KEPUTUSAN TERBAIK
“Abad, tunggu,
Bad!” Kaki Tita spontan berlari mengikuti langkah Abad yang berjalan cepat
hilang dibalik gerbang. Tak dipedulikannya lagi tubuhnya yang sedang lemah, tak
dihiraukannya lagi kakinya yang gemetar menahan lelah. Sementara itu beberapa
langkah dibelakang Tita, Denish membuntuti dengan wajah tak kalah cemasnya.
Tak pernah
terpikirkan dikepala Denish, hal ini akan terjadi. Tak pernah ada maksud
sedikitpun dalam dirinya untuk menghancurkan Tita dan Abad. Benar, ia mencintai
Tita, tapi perihal Tita memilih siapa, Denish tak pernah hendak memaksakannya.
Langkah Abad
semakin memanjang, Tita dengan terengah mengejarnya sambil terus meracaukan
nama Abad. Dipersimpangan jalan utama, Abad berhenti, tangannya melambai,
hendak memberhentikan angkutan umum yang lewat.
“Abad!” Tita
akhirnya berhasil menggapai tubuh itu, dipeluknya tubuh Abad dari belakang dengan
begitu kencang, air matanya sudah tak kuasa ia tahan sedari tadi. Punggung Abad
pun basah karenanya. Sementara itu beberapa meter dibelakang mereka berdua,
Denish menyaksikan adegan itu dengan hati remuk. Ia tak pernah bermaksud
membuat Tita sesedih itu, sungguh. “Bad, dengerin aku, itu semua ga seperti
yang kamu pikirkan.” Abad bergeming, dengan sekali sentakkan dihempasnya tubuh
Tita sehingga lepas dari tubuhnya.
Tita tersentak,
kemudian tangisnya semakin sendu, “Bad, sungguh, Bad, dengerin aku.”
Demi melihat
kejadian itu, Denish berlari mendekati sepasang kekasih yang sedang dibakar
emosi itu, disentuhnya pundak Abad yang masih memunggungi Tita, “Abad, maaf,
saya yang salah, Tita ga salah.”
Mendengar suara
Denish berada tepat di belakang punggungnya, Abad kontan membalikkan tubuh,
ditatapnya Denish dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan sorotan seolah
ingin membunuh Denish dalam sekali tikam. “Lo ambil Tita kalo lo mau. Gue udah
ga perduli.” Tandas Abad tajam dalam satu kalimat. Dibalikkannya kembali
tubuhnya dan kemudian segera menaiki bus yang berhenti didepannya.
Abad menghilang,
jejaknya terbawa sempurna seiring roda bus yang membawanya semakin menjauh,
meninggalkan Tita dengan hati yang luka dan tangis yang tiada tara, sekaligus
Denish yang merasa bersalah namun tak tahu harus berbuat apa.
¤¤¤
Selepas
kepergian Abad, Tita masih menangis dengan posisi terduduk di pinggir jalan,
tak diperdulikannya sorot mata orang-orang yang memandanginya dengan nyinyir.
Denish dengan setia membujuk Tita untuk bangkit dan pulang, namun Tita masih
bergeming, tangisnya semakin meracau.
Tita hancur,
sakitnya seperti dihujam jutaan peluru tajam, hatinya luka dan itu menjalar
menuju sekujur tubuhnya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain menangis,
air mata itu memaksa untuk terus mengalir, mendobrak pertahanan terkuat dalam
dirinya. Tita tumbang hingga ke dasar jurang, bibirnya terus meracau mengerang,
jiwanya terasa mati, sanubarinya tergeletak tak ada arti.
“Ta, ayo
pulang,” bujuk Denish kesekian kalinya. Melihat Tita menangis seperti manusia
kehilangan akal, Denish justru merasa dirinya lah yang nyaris gila. Wanita itu,
sosok yang begitu dicintainya, telah ia buat hancur tak bersisa. Denish tak
henti-hentinya membodoh-bodohi dirinya sendiri. Seharusnya Tita tak begini,
seharusnya ia tak seperti ini. Denish merasa dirinya lah yang patut disalahkan
atas segala hal. Bahkan jika detik ini Tuhan ingin mengirimkan kutukan, maka
Denish rela pada dirinyalah kutukan itu Tuhan muarakan.
Tita masih
bergeming, tangisnya mulai surut, namun kepalanya masih tertunduk, tak berdaya,
seperti nyaris kehilangan nyawa. Tubuhnya terduduk lemah, ingin bangkit namun
tak sanggup, ingin menengadahkan kepala namun ia belum siap menerima pahitnya
dunia nyata.
“Ta…” Denish
menyentuh pundak itu pelan, Denish terkejut ketika tiba-tiba Tita mendongak,
menatap Denish dengan sorot mata layu. Kedua mata cantik itu, memancarkan
sejuta sembilu yang tak bisa dijabarkan. Dan demi segala luka yang
terpancarkan, Denish rela menyumpah-nyumpahi dirinya atas apa yang ia lakukan.
Lama beradu
tatap, Tita bangkit dengan tertatih, merangkai langkahnya sendiri, dibiarkannya
Denish membuntutinya dari belakang. Sepasang manusia itu berjalan pulang, tanpa
sepatah kata terucap, tanpa selarikpun kalimat terdengar. Tita sedang menyelami
lukanya dengan jejak yang terseok-seok, sementara Denish sedang memutar akalnya
bagaimana agar luka itu segera hilang esok-esok.
¤¤¤
Abad terduduk
diam di ruang tunggu bandara dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ia tak
tahu perasaan apa yang sedang mendera kepalanya, terlalu banyak jenisnya,
terlalu riuh gemuruhnya, ia bahkan sampai pusing sendiri membayangkannya.
Semua
kalimat-kalimat permintaan maaf darinya untuk Tita kini hanya bisa ia telan
seorang diri. Belum sempat terucap, bahkan mungkin takkan pernah terucap. Satu
sisi diri Abad hancur berantakan, merasa begitu dikhianati, dibohongi,
diselingkuhi. Sungguh diluar akal sehatnya bahwa Tita, gadis manis pemaaf nan
tak pernah marah itu akan menduakannya. Dalam kepala Abad tak pernah ada
bayangan Tita akan melakukan hal itu, bahkan bagi Abad, sosok Tita terlalu suci
untuk menaruh hati pada orang lain selain dirinya.
Namun disisi
lain, entah dibagian hatinya yang mana, Abad merasa lega, karena rupanya ada
sebagian dari dirinya yang memang ingin lepas dari Tita, ada sebagian dari
dirinya yang ingin beranjak pergi entah kemana, sebab Tita bukan lagi tempat
ternyamannya. Abad tak bisa menyangkal itu, sebab ia sadar benar, sejak
kemarin-kemarin semuanya memang berjalan dengan dipaksakan. Kepalanya lah yang
menghendaki langkahnya memutar balik
menuju Tita, namun hatinya sudah lama berjalan jauh menuju tempat berbeda.
Namun ternyata isi kepalanya itu salah, hatinya lah yang keluar sebagai juara.
Abad meraba
degub jantungnya yang mulai teratur, perasaannya membaik membayangkan bahwa
inilah mungkin takdir terbaik dari Tuhan yang telah digariskan. Ia tersenyum
pada dirinya sendiri menyadari betapa banyak drama berputar disekeliling
tubuhnya. Abad mendongak, menatap pijaran lampu diatas kepalanya, rasanya ia
butuh lebih banyak waktu untuk berpikir saat ini, mungkin ia harus menghilang
sekejap dari muka bumi.
¤¤¤
Dengan tangan
gemetar Tita menggenggam ponselnya, dihubunginya nomor yang sama itu
berulang-ulang, entah sudah keberapa kalinya, seratus, dua ratus, tiga ratus
kali, entah, Tita sampai tak sempat menghitung. Namun yang ia dapat tetaplah
hasil yang sama; sang pemilik nomor mengalihkan panggilannya.
Sekelebat
bayangan wajah Denish tiba-tiba muncul, wajah penuh rasa bersalah itu
menghilang dalam hitungan detik dibalik debuman pintu yang Tita banting dengan
sekuat tenaga. Tita sungguh tak tahu bagaimana lagi harus meluapkan amarahnya
pada Denish, Tita ingin mencabik wajah itu, namun Tita tahu ia takkan tega,
takkan mungkin hal itu dilakukannya. Tita tahu Denish merasa bersalah, namun
Tita lebih tahu bahwa hatinya akan sulit memaafkan ini semua.
Tita ingin
berteriak, berlari, melompat ke jurang, entahlah apa saja, tubuhnya benar-benar
terasa ingin meledak. Sedih dan marah yang mendidihi hatinya sudah tak sanggup
lagi ia tahan. Tita jatuh terduduk dibawah ranjangnya, tangis itu pun semakin
pecah, diraungkannya nama Abad berkali-kali dalam rintihan kepahitan yang Tita
sendiri tak tahu dimana ujungnya.
¤¤¤
Hari berganti,
tiga hari berlalu sejak kejadian di kota tempat Tita bekerja, Abad menemukan
dirinya terbangun di pagi hari dengan perasaan lega luar biasa. Setelah tiga
hari memutuskan menyendiri, pergi mengasing ke salah satu rumah orang tuanya di
desa ujung barat kota, Abad telah banyak memikirkan segala halnya dan telah
banyak mempertimbangkan segala keputusan yang harus diambilnya.
Abad membuka
selimut yang mengkungkung tubuhnya, ia bangkit berdiri, keluar dari kamar tidur
utama, celingukan sesaat untuk kemudian menyadari ia hanyalah seorang diri
dirumah berarsitektur belanda kuno ini. Abad melangkahkan kakinya ke balkon
belakang rumah, balkon itu berhadapan langsung dengan pesisir pantai barat
kota, tempat ia menghabiskan jam demi jam merenungi segala hal yang ia alami
akhir-akhir ini.
Ia duduk di sofa
seperti biasa, matanya nanar menatap hamparan lautan luas yang bercampur dengan
sawah yang berjejer rapi di sisi lainnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Ia
yakin, hari ini ia sudah siap, keputusannya sudah bulat benar-benar bulat.
Abad merogoh
salah satu sisi kantung sofa, disana sejak tiga hari lalu, ia menyembunyikan
ponselnya, tak disentuhnya sama sekali, tak diperdulikannya deringan telepon
tak terhingga yang ia tahu persis berasal dari satu nama, hingga akhirnya
ponsel itu mati kehabisan baterai dengan sendirinya.
Abad menggenggam
ponsel itu sambil menimbang-nimbang, dicolokkannya ponsel itu ke charger, tak
berapa lama ponsel itu menyala sempurna, dan ratusan pesan masuk sesuai dengan
yang Abad duga. Satu nama yang sama; Tita, sedangkan sisa pesan dan telepon
lainnnya berasal dari teman-temannya yang menanyakan hal-hal yang tak penting.
Begitu banyak pesan suara yang Tita tinggalkan, begitu banyak pesan yang Tita ketik di kolom obrolan, begitu banyak panggilan tak terjawab yang Tita lakukan. Abad menarik nafas panjang, jengah, ia membuka satu persatu pesan suara itu. Semua isinya hampir sama, menanyakan keberadaan Abad dan permintaan maaf, semua pesan suara itu dikirim lengkap dengan isakan tangis yang tak terbendung. Abad menggeleng bingung, Tita tak pernah selabil ini dalam emosi, ia adalah punggawa dalam hal mengatur perasaannya sendiri. Namun kali ini berbeda, Abad menangkap bahwa Tita benar-benar terluka. Terluka? Terluka karena apa? Bukankah ia yang menduakan Abad? Abad bahkan sempat berpikir bahwa semua tangis itu adalah bohong belaka. Semua tangis itu adalah akal-akalan Tita agar Abad mengasihaninya.
Begitu banyak pesan suara yang Tita tinggalkan, begitu banyak pesan yang Tita ketik di kolom obrolan, begitu banyak panggilan tak terjawab yang Tita lakukan. Abad menarik nafas panjang, jengah, ia membuka satu persatu pesan suara itu. Semua isinya hampir sama, menanyakan keberadaan Abad dan permintaan maaf, semua pesan suara itu dikirim lengkap dengan isakan tangis yang tak terbendung. Abad menggeleng bingung, Tita tak pernah selabil ini dalam emosi, ia adalah punggawa dalam hal mengatur perasaannya sendiri. Namun kali ini berbeda, Abad menangkap bahwa Tita benar-benar terluka. Terluka? Terluka karena apa? Bukankah ia yang menduakan Abad? Abad bahkan sempat berpikir bahwa semua tangis itu adalah bohong belaka. Semua tangis itu adalah akal-akalan Tita agar Abad mengasihaninya.
Abad terus
mendengar pesan itu satu persatu, hingga akhirnya ia tiba di pesan suara
terakhir, yang baru Tita kirim pukul tiga pagi dini hari tadi. Pesan suara
terakhir ini adalah pamungkas dari semua pesan yang Tita tinggalkan. Pesan ini
berbeda, tak ada suara tangis disana, Tita nampak tenang mengucapkan kalimat
demi kalimat yang ia lontarkan, Tita kembali menjadi Tita seperti biasanya, pengontrol
emosi yang luar biasa.
“Hai, Abadi Kusuma Negara-ku, aku tahu sebenarnya adalah
hal sia-sia mengirimi kamu pesan ketika kamu sedang marah, kamu tak akan
membalasnya, seharusnya aku hapal itu ya diluar kepala, mengingat kita sudah
lima tahun lamanya bersama. Maaf jika mengganggu waktu sendirimu, maaf jika
mengusik waktu berpikirmu, aku tahu kamu baik-baik saja, sebab kamu adalah Abad
yang hebat. Sesedih dan seberantakan apapun isi kepalamu, kamu takkan pernah
lupa makan, takkan pernah lupa istirahat, aku tahu, kamu sebaik itu meredam
masalah-masalahmu. Abadi, Abadi-ku, Abadi-ku sayang, aku sudah tak ingin lagi
meminta maaf, sebab sudah terlalu banyak kata maafku hingga habis dan mungkin
kamu jenuh mendengarnya. Aku sudah tak ingin lagi melakukan pembelaan diri
sebab aku tahu ya memang ini salahku. Abadi-ku, aku hanya butuh kepastian saat
ini, Sayangku. Lusa, hari sabtu esok hari, jika kamu ingin kita baik-baik saja,
jika kamu ingin kita perbaiki segalanya, temui aku pukul tujuh malam di tempat
pertama kali kita kencan lima tahun lalu, aku akan menunggu disana hingga jam
dua belas malam. Semoga harapanku masih sama dengan harapanmu. Entah kau akan
datang atau tidak, tapi aku ingin sekali mengucapkan ini; sampai bertemu!”
Abad menutup
pesan suara itu dengan satu tarikan napas panjang. Kepalanya kembali dipaksa
untuk berpikir. Keputusannya tadi sudah hampir benar-benar matang, namun kini
pesan suara itu nyaris mementahkannya kembali. Abad merebah tubuhnya, matanya
menyipit menatap langit biru mendung diatas kepalanya, entah… entah bagaimana
sepertinya ia butuh waktu sedikit lagi untuk benar-benar meluruskan kemana arah
langkahnya hendak bermuara.
¤¤¤
Di lobby sebuah
bioskop yang berada di pusat perbelanjaan jantung kota, Tita menunggu. Kepalanya
masih sedikit pusing akibat perjalanan jauh yang ia alami. Setelah tiba di
bandara pukul empat sore tadi, Tita terpaksa menuju jantung kota menggunakan
bis akibat kehabisan tiket kereta. Guncangan bis yang berjalan sembarangan
membelah kemacetan kota membuat perut Tita terasa diaduk-aduk. Ia menyenderkan
tubuhnya di salah satu kursi lobby, sembari meneguk air mineral yang ia beli di
konter makanan bioskop.
Tita mengedarkan
pandangan, masih lekat dengan baik di kepalanya bagaimana kencan pertamanya
dengan Abad dimulai di sebuah malam lima tahun lalu. Tita juga masih ingat
benar judul film romansa picisan yang mereka tonton berdua dan kemudian
berakhir dengan Abad yang tertidur pulas sebab terlalu bosan menyaksikan adegan
demi adegan film itu. Tita tak mampu menahan senyum ketika kejadian demi
kejadian itu terputar kembali di memori kepalanya. Semoga malam ini masih ada
keajaiban yang sama seperti lima tahun lalu, keajaiban yang sama ajaibnya saat
Tuhan tiba-tiba mengehendaki Tita si pendiam itu jatuh hati pada Abad sang
pembuat onar di sekolahnya dahulu.
Sejam berlalu,
seorang pegawai bioskop tampak memandangi Tita terus menerus dengan sorot mata
heran bercampur curiga. Wajar saja, sebab sudah beberapa film diputar, sudah
ratusan orang hilir mudik keluar masuk teater namun Tita tak menunjukkan
gelagat akan beranjak dari kursi lobby ataupun hendak menonton. Tita yang sadar
diri kemudian bergegas bangkit berdiri dan menghampiri konter penjual tiket.
“Selamat malam,
silahkan dipilih film yang mana,” sapa pegawai ticketing itu dengan ramah,
polesan lipstick berwarna pink pastel di bibirnya tampak merekah.
Tita menatap
layar LCD yang menampilkan deretan judul film lengkap dengan jam tayangnya,
Tita menggaruk kepala, kebingungan, “film ini aja, Mba,” Tita menunjuk sebuah
film di nomor dua, “jamnya jam yang paling malam ya.” Ucap Tita kemudian dengan
maksud memilih jam 21:45.
Setelah tiket
berada di tangannya, Tita kembali ke tempat duduknya semula, pegawai bioskop
yang sedari tadi memerhatikannya langsung beranjak pergi. Tita menarik nafas
panjang, lega. Diliriknya jam tangan yang ia kenakan, jam 20:15 dan masih belum
ada tanda Abad akan datang menemuinya. Tita bergegas bangkit berdiri, kembali
membeli dua cup popcorn caramel, dua porsi hot dog dan dua cup minuman bersoda.
Malam akan masih begitu panjang baginya.
¤¤¤
Abad masih
termangu di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya, menimbang-nimbang
pemikirannya sendiri sambil terus memerhatikan jam tangannya yang menunjukkan
pergeseran waktu. Deburan ombak yang terdengar sayup dilengkapi dengan pendar
rembulan yang begitu apik menemaninya malam itu. Ia sungguh masih diambang
keputusan yang ia sendiri masih ragu bagaimana memutuskannya.
Dibayangkannya wajah
Tita dalam-dalam, sembari mencoba menelisik adakah getaran di dadanya yang
masih tertinggal. Potongan-potongan kebahagiaan, canda, tawa, tangis, getir,
pahit yang telah dilaluinya bersama Tita selama lima tahun mendadak membuncahi
kepalanya silih berganti. Abad dapat merasakan tubuhnya nyeri luar biasa,
kesakitan membayangkan semua kenangan yang ada. Abad pun menghempaskan tubuhnya
ke atas sofa dalam-dalam. Kepalanya kembali menimbang apa yang harus dilakukan.
Tepat ketika jam
lonceng di ruang tengah rumahnya berbunyi sebelas kali. Abad bangkit berdiri. Diambilnya
kunci mobil. Hatinya telah mantap mengambil keputusan yang ia rasa terbaik
untuk segalanya.
¤¤¤
Pemutaran film
di jam terakhir pun usai tepat pukul 23.35, bergerombol-gerombol orang tampak
menghambur keluar teater dengan mata setengah mengantuk. Tita masih di tempat
duduknya semula, tak perduli meski sedari tadi menjadi sasaran berondongan
tatapan ganjil dari semua pegawai bioskop, tak perduli meski sudah hampir lima
gelas minuman bersoda yang ia habiskan. Tita masih disana, menunggu harapan
yang sama.
Matanya mengedarkan
pandang, menunggu detik-detik harapan terakhirnya datang. Hatinya semakin tak
karuan, sepertinya ini adalah akhir penantian panjang dari sosok yang ia
harapkan muncul dalam jarak pandang. Pukul 23.55, bioskop tampak begitu
lengang, hanya tersisa beberapa petugas kebersihan yang sibuk menggotong
karung-karung sampah. Tita menarik nafas panjang, hatinya lunglai, dengan
ikhlas ia bangkit dari kursinya kemudian berjalan sempoyongan keluar dari
gedung bioskop itu. Dadanya sesak, air matanya benar-benar ingin meledak.
Tita tak bisa
lagi membendung perasaannya yang terkoyak. Ia menangis dalam diam. Dalam setiap
tapak yang ia jejakkan, satu persatu air mata turun dalam keheningan.
Tita tiba di
lobby utama gedung dengan mata yang mulai sembab tepat ketika kedua retinanya
menangkap sosok itu muncul dari arah parkiran. Sosok yang sejak beberapa hari
lalu begitu ingin dipeluknya, sosok yang menjadi alasan dari segala alasan
kesedihan tanpa batasan yang ia rasakan.
“Abad…” Tita merintih sendiri menyebut nama itu,
spontan ia berlari dan menghempaskan tubuhnya pada tubuh Abad, memeluk sosok
itu dengan erat. Begitu erat seolah dunia ingin merampas Abad dari sisinya. “Abad…”
tangis itu pecah sejadi-jadinya bermuara pada penyebab tangisan itu sendiri.
Abad melepas
pelukan itu pelan, menatap mata Tita sambil tersenyum simpul. “Kita bicara di
mobil ya, Ta.” Abad menggiring Tita menuju mobilnya kemudian duduk bersebelahan
di kursi depan.
“Bad, makasih
udah dateng, makasih, aku tahu kamu bakal…”
“Ta…” Abad
bergegas memotong kalimat Tita yang langsung memberondong habis dirinya tanpa
basa-basi. “Ta, aku kesini mau minta maaf.” Digenggamnya tangan Tita dengan
lembut, “maafin aku ta, aku ga bisa melanjutkan hubungan ini dengan kamu.”
Bagai ada debuman
keras menghantam kepalanya, sorot mata bahagia yang sempat Tita pancarkan
seketika lenyap tak berbekas. Senyum sumringah yang sedari tadi dipamerkannya hilang
detik itu juga. Tita dapat merasakan tubuhnya bagai lumpuh sesaat. “Tapi kamu
datang kesini, Bad. Seharusnya kalau kamu datang kesini itu artinya…”
“Ta, aku datang
kesini karena aku rasa aku gabisa meninggalkan kamu tanpa penjelasan apapun,
tanpa ada sepatah katapun yang harus sama-sama kita jernihkan tentang masalah antara
kita,” Abad melepas genggaman tangannya pada Tita lalu berpindah mengelus pipi
Tita yang telah banjir air mata dengan lembut, “Ta, maafin aku, tapi aku
bener-bener gabisa. Entahlah… mungkin sesakit ini rasanya kecewa. Aku sudah
gabisa lagi menemukan diri kamu di dalam diriku,” Abad menghela nafas panjang, “Ta,
ini bukan keputusan mudah, aku memikirkannya berhari-hari. Lima tahun kita
bareng-bareng, Ta. Memang ga mudah tapi inilah akhirnya. Kita harus sama-sama
lapang dada. Bukan salahmu, bukan juga salahku. Bukan benarmu, bukan juga
benarku. Ini hanya perkara takdir Tuhan, Ta.” Abad beranjak, menjorokkan
sedikit tubuhnya kemudian memeluk Tita, “kamu baik-baik ya, Ta. Sesudah ini,
entah dengan siapapun kamu, entah dengan laki-laki yang kemarin memeluk kamu
itu atau bukan, aku doakan kamu bahagia. Aku doakan kamu menjadi lebih baik. Aku
ga marah, aku ga dendam, aku anggap kita berteman baik, Ta, selalu. Semua kenangan
tentang kita biarlah aku simpan baik-baik sebagai hal-hal manis yang pernah aku
alami. Aku ga akan pernah ingat apapun hal buruknya. Aku harap kamu juga
begitu. Sekali lagi, maafin aku ya, Ta.”
Tangis Tita
semakin pecah dalam pelukan itu, bibirnya tak mampu lagi berucap barang sepatah
kata. Hening, namun air matanya terus menderas tanpa kenal batas. Tita terluka.
Jiwanya terkoyak, sanubarinya tercabik. Bagaimanapun pada akhirnya ia harus
menghargai keputusan Abad dan harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang memang
ditakdirkan bukan untuknya. Tita tahu, ini adalah hal sulit, entah butuh berapa musim
untuk menghilangkan segala luka dan belajar melupa. Namun Tita yakin Tuhan
selalu ada di segala prosesnya.
TENTANG RINDU
Kala dengan
terkantuk-kantuk memegang pena, matanya setengah memejam dan pikirannya
setengah sadar sembari menulis bertumpuk-tumpuk resume pasien yang membentang
diatas meja dihadapannya. Diliriknya jam dinding yang tergantung manis diatas
kapstok tempat ia menggantungkan snellinya. Jam itu menunjukkan pukul setengah
tiga pagi.
Masa-masa coass
memang tak pernah mudah. Pergi pagi pulang pagi bahkan berhari-hari dirumah
sakit sudah Kala alami selama satu bulan belakangan ini. Jam tidur yang tak
teratur, makan yang sudah tak sesuai jadwal, tubuh yang setiap hari pegal pegal
adalah sebagian hal yang sedang berusaha Kala biasakan saat ini.
Kala bangkit
dari kursinya, resume pasien yang menggunung itu memaksanya untuk tak tidur
lagi malam ini. Kala mengambil sebungkus kopi sachet, lalu menyeduhnya di
dispenser. Kakinya melangkah keluar ruangan, berjalan diantara koridor yang
sunyi, sembari melihat kanan-kiri kearah berbagai macam bunga yang tumbuh di
setiap sudut taman rumah sakit, berusaha sedikit menyegarkan pikiran.
Langkah kaki
kala berbelok menuju gerbang utama rumah sakit. Maksud hati ingin membeli
camilan di supermarket 24 jam di depan rumah sakit, mata Kala justru menangkap
sesosok laki-laki yang begitu dikenalinya berjalan kearahnya dari parkiran. Tubuh
Kala seketika kaku, bibirnya terkatup, gelas plastik yang ia pegang nyaris
jatuh.
“Hai, Kal…” sapa
Abad canggung, senyumnya tampak meragu.
Kala terkesiap
sesaat kemudian kembali mengontrol diri, tampak berusaha tenang, “Hai, Bad,”
balas Kala tak kalah canggung, “ngapain? Jenguk keluarga? Udah bukan jam jenguk
loh…”
“Aku mau ketemu
kamu, Kal…” potong Abad cepat.
Kala tambah tak
mengerti, debar di dadanya kembali berdesir hebat, desir yang memang selalu ada
setiap kali lelaki dengan isi kepala abstrak ini ada dihadapannya. “Ketemu aku?
Ke… kenapa? Ada apa?” Kala tampak tak tahan untuk menyembunyikan rasa
penasarannya. Diteguknya kopi yang ia pegang, menghilangkan canggung.
“Aku butuh
bicara, Kal, dengan kamu…”
Mendengar kalimat
dengan nada berbeda itu terlontar dari mulut Abad, Kala tahu pukul tiga pagi
dini hari ini, tak akan pernah menjadi pukul tiga pagi yang terulang dua kali
dihidupnya.
¤¤¤
Kala dan Abad
memutuskan untuk duduk di sebuah lapak penjual nasi goreng pinggir jalan yang
mangkal di depan gerbang rumah sakit. Setelah memesan dua porsi nasi goreng, Abad
meluruskan duduknya, menatap Kala dengan sorot tak biasa. Begitu ingin rasanya
Abad menyingkirkan meja yang menjadi penghalang antara ia dan Kala demi memeluk
tubuh Kala yang begitu dirindukannya.
“Kal…” panggil Abad
pelan.
Kala membalas
tatapan mata Abad itu, sama tajamnya, “ya?”
“Kapan terakhir
kali kamu mikirin aku?”
Kala mengernyit,
“apa?”
“Iya, aku tanya,
kapan terakhir kali kamu mikirin aku?”
Kala terdiam,
pertanyaan itu terdengar dengan nada begitu serius di telinganya. Bibirnya terkatup,
kaku. Pertanyaan yang mudah saja untuk dijawab sebenarnya, jika saja Kala bisa
membohongi hatinya untuk mengatakan bahwa ia tak pernah memikirkan Abad,
padahal nyatanya Abad selalu terlintas di pikirannya di setiap waktu; di saat
Kala sedang menemani konsulen untuk visit pasien, di saat Kala sedang mengoplos
obat, di saat Kala sedang mengendarai motornya pulang kerumah selepas dinas
malam, bahkan ada saat-saat dimana Kala tiba-tiba terbangun di pagi hari dan
kemudian tersadar ia merindukan Abad.
“Kenapa diam,
Kal?” Abad menyentuh tangan Kala lembut, menyadarkan Kala dari lamunannya. Ada rasa
tak sabar begitu ingin mencurahkan semua kalimat yang selama ini ia tahan dalam
dirinya.
Kala menggeleng
kemudian tersenyum, “kamu kenapa sih, Bad? Ada apa?” Kala berusaha mengalihkan topik
pembicaraan.
“Kal, dari mata
kamu, aku tahu kamu rindu denganku.”
Kala tergelagap,
ucapan Abad barusan tepat mengenai jantungnya, “hahahaha, ngaco,” Kala tertawa
kecil, menutupi perasaannya yang mulai tak karuan. Lelaki ini, benar-benar
membuatnya tak mampu berkutik. “Eh gimana Tita? Sehat?” Kala mengaduk es tehnya
yang barusan datang, berusaha menutupi kecanggungan.
“Aku sudah
enggak sama Tita,” jawab Abad cepat, matanya masih memandangi Kala tanpa
berkedip, sementara yang dipandangi malah sibuk menunduk, berpura-pura khusyuk
mengaduk-ngaduk es teh di hadapannya.
Kala mendongak
sesaat, tercengang, kemudian kembali menunduk, menyeruput seteguk es tehnya, “kenapa
putus? Jangan bilang karena…”
“Bukan… bukan…
bukan karena kamu,” kemudian Abad menceritakan kejadian di kota tempat Tita
bekerja dengan singkat.
Kala mengangguk-ngangguk
kecil, terkejut, namun tak ingin menampakkan keterkejutannya. “Jadi kamu kesini
untuk apa?” tanya Kala kemudian tanpa basa-basi sembari menyendok nasi goreng
ke mulutnya suap demi suap.
“Kamu gamau
tanya aku dulu kapan terakhir kali aku mikirin kamu?”
Kala nyaris
tersedak, matanya memelototi Abad dengan pandangan senewen setengah mati. “Bad,
kamu ini kenapa sih?”
“Tanya dulu.”
Abad terlihat cuek, pura-pura tak memerdulikan reaksi Kala yang begitu terkejut
dengan kalimat-kalimatnya.
“Abad!”
“Tanya dulu, Kal…”
Abad masih kekeuh, keras kepala.
Kala menarik
nafas panjang, memutuskan mengalah, “oke oke, aku tanya, kapan kamu terakhir
kali mikirin aku?”
Abad tertawa
cekikikan, “jangan ditanya seharusnya,” ucapnya kemudian dengan mulut penuh
nasi goreng.
Kala kembali
memelototkan matanya berpura-pura kesal, padahal nyatanya, sifat menyenangkan
nan humoris yang Abad miliki ini lah yang selalu membuat Kala betah
berlama-lama di dekatnya dan selalu berhasil membuat Kala rindu. Kala dapat merasakan
hatinya yang beberapa bulan belakangan ini nyaris membeku, pelan-pelan mencair
seperti baru saja dialiri sentuhan hangat.
“Seharusnya ga perlu kamu tanya, Kal,” lanjut Abad kemudian, “karena kamu tahu sendiri kan, aku pagi, sore, siang, malam, subuh, petang, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, badai, hujan, gerimis, kemarau, di pasar, di kamar, di atap, di mana-mana, bahkan sekarang lagi makan nasi goreng di depan kamu pun aku tetap mikirin kamu.”
“Seharusnya ga perlu kamu tanya, Kal,” lanjut Abad kemudian, “karena kamu tahu sendiri kan, aku pagi, sore, siang, malam, subuh, petang, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, badai, hujan, gerimis, kemarau, di pasar, di kamar, di atap, di mana-mana, bahkan sekarang lagi makan nasi goreng di depan kamu pun aku tetap mikirin kamu.”
Kala tak dapat
lagi menahan ledakan di kerongkongannya, ia tersedak, terbatuk-batuk. Sementara
Abad tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu. Bongkahan besar batu
diantara mereka berdua pun luluh lantah seketika.
¤¤¤
Dua piring nasi
goreng pagi buta itu habis dalam waktu hampir satu jam sebab selalu ada cerita
yang Kala dan Abad bagi di setiap suapannya. Lama tak bertemu, lama tak
berbincang sehangat ini, membuat sepasang manusia itu begitu bergelora membagi
kisah masing-masing, tentang apa saja hal yang mereka lalui saat mereka
terpisah jarak antara hati.
“Jadi kamu jatuh
diantara sawah-sawah disamping The Sawah Pastry? Hahahahaha,” Kala tergelak, sembari
menandaskan gelas ketiga es tehnya, cerita tentang Abad yang dilanda galau
kemudian berlari-lari ditengah sawah membuat dirinya tergelitik sendiri. “Kamu
alay banget hahahha.”
Abad mesem-mesem,
“kamu juga alay, kalau galau ke pantai.”
“Tapi aku
gapernah jatuh ditengah-tengah pasir,” Kala kembali tergelak.
Seusai membayar
pesanan, Abad mengajak Kala pergi, kaki mereka melangkah kembali ke dalam area
rumah sakit sembari terus menyeracaukan berbagai cerita. Tepat di lorong ruang
tunggu pasien poli yang hening, Kala dan Abad menghentikan langkahnya lalu
serempak duduk dikursi-kursi panjang yang tersedia.
“Jadi, kamu mau
apa kesini?” tanya Kala tanpa basa-basi setelah semua cerita mereka habis
ditelan waktu yang terus bergerak. Sorot mata jenakanya, berubah seratus
delapan puluh derajat menjadi serius.
Abad menatap
Kala tajam, ditariknya nafas panjang berkali-kali, menyiapkan diri, “Kal, kamu
mau jadi pacar aku? Aku… aku gabisa lupain kamu… gabisa…”
Kala terdiam,
sedikit tersentak meskipun sebenarnya ia sudah sedikit bisa membaca kemana arah
pembicaraan Abad akan bermuara. Kala membuang pandangan, matanya menatap lurus
pada deretan kursi kosong di hadapannya.
“Kal… aku tahu
mungkin kamu kaget, kamu belum siap, semua terkesan aku ungkapkan dengan
terburu-buru di pertemuan pertama kita setelah kita sekian lama ga berhubungan,
tapi, Kal… aku udah gabisa nahan diri aku lagi. Sudah hampir sebulan aku
memikirkan semua ini matang-matang dan semakin aku tahan, rasanya aku semakin
nyaris gila.”
Kala masih
terdiam, berusaha mencerna potongan-potongan kalimat Abad yang singgah di
telinganya. Hatinya terasa semakin teduh mendengar bahwa Abad masih sama
mencintainya seperti dahulu. Sungguh, Kala ingin terbang melayang jikala saja
bisa. Namun ia memilih tak menunjukkan gejolak itu sedikitpun di depan Abad.
“Minggu depan
aku ada libur tiga hari karena rumah sakit akreditasi, kita naik gunung yuk. Gunung
Tanggamar aja, yang deket.”
Abad mengernyit,
“hah? Apa, Kal?”
“Iya, aku mau jawab
pernyataan cinta kamu diatas gunung, nanti.”
Abad terhenyak,
terdiam seketika, mulutnya tak mampu lagi berkata. Mau tak mau, suka tak suka,
ia harus menuruti mau Kala demi mendapatkan apapun jawabannya.
BERSAMBUNG....