Selasa, 30 Oktober 2012

janji part 2

Eri celingak-celinguk. Kepalanya menoleh kesana kemari. Ryzky sampai heran sendiri melihatnya. Kalo sedang seperti ini Eri seperti boneka penghias yang ada di dashboard mobil.
“Eri!!” Eri menoleh mendengar seseorang memanggil namanya, dan mendapati Bunda dan Ayah berdiri hanya berjarak beberapa meter darinya.
“Bunda!!” Eri memekik senang lalu berlari kearah Ayah dan Bunda sambil menyeret-nyeret Ryzky secara paksa. Ryzky pasrah.
Bunda dan Ayah saling tukar pandang, melihat Eri datang dengan seorang cowok asing.
“Yah, suami Eri ya?” bisik Bunda dengan volume sekecil mungkin.
Ayah mendelik kesal. “Ssshh, ngomong apa sih Bun? Tapi ya juga ya. Kok Eri nikah gak bilang-bilang kita.”
“Ayaaah! Bundaa!!” Eri menyalami tangan ayah dan Bundanya secara bergantian.
Namun Eri  malah mendapatkan tatapan marah dari Ayah Bunda.
“Ayah sama Bunda kenapa sih? Kok ngeliatin Eri-nya kayak gitu?”
Ayah berdeham. “Kenapa kamu nikah gak bilang-bilang sama Ayah?”
Mata Eri membulat takjub, sekarang ia tahu hal apa yang membuat Ayah Bundanya menjadi seperti ini. Eri mendelik pada Ryzky lalu menarik tangan Ryzky paksa kehadapan Bunda dan Ayah. “Cowok ini yang Ayah sama Bunda kira jadi suami aku?” tunjuk Eri kasar tepat didepan mata Ryzky.
Bunda dan Ayah mengangguk bersamaan. “Iya. Kami sih setuju-setuju aja kamu nikah muda. Mencegah perzinahan gitu loh! Tapi bilang-bilang dulu kek sama Ayah Bunda. Jangan pulang-pulang udah bawa suami aja. Oh ya, jangan-jangan sekarang kamu lagi hamil ya Ri? Udah berapa bulan bla bla bla..,” repet Bunda tak jelas juntrungannya. Hahaha, ada juga ya rupanya, orang tua yang setuju anaknya nikah muda. Pake bawa-bawa alasan demi mencegah perzinahan segala lagi, ckck!
Eri berdecak kesal dan memelototi Bunda dan Ayah. “Enak aja! Siapa yang nikah sama dia?”
“Loh jadi?!” seru Bunda dan Ayah kompak.
“Dia Ryzky Bun, temen aku waktu kecil dulu. Tetangga kita waktu rumah kita masih di Jakarta. Inget ‘kan?”
Bunda dan Ayah sekali lagi saling bertukar pandang selama beberapa detik. Lalu akhirnya berkata.., “Oh iya inget. Yang waktu kecil suka ngompol di halaman rumah kita itu ‘kan Ri? Yang hidungnya suka ingusan?” ujar Bunda heboh.
Sekilas Eri menatap wajah Ryzky, dan mendapati wajah Ryzky sudah merah matang karena mendengar ucapan Ayah dan Bunda barusan. Salah sendiri, siapa suruh waktu kecil suka ngompol dan ingusan?!
“Ki?” Eri menyikut Ryzky. “Jangan dengerin omongan Bunda sama Ayah. Mereka emang begitu, tukang mengumbar kejelekan orang nomor wahid didunia. Hehe.” Bisik Eri pada Ryzky dengan ekspresi garing. Membuat Ryzky langsung sadar dari lamunannya.
“Ngg.. Ngg.. Eh iya Tante. Masih inget  aja. Hehe.” Suara Ryzky terdengar dipaksakan.
“Kok bisa ketemu Eri, Ki? Janjian ya?” Tanya Ayah.
Ryzky menggeleng. “Enggak kok Om. Gak sengaja aja tadi ketemu dikapal.”
“Terus Nak Ryzky ngapain kesini? Liburan ya?”
“Iya Om, liburan ketempat Tante aku di Bandarlampung.”
Bunda yang sejak beberapa detik lalu terus melihat jam tangannya akhirnya mulai bersuara lagi. “Yah, Ri, pulang yuk! Udah jam 5 sore, kita bisa nyampe di Bandarlampungnya telat.”
Ayah dan Eri manggut-manggut. “Kalo gitu gue pergi dulu ya Ki. See you in Bandarlampung.” Eri melambaikan tangannya pada Ryzky lalu masuk kedalam mobil yang sedari tadi diparkirkan tak jauh dari mereka.
Sementara itu Ryzky masih terpaku garing ditempatnya menunggu Tante Lina menjemput.

* * * * * * * *

Eri menghempaskan tubuhnya dikasurnya yang empuk. Benar-benar melelahkan harus membongkar seluruh isi kopernya satu-persatu sendirian. Eri mengedarkan pandangannya keseluruh sudut kamarnya. Tak banyak yang berubah sejak 3 bulan lalu terakhir kali ia menempati kamar ini.
Masih banyak atribut “Vierra”, band favorit Eri disetiap jengkal kamarnya.
 Disamping tempat tidur Eri, ada sebuah lampu tidur dengan bentuk Vierramon, yang merupakan lambang dari band Vierra itu sendiri. Didinding sebelah kiri kamarnya, tertempel sebuah poster besar anggota Vierra, dan disamping persis dari poster itu, terdapat sebuah mading kecil-kecilan yang terbuat dari stereofoam. Mading itu berisi semua biodata anggota Vierra dan juga guntingan artikel dari koran ataupun majalah yang berisi berita-berita ataupun gosip terhangat tentang Vierra.
Drrt drrt! Eri terkesiap, tiba-tiba ponselnya bergetar.

Ryzky
Calling…

“Halo?”
“Hai Ri. Ganggu?” suara Ryzky sangat terdengar grogi.
“Nggak kok Ki. Ada perlu?”
“Iya. Gue mau ngasih tahu alamat gue.”
Mata Eri membulat senang, ia menegakkan tubuhnya. “Dimana alamat lo?”
“Di Way Halim juga.”
Tuing! Way Halim juga? Waah kok bisa kebetulan gini sih?!
“Hah?! Serius? Sebelah mananya lo?”
“Dua rumah dari masjid Ri.”
“Sumpe lo? Rumah gue juga deket masjid. Didepan masjidnya malah.”
Eri berjalan mendekati jendela kamarnya lalu menyibak tirai yang menutupi jendela itu.
“Yang bener Ri?”
“Iya, rumah lo warna apa?” Eri terlihat celingukan memandangi satu-persatu rumah yang ada disekitar rumahnya melalui jendela kamar.
“Warna hijau tua. Depannya ada pohon mangga.”
Eri berlari keluar dari kamarnya menuju keluar gerbang rumahnya. “Coba lo keluar rumah. Gue ada didepan gerbang rumah gue.” Perintah Eri pada Ryzky ditelepon.
“Iya. Tunggu.” Terdengar suara kaki Ryzky yang tengah melangkah.
Sementara itu, Eri sibuk mematuti semua rumah yang ada didekat masjid yang ada didepan rumahnya.
Rumah kedua sebelah kanan, warnanya Pink. Bukan!
Rumah kedua sebelah kiri, hijau tua! Aha! Itu dia!
Tak lama Ryzky keluar dari rumah hijau tua itu dan melambaikan tangannya pada Eri. “Eriii!!”
Eri membalas lambaian tangan Ryzky dengan wajah senang.
Ryzky berjalan mendekati Eri.
“Masuk aja yuk! Udah malem gini. Gak enak diliat orang kita berduaan didepan rumah.” Eri menarik Ryzky masuk kerumahnya.
Ryzky yang sebenarnya enggan akhirnya patuh juga dan duduk diruang tamu Eri saat mereka telah berada didalam rumah.
“Tunggu bentar, gue bikinin minum.”
“Eh Ri gak usah. Gue sebentar aja kok. Cuma mau tahu rumah lo.” Sergah Ryzky cepat.
Eri berbalik menatap Ryzky kecewa. “Yaaah kok gitu sih Ki? Padahal ‘kan kita udah lama gak ketemu. Gue pengen cerita-cerita sama lo.”
“Besok aja ya Ri. Entar kita main bareng deh. Janji!” Ryzky mengacungkan jari kelingkingnya diudara.
Eri mengangguk pasrah. “Ya udah deh.”
Ryzky bangkit dari duduknya. “Gue balik ya Ri. Bye!” Ryzky melambaikan tangannya dari ambang pintu lalu perlahan pergi menjauh.
“Kok kayaknya tadi Bunda denger kamu ngomong sama seseorang ya Ri?” tiba-tiba Bunda nongol diruang tamu.
“Oh itu Bun, Ryzky.”
“Ryzky? Ryzky yang tadi ketemu kita di Bakauheni?”
“Iya Bun.”
“Kok bisa disini?”
“Rumah dia ‘kan disini juga. Tuh!” Eri menunjuk kerah luar pintu. Mata bunda mengikuti arah yang ditunjuk Eri.
“Yang mana rumahnya?”
“Itu tuh yang warna hijau tua ada pohon mangga.”
“Oooh itu..,” Bunda memegang-megang dagunya seperti orang yang sedang berpikir. “Penghuni rumah itu ‘kan baru pindah kesini 4 hari yang lalu, kalo gak salah pindahan dari Kemiling. Jadi itu rumah tantenya?”
“Iya. Bunda kenal sama Tantenya?” Tanya Eri menyelidik.
“Gak. Bunda belum kenalan, ‘kan masih tetangga baru. Jadi Tantenya tuh belum banyak bergaul sama lingkungan sini. Lagian kalo Bunda kenal, dan Bunda tahu dari kemarin-kemarin dia itu Tantenya Ryzky pasti Bunda bakal ngasih tumpangan Ryzky dimobil kita waktu di Bakauheni tadi.”
Eri mengangguk membenarkan perkataan Bunda. “Ya udah deh aku mau istirahat dulu ya Bun.” Eri menyempatkan diri bercipika-cipiki dengan Bunda sebelum berjalan menuju kamarnya yang ada dilantai dua.

* * * * * * * *

“Kiii!! Turun!! Ngapain sih?!” pekik Eri dari bawah pohon mangga yang ada dirumah Tantenya Ryzky.
“Ya katanya lo mau mangga. Nih gue ambilin!” jawab Ryzky dengan pekikan yang tak kalah kencang dari atas pohon mangga.
“Gak usah! Gue udah gak kepengen sama mangga lagi. Turun gih! Entar lo jatuh.”
Ryzky duduk disalah satu ranting pohon sambil bertopang dagu. “Lo aja yang naik kesini.”
“Enak aja! Gue belom mau mati. Gue balik aja deh!” sungut Eri kesal lalu berbalik badan dan hendak berjalan menuju pintu gerbang.
Puk! “Adoow!” Eri memegang kepalanya yang sakit karena tertimpuk sesuatu.
Pada detik berikutnya Eri mendengar seseorang tertawa terpingkal-pingkal.
“Ryzkyyyyy!!!!!!” Eri memelototi Ryzky yang asyik menertawakan Eri dengan menggengam sebuah mangga ditangannya. Lalu Eri mengalihkan pandangannya kebawah, dan menemukan sebuah mangga yang belum matang ada diujung sandalnya. Kini pandangan Eri tertuju pada Ryzky lagi. “Elo ‘kan yang nimpuk gue? Kurang kerjaan banget seeh? Sakit bego. Kalo gue geger otak lo mau apa tanggung jawab?”
Ryzky makin tergelak mendengar perkataan Eri. “Biar Ayah sama Bunda lo aja yang tanggung jawab. ‘kan mereka dokter, jadi bisa sekalian ngobatin lo.”
Eri berkacak pinggang kesal. “Awas lo ya! Gue sumpahin lo jatoh dari pohon mangga!” Eri membalikkan tubuhnya lagi bersiap pergi, namun..,
“Aduuuh Ri gue jatoh nih. Aduuh kaki gue sakit.” Erang Ryzky. Eri berbalik cepat membatalkan niatnya untuk pergi begitu mengetahui Ryzky benar-benar terkena sumpah-serapahnya. Mata Eri menyapu keadaan disekitar pohon mangga. Namun ia tak menemukan Ryzky yang jatuh dimanapun.
“Hahahaha. Hahahaha. Dibohongin mau aja lo!”
Mata Eri secepat kilat menangkap darimana sumber suara itu berada. Ryzky yang ternyata masih ada diatas pohon dan masih dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kurang sesuatu apapun. (Lebayy!! Serasa sambutan kalo lagi kondangan aja!)
“Iiiihhh Ryzky. Nyebelin banget sih lo!!!!” Eri menghentak kakinya kesal lalu berbalik pergi. Kali ini benar-benar pergi untuk pulang menuju rumahnya, tak ada niat sedikitpun untuk kembali lagi kerumah Tantenya Ryzky setelah Ryzky mengerjainya tadi.
Saat Eri berada agak jauh dari rumah Tantenya Ryzky, Eri mendengar suara sesuatu terjatuh.
Buk gdebuk! Eri menghentikan langkahnya sesaat, mencoba menelisik bunyi itu.
“Rii!! Tolongin gue Rii!! Gue jatoh beneran niih!! Aduuh Riii kaki gue sakit!!” terdengar suara Ryzky memanggil Eri.
Alah! Paling bohong lagi. Pikir Eri. Lantas langsung pergi tanpa memedulikan Ryzky yang terus saja memanggilnya.

* * * * * * * *

Eri baru saja bangun dari tidur siang saat mendapati Bundanya tengah memasukkan beberapa alat praktek dokter miliknya kedalam sebuah tas hitam besar.
“Mau kemana Bun?” Tanya Eri sambil mengusap matanya menggunakan punggung tangan.
“Mau kerumah Tante Lina.”
“Tante Lina yang Tantenya Ryzky?”
Bunda mengangguk.
“Ngapain Bun?”
“Ryzky sakit. Jatuh dari pohon mangga katanya. Masak kamu gak tahu sih, Ri? Bukannya tadi pagi kamu main sama Ryzky?”
Mata Eri membelalak kaget. Jadi tadi itu Ryzky beneran jatoh?! Gak bohongan?! “Bunda kesana mau ngejenguk ya?”
Bunda memutar bola matanya gemas. “Kamu liat dong Bunda udah bawa alat praktek. Bunda kesana mau ngobatin Ryzky. Tadi tantenya Ryzky dateng kesini minta tolong supaya Bunda kesana.”
Mata Eri mulai berkabut, ingin sekali rasanya ia menjatuhkan bulir-bulir air matanya, namun tertahan karena tak ingin dilihat Bunda jika menangis. Segumul rasa penyesalan berkumpul dihati Eri. Kenapa dia gak nolong Ryzky tadi?! Kalo ditolong, belum tentu sakitnya Ryzky jadi separah ini.
“Bun, Eri ikut ya kerumah Tantenya Ryzky?”

* * * * * * * *

Eri langsung menghambur masuk kekamar Ryzky seusai Bunda memeriksa Ryzky dan meninggalkan Ryzky sendirian dikamarnya. Eri memeluk Ryzky hangat, menunjukkan kekhawatirannya pada sahabat kecilnya  itu. Air mata Eri pun tak tertahan lagi.
“Ki, maafin gue ya. Gue gak tahu kalo lo tadi..,”
“Ssst. Udah Ri, jangan nangis. Bukan salah lo juga kok,” Ryzky mengelus rambut Eri. “Maafin gue juga ya tadi udah ngerjain lo?”
Eri mengangguk dalam tangisnya lalu melepas pelukannya  pada Ryzky. “Luka lo banyak banget Ki!” ujar Eri cemas saat memandangi lengan Ryzky yang penuh luka goresan disana-sini dan kaki Ryzky yang dibalut perban sampai separuh betis.
“Biasa lelaki kuat ya begini! Nyantai aja lagi. Ini mah kecil.” Canda Ryzky. Padahal Eri tahu betul, badan Ryzky pasti terasa sangat sakit.
Eri mengusap air matanya. “Becanda terus lo.”
Ryzky tersenyum simpul. “Gue cuma pengen lo gak sedih lagi, Ri.”

* * * * * * * *

31 Desember!!
Semua kalender yang ada diseluruh dunia menunjukkan tanggal itu hari ini. Berarti besok tahun baru. Horayyy!! J
Eri jadi teringat Ryzky. Kasian dia. Kaki dan tangannya masih sakit, walaupun tak separah 3 hari yang lalu saat ia jatuh pertama kali. Kalo keadaan Ryzky saja begini, gimana dia mau ngerayain tahun baru?! Padahal Eri berencana mau mengadakan acara bakar jagung didepan rumahnya pada saat malam pergantian tahun bersama Ryzky. Tapi kalo Ryzkynya aja lagi sakit, gimana dong?! Gak mungkin Eri menderita diatas penderitaan orang lain.
Eri bangun dari tempat tidur, lalu mendelik pada jam dinding yang ada dikamarnya. Jam 3 sore. Ryzky jam segini lagi ngapain ya?! Pikir Eri.
Eri mematut dirinya didepan cermin sebentar, menyisir rambutnya lalu memakai parfum. Setelah itu turun dari kamarnya menuju halaman.
“Bunda, aku kerumah Tante Lina ya.” Pamit Eri pada Bunda yang tengah menyiram tanaman.
“Iya, pulangnya jangan sore-sore.”
“Iya. Daah!” Eri berlari keluar dari pagar rumahnya.
Eri baru saja memasuki halaman rumah Tante Lina saat tiba-tiba..,
Jduk! “Awwww!!!” Eri meringis, kakinya terhantuk batu dan menyebabkan dirinya tersungkur ketanah. “Aduuuh! Sakit!” Eri memegang lututnya yang tergores kecil.
“Ya ampun Eri. Kamu kenapa?!” Tanya Tante Lina yang baru saja keluar dari rumahnya.
Eri terus saja meringis. “Aku jatuh Tante. Aduuh!”
Tante Lina mendekat dan mencoba memapah tubuh Eri masuk kedalam rumahnya. “Ayo Ri, jalan pelan-pelan ya.”
Eri hendak berjalan kedalam rumah, dibantu Tante Lina. Eri memandangi lututnya yang tergores, goresannya memang kecil, tapi sakitnya luar biasa booo’. Tapi tunggu sebentar, kok ada yang aneh?! Kok sandal-sepatu yang Eri pake tadi gak ada?! Perasaan tadi masih Eri pake kok dikaki.
“Tunggu Tante.., jangan masuk dulu..” suara Eri membuat Tante Lina berhenti memapah Eri.
“Loh kenapa?”
“Sandal-sepatu aku mana ya, Tan?” Eri menoleh kebelakang, ketempatnya terjatuh tadi. “Ya ampun! Sandal-sepatuku robek.” Ratap Eri sedih ketika melihat sandal-sepatunya tergeletak tak berdaya diatas tanah yang becek. Uuuuh! Nyebelin benget sih! Ini tuh satu-satunya sandal-sepatu yang Eri bawa. Eri emang bawa sandal lain, tapi sandal jepit. kalo Eri mau jalan-jalan masak iya sih dia maau pake sandal jepit butut dan budukan. Nggak banget deh!!
“Udah masuk aja dulu yuk Ri, luka kamu Tante obatin dulu.” Bujuk Tante Lina. Eri menurut pasrah.

* * * * * * * *

“Aaaah Ryzkyyyy!! Liat dong sandal-sepatu gue robek.” Rengek Eri mengadu pada Ryzky sambil memegangi sandal sepatunya yang telah kotor terkena tanah.
“Lo ‘kan masih punya sandal lain.”
“Iya ada. Tapi sandal jepit. Lo pikir gue mau apa pake sandal jepit kemana-mana?!” jawab Eri judes gak ketulungan.
Ryzky malah tertawa. “Ya udah jadi mau lo apa sekarang?”
Eri duduk diteras sambil menopang dagunya. “Mmmmm. Gue pengen minta beliin yang baru aja deh sama Ayah Bunda.”
“Nah tuh pinter.”
“Tapi ‘kan…, malem ini malem tahun baru, otomatis entar malem Bunda sama Ayah bakal ngajak gue jalan-jalan atau ngadain acara apa gituuu!”
“Terus?”
Eri mengetuk-ngetukkan jarinya pada dagu. “Berarti gue harus beli sandal baru yang bagus sekarang juga, kalo emang gue gak mau nanti malem jalan-jalan cuma pake sanda jepit butut.” Putus Eri.
Ryzky menempeleng kepala Eri. “Mau pergi sama siapa lo? Sendiri? kaki lo  aja masih sakit, gimana mau pergi. Lagian apa lo hapal kota Bandarlampung yang super luas ini, Non?” repet Ryzky dengan pertanyaan yang sangat sengit. Membuat Eri terdiam mati kutu.
Lagian Ryzky ada benernya juga kok. Kaki Eri ‘kan masih sakit, terus Eri ‘kan gak hapal Bandarlampung. Bisa nyasar dia kalo nekat pergi. Mau minta  anterin Ayah, tapi Ayah masih dirumah sakit. Mau minta anterin Bunda, laah Bunda aja gak bisa ngendarain mobil. Lagian kalo Bunda bisa ngendarain mobil sekalipun percuma aja, wong dirumah juga lagi gak ada mobil. Mobil ‘kan dipake Ayah. Ini nih susahnya kalo cuma punya satu kendaraan dirumah.
Eri memutar bola matanya terlihat berpikir keras. “Kalo gitu lo temenin gue ya Ki? Kita naik angkot aja.”
“Nemenin kemana?”
“Kepasarlah bloon. Namanya juga gue mau beli sandal.”
Lagi-lagi Ryzky menempeleng kepala Eri. “Emang lo tahu arah kalo mau jalan kepasar?”
Eri memelintir-melintir rambutnya. “Hmmm. Kalo ke bambu kuning doang sih gue tahu. Tinggal naik angkot putih dari sini.”
“Yakin gak akan nyasar?”
“Gak. Gue yakin seribu persen.”
“Oke kalo gitu. Gue nemenin lo.”
“Horayyy!! Makasih ya Ki. Lo mau kemana?” Tanya Eri melihat Ryzky tiba-tiba berdiri.
“Gue mau izin sama Tante Lina dulu. Tunggu sebentar.” Ryzky melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
“Tan.. Tante?!” panggil Ryzky mencoba mencari Tante Lina didalam rumah. Berharap Tante Lina akan tiba-tiba muncul jika dipanggil bak jin yang keluar dari lampu ajaib milik Aladin.
“Kenapa Ki kok nyari Tante?” Tante Lina menyentuh pundak Ryzky dari belakang. Membuat Ryzky sedikit kaget.
Ryzky berbalik menghadapkan badannya ke Tante Lina. “Aku mau pergi Tan. Boleh ‘kan?”
“Pergi? Sama siapa? Kemana?”
“Sama Eri Tan, mau nemenin dia beli sandal. Ke bambu kuning doang kok. Boleh ya, please?” Ryzky menyatukan kedua telapak tangannya.
“Ya udah. Inget jangan sampe nyasar ya! Kamu ‘kan belum hapal Bandarlampung. Kalo aja Tante lagi gak mau pergi ke tempat temen Tante sekarang, mungkin Tante yang bakal nganterin kamu sama Eri, Ki.”
Ryzky tersenyum, sebagai tanda menghargai atas niat baik yang ada dilubuk hati Tante Lina. “Udah, gapapa kok Tan.”
“Eh tapi ‘kan kaki sama tangan kamu masih sakit Ki?”
“Gak kok Tan, liat nih. Aku udah kuat. Gak sakit lagi.” Ryzky menirukan gaya seorang binaragawan yang sedang pamer otot.
Tante Lina mengusap wajah Ryzky. “Ya udah, pergi gih sana, entar keburu sore.”

* * * * * * * *

Ciiit! Angkot putih yang dinaiki oleh Ryzky dan Eri berhenti tepat didepan Ramayana. Salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Bandarlampung.
“Kok berenti disini, Bang?” Tanya Eri pada Si supir angkot.
“Waaa sangun berentei di jo kidah. Mak dapek dak san. Lamun nikeu agou..,”
“Iya-iya Bang. Udah saya ngerti kok!” Eri memutus pembicaraan Si Abang supir angkot lalu buru-buru memberikan uang pembayaran karena sudah gak tahan lagi mendengar bahasa yang keluar dari mulut Si Abang. Mending turun cepet-cepet deh, daripada mabok karena gak ngerti apa yang diomongin. Percuma juga kalo Eri  tetep kekeuh dengerin omongan Si Abang supir. Toh, ujung-ujungnya dia gak ngerti juga ‘kan?!
Walaupun udah bertahun-tahun tinggal di Bandarlampung, Eri sedikitpun gak bisa berbahasa Lampung. Jangankan bahasanya, daerahnya aja gak hapal.
“Eh Ri, tadi tuh supir angkot ngomong bahasa apa sih?” Tanya Ryzky saat mereka berdua baru saja turun dari angkot.
“Bahasa lampung.”
“Ooohh..”
“Yuk!”
“Yuk kemana?”
Bletak! Eri menjitak kepala Ryzky jengkel. “Ke bambu kuninglah.”
“Emang kita belum nyampe?”
“Belum, tuh jalan kaki sedikit kedepan.” Eri menunjuk kedepan beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri.
Ryzky manggut-manggut, ia dan Eri akhirnya berjalan kaki menuju bambu kuning.
“Ki, liat gih! Bagus banget!” puja Eri pada sebuah boneka beruang berwarna biru yang terlihat sangat lucu. Boneka itu terpajang disalah satu kios yang ada di bambu kuning.
“Ya, kalo lo ada duit beli!”
Bibir Eri jadi manyun mendengar perkataan Ryzky. “Gak ada sih Ki. Gue cuma bawa uang buat beli sandal. Tapi gue pengeeeen.” Rengek Eri manja terus menerus.
“Mending punya boneka itu apa ngerayain tahun baru pake sandal jepit yang lo pake sekarang?”
Eri diam dan hanya bisa memandangi kedua pasang kaki mungilnya yang memang sedang memakai sandal jepit butut berwarna hijau dan sangat kotor. Eri persis seperti anak kampung yang sering main becek-becekan jika memakai sandal jepit itu.
Eri mendesah pasrah. “Iya deh iya.”
“Bagus deh kalo nurut.” Ucap Ryzky penuh kemenangan lantas terus berjalan.
Eri membuntuti Ryzky dari belakang sambil terus memperhatikan berbagai macam jenis barang yang dijajakan para pedagang.
“Ki itu!” Eri menarik lengan baju Ryzky manja sambil menunjuk ke suatu titik.
Ryzky menoleh menatap Eri nanar. “Apa? Boneka lagi?”
Eri mencubit hidung Ryzky. “Bukan bego! Itu sandalnya bagus banget!” mata Eri terlihat begitu berbinar. Seandainya saja sekarang Eri ada didalam film kartun, mungkin mata Eri sudah diberi efek bercahaya dan berkilat-kilat saking berbinarnya.
“Mahal! Emang lo ada duit segitu?” Tanya Ryzky setelah melihat label harga yang tercantum dibawah sandal yang dipajang didalam toko yang ditunjuk Eri, yang sepertinya toko itu merupakan toko-toko kaum high-class. Karena barang-barang yang dipajang adalah barang-barang branded yang harga termurahnya mungkin berkisar sekitar satu juta.
Eri menggeleng kecewa, membenarkan perkataan Ryzky barusan. “Huh! Kenapa juga gue tadi gak bawa credit card-nya Bunda?! Gue malah cuma dikasih uang cash.” Keluh Eri sedikit curcol (curhat colongan) pada Ryzky.
“Yaudah deh. Mau gue tambahin gak uang lo? Kebetulan gue bawa duit juga.” Tawar Ryzky yang langsung disambut anggukan senang oleh Eri.
“Makasih ya Ki.” Eri menjawil pipi Ryzky.
“Iya. Ayo!” Ryzky menarik lengan Eri masuk kedalam toko super mewah itu.
“Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” Eri dan Ryzky langsung disambut dengan keramahan pegawai toko begitu masuk.
Eri mengangguk. “Saya mau beli sandal yang itu, Mba.” Tunjuk Eri pada sandal yang dilihatnya tadi.
“Nomor sepatunya berapa?”
“38.”
“Kalau begitu silakan tunggu sebentar. Saya ambilkan dulu barangnya.” Pamit pegawai toko itu lalu berjalan pergi.
Eri dan Ryzky duduk disalah satu kursi kayu yang ada didalam toko itu. Kursi itu sepertinya memang telah disiapkan untuk para pembeli yang sedang menunggu, karena selain Eri dan Ryzky, terdapat beberapa orang lainnya yang duduk dibangku itu sambil memegangi dompet, bahkan ada yang sedang menghitung uang. Ciri-ciri pembeli sejati ya begini nih!
“Silakan dicoba dulu sepatunya.” Pegawai toko itu datang lagi dan langsung mempersilahkan Eri untuk mencoba sandal yang ingin dibelinya.
Eri mencopot sandal jepit bututnya yang rasanya ingin sekali Eri buang jauh-jauh karena telah membuat aib. Orang secantik Eri, kok pake sandal jepit budukan gini. Bukankah itu salah satu aib?! (PeDe banget seeeh!!! Biasanya juga nyeker alias gak pake sandal)
“Pas kok Mba pas banget.” Eri memandang takjub kakinya yang memakai sandal branded itu. Sandal yang cantik dengan warna putih dan abu-abu yang mendominasi.
“Mau bayar cash atau credit card?”
Cash aja.” Eri mengeluarkan dompet yang sedari tadi dikantonginya disaku jaket dan mengambil beberapa lembar uang seratus-ribuan. “Tunggu bentar ya Mba.” Eri menyikut Ryzky. “Uang lo mana?”
Ryzky merogoh sakunya juga lalu mengeluarkan beberapa lembar uang lima-puluh-ribuan lalu menyerahkannya pada Eri.
Eri baru saja hendak menyerahkan uang itu pada pegawai toko saat tiba-tiba..,
“Jambret!!!!!” teriak Eri refleks, begitu menyadari uang yang ada ditangannya telah raib dalam hitungan detik.
Ryzky dan seluruh orang yang ada didalam toko itu langsung mengalihkan pandangan pada Eri, namun pandangan Eri justru tertuju tertuju kearah luar toko.
“Jambretnya kabur Ki! Kejer!!!” perintah Eri membuat Ryzky langsung berlari keluar toko. Jambret itu sepertinya memang telah ada didalam toko sedari tadi. Ia berpura-pura menjadi pengunjung, lalu saat ada yang lengah mengeluarkan uang, jambret itu langsung merampasnya. Modus yang licik.
Eri menanggalkan sandal branded yang hampir dibelinya lalu memakai sandal jepit yang dipakainya tadi dan segera mengikuti Ryzky berlari mengejar jambret keluar toko.
Eri memanjangkan lehernya mencoba mencari Ryzky yang telah berlari cukup jauh didepannya. Saat telah menemukan posisi Ryzky, Eri langsung berlari kencang untuk menyusulnya. Eri melewati beberapa lorong yang berisi kios-kios yang ada di bambu kuning, lalu perlahan berlari semakin jauh mengikuti Ryzky dan jambret yang berjenis kelamin cowok itu. Udah jambret, jelek lagi! Dari penglihatan yang Eri lihat sepintas tadi, jambret itu rambutnya keriwil, badannya hitam legam, wajahnya penuh jerawat segede batu kerikil. Wajah yang sungguh lebih mengerikan jika dibandingkan dengan orang utan yang ada di ragunan.
Eri mengerem kakinya begitu melihat Ryzky berhenti berlari mengejar jambret itu. Ryzky berdiri sambil memegang lututnya. Sepertinya kaki Ryzky yang masih sakit akibat jatuh dari pohon beberapa hari yang lalu mulai terseok-seok setelah berlari-lari begitu jauhnya. Eri berhenti tepat disamping tubuh Ryzky dengan nafas yang ngos-ngosan. Eri pun dapat merasakan nafas Ryzky yang tak berbeda jauh darinya, sama-sama ngos-ngosan juga. Sedangkan jauh didepan sana, jambret sialan itu pasti mengulas senyum penuh kemenangan karena telah berhasil membuat Eri dan Ryzky tak mengejarnya lagi.
Eri mengedarkan pandangannya. Ia dan Ryzky telah terbawa kepinggir sebuah jalan raya yang sangat ramai sekarang.
“Ki?” Eri menyentuh pundak Ryzky.
Ryzky mendongak, menatap Eri dengan wajah yang pucat.
“Lo gapapa ‘kan Ki?” Eri mendudukkan tubuh Ryzky diatas trotoar.
Ryzky menggeleng. Ia menyeka peluhnya menggunakan tangan. “Sori ya Ri, gue gak bisa ngejer jambret itu.”
Dada Eri terasa sesak, rasa sesal timbul begitu saja dihatinya. Disaat seperti ini, masih saja Ryzky menyalahkan dirinya sendiri.
Eri mengusap-usap punggung Ryzky. “Iya Ki. Makasih juga ya. Udah bantu gue ngejer jambretnya.”
“Tapi ‘kan jambretnya..,”
“Ssst!” Eri meletakkan jari telunjuknya didepan bibir. “Udah jangan dipikirin lagi. Kita pulang aja ya.” Eri merogoh saku jaketnya bermaksud mengeluarkan dompetnya.
Loh! Loh! Kok gak ada?! Dompet Eri gak ada!!! Apa jangan-jangan jatuh waktu lari-lari tadi?!
Plak! Eri menepuk dahinya. membuat Ryzky melirik bingung pada Eri.
“Kenapa Ri?”
Eri menggaruk-garuk kepalanya linglung. “Dompet gue jatuh Ki. Uang gue disitu semua. Gimana kita mau pulang kalo gue aja gak ada uang.”
Plak! Ryzky ikut-ikutan menepuk dahinya persis seperti yang dilakukan Eri. “Ya ampun Ri, gue juga udah gak ada uang lagi. Sisa uang gue, yaa yang tadi dijambret itu.”
Eri menundukkan kepalanya bingung, mesti gimana nih?!
“Ki.. Ki..” Eri mengguncang-guncang tubuh Ryzky. Tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu.
“Kenapa?”
“Ini daerah apa Ki? Gue gak tahu.”
Glek! Ryzky menelan ludah. Kepalanya seperti baru saja tertimpa dua ton batu bata.
“Serius Ri? Astaga! Gue juga gak tahu ini daerah apa!” Ryzky memandangi sekelilingnya. Yang ia tahu hanya satu. Ia dan Eri berada disebuah pinggir jalan raya yang sangat ramai.
“Aduuuh!!! Nyasar nih kita!!!” Eri meremas-remas rambutnya khawatir.
Tring! Tiba-tiba Ryzky teringat sesuatu.
“Ri, lo bawa HP ‘kan? Telpon aja bokap nyokap lo!”
Eri menggigit bibir bawahnya. “Nggak Ki. Tadi HP gue sengaja gue tinggalin dirumah. Lo? Lo pasti bawa HP ‘kan?” Tanya Eri penuh harap.
“Nggak.” Jawab Ryzky pendek dalam keputus-asaan.
Duk -debuk-bleduk-bleduk! Eri merasakan berjuta-juta batuan meteor yang beratnya beribu-ribu ton baru saja menimpa tubuhnya.
Haloooo???!!!! Apa gak ada yang lebih buruk lagi daripada kesasar ditempat yang sangat asing tanpa bawa uang dan tanpa membawa alat komunikasi yang bisa dipergunakan untuk meminta pertolongan pada orang yang kita kenal?! Untuk saat ini Eri dan Ryzky dapat merasakan gak ada yang lebih buruk lagi dari pada itu. Karena keadaan sekarang saja sudah sangat buruk!! Apalagi hari mulai gelap, sudah hampir jam enam sore.
“Kita pulang jalan kaki aja!”
Eri menoleh kerarah Ryzky dengan tatapan mencemooh. “Kalo gue tahu jalan pulang. Dari tadi kali kita pulang jalan kaki.”
Ryzky terhenyak. Benar juga apa kata Eri. Namun pada detik berikutnya ia kembali bersuara. “Kita tanya aja jalan pulang sama orang yang lewat.”
Kini Eri menatap Ryzky lagi, namun kali ini dengan tatapan yang geram melihat kebodohan Ryzky yang tiada hentinya. “Lo mau kita mati ketabrak karena nyetop orang yang naik kendaraan dijalan seramai ini?! Pikir dikit dong Ki!” Eri menunjuk-nunjuk kepalanya menggunakan jari telunjuk.
Lagi-lagi Ryzky harus membenarkan perkataan Eri. Jalanan ini sangat ramai, jadi kalau ingin  bertanya pada orang, yaa harus menyetop kendaraan yang sedang lalu-lalang dengan konsekuensi akan ditabrak oleh kendaraan lain. Sempat terlintas dibenak Ryzky untuk bertanya pada orang yang sedang lewat dengan berjalan kaki. Namun lagi-lagi Ryzky membatalkan niatnya karena tak ada satupun orang yang lalu-lalang dengan berjalan kaki. Trotoar yang biasanya digunakan pejalan kakipun sangat sepi, hanya ada Ryzky dan Eri yang sedang duduk diatas trotoar itu.
“Ki, gue mau ngomong.” Eri memeluk lengan Ryzky suaranya mulai bergetar.
“Hhhh.. Ngomong apa?”
Eri menenggelamkan wajahnya dipundak Ryzky, ia menangis. “Udah Ri, jangan nangis. Gue yakin kita pasti bisa pulang.”
Eri menegakkan kepalanya. Wajahnya yang keruh itu ini terlihat sangat jelas. “Gue laper.” Eri memegangi perutnya yang sudah tak bisa diajak kompromi lagi.
Ryzky tersenyum melihat tingkah Eri. Jadi dia nangis cuma karena laper?! Ryzky kira Eri menangis karena rasa takut.
“Tapi gimana Ri? Kita gak ada uang.”
Eri menggeleng bingung. Bagaimana caranya mendapatkan uang?!
Ryzky mengedarkan pandangannya menyapu pemandangan yang ada disekitarnya. Tring! Tiba-tiba muncul sebiah ide brilian diotak Ryzky ketika melihat sebuah restoran masakan padang yang ada diseberang jalan.
“Lo biasa jadi babu gak dirumah?”
Eri mengerling tajam pada Ryzky. “Ryzkyyy!!!” pekik Eri kesal. “Lo bisa gak sih gak usah bercanda dulu? Kita lagi dapet masalah besar.”
“Siapa juga yang becanda sih Ri? Gue nanya serius.”
Eri menatap bola mata Ryzky dalam, dan menemukan sebuah kejujuran dimatanya. Ryzky benar-benar serius kali ini.
“Ya dikit sih. Kenapa emang?” jawab Eri akhirnya, mulai terpancing dengan pertanyaan Ryzky.
“Kita kerja. Mau gak?”
“Kerja? Dimana? Jangan ngaco! Gue belum ada ijazah SMA udah mau lo ajak kerja.”
Ryzky menoyor dahi Eri. “Kerja sementara bloon. Cuma beberapa jam.”
“Kerja dimana?”
“Itu tuh!” Ryzky menunjuk restoran padang yang ada diseberang jalan dengan dagunya.
Eri menunjukkan ekspresi bingung. “Kerja apa disana?”
“Ya kerja apa kek. Jadi tukang nyapu juga gapapa. Yang penting kita bisa dapet uang buat beli makan sama bekal pulang.”
Jger! Kepala Eri terasa tersambar petir. Ryzky bilang apa barusan?! Tukang sapu?! Gila! Eri dirumah aja jarang banget nyapu. Gimana mau jadi tukang sapu?! Kalopun bantu-bantu dirumah, Eri cuma nyuci piring. Toh, di Bandung sudah ada Bi Mar dan di Bandarlampung sudah ada Mbok Mijem. Walaupun sekarang Mbok Mijem sedang pulang kampung sih, karena anaknya nikahan.
“Mau gak? Daripada lo mati kelaparan terus kita gak bisa pulang.”
Eri mengangguk setuju. Apa boleh buat!
Ryzky mengenggam tangan Eri kuat-kuat saat mereka akan menyeberangi jalanan yang ramai menuju restoran seberang. Jalanan sore itu sangat ramai, Eri dan Ryzky sampai harus menunggu beberpa menit untuk menyeberang.
Ryzky meremas-remas tangan Eri menghilangkan kecanggungan. “Gue grogi nih, Ri.”  Bisiknya pada Eri pelan.
“Selamat sore Mas, Mbak. Mau pesan apa?” seorang pelayan mendatangi Eri dan Ryzky saat mereka baru saja menjejakkan kaki didalam restoran.
Ryzky garuk-garuk kepala. “Begini Mba, kami mau cari pekerjaan. Ada gak?”
Pelayan restoran itu langsung mengulas senyum tipis diatas wajahnya. “Diii!! Andii!!! Ada yang mau cari kerja nih!” panggil pelayan restoran itu pada seseorang bernama Andi.
Tak lama keluarlah dari bilik dapur seorang lelaki jangkung dengan jenggot tipis yang menggelantung didagunya. Perawakan lelaki ini mengingatkan Eri pada Thomas Nawilis. Tau ‘kan?! Artis yang sekaligus sutradara dan produser muda itu loh!
“Nih Ndi orangnya. Aku tinggal dulu ya.”
Sepeninggal pelayan restoran tadi orang yang bernama Andi itu langsung memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan, nama saya Andi. Saya head chef sekaligus manager disini.” Andi mengulurkan tangannya pada Ryzky.
“Saya Ryzky Pak. Yang ini Eri.”
Andi tersenyum. “Jangan panggil saya bapak. Panggil saja saya Andi.”
Ryzky dan Eri manggut-manggut.
“Oh ya silahkan duduk dulu.” Andi mengajak Eri dan Ryzky duduk disalah satu kursi yang ada didekat tempat mereka berdiri. “Jadi kalian mau cari kerja?”
“Iya. Tapi kami cuma mau cari kerja kecil-kecilan aja, hanya untuk beberapa jam. Gak lebih.”
Andi mengerutkan dahinya, tak mengerti apa maksud perkataan Ryzky. “Bisa jelaskan secara rinci apa maksudnya?”
Ryzky pun menjelaskan semuanya dari awal. Saat mereka berdua dijambret, tersesat, dan lain sebagainya. Andi sampai dibuat bengong takjub mendengar kisah stragis itu, sungguh malang nasib dua orang ini, pikirnya.
“Kalau begitu, saya akan memberikan kalian pekerjaan sebagai tukang cuci piring saja. Bagaimana? Setuju?”
Eri terlihat girang. Pas sekali dengan keahlianku, pikirnya.
Ryzky mengulurkan tangannya. “Setuju!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar