4th
Summit
Bertahun-tahun lamanya sejak
memutuskan untuk merakit mimpinya seorang diri dan tak membiarkan seseorang pun
masuk ke dalam hatinya, Malam sendiri sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ia
dengan mudah mengiyakan ajakan makan malam dari seorang lelaki yang baru ia
kenal seminggu lalu ini. Malam pun sampai bingung, mengapa segala tentang Pagi
tak mampu membuat hatinya menolak. Seluruh tubuhnya bahkan terasa bersinergi
dengan apapun yang hendak ia lakukan dengan Pagi. Malam selalu dengan semangat
membalas apapun pesan yang Pagi kirimkan, sama semangatnya juga mengangkat
setiap panggilan telepon yang Pagi buat, terlebih ketika Pagi menjanjikan
sebuah pertemuan, entah kenapa Malam begitu tak sabar ingin melompati waktu
demi segera tiba di hari itu. Ini hal aneh, teramat aneh, terlebih sudah
bertahun lamanya Malam membiarkan hatinya beku, selepas kejadian patah hati
akibat orang ketiga oleh mantan kekasihnya terdahulu. Bagai kekuatan magis yang
mengandung mantra super ampuh, kehadiran Pagi adalah sesuatu yang menyihir
hidup Malam yang monoton menjadi kembali berwarna.
Malam mengamati buku menu di
hadapannya dengan bingung, masih sibuk menata pikirannya sendiri. Ia mendongak,
memerhatikan dalam diam Pagi yang sedang sibuk membaca buku menu yang sama
ditangannya. Bagaimana bisa lelaki ini seolah dengan mudah membolak-balikkan
semua?
“Nasi goreng kambing, minumnya jus
tomat, Mas.” Pagi menyebut menu pesanannya pada pelayan yang berdiri di samping
meja, kemudian mengalihkan pandangannya pada Malam demi detik berikutnya
mendapati Malam tengah menatapinya dengan tatapan kosong. “Lam? Pesen apa?”
Malam terkesiap, buru-buru membuang
pandang ke deretan daftar menu yang tiba-tiba menjadi sulit terbaca untuknya. “Sama
aja deh, Mas.” Ia memutuskan untuk pasrah, kepalanya sudah terlalu sulit diajak
berkompromi.
Pelayan itu mengangguk kemudian
undur diri.
“Gimana launching buku kamu?” Pagi
membuka pembicaraan setelah sekian lama mereka hanya berdiam diri, sibuk menata
perasaan sendiri-sendiri.
Malam tersenyum kikuk, “lancar.”
“Habis ini ke kota mana lagi?”
“Ke Ibukota Provinsi sebelah.
Minggu depan.”
Pagi mengangguk. Hening sesaat.
“Kamu… gimana kerjaannya?” kali ini
Malam tak mau berdiam diri.
Pagi tersenyum, memandang Malam
tepat di kedua bola matanya. “Lancar juga. Lagi padat-padatnya jam kuliah sih.
Maklum, tahun ajaran baru.”
Malam mengangguk, bingung hendak
bertanya apa lagi. “Oh iya, kamu memang teman dekatnya Siang?”
“Iya. Sahabat dari SMP. Sahabat
dekat. Bahkan kami punya kumpulan tersendiri anggotanya delapan orang.”
“Oh… gitu… sejenis geng gitu ya?”
Pagi terkekeh, “sejenis sih, tapi
kami gamau menyebutnya geng.”
“Terus apa dong?”
“Paguyuban. Biar formal.”
Kali ini Malam yang tergelak. Pagi
menangkap tawa itu sebagai sesuatu yang membuat jantungnya berdegup tiga kali
lebih cepat.Masih diluar imajinasinya bahwa ia mampu membuat perempuan
dihadapannya ini tertawa riang.
“Oh iya, Lam, saya sudah baca
buku-buku kamu. Belum semua sih, dari sepuluh baru lima yang saya baca,” Pagi
meneguk jus tomatnya yang baru saja datang, “saya suka gaya kamu menulis.
Sederhana, mengalir, tidak membuat bingung namun tetap menyenangkan. Jalan
cerita buku-kamu juga sangat luar biasa, benar-benar diluar nalar dan tidak
tertebak. Wajar jika buku-buku kamu banyak di film-kan.”
Malam tersipu malu. Baginya pujian
demi pujian bukan lah hal asing yang kerap telinganya dengar. Namun, kali ini,
ketika pujian itu tertutur langsung oleh seorang Ufuk Pagi Himalaya, semua
terasa berbeda. Hal itu lebih mirip seperti dentingan dawai harpa ditengah
konser musik instrumental, menenangkan.
“Makasih.” Malam hanya mampu
membalasnya dengan senyum tipis bercampur pipi bersemu merah jambu.
“Saya jatuh cinta dengan
tulisan-tulisan kamu.”
Malam mendongak, menatap Pagi dalam
ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Dan sepertinya, saya juga mulai
jatuh cinta dengan penulisnya.”
♥♥♥♥♥
“What? Lo nembak Malam?” Siang
nyaris tersedak dengan lontong sayur yang sedang ia kunyah. Kota kecil mereka
yang dingin memang selalu berhasil membuat lontong sayur hangat menjadi menu
idaman saat sarapan pagi.
“Engga… bukan nembak,” Pagi
menyeruput teh hangatnya yang baru saja diantar oleh pemilik warung lontong
sayur favorit mereka ini. “Gue cuma bilang gue mulai jatuh cinta. That’s the
point. Gue jujur ke dia kalau gue lagi mencoba mendekati dia dan ingin belajar
mencintai dia. Itu aja sih.”
“Terus apa respon dia?”
“Dia cuma senyum, diem. Sambil
malu-malu. Memang sifatnya begitu kali ya.”
Siang menghela nafas panjang,
“untung ya, Gi, dia baik. Coba kalau dia tuh cewe-cewe sok high class kaya
mantan-mantan lo dulu. Udah ilfeel duluan kali. Baru seminggu kenal udah berani
bilang cinta-cinta segala.”
“Nah! Itu dia bedanya Malam dengan
perempuan lain, Ang. Gue bisa ngerasain. Makanya gue suka.”
Siang melahap sepotong lontong
terakhirnya dengan pelan, “terus sekarang apa rencana lo selanjutnya?”
“Gue mau ngelakuin pendekatan ke dia dulu sebulan kedepan. Setelah itu, gue langsung mau menyatakan perasaan gue secara gamblang. Tapi… gue gamau ngajak dia pacaran.”
“Gue mau ngelakuin pendekatan ke dia dulu sebulan kedepan. Setelah itu, gue langsung mau menyatakan perasaan gue secara gamblang. Tapi… gue gamau ngajak dia pacaran.”
Alis Siang naik beberapa senti,
“terus?”
“Gue mau ajak dia nikah.”
Kali ini Siang nyaris tersedak
dengan air putih yang sedang ia teguk. Matanya membelalak, menatap Pagi dengan
sorot tak percaya. “Lo gila ya? Kalian itu baru kenal. Main ajak anak orang
nikah aja lo.”
“Ang, tunggu apa lagi? Kapan lagi
gue ketemu perempuan sebaik dan sehebat Malam? Nanti keburu dia diambil orang.”
Siang geleng-geleng kepala. “Oke…
oke… terserah lo. Tapi yang jelas lo harus pikir semuanya baik-baik dan
matang-matang. Seengganya kasih waktu buat lo dan Malam saling mengenal dulu
sebelum menikah.”
“Kalo itu mah pasti, Ang. Target
gue sih enam bulan kedepan nikahnya. Dan selama itu gue bakal berproses dulu
dengan Malam. Saling mengenal satu sama lain dan antar keluarga.”
“That’s right. Itu baru masuk
akal.”
Pagi mengangguk. “Doain ya, niat
baik sahabat lo ini lancar sampai tujuan.”
“Yaps. Dan semoga ga ada
penghalang.”
♥♥♥♥♥
Sepagi ini di kantor
Gravitama, Malam sudah sibuk dengan ribuan lembar halaman buku yang harus ia
tandatangani. Tangannya terasa nyaris mau patah, namun semangatnya terus
membara. Bagi seorang penulis, tak ada yang lebih bahagia ketimbang mengetahui
bukunya begitu disukai oleh khalayak ramai dan laris manis di pasaran.
“Mbak Malam, yang
semangat.” Edi, salah satu office boy senior di Gravitama, tiba-tiba datang,
dan menyuguhkan secangkir lemon tea segar ke hadapan Malam.
Malam mendongak
lalu melempar senyum, “wah Pak Edi nih tau aja apa yang saya butuh,” Malam
cengegesan, meneguk lemon tea itu hingga tersisa setengah, “makasih ya, Pak.
Ntar Pak Edi makan siang aja di kantin bawah, makan apa aja yang Bapak mau,
biar saya yang bayarin.” Malam kembali mengambil pena lalu berkutat dengan
lembaran bukunya lagi
Pak Edi mengerjap
bahagia sekaligus memulas senyum sumringah di wajahnya. Malam memang tak selalu
ada di kantor sebab agenda peluncuran buku dari kota ke kota yang selalu padat.
Namun sekali saja ia hadir di tengah-tengah Gravitama, maka aroma kebahagiaan
seolah selalu menyeruak dimana-mana. Gadis itu terlalu baik hati pada siapapun.
Dan semua orang di Gravitama sangat menyadari hal itu.
“Nggih, Mbak Malam.
Makasih ya, Mbak. Kalau ada perlu apa-apa telepon lagi aja ke pantry, Mbak.”
Malam mengangguk,
disusul dengan Edi yang pamit keluar ruangan. Namun sedetik kemudian pintu kembali
terbuka dan memunculkan tubuh Mada darisana.
“Lam, ntar sore
rapat ya.” Tanpa permisi Mada mengambil posisi duduk di depan Malam.
Malam tak berkutik
sedikitpun, matanya masih fokus menandatangani lembar demi lembar halaman buku
yang tak habis-habis. “Rapat tentang?”
“Peluncuran buku lo
minggu depan.” Mada menarik nafas panjang, asisten manajer Gravitama itu memang
selalu tampak berhasil menenangkan diri tak perduli sebanyak apapun pekerjaan
yang tengah ia hadapi. “Jadi gini, Lam, gue ga berhasil nemuin EO yang bagus di
kota yang akan kita kunjungi minggu depan.Gue juga gamau kalo pake EO yang ga
high rate. Jadi mau gamau ga ada pilihan lain. Gue terpaksa boyong Saruanta
kesana.”
Malam mendongak,
alisnya naik beberapa senti. “Jadi, kita nanti sore rapat dengan Saruanta?”
Mada mengangguk,
tatapan matanya meyakinkan Malam yang tampak bingung.
Malam bergidik
kemudian mengangguk dengan perasaan acak. Ia membayangkan wajah Siang sekaligus
wajah Pagi secara bergantian. Hatinya berdenyut lebih cepat seketika.
♥♥♥♥♥
Malam begitu
bersyukur sebab rapat sore itu tak dihadiri oleh Siang yang berhalangan hadir
sebab sedang mengurus acara lain di kota kecil tempat Saruanta berasal. Namun
menurut pesan yang disampaikan oleh asistennya saat rapat tadi, Siang
memastikan diri dapat ikut di peluncuran buku di ibukota provinsi tetangga
minggu depan, langsung mengepalai anak-anak buahnya.
Malam tak habis
pikir dan tak dapat membayangkan harus bersikap bagaimana jika dirinya
dihadapkan dengan Siang. Malam terlalu takut salah tingkah, dan membuat Siang
mengadukan tingkah-tingkah anehnya ke Pagi. Hey who knows? Bagaimanapun Pagi
adalah teman dekat Siang.
Malam sedang
menuruni anak tangga lantai dua tepat ketika ponselnya berbunyi dan memunculkan
nama Pagi disana.
“Halo.”
“Halo, Lam. Masih
di kantor?”
“Ini mau pulang,
baru selesai rapat. Kenapa, Gi?”
“Tunggu sebentar,
aku jemput kamu ya, kita makan malam diluar.”
“Ohhh... oke...”
seperti biasa, layaknya sihir, apapun ajakan pergi Pagi, tak pernah kuasa Malam
tolak. Malam bahkan berani bertaruh, jika Pagi mengajaknya ikut berperang di
perbatasan negara, dirinya akan dengan mudah mengiyakan juga. Pagi memang
terlalu magis dengan segala hal yang ada dalam dirinya.
“Oke, tunggu di
lobby ya.”
Telepon itu mati.
Malam dengan langkah lebih riang dan cepat menuruni anak tangga tanpa babibu.
Selain cairnya royalti buku, pertemuan dengan Pagi adalah halyang paling dinanti-nantinya
di setiap hari saat ini.
♥♥♥♥♥
“Lam?”
“Ya?” Malam mendongak dan menemukan
sepasang mata Pagi tengah menatapnya dengan lurus tanpa berkedip. Teduhnya
tetap menjadi jawara, tak surut ditengah kebisingan pengamen di tempat makan
pecel lele kaki lima ini.
Udara malam yang dingin, tampaknya
membuat hampir seluruh isi kota menjadi lapar sehingga semua tempat makan
penuh. Malam dan Pagi sampai harus berbagi meja dengan sepasang lain yang duduk
di sebelah mereka.
Namun tak masalah, bagai ada sekat tak
terlihat yang dibangun oleh dirinya sendiri, bagi Pagi, Malam tetap
satu-satunya daya tarik di tempat ini. Tak dihiraukannya orang-orang yang sibuk
hilir mudik silih berganti.
“Gapapa.” Pagi tersenyum membuat
pipinya tampak bertumpuk menghimpit bingkai kacamata yang ia kenakan.
Malam ikut tersenyum, segala
tentang Pagi memang selalu berhasil membuatnya begitu, hatinya menghangat dan
seluruh lelah luluh lantah seketika setiap kali Pagi ada di dekatnya, “kenapa?
Mau bicara?”
“Engga. Mau manggil nama kamu aja.
Aku suka.”
Malam terkekeh, mencubiti lengan
Pagi dengan gemas. “Gausah gombal.” Malam menyeruput es tehnya yang baru datang
dengan cepat, mencoba menutupi tingkahnya yang jadi serba salah.
“Lam, apa warna favorit kamu?”
“Tebak!”
“Biru?”
“Kok tau?”
“Nebaknya pakai hati.”
Malam terbahak, kali ini ia membenamkan
rasa malunya dengan terus menyuapi mulutnya dengan pecel lele hangat yang ada
di depan mata. Mengalihkan canggung yang tiada tara. “Kalau kamu suka warna
apa, Gi?”
“Tebak!”
“Mmmm…” Malam memutar bola matanya
mencermati wajah Pagi baik-baik, “abu-abu?”
“Kok tau?” alis Pagi naik sebelah.
“Nebaknya pakai es teh.” Malam
menyeruput es tehnya sembari mengulum senyum. Kali ini Pagi yang terbahak.
“Kalau manusia favorit kamu siapa?”
Pagi bertanya lagi.
Malam menghentikan suapannya
kemudian menatap Pagi dengan bingung, “maksudnya?”
“Manusia yang segala tentang dia
kamu suka.”
“Aneh banget nanyanya.”
“Jawab dong.”
“Mmmm… siapa ya….” Malam mencubiti
daging lele di depannya sembari berpikir. “Ibu aku mungkin.” Malam mendongak,
menatap mata Pagi yang sedari tadi tidak lepas menatapnya, “kalau kamu?”
“Kamu.” Sepersekian detik tanpa
berpikir panjang Pagi meluncurkan jawaban itu dengan begitu ringan, membuat
Malam nyaris tersedak nasi yang sedang ia kunyah.
Malam terdiam, menunduk,
menyembunyikan rona merah jambu yang menyemu hebat di kedua pipinya tak tahu
hendak menanggapi ucapan Pagi barusan dengan bersikap bagaimana.
Pagi ikut terdiam, meredakan debar
di dadanya yang pasang surut. Ia menarik nafas. Mengambil ancang-ancang untuk
mengucapkan kalimat yang sedari tadi ia simpan, “Lam, kamu mau ga jadi manusia
favoritku selamanya?”
♥♥♥♥♥
Ibukota Provinsi tetangga itu
memang selalu tampak sunyi. Penduduknya yang tak terlalu banyak ditambah dengan
pusat-pusat keramaian yang juga tak terlalu
menjamur membuat orang-orang memilih untuk diam dirumah saja ketika hari libur
tiba. Semua penduduknya memiliki siklus aktifitas yang sama; keluar rumah hanya
untuk bekerja atau berbelanja,
kemudian kembali pulang kerumah masing-masing. Namun satu hal yang selalu
menjadi daya tarik tersendiri dari kota itu; monumen tinggi berbentuk cerobong
berukir batik menjulang gagah di pusat kota, yang selalu berhasil membuat jatuh
hati bagi siapapun yang memandang untuk pertama kali. Dan disinilah, saat ini
Malam terduduk, melamun, memandangi monumen itu dari kursi-kursi besi yang ada
di sekitar tamannya degan pikiran campur aduk. Matanya menatap kosong
pada keramaian beberapa meter di depannya yang tampak begitu sibuk menyusun
panggung hingga dekorasi backdrop dengan warna pink pastel. Malam berani
bersumpah, ia tak pernah se-tak antusias ini dalam acara peluncuran bukunya.
“Lam?”
Malam terkesiap ketika seseorang
menyentuh pundaknya dengan pelan.
“Yaelah, Da. Ngagetin aja,” gerutu
Malam yang disambut dengan cengegesan Mada.
“Ngelamun aja sih. Eh itu si Siang
mau ketemu lo. Lo kan belum technical meeting sama dia. Dia baru sampe tuh.”
Malam nyaris terjatuh dari tempat
duduknya. Belum usai segala kegaduhan isi kepalanya tentang Pagi, dan kali ini
harus ditambah dengan pertemuan dengan Siang yang tak menutup kemungkinan
menyeret-nyeret pembahasan tentang Pagi disela-sela obrolan mereka. Malam
memijiti kepalanya yang terasa sakit sekali.
“Gue panggilin ya, wait.”
Tanpa permisi Mada beranjak. Malam
mengikuti gerakan lelaki itu dengan ekor matanya. Mada benar-benar mendatangi
kerumunan di tengah panggung yang sedang dibangun itu kemudian menghampiri
seorang wanita berambut pendek yang wajahnya sudah mulai Malam hapal diluar
kepala.
Malam menarik napas, menenangkan
dirinya. Siang mulai berjalan mendekat, Malam tak mampu lagi mengelak.
“Hai, Lam. Long
time no see ya,” Siang melempar senyum sembari mengambil posisi bangku kosong
tepat di sebelah kanan Malam.
Malam hanya mampu
tersenyum kaku, bayangan Pagi mendadak terlintas di benaknya, membuat bulu
kuduknya meremang.
“Hai.”
“Sebelumnya saya
minta maaf, Lam, karena baru bisa menemui kamu sekarang. Banyak pekerjaan lain
yang kemarin saya kerjakan,” Siang membenarkan rambutnya yang tampak tertiup
angin, “Jadi gimana, kamu suka sama dekorasi panggungnya? Rencananya sih saya
juga mau menambahkan sedikit ornamen patung kuda ukuran sedang di sebelah kiri
panggung, sebagai simbol dari provinsi ini.”
Malam mengangguk,
enggan membantah apapun, “lakukan saja yang terbaik menurut kamu, Ang. Saya
percaya.”
Siang tersenyum
kemudian manggut-manggut.
Malam membuang
pandangnya, sambil berdoa dalam hati semoga Siang lekas beranjak pergi dan
tidak membuka pembahasan lain selain acara peluncuran buku hari ini.
“Lam, kamu
baik-baik saja? Apa kamu lagi kurang enak badan?” Siang menggerogoti wajah
Malam dengan tatapan menyelidik. Gadis itu tampak sedang menahan sesuatu yang
bergejolak di kepalanya, membuat wajahnya murung nyaris tanpa ekspresi apa-apa.
Malam tersenyum
kaku, sekali lagi. Ada buncahan yang menggebu di dadanya, menuntut segala
sesuatu kata-kata yang tertahan itu dimuntahkan saja. Namun di sisi lain, Malam
malu dan takut, ia belum sepenuhnya percaya Siang mampu menjadi pendengar yang
baik. Namun sepersekian detik kemudian, buncahan di dada Malam semakin
bergemuruh nyaris membuat dadanya pecah dan tulang rusuknya patah.
“Ang, apa Pagi itu
memang begitu?”
Mendengar nama Pagi
disebut, Siang kontan menatap mata Malam dengan lurus, dahinya berkerut hingga
sangat kusut. “Begitu bagaimana maksudnya, Lam?”
Malam menarik nafas
panjang mencoba mengatur kalimatnya dengan hati-hati, “ya begitu, mudah jatuh
cinta.”
“Memangnya Pagi
bilang apa, Lam, ke kamu? Dia menyatakan cinta?”
Malam mengangguk,
perasaannya mulai tenang, buncahan di dadanya mulai surut, mengalir dengan
pelan mengikuti setiap petak kalimat yang ia ucapkan pada Malam, “iya, dan
saya... saya pikir itu terlalu cepat.”
Siang membenarkan
posisi duduknya, lalu menyentuh pundak Malam dengan lembut, “Lam, saya tiga
belas tahun kenal Pagi. Dari kelas satu SMP sampai setua ini,” Siang menatap
kedua bola mata Malam dengan dalam. “Pagi itu tipikal laki-laki yang sangat
pendiam, ga banyak bicara dan ga neko-neko. Dan dia itu hampir ga pernah jatuh
cinta dan dekat dengan perempuan. Dia hanya punya satu mantan pacar waktu SMA.
Itu pun kami teman-temannya ini yang menjodohkan, karena Pagi ga pernah bisa
mendekati perempuan, dia itu terlalu dingin dan kaku kaya es batu.”
Malam menahan napasnya
mendengar cerita Siang, otaknya mencerna dengan baik setiap kalimat itu.
“Makanya, saya
kaget banget waktu tau-tau dia bilang dia mau kenalan sama kamu, sampe datengin
kamu ke acara peluncuran buku,” Malam tersenyum kecil dengan geli mengingat
kejadian itu, “saya gapernah liat Pagi tiba-tiba jadi berani begitu. Saya juga
gapernah liat Pagi mikirin perempuan, biasanya dia cuma mikirin buku-buku
matematikanya yang setebal bantal.” Siang terkekeh, Malam ikut mengulum senyum.
“Saya berani bersumpah, Lam, kamu perempuan pertama yang diperlakukan dengan
Pagi seperti ini.”
Malam tercenung,
pikirannya kembali melayang ke kejadian di tenda pecel lele tiga hari lalu itu.
“Jadi, saya
mewakili Pagi, sebagai teman baiknya mohon maaf ke kamu kalau misalnya Pagi
belum terlalu memperlakukan kamu dengan baik dan... ga romantis. Saya berani
bertaruh Pagi ga ada romantis-romantisnya.” Siang terkekeh sekali lagi.
“Iya, memang,”
Malam mengangguk sambil tersenyum geli, “kemarin aja... dia nyatain cinta di
warung pecel lele kaki lima. Bukan di candle light dinner kaya di film-film.”
Mata siang kontan
membelalak kemudian terbahak-bahak, “serius, Lam? Tuh kan! Pagi tuh belum tau bagaimana cara yang baik dan benar
memperlakukan perempuan dengan romantis. Harap maklum ya, Lam, dia pacaran aja
baru sekali. Itu pun putusnya ya itu... karena mantannya dulu bilang Pagi gada
romantis-romantisnya.”
“Hahahahaha,
serius?”
“Iya, serius. Masa
dulu kata mantannya, si Pagi tuh pernah ngasih bunga kamboja ke dia. Mungkin
niatnya mau romantis tapi Pagi belum tahu bunga apa yang harus dibeli untuk
perempuan,” Siang kembali terbahak hingga air mata muncul di sudut matanya,
“kamu bayangin ga jadi mantannya? Dikasih bunga kamboja loh. Memangnya
mantannya sudah meninggal?”
Malam terbahak,
membayangkan kejadian itu sembari mengingat wajah Pagi yang tampak lugu dengan
kacamata kotak cirikhasnya.
“Yah... jadi begitu
lah, Lam. Pagi memang bodoh dan ga romantis soal memperlakukan perempuan, tapi
saya yakin, dia bisa menyayangi dan mencintai kamu lebih dari siapapun di dunia
ini.”
Malam kembali
tercenung, kali ini ia tak berani menatap Siang, ia buang pandangnya jauh-jauh
kedepan.
“Soal terlalu cepat
atau apa, ya mungkin Pagi hanya berniat baik ingin sesegera mungkin bisa
memiliki kamu dan bisa menjaga kamu dengan seluruh jiwa raganya tanpa ada
batasan, Lam. Saya pastikan ke kamu, Pagi ga pernah punya niat buruk atau
apapun itu. Dia mencintai kamu dengan tulus, hanya itu.”
Malam menarik napas
panjang, memejamkan matanya, mencoba memuat dirinya setenang mungkin.
“Kamu pikirkan saja
dulu baik-baik, semua memang butuh waktu. Keputusan tetap ada di tangan kamu,
Lam.” Siang tersenyum, menyentuh pundak Malam, menenangkan, “saya balik ke
panggung lagi ya, Lam. Mau mengawasi yang mendekor. Kamu istirahat dulu kalau
pikirannya masih belum enak.”
Malam mengangguk,
tersenyum simpul.
Siang beranjak,
kembali ke tengah kerumunan yang sedang sibuk mempersiapkan acara peluncuran
buku esok siang itu. Malam terdiam, masih duduk di tempat yang sama, tak
bergerak barang sedikit saja, pikirannya yang buyar, perlahan mulai menemui
titik terang.
♥♥♥♥♥
Cuaca diluar sekali
lagi tampak mendung sore ini. Dengan gerakan cepat Pagi mengemas barang-barangnya
kemudian pergi meninggalkan gedung dosen, ia selalu benci mengendarai mobil di
tengah hujan deras, maka pulang lebih cepat adalah satu-satunya pilihan.
Mobil yang Pagi
kendarai baru saja keluar dari area kampus ketika ponselnya berbunyi dan
memunculkan nama Malam disana. Pagi terkejut kemudian buru-buru menepikan
mobilnya. Sejak kejadian pernyataan cinta empat hari lalu itu, Malam memilih
mendiamkan Pagi, Pagi pun tak ingin mengusik, ia tahu Malam butuh waktu.
“Halo?”
“Halo, Gi. Lagi
sibuk?”
Pagi menarik nafas,
mendengar suara Malam, mampu membuat jantungnya berdebar dengan kencang.
“Engga, ada apa, Lam?”
“Besok aku pulang
dari provinsi tetangga. Kita ketemu ya, bisa? Aku mau bicara soal kemarin.”
Demi mendengar
kalimat itu, Pagi merasakan lututnya menjadi lemas, ia tahu jawaban itu sudah
ada di depan mata. Namun ia ingin terdengar baik-baik saja.
“Bisa. Besok aku
jemput ya di bandara.”
“Oke. See ya.”
“See ya.”
Telepon itu mati.
Pagi kembali mengemudikan mobilnya dengan perasaan kalut setengah mati,
memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar