. Makasih ya, Mbak. Kalau ada perlu apa-apa telepon lagi aja ke pantry, Mbak.”
Malam mengangguk, disusul dengan Edi yang pamit keluar ruangan. Namun sedetik kemudian pintu kembali terbuka dan memunculkan tubuh Mada darisana.
“Lam, ntar sore rapat ya.” Tanpa permisi Mada mengambil posisi duduk di depan Malam.
Malam tak berkutik sedikitpun, matanya masih fokus menandatangani lembar demi lembar halaman buku yang tak habis-habis. “Rapat tentang?”
“Peluncuran buku lo minggu depan.” Mada menarik nafas panjang, asisten manajer Gravitama itu memang selalu tampak berhasil menenangkan diri tak perduli sebanyak apapun pekerjaan yang tengah ia hadapi. “Jadi gini, Lam, gue ga berhasil nemuin EO yang bagus di kota yang akan kita kunjungi minggu depan.Gue juga gamau kalo pake EO yang ga high rate. Jadi mau gamau ga ada pilihan lain. Gue terpaksa boyong Saruanta kesana.”
Malam mendongak, alisnya naik beberapa senti. “Jadi, kita nanti sore rapat dengan Saruanta?”
Mada mengangguk, tatapan matanya meyakinkan Malam yang tampak bingung.
Malam bergidik kemudian mengangguk dengan perasaan acak. Ia membayangkan wajah Siang sekaligus wajah Pagi secara bergantian. Hatinya berdenyut lebih cepat seketika.

♥♥♥♥♥

Malam begitu bersyukur sebab rapat sore itu tak dihadiri oleh Siang yang berhalangan hadir sebab sedang mengurus acara lain di kota kecil tempat Saruanta berasal. Namun menurut pesan yang disampaikan oleh asistennya saat rapat tadi, Siang memastikan diri dapat ikut di peluncuran buku di ibukota provinsi tetangga minggu depan, langsung mengepalai anak-anak buahnya.
Malam tak habis pikir dan tak dapat membayangkan harus bersikap bagaimana jika dirinya dihadapkan dengan Siang. Malam terlalu takut salah tingkah, dan membuat Siang mengadukan tingkah-tingkah anehnya ke Pagi. Hey who knows? Bagaimanapun Pagi adalah teman dekat Siang.
Malam sedang menuruni anak tangga lantai dua tepat ketika ponselnya berbunyi dan memunculkan nama Pagi disana.
“Halo.”
“Halo, Lam. Masih di kantor?”
“Ini mau pulang, baru selesai rapat. Kenapa, Gi?”
“Tunggu sebentar, aku jemput kamu ya, kita makan malam diluar.”
“Ohhh... oke...” seperti biasa, layaknya sihir, apapun ajakan pergi Pagi, tak pernah kuasa Malam tolak. Malam bahkan berani bertaruh, jika Pagi mengajaknya ikut berperang di perbatasan negara, dirinya akan dengan mudah mengiyakan juga. Pagi memang terlalu magis dengan segala hal yang ada dalam dirinya.
“Oke, tunggu di lobby ya.”
Telepon itu mati. Malam dengan langkah lebih riang dan cepat menuruni anak tangga tanpa babibu. Selain cairnya royalti buku, pertemuan dengan Pagi adalah halyang paling dinanti-nantinya di setiap hari saat ini.

♥♥♥♥♥

“Lam?”
“Ya?” Malam mendongak dan menemukan sepasang mata Pagi tengah menatapnya dengan lurus tanpa berkedip. Teduhnya tetap menjadi jawara, tak surut ditengah kebisingan pengamen di tempat makan pecel lele kaki lima ini.
Udara malam yang dingin, tampaknya membuat hampir seluruh isi kota menjadi lapar sehingga semua tempat makan penuh. Malam dan Pagi sampai harus berbagi meja dengan sepasang lain yang duduk di sebelah mereka.
Namun tak masalah, bagai ada sekat tak terlihat yang dibangun oleh dirinya sendiri, bagi Pagi, Malam tetap satu-satunya daya tarik di tempat ini. Tak dihiraukannya orang-orang yang sibuk hilir mudik silih berganti.
“Gapapa.” Pagi tersenyum membuat pipinya tampak bertumpuk menghimpit bingkai kacamata yang ia kenakan.
Malam ikut tersenyum, segala tentang Pagi memang selalu berhasil membuatnya begitu, hatinya menghangat dan seluruh lelah luluh lantah seketika setiap kali Pagi ada di dekatnya, “kenapa? Mau bicara?”
“Engga. Mau manggil nama kamu aja. Aku suka.”
Malam terkekeh, mencubiti lengan Pagi dengan gemas. “Gausah gombal.” Malam menyeruput es tehnya yang baru datang dengan cepat, mencoba menutupi tingkahnya yang jadi serba salah.
“Lam, apa warna favorit kamu?”
“Tebak!”
“Biru?”
“Kok tau?”
“Nebaknya pakai hati.”
Malam terbahak, kali ini ia membenamkan rasa malunya dengan terus menyuapi mulutnya dengan pecel lele hangat yang ada di depan mata. Mengalihkan canggung yang tiada tara. “Kalau kamu suka warna apa, Gi?”
“Tebak!”
“Mmmm…” Malam memutar bola matanya mencermati wajah Pagi baik-baik, “abu-abu?”
“Kok tau?” alis Pagi naik sebelah.
“Nebaknya pakai es teh.” Malam menyeruput es tehnya sembari mengulum senyum. Kali ini Pagi yang terbahak.
“Kalau manusia favorit kamu siapa?” Pagi bertanya lagi.
Malam menghentikan suapannya kemudian menatap Pagi dengan bingung, “maksudnya?”
“Manusia yang segala tentang dia kamu suka.”
“Aneh banget nanyanya.”
“Jawab dong.”
“Mmmm… siapa ya….” Malam mencubiti daging lele di depannya sembari berpikir. “Ibu aku mungkin.” Malam mendongak, menatap mata Pagi yang sedari tadi tidak lepas menatapnya, “kalau kamu?”
“Kamu.” Sepersekian detik tanpa berpikir panjang Pagi meluncurkan jawaban itu dengan begitu ringan, membuat Malam nyaris tersedak nasi yang sedang ia kunyah.
Malam terdiam, menunduk, menyembunyikan rona merah jambu yang menyemu hebat di kedua pipinya tak tahu hendak menanggapi ucapan Pagi barusan dengan bersikap bagaimana.
Pagi ikut terdiam, meredakan debar di dadanya yang pasang surut. Ia menarik nafas. Mengambil ancang-ancang untuk mengucapkan kalimat yang sedari tadi ia simpan, “Lam, kamu mau ga jadi manusia favoritku selamanya?”

♥♥♥♥♥

Ibukota Provinsi tetangga itu memang selalu tampak sunyi. Penduduknya yang tak terlalu banyak ditambah dengan pusat-pusat keramaian yang juga tak terlalu menjamur membuat orang-orang memilih untuk diam dirumah saja ketika hari libur tiba. Semua penduduknya memiliki siklus aktifitas yang sama; keluar rumah hanya untuk bekerja atau berbelanja, kemudian kembali pulang kerumah masing-masing. Namun satu hal yang selalu menjadi daya tarik tersendiri dari kota itu; monumen tinggi berbentuk cerobong berukir batik menjulang gagah di pusat kota, yang selalu berhasil membuat jatuh hati bagi siapapun yang memandang untuk pertama kali. Dan disinilah, saat ini Malam terduduk, melamun, memandangi monumen itu dari kursi-kursi besi yang ada di sekitar tamannya degan pikiran campur aduk. Matanya menatap kosong pada keramaian beberapa meter di depannya yang tampak begitu sibuk menyusun panggung hingga dekorasi backdrop dengan warna pink pastel. Malam berani bersumpah, ia tak pernah se-tak antusias ini dalam acara peluncuran bukunya.
“Lam?”
Malam terkesiap ketika seseorang menyentuh pundaknya dengan pelan.
“Yaelah, Da. Ngagetin aja,” gerutu Malam yang disambut dengan cengegesan Mada.
“Ngelamun aja sih. Eh itu si Siang mau ketemu lo. Lo kan belum technical meeting sama dia. Dia baru sampe tuh.”
Malam nyaris terjatuh dari tempat duduknya. Belum usai segala kegaduhan isi kepalanya tentang Pagi, dan kali ini harus ditambah dengan pertemuan dengan Siang yang tak menutup kemungkinan menyeret-nyeret pembahasan tentang Pagi disela-sela obrolan mereka. Malam memijiti kepalanya yang terasa sakit sekali.
“Gue panggilin ya, wait.”
Tanpa permisi Mada beranjak. Malam mengikuti gerakan lelaki itu dengan ekor matanya. Mada benar-benar mendatangi kerumunan di tengah panggung yang sedang dibangun itu kemudian menghampiri seorang wanita berambut pendek yang wajahnya sudah mulai Malam hapal diluar kepala.
Malam menarik napas, menenangkan dirinya. Siang mulai berjalan mendekat, Malam tak mampu lagi mengelak.
“Hai, Lam. Long time no see ya,” Siang melempar senyum sembari mengambil posisi bangku kosong tepat di sebelah kanan Malam.
Malam hanya mampu tersenyum kaku, bayangan Pagi mendadak terlintas di benaknya, membuat bulu kuduknya meremang.
“Hai.”
“Sebelumnya saya minta maaf, Lam, karena baru bisa menemui kamu sekarang. Banyak pekerjaan lain yang kemarin saya kerjakan,” Siang membenarkan rambutnya yang tampak tertiup angin, “Jadi gimana, kamu suka sama dekorasi panggungnya? Rencananya sih saya juga mau menambahkan sedikit ornamen patung kuda ukuran sedang di sebelah kiri panggung, sebagai simbol dari provinsi ini.”
Malam mengangguk, enggan membantah apapun, “lakukan saja yang terbaik menurut kamu, Ang. Saya percaya.”
Siang tersenyum kemudian manggut-manggut.
Malam membuang pandangnya, sambil berdoa dalam hati semoga Siang lekas beranjak pergi dan tidak membuka pembahasan lain selain acara peluncuran buku hari ini.
“Lam, kamu baik-baik saja? Apa kamu lagi kurang enak badan?” Siang menggerogoti wajah Malam dengan tatapan menyelidik. Gadis itu tampak sedang menahan sesuatu yang bergejolak di kepalanya, membuat wajahnya murung nyaris tanpa ekspresi apa-apa.
Malam tersenyum kaku, sekali lagi. Ada buncahan yang menggebu di dadanya, menuntut segala sesuatu kata-kata yang tertahan itu dimuntahkan saja. Namun di sisi lain, Malam malu dan takut, ia belum sepenuhnya percaya Siang mampu menjadi pendengar yang baik. Namun sepersekian detik kemudian, buncahan di dada Malam semakin bergemuruh nyaris membuat dadanya pecah dan tulang rusuknya patah.
“Ang, apa Pagi itu memang begitu?”
Mendengar nama Pagi disebut, Siang kontan menatap mata Malam dengan lurus, dahinya berkerut hingga sangat kusut. “Begitu bagaimana maksudnya, Lam?”
Malam menarik nafas panjang mencoba mengatur kalimatnya dengan hati-hati, “ya begitu, mudah jatuh cinta.”
“Memangnya Pagi bilang apa, Lam, ke kamu? Dia menyatakan cinta?”
Malam mengangguk, perasaannya mulai tenang, buncahan di dadanya mulai surut, mengalir dengan pelan mengikuti setiap petak kalimat yang ia ucapkan pada Malam, “iya, dan saya... saya pikir itu terlalu cepat.”
Siang membenarkan posisi duduknya, lalu menyentuh pundak Malam dengan lembut, “Lam, saya tiga belas tahun kenal Pagi. Dari kelas satu SMP sampai setua ini,” Siang menatap kedua bola mata Malam dengan dalam. “Pagi itu tipikal laki-laki yang sangat pendiam, ga banyak bicara dan ga neko-neko. Dan dia itu hampir ga pernah jatuh cinta dan dekat dengan perempuan. Dia hanya punya satu mantan pacar waktu SMA. Itu pun kami teman-temannya ini yang menjodohkan, karena Pagi ga pernah bisa mendekati perempuan, dia itu terlalu dingin dan kaku kaya es batu.”
Malam menahan napasnya mendengar cerita Siang, otaknya mencerna dengan baik setiap kalimat itu.
“Makanya, saya kaget banget waktu tau-tau dia bilang dia mau kenalan sama kamu, sampe datengin kamu ke acara peluncuran buku,” Malam tersenyum kecil dengan geli mengingat kejadian itu, “saya gapernah liat Pagi tiba-tiba jadi berani begitu. Saya juga gapernah liat Pagi mikirin perempuan, biasanya dia cuma mikirin buku-buku matematikanya yang setebal bantal.” Siang terkekeh, Malam ikut mengulum senyum. “Saya berani bersumpah, Lam, kamu perempuan pertama yang diperlakukan dengan Pagi seperti ini.”
Malam tercenung, pikirannya kembali melayang ke kejadian di tenda pecel lele tiga hari lalu itu.
“Jadi, saya mewakili Pagi, sebagai teman baiknya mohon maaf ke kamu kalau misalnya Pagi belum terlalu memperlakukan kamu dengan baik dan... ga romantis. Saya berani bertaruh Pagi ga ada romantis-romantisnya.” Siang terkekeh sekali lagi.
“Iya, memang,” Malam mengangguk sambil tersenyum geli, “kemarin aja... dia nyatain cinta di warung pecel lele kaki lima. Bukan di candle light dinner kaya di film-film.”
Mata siang kontan membelalak kemudian terbahak-bahak, “serius, Lam? Tuh kan! Pagi tuh  belum tau bagaimana cara yang baik dan benar memperlakukan perempuan dengan romantis. Harap maklum ya, Lam, dia pacaran aja baru sekali. Itu pun putusnya ya itu... karena mantannya dulu bilang Pagi gada romantis-romantisnya.”
“Hahahahaha, serius?”
“Iya, serius. Masa dulu kata mantannya, si Pagi tuh pernah ngasih bunga kamboja ke dia. Mungkin niatnya mau romantis tapi Pagi belum tahu bunga apa yang harus dibeli untuk perempuan,” Siang kembali terbahak hingga air mata muncul di sudut matanya, “kamu bayangin ga jadi mantannya? Dikasih bunga kamboja loh. Memangnya mantannya sudah meninggal?”
Malam terbahak, membayangkan kejadian itu sembari mengingat wajah Pagi yang tampak lugu dengan kacamata kotak cirikhasnya.
“Yah... jadi begitu lah, Lam. Pagi memang bodoh dan ga romantis soal memperlakukan perempuan, tapi saya yakin, dia bisa menyayangi dan mencintai kamu lebih dari siapapun di dunia ini.”
Malam kembali tercenung, kali ini ia tak berani menatap Siang, ia buang pandangnya jauh-jauh kedepan.
“Soal terlalu cepat atau apa, ya mungkin Pagi hanya berniat baik ingin sesegera mungkin bisa memiliki kamu dan bisa menjaga kamu dengan seluruh jiwa raganya tanpa ada batasan, Lam. Saya pastikan ke kamu, Pagi ga pernah punya niat buruk atau apapun itu. Dia mencintai kamu dengan tulus, hanya itu.”
Malam menarik napas panjang, memejamkan matanya, mencoba memuat dirinya setenang mungkin.
“Kamu pikirkan saja dulu baik-baik, semua memang butuh waktu. Keputusan tetap ada di tangan kamu, Lam.” Siang tersenyum, menyentuh pundak Malam, menenangkan, “saya balik ke panggung lagi ya, Lam. Mau mengawasi yang mendekor. Kamu istirahat dulu kalau pikirannya masih belum enak.”
Malam mengangguk, tersenyum simpul.
Siang beranjak, kembali ke tengah kerumunan yang sedang sibuk mempersiapkan acara peluncuran buku esok siang itu. Malam terdiam, masih duduk di tempat yang sama, tak bergerak barang sedikit saja, pikirannya yang buyar, perlahan mulai menemui titik terang.

♥♥♥♥♥

Cuaca diluar sekali lagi tampak mendung sore ini. Dengan gerakan cepat Pagi mengemas barang-barangnya kemudian pergi meninggalkan gedung dosen, ia selalu benci mengendarai mobil di tengah hujan deras, maka pulang lebih cepat adalah satu-satunya pilihan.
Mobil yang Pagi kendarai baru saja keluar dari area kampus ketika ponselnya berbunyi dan memunculkan nama Malam disana. Pagi terkejut kemudian buru-buru menepikan mobilnya. Sejak kejadian pernyataan cinta empat hari lalu itu, Malam memilih mendiamkan Pagi, Pagi pun tak ingin mengusik, ia tahu Malam butuh waktu.
“Halo?”
“Halo, Gi. Lagi sibuk?”
Pagi menarik nafas, mendengar suara Malam, mampu membuat jantungnya berdebar dengan kencang. “Engga, ada apa, Lam?”
“Besok aku pulang dari provinsi tetangga. Kita ketemu ya, bisa? Aku mau bicara soal kemarin.”
Demi mendengar kalimat itu, Pagi merasakan lututnya menjadi lemas, ia tahu jawaban itu sudah ada di depan mata. Namun ia ingin terdengar baik-baik saja.
“Bisa. Besok aku jemput ya di bandara.”
“Oke. See ya.”
“See ya.”
Telepon itu mati. Pagi kembali mengemudikan mobilnya dengan perasaan kalut setengah mati, memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.



bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar