SUDAHI SAJA
Bulan berganti
dengan begitu cepat. Waktu berlalu tanpa ampun menindas detik demi detik.
Kenangan meraung-raung tertinggal dibelakang, sementara Abad masih di tempat
yang sama, bergumul dengan perasaannya terhadap Kala segaligus Tita. Sedangkan
di sisi lain muka bumi, Kala sedang berusaha melakukan hal yang sama.
Bagaimanapun, Abad sudah ada yang punya, pikirnya.
Kala tak mampu
lagi membohongi diri, ia tersadar, ia juga telah jatuh hati. Namun salah.
Sangat salah. Kala jatuh hati pada sosok yang tak boleh ia miliki.
Tiga bulan sejak
kejadian diatap gedung fakultas kedokteran, Kala memilih menghindari Abad, tak
membalas apapun pesan yang Abad kirimkan ke ponselnya, memutuskan tak lagi mau
mengangkat telpon Abad sebanyak apapun dering yang Abad berhasil bunyikan. Kala
tahu, hatinya telah jatuh, namun ia memilih untuk melindungi hatinya agar tak
semakin jauh. Ia menyibukkan diri dengan skripsinya. Berangkat kuliah hanya
untuk konsul dan ujian, singgah ke perpustakaan, lalu kemudian pulang kembali
kerumah. Ia menghindari tempat-tempat keramaian yang dapat membuatnya bertemu
Abad.
Sementara Abad,
meski mengetahui respon tak baik yang Kala berikan, ia memutuskan untuk tetap
menghubungi gadis itu, bukan, bukan untuk mengejarnya, tak lebih Abad hanya
ingin memperbaiki apa yang telah rusak diantara mereka diakibatkan pernyataan
cintanya kemarin. Abad sungguh tak ingin Kala jauh darinya. Abad sadar, hati
kecilmya begitu tak ingin kehilangan Kala. Gadis itu kini, adalah candu
hidupnya, apa yang membuat nafasnya terasa lebih ringan disetiap hembusan, yang
juga telah membuat denyut nadinya lebih teratur dan berirama.
Sementara sibuk
dengan usahanya memperbaiki hubungan dengan Kala, Abad juga sebulan sekali
secara rutin mengunjungi Tita ke pulau seberang, menengok keadaan kekasihnya
itu, meski Abad tahu benar hatinya sudah tak lagi disana. Tak ada lagi rasa
hangat ditubuhnya ketika menatap wajah Tita. Senyum Tita terasa hampa. Tak ada
lagi rindu bergejolak. Semua seolah hanya berjalan, tanpa bernyawa.
Abad tahu Kala
menghindarinya, tanpa pernah tahu gadis itu punya perasaan yang sama. Kala tahu
Abad mengejarnya, tanpa Kala sadar cinta Abad padanya jauh lebih tulus dari
yang tampak di dunia nyata.
¤¤¤
Tiga bulan
berlalu, pagi itu Kala bangun lebih pagi dari biasanya. Seusai melaksanakan
shalat subuh, ia bergegas membuka lemari bajunya, kemudian memandang takjub
dengan mata membulat penuh pada setelan kebaya terusan berwarna biru muda,
warna kesukaannya. Matanya bergeser ke sepasang jubah hitam disamping kebaya
itu, jubah dengan bordiran lambang universitasnya di dada kiri. Seperti mimpi,
ia bergumam, “ya ampun gue bangun-bangun tidur udah wisuda.” Desisnya haru pada
dirinya sendiri.
Kepalanya
memutar balik perjuangannya selama 4 tahun belakangan ini. Jatuh bangunnya
dalam mengerjakan tugas, praktikum dan laporan yang menggunung. Belum lagi
ditambah dengan OSCE, tutorial, dll. Kala menghempas tubuhnya ke ranjang, tak
teras air matanya menitik, satu fase penting hidup sudah berhasil ia lewati.
¤¤¤
Abad menduduki
kursi penumpang disamping supir, disusul dengan ibu dan ayahnya yang masuk
beberapa menit kemudian dan menempati kursi penumpang tengah. Abad mematuti
tubuhnya yang diselimuti jubah wisuda dengan rasa tak percaya. Hari ini tiba.
Akhirnya…
“Jalan, Pak.”
Ucap Ayah pada Pak Guntur, supir pribadi keluarga mereka yang telah belasan
tahun mengabdi itu.
Mobil melaju
dengan pelan membelah jalanan utama kota, belum terlalu macet sebab jam baru
menunjukkan pukul tujuh tepat. Abad mengecek ponselnya dan mendapati ucapan
selamat dari Tita yang diketik dengan begitu panjang dengan penuh kata-kata
bahagia dan doa kemudian diakhiri dengan ucapan maaf tidak bisa hadir sebab
Tita tidak bisa mengambil libur. Abad membalas pesan itu dengan ucapan
terimakasih seadanya. Ia tak kecewa Tita tak bisa datang. Hatinya biasa saja.
Terlalu amat sangat biasa bahkan untuk bersikap sebagai kekasih bagi Tita.
Setengah jam
kemudian, mobil Abad memasuki gerbang gedung wisuda universitasnya yang begitu
megah. Gedung dengan luas sekitar satu hektar dengan tiang-tiang penyangga
berdiameter satu meter yang tersebar dibeberapa titik, dicat dengan warna putih
tulang dengan cat terbaik yang anti kotor, dilengkapi dengan ornamen-ornamen
ukiran di langit serta kusen, serta terpahat dengan jelas lambang universitas
mereka di puncak atas gedung, membuat gedung itu tampak begitu indah, bertambah
indah pula ketika begitu banyak papan-papan bunga ucapan selamat wisuda
tersebar disana-sini.
Abad turun dari
mobil dan langsung melesat masuk bersama Ibu dan Ayahnya kedalam gedung. Abad
bergabung duduk di kursi mahasiswa fakultas teknik, sedangkan Ayah dan Ibunya
duduk di tribun penonton.
Tepat 5 menit
sebelum wisuda dimulai, ditengah hiruk pikuk para dosen yang tengah mengetes
pengeras suara, Abad menangkap sosok itu, sosok yang sudah tiga bulan lamanya
tak ia lihat, sosok yang masih sama menawannya seperti pertama kali ia bertemu,
sosok yang meski tak pernah lagi nampak namun dikepalanya tak pernah absen
untuk hadir, sosok yang selalu berhasil menjadi magnet pada dunianya yang
berputar tak beraturan, sosok yang berhasil mengalahkan segalanya, tiada
tandingnya. Beberapa meter dari tempat Abad duduk, sosok itu tengah berdiri
sambil mengambil beberapa swafoto bersama teman-temannya dari deretan bangku
wisuda. Seperti mutiara yang baru lahir dari cangkangnya, Kala, berhasil
menyilaukan mata Abad dengan segala pesonanya.
“Sangkala Indah
Lestari,” gumam Abad mendesiskan nama lengkap Kala. Hatinya berpacu dengan
hebat. Ingin rasanya berlari kemudian memeluk Kala. Namun yang terjadi justru
tubuhnya Kaku tak bisa berbuat apa-apa. Matanya tak berkedip meresapi detik
demi detik melihat Kala tersenyum ke kamera saat mengambil foto. Abad tahu,
hatinya, sudah tak tahan lagi. Ia begitu ingin memiliki gadis itu. Bagaimanapun
caranya.
¤¤¤
Prosesi wisuda
usai, satu persatu wisudawan beserta orang tuanya tampak meninggalkan gedung.
Sebagian besar tersebar di luar gedung dan tengah sibuk berfoto-foto ria
bersama. Di salah satu sudut halaman gedung, Abad tengah menerima beberapa kejutan
dari teman-teman kuliahnya yang sengaja datang membawa bunga dan berbagai macam
kado sebagai ucapan selamat. Namun matanya tetap awas berusaha menilik satu
persatu wajah dari ratusan orang yang melintas di hadapannya, berusaha
menemukan Kala dalam kerumunan.
Tepat ketika
teman-temannya membubarkan diri usai mengambil beberapa kali sesi foto bersama,
Abad menemukan sosok itu, tengah berjalan anggun dalam balutan kebaya biru
sambil sibuk membenahi tangannya yang membawa begitu banyak kado. Abad tak tahan
lagi, dibukanya jubah wisuda yang ia kenakan, diletakannya toga yang tadinya ia
sematkan di kepala, lalu ia pamit kepada Ayah Ibunya dan mengatakan ada urusan
sebentar dan meminta Ayah Ibunya untuk pulang duluan saja.
Abad berlari
kecil, menyusul Kala yang hanya mampu berjalan pelan ditengah kerumunan manusia
yang begitu ramai. Tepat ketika Kala berhenti di depan sebuah mobil dengan dua
orang paruh baya yang Abad yakini sebagai kedua orang tua Kala, Abad pun
menghentikan langkahnya, tepat satu meter dibelakang gadis itu, “Kal...”
panggilnya pelan, Kala spontan menoleh dan nyaris jatuh terkejut mendapati
sosok yang berdiri dihadapannya saat ini.
Kala dapat
merasakan ada gemuruh hebat disekujur tubuhnya, seperti tengah disengat listrik
dan disapu ombak secara bersamaan, debaran itu, desiran itu, masih sama
hebatnya, sama kuatnya bahkan tak pernah mengurang sejak pertemuan pertama
mereka.
“Hai, Bad…”
Kala membalas sapaan itu, canggung
sekali. “Sebentar ya.” Demi melihat ekspresi wajah Abad yang benar-benar nampak
hendak memuntahkan begitu banyak kalimat, sedetik kemudian Kala menaruh
barang-barang yang ia bawa di bagasi kemudian berbicara sesaat pada ketua
orangnya dan meminta kedua orangtuanya pulang terlebih dahulu.
Tepat ketika
mobil kedua orang tua Kala melaju menuju gerbang keluar, Abad dengan gerakan
yang tak dapat lagi terelakkan, langsung memeluk gadis itu, begitu erat,
hangat, penuh dengan kerinduan. “Kal…”
desisnya pelan, terus memeluk gadis itu, tak perduli ratusan mata
menatap mereka canggung.
Detik berlalu
dengan sunyi, Kala membiarkan tubuh besar Abad melingkupinya, ada rindu tak
tertahan juga yang hendak ia tumpahkan disana, namun bibirnya tak kuasa
berkata.
“Kal… kamu
kenapa?” Abad bertanya halus. Dilepasnya pelukan itu pelan-pelan.
Kala tersenyum
tipis kemudian menggeleng lemah, “aku ga kenapa-kenapa, mungkin cuma butuh
waktu.”
“Kita butuh
bicara, Kal.” Sergah Abad cepat.
Kala mengangguk,
“iya, kita butuh bicara, Bad”
¤¤¤
Mobil taksi
online itu membelah jalan menuju pesisir barat kota, Abad dan Kala terdiam
canggung di kursi penumpang belakang, bersisian, namun tak saling mengeluarkan
kata. Sementara supir taksi itu hanya mampu mencuri pandang sesekali kebelakang
dengan penuh tanda tanya diatas kepalanya.
Mobil itu
berhenti disebuah daerah persawahan dengan rumah yang masih jarang, tepat
disebuah bangunan dengan papan nama “The Sawah Pastry” terpampang didepannya.
Kala dan Abad melangkah canggung, memasuki pintu toko kue favorit Abad itu
dengan perasaan tak karuan. Denting bel pada pintu masuk berbunyi, membuat
tubuh tambun Pak Tora keluar dari bilik dapurnya, mengamati sesaat, kemudian
tersenyum ketika mengenali kedua orang yang tengah berjalan mendekati meja
kasir itu.
“Hei, Abad,
Kala! Saya kira kalian sudah lupa dengan toko kue ini hahahahaha,” Pak Tora
tertawa geli, membuat Abad dan Kala tak kuasa menahan senyum. “Rapi sekali
kalian ini, darimana?” tanya Pak Tora sembari menilik Abad dan Kala dari ujung
kepala hingga kaki.
“Habis wisuda,
Pak” jawab Abad singkat sambil tersenyum.
Kedua mata Pak
Tora kontan membulat bahagia, “wah wah habis wisuda jadi kalian ini? Kalau begitu
mau pesan apa? Seperti biasa?” tanya Pak Tora memastikan. Sepasang anak manusia
yang sedang linglung itu hanya mampu mengangguk mengiyakan tanpa balasan. “Saya
kasih diskon buat yang baru wisuda, tenang saja,” lanjutnya girang sembari
mengedipkan sebelah mata.
Tanpa
diperintah, Abad dan Kala bergerak mencari kursi, dan pilihan mereka jatuh pada
kursi yang sama saat pertama kali mereka berdua mengunjungi toko kue ini.
Tampak beberapa pengunjung lain yang tersebar di beberapa titik kursi
mencuri-curi pandang pada sepasang muda-mudi yang datang dengan mengenakan
kebaya serta kemeja batik itu, keheranan.
Kala beringsut
di kursi sofa berwarna ungu pastel itu, menumbukkan pandangannya kearah luar
jendela. Sementara Abad tak henti-hentinya memandangi wajah Kala, seperti
hendak meresapi setiap detil wajah gadis itu kedalam paru-parunya. Menit
berlalu, Abad masih membiarkan Kala tercenung sendiri, menunggu hingga gadis
itu tenang.
Pesanan pun
datang, Abad menegur Kala, pelan, “Kal, diminum dulu cokelatnya, mumpung masih
panas.”
Kala tergelagap,
terbangun dari lamunan panjangnya, tersenyum canggung dan mengambil gelas
akrilik dihadapannya, menyesap cokelat panas itu seteguk, kemudian mengalihkan
pandangannya pada mata Abad yang sedari tadi memang sudah terfokus kedalam
retina matanya.
“Sudah bisa
mulai bicara, Kal?” tanya Abad, pelan.
Kalimat-kalimat
baku Abad itu, terdengar begitu asing ditelinganya. Biasanya, ia dan Abad akan
sembarang bicara, bercanda, tertawa. Sebesar itukah pengaruh jatuh cinta?
Sehingga bahkan dalam berbicarapun Abad merubah caranya pada Kala?
Kala diam
beberapa detik, berusaha menyesuaikan kalimat demi kalimat yang akan ia
ucapkan, “iya, sudah. Mau mulai darimana?”
“Dari
pertanyaanku tadi, kamu kenapa?” balas Abad cepat.
Kala meneguk
cokelat panasnya lagi, “kan tadi sudah aku bilang, aku cuma butuh waktu.”
“Waktu untuk
apa?”
“Untuk mencerna
semua kejadian ini, Bad,” Kala menghela nafas, “Bad, kamu pikir aku ga kaget
waktu tiba-tiba kamu menyatakan perasaan? Bad, it’s okay, ga masalah kalau kamu
suka dan jatuh cinta sama aku, yang membuat aku ga bisa terima dan menjauh
adalah kamu sudah punya Tita, Bad, itu.” Jelas Kala panjang lebar, ia sudah tak
tahan lagi, tiga bulan lamanya ia memendam dan menelan semua isi kepalanya
sendiri.
Seketika, raut
wajah Abad berubah, ada perasaan bingung terpancar jelas disana, “Kal, kalau
aja hati itu bisa diatur untuk harus jatuh cinta dan tidak harus jatuh cinta
dengan siapa, aku pasti lakuin itu. Tapi sayangnya, hati kita gapernah bisa
Kal, ngelakuin hal itu. Hati kita sendiri Kal, yang milih dia mau jatuh untuk
siapa. Kita gabisa apa-apa. Tuhan Kal, yang berkehendak disini, bukan lagi
manusia. Logika pun ga akan bisa ngejangkau.”
Kala diam
sebentar, mencerna semua kalimat itu dengan hati caruk maruk, “tapi ini salah,
Bad. Kamu jatuh cinta sama orang lain dengan keadaan kamu sudah punya pasangan.
Itu namanya berkhianat, Bad. Berkhianat hati itu lebih fatal Bad daripada
berkhianat fisik. Seharusnya… seharusnya kamu bisa mencegah dan menjaga hati
kamu supaya ga jatuh cinta dengan aku…”
“Dan sayangnya
hatiku gabisa ngelakuin itu, Kal.” Potong Abad cepat, “hatiku gamau dan gabisa,
semuanya berjalan gitu aja, dan… iya dan aku jatuh cinta sama kamu.”
Kala menatap
Abad dengan nanar, menandaskan cokelat digelas akriliknya dalam sekali teguk,
kemudian menilik mata Abad dengan lebih tajam. “Bad, berhenti. Kembali ke Tita,
cintai dia seutuhnya, aku ga butuh cinta kamu, Bad. Yang butuh itu Tita. Sadar,
Bad… sadar… kamu itu lagi khilaf sekarang.” Kala tahu, ada sebagian jiwanya
yang terkikis saat mengatakan hal ini. Kala tahu, ia telah berbohong pada
dirinya sendiri. Kala tahu dan sadar benar, ia nyatanya memang membutuhkan Abad
berada di sisinya. Kala tahu lelaki itu adalah sosok yang mampu membuat
dunianya berhenti berputar. Kala tahu ia mencintai Abad dengan begitu dalam
juga. Tapi biarlah, biarkan saja, Kala hancur dalam kesendiriannya dan kemunafikannya
ini. Demi Abad, demi Tita. Demi mereka.
“Bad, sesudah
ini, pulang lah ke Tita, cintai dia sebaik-baiknya. Jaga hatinya. Aku akan
pergi dari hidup kamu sampai kamu lupa.” Kala bangkit berdiri, kemudian pergi
melenggang keluar dan meninggalkan Abad yang masih termangu di tempatnya
memandangi Kala hingga tubuh gadis itu hilang dibawa angkutan umum yang barusan
melintas.
Abad meringis,
hatinya tertohok begitu dalam, beku, nyaris runtuh menjadi seribu bagian.
Kalimat demi kalimat Kala barusan, terngiang terus menerus diatas kepalanya
hingga membuat kepalanya begitu nyeri. Abad tertunduk, memandangi kaki meja
dibawahnya, pikirannya kalang kabut. Gadis itu, adalah pusat gravitasi
buminya, dan ia kini pergi, menghilang,
lenyap. Abad bagai hilang arah, hatinya pecah belah, tak tau lagi kemana
melangkah. Abad tersesat, jauh kedalam labirin yang ia tak tahu dimana jalan
keluarnya.
¤¤¤
Malam bergulir,
langit gelap memeluk hangat bumi, bulan berpendar malu dibalik awan yang
mengerubungi. Abad terduduk diam di teras belakang rumahnya dengan segelas kopi
hangat yang tak disentuhnya sama sekali. Kepalanya masih memutar jelas rentetan
kejadian di The Sawah Pastry lamat-lamat. Wajah Kala, amarahnya, kalimat demi
kalimatnya, Abad menangkap ada kesungguhan bercampur keganjilan disana. Seperti
ada sesuatu yang hendak diucap namun tertahan, seperti ada segumpal perasaan
yang hendak dijelaskan namun Kala tak mampu menjabarkan. Entah Abad yang salah
menangkap, atau memang Kala yang pandai mengelabui, entahlah, Abad sudah
terlalu bingung dengan semua ini.
Abad membuka
ponselnya, menjelajahin menu galeri, lalu menatapi satupersatu fotonya dengan
Tita yang ia simpan rapi. Lima tahun lamanya bersama, sudah tak terhingga lagi
foto yang mereka ambil disetiap momen berdua. Foto di ponsel Abad ini hanyalah
sebagian kecil, foto selama setahun belakangan ini.
Abad tercenung,
jarinya berhenti pada sebuah foto yang membuat sanubarinya terusik hingga ke
bagian-bagian terkecil; saat dimana ibunya memeluk Tita sambil tertawa dengan
latar belakang Candi Borobudur. Itu adalah foto yang diambil ketika keluarga
Abad mengajak Tita liburan bersama ke Yogyakarta satu tahun lalu. Abad
memandangi foto itu dengan hati penuh pertimbangan. Kepalanya kini memutar
wajah Tita dengan segala macam rupa.
Mungkin Kala
benar, aku sedang khilaf, batinnya kemudian. Mana mungkin ia lebih cinta pada
Kala yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu dibanding Tita yang sudah melalui
berbagai macam fase hidup bersamanya? Bagaimana mungkin Abad lebih mencintai
Kala dibanding Tita yang juga begitu dicintai ibunya? Bagaimana mungkin Abad
tega menduakan Tita yang telah begitu dekat dengan Ayah dan Ibunya ketimbang
Kala yang bahkan belum apa-apa?
Abad menghela
nafas panjang, kopi dingin itu, diteguknya dengan cepat. Sesuatu yang beku
dihatinya itu kini hancur. Bergegas, dipencetnya nomor ponsel Tita, menunggu
Tita diujung sana menyambut teleponnya
TITANIA NINGTYAS LARASATI
Namanya Titania
Ningtyas Larasati, semua orang sedari kecil memanggilnya Tita. Lahir sebagai
anak bungsu dari tiga bersaudara dengan status Ayah dan Ibu yang sama-sama
merupakan aparatur sipil negara, membuat hidupnya berkecukupan. Tita adalah
gadis Jawa yang diajarkan tata krama dengan begitu kental sedari kecil. Ajaran-ajaran
tentang bagaimana cara berjalan, cara bersikap, cara makan, cara berpakaian,
sudah khatam dikepalanya sedari dini.
Tita tumbuh
dengan keadaan nyaris sempurna. Wajahnya cantik dilengkapi dengan lesung pipit,
rambutnya ikal dibagian bawah dengan warna kecoklatan, tubuhnya proporsional
disebabkan ajaran Ayahnya untuk selalu berolahraga setiap hari.
Ditambah lagi
dengan sifat anggun, lemah lembut, jarang berbicara, sabar, hampir tidak pernah
marah dan pemaaf, yang membuat Tita hampir dikagumi semua orang.
Semua
kesempurnaan dan kebaikan itu lah yang membuat Abad jatuh hati pada Tita sejak
pandangan pertama semasa mereka SMA dahulu, bukan mudah bagi Abad untuk
mendapatkan Tita. Nyaris dua tahun lamanya, Abad jatuh bangun mengejar hati
Tita dengan begitu banyak pesaing hingga akhirnya ia lah yang keluar menjadi
juara. Bagi Abad segala hal di diri Tita selalu mampu membuat Abad betah
berlama-lama bersamanya, sebab Abad tahu, gadis itu, sebanyak apapun kesalahan
yang Abad lakukan, ia akan selalu memaafkan.
Tita bukan tak
pernah ingin marah berlama-lama, atau menjadi enggan untuk memaafkan, terkadang
pikiran itu melintas dibenaknya, namun ia kembali teringat ajaran Ayahnya bahwa
manusia bukan Tuhan, Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa manusia tidak?
“Titania!”
Suara
serak-serak basah dengan nada tinggi itu membuyarkan lamunan Tita yang sedang
menunggu makan siang di kantin kantornya. Kepalanya sedang melayang kerumahnya
di pulau seberang. Ah… betapa ia rindu Ayah dan Ibu serta kedua kakaknya.
Tita mengangkat
kepalanya, meluruskan pandangan, dan mendapati sesosok laki-laki dengan
perawakan tubuh tinggi dan berisi serta rambut sedikit gondrong berjalan menuju
mejanya. Denish, lelaki itu adalah seniornya, seruangan dengannya sejak kali
pertama ia bekerja di perusahaan jamu ternama ini. Hanya dipisahnya sekat
antara kubikel, membuat Denish menjadi orang terdekat Tita, sebab sedikit
banyak, Tita belajar darinya.
Denish
menghempaskan tubuhnya di kursi yang berhadapan langsung dengan Tita, “biasanya
kamu ngajakin saya makan siang?” tanya Denish tanpa basa basi.
Tita tersenyum,
membuat lesung pipitnya terbentuk sempurna, “maaf, tadi abis dari HRD, males
balik lagi keatas, makanya saya langsung kesini.”
“Sudah pesen
makan?” tanya Denish kemudian sambil membolak-balik menu.
“Sudah.”
“Makan apa?”
“Sate ayam.”
“Mas, saya pesen
sate ayam satu ya.” Teriak Denish pada pelayan sedetik kemudian.
Tita melongo di
tempat duduknya teringat akan suatu hal yang ia sudah ketahui dari Denish
semenjak pertemanan mereka beberapa bulan belakangan ini, “Nish, bukannya kamu
ga suka ayam?”
“Kamu kan suka
ayam, tiap makan pake ayam, jadi saya pengen belajar suka ayam juga, biar bisa
makan bareng terus sama kamu,” jawab Denish santai sembari masih
membolak-balikkan menu, sedang memilih minuman.
Tita tercenung,
mencoba mencerna kalimat dari mulut Denish barusan.
“Minumnya apa?”
tanya Denish kemudian. Pandangannya beralih pada Tita, sedetik kemudian Denish
tersenyum geli demi melihat raut wajah Tita yang termenung dengan mata hampa.
Diusap-usapnya kepala Tita lembut.
Tita tersadar
dari lamunannya tepat di detik ketika sentuhan tangan Denish mengenai
kepalanya. Ia tergelagap lalu bangkit berdiri. “Saya ke toilet sebentar,”
pamitnya kemudian. Dilangkahkannya kaki menuju bilik toilet, dan termenung
menatap bayangan tubuhnya dikaca besar yang tersedia disana.
Denish, lelaki
itu, Tita tahu ada yang berbeda dengan caranya memerlakukan Tita sejak pertama
kali mereka bertemu. Tawaran-tawaran hangat Denish untuk selalu membantu
pekerjaan Tita selalu datang silih berganti tanpa Tita minta. Ajakan-ajakan
Denish untuk makan siang disetiap jam istirahat, selalu hadir tepat waktu.
Bahkan tak jarang, ajakan makan itu berlanjut menjadi makan malam saat
tiba-tiba Denish suka sekali mendadak muncuk didepan pintu indekos Tita dengan
mobil Sedan-nya. Membuat Tita tak mempunyai pilihan lain selain mengiyakan
ajakan makan malam itu. Dan kini, beberapa menit lalu, Denish semakin menjadi
dengan menunjukkan keinginannya belajar menyukai suatu hal yang Tita sukai.
Tita tahu,
dengan segala firasat yang ia punya, Denish memendam rasa untuknya. Entah sejak
kapan, entah sedalam apa, yang dapat Tita pastikan hanyalah rasa itu terus
bertumbuh seiring berjalannya hari-hari dimana mereka selalu bersama. Dan
semenjak menyadari akan hal itu, hingga detik ini, Tita begitu bingung
bagaimana harus menanggapinya. Ia selalu memilih menghindar disetiap kesempatan
Denish mulai membahas dan menunjukkan perasaannya terhadap Tita. Tita tahu ia
tak bisa selamanya menghindar, seiring bergulirnya waktu, kelak akan ada suatu
hal yang harus ia hadapi di depan. Namun untuk saat ini, biarlah begini. Menghindari
Denish pun rasanya tak mungkin. Sebab mereka bertemu setiap hari.
Denish bukannya
tak mengetahui jika Tita memliki kekasih, ia tahu, sebab dari awal sejak ia
ingin memulai percakapan dengan Tita di whatsapp, foto profil Tita telah
menjelaskan segalanya, foto berdua dengan seorang lelaki berkemeja ungu yang
merangul Tita mesra. Denish tahu, tapi tak ingin menyerah. Sebab bagaimanapun
Tita telah terlanjur menyita seluruh isi hatinya.
Tita menghela
nafas panjang, ia memilih tuk membasuh wajahnya dan berharap segala perasaan
bingung yang bercokol itu ikut luntur bersama bulir-bulir air yang jatuh dari
dagu dan pelipisnya. Dipasangnya raut sebiasa mungkin dan memutar balik
tubuhnya, kembali ke meja kantin.
Disana, Denish
masih duduk sembari melahap makanannya yang sudah datang.
“Ternyata enak
ya makan ayam.” Celetuk Denish saat Tita baru saja mendarat diatas kursinya
semula.
Tita mencoba
menanggapi dengan raut bersahabat, seperti biasanya, “emang biasanya ga enak?”
“Iya, biasanya
saya geli makan ayam. Saya ngebayangin waktu dia masih hidup dan punya bulu,”
Denish terkekeh. “Apa ini makan ayamnya jadi enak karena makannya sama kamu ya,
Ta?”
Tita yang baru
hendak menyendok satenya, langsung terhenti di detik itu juga. Ucapan Denish
barusan membuat makannya tak lagi selera. Kepalanya semakin dibingungkan dengan
sosok yang ada dihadapannya.
¤¤¤
Pagi kembali
datang, seperti biasa Tita datang tepat waktu ke kantor dengan enam lantai itu.
Dijinjingnya beberapa berkas ditangan kiri, sedangkan tangan kanannya sibuk
memegangi sebotol jus buah yang ia blender sendiri dari indekos.
Tita baru saja
tiba di depan lift ketika sosok Denish nampak dari kejauhan. Wajahnya nampak
sumringah mendapati Tita berdiri tak jauh di hadapannya, layaknya menemukan
mutiara diantara bebatuan.
“Tita, hey!”
sapanya dari jauh.
Tita tersenyum
canggung, perasaan hatinya begitu keras ingin menghindari Denish saat itu juga.
Ia tak bisa membiarkan Denish terus terlena dengan kedekatan mereka.
Lift terbuka
tepat ketika Denish masih berjalan mendekat, buru-buru Tita masuk lalu memencet
tombol lantai tiga. Tepat ketika pintu lift hendak tertutup, tubuh Denish
memaksa masuk, membuat pintu kembali terbuka sesaat untuk kemudian menutup
sempurna.
Tita menahan
napas menyaksikan adegan itu. Kini ia berdiri kaku dihadapan Denish, bingung
harus bersikap apa.
Denish yang
tampaknya belum menyadari perubahan di diri Tita dengan santai memulai
pembicaraan mereka seperti biasa, “bawa jus lagi ya? Jus apa nih?” Denish
mencomot botol minum ditangan Tita lalu mengamatinya, “jus jambu ya? Warna
merah muda soalnya.”
Tita mengangguk
kaku, rasa ingin kabur dari situasi itu semakin kental ia rasakan. Diraihnya
kembali botol minum miliknya yang berada di tangan Denish dan kemudian segera
menghambur keluar ketika lift terbuka.
Denish
mengernyit melihat kejadian itu, kini ia baru menyadari ada yang berubah pada
Tita.
¤¤¤
Sambil mengetik
berkas-berkas pekerjaan yang menggunung, Denish mencuri-curi pandang pada
kubikel di sebelah kanannya melalui sebuah celah kecil yang tercipta akibat
renggangnya papan pembuat kubikel. Sungguh celah yang teramat sempit, tapi bagi
Denish itu adalah jendela yang begitu luas, karena dari sana, setiap harinya,
hampir di setiap menitnya, ia dapat memandangi wajah Tita diam-diam. Air
mukanya yang selalu tenang itu, telah berhasil membuat Denish ingin hanyut dan
enggan kembali ke permukaan.
Denish
termenung, bertopang dagu, hanyut memandangi wajah Tita yang sedang sibuk
memeriksa berkas-berkas ditangannya. Namun beberapa detik kemudian, hatinya justru
berdenyut mengingat kejadian tadi pagi. Detik demi detik adegan ketika Tita
berlari menjauhinya terputar ulang, hatinya merasa tertohok sendiri.
Denish bukanlah
tipikal lelaki yang doyan berbasa-basi, muncul rasa gerah dan tak tahan yang
melonjak-lonjak pada dirinya, ia rasa ia harus segera mendapat penjelasan.
Dibereskannya
seluruh berkas yang nampak masih belum tuntas diatas mejanya, dihampirinya
kubikel Tita.
“Ta, apa kita
perlu bicara?” tanya Denish, seperti biasa, tanpa basa-basi.
Tita mendongak
dan nyaris limbung mendapati Denish berada di pintu kubikelnya, itu bukanlah hal
asing sebenarnya, hampir setiap hari adegan itu selalu ada. Tapi dengan suasana
hatinya yang sedang tak karuan dan benar-benar ingin menghindari Denish,
keberadaan Denish di pintu kubikel itu bagaikan sosok asing yang harus ia
lenyapkan.
“Bicara apa?”
tanya Tita berpura-pura santai kemudian.
“Sikap kamu.”
Tita mengernyit,
menyadari kemana arah pembicaraan ini mulai bermuara, “memang saya kenapa?”
“Kejadian tadi
pagi.”
“Tadi pagi kenapa?”
“Kamu
menghindari saya, Ta. Apa saya punya salah sama kamu?”
Tita menghempas
tubuhnya ke sandaran kursi, ditatapnya kedua bola mata Denish dengan dalam.
“Nish, saya ga kenapa-kenapa. Cuma perasaan kamu aja.”
“Apa sikap saya
yang terlalu menunjukkan perasaan saya membuat kamu risih?” tembak Denish tepat
pada sasaran, telinga Tita sampai sakit sendiri mendengarnya.
Tita bangkit
berdiri, gejolak yang ia tahan selama beberapa bulan ini sudah tak mampu
dibendung lagi, ditariknya tangan Denish menuju luar ruangan, “ikut saya, iya
kita memang harus bicara.”
¤¤¤
Langkah Tita dan
Denish berhenti di lobi lantai tiga yang tampak sepi. Sofa-sofa panjang tampak
lengang, namun Tita dan Denish memilih berdiri, beradu tatap dengan sorot nanar
sembari sibuk mengatur degub jantung satu dan lainnya.
Tita menghela
nafas panjang, ia memutuskan untuk memulai pembicaraan duluan, “Nish, saya ini
perempuan, perasaannya peka, kamu ga perlu bilang blak-blakan tentang isi hati
kamu pun dari jauh-jauh hari sudah bisa saya rasa,” Tita menyelesaikan kalimat
pembukanya itu dalam satu tarikan nafas, “Nish, saya gabisa menyalahkan
seseorang jatuh cinta dengan siapa, itu hak semua orang, cinta juga memang
gabisa memilih mau diletakkan dimana,” sorot mata Denish semakin mengkungkung
kedua bola mata Tita dengan tajam, “tapi Nish, saya risih sekali dengan sikap
kamu yang menunjukkan terang-terangan perasaan kamu ke saya. Bagaimanapun saya
punya pacar Nish, kamu tahu kan?”
“Cinta itu
begitu, Ta. Dia memang sulit disembunyikan. Sepintar-pintarnya kita menutupi,
pasti terlihat juga,” potong Denish cepat, “dan saya memang gabisa
menyembunyikan perasaan saya.”
Tita menundukkan
kepalanya, matanya menatap lantai keramik kehijauan dibawah kakinya, diaturnya
tarikan nafas sedemikian rupa. Sementara itu di hadapannya, Denish sibuk
merangkum semua kejadian itu kedalam kepalanya, sungguh tangannya begitu ingin
melompat, memeluk Tita erat, namun yang terjadi hanyalah tangannya kaku, meraba
angin yang sibuk hilir mudik disekitar mereka.
Tita mendongak
tiba-tiba, “kalau gitu, saya dan kamu lebih baik jauh saja ya, Nish. Supaya
aman, supaya tidak ada yang risih dan tidak ada yang harus menahan diri. Biar
tidak ada yang terluka.”
Mata Denish
kontan membulat terkejut, “Ta, kamu ini kenapa?”
“Nish, kamu yang
kenapa? Kenapa kamu begini ke saya? Apa kamu gabisa jatuh cinta sama orang lain
saja?”
“Kalau saya bisa
jatuh cinta sama orang lain, hal itu sudah saya lakukan dari kemarin-kemarin
tanpa kamu suruh, Ta. Tapi hati saya memilih kamu.”
“Nish,” Tita
menggenggam tangan Denish erat, “sudah ya, ini terakhir. Saya gamau menyakiti
siapa-siapa. Saya juga mau menyamankan diri saya. Siang ini akan saya ajukan
pindah divisi.”
Melihat
kesungguhan begitu berbinar di kedua mata Tita, Denish tak tahu lagi harus
berkata apa, semua kalimat di kerongkongannya tertelan sia-sia. Ia mau tak mau,
ikhlas tak ikhlas harus merelakan Tita tuk pergi darinya.
¤¤¤
Seminggu
berlalu, setelah pengajuan pindah divisinya disetujui, pagi ini Tita datang ke
kantor lebih dini demi membereskan barang-barangnya dan mengangkut semuanya ke
ruangannya yang baru dilantai dua. Dengan cekatan, ia menumpuk berkas-berkasnya
ke dalam kardus, juga beberapa pernak-pernik kecil seperti pot bunga mini
penghias meja kerja serta beberapa pigura foto berisi potret dirinya.
Hanya butuh
waktu tiga puluh menit bagi Tita untuk mengemasi seluruh barangnya, dengan
hati-hati dibawanya satu kardus berukuran sedang ditangan kiri sedangkan tangan
kanannya sibuk membawa alat-alat tulis serta tas jinjing miliknya. Tita baru
dua langkah keluar dari kubikelnya ketika mendapati Denish baru saja memasuki
ruangan. Hening, sepasang manusia itu saling bertumbuk tatap selama sedetik
untuk kemudian saling membuang pandangan, tak ada senyum, tak ada lagi sapa
hangat. Tita memutuskan untuk mendinginkan sikapnya, sementara Denish sibuk
mendinginkan hatinya. Tita berusaha mati-matian menahan rasa canggungnya
sementara Denish berusaha mati-matian menahan buncahan cintanya setiap kali
melihat Tita. Tita sibuk bersembunyi dibalik benteng pertahanan harga diri,
sementara Denish sibuk bersembunyi dibalik rasa sakitnya melihat Tita hendak
pergi.
Tita berjalan
santai, berpapasan dengan Denish yang berjalan menuju kubikelnya bagai dua
angin dari arah berbeda yang tak pernah nampak di udara. Tita tahu Denish
terluka, namun Denish tahu Tita tak perduli.
¤¤¤
Malam itu setiap
sudut kota nampak riuh dengan gemerlap lampu yang berjejer di tiang-tiang
sepanjang jalan. Terdengar bising gendang yang berlomba saling tabuh dari
seluruh penjuru. Kembang api pun nampak silih berganti menghiasi pekatnya
langit dari selatan hingga utara. Tita memandangi pemandangan itu dengan takjub
dan kemudian teringat hari ini adalah hari perayaan ulang tahun kota tempat ia
bekerja. Dilangkahkannya kaki perlahan, menyusuri pinggiran trotoar yang
dijejali dengan pedagang makanan kaki lima. Jarak indekos dan kantornya yang
hanya dipisahkan dua jalan utama membuat Tita memang selalu berjalan kaki
setiap berangkat dan pulang kerja.
Malam yang
terlalu indah untuk dilewatkan dengan pulang cepat, sehingga Tita pun memilih
duduk di salah satu kursi taman kota. Menengadahkan pandangannya keatas,
memandangi pijar kembang api yang bersahut-sahutan sedari tadi. Dirapatkannya
jaket yang ia kenakan setiap kali terasa angin kota mulai membuatnya menggigil
kedinginan.
Sementara di
sudut lain taman kota, dibalik tiang dengan lampu yang temaram, sepasang mata
sibuk melahap dengan rakusnya pemandangan yang malam ini Tuhan sajikan
untuknya. Sepasang mata milik Denish itu tak berkedip memandangi Tita yang kini
dengan sumringah sibuk mengambil beberapa video kembang api dari kamera ponsel
sembari meneguk air putih kemasan dengan bergelegak. Denish termangu, hatinya
nyaris ingin keluar menembus dada sebab tak tahan dengan bendungan perasaan
yang ada. Denish tak bisa menggapainya, menyentuhnya, namun melihatnya saja
sudah lebih dari cukup. Baginya Tita adalah injeksi semangat yang harus ia isi
setiap hari, yang tak cukup ia lihat hanya sekali.
Satu jam
berlalu, waktu terasa melambat. Tita masih duduk disana, termangu, melamun,
pandangannya kosong, sementara Denish masih memandangi dari jauh, memperhatikan
setiap detail gerakan Tita dengan seksama, seolah semua takkan terulang kedua
kalinya. Hingga tiba-tiba Tita limbung, tubuhnya merosot dari kursi taman. Denish
dengan tergopoh menghampiri, membopong tubuh Tita dan menidurkannya di kursi
taman. Sementara kerumunan disekeliling Tita dan Denish mulai menumpuk, ada
yang sungguhan hendak membantu dengan mengeluarkan minyak angin, namun lebih
banyak yang sekadar menontoni saja lalu pergi.
Tita sadar beberapa
menit kemudian, matanya mengerjap pelan, menelisik wajah Denish yang berada
tepat di hadapannya memandang Tita dengan sorot cemas. Kerumunan mulai menyepi,
hingga tersisa Denish disisi Tita.
“Ta, kamu
kenapa?” tanyanya segera.
Tita memijit
pelipisnya pelan, “saya telat makan, asam lambung saya sepertinya naik, perut
saya sakit.”
“Kalau gitu kita
ke dokter ya.”
“Engga, ga
usah,” sergah Tita cepat, “saya cuma butuh tidur dan istirahat.” Tita berusaha
duduk dengan tertatih, “saya mau pulang,” dijinjingnya tas tangan yang ia bawa
kemudian mencoba bangkit berdiri, namun pandangan matanya kembali mengabur,
Tita limbung kembali.
Denish dengan
sigap menahan tubuh Tita, “saya anterin pulang ya naik mobil saya, kamu tunggu
disini, saya ambil mobil saya dulu di parkiran,” Denish mendudukkan tubuh Tita
di bangku taman dan semenit kemudian kembali dengan mobil yang disetirinya.
Dipapahnya tubuh Tita duduk di kursi penumpang depan. Mobil itu pun pelan
melaju, membelah keheningan malam yang mulai melarut.
Baru beberapa
detik melaju, keheningan antara Tita dan Denish pecah dengan dering ponsel Tita
yang begitu nyaring. Tita yang duduk dengan mata terpejam, menatap layar
ponselnya dengan mata yang disipit-sipitkan, menelisik nama yang terpampang
disana. Kemudian, senyum kecil terulas di wajahnya yang lemah.
“Halo, iya
sayang.”
Denish nyaris
goyah dalam kendali setirnya mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Tita.
Tanpa dijelaskan ia sudah tahu siapa diujung telepon itu. Denish memilih diam,
didengarkannya percakapan sepasang kekasih itu baik-baik.
“Iya sayang, ini
aku lagi dijalan pulang sama temen… apa? Engga kok temen kerja aja… iya aku
sehat sudah makan,” Tita terkekeh kecil, menyembunyikan keadaan tubuhnya yang
sebenarnya sedang tidak baik, “gimana?... kamu besok mau kesini?... loh
biasanya awal bulan, ada apa?... mau ngomong penting apa, sayang? Ngomong aja
sekarang,” Denish semakin serius mendengarkan, dilajukannya mobil itu
pelan-pelan, sebab beberapa ratus meter lagi indekos Tita sudah didepan mata,
rasanya ia tak ingin lekas sampai. “Penting banget? Tentang apa?... oh iya iya
yaudah aku tunggu besok ya, kabari kalau sudah sampai terminal… iya, sayang.
See ya.” Sambungan telepon pun dimatikan. Tita membisu seperti sebelumnya,
matanya sengaja ia pejamkan, tak ingin membuka pembicaraan. Ia justru begitu
ingin segera keluar dari keadaan ini.
Mobil pun
berhenti tepat di depan gerbang indekos berwarna ungu itu, Tita membuka
matanya, tersenyum tulus pada Denish, senyum yang terasa ganjil mengingat sudah
dua minggu ia tak melakukan hal itu dan lebih memilih mengangap Denish tak ada
ketika berada disekitarnya. “Terimakasih, Nish, aku turun ya.”
Denish dengan
cepat meraih tangan Tita yang hendak membuka pintu mobil, Tita menoleh, mata
mereka beradu tatap, “Ta, cepet sembuh ya,” nada suara Denish nampak cemas
bercampur tulus.
Tita mengangguk
dan tersenyum lagi, tubuhnya begitu sudah tak sabar ingin beranjak pergi, “iya,
hati-hati pulangnya,” dengan cepat kemudian ia membuka pintu mobil lalu berlari
menghilang dibalik gerbang meninggalkan Denish yang masih termangu menatap
punggung Tita menghilang dengan sejuta debar yang ia genggam dilengkapi dengan
potongan-potongan percakapan Tita dan Abad yang membuat hatinya lebam.
TRAGEDI
Usai sambungan
teleponnya dengan Tita terputus, Abad termenung, mencoba mensingkronkan logika
dan hatinya demi memantapkan dirinya untuk kembali mencintai Tita seutuhnya, ia
harus mencoba, pikirnya. Meski tak dapat dipungkiri hatinya separuh lebih sudah
terisi dengan Kala, dan hanya sedikit tempat tersisa untuk Tita.
Tapi tidak, mulai
malam ini Abad sadar bahwa ia harus kembali pada titik semula. Pada tempat
dimana ia berpijak sedari awal. Kala mungkin hanyalah godaan, yang harus ia
lewati sebagai rintangan dalam hubungannya bersama Tita. Abad memejamkan mata,
memaksa keras melawan kata hatinya, kini ia tahu ia harus mengikuti isi kepala.
Hatinya harus tunduk dan yakin bahwa Tita adalah yang terbaik. Bagaimanapun ia
pasti bisa mencintai Tita kembali.
Debaran itu
mulai reda, perlahan seiring udara malam yang semakin mendingin, Abad merasakan
rindu itu menyusup dengan sendirinya. Ia rindu, rindu pada Tita. Begitu tak
sabar ingin menyambangi Tita di pulau seberang ketika hari esok tiba.
¤¤¤
Keesokan harinya
Tita memutuskan untuk tidak bekerja, tubuhnya terlalu lemah. Pagi sekali Tita
memutuskan untuk pergi ke dokter di dekat indekosnya, seorang diri menggunakan
mobil taksi online. Sepulangnya dari dokter, Tita memilih untuk merebahkan
tubuhnya sepanjang hari diatas kasur. Memakan bubur yang ia beli satu dua
sendok, meminum obat, kemudian tidur, satu dua jam kemudian mencoba melahap
lagi bubur itu satu dua sendok kemudian tidur kembali, begitu sepanjang hari,
hingga petang datang.
Tita terbangun
setelah sesi tidur kesekian kali yang ia alami hari ini. Diliriknya jam dinding
yang menunjukkan pukul lima sore. Tubuhnya terasa mulai membaik. Sedikit-sedikit
tenaganya kembali. Ia memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya, hendak ke kamar
mandi. Tepat ketika Tita baru saja hendak membuka kenop pintu kamar mandinya,
terdengar ketukan di depan pintu indekosnya. Seperti aliran listrik yang
mengejutkan sekaligus menyegarkan, Tita kegirangan sendiri mendengar pintu yang
nyaris tak pernah terketuk itu berbunyi, pasti Abad, pikirnya. Tita bergegas
memutar tubuhnya, dengan girang membuka kenop pintu utama kamarnya, hatinya
membuncah, tangannya sudah tak sabar menggapai tubuh Abad kemudian memeluknya,
ia rindu, sungguh.
“Titania…”
Senyum di wajah
Tita sekejap sirna, buncahan didadanya redam seketika, sosok yang berada
dibalik pintu itu, bukanlah sosok yang diharapkannya.
“Denish, kamu
ngapain kesini?” Tita bertanya terheran-heran, tubuhnya terasa lemas
berkali-kali lipat. Sungguh kehadiran Denish membuat kepalanya terasa begitu
nyeri disana-sini. Matanya menatap mata Denish dengan nanar.
Denish menggaruk
kepalanya, kebingungan harus menjawab apa, “gini… mmm… saya khawatir sama kamu,
apalagi saya dengar dari teman seruangan kamu, kamu ga masuk. Jadi saya mau
jenguk kamu… ini saya bawain buah sama susu.” Denish menyorongkan bungkusan plastik
besar yang ia bawa tepat di depan wajah Tita. Tita beringsut mundur dua
langkah, kemudian spontan tertunduk lesu.
Seperti biasa,
dengan sikap tenangnya, Tita mulai meladeni Denish, “Nish, saya sangat
berterimakasih atas semua perhatian kamu. Tapi kamu tahu kan saya sudah gabisa
lagi Nish menerima semua perhatian ini,” Tita menatap Denish lembut,
menenangkan, “Nish, saya sehat kok, cuma perlu istirahat jadi kamu jangan
khawatir ya,” Tita memundurkan tangan Denish yang sedari tadi masih menyodorkan
plastik berisi buah serta susu itu ke hadapannya, “sudah ya Nish kamu pulang
saja, hati-hati dijalan ya.” Tita tersenyum, tulus sekali. Dalam hatinya ia
begitu iba melihat Denish yang mengemis cintanya, namun di sisi lain ia tak
sanggup jika harus terus meladeni Denish dan berujung pada ketidaknyamanan atas
dirinya sendiri.
Denish terdiam,
penolakan demi penolakan Tita yang ia terima secara beruntut membuat tubuhnya
terasa ingin meledak. Spontan, dalam hitungan seperempat detik, Denish
merengkuh tubuh mungil dihadapannya itu, dipeluknya erat, tak disisakan celah
untuk lepas. “Ta, saya sayang kamu. Sejak pertama kali kita bertemu, saya sudah
jatuh hati dan saya jatuh semakin dalam dari hari ke hari.”
Tita yang tak
bisa lagi meronta hanya mampu mendengarkan kalimat demi kalimat yang Denish
lontarkan sembari memeluknya.
”Semua yang ada
di diri kamu begitu mempesona dimata saya. Saya ingin memiliki kamu, Ta.”
Hening beberapa
detik, Denish semakin mempererat pelukannya, merasakan jantungnya begitu dekat
dengan jantung Tita. Rasa hangat merangkak naik dari ujung kaki hingga ujung
kepalanya. Denish tak pernah sedamai ini. Sungguh…
Sementara itu
Tita terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Ada dorongan dalam dirinya untuk
membiarkan Denish memeluknya sebentar saja. Entah karena rasa iba, entah karena
Tita tak punya pilihan lain di dalam kepalanya.
“Tita!” sebuah
suara menggelegar dengan emosi membuncah terdengar dari arah gerbang indekos. Terkejut,
Denish melepas pelukannya pada Tita, kompak mata mereka menuju sumber suara,
demi kemudian sepasang manusia itu terkejut mendapati siapa yang tengah berdiri
dihadapan mereka.
¤¤¤
Matahari mulai
menanjak naik ketika Abad bergegas berangkat menuju ke bandara dengan diantar oleh
Pak Guntur. Pesawatnya dijadwalkan akan berangkat pukul satu siang dan akan
tiba di bandara terdekat dari kota Tita pada pukul tiga sore. Dari bandara Abad harus
menempuh satu jam lagi perjalanan menggunakan bis hingga akhirnya tiba di
terminal kota tempat Tita bekerja. Dari terminal biasanya Tita akan menjemput
menggunakan taksi online.
Selesai check-in,
Abad bergegas naik ke ruang tunggu di lantai dua. Ia membuka ponsel, mencoba
menghubungi Tita namun tak berhasil tersambung. Mungkin Tita sedang sibuk bekerja,
pikirnya.
Abad bersandar
penuh pada sofa yang ia duduki, matanya menerawang pada pemandangan diluar
bandara, direnungkannya pelan susunan kata demi kata yang akan ia ucapkan pada
Tita di pertemuan mereka hari ini. Abad sudah bertekad akan jujur tentang Kala,
Abad akan menceritakan semuanya dan akan meminta maaf pada Tita atas kekhilafan
yang ia lakukan. Abad tahu Tita bukanlah seorang pemarah, ia adalah pemaaf yang
ulung, pengendali emosi yang hebat, penenang yang luar biasa. Perasaan Tita
sangatlah halus, oleh sebab itu Abad harus hati-hati menyusun kalimat demi
kalimat yang akan ia ucapkan agar tak membuat Tita terluka. Dan sesudah ini
Abad berjanji, takkan ada lagi wanita selain Tita dihidupnya, takkan lagi ia
mengizinkan seorangpun masuk ke hatinya tiba-tiba. Ia berjanji akan mencintai
Tita seutuh-utuhnya.
¤¤¤
Abad tiba di terminal
kota Tita pukul setengah lima sore. Matahari begitu terik menyorot bumi sore
itu, membuat keringat mulai membasahi wajah dan tubuh Abad. Sambil duduk di
salah satu pojok terminal, tepat di deretan warung-warung makan berjejeran, terus
ia coba menghubungi Tita yang masih juga belum tersambung nomor teleponnya. Abad
mulai kebingungan sendiri.
Akhirnya setelah
menyerah menghubungi Tita, Abad berinisiatif memesan taksi online dan menuju
indekos Tita seorang diri. Menyambangi Tita di kantornya hanya akan membuat
Abad merasa asing ditengah hiruk pikuk pekerja, oleh sebab itu menunggu Tita
pulang dari kerja di indekosnya saja adalah keputusan yang Abad pilih.
Abad menghela
nafas panjang, ransel dipunggungnya mulai terasa berat, punggungnya mulai
terasa sakit, ia mulai lelah.
Setengah jam
kemudian taksi online itu berhenti di depan sebuah gerbang berwarna ungu dengan
deretan kamar-kamar indekos yang berjejer rapi di dalamnya. Abad turun, dan
dengan tenaga yang tersisa membuka pintu gerbang indekos Tita demi sedetik
kemudian terkejut melihat pemandangan yang tersaji dihadapannya.
bersambung...
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar