Selasa, 31 Juli 2018

Mengabadikan Kala Part III



KEPUTUSAN TERBAIK

“Abad, tunggu, Bad!” Kaki Tita spontan berlari mengikuti langkah Abad yang berjalan cepat hilang dibalik gerbang. Tak dipedulikannya lagi tubuhnya yang sedang lemah, tak dihiraukannya lagi kakinya yang gemetar menahan lelah. Sementara itu beberapa langkah dibelakang Tita, Denish membuntuti dengan wajah tak kalah cemasnya.
Tak pernah terpikirkan dikepala Denish, hal ini akan terjadi. Tak pernah ada maksud sedikitpun dalam dirinya untuk menghancurkan Tita dan Abad. Benar, ia mencintai Tita, tapi perihal Tita memilih siapa, Denish tak pernah hendak memaksakannya.
Langkah Abad semakin memanjang, Tita dengan terengah mengejarnya sambil terus meracaukan nama Abad. Dipersimpangan jalan utama, Abad berhenti, tangannya melambai, hendak memberhentikan angkutan umum yang lewat.
“Abad!” Tita akhirnya berhasil menggapai tubuh itu, dipeluknya tubuh Abad dari belakang dengan begitu kencang, air matanya sudah tak kuasa ia tahan sedari tadi. Punggung Abad pun basah karenanya. Sementara itu beberapa meter dibelakang mereka berdua, Denish menyaksikan adegan itu dengan hati remuk. Ia tak pernah bermaksud membuat Tita sesedih itu, sungguh. “Bad, dengerin aku, itu semua ga seperti yang kamu pikirkan.” Abad bergeming, dengan sekali sentakkan dihempasnya tubuh Tita sehingga lepas dari tubuhnya.
Tita tersentak, kemudian tangisnya semakin sendu, “Bad, sungguh, Bad, dengerin aku.”
Demi melihat kejadian itu, Denish berlari mendekati sepasang kekasih yang sedang dibakar emosi itu, disentuhnya pundak Abad yang masih memunggungi Tita, “Abad, maaf, saya yang salah, Tita ga salah.”
Mendengar suara Denish berada tepat di belakang punggungnya, Abad kontan membalikkan tubuh, ditatapnya Denish dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan sorotan seolah ingin membunuh Denish dalam sekali tikam. “Lo ambil Tita kalo lo mau. Gue udah ga perduli.” Tandas Abad tajam dalam satu kalimat. Dibalikkannya kembali tubuhnya dan kemudian segera menaiki bus yang berhenti didepannya.
Abad menghilang, jejaknya terbawa sempurna seiring roda bus yang membawanya semakin menjauh, meninggalkan Tita dengan hati yang luka dan tangis yang tiada tara, sekaligus Denish yang merasa bersalah namun tak tahu harus berbuat apa.

¤¤¤

Selepas kepergian Abad, Tita masih menangis dengan posisi terduduk di pinggir jalan, tak diperdulikannya sorot mata orang-orang yang memandanginya dengan nyinyir. Denish dengan setia membujuk Tita untuk bangkit dan pulang, namun Tita masih bergeming, tangisnya semakin meracau.
Tita hancur, sakitnya seperti dihujam jutaan peluru tajam, hatinya luka dan itu menjalar menuju sekujur tubuhnya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain menangis, air mata itu memaksa untuk terus mengalir, mendobrak pertahanan terkuat dalam dirinya. Tita tumbang hingga ke dasar jurang, bibirnya terus meracau mengerang, jiwanya terasa mati, sanubarinya tergeletak tak ada arti.
“Ta, ayo pulang,” bujuk Denish kesekian kalinya. Melihat Tita menangis seperti manusia kehilangan akal, Denish justru merasa dirinya lah yang nyaris gila. Wanita itu, sosok yang begitu dicintainya, telah ia buat hancur tak bersisa. Denish tak henti-hentinya membodoh-bodohi dirinya sendiri. Seharusnya Tita tak begini, seharusnya ia tak seperti ini. Denish merasa dirinya lah yang patut disalahkan atas segala hal. Bahkan jika detik ini Tuhan ingin mengirimkan kutukan, maka Denish rela pada dirinyalah kutukan itu Tuhan muarakan.
Tita masih bergeming, tangisnya mulai surut, namun kepalanya masih tertunduk, tak berdaya, seperti nyaris kehilangan nyawa. Tubuhnya terduduk lemah, ingin bangkit namun tak sanggup, ingin menengadahkan kepala namun ia belum siap menerima pahitnya dunia nyata.
“Ta…” Denish menyentuh pundak itu pelan, Denish terkejut ketika tiba-tiba Tita mendongak, menatap Denish dengan sorot mata layu. Kedua mata cantik itu, memancarkan sejuta sembilu yang tak bisa dijabarkan. Dan demi segala luka yang terpancarkan, Denish rela menyumpah-nyumpahi dirinya atas apa yang ia lakukan.
Lama beradu tatap, Tita bangkit dengan tertatih, merangkai langkahnya sendiri, dibiarkannya Denish membuntutinya dari belakang. Sepasang manusia itu berjalan pulang, tanpa sepatah kata terucap, tanpa selarikpun kalimat terdengar. Tita sedang menyelami lukanya dengan jejak yang terseok-seok, sementara Denish sedang memutar akalnya bagaimana agar luka itu segera hilang esok-esok.

¤¤¤

Abad terduduk diam di ruang tunggu bandara dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ia tak tahu perasaan apa yang sedang mendera kepalanya, terlalu banyak jenisnya, terlalu riuh gemuruhnya, ia bahkan sampai pusing sendiri membayangkannya.
Semua kalimat-kalimat permintaan maaf darinya untuk Tita kini hanya bisa ia telan seorang diri. Belum sempat terucap, bahkan mungkin takkan pernah terucap. Satu sisi diri Abad hancur berantakan, merasa begitu dikhianati, dibohongi, diselingkuhi. Sungguh diluar akal sehatnya bahwa Tita, gadis manis pemaaf nan tak pernah marah itu akan menduakannya. Dalam kepala Abad tak pernah ada bayangan Tita akan melakukan hal itu, bahkan bagi Abad, sosok Tita terlalu suci untuk menaruh hati pada orang lain selain dirinya.
Namun disisi lain, entah dibagian hatinya yang mana, Abad merasa lega, karena rupanya ada sebagian dari dirinya yang memang ingin lepas dari Tita, ada sebagian dari dirinya yang ingin beranjak pergi entah kemana, sebab Tita bukan lagi tempat ternyamannya. Abad tak bisa menyangkal itu, sebab ia sadar benar, sejak kemarin-kemarin semuanya memang berjalan dengan dipaksakan. Kepalanya lah yang menghendaki langkahnya memutar  balik menuju Tita, namun hatinya sudah lama berjalan jauh menuju tempat berbeda. Namun ternyata isi kepalanya itu salah, hatinya lah yang keluar sebagai juara.
Abad meraba degub jantungnya yang mulai teratur, perasaannya membaik membayangkan bahwa inilah mungkin takdir terbaik dari Tuhan yang telah digariskan. Ia tersenyum pada dirinya sendiri menyadari betapa banyak drama berputar disekeliling tubuhnya. Abad mendongak, menatap pijaran lampu diatas kepalanya, rasanya ia butuh lebih banyak waktu untuk berpikir saat ini, mungkin ia harus menghilang sekejap dari muka bumi.

¤¤¤

Dengan tangan gemetar Tita menggenggam ponselnya, dihubunginya nomor yang sama itu berulang-ulang, entah sudah keberapa kalinya, seratus, dua ratus, tiga ratus kali, entah, Tita sampai tak sempat menghitung. Namun yang ia dapat tetaplah hasil yang sama; sang pemilik nomor mengalihkan panggilannya.
Sekelebat bayangan wajah Denish tiba-tiba muncul, wajah penuh rasa bersalah itu menghilang dalam hitungan detik dibalik debuman pintu yang Tita banting dengan sekuat tenaga. Tita sungguh tak tahu bagaimana lagi harus meluapkan amarahnya pada Denish, Tita ingin mencabik wajah itu, namun Tita tahu ia takkan tega, takkan mungkin hal itu dilakukannya. Tita tahu Denish merasa bersalah, namun Tita lebih tahu bahwa hatinya akan sulit memaafkan ini semua.
Tita ingin berteriak, berlari, melompat ke jurang, entahlah apa saja, tubuhnya benar-benar terasa ingin meledak. Sedih dan marah yang mendidihi hatinya sudah tak sanggup lagi ia tahan. Tita jatuh terduduk dibawah ranjangnya, tangis itu pun semakin pecah, diraungkannya nama Abad berkali-kali dalam rintihan kepahitan yang Tita sendiri tak tahu dimana ujungnya.

¤¤¤

Hari berganti, tiga hari berlalu sejak kejadian di kota tempat Tita bekerja, Abad menemukan dirinya terbangun di pagi hari dengan perasaan lega luar biasa. Setelah tiga hari memutuskan menyendiri, pergi mengasing ke salah satu rumah orang tuanya di desa ujung barat kota, Abad telah banyak memikirkan segala halnya dan telah banyak mempertimbangkan segala keputusan yang harus diambilnya.
Abad membuka selimut yang mengkungkung tubuhnya, ia bangkit berdiri, keluar dari kamar tidur utama, celingukan sesaat untuk kemudian menyadari ia hanyalah seorang diri dirumah berarsitektur belanda kuno ini. Abad melangkahkan kakinya ke balkon belakang rumah, balkon itu berhadapan langsung dengan pesisir pantai barat kota, tempat ia menghabiskan jam demi jam merenungi segala hal yang ia alami akhir-akhir ini.
Ia duduk di sofa seperti biasa, matanya nanar menatap hamparan lautan luas yang bercampur dengan sawah yang berjejer rapi di sisi lainnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Ia yakin, hari ini ia sudah siap, keputusannya sudah bulat benar-benar bulat.
Abad merogoh salah satu sisi kantung sofa, disana sejak tiga hari lalu, ia menyembunyikan ponselnya, tak disentuhnya sama sekali, tak diperdulikannya deringan telepon tak terhingga yang ia tahu persis berasal dari satu nama, hingga akhirnya ponsel itu mati kehabisan baterai dengan sendirinya.
Abad menggenggam ponsel itu sambil menimbang-nimbang, dicolokkannya ponsel itu ke charger, tak berapa lama ponsel itu menyala sempurna, dan ratusan pesan masuk sesuai dengan yang Abad duga. Satu nama yang sama; Tita, sedangkan sisa pesan dan telepon lainnnya berasal dari teman-temannya yang menanyakan hal-hal yang tak penting.
Begitu banyak pesan suara yang Tita tinggalkan, begitu banyak pesan yang Tita ketik di kolom obrolan, begitu banyak panggilan tak terjawab yang Tita lakukan. Abad menarik nafas panjang, jengah, ia membuka satu persatu pesan suara itu. Semua isinya hampir sama, menanyakan keberadaan Abad dan permintaan maaf, semua pesan suara itu dikirim lengkap dengan isakan tangis yang tak terbendung. Abad menggeleng bingung, Tita tak pernah selabil ini dalam emosi, ia adalah punggawa dalam hal mengatur perasaannya sendiri. Namun kali ini berbeda, Abad menangkap bahwa Tita benar-benar terluka. Terluka? Terluka karena apa? Bukankah ia yang menduakan Abad? Abad bahkan sempat berpikir bahwa semua tangis itu adalah bohong belaka. Semua tangis itu adalah akal-akalan Tita agar Abad mengasihaninya.
Abad terus mendengar pesan itu satu persatu, hingga akhirnya ia tiba di pesan suara terakhir, yang baru Tita kirim pukul tiga pagi dini hari tadi. Pesan suara terakhir ini adalah pamungkas dari semua pesan yang Tita tinggalkan. Pesan ini berbeda, tak ada suara tangis disana, Tita nampak tenang mengucapkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan, Tita kembali menjadi Tita seperti biasanya, pengontrol emosi yang luar biasa.
“Hai, Abadi Kusuma Negara-ku, aku tahu sebenarnya adalah hal sia-sia mengirimi kamu pesan ketika kamu sedang marah, kamu tak akan membalasnya, seharusnya aku hapal itu ya diluar kepala, mengingat kita sudah lima tahun lamanya bersama. Maaf jika mengganggu waktu sendirimu, maaf jika mengusik waktu berpikirmu, aku tahu kamu baik-baik saja, sebab kamu adalah Abad yang hebat. Sesedih dan seberantakan apapun isi kepalamu, kamu takkan pernah lupa makan, takkan pernah lupa istirahat, aku tahu, kamu sebaik itu meredam masalah-masalahmu. Abadi, Abadi-ku, Abadi-ku sayang, aku sudah tak ingin lagi meminta maaf, sebab sudah terlalu banyak kata maafku hingga habis dan mungkin kamu jenuh mendengarnya. Aku sudah tak ingin lagi melakukan pembelaan diri sebab aku tahu ya memang ini salahku. Abadi-ku, aku hanya butuh kepastian saat ini, Sayangku. Lusa, hari sabtu esok hari, jika kamu ingin kita baik-baik saja, jika kamu ingin kita perbaiki segalanya, temui aku pukul tujuh malam di tempat pertama kali kita kencan lima tahun lalu, aku akan menunggu disana hingga jam dua belas malam. Semoga harapanku masih sama dengan harapanmu. Entah kau akan datang atau tidak, tapi aku ingin sekali mengucapkan ini; sampai bertemu!”
Abad menutup pesan suara itu dengan satu tarikan napas panjang. Kepalanya kembali dipaksa untuk berpikir. Keputusannya tadi sudah hampir benar-benar matang, namun kini pesan suara itu nyaris mementahkannya kembali. Abad merebah tubuhnya, matanya menyipit menatap langit biru mendung diatas kepalanya, entah… entah bagaimana sepertinya ia butuh waktu sedikit lagi untuk benar-benar meluruskan kemana arah langkahnya hendak bermuara.

¤¤¤

Di lobby sebuah bioskop yang berada di pusat perbelanjaan jantung kota, Tita menunggu. Kepalanya masih sedikit pusing akibat perjalanan jauh yang ia alami. Setelah tiba di bandara pukul empat sore tadi, Tita terpaksa menuju jantung kota menggunakan bis akibat kehabisan tiket kereta. Guncangan bis yang berjalan sembarangan membelah kemacetan kota membuat perut Tita terasa diaduk-aduk. Ia menyenderkan tubuhnya di salah satu kursi lobby, sembari meneguk air mineral yang ia beli di konter makanan bioskop.
Tita mengedarkan pandangan, masih lekat dengan baik di kepalanya bagaimana kencan pertamanya dengan Abad dimulai di sebuah malam lima tahun lalu. Tita juga masih ingat benar judul film romansa picisan yang mereka tonton berdua dan kemudian berakhir dengan Abad yang tertidur pulas sebab terlalu bosan menyaksikan adegan demi adegan film itu. Tita tak mampu menahan senyum ketika kejadian demi kejadian itu terputar kembali di memori kepalanya. Semoga malam ini masih ada keajaiban yang sama seperti lima tahun lalu, keajaiban yang sama ajaibnya saat Tuhan tiba-tiba mengehendaki Tita si pendiam itu jatuh hati pada Abad sang pembuat onar di sekolahnya dahulu.
Sejam berlalu, seorang pegawai bioskop tampak memandangi Tita terus menerus dengan sorot mata heran bercampur curiga. Wajar saja, sebab sudah beberapa film diputar, sudah ratusan orang hilir mudik keluar masuk teater namun Tita tak menunjukkan gelagat akan beranjak dari kursi lobby ataupun hendak menonton. Tita yang sadar diri kemudian bergegas bangkit berdiri dan menghampiri konter penjual tiket.
“Selamat malam, silahkan dipilih film yang mana,” sapa pegawai ticketing itu dengan ramah, polesan lipstick berwarna pink pastel di bibirnya tampak merekah.
Tita menatap layar LCD yang menampilkan deretan judul film lengkap dengan jam tayangnya, Tita menggaruk kepala, kebingungan, “film ini aja, Mba,” Tita menunjuk sebuah film di nomor dua, “jamnya jam yang paling malam ya.” Ucap Tita kemudian dengan maksud memilih jam 21:45.
Setelah tiket berada di tangannya, Tita kembali ke tempat duduknya semula, pegawai bioskop yang sedari tadi memerhatikannya langsung beranjak pergi. Tita menarik nafas panjang, lega. Diliriknya jam tangan yang ia kenakan, jam 20:15 dan masih belum ada tanda Abad akan datang menemuinya. Tita bergegas bangkit berdiri, kembali membeli dua cup popcorn caramel, dua porsi hot dog dan dua cup minuman bersoda. Malam akan masih begitu panjang baginya.

¤¤¤

Abad masih termangu di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya, menimbang-nimbang pemikirannya sendiri sambil terus memerhatikan jam tangannya yang menunjukkan pergeseran waktu. Deburan ombak yang terdengar sayup dilengkapi dengan pendar rembulan yang begitu apik menemaninya malam itu. Ia sungguh masih diambang keputusan yang ia sendiri masih ragu bagaimana memutuskannya.
Dibayangkannya wajah Tita dalam-dalam, sembari mencoba menelisik adakah getaran di dadanya yang masih tertinggal. Potongan-potongan kebahagiaan, canda, tawa, tangis, getir, pahit yang telah dilaluinya bersama Tita selama lima tahun mendadak membuncahi kepalanya silih berganti. Abad dapat merasakan tubuhnya nyeri luar biasa, kesakitan membayangkan semua kenangan yang ada. Abad pun menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dalam-dalam. Kepalanya kembali menimbang apa yang harus dilakukan.
Tepat ketika jam lonceng di ruang tengah rumahnya berbunyi sebelas kali. Abad bangkit berdiri. Diambilnya kunci mobil. Hatinya telah mantap mengambil keputusan yang ia rasa terbaik untuk segalanya.

¤¤¤

Pemutaran film di jam terakhir pun usai tepat pukul 23.35, bergerombol-gerombol orang tampak menghambur keluar teater dengan mata setengah mengantuk. Tita masih di tempat duduknya semula, tak perduli meski sedari tadi menjadi sasaran berondongan tatapan ganjil dari semua pegawai bioskop, tak perduli meski sudah hampir lima gelas minuman bersoda yang ia habiskan. Tita masih disana, menunggu harapan yang sama.
Matanya mengedarkan pandang, menunggu detik-detik harapan terakhirnya datang. Hatinya semakin tak karuan, sepertinya ini adalah akhir penantian panjang dari sosok yang ia harapkan muncul dalam jarak pandang. Pukul 23.55, bioskop tampak begitu lengang, hanya tersisa beberapa petugas kebersihan yang sibuk menggotong karung-karung sampah. Tita menarik nafas panjang, hatinya lunglai, dengan ikhlas ia bangkit dari kursinya kemudian berjalan sempoyongan keluar dari gedung bioskop itu. Dadanya sesak, air matanya benar-benar ingin meledak.
Tita tak bisa lagi membendung perasaannya yang terkoyak. Ia menangis dalam diam. Dalam setiap tapak yang ia jejakkan, satu persatu air mata turun dalam keheningan.
Tita tiba di lobby utama gedung dengan mata yang mulai sembab tepat ketika kedua retinanya menangkap sosok itu muncul dari arah parkiran. Sosok yang sejak beberapa hari lalu begitu ingin dipeluknya, sosok yang menjadi alasan dari segala alasan kesedihan tanpa batasan yang ia rasakan.
“Abad…”  Tita merintih sendiri menyebut nama itu, spontan ia berlari dan menghempaskan tubuhnya pada tubuh Abad, memeluk sosok itu dengan erat. Begitu erat seolah dunia ingin merampas Abad dari sisinya. “Abad…” tangis itu pecah sejadi-jadinya bermuara pada penyebab tangisan itu sendiri.
Abad melepas pelukan itu pelan, menatap mata Tita sambil tersenyum simpul. “Kita bicara di mobil ya, Ta.” Abad menggiring Tita menuju mobilnya kemudian duduk bersebelahan di kursi depan.
“Bad, makasih udah dateng, makasih, aku tahu kamu bakal…”
“Ta…” Abad bergegas memotong kalimat Tita yang langsung memberondong habis dirinya tanpa basa-basi. “Ta, aku kesini mau minta maaf.” Digenggamnya tangan Tita dengan lembut, “maafin aku ta, aku ga bisa melanjutkan hubungan ini dengan kamu.”
Bagai ada debuman keras menghantam kepalanya, sorot mata bahagia yang sempat Tita pancarkan seketika lenyap tak berbekas. Senyum sumringah yang sedari tadi dipamerkannya hilang detik itu juga. Tita dapat merasakan tubuhnya bagai lumpuh sesaat. “Tapi kamu datang kesini, Bad. Seharusnya kalau kamu datang kesini itu artinya…”
“Ta, aku datang kesini karena aku rasa aku gabisa meninggalkan kamu tanpa penjelasan apapun, tanpa ada sepatah katapun yang harus sama-sama kita jernihkan tentang masalah antara kita,” Abad melepas genggaman tangannya pada Tita lalu berpindah mengelus pipi Tita yang telah banjir air mata dengan lembut, “Ta, maafin aku, tapi aku bener-bener gabisa. Entahlah… mungkin sesakit ini rasanya kecewa. Aku sudah gabisa lagi menemukan diri kamu di dalam diriku,” Abad menghela nafas panjang, “Ta, ini bukan keputusan mudah, aku memikirkannya berhari-hari. Lima tahun kita bareng-bareng, Ta. Memang ga mudah tapi inilah akhirnya. Kita harus sama-sama lapang dada. Bukan salahmu, bukan juga salahku. Bukan benarmu, bukan juga benarku. Ini hanya perkara takdir Tuhan, Ta.” Abad beranjak, menjorokkan sedikit tubuhnya kemudian memeluk Tita, “kamu baik-baik ya, Ta. Sesudah ini, entah dengan siapapun kamu, entah dengan laki-laki yang kemarin memeluk kamu itu atau bukan, aku doakan kamu bahagia. Aku doakan kamu menjadi lebih baik. Aku ga marah, aku ga dendam, aku anggap kita berteman baik, Ta, selalu. Semua kenangan tentang kita biarlah aku simpan baik-baik sebagai hal-hal manis yang pernah aku alami. Aku ga akan pernah ingat apapun hal buruknya. Aku harap kamu juga begitu. Sekali lagi, maafin aku ya, Ta.”
Tangis Tita semakin pecah dalam pelukan itu, bibirnya tak mampu lagi berucap barang sepatah kata. Hening, namun air matanya terus menderas tanpa kenal batas. Tita terluka. Jiwanya terkoyak, sanubarinya tercabik. Bagaimanapun pada akhirnya ia harus menghargai keputusan Abad dan harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang memang ditakdirkan bukan untuknya. Tita tahu, ini adalah hal sulit, entah butuh berapa musim untuk menghilangkan segala luka dan belajar melupa. Namun Tita yakin Tuhan selalu ada di segala prosesnya.


TENTANG RINDU

Kala dengan terkantuk-kantuk memegang pena, matanya setengah memejam dan pikirannya setengah sadar sembari menulis bertumpuk-tumpuk resume pasien yang membentang diatas meja dihadapannya. Diliriknya jam dinding yang tergantung manis diatas kapstok tempat ia menggantungkan snellinya. Jam itu menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
Masa-masa coass memang tak pernah mudah. Pergi pagi pulang pagi bahkan berhari-hari dirumah sakit sudah Kala alami selama satu bulan belakangan ini. Jam tidur yang tak teratur, makan yang sudah tak sesuai jadwal, tubuh yang setiap hari pegal pegal adalah sebagian hal yang sedang berusaha Kala biasakan saat ini.
Kala bangkit dari kursinya, resume pasien yang menggunung itu memaksanya untuk tak tidur lagi malam ini. Kala mengambil sebungkus kopi sachet, lalu menyeduhnya di dispenser. Kakinya melangkah keluar ruangan, berjalan diantara koridor yang sunyi, sembari melihat kanan-kiri kearah berbagai macam bunga yang tumbuh di setiap sudut taman rumah sakit, berusaha sedikit menyegarkan pikiran.
Langkah kaki kala berbelok menuju gerbang utama rumah sakit. Maksud hati ingin membeli camilan di supermarket 24 jam di depan rumah sakit, mata Kala justru menangkap sesosok laki-laki yang begitu dikenalinya berjalan kearahnya dari parkiran. Tubuh Kala seketika kaku, bibirnya terkatup, gelas plastik yang ia pegang nyaris jatuh.
“Hai, Kal…” sapa Abad canggung, senyumnya tampak meragu.
Kala terkesiap sesaat kemudian kembali mengontrol diri, tampak berusaha tenang, “Hai, Bad,” balas Kala tak kalah canggung, “ngapain? Jenguk keluarga? Udah bukan jam jenguk loh…”
“Aku mau ketemu kamu, Kal…” potong Abad cepat.
Kala tambah tak mengerti, debar di dadanya kembali berdesir hebat, desir yang memang selalu ada setiap kali lelaki dengan isi kepala abstrak ini ada dihadapannya. “Ketemu aku? Ke… kenapa? Ada apa?” Kala tampak tak tahan untuk menyembunyikan rasa penasarannya. Diteguknya kopi yang ia pegang, menghilangkan canggung.
“Aku butuh bicara, Kal, dengan kamu…”
Mendengar kalimat dengan nada berbeda itu terlontar dari mulut Abad, Kala tahu pukul tiga pagi dini hari ini, tak akan pernah menjadi pukul tiga pagi yang terulang dua kali dihidupnya.

¤¤¤

Kala dan Abad memutuskan untuk duduk di sebuah lapak penjual nasi goreng pinggir jalan yang mangkal di depan gerbang rumah sakit. Setelah memesan dua porsi nasi goreng, Abad meluruskan duduknya, menatap Kala dengan sorot tak biasa. Begitu ingin rasanya Abad menyingkirkan meja yang menjadi penghalang antara ia dan Kala demi memeluk tubuh Kala yang begitu dirindukannya.
“Kal…” panggil Abad pelan.
Kala membalas tatapan mata Abad itu, sama tajamnya, “ya?”
“Kapan terakhir kali kamu mikirin aku?”
Kala mengernyit, “apa?”
“Iya, aku tanya, kapan terakhir kali kamu mikirin aku?”
Kala terdiam, pertanyaan itu terdengar dengan nada begitu serius di telinganya. Bibirnya terkatup, kaku. Pertanyaan yang mudah saja untuk dijawab sebenarnya, jika saja Kala bisa membohongi hatinya untuk mengatakan bahwa ia tak pernah memikirkan Abad, padahal nyatanya Abad selalu terlintas di pikirannya di setiap waktu; di saat Kala sedang menemani konsulen untuk visit pasien, di saat Kala sedang mengoplos obat, di saat Kala sedang mengendarai motornya pulang kerumah selepas dinas malam, bahkan ada saat-saat dimana Kala tiba-tiba terbangun di pagi hari dan kemudian tersadar ia merindukan Abad.
“Kenapa diam, Kal?” Abad menyentuh tangan Kala lembut, menyadarkan Kala dari lamunannya. Ada rasa tak sabar begitu ingin mencurahkan semua kalimat yang selama ini ia tahan dalam dirinya.
Kala menggeleng kemudian tersenyum, “kamu kenapa sih, Bad? Ada apa?” Kala berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Kal, dari mata kamu, aku tahu kamu rindu denganku.”
Kala tergelagap, ucapan Abad barusan tepat mengenai jantungnya, “hahahaha, ngaco,” Kala tertawa kecil, menutupi perasaannya yang mulai tak karuan. Lelaki ini, benar-benar membuatnya tak mampu berkutik. “Eh gimana Tita? Sehat?” Kala mengaduk es tehnya yang barusan datang, berusaha menutupi kecanggungan.
“Aku sudah enggak sama Tita,” jawab Abad cepat, matanya masih memandangi Kala tanpa berkedip, sementara yang dipandangi malah sibuk menunduk, berpura-pura khusyuk mengaduk-ngaduk es teh di hadapannya.
Kala mendongak sesaat, tercengang, kemudian kembali menunduk, menyeruput seteguk es tehnya, “kenapa putus? Jangan bilang karena…”
“Bukan… bukan… bukan karena kamu,” kemudian Abad menceritakan kejadian di kota tempat Tita bekerja dengan singkat.
Kala mengangguk-ngangguk kecil, terkejut, namun tak ingin menampakkan keterkejutannya. “Jadi kamu kesini untuk apa?” tanya Kala kemudian tanpa basa-basi sembari menyendok nasi goreng ke mulutnya suap demi suap.
“Kamu gamau tanya aku dulu kapan terakhir kali aku mikirin kamu?”
Kala nyaris tersedak, matanya memelototi Abad dengan pandangan senewen setengah mati. “Bad, kamu ini kenapa sih?”
“Tanya dulu.” Abad terlihat cuek, pura-pura tak memerdulikan reaksi Kala yang begitu terkejut dengan kalimat-kalimatnya.
“Abad!”
“Tanya dulu, Kal…” Abad masih kekeuh, keras kepala.
Kala menarik nafas panjang, memutuskan mengalah, “oke oke, aku tanya, kapan kamu terakhir kali mikirin aku?”
Abad tertawa cekikikan, “jangan ditanya seharusnya,” ucapnya kemudian dengan mulut penuh nasi goreng.
Kala kembali memelototkan matanya berpura-pura kesal, padahal nyatanya, sifat menyenangkan nan humoris yang Abad miliki ini lah yang selalu membuat Kala betah berlama-lama di dekatnya dan selalu berhasil membuat Kala rindu. Kala dapat merasakan hatinya yang beberapa bulan belakangan ini nyaris membeku, pelan-pelan mencair seperti baru saja dialiri sentuhan hangat.
“Seharusnya ga perlu kamu tanya, Kal,” lanjut Abad kemudian, “karena kamu tahu sendiri kan, aku pagi, sore, siang, malam, subuh, petang, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, badai, hujan, gerimis, kemarau, di pasar, di kamar, di atap, di mana-mana, bahkan sekarang lagi makan nasi goreng di depan kamu pun aku tetap mikirin kamu.”
Kala tak dapat lagi menahan ledakan di kerongkongannya, ia tersedak, terbatuk-batuk. Sementara Abad tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu. Bongkahan besar batu diantara mereka berdua pun luluh lantah seketika.

¤¤¤

Dua piring nasi goreng pagi buta itu habis dalam waktu hampir satu jam sebab selalu ada cerita yang Kala dan Abad bagi di setiap suapannya. Lama tak bertemu, lama tak berbincang sehangat ini, membuat sepasang manusia itu begitu bergelora membagi kisah masing-masing, tentang apa saja hal yang mereka lalui saat mereka terpisah jarak antara hati.
“Jadi kamu jatuh diantara sawah-sawah disamping The Sawah Pastry? Hahahahaha,” Kala tergelak, sembari menandaskan gelas ketiga es tehnya, cerita tentang Abad yang dilanda galau kemudian berlari-lari ditengah sawah membuat dirinya tergelitik sendiri. “Kamu alay banget hahahha.”
Abad mesem-mesem, “kamu juga alay, kalau galau ke pantai.”
“Tapi aku gapernah jatuh ditengah-tengah pasir,” Kala kembali tergelak.
Seusai membayar pesanan, Abad mengajak Kala pergi, kaki mereka melangkah kembali ke dalam area rumah sakit sembari terus menyeracaukan berbagai cerita. Tepat di lorong ruang tunggu pasien poli yang hening, Kala dan Abad menghentikan langkahnya lalu serempak duduk dikursi-kursi panjang yang tersedia.
“Jadi, kamu mau apa kesini?” tanya Kala tanpa basa-basi setelah semua cerita mereka habis ditelan waktu yang terus bergerak. Sorot mata jenakanya, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi serius.
Abad menatap Kala tajam, ditariknya nafas panjang berkali-kali, menyiapkan diri, “Kal, kamu mau jadi pacar aku? Aku… aku gabisa lupain kamu… gabisa…”
Kala terdiam, sedikit tersentak meskipun sebenarnya ia sudah sedikit bisa membaca kemana arah pembicaraan Abad akan bermuara. Kala membuang pandangan, matanya menatap lurus pada deretan kursi kosong di hadapannya.
“Kal… aku tahu mungkin kamu kaget, kamu belum siap, semua terkesan aku ungkapkan dengan terburu-buru di pertemuan pertama kita setelah kita sekian lama ga berhubungan, tapi, Kal… aku udah gabisa nahan diri aku lagi. Sudah hampir sebulan aku memikirkan semua ini matang-matang dan semakin aku tahan, rasanya aku semakin nyaris gila.”
Kala masih terdiam, berusaha mencerna potongan-potongan kalimat Abad yang singgah di telinganya. Hatinya terasa semakin teduh mendengar bahwa Abad masih sama mencintainya seperti dahulu. Sungguh, Kala ingin terbang melayang jikala saja bisa. Namun ia memilih tak menunjukkan gejolak itu sedikitpun di depan Abad.
“Minggu depan aku ada libur tiga hari karena rumah sakit akreditasi, kita naik gunung yuk. Gunung Tanggamar aja, yang deket.”
Abad mengernyit, “hah? Apa, Kal?”
“Iya, aku mau jawab pernyataan cinta kamu diatas gunung, nanti.”
Abad terhenyak, terdiam seketika, mulutnya tak mampu lagi berkata. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus menuruti mau Kala demi mendapatkan apapun jawabannya.


BERSAMBUNG....

Kamis, 12 Juli 2018

Mengabadikan Kala Part II



SUDAHI SAJA
Bulan berganti dengan begitu cepat. Waktu berlalu tanpa ampun menindas detik demi detik. Kenangan meraung-raung tertinggal dibelakang, sementara Abad masih di tempat yang sama, bergumul dengan perasaannya terhadap Kala segaligus Tita. Sedangkan di sisi lain muka bumi, Kala sedang berusaha melakukan hal yang sama. Bagaimanapun, Abad sudah ada yang punya, pikirnya.
Kala tak mampu lagi membohongi diri, ia tersadar, ia juga telah jatuh hati. Namun salah. Sangat salah. Kala jatuh hati pada sosok yang tak boleh ia miliki.
Tiga bulan sejak kejadian diatap gedung fakultas kedokteran, Kala memilih menghindari Abad, tak membalas apapun pesan yang Abad kirimkan ke ponselnya, memutuskan tak lagi mau mengangkat telpon Abad sebanyak apapun dering yang Abad berhasil bunyikan. Kala tahu, hatinya telah jatuh, namun ia memilih untuk melindungi hatinya agar tak semakin jauh. Ia menyibukkan diri dengan skripsinya. Berangkat kuliah hanya untuk konsul dan ujian, singgah ke perpustakaan, lalu kemudian pulang kembali kerumah. Ia menghindari tempat-tempat keramaian yang dapat membuatnya bertemu Abad.
Sementara Abad, meski mengetahui respon tak baik yang Kala berikan, ia memutuskan untuk tetap menghubungi gadis itu, bukan, bukan untuk mengejarnya, tak lebih Abad hanya ingin memperbaiki apa yang telah rusak diantara mereka diakibatkan pernyataan cintanya kemarin. Abad sungguh tak ingin Kala jauh darinya. Abad sadar, hati kecilmya begitu tak ingin kehilangan Kala. Gadis itu kini, adalah candu hidupnya, apa yang membuat nafasnya terasa lebih ringan disetiap hembusan, yang juga telah membuat denyut nadinya lebih teratur dan berirama.
Sementara sibuk dengan usahanya memperbaiki hubungan dengan Kala, Abad juga sebulan sekali secara rutin mengunjungi Tita ke pulau seberang, menengok keadaan kekasihnya itu, meski Abad tahu benar hatinya sudah tak lagi disana. Tak ada lagi rasa hangat ditubuhnya ketika menatap wajah Tita. Senyum Tita terasa hampa. Tak ada lagi rindu bergejolak. Semua seolah hanya berjalan, tanpa bernyawa.
Abad tahu Kala menghindarinya, tanpa pernah tahu gadis itu punya perasaan yang sama. Kala tahu Abad mengejarnya, tanpa Kala sadar cinta Abad padanya jauh lebih tulus dari yang tampak di dunia nyata.

¤¤¤

Tiga bulan berlalu, pagi itu Kala bangun lebih pagi dari biasanya. Seusai melaksanakan shalat subuh, ia bergegas membuka lemari bajunya, kemudian memandang takjub dengan mata membulat penuh pada setelan kebaya terusan berwarna biru muda, warna kesukaannya. Matanya bergeser ke sepasang jubah hitam disamping kebaya itu, jubah dengan bordiran lambang universitasnya di dada kiri. Seperti mimpi, ia bergumam, “ya ampun gue bangun-bangun tidur udah wisuda.” Desisnya haru pada dirinya sendiri.
Kepalanya memutar balik perjuangannya selama 4 tahun belakangan ini. Jatuh bangunnya dalam mengerjakan tugas, praktikum dan laporan yang menggunung. Belum lagi ditambah dengan OSCE, tutorial, dll. Kala menghempas tubuhnya ke ranjang, tak teras air matanya menitik, satu fase penting hidup sudah berhasil ia lewati.

¤¤¤

Abad menduduki kursi penumpang disamping supir, disusul dengan ibu dan ayahnya yang masuk beberapa menit kemudian dan menempati kursi penumpang tengah. Abad mematuti tubuhnya yang diselimuti jubah wisuda dengan rasa tak percaya. Hari ini tiba. Akhirnya…
“Jalan, Pak.” Ucap Ayah pada Pak Guntur, supir pribadi keluarga mereka yang telah belasan tahun mengabdi itu.
Mobil melaju dengan pelan membelah jalanan utama kota, belum terlalu macet sebab jam baru menunjukkan pukul tujuh tepat. Abad mengecek ponselnya dan mendapati ucapan selamat dari Tita yang diketik dengan begitu panjang dengan penuh kata-kata bahagia dan doa kemudian diakhiri dengan ucapan maaf tidak bisa hadir sebab Tita tidak bisa mengambil libur. Abad membalas pesan itu dengan ucapan terimakasih seadanya. Ia tak kecewa Tita tak bisa datang. Hatinya biasa saja. Terlalu amat sangat biasa bahkan untuk bersikap sebagai kekasih bagi Tita.
Setengah jam kemudian, mobil Abad memasuki gerbang gedung wisuda universitasnya yang begitu megah. Gedung dengan luas sekitar satu hektar dengan tiang-tiang penyangga berdiameter satu meter yang tersebar dibeberapa titik, dicat dengan warna putih tulang dengan cat terbaik yang anti kotor, dilengkapi dengan ornamen-ornamen ukiran di langit serta kusen, serta terpahat dengan jelas lambang universitas mereka di puncak atas gedung, membuat gedung itu tampak begitu indah, bertambah indah pula ketika begitu banyak papan-papan bunga ucapan selamat wisuda tersebar disana-sini.
Abad turun dari mobil dan langsung melesat masuk bersama Ibu dan Ayahnya kedalam gedung. Abad bergabung duduk di kursi mahasiswa fakultas teknik, sedangkan Ayah dan Ibunya duduk di tribun penonton.
Tepat 5 menit sebelum wisuda dimulai, ditengah hiruk pikuk para dosen yang tengah mengetes pengeras suara, Abad menangkap sosok itu, sosok yang sudah tiga bulan lamanya tak ia lihat, sosok yang masih sama menawannya seperti pertama kali ia bertemu, sosok yang meski tak pernah lagi nampak namun dikepalanya tak pernah absen untuk hadir, sosok yang selalu berhasil menjadi magnet pada dunianya yang berputar tak beraturan, sosok yang berhasil mengalahkan segalanya, tiada tandingnya. Beberapa meter dari tempat Abad duduk, sosok itu tengah berdiri sambil mengambil beberapa swafoto bersama teman-temannya dari deretan bangku wisuda. Seperti mutiara yang baru lahir dari cangkangnya, Kala, berhasil menyilaukan mata Abad dengan segala pesonanya.
“Sangkala Indah Lestari,” gumam Abad mendesiskan nama lengkap Kala. Hatinya berpacu dengan hebat. Ingin rasanya berlari kemudian memeluk Kala. Namun yang terjadi justru tubuhnya Kaku tak bisa berbuat apa-apa. Matanya tak berkedip meresapi detik demi detik melihat Kala tersenyum ke kamera saat mengambil foto. Abad tahu, hatinya, sudah tak tahan lagi. Ia begitu ingin memiliki gadis itu. Bagaimanapun caranya.

¤¤¤

Prosesi wisuda usai, satu persatu wisudawan beserta orang tuanya tampak meninggalkan gedung. Sebagian besar tersebar di luar gedung dan tengah sibuk berfoto-foto ria bersama. Di salah satu sudut halaman gedung, Abad tengah menerima beberapa kejutan dari teman-teman kuliahnya yang sengaja datang membawa bunga dan berbagai macam kado sebagai ucapan selamat. Namun matanya tetap awas berusaha menilik satu persatu wajah dari ratusan orang yang melintas di hadapannya, berusaha menemukan Kala dalam kerumunan.
Tepat ketika teman-temannya membubarkan diri usai mengambil beberapa kali sesi foto bersama, Abad menemukan sosok itu, tengah berjalan anggun dalam balutan kebaya biru sambil sibuk membenahi tangannya yang membawa begitu banyak kado. Abad tak tahan lagi, dibukanya jubah wisuda yang ia kenakan, diletakannya toga yang tadinya ia sematkan di kepala, lalu ia pamit kepada Ayah Ibunya dan mengatakan ada urusan sebentar dan meminta Ayah Ibunya untuk pulang duluan saja.
Abad berlari kecil, menyusul Kala yang hanya mampu berjalan pelan ditengah kerumunan manusia yang begitu ramai. Tepat ketika Kala berhenti di depan sebuah mobil dengan dua orang paruh baya yang Abad yakini sebagai kedua orang tua Kala, Abad pun menghentikan langkahnya, tepat satu meter dibelakang gadis itu, “Kal...” panggilnya pelan, Kala spontan menoleh dan nyaris jatuh terkejut mendapati sosok yang berdiri dihadapannya saat ini.
Kala dapat merasakan ada gemuruh hebat disekujur tubuhnya, seperti tengah disengat listrik dan disapu ombak secara bersamaan, debaran itu, desiran itu, masih sama hebatnya, sama kuatnya bahkan tak pernah mengurang sejak pertemuan pertama mereka.
“Hai, Bad…” Kala  membalas sapaan itu, canggung sekali. “Sebentar ya.” Demi melihat ekspresi wajah Abad yang benar-benar nampak hendak memuntahkan begitu banyak kalimat, sedetik kemudian Kala menaruh barang-barang yang ia bawa di bagasi kemudian berbicara sesaat pada ketua orangnya dan meminta kedua orangtuanya pulang terlebih dahulu.
Tepat ketika mobil kedua orang tua Kala melaju menuju gerbang keluar, Abad dengan gerakan yang tak dapat lagi terelakkan, langsung memeluk gadis itu, begitu erat, hangat, penuh dengan kerinduan. “Kal…”  desisnya pelan, terus memeluk gadis itu, tak perduli ratusan mata menatap mereka canggung.
Detik berlalu dengan sunyi, Kala membiarkan tubuh besar Abad melingkupinya, ada rindu tak tertahan juga yang hendak ia tumpahkan disana, namun bibirnya tak kuasa berkata.
“Kal… kamu kenapa?” Abad bertanya halus. Dilepasnya pelukan itu pelan-pelan.
Kala tersenyum tipis kemudian menggeleng lemah, “aku ga kenapa-kenapa, mungkin cuma butuh waktu.”
“Kita butuh bicara, Kal.” Sergah Abad cepat.
Kala mengangguk, “iya, kita butuh bicara, Bad”

¤¤¤

Mobil taksi online itu membelah jalan menuju pesisir barat kota, Abad dan Kala terdiam canggung di kursi penumpang belakang, bersisian, namun tak saling mengeluarkan kata. Sementara supir taksi itu hanya mampu mencuri pandang sesekali kebelakang dengan penuh tanda tanya diatas kepalanya.
Mobil itu berhenti disebuah daerah persawahan dengan rumah yang masih jarang, tepat disebuah bangunan dengan papan nama “The Sawah Pastry” terpampang didepannya. Kala dan Abad melangkah canggung, memasuki pintu toko kue favorit Abad itu dengan perasaan tak karuan. Denting bel pada pintu masuk berbunyi, membuat tubuh tambun Pak Tora keluar dari bilik dapurnya, mengamati sesaat, kemudian tersenyum ketika mengenali kedua orang yang tengah berjalan mendekati meja kasir itu.
“Hei, Abad, Kala! Saya kira kalian sudah lupa dengan toko kue ini hahahahaha,” Pak Tora tertawa geli, membuat Abad dan Kala tak kuasa menahan senyum. “Rapi sekali kalian ini, darimana?” tanya Pak Tora sembari menilik Abad dan Kala dari ujung kepala hingga kaki.
“Habis wisuda, Pak” jawab Abad singkat sambil tersenyum.
Kedua mata Pak Tora kontan membulat bahagia, “wah wah habis wisuda jadi kalian ini? Kalau begitu mau pesan apa? Seperti biasa?” tanya Pak Tora memastikan. Sepasang anak manusia yang sedang linglung itu hanya mampu mengangguk mengiyakan tanpa balasan. “Saya kasih diskon buat yang baru wisuda, tenang saja,” lanjutnya girang sembari mengedipkan sebelah mata.
Tanpa diperintah, Abad dan Kala bergerak mencari kursi, dan pilihan mereka jatuh pada kursi yang sama saat pertama kali mereka berdua mengunjungi toko kue ini. Tampak beberapa pengunjung lain yang tersebar di beberapa titik kursi mencuri-curi pandang pada sepasang muda-mudi yang datang dengan mengenakan kebaya serta kemeja batik itu, keheranan.
Kala beringsut di kursi sofa berwarna ungu pastel itu, menumbukkan pandangannya kearah luar jendela. Sementara Abad tak henti-hentinya memandangi wajah Kala, seperti hendak meresapi setiap detil wajah gadis itu kedalam paru-parunya. Menit berlalu, Abad masih membiarkan Kala tercenung sendiri, menunggu hingga gadis itu tenang.
Pesanan pun datang, Abad menegur Kala, pelan, “Kal, diminum dulu cokelatnya, mumpung masih panas.”
Kala tergelagap, terbangun dari lamunan panjangnya, tersenyum canggung dan mengambil gelas akrilik dihadapannya, menyesap cokelat panas itu seteguk, kemudian mengalihkan pandangannya pada mata Abad yang sedari tadi memang sudah terfokus kedalam retina matanya.
“Sudah bisa mulai bicara, Kal?” tanya Abad, pelan.
Kalimat-kalimat baku Abad itu, terdengar begitu asing ditelinganya. Biasanya, ia dan Abad akan sembarang bicara, bercanda, tertawa. Sebesar itukah pengaruh jatuh cinta? Sehingga bahkan dalam berbicarapun Abad merubah caranya pada Kala?
Kala diam beberapa detik, berusaha menyesuaikan kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan, “iya, sudah. Mau mulai darimana?”
“Dari pertanyaanku tadi, kamu kenapa?” balas Abad cepat.
Kala meneguk cokelat panasnya lagi, “kan tadi sudah aku bilang, aku cuma butuh waktu.”
“Waktu untuk apa?”
“Untuk mencerna semua kejadian ini, Bad,” Kala menghela nafas, “Bad, kamu pikir aku ga kaget waktu tiba-tiba kamu menyatakan perasaan? Bad, it’s okay, ga masalah kalau kamu suka dan jatuh cinta sama aku, yang membuat aku ga bisa terima dan menjauh adalah kamu sudah punya Tita, Bad, itu.” Jelas Kala panjang lebar, ia sudah tak tahan lagi, tiga bulan lamanya ia memendam dan menelan semua isi kepalanya sendiri.
Seketika, raut wajah Abad berubah, ada perasaan bingung terpancar jelas disana, “Kal, kalau aja hati itu bisa diatur untuk harus jatuh cinta dan tidak harus jatuh cinta dengan siapa, aku pasti lakuin itu. Tapi sayangnya, hati kita gapernah bisa Kal, ngelakuin hal itu. Hati kita sendiri Kal, yang milih dia mau jatuh untuk siapa. Kita gabisa apa-apa. Tuhan Kal, yang berkehendak disini, bukan lagi manusia. Logika pun ga akan bisa ngejangkau.”
Kala diam sebentar, mencerna semua kalimat itu dengan hati caruk maruk, “tapi ini salah, Bad. Kamu jatuh cinta sama orang lain dengan keadaan kamu sudah punya pasangan. Itu namanya berkhianat, Bad. Berkhianat hati itu lebih fatal Bad daripada berkhianat fisik. Seharusnya… seharusnya kamu bisa mencegah dan menjaga hati kamu supaya ga jatuh cinta dengan aku…”
“Dan sayangnya hatiku gabisa ngelakuin itu, Kal.” Potong Abad cepat, “hatiku gamau dan gabisa, semuanya berjalan gitu aja, dan… iya dan aku jatuh cinta sama kamu.”
Kala menatap Abad dengan nanar, menandaskan cokelat digelas akriliknya dalam sekali teguk, kemudian menilik mata Abad dengan lebih tajam. “Bad, berhenti. Kembali ke Tita, cintai dia seutuhnya, aku ga butuh cinta kamu, Bad. Yang butuh itu Tita. Sadar, Bad… sadar… kamu itu lagi khilaf sekarang.” Kala tahu, ada sebagian jiwanya yang terkikis saat mengatakan hal ini. Kala tahu, ia telah berbohong pada dirinya sendiri. Kala tahu dan sadar benar, ia nyatanya memang membutuhkan Abad berada di sisinya. Kala tahu lelaki itu adalah sosok yang mampu membuat dunianya berhenti berputar. Kala tahu ia mencintai Abad dengan begitu dalam juga. Tapi biarlah, biarkan saja, Kala hancur dalam kesendiriannya dan kemunafikannya ini. Demi Abad, demi Tita. Demi mereka.
“Bad, sesudah ini, pulang lah ke Tita, cintai dia sebaik-baiknya. Jaga hatinya. Aku akan pergi dari hidup kamu sampai kamu lupa.” Kala bangkit berdiri, kemudian pergi melenggang keluar dan meninggalkan Abad yang masih termangu di tempatnya memandangi Kala hingga tubuh gadis itu hilang dibawa angkutan umum yang barusan melintas.
Abad meringis, hatinya tertohok begitu dalam, beku, nyaris runtuh menjadi seribu bagian. Kalimat demi kalimat Kala barusan, terngiang terus menerus diatas kepalanya hingga membuat kepalanya begitu nyeri. Abad tertunduk, memandangi kaki meja dibawahnya, pikirannya kalang kabut. Gadis itu, adalah pusat gravitasi buminya,  dan ia kini pergi, menghilang, lenyap. Abad bagai hilang arah, hatinya pecah belah, tak tau lagi kemana melangkah. Abad tersesat, jauh kedalam labirin yang ia tak tahu dimana jalan keluarnya.

¤¤¤

Malam bergulir, langit gelap memeluk hangat bumi, bulan berpendar malu dibalik awan yang mengerubungi. Abad terduduk diam di teras belakang rumahnya dengan segelas kopi hangat yang tak disentuhnya sama sekali. Kepalanya masih memutar jelas rentetan kejadian di The Sawah Pastry lamat-lamat. Wajah Kala, amarahnya, kalimat demi kalimatnya, Abad menangkap ada kesungguhan bercampur keganjilan disana. Seperti ada sesuatu yang hendak diucap namun tertahan, seperti ada segumpal perasaan yang hendak dijelaskan namun Kala tak mampu menjabarkan. Entah Abad yang salah menangkap, atau memang Kala yang pandai mengelabui, entahlah, Abad sudah terlalu bingung dengan semua ini.
Abad membuka ponselnya, menjelajahin menu galeri, lalu menatapi satupersatu fotonya dengan Tita yang ia simpan rapi. Lima tahun lamanya bersama, sudah tak terhingga lagi foto yang mereka ambil disetiap momen berdua. Foto di ponsel Abad ini hanyalah sebagian kecil, foto selama setahun belakangan ini.
Abad tercenung, jarinya berhenti pada sebuah foto yang membuat sanubarinya terusik hingga ke bagian-bagian terkecil; saat dimana ibunya memeluk Tita sambil tertawa dengan latar belakang Candi Borobudur. Itu adalah foto yang diambil ketika keluarga Abad mengajak Tita liburan bersama ke Yogyakarta satu tahun lalu. Abad memandangi foto itu dengan hati penuh pertimbangan. Kepalanya kini memutar wajah Tita dengan segala macam rupa.
Mungkin Kala benar, aku sedang khilaf, batinnya kemudian. Mana mungkin ia lebih cinta pada Kala yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu dibanding Tita yang sudah melalui berbagai macam fase hidup bersamanya? Bagaimana mungkin Abad lebih mencintai Kala dibanding Tita yang juga begitu dicintai ibunya? Bagaimana mungkin Abad tega menduakan Tita yang telah begitu dekat dengan Ayah dan Ibunya ketimbang Kala yang bahkan belum apa-apa?
Abad menghela nafas panjang, kopi dingin itu, diteguknya dengan cepat. Sesuatu yang beku dihatinya itu kini hancur. Bergegas, dipencetnya nomor ponsel Tita, menunggu Tita diujung sana menyambut teleponnya



TITANIA NINGTYAS LARASATI

Namanya Titania Ningtyas Larasati, semua orang sedari kecil memanggilnya Tita. Lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dengan status Ayah dan Ibu yang sama-sama merupakan aparatur sipil negara, membuat hidupnya berkecukupan. Tita adalah gadis Jawa yang diajarkan tata krama dengan begitu kental sedari kecil. Ajaran-ajaran tentang bagaimana cara berjalan, cara bersikap, cara makan, cara berpakaian, sudah khatam dikepalanya sedari dini.
Tita tumbuh dengan keadaan nyaris sempurna. Wajahnya cantik dilengkapi dengan lesung pipit, rambutnya ikal dibagian bawah dengan warna kecoklatan, tubuhnya proporsional disebabkan ajaran Ayahnya untuk selalu berolahraga setiap hari.
Ditambah lagi dengan sifat anggun, lemah lembut, jarang berbicara, sabar, hampir tidak pernah marah dan pemaaf, yang membuat Tita hampir dikagumi semua orang.
Semua kesempurnaan dan kebaikan itu lah yang membuat Abad jatuh hati pada Tita sejak pandangan pertama semasa mereka SMA dahulu, bukan mudah bagi Abad untuk mendapatkan Tita. Nyaris dua tahun lamanya, Abad jatuh bangun mengejar hati Tita dengan begitu banyak pesaing hingga akhirnya ia lah yang keluar menjadi juara. Bagi Abad segala hal di diri Tita selalu mampu membuat Abad betah berlama-lama bersamanya, sebab Abad tahu, gadis itu, sebanyak apapun kesalahan yang Abad lakukan, ia akan selalu memaafkan.
Tita bukan tak pernah ingin marah berlama-lama, atau menjadi enggan untuk memaafkan, terkadang pikiran itu melintas dibenaknya, namun ia kembali teringat ajaran Ayahnya bahwa manusia bukan Tuhan, Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa manusia tidak?
“Titania!”
Suara serak-serak basah dengan nada tinggi itu membuyarkan lamunan Tita yang sedang menunggu makan siang di kantin kantornya. Kepalanya sedang melayang kerumahnya di pulau seberang. Ah… betapa ia rindu Ayah dan Ibu serta kedua kakaknya.
Tita mengangkat kepalanya, meluruskan pandangan, dan mendapati sesosok laki-laki dengan perawakan tubuh tinggi dan berisi serta rambut sedikit gondrong berjalan menuju mejanya. Denish, lelaki itu adalah seniornya, seruangan dengannya sejak kali pertama ia bekerja di perusahaan jamu ternama ini. Hanya dipisahnya sekat antara kubikel, membuat Denish menjadi orang terdekat Tita, sebab sedikit banyak, Tita belajar darinya.
Denish menghempaskan tubuhnya di kursi yang berhadapan langsung dengan Tita, “biasanya kamu ngajakin saya makan siang?” tanya Denish tanpa basa basi.
Tita tersenyum, membuat lesung pipitnya terbentuk sempurna, “maaf, tadi abis dari HRD, males balik lagi keatas, makanya saya langsung kesini.”
“Sudah pesen makan?” tanya Denish kemudian sambil membolak-balik menu.
“Sudah.”
“Makan apa?”
“Sate ayam.”
“Mas, saya pesen sate ayam satu ya.” Teriak Denish pada pelayan sedetik kemudian.
Tita melongo di tempat duduknya teringat akan suatu hal yang ia sudah ketahui dari Denish semenjak pertemanan mereka beberapa bulan belakangan ini, “Nish, bukannya kamu ga suka ayam?”
“Kamu kan suka ayam, tiap makan pake ayam, jadi saya pengen belajar suka ayam juga, biar bisa makan bareng terus sama kamu,” jawab Denish santai sembari masih membolak-balikkan menu, sedang memilih minuman.
Tita tercenung, mencoba mencerna kalimat dari mulut Denish barusan.
“Minumnya apa?” tanya Denish kemudian. Pandangannya beralih pada Tita, sedetik kemudian Denish tersenyum geli demi melihat raut wajah Tita yang termenung dengan mata hampa. Diusap-usapnya kepala Tita lembut.
Tita tersadar dari lamunannya tepat di detik ketika sentuhan tangan Denish mengenai kepalanya. Ia tergelagap lalu bangkit berdiri. “Saya ke toilet sebentar,” pamitnya kemudian. Dilangkahkannya kaki menuju bilik toilet, dan termenung menatap bayangan tubuhnya dikaca besar yang tersedia disana.
Denish, lelaki itu, Tita tahu ada yang berbeda dengan caranya memerlakukan Tita sejak pertama kali mereka bertemu. Tawaran-tawaran hangat Denish untuk selalu membantu pekerjaan Tita selalu datang silih berganti tanpa Tita minta. Ajakan-ajakan Denish untuk makan siang disetiap jam istirahat, selalu hadir tepat waktu. Bahkan tak jarang, ajakan makan itu berlanjut menjadi makan malam saat tiba-tiba Denish suka sekali mendadak muncuk didepan pintu indekos Tita dengan mobil Sedan-nya. Membuat Tita tak mempunyai pilihan lain selain mengiyakan ajakan makan malam itu. Dan kini, beberapa menit lalu, Denish semakin menjadi dengan menunjukkan keinginannya belajar menyukai suatu hal yang Tita sukai.
Tita tahu, dengan segala firasat yang ia punya, Denish memendam rasa untuknya. Entah sejak kapan, entah sedalam apa, yang dapat Tita pastikan hanyalah rasa itu terus bertumbuh seiring berjalannya hari-hari dimana mereka selalu bersama. Dan semenjak menyadari akan hal itu, hingga detik ini, Tita begitu bingung bagaimana harus menanggapinya. Ia selalu memilih menghindar disetiap kesempatan Denish mulai membahas dan menunjukkan perasaannya terhadap Tita. Tita tahu ia tak bisa selamanya menghindar, seiring bergulirnya waktu, kelak akan ada suatu hal yang harus ia hadapi di depan. Namun untuk saat ini, biarlah begini. Menghindari Denish pun rasanya tak mungkin. Sebab mereka bertemu setiap hari.
Denish bukannya tak mengetahui jika Tita memliki kekasih, ia tahu, sebab dari awal sejak ia ingin memulai percakapan dengan Tita di whatsapp, foto profil Tita telah menjelaskan segalanya, foto berdua dengan seorang lelaki berkemeja ungu yang merangul Tita mesra. Denish tahu, tapi tak ingin menyerah. Sebab bagaimanapun Tita telah terlanjur menyita seluruh isi hatinya.
Tita menghela nafas panjang, ia memilih tuk membasuh wajahnya dan berharap segala perasaan bingung yang bercokol itu ikut luntur bersama bulir-bulir air yang jatuh dari dagu dan pelipisnya. Dipasangnya raut sebiasa mungkin dan memutar balik tubuhnya, kembali ke meja kantin.
Disana, Denish masih duduk sembari melahap makanannya yang sudah datang.
“Ternyata enak ya makan ayam.” Celetuk Denish saat Tita baru saja mendarat diatas kursinya semula.
Tita mencoba menanggapi dengan raut bersahabat, seperti biasanya, “emang biasanya ga enak?”
“Iya, biasanya saya geli makan ayam. Saya ngebayangin waktu dia masih hidup dan punya bulu,” Denish terkekeh. “Apa ini makan ayamnya jadi enak karena makannya sama kamu ya, Ta?”
Tita yang baru hendak menyendok satenya, langsung terhenti di detik itu juga. Ucapan Denish barusan membuat makannya tak lagi selera. Kepalanya semakin dibingungkan dengan sosok yang ada dihadapannya.

¤¤¤

Pagi kembali datang, seperti biasa Tita datang tepat waktu ke kantor dengan enam lantai itu. Dijinjingnya beberapa berkas ditangan kiri, sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi sebotol jus buah yang ia blender sendiri dari indekos.
Tita baru saja tiba di depan lift ketika sosok Denish nampak dari kejauhan. Wajahnya nampak sumringah mendapati Tita berdiri tak jauh di hadapannya, layaknya menemukan mutiara diantara bebatuan.
“Tita, hey!” sapanya dari jauh.
Tita tersenyum canggung, perasaan hatinya begitu keras ingin menghindari Denish saat itu juga. Ia tak bisa membiarkan Denish terus terlena dengan kedekatan mereka.
Lift terbuka tepat ketika Denish masih berjalan mendekat, buru-buru Tita masuk lalu memencet tombol lantai tiga. Tepat ketika pintu lift hendak tertutup, tubuh Denish memaksa masuk, membuat pintu kembali terbuka sesaat untuk kemudian menutup sempurna.
Tita menahan napas menyaksikan adegan itu. Kini ia berdiri kaku dihadapan Denish, bingung harus bersikap apa.
Denish yang tampaknya belum menyadari perubahan di diri Tita dengan santai memulai pembicaraan mereka seperti biasa, “bawa jus lagi ya? Jus apa nih?” Denish mencomot botol minum ditangan Tita lalu mengamatinya, “jus jambu ya? Warna merah muda soalnya.”
Tita mengangguk kaku, rasa ingin kabur dari situasi itu semakin kental ia rasakan. Diraihnya kembali botol minum miliknya yang berada di tangan Denish dan kemudian segera menghambur keluar ketika lift terbuka.
Denish mengernyit melihat kejadian itu, kini ia baru menyadari ada yang berubah pada Tita.

¤¤¤

Sambil mengetik berkas-berkas pekerjaan yang menggunung, Denish mencuri-curi pandang pada kubikel di sebelah kanannya melalui sebuah celah kecil yang tercipta akibat renggangnya papan pembuat kubikel. Sungguh celah yang teramat sempit, tapi bagi Denish itu adalah jendela yang begitu luas, karena dari sana, setiap harinya, hampir di setiap menitnya, ia dapat memandangi wajah Tita diam-diam. Air mukanya yang selalu tenang itu, telah berhasil membuat Denish ingin hanyut dan enggan kembali ke permukaan.
Denish termenung, bertopang dagu, hanyut memandangi wajah Tita yang sedang sibuk memeriksa berkas-berkas ditangannya. Namun beberapa detik kemudian, hatinya justru berdenyut mengingat kejadian tadi pagi. Detik demi detik adegan ketika Tita berlari menjauhinya terputar ulang, hatinya merasa tertohok sendiri.
Denish bukanlah tipikal lelaki yang doyan berbasa-basi, muncul rasa gerah dan tak tahan yang melonjak-lonjak pada dirinya, ia rasa ia harus segera mendapat penjelasan.
Dibereskannya seluruh berkas yang nampak masih belum tuntas diatas mejanya, dihampirinya kubikel Tita.
“Ta, apa kita perlu bicara?” tanya Denish, seperti biasa, tanpa basa-basi.
Tita mendongak dan nyaris limbung mendapati Denish berada di pintu kubikelnya, itu bukanlah hal asing sebenarnya, hampir setiap hari adegan itu selalu ada. Tapi dengan suasana hatinya yang sedang tak karuan dan benar-benar ingin menghindari Denish, keberadaan Denish di pintu kubikel itu bagaikan sosok asing yang harus ia lenyapkan.
“Bicara apa?” tanya Tita berpura-pura santai kemudian.
“Sikap kamu.”
Tita mengernyit, menyadari kemana arah pembicaraan ini mulai bermuara, “memang saya kenapa?”
“Kejadian tadi pagi.”
“Tadi pagi kenapa?”
“Kamu menghindari saya, Ta. Apa saya punya salah sama kamu?”
Tita menghempas tubuhnya ke sandaran kursi, ditatapnya kedua bola mata Denish dengan dalam. “Nish, saya ga kenapa-kenapa. Cuma perasaan kamu aja.”
“Apa sikap saya yang terlalu menunjukkan perasaan saya membuat kamu risih?” tembak Denish tepat pada sasaran, telinga Tita sampai sakit sendiri mendengarnya.
Tita bangkit berdiri, gejolak yang ia tahan selama beberapa bulan ini sudah tak mampu dibendung lagi, ditariknya tangan Denish menuju luar ruangan, “ikut saya, iya kita memang harus bicara.”

¤¤¤

Langkah Tita dan Denish berhenti di lobi lantai tiga yang tampak sepi. Sofa-sofa panjang tampak lengang, namun Tita dan Denish memilih berdiri, beradu tatap dengan sorot nanar sembari sibuk mengatur degub jantung satu dan lainnya.
Tita menghela nafas panjang, ia memutuskan untuk memulai pembicaraan duluan, “Nish, saya ini perempuan, perasaannya peka, kamu ga perlu bilang blak-blakan tentang isi hati kamu pun dari jauh-jauh hari sudah bisa saya rasa,” Tita menyelesaikan kalimat pembukanya itu dalam satu tarikan nafas, “Nish, saya gabisa menyalahkan seseorang jatuh cinta dengan siapa, itu hak semua orang, cinta juga memang gabisa memilih mau diletakkan dimana,” sorot mata Denish semakin mengkungkung kedua bola mata Tita dengan tajam, “tapi Nish, saya risih sekali dengan sikap kamu yang menunjukkan terang-terangan perasaan kamu ke saya. Bagaimanapun saya punya pacar Nish, kamu tahu kan?”
“Cinta itu begitu, Ta. Dia memang sulit disembunyikan. Sepintar-pintarnya kita menutupi, pasti terlihat juga,” potong Denish cepat, “dan saya memang gabisa menyembunyikan perasaan saya.”
Tita menundukkan kepalanya, matanya menatap lantai keramik kehijauan dibawah kakinya, diaturnya tarikan nafas sedemikian rupa. Sementara itu di hadapannya, Denish sibuk merangkum semua kejadian itu kedalam kepalanya, sungguh tangannya begitu ingin melompat, memeluk Tita erat, namun yang terjadi hanyalah tangannya kaku, meraba angin yang sibuk hilir mudik disekitar mereka.
Tita mendongak tiba-tiba, “kalau gitu, saya dan kamu lebih baik jauh saja ya, Nish. Supaya aman, supaya tidak ada yang risih dan tidak ada yang harus menahan diri. Biar tidak ada yang terluka.”
Mata Denish kontan membulat terkejut, “Ta, kamu ini kenapa?”
“Nish, kamu yang kenapa? Kenapa kamu begini ke saya? Apa kamu gabisa jatuh cinta sama orang lain saja?”
“Kalau saya bisa jatuh cinta sama orang lain, hal itu sudah saya lakukan dari kemarin-kemarin tanpa kamu suruh, Ta. Tapi hati saya memilih kamu.”
“Nish,” Tita menggenggam tangan Denish erat, “sudah ya, ini terakhir. Saya gamau menyakiti siapa-siapa. Saya juga mau menyamankan diri saya. Siang ini akan saya ajukan pindah divisi.”
Melihat kesungguhan begitu berbinar di kedua mata Tita, Denish tak tahu lagi harus berkata apa, semua kalimat di kerongkongannya tertelan sia-sia. Ia mau tak mau, ikhlas tak ikhlas harus merelakan Tita tuk pergi darinya.

¤¤¤

Seminggu berlalu, setelah pengajuan pindah divisinya disetujui, pagi ini Tita datang ke kantor lebih dini demi membereskan barang-barangnya dan mengangkut semuanya ke ruangannya yang baru dilantai dua. Dengan cekatan, ia menumpuk berkas-berkasnya ke dalam kardus, juga beberapa pernak-pernik kecil seperti pot bunga mini penghias meja kerja serta beberapa pigura foto berisi potret dirinya.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit bagi Tita untuk mengemasi seluruh barangnya, dengan hati-hati dibawanya satu kardus berukuran sedang ditangan kiri sedangkan tangan kanannya sibuk membawa alat-alat tulis serta tas jinjing miliknya. Tita baru dua langkah keluar dari kubikelnya ketika mendapati Denish baru saja memasuki ruangan. Hening, sepasang manusia itu saling bertumbuk tatap selama sedetik untuk kemudian saling membuang pandangan, tak ada senyum, tak ada lagi sapa hangat. Tita memutuskan untuk mendinginkan sikapnya, sementara Denish sibuk mendinginkan hatinya. Tita berusaha mati-matian menahan rasa canggungnya sementara Denish berusaha mati-matian menahan buncahan cintanya setiap kali melihat Tita. Tita sibuk bersembunyi dibalik benteng pertahanan harga diri, sementara Denish sibuk bersembunyi dibalik rasa sakitnya melihat Tita hendak pergi.
Tita berjalan santai, berpapasan dengan Denish yang berjalan menuju kubikelnya bagai dua angin dari arah berbeda yang tak pernah nampak di udara. Tita tahu Denish terluka, namun Denish tahu Tita tak perduli.

¤¤¤

Malam itu setiap sudut kota nampak riuh dengan gemerlap lampu yang berjejer di tiang-tiang sepanjang jalan. Terdengar bising gendang yang berlomba saling tabuh dari seluruh penjuru. Kembang api pun nampak silih berganti menghiasi pekatnya langit dari selatan hingga utara. Tita memandangi pemandangan itu dengan takjub dan kemudian teringat hari ini adalah hari perayaan ulang tahun kota tempat ia bekerja. Dilangkahkannya kaki perlahan, menyusuri pinggiran trotoar yang dijejali dengan pedagang makanan kaki lima. Jarak indekos dan kantornya yang hanya dipisahkan dua jalan utama membuat Tita memang selalu berjalan kaki setiap berangkat dan pulang kerja.
Malam yang terlalu indah untuk dilewatkan dengan pulang cepat, sehingga Tita pun memilih duduk di salah satu kursi taman kota. Menengadahkan pandangannya keatas, memandangi pijar kembang api yang bersahut-sahutan sedari tadi. Dirapatkannya jaket yang ia kenakan setiap kali terasa angin kota mulai membuatnya menggigil kedinginan.
Sementara di sudut lain taman kota, dibalik tiang dengan lampu yang temaram, sepasang mata sibuk melahap dengan rakusnya pemandangan yang malam ini Tuhan sajikan untuknya. Sepasang mata milik Denish itu tak berkedip memandangi Tita yang kini dengan sumringah sibuk mengambil beberapa video kembang api dari kamera ponsel sembari meneguk air putih kemasan dengan bergelegak. Denish termangu, hatinya nyaris ingin keluar menembus dada sebab tak tahan dengan bendungan perasaan yang ada. Denish tak bisa menggapainya, menyentuhnya, namun melihatnya saja sudah lebih dari cukup. Baginya Tita adalah injeksi semangat yang harus ia isi setiap hari, yang tak cukup ia lihat hanya sekali.
Satu jam berlalu, waktu terasa melambat. Tita masih duduk disana, termangu, melamun, pandangannya kosong, sementara Denish masih memandangi dari jauh, memperhatikan setiap detail gerakan Tita dengan seksama, seolah semua takkan terulang kedua kalinya. Hingga tiba-tiba Tita limbung, tubuhnya merosot dari kursi taman. Denish dengan tergopoh menghampiri, membopong tubuh Tita dan menidurkannya di kursi taman. Sementara kerumunan disekeliling Tita dan Denish mulai menumpuk, ada yang sungguhan hendak membantu dengan mengeluarkan minyak angin, namun lebih banyak yang sekadar menontoni saja lalu pergi.
Tita sadar beberapa menit kemudian, matanya mengerjap pelan, menelisik wajah Denish yang berada tepat di hadapannya memandang Tita dengan sorot cemas. Kerumunan mulai menyepi, hingga tersisa Denish disisi Tita.
“Ta, kamu kenapa?” tanyanya segera.
Tita memijit pelipisnya pelan, “saya telat makan, asam lambung saya sepertinya naik, perut saya sakit.”
“Kalau gitu kita ke dokter ya.”
“Engga, ga usah,” sergah Tita cepat, “saya cuma butuh tidur dan istirahat.” Tita berusaha duduk dengan tertatih, “saya mau pulang,” dijinjingnya tas tangan yang ia bawa kemudian mencoba bangkit berdiri, namun pandangan matanya kembali mengabur, Tita limbung kembali.
Denish dengan sigap menahan tubuh Tita, “saya anterin pulang ya naik mobil saya, kamu tunggu disini, saya ambil mobil saya dulu di parkiran,” Denish mendudukkan tubuh Tita di bangku taman dan semenit kemudian kembali dengan mobil yang disetirinya. Dipapahnya tubuh Tita duduk di kursi penumpang depan. Mobil itu pun pelan melaju, membelah keheningan malam yang mulai melarut.
Baru beberapa detik melaju, keheningan antara Tita dan Denish pecah dengan dering ponsel Tita yang begitu nyaring. Tita yang duduk dengan mata terpejam, menatap layar ponselnya dengan mata yang disipit-sipitkan, menelisik nama yang terpampang disana. Kemudian, senyum kecil terulas di wajahnya yang lemah.
“Halo, iya sayang.”
Denish nyaris goyah dalam kendali setirnya mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Tita. Tanpa dijelaskan ia sudah tahu siapa diujung telepon itu. Denish memilih diam, didengarkannya percakapan sepasang kekasih itu baik-baik.
“Iya sayang, ini aku lagi dijalan pulang sama temen… apa? Engga kok temen kerja aja… iya aku sehat sudah makan,” Tita terkekeh kecil, menyembunyikan keadaan tubuhnya yang sebenarnya sedang tidak baik, “gimana?... kamu besok mau kesini?... loh biasanya awal bulan, ada apa?... mau ngomong penting apa, sayang? Ngomong aja sekarang,” Denish semakin serius mendengarkan, dilajukannya mobil itu pelan-pelan, sebab beberapa ratus meter lagi indekos Tita sudah didepan mata, rasanya ia tak ingin lekas sampai. “Penting banget? Tentang apa?... oh iya iya yaudah aku tunggu besok ya, kabari kalau sudah sampai terminal… iya, sayang. See ya.” Sambungan telepon pun dimatikan. Tita membisu seperti sebelumnya, matanya sengaja ia pejamkan, tak ingin membuka pembicaraan. Ia justru begitu ingin segera keluar dari keadaan ini.
Mobil pun berhenti tepat di depan gerbang indekos berwarna ungu itu, Tita membuka matanya, tersenyum tulus pada Denish, senyum yang terasa ganjil mengingat sudah dua minggu ia tak melakukan hal itu dan lebih memilih mengangap Denish tak ada ketika berada disekitarnya. “Terimakasih, Nish, aku turun ya.”
Denish dengan cepat meraih tangan Tita yang hendak membuka pintu mobil, Tita menoleh, mata mereka beradu tatap, “Ta, cepet sembuh ya,” nada suara Denish nampak cemas bercampur tulus.
Tita mengangguk dan tersenyum lagi, tubuhnya begitu sudah tak sabar ingin beranjak pergi, “iya, hati-hati pulangnya,” dengan cepat kemudian ia membuka pintu mobil lalu berlari menghilang dibalik gerbang meninggalkan Denish yang masih termangu menatap punggung Tita menghilang dengan sejuta debar yang ia genggam dilengkapi dengan potongan-potongan percakapan Tita dan Abad yang membuat hatinya lebam.



TRAGEDI

Usai sambungan teleponnya dengan Tita terputus, Abad termenung, mencoba mensingkronkan logika dan hatinya demi memantapkan dirinya untuk kembali mencintai Tita seutuhnya, ia harus mencoba, pikirnya. Meski tak dapat dipungkiri hatinya separuh lebih sudah terisi dengan Kala, dan hanya sedikit tempat tersisa untuk Tita.
Tapi tidak, mulai malam ini Abad sadar bahwa ia harus kembali pada titik semula. Pada tempat dimana ia berpijak sedari awal. Kala mungkin hanyalah godaan, yang harus ia lewati sebagai rintangan dalam hubungannya bersama Tita. Abad memejamkan mata, memaksa keras melawan kata hatinya, kini ia tahu ia harus mengikuti isi kepala. Hatinya harus tunduk dan yakin bahwa Tita adalah yang terbaik. Bagaimanapun ia pasti bisa mencintai Tita kembali.
Debaran itu mulai reda, perlahan seiring udara malam yang semakin mendingin, Abad merasakan rindu itu menyusup dengan sendirinya. Ia rindu, rindu pada Tita. Begitu tak sabar ingin menyambangi Tita di pulau seberang ketika hari esok tiba.

¤¤¤

Keesokan harinya Tita memutuskan untuk tidak bekerja, tubuhnya terlalu lemah. Pagi sekali Tita memutuskan untuk pergi ke dokter di dekat indekosnya, seorang diri menggunakan mobil taksi online. Sepulangnya dari dokter, Tita memilih untuk merebahkan tubuhnya sepanjang hari diatas kasur. Memakan bubur yang ia beli satu dua sendok, meminum obat, kemudian tidur, satu dua jam kemudian mencoba melahap lagi bubur itu satu dua sendok kemudian tidur kembali, begitu sepanjang hari, hingga petang datang.
Tita terbangun setelah sesi tidur kesekian kali yang ia alami hari ini. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Tubuhnya terasa mulai membaik. Sedikit-sedikit tenaganya kembali. Ia memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya, hendak ke kamar mandi. Tepat ketika Tita baru saja hendak membuka kenop pintu kamar mandinya, terdengar ketukan di depan pintu indekosnya. Seperti aliran listrik yang mengejutkan sekaligus menyegarkan, Tita kegirangan sendiri mendengar pintu yang nyaris tak pernah terketuk itu berbunyi, pasti Abad, pikirnya. Tita bergegas memutar tubuhnya, dengan girang membuka kenop pintu utama kamarnya, hatinya membuncah, tangannya sudah tak sabar menggapai tubuh Abad kemudian memeluknya, ia rindu, sungguh.
“Titania…”
Senyum di wajah Tita sekejap sirna, buncahan didadanya redam seketika, sosok yang berada dibalik pintu itu, bukanlah sosok yang diharapkannya.
“Denish, kamu ngapain kesini?” Tita bertanya terheran-heran, tubuhnya terasa lemas berkali-kali lipat. Sungguh kehadiran Denish membuat kepalanya terasa begitu nyeri disana-sini. Matanya menatap mata Denish dengan nanar.
Denish menggaruk kepalanya, kebingungan harus menjawab apa, “gini… mmm… saya khawatir sama kamu, apalagi saya dengar dari teman seruangan kamu, kamu ga masuk. Jadi saya mau jenguk kamu… ini saya bawain buah sama susu.” Denish menyorongkan bungkusan plastik besar yang ia bawa tepat di depan wajah Tita. Tita beringsut mundur dua langkah, kemudian spontan tertunduk lesu.
Seperti biasa, dengan sikap tenangnya, Tita mulai meladeni Denish, “Nish, saya sangat berterimakasih atas semua perhatian kamu. Tapi kamu tahu kan saya sudah gabisa lagi Nish menerima semua perhatian ini,” Tita menatap Denish lembut, menenangkan, “Nish, saya sehat kok, cuma perlu istirahat jadi kamu jangan khawatir ya,” Tita memundurkan tangan Denish yang sedari tadi masih menyodorkan plastik berisi buah serta susu itu ke hadapannya, “sudah ya Nish kamu pulang saja, hati-hati dijalan ya.” Tita tersenyum, tulus sekali. Dalam hatinya ia begitu iba melihat Denish yang mengemis cintanya, namun di sisi lain ia tak sanggup jika harus terus meladeni Denish dan berujung pada ketidaknyamanan atas dirinya sendiri.
Denish terdiam, penolakan demi penolakan Tita yang ia terima secara beruntut membuat tubuhnya terasa ingin meledak. Spontan, dalam hitungan seperempat detik, Denish merengkuh tubuh mungil dihadapannya itu, dipeluknya erat, tak disisakan celah untuk lepas. “Ta, saya sayang kamu. Sejak pertama kali kita bertemu, saya sudah jatuh hati dan saya jatuh semakin dalam dari hari ke hari.”
Tita yang tak bisa lagi meronta hanya mampu mendengarkan kalimat demi kalimat yang Denish lontarkan sembari memeluknya.
”Semua yang ada di diri kamu begitu mempesona dimata saya. Saya ingin memiliki kamu, Ta.”
Hening beberapa detik, Denish semakin mempererat pelukannya, merasakan jantungnya begitu dekat dengan jantung Tita. Rasa hangat merangkak naik dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Denish tak pernah sedamai ini. Sungguh…
Sementara itu Tita terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ada dorongan dalam dirinya untuk membiarkan Denish memeluknya sebentar saja. Entah karena rasa iba, entah karena Tita tak punya pilihan lain di dalam kepalanya.
“Tita!” sebuah suara menggelegar dengan emosi membuncah terdengar dari arah gerbang indekos. Terkejut, Denish melepas pelukannya pada Tita, kompak mata mereka menuju sumber suara, demi kemudian sepasang manusia itu terkejut mendapati siapa yang tengah berdiri dihadapan mereka.

¤¤¤

Matahari mulai menanjak naik ketika Abad bergegas berangkat menuju ke bandara dengan diantar oleh Pak Guntur. Pesawatnya dijadwalkan akan berangkat pukul satu siang dan akan tiba di bandara terdekat dari kota Tita pada pukul tiga sore. Dari bandara Abad harus menempuh satu jam lagi perjalanan menggunakan bis hingga akhirnya tiba di terminal kota tempat Tita bekerja. Dari terminal biasanya Tita akan menjemput menggunakan taksi online.
Selesai check-in, Abad bergegas naik ke ruang tunggu di lantai dua. Ia membuka ponsel, mencoba menghubungi Tita namun tak berhasil tersambung. Mungkin Tita sedang sibuk bekerja, pikirnya.
Abad bersandar penuh pada sofa yang ia duduki, matanya menerawang pada pemandangan diluar bandara, direnungkannya pelan susunan kata demi kata yang akan ia ucapkan pada Tita di pertemuan mereka hari ini. Abad sudah bertekad akan jujur tentang Kala, Abad akan menceritakan semuanya dan akan meminta maaf pada Tita atas kekhilafan yang ia lakukan. Abad tahu Tita bukanlah seorang pemarah, ia adalah pemaaf yang ulung, pengendali emosi yang hebat, penenang yang luar biasa. Perasaan Tita sangatlah halus, oleh sebab itu Abad harus hati-hati menyusun kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan agar tak membuat Tita terluka. Dan sesudah ini Abad berjanji, takkan ada lagi wanita selain Tita dihidupnya, takkan lagi ia mengizinkan seorangpun masuk ke hatinya tiba-tiba. Ia berjanji akan mencintai Tita seutuh-utuhnya.

¤¤¤

Abad tiba di terminal kota Tita pukul setengah lima sore. Matahari begitu terik menyorot bumi sore itu, membuat keringat mulai membasahi wajah dan tubuh Abad. Sambil duduk di salah satu pojok terminal, tepat di deretan warung-warung makan berjejeran, terus ia coba menghubungi Tita yang masih juga belum tersambung nomor teleponnya. Abad mulai kebingungan sendiri.
Akhirnya setelah menyerah menghubungi Tita, Abad berinisiatif memesan taksi online dan menuju indekos Tita seorang diri. Menyambangi Tita di kantornya hanya akan membuat Abad merasa asing ditengah hiruk pikuk pekerja, oleh sebab itu menunggu Tita pulang dari kerja di indekosnya saja adalah keputusan yang Abad pilih.
Abad menghela nafas panjang, ransel dipunggungnya mulai terasa berat, punggungnya mulai terasa sakit, ia mulai lelah.
Setengah jam kemudian taksi online itu berhenti di depan sebuah gerbang berwarna ungu dengan deretan kamar-kamar indekos yang berjejer rapi di dalamnya. Abad turun, dan dengan tenaga yang tersisa membuka pintu gerbang indekos Tita demi sedetik kemudian terkejut melihat pemandangan yang tersaji dihadapannya.


bersambung...