Sabtu, 20 Oktober 2012

janji (cerbung)

ini cerbung pertamaku... selamat menikmati :)

JANJI

EPILOG
                                                            
“Erii!!”
Eri menoleh dan mendapati Ryzky tengah berdiri dibelakangnya dengan tangan tersembunyi dibalik punggung.
“Ryzky kenapa? Kok tangannya disembunyiin gitu sih? Tangan Ryzky sakit ya?” suara Eri terdengar sangat khawatir. Air mukanya ikut menunjukkan kekhawatiran itu.
“Gak kok. Tangan Ryzky gak sakit.”
“Terus kenapa?” kini giliran bibir Eri yang menjadi maju beberapa centi jadi manyun.
“Taraa!!”
Eri terperangah begitu mengetahui apa yang sedari tadi disembunyikan ryzky dibalik punggungnya. “Ryzky. Ini bagus banget. Buat Eri ya?” sorot mata Eri terlihat berbinar memandangi seuntai kalung panjang yang dirangkai dari bunga mawar yang dibawa Ryzky.
Ryzky mengangguk mantap. “Iya, ini buat Eri. Eri suka gak?”
“Suka banget. Makasih ya Ki.” Eri mengerling pada Ryzky sesaat lalu menghempaskan tubuhnya duduk diatas rerumputan. “Ryzky dapet bunga mawarnya darimana? ‘kan dihalaman rumah Ryzky gak ada bunga mawar. Dihalaman rumah Eri juga gak ada.”
Ryzky ikut duduk disamping Eri sambil bertopang dagu dan menatap kearah luar pagar rumah Eri. “Ryzky beli disitu.” Ryzky menunjuk florist yang terletak didepan rumah Eri dengan santai.
“Disitu kan mahal. Ryzky dapet uang darimana?” Tanya Eri heran. Harga bunga di florist yang ada didepan rumah Eri itu bukan main-main loh. Satu bucket bunga saja bisa mencapai 300.000, itupun sudah yang paling murah. Tentu ini harga yang sangat mahal dilihat dari sudut pandang anak kecil seperti Eri dan Ryzky.
“Ryzky ‘kan sengaja nabung jauh-jauh hari supaya bisa beliin kalung itu buat Eri. Riski sampe berhari-hari gak jajan es lilinnya Mang Udin yang didepan sekolah karena uang jajan Ryzky semuanya Ryzky tabung.” Jelas Ryzky polos.
“Kok Ryzky gitu sih? Es lilinnya Mang Udin ‘kan makanan favorit Ryzky. Entar Ryzky sakit loh kalo gak makan es lilinnya Mang Udin.”
Ryzky tergelak mendengar celotehan Eri. “Siapa yang bilang gitu Ri?”
“Bunda Eri. Waktu Eri sakit Bunda Eri beliin semua makan favorit Eri, kata Bunda Eri, Bunda sengaja beliin semua makanannya biar Eri jadi banyak makan terus cepet sembuh.”
“Terus Eri sembuh?”
Eri mengangguk. Kucir kuda yang ada dibelakang kepalanya ikut bergoyang-goyang. “Iya. Berarti ‘kan Eri sakit karena Eri gak makan makanan favorit Eri. Buktinya waktu makan makanan itu Eri langsung sembuh. Iya ‘kan?”
“Tapi kok Ryzky gak sakit-sakit ya Ri?”
Wajah Eri kembali manyun seperti tadi. Tapi kali ini bukan hanya bibirnya yang maju beberapa centi, pipinya juga ikut mengembung. “Ih Ryzky kok ngomong gitu sih? Bagus dong kalo Ryzky gak sakit,” Eri melipat tangannya didepan dada. “Eri ‘kan sedih kalo Ryzky sakit.” Sungut Eri kesal.
“Gapapa kok kalo Ryzky sakit demi Eri. Riski cuma mau ngasih Eri kenang-kenangan aja sebelum Eri pindah ke Bandarlampung besok.”
Wajah Eri langsung berubah menjadi mendung begitu mendengar perkataan Ryzky barusan. Bahkan tanpa disadari Eri mulai menitikkan air matanya. “Eri sedih deh karena mesti pisah sama Ryzky.”        
Ryzky mengalihkan pandangannya pada wajah Eri dan mendapati mata Eri telah basah. “Kok Eri nangis sih?”
“Eri gak mau pisah sama Ryzky, huhuhuhu!” Eri terus terisak sambil menutupi wajahnya menggunakan lengan kanan.
“Kenapa gak mau pisah?”
“Ya entar ‘kan kita gak bisa main bareng lagi, temen Eri ‘kan cuma Ryzky.” Eri mengusap air matanya perlahan.
“Emang Bandarlampung itu dimananya Jakarta sih Ri?” Ryzky memutar-mutar bola matanya bingung sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pada rumput.
Eri hanya menggidikkan bahu dengan ekspresi wajah yang tak kalah bingung.
“Jauhan mana Bandarlampung sama supermarket yang ada diujung jalan kompleks rumah kita ya, Ri?”
“Kayaknya deketan Bandarlampung deh Ki.” Jawab Eri sambil mengusap sisa-sisa air matanya tadi.
“Waah kalo gitu deket banget dong Ri, berarti kita masih bisa main bareng.” Ucap Ryzky senang, membuat Eri ikut menunjukkan ekspresi senang diwajahnya.
“Iya ya Ki. Asyik dooong! Berarti Eri masih bisa main kerumah Ryzky tiap hari. Horee!!”
Eri dan Ryzky bangun dari duduknya lalu berloncatan senang sambil mengaitkan jari-jari kedua tangan mereka.
“Eri?” Ryzky berhenti melompat lalu menatap Eri lurus-lurus. Wajahnya terlihat sangat serius sekarang. Sungguh, wajah Ryzky yang lucu sangat tidak cocok dengan air mukanya yang serius itu. Seolah ekspresi serius itu sengaja dibuat-buat.
Eri ikut berhenti berlompatan juga namun masih tetap menatap Ryzky dengan sorot matanya yang polos. Walaupun Eri dan Ryzky seumuran, namun sisi kekanakan Ryzky tidak begitu menonjol dibanding dengan Eri. Bisa dibilang Ryzky tidak terlalu polos untuk seukuran anak kecil yang berusia 7 tahun.
“Kenapa?” Tanya Eri.
“Eri mau gak janji sama Ryzky?”
Alis Eri bertaut menandakan kebingungan.
“Janji apa?”
“Eri mau gak kalo kita udah besar nanti jadi pengantinnya Ryzky?!”
“Pengantin?”
“Iya pengantin. Kayak Papa Mamanya Ryzky, kayak Bunda sama Ayahnya Eri juga.” Jelas Ryzky sabar.
“Oooh. Iya Eri mau,” jawab Eri antusias pada akhirnya. “Entar ‘kan kita gak bakalan pisah-pisah kalo jadi udah jadi pengantin. Kita bakal bisa main bareng terus.”
Ryzky mengangguk. “Iya Ri. Kita bakal bisa main petak umpet atau layangan sepuasnya.”
“Kalo gitu janji ya?” Eri menyodorkan jari kelingking kanannya kehadapan Ryzky.
Riski tersenyum lalu segera menyambut jari kelingking Eri dengan jari kelingkingnya. Kini jari kelingking mereka saling bertaut satu sama lain. “Iya Ryzky janji. Eri juga janji ya.”
“Ryzkyyy!!!” sebuah suara lantang tiba-tiba memanggil Ryzky. Suara itu berasal dari rumah Ryzky yang berada disebelah rumah Eri. Pasti itu suara Mamanya Ryzky.
Ryzky melepaskan jari kelingkingnya lalu menoleh cepat kearah rumahnya.
Rupanya Mama sudah berdiri dengan wajah lega dipagar pembatas antara rumah Eri dan rumah Ryzky. “Kamu disini rupanya Ki. Mama udah nyari kamu keliling rumah. Eh ada Eri juga. Kalian lagi main apa?”
“Gak main apa-apa kok Tante.” Jawab Eri sambil melempar senyum grogi dan menyembunyikan  kalung mawar yang diberikan Ryzky tadi dibelakang punggungnya. Eri malu aja kalo sampe Mamanya Ryzky tahu tentang kalung itu.
“Ki ayo mandi dulu. Kamu ‘kan belum mandi, ini udah jam 5 sore.” Perintah Mama halus.
Ryzky langsung berlari kecil menuju rumahnya sambil melambaikan tangannya pada Eri.
“Ryzky-nya Tante pinjem dulu ya Ri. Entar lagi mainnya.”
Eri mengembang-ngempiskan pipinya sebal. Huh! ‘kan Eri lagi mau main sama Ryzky!!!

* * * * * * * *

8 tahun kemudian…

Duk!
“Adaoww!” Andra meringis saat tiba-tiba kakinya terhantuk meja dan menyebabkan dirinya tersungkur kelantai kelas.
“Hahahaha. Makanya cari kerjaan laen dong! Kerjaan lo cuma ngusilin gue mulu,” Eri tersenyum puas sambil melempar sorot mata kemenangan. “Sini raport gue!” Eri merebut secara paksa raportnya dari tangan Andra.
Andra mendudukkan tubuhnya dilantai. “Gue ‘kan cuma mau liat nilai raport lo Ri.”
“Ngapain liat-liat? Lo juga ada raport ‘kan?! Ya liat aja nilai raport lo sendiri.” Celetuk Eri pedas tanpa ampun.
Andra mendengus kesal. “Gue mau liat sebesar apa nilai lo itu? Sampe-sampe gue yang anaknya Albert Einstein aja bisa kalah peringkat sama lo.”
Eri tergelak mendengar perkataan barusan. What?! Albert Einstein?! Gak salah tuh?
“Kalo lo mau liat seharusnya minta baik-baik dong. Bukan main rampas aja kayak jambret dipasar. Lagian nilai gue gak besar-besar amat kok. Cuma selisih dikit sama lo. Namanya juga, gue rangking satu, elonya rangking dua.”
Pletak! Andra bangkit dari lantai lalu menoyor kepala Eri kesal. “Itu akibatnya karena tadi ngomongin gue jambret.”
“Sakit bego.” Gerutu Eri sambil meringis dan memegangi kepalanya.
“Seharusnya elo ngizinin gue buat ngejahilin lo sepuasnya hari ini. Gue ‘kan bakal jarang ketemu elo Ri karena liburan semester. Jadi gue juga bakal jarang bisa ngejahilin lo,” Andra mengerling sambil tersenyum penuh arti pada Eri. “Kecuali kalo gue ngapelin lo dirumah. Hahahaha.”
Eri meninju lengan Andra pelahan. “Enak aja! Siapa elo maen apel-apel aja kerumah gue? Pacar gue juga bukan. Lagian elo tega banget, masak kerumah gue cuma karena mau ngejahilin gue.”  Sungut Eri kesal.
Eri dan Andra emang gak pernah akur. Sejak saling kenal karena satu kelas saat masuk ke SMA 17 Agustus Bandung ini mereka berdua emang sudah seperti Tom and Jerry. ”Tiada hari tanpa saling usil dan saling ejek” mungkin itu adalah semboyan kehidupan mereka. Tapi belakangan ini, aksi saling saling usil antara mereka berkurang sudah sangat drastis. Dari biasanya sejam bisa ribut empat sampai lima kali. Sekarang dalam sejam hanya satu atau dua kali. Bahkan tekadang tidak sama sekali. Justru Eri dan Andra menjadi sangat akrab sekarang. Entah angin badai atau tsunami darimana yang bisa membuat sikap keduanya menjadi berubah seperti itu. Bahkan saking dekatnya, baru-baru ini mereka digosipkan “ada apa-apanya”. Namun baik Eri ataupun Andra membantah gosip murahan itu.
“Akhirnya ada yang gosipin gue juga . Serasa jadi artis gue kalo kayak gini. Hahahaha.” Begitulah tanggapan Eri saat mendengar kabar angin tentang dirinya. (GR banget sseeh?! Jadi orang kok kepedean!)
“Hehehe. Abisnya gue bisa meriang kalo sehari gak ngejahilin lo Ri.” Andra cekikikan geli, sementara muka Eri tambah ditekuk.
“Yaaa.. Yaaa. Terserah!” Eri melipat tangannya didepan dada sambil bersandar pada meja yang diduduki Andra.
“Gitu aja ngambek!” protes Andra.
Eri tetap diam sambil terlihat berpikir. Sekian detik kemudian mata Eri membulat senang, ia seperti teringat sesuatu.
Eri menoleh pada Andra. “Lo gak bakal bisa ngejahilin gue waktu liburan. Weekk!” Eri memelet-meletkan lidahnya didepan wajah Andra.
Alis Andra bertaut heran. “Emangnya kenapa?”
“Gue mau liburan ketempat orang tua gue di Bandarlampung. Hahaha, Akhirnya gue bisa menjauh juga dari kota Bandung yang sumpek nauzubillah ini.” Eri tersenyum puas. Sementara Andra malah menatapnya lekat. “Gue pasti kengen banget sama elo Ri.”
Ada yang aneh saat Andra mengucapkan kalimat itu. Kalimat itu kok kayaknya terucap dari lubuk hatinya yang paling dalam ya? Dan entah kenapa Eri dapat merasakan hal itu.
“Gak usah sok melankolis deh lo! Pulang yuk! Ngapain kita dikelas ini berduaan. Entar kalo satpam lewat kita dikira lagi mesum tau!” Eri menggamit lengan Andra dan menyeretnya pulang.

* * * * * * * *

“Nih!” Mama menyodorkan sebuah tiket kepada Ryzky.
“Tiket apa ini, Ma?” Tanya Ryzky heran.
“Tiket kapal ferry.”
“Buat apa?”
“Buat kamu liburan.”
Ryzky mengambil dengan ragu-ragu tiket itu. Kok bisa dadakan gini sih? Lagian tumben-tumbenan Mama berbaik hati mau beliin Ryzky tiket buat liburan.
Ryzky meneliti tiket itu dan matanya merona senang begitu membaca tujuan kapal ferry yang akan dinaikinya nanti itu. “Hah? Lampung, Ma? Yang bener?” Tanya Ryzky antusias.
Mama mengangguk mantap sambil terus melanjutkan acara masak-memasaknya. “Iya. Kamu liburan dirumah Tante Lina ya yang ada di Bandarlampung.”
Sing! Kini perasaan Ryzky bukan hanya senang, tapi sudah bercampur dengan setumpuk rindu juga. Bandarlampung ‘kan tempat tinggalnya Eri. Siapa tahu dia bisa bertemu Eri disana. Eri, gadis kecil yang sangat dirindukannya itu. Apa kabar ya dia sekarang? Semenjak Eri pindah 8 tahun lalu, Ryzky tak pernah sekalipun bertemu atau berkomunikasi dengannya. Bahkan, Mama dan Papa yang merupakan sahabat dekat Ayah dan Bundanya Eri pun juga ikut hilang kontak dengan keluarga Eri. Seandainya Eri tahu, Ryzky selalu merindukannya dan Ryzky selalu menunggu Eri kembali suatu hari nanti. Ryzky ingin mengulang masa-masa indah yang dulu sempat hilang.
“Kenapa bengong Ki? Kepikiran Eri?” Tanya Mama tepat sasaran.
“Ngg..”
“Mama emang sengaja nyuruh kamu liburan ke Bandarlampung biar bisa ketemu Eri. Karena Mama perhatiin  dari dulu kamu selalu kangen sama Eri.”
Ryzky melempar senyum pada Mama. “Jadi Mama tahu dong alamatnya Eri disana?” Tanya Ryzky antusias.
Namun sayang, Ryzky mendapat sebuah gelengan kepala dari Mama.
“Gak Ki, Mama gak tahu. Ya Mama pikir kalo lagi untung siapa tahu kamu ketemu Eri disana.”
Jger! Jadi Mama menganggap liburan ini sebagai ajang untung-untungan. Mama pikir Eri itu judi togel apa pake untung-untungan segala.
“Jadi gimana Ryzky mau ketemu Eri Ma?”
Mama menggidikkan bahunya.
Fiuh! Mama payah nih!

* * * * * * * *

Eri memegang secarik kertas ditangannya yang berisi daftar-daftar barang yang harus dibawanya saat liburan ke Bandarlampung.
“Kaus!” Eri mengedarkan pandangannya pada semua barang yang terhampar dihadapannya. Dan menemukan kaus-kaus kesayangannya berada ditumpukan paling bawah. Eri mengambil beberapa helai kaus dan memasukkanya kedalam koper.
“Sandal sepatu!” Eri kembali meneliti satu-persatu barang dihadapannya. Dan menemukan sandal sepatunya diantara tumpukan komik. Tapi kok cuma satu? Perasaan ada tiga deh.
Tok tok tok! “Masuk!” teriak Eri memerintah orang yang mengetuk pintu kamarnya barusan.
Kepala Bi Mar, asisten rumah tangga Eri menyembul dari balik pintu. Dirumahnya yang ada di Bandung Eri memang hanya tinggal berdua dengan Bi Mar. Eri dikirim ke Bandung oleh orang tuanya saat mulai memasuki SMP. Namun orang tua Eri tetap tinggal di Bandarlampung karena masih menjalani tugas di rumah sakit Abdoel Moeloek, Bandarlampung. Kedua orang tua Eri memang seorang dokter. Bundanya adalah dokter spesialis THT. Sedangkan Ayahnya adalah ahli bedah. “Udah siap, Non?”
“Dikit lagi, Bi. Lagi nyari sandal sepatuku. Hilang.”
“Anu Non.. Taksi yang Non pesen udah nyampe.”
Eri menoleh kearah Bi Mar yang masih setia berdiri diambang pintu. “Suruh tunggu bentar ya, Bi.”
Bi Mar manggut-manggut lalu bergegas keluar dari kamar Eri. Eri kembali sibuk mencari sandal sepatunya.
Aha! Ketemu juga, tapi kok udah agak soak. Sepertinya Eri bakal minta beliin sepatu baru sama Ayah dan Bunda begitu tiba di Bandarlampung nanti.
Eri membatalkan niatnya memasukan dua pasang sepatu yang agak soak itu kedalam koper. Lalu segera ngibrit keluar dari kamarnya dengan menggandeng sebuah koper besar dan tas kecil yang dipanggulnya dibahu kanan.
“Bi aku pergi, jaga rumah baik-baik ya. Daaah!” Eri menegur Bi Mar yang sedang menyiram bunga di halaman depan rumah.
Bi Mar menoleh cepat lalu melambaikan tangan kepada pada Eri yang telah masuk kedalam taksi.

* * * * * * * *

Eri jadi kelimpungan sendiri melihat suasana kapal ferry yang dinaikinya. Ramai bukan main. Serasa lagi ada didalam acara pembagian mobil land cruise gratis.
Kalo tau gini naik pesawat aja deh! Rutuknya dalam hati.
Eri memang berniat dari awal untuk naik kapal ferry saja. Karena selama bertahun-tahun ia bolak-balik Bandung-Bandarlampung sendirian, selalu saja naik air plane. Bosan juga kalo naik itu terus sekali-kali pengen nyari suasana baru gapapa dong.
Eri memutuskan untuk beristirahat diruang VIP kapal. Sebelum masuk ruang VIP, Eri harus membeli tiket dulu dengan harga 15000 Rupiah. Mungkin harga yang terlalu mahal, hanya untuk menyewa tempat peristirahatan dikapal seperti ini.
Eri menghempaskan tubuhnya lega keatas salah satu kursi kayu panjang yang ada diruangan itu. Rasa ngantuk perlahan menghampiri Eri. Ketika matanya hampir terpejam, Eri mendengar suatu bunyi, bunyi kursi kayu yang bergesekan dengan kain. Berisik sekali. Eri mendengus kesal lalu perlahan mencoba membuka matanya. Sepertinya ada seseorang yang duduk disampingnya. Eri mengusap matanya yang mengantuk menggunakan punggung tangan, lalu menoleh kesebelah kirinya, tempat orang yang mengganggu tidurnya itu duduk.
Deg! Eri terdiam, matanya dan mata cowok yang duduk disampingnya itu saling bertumbuk sekarang. Rupanya sedari tadi cowok ini memang sedang memandanginya dengan air muka menyelidik sekaligus bingung dan dingin. Sesaat Eri terhanyut pada tatapan cowok itu. Ketika Eri menyadari sesuatu. Cowok ini cakep! Wajahnya oriental, rambutnya dipotong shaggy dan ada sedikit poni yang menutupi sebagian dahinya. kulitnya juga kuning langsat. Namun sayang, cowok secakep ini kenapa mesti punya tatapan dingin kayak gitu sih?! Seandainya sorot matanya itu adalah sorot mata yang teduh dan ramah. Bisa dipastikan Eri akan langsung mengalami love at first sight dengan cowok ini.
Tapi tunggu?! Kok kayaknya Eri familiar ya dengan wajah cowok ini. Kayak pernah liat dimanaaaa gituuu!! Lupa!
Tiba-tiba cowok itu mengangkat sebelah alisnya tanda bingung melihat Eri terus-terusan saja memandanginya.
Eri yang sadar langsung membuang muka karena malu, lalu menutupi wajahnya dengan tas yang ia panggul dibahu. “Maaf, gue ngeliatin lo. Gue pergi aja deh.”
Eri langsung ngibrit sambil terus menutupi wajahnya dengan tas. Beberapa penumpang yang tengah beristirahat diruang VIP itu juga langsung melempar sorot mata aneh dan curiga pada Eri. Gaya Eri persis seperti teroris yang ingin kabur secara diam-diam. Karena tempat persembunyiannya telah diketahui oleh polisi.
Namun Eri tak peduli. Ia terus berjalan menuju deck kapal yang ada didepan ruang VIP. Eri meletakkan koper yang ia bawa persis disamping badannya, lalu perlahan melepaskan tas yang sedari tadi menutupi wajahnya. Kedua tangannya kini tengah berpegangan pada pagar pembatas yang ada dipinggir deck. Tatapan matanya berkeliling, menjelajahi keindahan laut yang terhampar luas dihadapannya. Sesaat Eri memejamkan mata lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali. Saat membuka matanya kembali, Eri dikejutkan oleh suatu hal.
“Elo?!” mata Eri terbelalak mendapati cowok yang tadi duduk disampingnya saat diruang VIP tengah berdiri disebelahnya sekarang. Persis seperti yang Eri lakukan, kedua tangan cowok itu juga ikut berpegang pada pagar pembatas deck kapal.
“Ternyata jauhan Bandarlampung ya daripada swalayan yang ada diujung jalan kompleks? Jauh banget malah. Buktinya kita mesti nyebrangin laut ini dulu kalo mau kesana.” Tiba-tiba saja cowok itu bersuara tak jelas ujung-pangkalnya.
Dahi Eri berkerut. “Maksud lo?!” Tanya Eri bingung. Tapi  entah mengapa Eri merasakan sesuatu detik itu juga, kok kayaknya Eri pernah denger kata-kata itu ya?! Tapi dimana? Eri lupa? Kenapa sih cowok ini selalu mengingatkan Eri pada suatu hal? Mulai dari wajahnya yang familiar, sampai perkataannya yang sepertinya Eri pernah dengar? Tapi kenapa, Eri selalu lupa dan gak bisa mengingat hal itu?!
“Masih nyimpen gak kalung yang gue kasih?”
Kini dahi Eri tambah berkerut dan wajahnya tambah kusut. Ngomong apa sih ni cowok?!
Cowok itu mengerling pada Eri sesaat lalu pada detik berikutnya malah sibuk merogoh isi tasnya. Dan ternyata dia mengeluarkan..,
“Mawar, bunga kesukaan lo. Dan waktu itu gue ngasih lo kalung dari bunga mawar, dihari terakhir kita bertemu delapan tahun yang lalu.” Cowok itu memutar-mutar setangkai mawar plastik yang ada ditangannya.
Mata Eri membulat mendengar semua perkataan cowok itu barusan. Kini Eri ingat, Eri ingat semua hal yang sempat ia lupa beberapa menit yang lalu tentang cowok ini. Cowok ini ‘kan..,
“Ryzky???!!!” pekik Eri riang lalu spontan memeluk Ryzky. Siapa sangka mereka bakal bertemu disini?! Sungguh hal yang sangat mengejutkan untuk Eri.
“Akhirnya sadar juga.” Ujar Ryzky nyindir.
Eri nyengir kuda. “Hehe, maaf Ki. Abisnya elo udah berubah banget. Tampang ingusan lo waktu kecil udah gak keliatan lagi. Jadinya gue udah gak seberapa ngenalin elo.”
Ryzky melepaskan pelukan Eri. “Sialan lo! Baru juga ketemu gue udah nyela aja.” Sungut Ryzky sok pasang aksi ngambek.
“Ya maaf. By the way, kok lo bisa ngenalin gue tadi?”
Ryzky berdeham. “Gue tadi sempet baca nama dikoper lo. Awalnya gue ragu, karena walaupun nama yang tertera di name tag koper lo itu ‘Naresa Libery’ tapi alamat yang tertera malah di Bandung. Karena setahu gue elo tinggal di Bandarlampung. Tapi gue yakin, begitu gue liat tanda lahir berbentuk oval ditangan kiri lo, itu pasti elo Ri.” Jelas Ryzky panjang kali lebar sama dengan luas.
“Masih inget juga lo tanda lahir gue.” Eri melirik sekilas pada tanda lahir oval yang ada ditangan kanannya lalu pandangannya kembali tertuju ke hamparan laut yang luas.
“Iya lah Ri. Gak mungkin gue lupa. Oh ya, kok lo bisa nyasar ke Bandung Ri? Orang tua lo pindah kesana?”
Eri menggeleng kuat-kuat. “Nggak. Gue sendirian disana.”
“Gak ada temen?” Tanya Ryzky.
“Ada. Tapi cuma pembantu. Dirumah gue yang di Bandung, gue emang cuma tinggal berdua sama pembantu gue.”
“Terus orang tua lo?”
“Ya di Bandarlampung.”
“Gak ikut pindah?”
Sekali lagi Eri menggeleng kuat-kuat. “Mereka masih ada tugas disana. Gue dikirim ke Bandung sendirian waktu gue mau masuk SMP. Kata mereka biar gue bisa dapet pendidikan yang bermutu.”
Dahi Ryzky berkerut, alisnya bertaut. Wajahnya yang tampan hilang ditelan dengan ekspresi bingung itu. “Kenapa elo gak ngasih tau gue Ri kalo lo ada di Bandung? Lo ‘kan bisa ngirim surat, kalo gak tahu alamat gue lo ‘kan bisa minta sama bokap nyokap lo. Atau lo bisa telepon kerumah gue. Kalo kayak gitu kita ‘kan bisa sering ketemu.”
Eri menoyor kepala Ryzky gemas. “Kata bokap nyokap gue lo pindah. Kalo gue tau alamat lo yang baru. Gue pasti udah ngirimin lo surat dari bertahun-tahun yang lalu Ki.  Dan soal nomor telepon, semenjak elo pindah rumah, bokap nyokap gue sering ngehubungin bokap nyokap lo kenomor telepon yang lama tapi gak aktif, akhirnya semenjak saat itu, bokap nyokap lo sama bokap nyokap gue jadi lose contact, makanya gue gak tahu nomor telepon lo.”
Ryzky terhenyak. Benar apa kata Eri, setahun semenjak kepindahan Eri dan keluarganya. Ryzky dan keluarganyapun ikut pindah. Namun mereka masih pindah disekitar Jakarta saja, tidak keluar Jakarta.
“Elo SMA mana?” Tanya Ryzky mencoba mengalihkan pembicaraan.
“SMA 17 Agustus, elo?”
“Gue SMA 78.”
Hening! Senyap! Sunyi! Gak ada yang ngomong lagi. Baik Eri ataupun Ryzky. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ri?” Ryzky akhirnya bersuara memecah keheningan.
“Mmm.” Eri hanya membalasnya dengan gumaman singkat.
“Elo masih nyimpen kalung mawar dari gue?”
Eri menoleh cepat pada Ryzky, lalu tertawa kecil. “Ya masihlah Ki. Gak mungkin gue buang tu kalung mawar. Nih gue bawa dalem koper gue. Mau gue tunjukkin?” tanpa menunggu jawaban Ryzky, Eri langsung berjongkok dan membongkar isi kopernya. “Nih! Bener ‘kan? Gue gak bohong.” Eri mengeluarkan kalung bunga itu dari dalam kopernya. Kalung bunga itu dibungkus dengan sebuah plastik tebal yang transparan. Dari luar plastik, Ryzky dapat melihat mawar yang merangkai kalung itu telah layu dan berwarna kecoklatan tua. Sungguh warna yang pantas bagi mawar yang berusia delapan tahun yang selama delapan tahun itu pula hanya disimpan dalam sebungkus plastik yang tebal. Ryzky pun dapat melihat, tak hanya warna yang berubah menjadi coklat tua. Banyak dari kelopak mawar itu telah gugur dari mahkota induknya.
Ryzky mengambil kalung mawar yang dibungkus dengan plastik itu dari Eri. “Elo emang selalu bawa ini kemana-mana ya?”
Eri mengangguk pasti. “Iya Ki. Kalo gue pergi jauh yang membuat gue gak pulang kerumah. Gue pasti bawa kalung itu pergi sama gue. Selama ini kalung itu gue pajang didinding kamar gue. Kalo gue mau tidur, gue pasti mandangin kalung itu dulu. Gue gak bisa tidur kalo gak ada kalung itu Ki.”
Ryzky manatap Eri yak percaya. “Serius?!”
“Emang tampang gue meragukan ya?”
Riski menggeleng. “Bukan gitu Ri. Gue cuma gak nyangka aja, elo selalu inget sama gue. Sama seperti gue selalu inget lo.”
Eri tertawa sambil mencubit lengan Ryzky kuat.
“Aww!” Ryzky meeringis kesakitan sambil mengelus-elus lengannya yang terkena cubitan maut Eri. “Kenapa lo nyubit gue sih?!”
“Ya elo tuh kelewat bodoh Ki. Gue gak mungkinlah ngelupain elo. Elo tahu Itu. Bahkan gue selalu kangen ama elo Ki.”
“Sama dong gue juga selalu kangen sama elo. Gue pengen main bareng lo lagi.” Ryzky mengedipkan sebelah matanya nakal pada Eri.
“Aneh!” tiba-tiba Eri berujar tak jelas.
“Aneh apanya?” Tanya Ryzky bingung.
“Daritadi kita ngobrol tapi gue belum nanya elo  naik kapal ferry ini mau kemana.”
Riski cengengesan. “Oh itu toh! Gue mau ke Bandarlampung Ri.”
“Ngapain?”
“Liburan.”
“Ke?”
“Ya Bandarlampung lah Ri, ‘kan tadi gue udah bilang gue mau ke Bandarlampung.”
Eri menghentak kakinya kesal. “Iyaaaa Gue tahu itu Ki. Maksud gue lo ke Bandarlampung itu ketempat siapa? Gak mungkinlah elo nekat ke Bandarlampung sendirian tanpa ada tujuan yang jelas lo mau ketempat siapa entar disana.”
Ryzky menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan. “Hehe, ya maaf. Ngg.. Gue mau ketempat Tante Lina. Tante gue yang ada di Bandarlampung sana.”
“Rumah tante lo disebelah mananya Bandarlampung?”
Riski menggidikkan bahu. “Gak tahu. Gue lupa. Terakhir gue kesana itu…,” Ryzky memutar-mutar bola matanya mencoba mengulang semua memori yang ada diotaknya untuk kembali mengingat kapan terakhir kali dirinya pergi ke tempat Tante Lina di Bandarlampung. “Waktu gue umur empat tahun kalo gak salah.” Ucap Ryzky akhirnya.
“Tunggu dulu, kalo lo gak tahu daerah rumah Tante lo, gimana lo mau kesana begitu kita udah sampe? Bisa nyasar lo entar.”
Ryzky melipat tangannya didepan dada, pandangannya masih tertuju pada laut. “Tenang aja. Tante gue bakal jemput gue setibanya gue di Bakauheni nanti. Nah elo sendiri mau kemana Ri?”
“Sama aja kayak lo.” Eri mendudukan tubuhnya dengan posisi bersila dilantai kapal yang dingin dan berdebu, mungkin kakinya sudah terlalu lelah terus-terusan berdiri sedari tadi.
“Hah?! Serius?! Waah berarti bisa sering ketemu dong kita.” Riski mengikuti Eri, duduk dilantai kapal dengan posisi yang sama pula, yaitu bersila. Kini mereka berdua bak sepasang pengemis yang sedang meminta-minta ditengah jalan karena kelaparan karena sudah gak makan selama berhari-hari.
“Iya. Makanya kasih tahu alamat rumah Tante lo dong. Biar gue bisa main kesana. Entar gue juga kasih tahu alamat gue.”
“Emangnya alamat lo dimana Ri?”
“Di Way Halim.”
“Way Halim itu sebelah mana?”
Eri meremas rambutnya kesal. Eri merasa seperti sedang berbicara dengan orang yang tersesat dan hendak menanyakan alamat kepadanya. Tapi dasar bego, orang yang tersesat itu aja gak tahu alamatnya dimana. Jadi gimana mau ketemu rumahnya?!
“Udah deh entar aja. Kalo udah nyampe di Bandarlampung, gue kasih tahu.”
Tiba-tiba Ryzky heboh merogoh-rogoh sakunya. Ternyata dia mengambil ponsel miliknya.
“Kalo gitu minta nomor hp lo dong Ri? Biar kita bisa saling contact”
Eri manggut-manggut dan ikut mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang dipanggul dibahu kanannya.

bersambung...
nantikan di posting selanjutnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar