Eri celingak-celinguk. Kepalanya menoleh
kesana kemari. Ryzky sampai heran sendiri melihatnya. Kalo sedang seperti ini
Eri seperti boneka penghias yang ada di dashboard
mobil.
“Eri!!” Eri menoleh mendengar seseorang
memanggil namanya, dan mendapati Bunda dan Ayah berdiri hanya berjarak beberapa
meter darinya.
“Bunda!!” Eri memekik senang lalu
berlari kearah Ayah dan Bunda sambil menyeret-nyeret Ryzky secara paksa. Ryzky
pasrah.
Bunda dan Ayah saling tukar pandang,
melihat Eri datang dengan seorang cowok asing.
“Yah, suami Eri ya?” bisik Bunda dengan
volume sekecil mungkin.
Ayah mendelik kesal. “Ssshh, ngomong apa
sih Bun? Tapi ya juga ya. Kok Eri nikah gak bilang-bilang kita.”
“Ayaaah! Bundaa!!” Eri menyalami tangan
ayah dan Bundanya secara bergantian.
Namun Eri malah mendapatkan tatapan marah dari Ayah
Bunda.
“Ayah sama Bunda kenapa sih? Kok
ngeliatin Eri-nya kayak gitu?”
Ayah berdeham. “Kenapa kamu nikah gak bilang-bilang sama Ayah?”
Ayah berdeham. “Kenapa kamu nikah gak bilang-bilang sama Ayah?”
Mata Eri membulat takjub, sekarang ia
tahu hal apa yang membuat Ayah Bundanya menjadi seperti ini. Eri mendelik pada Ryzky
lalu menarik tangan Ryzky paksa kehadapan Bunda dan Ayah. “Cowok ini yang Ayah
sama Bunda kira jadi suami aku?” tunjuk Eri kasar tepat didepan mata Ryzky.
Bunda dan Ayah mengangguk bersamaan.
“Iya. Kami sih setuju-setuju aja kamu nikah muda. Mencegah perzinahan gitu loh!
Tapi bilang-bilang dulu kek sama Ayah Bunda. Jangan pulang-pulang udah bawa suami
aja. Oh ya, jangan-jangan sekarang kamu lagi hamil ya Ri? Udah berapa bulan bla
bla bla..,” repet Bunda tak jelas juntrungannya. Hahaha, ada juga ya rupanya,
orang tua yang setuju anaknya nikah muda. Pake bawa-bawa alasan demi mencegah
perzinahan segala lagi, ckck!
Eri berdecak kesal dan memelototi Bunda
dan Ayah. “Enak aja! Siapa yang nikah sama dia?”
“Loh jadi?!” seru Bunda dan Ayah kompak.
“Dia Ryzky Bun, temen aku waktu kecil
dulu. Tetangga kita waktu rumah kita masih di Jakarta. Inget ‘kan?”
Bunda dan Ayah sekali lagi saling
bertukar pandang selama beberapa detik. Lalu akhirnya berkata.., “Oh iya inget.
Yang waktu kecil suka ngompol di halaman rumah kita itu ‘kan Ri? Yang hidungnya
suka ingusan?” ujar Bunda heboh.
Sekilas Eri menatap wajah Ryzky, dan
mendapati wajah Ryzky sudah merah matang karena mendengar ucapan Ayah dan Bunda
barusan. Salah sendiri, siapa suruh waktu kecil suka ngompol dan ingusan?!
“Ki?” Eri menyikut Ryzky. “Jangan
dengerin omongan Bunda sama Ayah. Mereka emang begitu, tukang mengumbar
kejelekan orang nomor wahid didunia. Hehe.” Bisik Eri pada Ryzky dengan
ekspresi garing. Membuat Ryzky langsung sadar dari lamunannya.
“Ngg.. Ngg.. Eh iya Tante. Masih
inget aja. Hehe.” Suara Ryzky terdengar
dipaksakan.
“Kok bisa ketemu Eri, Ki? Janjian ya?”
Tanya Ayah.
Ryzky menggeleng. “Enggak kok Om. Gak
sengaja aja tadi ketemu dikapal.”
“Terus Nak Ryzky ngapain kesini? Liburan
ya?”
“Iya Om, liburan ketempat Tante aku di
Bandarlampung.”
Bunda yang sejak beberapa detik lalu terus
melihat jam tangannya akhirnya mulai bersuara lagi. “Yah, Ri, pulang yuk! Udah
jam 5 sore, kita bisa nyampe di Bandarlampungnya telat.”
Ayah dan Eri manggut-manggut. “Kalo gitu
gue pergi dulu ya Ki. See you in
Bandarlampung.” Eri melambaikan tangannya pada Ryzky lalu masuk kedalam mobil
yang sedari tadi diparkirkan tak jauh dari mereka.
Sementara itu Ryzky masih terpaku garing
ditempatnya menunggu Tante Lina menjemput.
* * * * * * * *
Eri menghempaskan tubuhnya dikasurnya
yang empuk. Benar-benar melelahkan harus membongkar seluruh isi kopernya
satu-persatu sendirian. Eri mengedarkan pandangannya keseluruh sudut kamarnya.
Tak banyak yang berubah sejak 3 bulan lalu terakhir kali ia menempati kamar
ini.
Masih banyak atribut “Vierra”, band
favorit Eri disetiap jengkal kamarnya.
Disamping tempat tidur Eri, ada sebuah lampu
tidur dengan bentuk Vierramon, yang merupakan lambang dari band Vierra itu
sendiri. Didinding sebelah kiri kamarnya, tertempel sebuah poster besar anggota
Vierra, dan disamping persis dari poster itu, terdapat sebuah mading
kecil-kecilan yang terbuat dari stereofoam. Mading itu berisi semua biodata
anggota Vierra dan juga guntingan artikel dari koran ataupun majalah yang
berisi berita-berita ataupun gosip terhangat tentang Vierra.
Drrt
drrt! Eri terkesiap, tiba-tiba
ponselnya bergetar.
Ryzky
Calling…
“Halo?”
“Hai
Ri. Ganggu?” suara Ryzky sangat terdengar grogi.
“Nggak
kok Ki. Ada perlu?”
“Iya.
Gue mau ngasih tahu alamat gue.”
Mata
Eri membulat senang, ia menegakkan tubuhnya. “Dimana alamat lo?”
“Di
Way Halim juga.”
Tuing! Way Halim juga?
Waah kok bisa kebetulan gini sih?!
“Hah?!
Serius? Sebelah mananya lo?”
“Dua
rumah dari masjid Ri.”
“Sumpe
lo? Rumah gue juga deket masjid. Didepan masjidnya malah.”
Eri
berjalan mendekati jendela kamarnya lalu menyibak tirai yang menutupi jendela
itu.
“Yang
bener Ri?”
“Iya,
rumah lo warna apa?” Eri terlihat celingukan memandangi satu-persatu rumah yang
ada disekitar rumahnya melalui jendela kamar.
“Warna
hijau tua. Depannya ada pohon mangga.”
Eri
berlari keluar dari kamarnya menuju keluar gerbang rumahnya. “Coba lo keluar
rumah. Gue ada didepan gerbang rumah gue.” Perintah Eri pada Ryzky ditelepon.
“Iya.
Tunggu.” Terdengar suara kaki Ryzky yang tengah melangkah.
Sementara
itu, Eri sibuk mematuti semua rumah yang ada didekat masjid yang ada didepan
rumahnya.
Rumah
kedua sebelah kanan, warnanya Pink. Bukan!
Rumah
kedua sebelah kiri, hijau tua! Aha! Itu dia!
Tak
lama Ryzky keluar dari rumah hijau tua itu dan melambaikan tangannya pada Eri.
“Eriii!!”
Eri
membalas lambaian tangan Ryzky dengan wajah senang.
Ryzky
berjalan mendekati Eri.
“Masuk
aja yuk! Udah malem gini. Gak enak diliat orang kita berduaan didepan rumah.” Eri menarik Ryzky masuk kerumahnya.
Ryzky
yang sebenarnya enggan akhirnya patuh juga dan duduk diruang tamu Eri saat
mereka telah berada didalam rumah.
“Tunggu
bentar, gue bikinin minum.”
“Eh
Ri gak usah. Gue sebentar aja kok. Cuma mau tahu rumah lo.” Sergah Ryzky cepat.
Eri
berbalik menatap Ryzky kecewa. “Yaaah kok gitu sih Ki? Padahal ‘kan kita udah
lama gak ketemu. Gue pengen cerita-cerita sama lo.”
“Besok
aja ya Ri. Entar kita main bareng deh. Janji!” Ryzky mengacungkan jari
kelingkingnya diudara.
Eri
mengangguk pasrah. “Ya udah deh.”
Ryzky bangkit dari duduknya. “Gue balik ya Ri. Bye!” Ryzky melambaikan tangannya dari ambang pintu lalu perlahan pergi menjauh.
Ryzky bangkit dari duduknya. “Gue balik ya Ri. Bye!” Ryzky melambaikan tangannya dari ambang pintu lalu perlahan pergi menjauh.
“Kok
kayaknya tadi Bunda denger kamu ngomong sama seseorang ya Ri?” tiba-tiba Bunda
nongol diruang tamu.
“Oh
itu Bun, Ryzky.”
“Ryzky?
Ryzky yang tadi ketemu kita di Bakauheni?”
“Iya
Bun.”
“Kok
bisa disini?”
“Rumah dia ‘kan disini juga. Tuh!” Eri menunjuk kerah luar pintu. Mata bunda mengikuti arah yang ditunjuk Eri.
“Rumah dia ‘kan disini juga. Tuh!” Eri menunjuk kerah luar pintu. Mata bunda mengikuti arah yang ditunjuk Eri.
“Yang
mana rumahnya?”
“Itu
tuh yang warna hijau tua ada pohon mangga.”
“Oooh
itu..,” Bunda memegang-megang dagunya seperti orang yang sedang berpikir.
“Penghuni rumah itu ‘kan baru pindah kesini 4 hari yang lalu, kalo gak salah
pindahan dari Kemiling. Jadi itu rumah tantenya?”
“Iya.
Bunda kenal sama Tantenya?” Tanya Eri menyelidik.
“Gak.
Bunda belum kenalan, ‘kan masih tetangga baru. Jadi Tantenya tuh belum banyak
bergaul sama lingkungan sini. Lagian kalo Bunda kenal, dan Bunda tahu dari
kemarin-kemarin dia itu Tantenya Ryzky pasti Bunda bakal ngasih tumpangan Ryzky
dimobil kita waktu di Bakauheni tadi.”
Eri
mengangguk membenarkan perkataan Bunda. “Ya udah deh aku mau istirahat dulu ya
Bun.” Eri menyempatkan diri bercipika-cipiki dengan Bunda sebelum berjalan
menuju kamarnya yang ada dilantai dua.
* * * * * * * *
“Kiii!!
Turun!! Ngapain sih?!” pekik Eri dari bawah pohon mangga yang ada dirumah Tantenya
Ryzky.
“Ya
katanya lo mau mangga. Nih gue ambilin!” jawab Ryzky dengan pekikan yang tak
kalah kencang dari atas pohon mangga.
“Gak
usah! Gue udah gak kepengen sama mangga lagi. Turun gih! Entar lo jatuh.”
Ryzky
duduk disalah satu ranting pohon sambil bertopang dagu. “Lo aja yang naik
kesini.”
“Enak
aja! Gue belom mau mati. Gue balik aja deh!” sungut Eri kesal lalu berbalik
badan dan hendak berjalan menuju pintu gerbang.
Puk! “Adoow!” Eri memegang kepalanya
yang sakit karena tertimpuk sesuatu.
Pada
detik berikutnya Eri mendengar seseorang tertawa terpingkal-pingkal.
“Ryzkyyyyy!!!!!!”
Eri memelototi Ryzky yang asyik menertawakan Eri dengan menggengam sebuah
mangga ditangannya. Lalu Eri mengalihkan pandangannya kebawah, dan menemukan
sebuah mangga yang belum matang ada diujung sandalnya. Kini pandangan Eri
tertuju pada Ryzky lagi. “Elo ‘kan yang nimpuk gue? Kurang kerjaan banget seeh?
Sakit bego. Kalo gue geger otak lo mau apa tanggung jawab?”
Ryzky
makin tergelak mendengar perkataan Eri. “Biar Ayah sama Bunda lo aja yang
tanggung jawab. ‘kan mereka dokter, jadi bisa sekalian ngobatin lo.”
Eri
berkacak pinggang kesal. “Awas lo ya! Gue sumpahin lo jatoh dari pohon mangga!”
Eri membalikkan tubuhnya lagi bersiap pergi, namun..,
“Aduuuh
Ri gue jatoh nih. Aduuh kaki gue sakit.” Erang Ryzky. Eri berbalik cepat
membatalkan niatnya untuk pergi begitu mengetahui Ryzky benar-benar terkena
sumpah-serapahnya. Mata Eri menyapu keadaan disekitar pohon mangga. Namun ia
tak menemukan Ryzky yang jatuh dimanapun.
“Hahahaha.
Hahahaha. Dibohongin mau aja lo!”
Mata
Eri secepat kilat menangkap darimana sumber suara itu berada. Ryzky yang
ternyata masih ada diatas pohon dan masih dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa
kurang sesuatu apapun. (Lebayy!! Serasa sambutan kalo lagi kondangan aja!)
“Iiiihhh
Ryzky. Nyebelin banget sih lo!!!!” Eri menghentak kakinya kesal lalu berbalik
pergi. Kali ini benar-benar pergi untuk pulang menuju rumahnya, tak ada niat
sedikitpun untuk kembali lagi kerumah Tantenya Ryzky setelah Ryzky mengerjainya
tadi.
Saat
Eri berada agak jauh dari rumah Tantenya Ryzky, Eri mendengar suara sesuatu
terjatuh.
Buk gdebuk! Eri
menghentikan langkahnya sesaat, mencoba menelisik bunyi itu.
“Rii!!
Tolongin gue Rii!! Gue jatoh beneran niih!! Aduuh Riii kaki gue sakit!!”
terdengar suara Ryzky memanggil Eri.
Alah! Paling bohong lagi. Pikir Eri.
Lantas langsung pergi tanpa memedulikan Ryzky yang terus saja memanggilnya.
* * * * * * * *
Eri
baru saja bangun dari tidur siang saat mendapati Bundanya tengah memasukkan
beberapa alat praktek dokter miliknya kedalam sebuah tas hitam besar.
“Mau
kemana Bun?” Tanya Eri sambil mengusap matanya menggunakan punggung tangan.
“Mau
kerumah Tante Lina.”
“Tante
Lina yang Tantenya Ryzky?”
Bunda
mengangguk.
“Ngapain
Bun?”
“Ryzky
sakit. Jatuh dari pohon mangga katanya. Masak kamu gak tahu sih, Ri? Bukannya
tadi pagi kamu main sama Ryzky?”
Mata
Eri membelalak kaget. Jadi tadi itu Ryzky beneran jatoh?! Gak bohongan?! “Bunda
kesana mau ngejenguk ya?”
Bunda
memutar bola matanya gemas. “Kamu liat dong Bunda udah bawa alat praktek. Bunda
kesana mau ngobatin Ryzky. Tadi tantenya Ryzky dateng kesini minta tolong
supaya Bunda kesana.”
Mata
Eri mulai berkabut, ingin sekali rasanya ia menjatuhkan bulir-bulir air
matanya, namun tertahan karena tak ingin dilihat Bunda jika menangis. Segumul
rasa penyesalan berkumpul dihati Eri. Kenapa dia gak nolong Ryzky tadi?! Kalo
ditolong, belum tentu sakitnya Ryzky jadi separah ini.
“Bun,
Eri ikut ya kerumah Tantenya Ryzky?”
* * * * * * * *
Eri
langsung menghambur masuk kekamar Ryzky seusai Bunda memeriksa Ryzky dan
meninggalkan Ryzky sendirian dikamarnya. Eri memeluk Ryzky hangat, menunjukkan
kekhawatirannya pada sahabat kecilnya
itu. Air mata Eri pun tak tertahan lagi.
“Ki,
maafin gue ya. Gue gak tahu kalo lo tadi..,”
“Ssst.
Udah Ri, jangan nangis. Bukan salah lo juga kok,” Ryzky mengelus rambut Eri.
“Maafin gue juga ya tadi udah ngerjain lo?”
Eri
mengangguk dalam tangisnya lalu melepas pelukannya pada Ryzky. “Luka lo banyak banget Ki!” ujar
Eri cemas saat memandangi lengan Ryzky yang penuh luka goresan disana-sini dan
kaki Ryzky yang dibalut perban sampai separuh betis.
“Biasa
lelaki kuat ya begini! Nyantai aja lagi. Ini mah kecil.” Canda Ryzky. Padahal
Eri tahu betul, badan Ryzky pasti terasa sangat sakit.
Eri
mengusap air matanya. “Becanda terus lo.”
Ryzky
tersenyum simpul. “Gue cuma pengen lo gak sedih lagi, Ri.”
* * * * * * * *
31
Desember!!
Semua
kalender yang ada diseluruh dunia menunjukkan tanggal itu hari ini. Berarti
besok tahun baru. Horayyy!! J
Eri
jadi teringat Ryzky. Kasian dia. Kaki dan tangannya masih sakit, walaupun tak
separah 3 hari yang lalu saat ia jatuh pertama kali. Kalo keadaan Ryzky saja
begini, gimana dia mau ngerayain tahun baru?! Padahal Eri berencana mau
mengadakan acara bakar jagung didepan rumahnya pada saat malam pergantian tahun
bersama Ryzky. Tapi kalo Ryzkynya aja lagi sakit, gimana dong?! Gak mungkin Eri
menderita diatas penderitaan orang lain.
Eri
bangun dari tempat tidur, lalu mendelik pada jam dinding yang ada dikamarnya.
Jam 3 sore. Ryzky jam segini lagi ngapain
ya?! Pikir Eri.
Eri
mematut dirinya didepan cermin sebentar, menyisir rambutnya lalu memakai
parfum. Setelah itu turun dari kamarnya menuju halaman.
“Bunda,
aku kerumah Tante Lina ya.” Pamit Eri pada Bunda yang tengah menyiram tanaman.
“Iya,
pulangnya jangan sore-sore.”
“Iya.
Daah!” Eri berlari keluar dari pagar rumahnya.
Eri
baru saja memasuki halaman rumah Tante Lina saat tiba-tiba..,
Jduk! “Awwww!!!” Eri meringis,
kakinya terhantuk batu dan menyebabkan dirinya tersungkur ketanah. “Aduuuh!
Sakit!” Eri memegang lututnya yang tergores kecil.
“Ya
ampun Eri. Kamu kenapa?!” Tanya Tante Lina yang baru saja keluar dari rumahnya.
Eri
terus saja meringis. “Aku jatuh Tante. Aduuh!”
Tante Lina mendekat dan mencoba memapah tubuh Eri masuk kedalam rumahnya. “Ayo Ri, jalan pelan-pelan ya.”
Tante Lina mendekat dan mencoba memapah tubuh Eri masuk kedalam rumahnya. “Ayo Ri, jalan pelan-pelan ya.”
Eri
hendak berjalan kedalam rumah, dibantu Tante Lina. Eri memandangi lututnya yang
tergores, goresannya memang kecil, tapi sakitnya luar biasa booo’. Tapi tunggu
sebentar, kok ada yang aneh?! Kok sandal-sepatu yang Eri pake tadi gak ada?!
Perasaan tadi masih Eri pake kok dikaki.
“Tunggu
Tante.., jangan masuk dulu..” suara Eri membuat Tante Lina berhenti memapah Eri.
“Loh
kenapa?”
“Sandal-sepatu aku mana ya, Tan?” Eri menoleh kebelakang, ketempatnya terjatuh tadi. “Ya ampun! Sandal-sepatuku robek.” Ratap Eri sedih ketika melihat sandal-sepatunya tergeletak tak berdaya diatas tanah yang becek. Uuuuh! Nyebelin benget sih! Ini tuh satu-satunya sandal-sepatu yang Eri bawa. Eri emang bawa sandal lain, tapi sandal jepit. kalo Eri mau jalan-jalan masak iya sih dia maau pake sandal jepit butut dan budukan. Nggak banget deh!!
“Sandal-sepatu aku mana ya, Tan?” Eri menoleh kebelakang, ketempatnya terjatuh tadi. “Ya ampun! Sandal-sepatuku robek.” Ratap Eri sedih ketika melihat sandal-sepatunya tergeletak tak berdaya diatas tanah yang becek. Uuuuh! Nyebelin benget sih! Ini tuh satu-satunya sandal-sepatu yang Eri bawa. Eri emang bawa sandal lain, tapi sandal jepit. kalo Eri mau jalan-jalan masak iya sih dia maau pake sandal jepit butut dan budukan. Nggak banget deh!!
“Udah
masuk aja dulu yuk Ri, luka kamu Tante obatin dulu.” Bujuk Tante Lina. Eri
menurut pasrah.
* * * * * * * *
“Aaaah
Ryzkyyyy!! Liat dong sandal-sepatu gue robek.” Rengek Eri mengadu pada Ryzky
sambil memegangi sandal sepatunya yang telah kotor terkena tanah.
“Lo
‘kan masih punya sandal lain.”
“Iya
ada. Tapi sandal jepit. Lo pikir gue mau apa pake sandal jepit kemana-mana?!”
jawab Eri judes gak ketulungan.
Ryzky
malah tertawa. “Ya udah jadi mau lo apa sekarang?”
Eri
duduk diteras sambil menopang dagunya. “Mmmmm. Gue pengen minta beliin yang
baru aja deh sama Ayah Bunda.”
“Nah
tuh pinter.”
“Tapi
‘kan…, malem ini malem tahun baru, otomatis entar malem Bunda sama Ayah bakal
ngajak gue jalan-jalan atau ngadain acara apa gituuu!”
“Terus?”
Eri mengetuk-ngetukkan jarinya pada dagu. “Berarti gue harus beli sandal baru yang bagus sekarang juga, kalo emang gue gak mau nanti malem jalan-jalan cuma pake sanda jepit butut.” Putus Eri.
Eri mengetuk-ngetukkan jarinya pada dagu. “Berarti gue harus beli sandal baru yang bagus sekarang juga, kalo emang gue gak mau nanti malem jalan-jalan cuma pake sanda jepit butut.” Putus Eri.
Ryzky
menempeleng kepala Eri. “Mau pergi sama siapa lo? Sendiri? kaki lo aja masih sakit, gimana mau pergi. Lagian apa
lo hapal kota Bandarlampung yang super luas ini, Non?” repet Ryzky dengan
pertanyaan yang sangat sengit. Membuat Eri terdiam mati kutu.
Lagian
Ryzky ada benernya juga kok. Kaki Eri ‘kan masih sakit, terus Eri ‘kan gak
hapal Bandarlampung. Bisa nyasar dia kalo nekat pergi. Mau minta anterin Ayah, tapi Ayah masih dirumah sakit. Mau
minta anterin Bunda, laah Bunda aja gak bisa ngendarain mobil. Lagian kalo
Bunda bisa ngendarain mobil sekalipun percuma aja, wong dirumah juga lagi gak
ada mobil. Mobil ‘kan dipake Ayah. Ini nih susahnya kalo cuma punya satu
kendaraan dirumah.
Eri
memutar bola matanya terlihat berpikir keras. “Kalo gitu lo temenin gue ya Ki?
Kita naik angkot aja.”
“Nemenin
kemana?”
“Kepasarlah
bloon. Namanya juga gue mau beli sandal.”
Lagi-lagi
Ryzky menempeleng kepala Eri. “Emang lo tahu arah kalo mau jalan kepasar?”
Eri
memelintir-melintir rambutnya. “Hmmm. Kalo ke bambu kuning doang sih gue tahu.
Tinggal naik angkot putih dari sini.”
“Yakin
gak akan nyasar?”
“Gak.
Gue yakin seribu persen.”
“Oke
kalo gitu. Gue nemenin lo.”
“Horayyy!!
Makasih ya Ki. Lo mau kemana?” Tanya Eri melihat Ryzky tiba-tiba berdiri.
“Gue
mau izin sama Tante Lina dulu. Tunggu sebentar.” Ryzky melangkahkan kakinya
masuk kedalam rumah.
“Tan..
Tante?!” panggil Ryzky mencoba mencari Tante Lina didalam rumah. Berharap Tante
Lina akan tiba-tiba muncul jika dipanggil bak jin yang keluar dari lampu ajaib
milik Aladin.
“Kenapa
Ki kok nyari Tante?” Tante Lina menyentuh pundak Ryzky dari belakang. Membuat
Ryzky sedikit kaget.
Ryzky
berbalik menghadapkan badannya ke Tante Lina. “Aku mau pergi Tan. Boleh ‘kan?”
“Pergi?
Sama siapa? Kemana?”
“Sama
Eri Tan, mau nemenin dia beli sandal. Ke bambu kuning doang kok. Boleh ya, please?” Ryzky menyatukan kedua telapak
tangannya.
“Ya
udah. Inget jangan sampe nyasar ya! Kamu ‘kan belum hapal Bandarlampung. Kalo
aja Tante lagi gak mau pergi ke tempat temen Tante sekarang, mungkin Tante yang
bakal nganterin kamu sama Eri, Ki.”
Ryzky
tersenyum, sebagai tanda menghargai atas niat baik yang ada dilubuk hati Tante
Lina. “Udah, gapapa kok Tan.”
“Eh
tapi ‘kan kaki sama tangan kamu masih sakit Ki?”
“Gak
kok Tan, liat nih. Aku udah kuat. Gak sakit lagi.” Ryzky menirukan gaya seorang
binaragawan yang sedang pamer otot.
Tante
Lina mengusap wajah Ryzky. “Ya udah, pergi gih sana, entar keburu sore.”
* * * * * * * *
Ciiit! Angkot putih
yang dinaiki oleh Ryzky dan Eri berhenti tepat didepan Ramayana. Salah satu
pusat perbelanjaan yang ada di Bandarlampung.
“Kok
berenti disini, Bang?” Tanya Eri pada Si supir angkot.
“Waaa
sangun berentei di jo kidah. Mak dapek dak san. Lamun nikeu agou..,”
“Iya-iya
Bang. Udah saya ngerti kok!” Eri memutus pembicaraan Si Abang supir angkot lalu
buru-buru memberikan uang pembayaran karena sudah gak tahan lagi mendengar
bahasa yang keluar dari mulut Si Abang. Mending turun cepet-cepet deh, daripada
mabok karena gak ngerti apa yang diomongin. Percuma juga kalo Eri tetep kekeuh dengerin omongan Si Abang supir.
Toh, ujung-ujungnya dia gak ngerti juga ‘kan?!
Walaupun
udah bertahun-tahun tinggal di Bandarlampung, Eri sedikitpun gak bisa berbahasa
Lampung. Jangankan bahasanya, daerahnya aja gak hapal.
“Eh
Ri, tadi tuh supir angkot ngomong bahasa apa sih?” Tanya Ryzky saat mereka
berdua baru saja turun dari angkot.
“Bahasa
lampung.”
“Ooohh..”
“Yuk!”
“Yuk
kemana?”
Bletak! Eri menjitak
kepala Ryzky jengkel. “Ke bambu kuninglah.”
“Emang
kita belum nyampe?”
“Belum, tuh jalan kaki sedikit kedepan.” Eri menunjuk kedepan beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri.
“Belum, tuh jalan kaki sedikit kedepan.” Eri menunjuk kedepan beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri.
Ryzky
manggut-manggut, ia dan Eri akhirnya berjalan kaki menuju bambu kuning.
“Ki,
liat gih! Bagus banget!” puja Eri pada sebuah boneka beruang berwarna biru yang
terlihat sangat lucu. Boneka itu terpajang disalah satu kios yang ada di bambu
kuning.
“Ya,
kalo lo ada duit beli!”
Bibir
Eri jadi manyun mendengar perkataan Ryzky. “Gak ada sih Ki. Gue cuma bawa uang buat
beli sandal. Tapi gue pengeeeen.” Rengek Eri manja terus menerus.
“Mending
punya boneka itu apa ngerayain tahun baru pake sandal jepit yang lo pake
sekarang?”
Eri
diam dan hanya bisa memandangi kedua pasang kaki mungilnya yang memang sedang
memakai sandal jepit butut berwarna hijau dan sangat kotor. Eri persis seperti
anak kampung yang sering main becek-becekan jika memakai sandal jepit itu.
Eri
mendesah pasrah. “Iya deh iya.”
“Bagus
deh kalo nurut.” Ucap Ryzky penuh kemenangan lantas terus berjalan.
Eri
membuntuti Ryzky dari belakang sambil terus memperhatikan berbagai macam jenis
barang yang dijajakan para pedagang.
“Ki
itu!” Eri menarik lengan baju Ryzky manja sambil menunjuk ke suatu titik.
Ryzky
menoleh menatap Eri nanar. “Apa? Boneka lagi?”
Eri
mencubit hidung Ryzky. “Bukan bego! Itu sandalnya bagus banget!” mata Eri
terlihat begitu berbinar. Seandainya saja sekarang Eri ada didalam film kartun,
mungkin mata Eri sudah diberi efek bercahaya dan berkilat-kilat saking
berbinarnya.
“Mahal!
Emang lo ada duit segitu?” Tanya Ryzky setelah melihat label harga yang
tercantum dibawah sandal yang dipajang didalam toko yang ditunjuk Eri, yang
sepertinya toko itu merupakan toko-toko kaum high-class. Karena barang-barang yang dipajang adalah barang-barang
branded yang harga termurahnya
mungkin berkisar sekitar satu juta.
Eri
menggeleng kecewa, membenarkan perkataan Ryzky barusan. “Huh! Kenapa juga gue
tadi gak bawa credit card-nya Bunda?!
Gue malah cuma dikasih uang cash.”
Keluh Eri sedikit curcol (curhat colongan) pada Ryzky.
“Yaudah
deh. Mau gue tambahin gak uang lo? Kebetulan gue bawa duit juga.” Tawar Ryzky
yang langsung disambut anggukan senang oleh Eri.
“Makasih
ya Ki.” Eri menjawil pipi Ryzky.
“Iya.
Ayo!” Ryzky menarik lengan Eri masuk kedalam toko super mewah itu.
“Selamat
sore. Ada yang bisa saya bantu?” Eri dan Ryzky langsung disambut dengan
keramahan pegawai toko begitu masuk.
Eri
mengangguk. “Saya mau beli sandal yang itu, Mba.” Tunjuk Eri pada sandal yang
dilihatnya tadi.
“Nomor
sepatunya berapa?”
“38.”
“Kalau
begitu silakan tunggu sebentar. Saya ambilkan dulu barangnya.” Pamit pegawai
toko itu lalu berjalan pergi.
Eri
dan Ryzky duduk disalah satu kursi kayu yang ada didalam toko itu. Kursi itu
sepertinya memang telah disiapkan untuk para pembeli yang sedang menunggu,
karena selain Eri dan Ryzky, terdapat beberapa orang lainnya yang duduk
dibangku itu sambil memegangi dompet, bahkan ada yang sedang menghitung uang.
Ciri-ciri pembeli sejati ya begini nih!
“Silakan
dicoba dulu sepatunya.” Pegawai toko itu datang lagi dan langsung mempersilahkan
Eri untuk mencoba sandal yang ingin dibelinya.
Eri
mencopot sandal jepit bututnya yang rasanya ingin sekali Eri buang jauh-jauh
karena telah membuat aib. Orang secantik Eri, kok pake sandal jepit budukan
gini. Bukankah itu salah satu aib?! (PeDe banget seeeh!!! Biasanya juga nyeker
alias gak pake sandal)
“Pas
kok Mba pas banget.” Eri memandang takjub kakinya yang memakai sandal branded itu. Sandal yang cantik dengan
warna putih dan abu-abu yang mendominasi.
“Mau
bayar cash atau credit card?”
“Cash aja.” Eri mengeluarkan dompet yang
sedari tadi dikantonginya disaku jaket dan mengambil beberapa lembar uang
seratus-ribuan. “Tunggu bentar ya Mba.” Eri menyikut Ryzky. “Uang lo mana?”
Ryzky
merogoh sakunya juga lalu mengeluarkan beberapa lembar uang lima-puluh-ribuan
lalu menyerahkannya pada Eri.
Eri
baru saja hendak menyerahkan uang itu pada pegawai toko saat tiba-tiba..,
“Jambret!!!!!”
teriak Eri refleks, begitu menyadari uang yang ada ditangannya telah raib dalam
hitungan detik.
Ryzky
dan seluruh orang yang ada didalam toko itu langsung mengalihkan pandangan pada
Eri, namun pandangan Eri justru tertuju tertuju kearah luar toko.
“Jambretnya
kabur Ki! Kejer!!!” perintah Eri membuat Ryzky langsung berlari keluar toko. Jambret
itu sepertinya memang telah ada didalam toko sedari tadi. Ia berpura-pura
menjadi pengunjung, lalu saat ada yang lengah mengeluarkan uang, jambret itu
langsung merampasnya. Modus yang licik.
Eri
menanggalkan sandal branded yang
hampir dibelinya lalu memakai sandal jepit yang dipakainya tadi dan segera
mengikuti Ryzky berlari mengejar jambret keluar toko.
Eri
memanjangkan lehernya mencoba mencari Ryzky yang telah berlari cukup jauh
didepannya. Saat telah menemukan posisi Ryzky, Eri langsung berlari kencang
untuk menyusulnya. Eri melewati beberapa lorong yang berisi kios-kios yang ada
di bambu kuning, lalu perlahan berlari semakin jauh mengikuti Ryzky dan jambret
yang berjenis kelamin cowok itu. Udah jambret, jelek lagi! Dari penglihatan
yang Eri lihat sepintas tadi, jambret itu rambutnya keriwil, badannya hitam
legam, wajahnya penuh jerawat segede batu kerikil. Wajah yang sungguh lebih
mengerikan jika dibandingkan dengan orang utan yang ada di ragunan.
Eri
mengerem kakinya begitu melihat Ryzky berhenti berlari mengejar jambret itu.
Ryzky berdiri sambil memegang lututnya. Sepertinya kaki Ryzky yang masih sakit
akibat jatuh dari pohon beberapa hari yang lalu mulai terseok-seok setelah
berlari-lari begitu jauhnya. Eri berhenti tepat disamping tubuh Ryzky dengan
nafas yang ngos-ngosan. Eri pun dapat merasakan nafas Ryzky yang tak berbeda
jauh darinya, sama-sama ngos-ngosan juga. Sedangkan jauh didepan sana, jambret
sialan itu pasti mengulas senyum penuh kemenangan karena telah berhasil membuat
Eri dan Ryzky tak mengejarnya lagi.
Eri
mengedarkan pandangannya. Ia dan Ryzky telah terbawa kepinggir sebuah jalan
raya yang sangat ramai sekarang.
“Ki?”
Eri menyentuh pundak Ryzky.
Ryzky
mendongak, menatap Eri dengan wajah yang pucat.
“Lo
gapapa ‘kan Ki?” Eri mendudukkan tubuh Ryzky diatas trotoar.
Ryzky
menggeleng. Ia menyeka peluhnya menggunakan tangan. “Sori ya Ri, gue gak bisa
ngejer jambret itu.”
Dada
Eri terasa sesak, rasa sesal timbul begitu saja dihatinya. Disaat seperti ini,
masih saja Ryzky menyalahkan dirinya sendiri.
Eri
mengusap-usap punggung Ryzky. “Iya Ki. Makasih juga ya. Udah bantu gue ngejer
jambretnya.”
“Tapi
‘kan jambretnya..,”
“Ssst!”
Eri meletakkan jari telunjuknya didepan bibir. “Udah jangan dipikirin lagi.
Kita pulang aja ya.” Eri merogoh saku jaketnya bermaksud mengeluarkan
dompetnya.
Loh!
Loh! Kok gak ada?! Dompet Eri gak ada!!! Apa jangan-jangan jatuh waktu
lari-lari tadi?!
Plak! Eri menepuk dahinya. membuat
Ryzky melirik bingung pada Eri.
“Kenapa
Ri?”
Eri
menggaruk-garuk kepalanya linglung. “Dompet gue jatuh Ki. Uang gue disitu
semua. Gimana kita mau pulang kalo gue aja gak ada uang.”
Plak! Ryzky ikut-ikutan menepuk
dahinya persis seperti yang dilakukan Eri. “Ya ampun Ri, gue juga udah gak ada
uang lagi. Sisa uang gue, yaa yang tadi dijambret itu.”
Eri
menundukkan kepalanya bingung, mesti gimana nih?!
“Ki..
Ki..” Eri mengguncang-guncang tubuh Ryzky. Tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu.
“Kenapa?”
“Ini
daerah apa Ki? Gue gak tahu.”
Glek! Ryzky menelan ludah. Kepalanya
seperti baru saja tertimpa dua ton batu bata.
“Serius
Ri? Astaga! Gue juga gak tahu ini daerah apa!” Ryzky memandangi sekelilingnya.
Yang ia tahu hanya satu. Ia dan Eri berada disebuah pinggir jalan raya yang
sangat ramai.
“Aduuuh!!!
Nyasar nih kita!!!” Eri meremas-remas rambutnya khawatir.
Tring! Tiba-tiba
Ryzky teringat sesuatu.
“Ri,
lo bawa HP ‘kan? Telpon aja bokap nyokap lo!”
Eri
menggigit bibir bawahnya. “Nggak Ki. Tadi HP gue sengaja gue tinggalin dirumah.
Lo? Lo pasti bawa HP ‘kan?” Tanya Eri penuh harap.
“Nggak.”
Jawab Ryzky pendek dalam keputus-asaan.
Duk -debuk-bleduk-bleduk! Eri merasakan
berjuta-juta batuan meteor yang beratnya beribu-ribu ton baru saja menimpa
tubuhnya.
Haloooo???!!!!
Apa gak ada yang lebih buruk lagi daripada kesasar ditempat yang sangat asing
tanpa bawa uang dan tanpa membawa alat komunikasi yang bisa dipergunakan untuk
meminta pertolongan pada orang yang kita kenal?! Untuk saat ini Eri dan Ryzky
dapat merasakan gak ada yang lebih buruk lagi dari pada itu. Karena keadaan
sekarang saja sudah sangat buruk!! Apalagi hari mulai gelap, sudah hampir jam
enam sore.
“Kita
pulang jalan kaki aja!”
Eri
menoleh kerarah Ryzky dengan tatapan mencemooh. “Kalo gue tahu jalan pulang.
Dari tadi kali kita pulang jalan kaki.”
Ryzky
terhenyak. Benar juga apa kata Eri. Namun pada detik berikutnya ia kembali
bersuara. “Kita tanya aja jalan pulang sama orang yang lewat.”
Kini
Eri menatap Ryzky lagi, namun kali ini dengan tatapan yang geram melihat
kebodohan Ryzky yang tiada hentinya. “Lo mau kita mati ketabrak karena nyetop
orang yang naik kendaraan dijalan seramai ini?! Pikir dikit dong Ki!” Eri
menunjuk-nunjuk kepalanya menggunakan jari telunjuk.
Lagi-lagi
Ryzky harus membenarkan perkataan Eri. Jalanan ini sangat ramai, jadi kalau
ingin bertanya pada orang, yaa harus
menyetop kendaraan yang sedang lalu-lalang dengan konsekuensi akan ditabrak
oleh kendaraan lain. Sempat terlintas dibenak Ryzky untuk bertanya pada orang
yang sedang lewat dengan berjalan kaki. Namun lagi-lagi Ryzky membatalkan
niatnya karena tak ada satupun orang yang lalu-lalang dengan berjalan kaki.
Trotoar yang biasanya digunakan pejalan kakipun sangat sepi, hanya ada Ryzky
dan Eri yang sedang duduk diatas trotoar itu.
“Ki,
gue mau ngomong.” Eri memeluk lengan Ryzky suaranya mulai bergetar.
“Hhhh..
Ngomong apa?”
Eri
menenggelamkan wajahnya dipundak Ryzky, ia menangis. “Udah Ri, jangan nangis.
Gue yakin kita pasti bisa pulang.”
Eri
menegakkan kepalanya. Wajahnya yang keruh itu ini terlihat sangat jelas. “Gue
laper.” Eri memegangi perutnya yang sudah tak bisa diajak kompromi lagi.
Ryzky
tersenyum melihat tingkah Eri. Jadi dia nangis cuma karena laper?! Ryzky kira
Eri menangis karena rasa takut.
“Tapi
gimana Ri? Kita gak ada uang.”
Eri
menggeleng bingung. Bagaimana caranya mendapatkan uang?!
Ryzky
mengedarkan pandangannya menyapu pemandangan yang ada disekitarnya. Tring! Tiba-tiba muncul sebiah ide
brilian diotak Ryzky ketika melihat sebuah restoran masakan padang yang ada
diseberang jalan.
“Lo
biasa jadi babu gak dirumah?”
Eri
mengerling tajam pada Ryzky. “Ryzkyyy!!!” pekik Eri kesal. “Lo bisa gak sih gak
usah bercanda dulu? Kita lagi dapet masalah besar.”
“Siapa
juga yang becanda sih Ri? Gue nanya serius.”
Eri
menatap bola mata Ryzky dalam, dan menemukan sebuah kejujuran dimatanya. Ryzky
benar-benar serius kali ini.
“Ya
dikit sih. Kenapa emang?” jawab Eri akhirnya, mulai terpancing dengan
pertanyaan Ryzky.
“Kita
kerja. Mau gak?”
“Kerja?
Dimana? Jangan ngaco! Gue belum ada ijazah SMA udah mau lo ajak kerja.”
Ryzky
menoyor dahi Eri. “Kerja sementara bloon. Cuma beberapa jam.”
“Kerja
dimana?”
“Itu
tuh!” Ryzky menunjuk restoran padang yang ada diseberang jalan dengan dagunya.
Eri
menunjukkan ekspresi bingung. “Kerja apa disana?”
“Ya
kerja apa kek. Jadi tukang nyapu juga gapapa. Yang penting kita bisa dapet uang
buat beli makan sama bekal pulang.”
Jger! Kepala Eri terasa tersambar
petir. Ryzky bilang apa barusan?! Tukang sapu?! Gila! Eri dirumah aja jarang
banget nyapu. Gimana mau jadi tukang sapu?! Kalopun bantu-bantu dirumah, Eri
cuma nyuci piring. Toh, di Bandung sudah ada Bi Mar dan di Bandarlampung sudah
ada Mbok Mijem. Walaupun sekarang Mbok Mijem sedang pulang kampung sih, karena
anaknya nikahan.
“Mau
gak? Daripada lo mati kelaparan terus kita gak bisa pulang.”
Eri
mengangguk setuju. Apa boleh buat!
Ryzky
mengenggam tangan Eri kuat-kuat saat mereka akan menyeberangi jalanan yang
ramai menuju restoran seberang. Jalanan sore itu sangat ramai, Eri dan Ryzky
sampai harus menunggu beberpa menit untuk menyeberang.
Ryzky
meremas-remas tangan Eri menghilangkan kecanggungan. “Gue grogi nih, Ri.” Bisiknya pada Eri pelan.
“Selamat
sore Mas, Mbak. Mau pesan apa?” seorang pelayan mendatangi Eri dan Ryzky saat
mereka baru saja menjejakkan kaki didalam restoran.
Ryzky
garuk-garuk kepala. “Begini Mba, kami mau cari pekerjaan. Ada gak?”
Pelayan
restoran itu langsung mengulas senyum tipis diatas wajahnya. “Diii!! Andii!!!
Ada yang mau cari kerja nih!” panggil pelayan restoran itu pada seseorang
bernama Andi.
Tak
lama keluarlah dari bilik dapur seorang lelaki jangkung dengan jenggot tipis
yang menggelantung didagunya. Perawakan lelaki ini mengingatkan Eri pada Thomas
Nawilis. Tau ‘kan?! Artis yang sekaligus sutradara dan produser muda itu loh!
“Nih
Ndi orangnya. Aku tinggal dulu ya.”
Sepeninggal
pelayan restoran tadi orang yang bernama Andi itu langsung memperkenalkan
dirinya. “Perkenalkan, nama saya Andi. Saya head
chef sekaligus manager disini.” Andi mengulurkan tangannya pada Ryzky.
“Saya
Ryzky Pak. Yang ini Eri.”
Andi
tersenyum. “Jangan panggil saya bapak. Panggil saja saya Andi.”
Ryzky
dan Eri manggut-manggut.
“Oh
ya silahkan duduk dulu.” Andi mengajak Eri dan Ryzky duduk disalah satu kursi
yang ada didekat tempat mereka berdiri. “Jadi kalian mau cari kerja?”
“Iya.
Tapi kami cuma mau cari kerja kecil-kecilan aja, hanya untuk beberapa jam. Gak
lebih.”
Andi
mengerutkan dahinya, tak mengerti apa maksud perkataan Ryzky. “Bisa jelaskan
secara rinci apa maksudnya?”
Ryzky
pun menjelaskan semuanya dari awal. Saat mereka berdua dijambret, tersesat, dan
lain sebagainya. Andi sampai dibuat bengong takjub mendengar kisah stragis itu,
sungguh malang nasib dua orang ini, pikirnya.
“Kalau
begitu, saya akan memberikan kalian pekerjaan sebagai tukang cuci piring saja.
Bagaimana? Setuju?”
Eri
terlihat girang. Pas sekali dengan keahlianku, pikirnya.
Ryzky
mengulurkan tangannya. “Setuju!”