Selasa, 31 Juli 2018

Mengabadikan Kala Part III



KEPUTUSAN TERBAIK

“Abad, tunggu, Bad!” Kaki Tita spontan berlari mengikuti langkah Abad yang berjalan cepat hilang dibalik gerbang. Tak dipedulikannya lagi tubuhnya yang sedang lemah, tak dihiraukannya lagi kakinya yang gemetar menahan lelah. Sementara itu beberapa langkah dibelakang Tita, Denish membuntuti dengan wajah tak kalah cemasnya.
Tak pernah terpikirkan dikepala Denish, hal ini akan terjadi. Tak pernah ada maksud sedikitpun dalam dirinya untuk menghancurkan Tita dan Abad. Benar, ia mencintai Tita, tapi perihal Tita memilih siapa, Denish tak pernah hendak memaksakannya.
Langkah Abad semakin memanjang, Tita dengan terengah mengejarnya sambil terus meracaukan nama Abad. Dipersimpangan jalan utama, Abad berhenti, tangannya melambai, hendak memberhentikan angkutan umum yang lewat.
“Abad!” Tita akhirnya berhasil menggapai tubuh itu, dipeluknya tubuh Abad dari belakang dengan begitu kencang, air matanya sudah tak kuasa ia tahan sedari tadi. Punggung Abad pun basah karenanya. Sementara itu beberapa meter dibelakang mereka berdua, Denish menyaksikan adegan itu dengan hati remuk. Ia tak pernah bermaksud membuat Tita sesedih itu, sungguh. “Bad, dengerin aku, itu semua ga seperti yang kamu pikirkan.” Abad bergeming, dengan sekali sentakkan dihempasnya tubuh Tita sehingga lepas dari tubuhnya.
Tita tersentak, kemudian tangisnya semakin sendu, “Bad, sungguh, Bad, dengerin aku.”
Demi melihat kejadian itu, Denish berlari mendekati sepasang kekasih yang sedang dibakar emosi itu, disentuhnya pundak Abad yang masih memunggungi Tita, “Abad, maaf, saya yang salah, Tita ga salah.”
Mendengar suara Denish berada tepat di belakang punggungnya, Abad kontan membalikkan tubuh, ditatapnya Denish dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan sorotan seolah ingin membunuh Denish dalam sekali tikam. “Lo ambil Tita kalo lo mau. Gue udah ga perduli.” Tandas Abad tajam dalam satu kalimat. Dibalikkannya kembali tubuhnya dan kemudian segera menaiki bus yang berhenti didepannya.
Abad menghilang, jejaknya terbawa sempurna seiring roda bus yang membawanya semakin menjauh, meninggalkan Tita dengan hati yang luka dan tangis yang tiada tara, sekaligus Denish yang merasa bersalah namun tak tahu harus berbuat apa.

¤¤¤

Selepas kepergian Abad, Tita masih menangis dengan posisi terduduk di pinggir jalan, tak diperdulikannya sorot mata orang-orang yang memandanginya dengan nyinyir. Denish dengan setia membujuk Tita untuk bangkit dan pulang, namun Tita masih bergeming, tangisnya semakin meracau.
Tita hancur, sakitnya seperti dihujam jutaan peluru tajam, hatinya luka dan itu menjalar menuju sekujur tubuhnya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain menangis, air mata itu memaksa untuk terus mengalir, mendobrak pertahanan terkuat dalam dirinya. Tita tumbang hingga ke dasar jurang, bibirnya terus meracau mengerang, jiwanya terasa mati, sanubarinya tergeletak tak ada arti.
“Ta, ayo pulang,” bujuk Denish kesekian kalinya. Melihat Tita menangis seperti manusia kehilangan akal, Denish justru merasa dirinya lah yang nyaris gila. Wanita itu, sosok yang begitu dicintainya, telah ia buat hancur tak bersisa. Denish tak henti-hentinya membodoh-bodohi dirinya sendiri. Seharusnya Tita tak begini, seharusnya ia tak seperti ini. Denish merasa dirinya lah yang patut disalahkan atas segala hal. Bahkan jika detik ini Tuhan ingin mengirimkan kutukan, maka Denish rela pada dirinyalah kutukan itu Tuhan muarakan.
Tita masih bergeming, tangisnya mulai surut, namun kepalanya masih tertunduk, tak berdaya, seperti nyaris kehilangan nyawa. Tubuhnya terduduk lemah, ingin bangkit namun tak sanggup, ingin menengadahkan kepala namun ia belum siap menerima pahitnya dunia nyata.
“Ta…” Denish menyentuh pundak itu pelan, Denish terkejut ketika tiba-tiba Tita mendongak, menatap Denish dengan sorot mata layu. Kedua mata cantik itu, memancarkan sejuta sembilu yang tak bisa dijabarkan. Dan demi segala luka yang terpancarkan, Denish rela menyumpah-nyumpahi dirinya atas apa yang ia lakukan.
Lama beradu tatap, Tita bangkit dengan tertatih, merangkai langkahnya sendiri, dibiarkannya Denish membuntutinya dari belakang. Sepasang manusia itu berjalan pulang, tanpa sepatah kata terucap, tanpa selarikpun kalimat terdengar. Tita sedang menyelami lukanya dengan jejak yang terseok-seok, sementara Denish sedang memutar akalnya bagaimana agar luka itu segera hilang esok-esok.

¤¤¤

Abad terduduk diam di ruang tunggu bandara dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ia tak tahu perasaan apa yang sedang mendera kepalanya, terlalu banyak jenisnya, terlalu riuh gemuruhnya, ia bahkan sampai pusing sendiri membayangkannya.
Semua kalimat-kalimat permintaan maaf darinya untuk Tita kini hanya bisa ia telan seorang diri. Belum sempat terucap, bahkan mungkin takkan pernah terucap. Satu sisi diri Abad hancur berantakan, merasa begitu dikhianati, dibohongi, diselingkuhi. Sungguh diluar akal sehatnya bahwa Tita, gadis manis pemaaf nan tak pernah marah itu akan menduakannya. Dalam kepala Abad tak pernah ada bayangan Tita akan melakukan hal itu, bahkan bagi Abad, sosok Tita terlalu suci untuk menaruh hati pada orang lain selain dirinya.
Namun disisi lain, entah dibagian hatinya yang mana, Abad merasa lega, karena rupanya ada sebagian dari dirinya yang memang ingin lepas dari Tita, ada sebagian dari dirinya yang ingin beranjak pergi entah kemana, sebab Tita bukan lagi tempat ternyamannya. Abad tak bisa menyangkal itu, sebab ia sadar benar, sejak kemarin-kemarin semuanya memang berjalan dengan dipaksakan. Kepalanya lah yang menghendaki langkahnya memutar  balik menuju Tita, namun hatinya sudah lama berjalan jauh menuju tempat berbeda. Namun ternyata isi kepalanya itu salah, hatinya lah yang keluar sebagai juara.
Abad meraba degub jantungnya yang mulai teratur, perasaannya membaik membayangkan bahwa inilah mungkin takdir terbaik dari Tuhan yang telah digariskan. Ia tersenyum pada dirinya sendiri menyadari betapa banyak drama berputar disekeliling tubuhnya. Abad mendongak, menatap pijaran lampu diatas kepalanya, rasanya ia butuh lebih banyak waktu untuk berpikir saat ini, mungkin ia harus menghilang sekejap dari muka bumi.

¤¤¤

Dengan tangan gemetar Tita menggenggam ponselnya, dihubunginya nomor yang sama itu berulang-ulang, entah sudah keberapa kalinya, seratus, dua ratus, tiga ratus kali, entah, Tita sampai tak sempat menghitung. Namun yang ia dapat tetaplah hasil yang sama; sang pemilik nomor mengalihkan panggilannya.
Sekelebat bayangan wajah Denish tiba-tiba muncul, wajah penuh rasa bersalah itu menghilang dalam hitungan detik dibalik debuman pintu yang Tita banting dengan sekuat tenaga. Tita sungguh tak tahu bagaimana lagi harus meluapkan amarahnya pada Denish, Tita ingin mencabik wajah itu, namun Tita tahu ia takkan tega, takkan mungkin hal itu dilakukannya. Tita tahu Denish merasa bersalah, namun Tita lebih tahu bahwa hatinya akan sulit memaafkan ini semua.
Tita ingin berteriak, berlari, melompat ke jurang, entahlah apa saja, tubuhnya benar-benar terasa ingin meledak. Sedih dan marah yang mendidihi hatinya sudah tak sanggup lagi ia tahan. Tita jatuh terduduk dibawah ranjangnya, tangis itu pun semakin pecah, diraungkannya nama Abad berkali-kali dalam rintihan kepahitan yang Tita sendiri tak tahu dimana ujungnya.

¤¤¤

Hari berganti, tiga hari berlalu sejak kejadian di kota tempat Tita bekerja, Abad menemukan dirinya terbangun di pagi hari dengan perasaan lega luar biasa. Setelah tiga hari memutuskan menyendiri, pergi mengasing ke salah satu rumah orang tuanya di desa ujung barat kota, Abad telah banyak memikirkan segala halnya dan telah banyak mempertimbangkan segala keputusan yang harus diambilnya.
Abad membuka selimut yang mengkungkung tubuhnya, ia bangkit berdiri, keluar dari kamar tidur utama, celingukan sesaat untuk kemudian menyadari ia hanyalah seorang diri dirumah berarsitektur belanda kuno ini. Abad melangkahkan kakinya ke balkon belakang rumah, balkon itu berhadapan langsung dengan pesisir pantai barat kota, tempat ia menghabiskan jam demi jam merenungi segala hal yang ia alami akhir-akhir ini.
Ia duduk di sofa seperti biasa, matanya nanar menatap hamparan lautan luas yang bercampur dengan sawah yang berjejer rapi di sisi lainnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Ia yakin, hari ini ia sudah siap, keputusannya sudah bulat benar-benar bulat.
Abad merogoh salah satu sisi kantung sofa, disana sejak tiga hari lalu, ia menyembunyikan ponselnya, tak disentuhnya sama sekali, tak diperdulikannya deringan telepon tak terhingga yang ia tahu persis berasal dari satu nama, hingga akhirnya ponsel itu mati kehabisan baterai dengan sendirinya.
Abad menggenggam ponsel itu sambil menimbang-nimbang, dicolokkannya ponsel itu ke charger, tak berapa lama ponsel itu menyala sempurna, dan ratusan pesan masuk sesuai dengan yang Abad duga. Satu nama yang sama; Tita, sedangkan sisa pesan dan telepon lainnnya berasal dari teman-temannya yang menanyakan hal-hal yang tak penting.
Begitu banyak pesan suara yang Tita tinggalkan, begitu banyak pesan yang Tita ketik di kolom obrolan, begitu banyak panggilan tak terjawab yang Tita lakukan. Abad menarik nafas panjang, jengah, ia membuka satu persatu pesan suara itu. Semua isinya hampir sama, menanyakan keberadaan Abad dan permintaan maaf, semua pesan suara itu dikirim lengkap dengan isakan tangis yang tak terbendung. Abad menggeleng bingung, Tita tak pernah selabil ini dalam emosi, ia adalah punggawa dalam hal mengatur perasaannya sendiri. Namun kali ini berbeda, Abad menangkap bahwa Tita benar-benar terluka. Terluka? Terluka karena apa? Bukankah ia yang menduakan Abad? Abad bahkan sempat berpikir bahwa semua tangis itu adalah bohong belaka. Semua tangis itu adalah akal-akalan Tita agar Abad mengasihaninya.
Abad terus mendengar pesan itu satu persatu, hingga akhirnya ia tiba di pesan suara terakhir, yang baru Tita kirim pukul tiga pagi dini hari tadi. Pesan suara terakhir ini adalah pamungkas dari semua pesan yang Tita tinggalkan. Pesan ini berbeda, tak ada suara tangis disana, Tita nampak tenang mengucapkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan, Tita kembali menjadi Tita seperti biasanya, pengontrol emosi yang luar biasa.
“Hai, Abadi Kusuma Negara-ku, aku tahu sebenarnya adalah hal sia-sia mengirimi kamu pesan ketika kamu sedang marah, kamu tak akan membalasnya, seharusnya aku hapal itu ya diluar kepala, mengingat kita sudah lima tahun lamanya bersama. Maaf jika mengganggu waktu sendirimu, maaf jika mengusik waktu berpikirmu, aku tahu kamu baik-baik saja, sebab kamu adalah Abad yang hebat. Sesedih dan seberantakan apapun isi kepalamu, kamu takkan pernah lupa makan, takkan pernah lupa istirahat, aku tahu, kamu sebaik itu meredam masalah-masalahmu. Abadi, Abadi-ku, Abadi-ku sayang, aku sudah tak ingin lagi meminta maaf, sebab sudah terlalu banyak kata maafku hingga habis dan mungkin kamu jenuh mendengarnya. Aku sudah tak ingin lagi melakukan pembelaan diri sebab aku tahu ya memang ini salahku. Abadi-ku, aku hanya butuh kepastian saat ini, Sayangku. Lusa, hari sabtu esok hari, jika kamu ingin kita baik-baik saja, jika kamu ingin kita perbaiki segalanya, temui aku pukul tujuh malam di tempat pertama kali kita kencan lima tahun lalu, aku akan menunggu disana hingga jam dua belas malam. Semoga harapanku masih sama dengan harapanmu. Entah kau akan datang atau tidak, tapi aku ingin sekali mengucapkan ini; sampai bertemu!”
Abad menutup pesan suara itu dengan satu tarikan napas panjang. Kepalanya kembali dipaksa untuk berpikir. Keputusannya tadi sudah hampir benar-benar matang, namun kini pesan suara itu nyaris mementahkannya kembali. Abad merebah tubuhnya, matanya menyipit menatap langit biru mendung diatas kepalanya, entah… entah bagaimana sepertinya ia butuh waktu sedikit lagi untuk benar-benar meluruskan kemana arah langkahnya hendak bermuara.

¤¤¤

Di lobby sebuah bioskop yang berada di pusat perbelanjaan jantung kota, Tita menunggu. Kepalanya masih sedikit pusing akibat perjalanan jauh yang ia alami. Setelah tiba di bandara pukul empat sore tadi, Tita terpaksa menuju jantung kota menggunakan bis akibat kehabisan tiket kereta. Guncangan bis yang berjalan sembarangan membelah kemacetan kota membuat perut Tita terasa diaduk-aduk. Ia menyenderkan tubuhnya di salah satu kursi lobby, sembari meneguk air mineral yang ia beli di konter makanan bioskop.
Tita mengedarkan pandangan, masih lekat dengan baik di kepalanya bagaimana kencan pertamanya dengan Abad dimulai di sebuah malam lima tahun lalu. Tita juga masih ingat benar judul film romansa picisan yang mereka tonton berdua dan kemudian berakhir dengan Abad yang tertidur pulas sebab terlalu bosan menyaksikan adegan demi adegan film itu. Tita tak mampu menahan senyum ketika kejadian demi kejadian itu terputar kembali di memori kepalanya. Semoga malam ini masih ada keajaiban yang sama seperti lima tahun lalu, keajaiban yang sama ajaibnya saat Tuhan tiba-tiba mengehendaki Tita si pendiam itu jatuh hati pada Abad sang pembuat onar di sekolahnya dahulu.
Sejam berlalu, seorang pegawai bioskop tampak memandangi Tita terus menerus dengan sorot mata heran bercampur curiga. Wajar saja, sebab sudah beberapa film diputar, sudah ratusan orang hilir mudik keluar masuk teater namun Tita tak menunjukkan gelagat akan beranjak dari kursi lobby ataupun hendak menonton. Tita yang sadar diri kemudian bergegas bangkit berdiri dan menghampiri konter penjual tiket.
“Selamat malam, silahkan dipilih film yang mana,” sapa pegawai ticketing itu dengan ramah, polesan lipstick berwarna pink pastel di bibirnya tampak merekah.
Tita menatap layar LCD yang menampilkan deretan judul film lengkap dengan jam tayangnya, Tita menggaruk kepala, kebingungan, “film ini aja, Mba,” Tita menunjuk sebuah film di nomor dua, “jamnya jam yang paling malam ya.” Ucap Tita kemudian dengan maksud memilih jam 21:45.
Setelah tiket berada di tangannya, Tita kembali ke tempat duduknya semula, pegawai bioskop yang sedari tadi memerhatikannya langsung beranjak pergi. Tita menarik nafas panjang, lega. Diliriknya jam tangan yang ia kenakan, jam 20:15 dan masih belum ada tanda Abad akan datang menemuinya. Tita bergegas bangkit berdiri, kembali membeli dua cup popcorn caramel, dua porsi hot dog dan dua cup minuman bersoda. Malam akan masih begitu panjang baginya.

¤¤¤

Abad masih termangu di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya, menimbang-nimbang pemikirannya sendiri sambil terus memerhatikan jam tangannya yang menunjukkan pergeseran waktu. Deburan ombak yang terdengar sayup dilengkapi dengan pendar rembulan yang begitu apik menemaninya malam itu. Ia sungguh masih diambang keputusan yang ia sendiri masih ragu bagaimana memutuskannya.
Dibayangkannya wajah Tita dalam-dalam, sembari mencoba menelisik adakah getaran di dadanya yang masih tertinggal. Potongan-potongan kebahagiaan, canda, tawa, tangis, getir, pahit yang telah dilaluinya bersama Tita selama lima tahun mendadak membuncahi kepalanya silih berganti. Abad dapat merasakan tubuhnya nyeri luar biasa, kesakitan membayangkan semua kenangan yang ada. Abad pun menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dalam-dalam. Kepalanya kembali menimbang apa yang harus dilakukan.
Tepat ketika jam lonceng di ruang tengah rumahnya berbunyi sebelas kali. Abad bangkit berdiri. Diambilnya kunci mobil. Hatinya telah mantap mengambil keputusan yang ia rasa terbaik untuk segalanya.

¤¤¤

Pemutaran film di jam terakhir pun usai tepat pukul 23.35, bergerombol-gerombol orang tampak menghambur keluar teater dengan mata setengah mengantuk. Tita masih di tempat duduknya semula, tak perduli meski sedari tadi menjadi sasaran berondongan tatapan ganjil dari semua pegawai bioskop, tak perduli meski sudah hampir lima gelas minuman bersoda yang ia habiskan. Tita masih disana, menunggu harapan yang sama.
Matanya mengedarkan pandang, menunggu detik-detik harapan terakhirnya datang. Hatinya semakin tak karuan, sepertinya ini adalah akhir penantian panjang dari sosok yang ia harapkan muncul dalam jarak pandang. Pukul 23.55, bioskop tampak begitu lengang, hanya tersisa beberapa petugas kebersihan yang sibuk menggotong karung-karung sampah. Tita menarik nafas panjang, hatinya lunglai, dengan ikhlas ia bangkit dari kursinya kemudian berjalan sempoyongan keluar dari gedung bioskop itu. Dadanya sesak, air matanya benar-benar ingin meledak.
Tita tak bisa lagi membendung perasaannya yang terkoyak. Ia menangis dalam diam. Dalam setiap tapak yang ia jejakkan, satu persatu air mata turun dalam keheningan.
Tita tiba di lobby utama gedung dengan mata yang mulai sembab tepat ketika kedua retinanya menangkap sosok itu muncul dari arah parkiran. Sosok yang sejak beberapa hari lalu begitu ingin dipeluknya, sosok yang menjadi alasan dari segala alasan kesedihan tanpa batasan yang ia rasakan.
“Abad…”  Tita merintih sendiri menyebut nama itu, spontan ia berlari dan menghempaskan tubuhnya pada tubuh Abad, memeluk sosok itu dengan erat. Begitu erat seolah dunia ingin merampas Abad dari sisinya. “Abad…” tangis itu pecah sejadi-jadinya bermuara pada penyebab tangisan itu sendiri.
Abad melepas pelukan itu pelan, menatap mata Tita sambil tersenyum simpul. “Kita bicara di mobil ya, Ta.” Abad menggiring Tita menuju mobilnya kemudian duduk bersebelahan di kursi depan.
“Bad, makasih udah dateng, makasih, aku tahu kamu bakal…”
“Ta…” Abad bergegas memotong kalimat Tita yang langsung memberondong habis dirinya tanpa basa-basi. “Ta, aku kesini mau minta maaf.” Digenggamnya tangan Tita dengan lembut, “maafin aku ta, aku ga bisa melanjutkan hubungan ini dengan kamu.”
Bagai ada debuman keras menghantam kepalanya, sorot mata bahagia yang sempat Tita pancarkan seketika lenyap tak berbekas. Senyum sumringah yang sedari tadi dipamerkannya hilang detik itu juga. Tita dapat merasakan tubuhnya bagai lumpuh sesaat. “Tapi kamu datang kesini, Bad. Seharusnya kalau kamu datang kesini itu artinya…”
“Ta, aku datang kesini karena aku rasa aku gabisa meninggalkan kamu tanpa penjelasan apapun, tanpa ada sepatah katapun yang harus sama-sama kita jernihkan tentang masalah antara kita,” Abad melepas genggaman tangannya pada Tita lalu berpindah mengelus pipi Tita yang telah banjir air mata dengan lembut, “Ta, maafin aku, tapi aku bener-bener gabisa. Entahlah… mungkin sesakit ini rasanya kecewa. Aku sudah gabisa lagi menemukan diri kamu di dalam diriku,” Abad menghela nafas panjang, “Ta, ini bukan keputusan mudah, aku memikirkannya berhari-hari. Lima tahun kita bareng-bareng, Ta. Memang ga mudah tapi inilah akhirnya. Kita harus sama-sama lapang dada. Bukan salahmu, bukan juga salahku. Bukan benarmu, bukan juga benarku. Ini hanya perkara takdir Tuhan, Ta.” Abad beranjak, menjorokkan sedikit tubuhnya kemudian memeluk Tita, “kamu baik-baik ya, Ta. Sesudah ini, entah dengan siapapun kamu, entah dengan laki-laki yang kemarin memeluk kamu itu atau bukan, aku doakan kamu bahagia. Aku doakan kamu menjadi lebih baik. Aku ga marah, aku ga dendam, aku anggap kita berteman baik, Ta, selalu. Semua kenangan tentang kita biarlah aku simpan baik-baik sebagai hal-hal manis yang pernah aku alami. Aku ga akan pernah ingat apapun hal buruknya. Aku harap kamu juga begitu. Sekali lagi, maafin aku ya, Ta.”
Tangis Tita semakin pecah dalam pelukan itu, bibirnya tak mampu lagi berucap barang sepatah kata. Hening, namun air matanya terus menderas tanpa kenal batas. Tita terluka. Jiwanya terkoyak, sanubarinya tercabik. Bagaimanapun pada akhirnya ia harus menghargai keputusan Abad dan harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang memang ditakdirkan bukan untuknya. Tita tahu, ini adalah hal sulit, entah butuh berapa musim untuk menghilangkan segala luka dan belajar melupa. Namun Tita yakin Tuhan selalu ada di segala prosesnya.


TENTANG RINDU

Kala dengan terkantuk-kantuk memegang pena, matanya setengah memejam dan pikirannya setengah sadar sembari menulis bertumpuk-tumpuk resume pasien yang membentang diatas meja dihadapannya. Diliriknya jam dinding yang tergantung manis diatas kapstok tempat ia menggantungkan snellinya. Jam itu menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
Masa-masa coass memang tak pernah mudah. Pergi pagi pulang pagi bahkan berhari-hari dirumah sakit sudah Kala alami selama satu bulan belakangan ini. Jam tidur yang tak teratur, makan yang sudah tak sesuai jadwal, tubuh yang setiap hari pegal pegal adalah sebagian hal yang sedang berusaha Kala biasakan saat ini.
Kala bangkit dari kursinya, resume pasien yang menggunung itu memaksanya untuk tak tidur lagi malam ini. Kala mengambil sebungkus kopi sachet, lalu menyeduhnya di dispenser. Kakinya melangkah keluar ruangan, berjalan diantara koridor yang sunyi, sembari melihat kanan-kiri kearah berbagai macam bunga yang tumbuh di setiap sudut taman rumah sakit, berusaha sedikit menyegarkan pikiran.
Langkah kaki kala berbelok menuju gerbang utama rumah sakit. Maksud hati ingin membeli camilan di supermarket 24 jam di depan rumah sakit, mata Kala justru menangkap sesosok laki-laki yang begitu dikenalinya berjalan kearahnya dari parkiran. Tubuh Kala seketika kaku, bibirnya terkatup, gelas plastik yang ia pegang nyaris jatuh.
“Hai, Kal…” sapa Abad canggung, senyumnya tampak meragu.
Kala terkesiap sesaat kemudian kembali mengontrol diri, tampak berusaha tenang, “Hai, Bad,” balas Kala tak kalah canggung, “ngapain? Jenguk keluarga? Udah bukan jam jenguk loh…”
“Aku mau ketemu kamu, Kal…” potong Abad cepat.
Kala tambah tak mengerti, debar di dadanya kembali berdesir hebat, desir yang memang selalu ada setiap kali lelaki dengan isi kepala abstrak ini ada dihadapannya. “Ketemu aku? Ke… kenapa? Ada apa?” Kala tampak tak tahan untuk menyembunyikan rasa penasarannya. Diteguknya kopi yang ia pegang, menghilangkan canggung.
“Aku butuh bicara, Kal, dengan kamu…”
Mendengar kalimat dengan nada berbeda itu terlontar dari mulut Abad, Kala tahu pukul tiga pagi dini hari ini, tak akan pernah menjadi pukul tiga pagi yang terulang dua kali dihidupnya.

¤¤¤

Kala dan Abad memutuskan untuk duduk di sebuah lapak penjual nasi goreng pinggir jalan yang mangkal di depan gerbang rumah sakit. Setelah memesan dua porsi nasi goreng, Abad meluruskan duduknya, menatap Kala dengan sorot tak biasa. Begitu ingin rasanya Abad menyingkirkan meja yang menjadi penghalang antara ia dan Kala demi memeluk tubuh Kala yang begitu dirindukannya.
“Kal…” panggil Abad pelan.
Kala membalas tatapan mata Abad itu, sama tajamnya, “ya?”
“Kapan terakhir kali kamu mikirin aku?”
Kala mengernyit, “apa?”
“Iya, aku tanya, kapan terakhir kali kamu mikirin aku?”
Kala terdiam, pertanyaan itu terdengar dengan nada begitu serius di telinganya. Bibirnya terkatup, kaku. Pertanyaan yang mudah saja untuk dijawab sebenarnya, jika saja Kala bisa membohongi hatinya untuk mengatakan bahwa ia tak pernah memikirkan Abad, padahal nyatanya Abad selalu terlintas di pikirannya di setiap waktu; di saat Kala sedang menemani konsulen untuk visit pasien, di saat Kala sedang mengoplos obat, di saat Kala sedang mengendarai motornya pulang kerumah selepas dinas malam, bahkan ada saat-saat dimana Kala tiba-tiba terbangun di pagi hari dan kemudian tersadar ia merindukan Abad.
“Kenapa diam, Kal?” Abad menyentuh tangan Kala lembut, menyadarkan Kala dari lamunannya. Ada rasa tak sabar begitu ingin mencurahkan semua kalimat yang selama ini ia tahan dalam dirinya.
Kala menggeleng kemudian tersenyum, “kamu kenapa sih, Bad? Ada apa?” Kala berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Kal, dari mata kamu, aku tahu kamu rindu denganku.”
Kala tergelagap, ucapan Abad barusan tepat mengenai jantungnya, “hahahaha, ngaco,” Kala tertawa kecil, menutupi perasaannya yang mulai tak karuan. Lelaki ini, benar-benar membuatnya tak mampu berkutik. “Eh gimana Tita? Sehat?” Kala mengaduk es tehnya yang barusan datang, berusaha menutupi kecanggungan.
“Aku sudah enggak sama Tita,” jawab Abad cepat, matanya masih memandangi Kala tanpa berkedip, sementara yang dipandangi malah sibuk menunduk, berpura-pura khusyuk mengaduk-ngaduk es teh di hadapannya.
Kala mendongak sesaat, tercengang, kemudian kembali menunduk, menyeruput seteguk es tehnya, “kenapa putus? Jangan bilang karena…”
“Bukan… bukan… bukan karena kamu,” kemudian Abad menceritakan kejadian di kota tempat Tita bekerja dengan singkat.
Kala mengangguk-ngangguk kecil, terkejut, namun tak ingin menampakkan keterkejutannya. “Jadi kamu kesini untuk apa?” tanya Kala kemudian tanpa basa-basi sembari menyendok nasi goreng ke mulutnya suap demi suap.
“Kamu gamau tanya aku dulu kapan terakhir kali aku mikirin kamu?”
Kala nyaris tersedak, matanya memelototi Abad dengan pandangan senewen setengah mati. “Bad, kamu ini kenapa sih?”
“Tanya dulu.” Abad terlihat cuek, pura-pura tak memerdulikan reaksi Kala yang begitu terkejut dengan kalimat-kalimatnya.
“Abad!”
“Tanya dulu, Kal…” Abad masih kekeuh, keras kepala.
Kala menarik nafas panjang, memutuskan mengalah, “oke oke, aku tanya, kapan kamu terakhir kali mikirin aku?”
Abad tertawa cekikikan, “jangan ditanya seharusnya,” ucapnya kemudian dengan mulut penuh nasi goreng.
Kala kembali memelototkan matanya berpura-pura kesal, padahal nyatanya, sifat menyenangkan nan humoris yang Abad miliki ini lah yang selalu membuat Kala betah berlama-lama di dekatnya dan selalu berhasil membuat Kala rindu. Kala dapat merasakan hatinya yang beberapa bulan belakangan ini nyaris membeku, pelan-pelan mencair seperti baru saja dialiri sentuhan hangat.
“Seharusnya ga perlu kamu tanya, Kal,” lanjut Abad kemudian, “karena kamu tahu sendiri kan, aku pagi, sore, siang, malam, subuh, petang, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, badai, hujan, gerimis, kemarau, di pasar, di kamar, di atap, di mana-mana, bahkan sekarang lagi makan nasi goreng di depan kamu pun aku tetap mikirin kamu.”
Kala tak dapat lagi menahan ledakan di kerongkongannya, ia tersedak, terbatuk-batuk. Sementara Abad tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu. Bongkahan besar batu diantara mereka berdua pun luluh lantah seketika.

¤¤¤

Dua piring nasi goreng pagi buta itu habis dalam waktu hampir satu jam sebab selalu ada cerita yang Kala dan Abad bagi di setiap suapannya. Lama tak bertemu, lama tak berbincang sehangat ini, membuat sepasang manusia itu begitu bergelora membagi kisah masing-masing, tentang apa saja hal yang mereka lalui saat mereka terpisah jarak antara hati.
“Jadi kamu jatuh diantara sawah-sawah disamping The Sawah Pastry? Hahahahaha,” Kala tergelak, sembari menandaskan gelas ketiga es tehnya, cerita tentang Abad yang dilanda galau kemudian berlari-lari ditengah sawah membuat dirinya tergelitik sendiri. “Kamu alay banget hahahha.”
Abad mesem-mesem, “kamu juga alay, kalau galau ke pantai.”
“Tapi aku gapernah jatuh ditengah-tengah pasir,” Kala kembali tergelak.
Seusai membayar pesanan, Abad mengajak Kala pergi, kaki mereka melangkah kembali ke dalam area rumah sakit sembari terus menyeracaukan berbagai cerita. Tepat di lorong ruang tunggu pasien poli yang hening, Kala dan Abad menghentikan langkahnya lalu serempak duduk dikursi-kursi panjang yang tersedia.
“Jadi, kamu mau apa kesini?” tanya Kala tanpa basa-basi setelah semua cerita mereka habis ditelan waktu yang terus bergerak. Sorot mata jenakanya, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi serius.
Abad menatap Kala tajam, ditariknya nafas panjang berkali-kali, menyiapkan diri, “Kal, kamu mau jadi pacar aku? Aku… aku gabisa lupain kamu… gabisa…”
Kala terdiam, sedikit tersentak meskipun sebenarnya ia sudah sedikit bisa membaca kemana arah pembicaraan Abad akan bermuara. Kala membuang pandangan, matanya menatap lurus pada deretan kursi kosong di hadapannya.
“Kal… aku tahu mungkin kamu kaget, kamu belum siap, semua terkesan aku ungkapkan dengan terburu-buru di pertemuan pertama kita setelah kita sekian lama ga berhubungan, tapi, Kal… aku udah gabisa nahan diri aku lagi. Sudah hampir sebulan aku memikirkan semua ini matang-matang dan semakin aku tahan, rasanya aku semakin nyaris gila.”
Kala masih terdiam, berusaha mencerna potongan-potongan kalimat Abad yang singgah di telinganya. Hatinya terasa semakin teduh mendengar bahwa Abad masih sama mencintainya seperti dahulu. Sungguh, Kala ingin terbang melayang jikala saja bisa. Namun ia memilih tak menunjukkan gejolak itu sedikitpun di depan Abad.
“Minggu depan aku ada libur tiga hari karena rumah sakit akreditasi, kita naik gunung yuk. Gunung Tanggamar aja, yang deket.”
Abad mengernyit, “hah? Apa, Kal?”
“Iya, aku mau jawab pernyataan cinta kamu diatas gunung, nanti.”
Abad terhenyak, terdiam seketika, mulutnya tak mampu lagi berkata. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus menuruti mau Kala demi mendapatkan apapun jawabannya.


BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar