JANJI
EPILOG
“Erii!!”
Eri
menoleh dan mendapati Ryzky tengah berdiri dibelakangnya dengan tangan
tersembunyi dibalik punggung.
“Ryzky
kenapa? Kok tangannya disembunyiin gitu sih? Tangan Ryzky sakit ya?” suara Eri
terdengar sangat khawatir. Air mukanya ikut menunjukkan kekhawatiran itu.
“Gak
kok. Tangan Ryzky gak sakit.”
“Terus
kenapa?” kini giliran bibir Eri yang menjadi maju beberapa centi jadi manyun.
“Taraa!!”
Eri
terperangah begitu mengetahui apa yang sedari tadi disembunyikan ryzky dibalik
punggungnya. “Ryzky. Ini bagus banget. Buat Eri ya?” sorot mata Eri terlihat
berbinar memandangi seuntai kalung panjang yang dirangkai dari bunga mawar yang
dibawa Ryzky.
Ryzky
mengangguk mantap. “Iya, ini buat Eri. Eri suka gak?”
“Suka
banget. Makasih ya Ki.” Eri mengerling pada Ryzky sesaat lalu menghempaskan
tubuhnya duduk diatas rerumputan. “Ryzky dapet bunga mawarnya darimana? ‘kan
dihalaman rumah Ryzky gak ada bunga mawar. Dihalaman rumah Eri juga gak ada.”
Ryzky
ikut duduk disamping Eri sambil bertopang dagu dan menatap kearah luar pagar
rumah Eri. “Ryzky beli disitu.” Ryzky menunjuk florist yang
terletak didepan rumah Eri dengan santai.
“Disitu
kan mahal. Ryzky dapet uang darimana?” Tanya Eri heran. Harga bunga di florist yang ada
didepan rumah Eri itu bukan main-main loh. Satu bucket bunga saja bisa mencapai 300.000, itupun sudah yang paling murah. Tentu
ini harga yang sangat mahal dilihat dari sudut pandang anak kecil seperti Eri
dan Ryzky.
“Ryzky
‘kan sengaja nabung jauh-jauh hari supaya bisa beliin kalung itu buat Eri. Riski
sampe berhari-hari gak jajan es lilinnya Mang Udin yang didepan sekolah karena
uang jajan Ryzky semuanya Ryzky tabung.” Jelas Ryzky polos.
“Kok
Ryzky gitu sih? Es lilinnya Mang Udin ‘kan makanan favorit Ryzky. Entar Ryzky
sakit loh kalo gak makan es lilinnya Mang Udin.”
Ryzky
tergelak mendengar celotehan Eri. “Siapa yang bilang gitu Ri?”
“Bunda
Eri. Waktu Eri sakit Bunda Eri beliin semua makan favorit Eri, kata Bunda Eri,
Bunda sengaja beliin semua makanannya biar Eri jadi banyak makan terus cepet
sembuh.”
“Terus
Eri sembuh?”
Eri
mengangguk. Kucir kuda yang ada dibelakang kepalanya ikut bergoyang-goyang. “Iya.
Berarti ‘kan Eri sakit karena Eri gak makan makanan favorit Eri. Buktinya waktu
makan makanan itu Eri langsung sembuh. Iya ‘kan?”
“Tapi
kok Ryzky gak sakit-sakit ya Ri?”
Wajah
Eri kembali manyun seperti tadi. Tapi kali ini bukan hanya bibirnya yang maju
beberapa centi, pipinya juga ikut mengembung. “Ih Ryzky kok ngomong gitu sih?
Bagus dong kalo Ryzky gak sakit,” Eri melipat tangannya didepan dada. “Eri ‘kan
sedih kalo Ryzky sakit.” Sungut Eri kesal.
“Gapapa
kok kalo Ryzky sakit demi Eri. Riski cuma mau ngasih Eri kenang-kenangan aja
sebelum Eri pindah ke Bandarlampung besok.”
Wajah
Eri langsung berubah menjadi mendung begitu mendengar perkataan Ryzky barusan.
Bahkan tanpa disadari Eri mulai menitikkan air matanya. “Eri sedih deh karena
mesti pisah sama Ryzky.”
Ryzky
mengalihkan pandangannya pada wajah Eri dan mendapati mata Eri telah basah. “Kok
Eri nangis sih?”
“Eri
gak mau pisah sama Ryzky, huhuhuhu!” Eri terus terisak sambil menutupi wajahnya
menggunakan lengan kanan.
“Kenapa
gak mau pisah?”
“Ya
entar ‘kan kita gak bisa main bareng lagi, temen Eri ‘kan cuma Ryzky.” Eri
mengusap air matanya perlahan.
“Emang
Bandarlampung itu dimananya Jakarta sih Ri?” Ryzky memutar-mutar bola matanya
bingung sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pada rumput.
Eri
hanya menggidikkan bahu dengan ekspresi wajah yang tak kalah bingung.
“Jauhan
mana Bandarlampung sama supermarket yang ada diujung jalan kompleks rumah kita
ya, Ri?”
“Kayaknya
deketan Bandarlampung deh Ki.” Jawab Eri sambil mengusap sisa-sisa air matanya
tadi.
“Waah
kalo gitu deket banget dong Ri, berarti kita masih bisa main bareng.” Ucap Ryzky
senang, membuat Eri ikut menunjukkan ekspresi senang diwajahnya.
“Iya
ya Ki. Asyik dooong! Berarti Eri masih bisa main kerumah Ryzky tiap hari.
Horee!!”
Eri
dan Ryzky bangun dari duduknya lalu berloncatan senang sambil mengaitkan
jari-jari kedua tangan mereka.
“Eri?” Ryzky berhenti melompat lalu menatap Eri lurus-lurus. Wajahnya terlihat sangat serius sekarang. Sungguh, wajah Ryzky yang lucu sangat tidak cocok dengan air mukanya yang serius itu. Seolah ekspresi serius itu sengaja dibuat-buat.
“Eri?” Ryzky berhenti melompat lalu menatap Eri lurus-lurus. Wajahnya terlihat sangat serius sekarang. Sungguh, wajah Ryzky yang lucu sangat tidak cocok dengan air mukanya yang serius itu. Seolah ekspresi serius itu sengaja dibuat-buat.
Eri
ikut berhenti berlompatan juga namun masih tetap menatap Ryzky dengan sorot
matanya yang polos. Walaupun Eri dan Ryzky seumuran, namun sisi kekanakan Ryzky
tidak begitu menonjol dibanding dengan Eri. Bisa dibilang Ryzky tidak terlalu
polos untuk seukuran anak kecil yang berusia 7 tahun.
“Kenapa?”
Tanya Eri.
“Eri
mau gak janji sama Ryzky?”
Alis
Eri bertaut menandakan kebingungan.
“Janji
apa?”
“Eri
mau gak kalo kita udah besar nanti jadi pengantinnya Ryzky?!”
“Pengantin?”
“Iya pengantin. Kayak Papa Mamanya Ryzky, kayak Bunda sama Ayahnya Eri juga.” Jelas Ryzky sabar.
“Pengantin?”
“Iya pengantin. Kayak Papa Mamanya Ryzky, kayak Bunda sama Ayahnya Eri juga.” Jelas Ryzky sabar.
“Oooh.
Iya Eri mau,” jawab Eri antusias pada akhirnya. “Entar ‘kan kita gak bakalan
pisah-pisah kalo jadi udah jadi pengantin. Kita bakal bisa main bareng terus.”
Ryzky
mengangguk. “Iya Ri. Kita bakal bisa main petak umpet atau layangan sepuasnya.”
“Kalo
gitu janji ya?” Eri menyodorkan jari kelingking kanannya kehadapan Ryzky.
Riski
tersenyum lalu segera menyambut jari kelingking Eri dengan jari kelingkingnya. Kini
jari kelingking mereka saling bertaut satu sama lain. “Iya Ryzky janji. Eri
juga janji ya.”
“Ryzkyyy!!!”
sebuah suara lantang tiba-tiba memanggil Ryzky. Suara itu berasal dari rumah Ryzky
yang berada disebelah rumah Eri. Pasti itu suara Mamanya Ryzky.
Ryzky
melepaskan jari kelingkingnya lalu menoleh cepat kearah rumahnya.
Rupanya
Mama sudah berdiri dengan wajah lega dipagar pembatas antara rumah Eri dan
rumah Ryzky. “Kamu disini rupanya Ki. Mama udah nyari kamu keliling rumah. Eh
ada Eri juga. Kalian lagi main apa?”
“Gak
main apa-apa kok Tante.” Jawab Eri sambil melempar senyum grogi dan
menyembunyikan kalung mawar yang
diberikan Ryzky tadi dibelakang punggungnya. Eri malu aja kalo sampe Mamanya Ryzky
tahu tentang kalung itu.
“Ki
ayo mandi dulu. Kamu ‘kan belum mandi, ini udah jam 5 sore.” Perintah Mama
halus.
Ryzky
langsung berlari kecil menuju rumahnya sambil melambaikan tangannya pada Eri.
“Ryzky-nya
Tante pinjem dulu ya Ri. Entar lagi mainnya.”
Eri
mengembang-ngempiskan pipinya sebal. Huh! ‘kan Eri lagi mau main sama Ryzky!!!
* * * * * * * *
8
tahun kemudian…
Duk!
“Adaoww!” Andra meringis saat tiba-tiba
kakinya terhantuk meja dan menyebabkan dirinya tersungkur kelantai kelas.
“Hahahaha. Makanya cari kerjaan laen
dong! Kerjaan lo cuma ngusilin gue mulu,” Eri tersenyum puas sambil melempar
sorot mata kemenangan. “Sini raport gue!” Eri merebut secara paksa raportnya
dari tangan Andra.
Andra mendudukkan tubuhnya dilantai. “Gue
‘kan cuma mau liat nilai raport lo Ri.”
“Ngapain liat-liat? Lo juga ada raport ‘kan?!
Ya liat aja nilai raport lo sendiri.” Celetuk Eri pedas tanpa ampun.
Andra mendengus kesal. “Gue mau liat
sebesar apa nilai lo itu? Sampe-sampe gue yang anaknya Albert Einstein aja bisa
kalah peringkat sama lo.”
Eri tergelak mendengar perkataan
barusan. What?! Albert Einstein?! Gak
salah tuh?
“Kalo lo mau liat seharusnya minta
baik-baik dong. Bukan main rampas aja kayak jambret dipasar. Lagian nilai gue
gak besar-besar amat kok. Cuma selisih dikit sama lo. Namanya juga, gue rangking
satu, elonya rangking dua.”
Pletak!
Andra bangkit dari lantai lalu
menoyor kepala Eri kesal. “Itu akibatnya
karena tadi ngomongin gue jambret.”
“Sakit bego.” Gerutu Eri sambil meringis
dan memegangi kepalanya.
“Seharusnya elo ngizinin gue buat
ngejahilin lo sepuasnya hari ini. Gue ‘kan bakal jarang ketemu elo Ri karena
liburan semester. Jadi gue juga bakal jarang bisa ngejahilin lo,” Andra
mengerling sambil tersenyum penuh arti pada Eri. “Kecuali kalo gue ngapelin lo
dirumah. Hahahaha.”
Eri meninju lengan Andra pelahan. “Enak
aja! Siapa elo maen apel-apel aja kerumah gue? Pacar gue juga bukan. Lagian elo
tega banget, masak kerumah gue cuma karena mau ngejahilin gue.” Sungut Eri kesal.
Eri dan Andra emang gak pernah akur.
Sejak saling kenal karena satu kelas saat masuk ke SMA 17 Agustus Bandung ini
mereka berdua emang sudah seperti Tom and Jerry. ”Tiada hari tanpa saling usil
dan saling ejek” mungkin itu adalah semboyan kehidupan mereka. Tapi belakangan
ini, aksi saling saling usil antara mereka berkurang sudah sangat drastis. Dari
biasanya sejam bisa ribut empat sampai lima kali. Sekarang dalam sejam hanya
satu atau dua kali. Bahkan tekadang tidak sama sekali. Justru Eri dan Andra
menjadi sangat akrab sekarang. Entah angin badai atau tsunami darimana yang
bisa membuat sikap keduanya menjadi berubah seperti itu. Bahkan saking
dekatnya, baru-baru ini mereka digosipkan “ada apa-apanya”. Namun baik Eri
ataupun Andra membantah gosip murahan itu.
“Akhirnya ada yang gosipin gue juga .
Serasa jadi artis gue kalo kayak gini. Hahahaha.” Begitulah tanggapan Eri saat
mendengar kabar angin tentang dirinya. (GR banget sseeh?! Jadi orang kok kepedean!)
“Hehehe. Abisnya gue bisa meriang kalo
sehari gak ngejahilin lo Ri.” Andra cekikikan geli, sementara muka Eri tambah
ditekuk.
“Yaaa.. Yaaa. Terserah!” Eri melipat tangannya
didepan dada sambil bersandar pada meja yang diduduki Andra.
“Gitu aja ngambek!” protes Andra.
Eri tetap diam sambil terlihat berpikir.
Sekian detik kemudian mata Eri membulat senang, ia seperti teringat sesuatu.
Eri menoleh pada Andra. “Lo gak bakal
bisa ngejahilin gue waktu liburan. Weekk!” Eri memelet-meletkan lidahnya
didepan wajah Andra.
Alis Andra bertaut heran. “Emangnya
kenapa?”
“Gue mau liburan ketempat orang tua gue
di Bandarlampung. Hahaha, Akhirnya gue bisa menjauh juga dari kota Bandung yang
sumpek nauzubillah ini.” Eri tersenyum puas. Sementara Andra malah menatapnya
lekat. “Gue pasti kengen banget sama elo Ri.”
Ada yang aneh saat Andra mengucapkan kalimat
itu. Kalimat itu kok kayaknya terucap dari lubuk hatinya yang paling dalam ya?
Dan entah kenapa Eri dapat merasakan hal itu.
“Gak usah sok melankolis deh lo! Pulang
yuk! Ngapain kita dikelas ini berduaan. Entar kalo satpam lewat kita dikira
lagi mesum tau!” Eri menggamit lengan Andra dan menyeretnya pulang.
* * * * * * * *
“Nih!” Mama menyodorkan sebuah tiket
kepada Ryzky.
“Tiket apa ini, Ma?” Tanya Ryzky heran.
“Tiket kapal ferry.”
“Buat apa?”
“Buat kamu liburan.”
Ryzky mengambil dengan ragu-ragu tiket
itu. Kok bisa dadakan gini sih? Lagian tumben-tumbenan Mama berbaik hati mau
beliin Ryzky tiket buat liburan.
Ryzky meneliti tiket itu dan matanya
merona senang begitu membaca tujuan kapal ferry yang akan dinaikinya nanti itu.
“Hah? Lampung, Ma? Yang bener?” Tanya Ryzky antusias.
Mama mengangguk mantap sambil terus
melanjutkan acara masak-memasaknya. “Iya. Kamu liburan dirumah Tante Lina ya
yang ada di Bandarlampung.”
Sing!
Kini perasaan Ryzky bukan hanya
senang, tapi sudah bercampur dengan setumpuk rindu juga. Bandarlampung ‘kan
tempat tinggalnya Eri. Siapa tahu dia bisa bertemu Eri disana. Eri, gadis kecil
yang sangat dirindukannya itu. Apa kabar ya dia sekarang? Semenjak Eri pindah 8
tahun lalu, Ryzky tak pernah sekalipun bertemu atau berkomunikasi dengannya.
Bahkan, Mama dan Papa yang merupakan sahabat dekat Ayah dan Bundanya Eri pun
juga ikut hilang kontak dengan keluarga Eri. Seandainya Eri tahu, Ryzky selalu
merindukannya dan Ryzky selalu menunggu Eri kembali suatu hari nanti. Ryzky
ingin mengulang masa-masa indah yang dulu sempat hilang.
“Kenapa bengong Ki? Kepikiran Eri?”
Tanya Mama tepat sasaran.
“Ngg..”
“Mama emang sengaja nyuruh kamu liburan
ke Bandarlampung biar bisa ketemu Eri. Karena Mama perhatiin dari dulu kamu selalu kangen sama Eri.”
Ryzky melempar senyum pada Mama. “Jadi
Mama tahu dong alamatnya Eri disana?” Tanya Ryzky antusias.
Namun sayang, Ryzky mendapat sebuah
gelengan kepala dari Mama.
“Gak Ki, Mama gak tahu. Ya Mama pikir
kalo lagi untung siapa tahu kamu ketemu Eri disana.”
Jger!
Jadi Mama menganggap liburan ini
sebagai ajang untung-untungan. Mama pikir Eri itu judi togel apa pake
untung-untungan segala.
“Jadi gimana Ryzky mau ketemu Eri Ma?”
Mama menggidikkan bahunya.
Fiuh! Mama payah nih!
* * * * * * * *
Eri memegang secarik kertas ditangannya
yang berisi daftar-daftar barang yang harus dibawanya saat liburan ke
Bandarlampung.
“Kaus!” Eri mengedarkan pandangannya
pada semua barang yang terhampar dihadapannya. Dan menemukan kaus-kaus
kesayangannya berada ditumpukan paling bawah. Eri mengambil beberapa helai kaus
dan memasukkanya kedalam koper.
“Sandal sepatu!” Eri kembali meneliti
satu-persatu barang dihadapannya. Dan menemukan sandal sepatunya diantara
tumpukan komik. Tapi kok cuma satu? Perasaan ada tiga deh.
Tok
tok tok! “Masuk!” teriak Eri
memerintah orang yang mengetuk pintu kamarnya barusan.
Kepala Bi Mar, asisten rumah tangga Eri
menyembul dari balik pintu. Dirumahnya yang ada di Bandung Eri memang hanya
tinggal berdua dengan Bi Mar. Eri dikirim ke Bandung oleh orang tuanya saat
mulai memasuki SMP. Namun orang tua Eri tetap tinggal di Bandarlampung karena
masih menjalani tugas di rumah sakit Abdoel Moeloek, Bandarlampung. Kedua orang
tua Eri memang seorang dokter. Bundanya adalah dokter spesialis THT. Sedangkan
Ayahnya adalah ahli bedah. “Udah siap, Non?”
“Dikit lagi, Bi. Lagi nyari sandal
sepatuku. Hilang.”
“Anu Non.. Taksi yang Non pesen udah
nyampe.”
Eri menoleh kearah Bi Mar yang masih
setia berdiri diambang pintu. “Suruh tunggu bentar ya, Bi.”
Bi Mar manggut-manggut lalu bergegas
keluar dari kamar Eri. Eri kembali sibuk mencari sandal sepatunya.
Aha! Ketemu juga, tapi kok udah agak
soak. Sepertinya Eri bakal minta beliin sepatu baru sama Ayah dan Bunda begitu
tiba di Bandarlampung nanti.
Eri membatalkan niatnya memasukan dua
pasang sepatu yang agak soak itu kedalam koper. Lalu segera ngibrit keluar dari
kamarnya dengan menggandeng sebuah koper besar dan tas kecil yang dipanggulnya
dibahu kanan.
“Bi aku pergi, jaga rumah baik-baik ya.
Daaah!” Eri menegur Bi Mar yang sedang menyiram bunga di halaman depan rumah.
Bi Mar menoleh cepat lalu melambaikan
tangan kepada pada Eri yang telah masuk kedalam taksi.
* * * * * * * *
Eri jadi kelimpungan sendiri melihat
suasana kapal ferry yang dinaikinya. Ramai bukan main. Serasa lagi ada didalam
acara pembagian mobil land cruise
gratis.
Kalo
tau gini naik pesawat aja deh!
Rutuknya dalam hati.
Eri memang berniat dari awal untuk naik
kapal ferry saja. Karena selama bertahun-tahun ia bolak-balik
Bandung-Bandarlampung sendirian, selalu saja naik air plane. Bosan juga kalo naik itu terus sekali-kali pengen nyari
suasana baru gapapa dong.
Eri memutuskan untuk beristirahat
diruang VIP kapal. Sebelum masuk ruang VIP, Eri harus membeli tiket dulu dengan
harga 15000 Rupiah. Mungkin harga yang terlalu mahal, hanya untuk menyewa
tempat peristirahatan dikapal seperti ini.
Eri menghempaskan tubuhnya lega keatas
salah satu kursi kayu panjang yang ada diruangan itu. Rasa ngantuk perlahan
menghampiri Eri. Ketika matanya hampir terpejam, Eri mendengar suatu bunyi,
bunyi kursi kayu yang bergesekan dengan kain. Berisik sekali. Eri mendengus
kesal lalu perlahan mencoba membuka matanya. Sepertinya ada seseorang yang
duduk disampingnya. Eri mengusap matanya yang mengantuk menggunakan punggung
tangan, lalu menoleh kesebelah kirinya, tempat orang yang mengganggu tidurnya
itu duduk.
Deg! Eri terdiam, matanya dan mata cowok yang duduk
disampingnya itu saling bertumbuk sekarang. Rupanya sedari tadi cowok ini
memang sedang memandanginya dengan air muka menyelidik sekaligus bingung dan
dingin. Sesaat Eri terhanyut pada tatapan cowok itu. Ketika Eri menyadari
sesuatu. Cowok ini cakep! Wajahnya oriental, rambutnya dipotong shaggy dan ada sedikit poni yang
menutupi sebagian dahinya. kulitnya juga kuning langsat. Namun sayang, cowok
secakep ini kenapa mesti punya tatapan dingin kayak gitu sih?! Seandainya sorot
matanya itu adalah sorot mata yang teduh dan ramah. Bisa dipastikan Eri akan langsung
mengalami love at first sight dengan cowok ini.
Tapi tunggu?! Kok kayaknya Eri familiar
ya dengan wajah cowok ini. Kayak pernah liat dimanaaaa gituuu!! Lupa!
Tiba-tiba cowok itu mengangkat sebelah
alisnya tanda bingung melihat Eri terus-terusan saja memandanginya.
Eri yang sadar langsung membuang muka
karena malu, lalu menutupi wajahnya dengan tas yang ia panggul dibahu. “Maaf,
gue ngeliatin lo. Gue pergi aja deh.”
Eri langsung ngibrit sambil terus
menutupi wajahnya dengan tas. Beberapa penumpang yang tengah beristirahat
diruang VIP itu juga langsung melempar sorot mata aneh dan curiga pada Eri.
Gaya Eri persis seperti teroris yang ingin kabur secara diam-diam. Karena
tempat persembunyiannya telah diketahui oleh polisi.
Namun Eri tak peduli. Ia terus berjalan
menuju deck kapal yang ada didepan ruang VIP. Eri meletakkan koper yang ia bawa
persis disamping badannya, lalu perlahan melepaskan tas yang sedari tadi
menutupi wajahnya. Kedua tangannya kini tengah berpegangan pada pagar pembatas
yang ada dipinggir deck. Tatapan matanya berkeliling, menjelajahi keindahan
laut yang terhampar luas dihadapannya. Sesaat Eri memejamkan mata lalu menarik
nafas panjang dan menghembuskannya kembali. Saat membuka matanya kembali, Eri
dikejutkan oleh suatu hal.
“Elo?!” mata Eri terbelalak mendapati
cowok yang tadi duduk disampingnya saat diruang VIP tengah berdiri disebelahnya
sekarang. Persis seperti yang Eri lakukan, kedua tangan cowok itu juga ikut
berpegang pada pagar pembatas deck kapal.
“Ternyata jauhan Bandarlampung ya
daripada swalayan yang ada diujung jalan kompleks? Jauh banget malah. Buktinya kita
mesti nyebrangin laut ini dulu kalo mau kesana.” Tiba-tiba saja cowok itu
bersuara tak jelas ujung-pangkalnya.
Dahi Eri berkerut. “Maksud lo?!” Tanya
Eri bingung. Tapi entah mengapa Eri merasakan
sesuatu detik itu juga, kok kayaknya Eri pernah denger kata-kata itu ya?! Tapi
dimana? Eri lupa? Kenapa sih cowok ini selalu mengingatkan Eri pada suatu hal?
Mulai dari wajahnya yang familiar, sampai perkataannya yang sepertinya Eri
pernah dengar? Tapi kenapa, Eri selalu lupa dan gak bisa mengingat hal itu?!
“Masih nyimpen gak kalung yang gue
kasih?”
Kini dahi Eri tambah berkerut dan
wajahnya tambah kusut. Ngomong apa sih ni cowok?!
Cowok itu mengerling pada Eri sesaat
lalu pada detik berikutnya malah sibuk merogoh isi tasnya. Dan ternyata dia mengeluarkan..,
“Mawar, bunga kesukaan lo. Dan waktu itu
gue ngasih lo kalung dari bunga mawar, dihari terakhir kita bertemu delapan
tahun yang lalu.” Cowok itu memutar-mutar setangkai mawar plastik yang ada
ditangannya.
Mata Eri membulat mendengar semua perkataan
cowok itu barusan. Kini Eri ingat, Eri ingat semua hal yang sempat ia lupa
beberapa menit yang lalu tentang cowok ini. Cowok ini ‘kan..,
“Ryzky???!!!” pekik Eri riang lalu
spontan memeluk Ryzky. Siapa sangka mereka bakal bertemu disini?! Sungguh hal yang
sangat mengejutkan untuk Eri.
“Akhirnya sadar juga.” Ujar Ryzky
nyindir.
Eri nyengir kuda. “Hehe, maaf Ki.
Abisnya elo udah berubah banget. Tampang ingusan lo waktu kecil udah gak
keliatan lagi. Jadinya gue udah gak seberapa ngenalin elo.”
Ryzky melepaskan pelukan Eri. “Sialan
lo! Baru juga ketemu gue udah nyela aja.” Sungut Ryzky sok pasang aksi ngambek.
“Ya maaf. By the way, kok lo bisa ngenalin gue tadi?”
Ryzky berdeham. “Gue tadi sempet baca
nama dikoper lo. Awalnya gue ragu, karena walaupun nama yang tertera di name tag koper lo itu ‘Naresa Libery’
tapi alamat yang tertera malah di Bandung. Karena setahu gue elo tinggal di
Bandarlampung. Tapi gue yakin, begitu gue liat tanda lahir berbentuk oval
ditangan kiri lo, itu pasti elo Ri.” Jelas Ryzky panjang kali lebar sama dengan
luas.
“Masih inget juga lo tanda lahir gue.”
Eri melirik sekilas pada tanda lahir oval yang ada ditangan kanannya lalu
pandangannya kembali tertuju ke hamparan laut yang luas.
“Iya lah Ri. Gak mungkin gue lupa. Oh
ya, kok lo bisa nyasar ke Bandung Ri? Orang tua lo pindah kesana?”
Eri menggeleng kuat-kuat. “Nggak. Gue
sendirian disana.”
“Gak ada temen?” Tanya Ryzky.
“Ada. Tapi cuma pembantu. Dirumah gue
yang di Bandung, gue emang cuma tinggal berdua sama pembantu gue.”
“Terus orang tua lo?”
“Ya di Bandarlampung.”
“Gak ikut pindah?”
Sekali lagi Eri menggeleng kuat-kuat.
“Mereka masih ada tugas disana. Gue dikirim ke Bandung sendirian waktu gue mau
masuk SMP. Kata mereka biar gue bisa dapet pendidikan yang bermutu.”
Dahi Ryzky berkerut, alisnya bertaut.
Wajahnya yang tampan hilang ditelan dengan ekspresi bingung itu. “Kenapa elo
gak ngasih tau gue Ri kalo lo ada di Bandung? Lo ‘kan bisa ngirim surat, kalo
gak tahu alamat gue lo ‘kan bisa minta sama bokap nyokap lo. Atau lo bisa
telepon kerumah gue. Kalo kayak gitu kita ‘kan bisa sering ketemu.”
Eri menoyor kepala Ryzky gemas. “Kata
bokap nyokap gue lo pindah. Kalo gue tau alamat lo yang baru. Gue pasti udah
ngirimin lo surat dari bertahun-tahun yang lalu Ki. Dan soal nomor telepon, semenjak elo pindah rumah,
bokap nyokap gue sering ngehubungin bokap nyokap lo kenomor telepon yang lama
tapi gak aktif, akhirnya semenjak saat itu, bokap nyokap lo sama bokap nyokap
gue jadi lose contact, makanya gue
gak tahu nomor telepon lo.”
Ryzky terhenyak. Benar apa kata Eri,
setahun semenjak kepindahan Eri dan keluarganya. Ryzky dan keluarganyapun ikut
pindah. Namun mereka masih pindah disekitar Jakarta saja, tidak keluar Jakarta.
“Elo SMA mana?” Tanya Ryzky mencoba
mengalihkan pembicaraan.
“SMA 17 Agustus, elo?”
“Gue SMA 78.”
Hening! Senyap! Sunyi! Gak ada yang
ngomong lagi. Baik Eri ataupun Ryzky. Mereka sibuk dengan pikiran
masing-masing.
“Ri?” Ryzky akhirnya bersuara memecah
keheningan.
“Mmm.” Eri hanya membalasnya dengan
gumaman singkat.
“Elo masih nyimpen kalung mawar dari
gue?”
Eri menoleh cepat pada Ryzky, lalu
tertawa kecil. “Ya masihlah Ki. Gak mungkin gue buang tu kalung mawar. Nih gue
bawa dalem koper gue. Mau gue tunjukkin?” tanpa menunggu jawaban Ryzky, Eri
langsung berjongkok dan membongkar isi kopernya. “Nih! Bener ‘kan? Gue gak
bohong.” Eri mengeluarkan kalung bunga itu dari dalam kopernya. Kalung bunga
itu dibungkus dengan sebuah plastik tebal yang transparan. Dari luar plastik, Ryzky
dapat melihat mawar yang merangkai kalung itu telah layu dan berwarna
kecoklatan tua. Sungguh warna yang pantas bagi mawar yang berusia delapan tahun
yang selama delapan tahun itu pula hanya disimpan dalam sebungkus plastik yang
tebal. Ryzky pun dapat melihat, tak hanya warna yang berubah menjadi coklat
tua. Banyak dari kelopak mawar itu telah gugur dari mahkota induknya.
Ryzky mengambil kalung mawar yang
dibungkus dengan plastik itu dari Eri. “Elo emang selalu bawa ini kemana-mana
ya?”
Eri mengangguk pasti. “Iya Ki. Kalo gue
pergi jauh yang membuat gue gak pulang kerumah. Gue pasti bawa kalung itu pergi
sama gue. Selama ini kalung itu gue pajang didinding kamar gue. Kalo gue mau
tidur, gue pasti mandangin kalung itu dulu. Gue gak bisa tidur kalo gak ada
kalung itu Ki.”
Ryzky manatap Eri yak percaya.
“Serius?!”
“Emang tampang gue meragukan ya?”
Riski menggeleng. “Bukan gitu Ri. Gue cuma
gak nyangka aja, elo selalu inget sama gue. Sama seperti gue selalu inget lo.”
Eri tertawa sambil mencubit lengan Ryzky
kuat.
“Aww!” Ryzky meeringis kesakitan sambil
mengelus-elus lengannya yang terkena cubitan maut Eri. “Kenapa lo nyubit gue
sih?!”
“Ya elo tuh kelewat bodoh Ki. Gue gak
mungkinlah ngelupain elo. Elo tahu Itu. Bahkan gue selalu kangen ama elo Ki.”
“Sama dong gue juga selalu kangen sama
elo. Gue pengen main bareng lo lagi.” Ryzky mengedipkan sebelah matanya nakal
pada Eri.
“Aneh!” tiba-tiba Eri berujar tak jelas.
“Aneh apanya?” Tanya Ryzky bingung.
“Daritadi kita ngobrol tapi gue belum
nanya elo naik kapal ferry ini mau
kemana.”
Riski cengengesan. “Oh itu toh! Gue mau
ke Bandarlampung Ri.”
“Ngapain?”
“Liburan.”
“Ke?”
“Ya Bandarlampung lah Ri, ‘kan tadi gue
udah bilang gue mau ke Bandarlampung.”
Eri menghentak kakinya kesal. “Iyaaaa
Gue tahu itu Ki. Maksud gue lo ke Bandarlampung itu ketempat siapa? Gak mungkinlah
elo nekat ke Bandarlampung sendirian tanpa ada tujuan yang jelas lo mau
ketempat siapa entar disana.”
Ryzky menggaruk-garuk kepalanya sambil
cengengesan. “Hehe, ya maaf. Ngg.. Gue mau ketempat Tante Lina. Tante gue yang
ada di Bandarlampung sana.”
“Rumah tante lo disebelah mananya
Bandarlampung?”
Riski menggidikkan bahu. “Gak tahu. Gue
lupa. Terakhir gue kesana itu…,” Ryzky memutar-mutar bola matanya mencoba
mengulang semua memori yang ada diotaknya untuk kembali mengingat kapan
terakhir kali dirinya pergi ke tempat Tante Lina di Bandarlampung. “Waktu gue
umur empat tahun kalo gak salah.” Ucap Ryzky akhirnya.
“Tunggu dulu, kalo lo gak tahu daerah
rumah Tante lo, gimana lo mau kesana begitu kita udah sampe? Bisa nyasar lo
entar.”
Ryzky melipat tangannya didepan dada,
pandangannya masih tertuju pada laut. “Tenang aja. Tante gue bakal jemput gue
setibanya gue di Bakauheni nanti. Nah elo sendiri mau kemana Ri?”
“Sama aja kayak lo.” Eri mendudukan
tubuhnya dengan posisi bersila dilantai kapal yang dingin dan berdebu, mungkin
kakinya sudah terlalu lelah terus-terusan berdiri sedari tadi.
“Hah?! Serius?! Waah berarti bisa sering
ketemu dong kita.” Riski mengikuti Eri, duduk dilantai kapal dengan posisi yang
sama pula, yaitu bersila. Kini mereka berdua bak sepasang pengemis yang sedang
meminta-minta ditengah jalan karena kelaparan karena sudah gak makan selama
berhari-hari.
“Iya. Makanya kasih tahu alamat rumah
Tante lo dong. Biar gue bisa main kesana. Entar gue juga kasih tahu alamat
gue.”
“Emangnya alamat lo dimana Ri?”
“Di Way Halim.”
“Way Halim itu sebelah mana?”
Eri meremas rambutnya kesal. Eri merasa
seperti sedang berbicara dengan orang yang tersesat dan hendak menanyakan
alamat kepadanya. Tapi dasar bego, orang yang tersesat itu aja gak tahu
alamatnya dimana. Jadi gimana mau ketemu rumahnya?!
“Udah deh entar aja. Kalo udah nyampe di
Bandarlampung, gue kasih tahu.”
Tiba-tiba Ryzky heboh merogoh-rogoh sakunya. Ternyata dia mengambil ponsel miliknya.
Tiba-tiba Ryzky heboh merogoh-rogoh sakunya. Ternyata dia mengambil ponsel miliknya.
“Kalo gitu minta nomor hp lo dong Ri?
Biar kita bisa saling contact”
Eri manggut-manggut dan ikut
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang dipanggul dibahu kanannya.
bersambung...
nantikan di posting selanjutnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar