“Eri
mana Bun?”
“Pergi
tadi sama Ryzky.”
“Belum
pulang?”
Bunda
menggeleng jengkel. “Ya belumlah Yah. Ayah liat aja, gak ada Eri ‘kan dimeja
makan ini?”
Ayah
menyendok sesuap nasi kedalam mulutnya. “Emang pergi kemana sih Bun?”
“Katanya
mau beli sandal tadi, tapi sekalian tahun baruan mungkin makanya pulangnya agak
malem.”
Ayah
mengerutkan dahinya. “Emang Eri hapal Bandarlampung ya Bun?”
Deg!
Seketika itu Bunda berhenti menyuapkan sendok demi sendok nasi kedalam
mulutnya. Benar kata Ayah, Eri belum hapal Bandarlampung. Tapi Bunda tetap
bersikap tenang, toh ada Ryzky, pikirnya.
“Sudahlah
Yah, Eri ‘kan sudah besar. Toh ada Ryzky yang menjaga Eri,” Bunda meneguk
segelas air putih yang ada dihadapannya. “Oh ya, gimana kalo nanti malem kita
ajak aja Tante sama Om nya Ryzky buat gabung di acara bakar jagung kita Yah?”
* * * * * * * *
Eri
mengetuk-ngetuk piringnya dengan menggunakan sendok. Rasa gondok masih belum
hilang dihatinya.
“Kita
udah capek-capek kerja masak cuma dibayar dua piring nasi sih, Ki?” Eri menatap
Ryzky tajam. “Gak dibayar uang juga apa?”
Ryzky
menggidikkan bahu. “Sudahlah Ri, terima aja. Dari pada gak makan sama sekali.”
Eri
menghela nafas berat, memandangi sepiring nasi lengkap dengan rendang dan ayam goreng
dihadapannya. “Huh! Kalo makan doang, gimana kita bisa pulang coba?”
Ryzky
meneguk teh hangat yang memang disajikan sebagai pendamping dari sepiring nasi
gratisannya ini. “Udah ah jangan ngomel mulu. Bawel amat!” Ryzky lama-lama
kesal juga mendengar Eri yang terus menggerutu sedari-tadi.
”Emang
tadi Si Andi-Andi itu ngomong apa aja sama lo Ki diruangannya?”
Ryzky
diam dan berhenti mengunyah, lalu mulai bersuara lagi setelah beberapa detik
berikutnya. “Yaaa dia ngomong kalo dia cuma bisa bayar kita pake dua piring
nasi ini, gak lebih,” Ryzky mulai mengunyah lagi. “Bisa ‘kan acara protesnya
berhenti dulu. Mending lo makan.”
Eri
menekuk wajahnya. Sialan! Tampang dan kelakuan sih boleh baik. Tapi pelitnya
minta ampun! Rutuk Eri dalam hatinya, yang tertuju untuk Andi.
* * * * * * * *
“Halo?”
“Selamat
malam Jeng Lina. Ini saya Jeng Vani.”
Wajah
Tante Lina langsung sumringah, mengetahui yang menelepon adalah Bundanya Eri.
“Ada apa Jeng?”
“Ini
loh, dirumah nanti malam sekitar jam 9, mau ada acara bakar jagung
kecil-kecilan, buat ngerayain pergantian tahun. Saya mau mengundang Jeng ikut.”
Tante
Lina tertawa kecil. “Oh iya-iya pasti saya ikut. Saya ajak suami saya juga.”
“Oh
tentu dong Jeng, makin rame yang ikut makin seru. Kalo gitu sampai ketemu jam 9
nanti lagi ya Jeng.”
Begitu
Bunda memutuskan sambungan telepon, Tante Lina juga menutup teleponnya.
“Siapa
Ma?” Tanya Om Bagus, suami Tante Lina. Tante Lina memang hanya tinggal berdua
bersama suaminya di Bandarlampung. Mereka sebenarnya mempunyai dua anak, tetapi
kedua anak mereka yang bernama Dimas dan Wahyu sedang melanjutkan pendidikan di
Singapura. Mereka disana tinggal bersama Om Brian, adik dari Om bagus. Disana
Dimas menempuh pendidikan S1 sedangkan Wahyu masih melanjutkan sekolah dibangku
SMA.
“Itu
Bu Vani,”
Om
bagus mengernyitkan dahinya. “Bu Vani yang rumahnya didepan masjid?”
“Iya.
Dia mau ngajak kita ke acara bakar jagung dirumahnya nanti jam 9 malam.”
Om
Bagus langsung menyunggingkan senyum termanisnya. “Waaah, enak dong! Kita bisa
sekalian ajak Ryzky. Kasian dia, selama di Bandarlampung belum pernah
jalan-jalan karena kakinya sakit.”
“Kata
siapa gak pernah jalan-jalan?” Tante Lina menunjukkan ekspresi meremehkan
kepada suaminya. “Buktinya dia sekarang belum pulang kok. Lagi pergi sama Eri.”
“Pergi
kemana?”
“Katanya
sih tadi mau beli sandal sama Eri ke bambu kuning tapi belum pulang juga.
Mungkin sekalian tahun baruan kali makanya pulangnya malam.”
Dweng! Bak pinang dibelah dua. Perkataan Tante Lina barusan sangat mirip dengan perkataan Bunda Eri saat ditanya suaminya tadi.
Dweng! Bak pinang dibelah dua. Perkataan Tante Lina barusan sangat mirip dengan perkataan Bunda Eri saat ditanya suaminya tadi.
Sepertinya
malam akan berjalan panjang bagi Eri dan Ryzky diluar sana. Karena tak ada
satupun keluarga mereka yang khawatir dan berminat untuk mencari. Semua orang
berpikir Ryzky dan Eri sedang tahun baruan makanya pulang malam. Seandainya
mereka tahu, apa yang terjadi sebenarnya…
* * * * * * * *
“Ki!
Gue ngantuk!”
Eri
berhenti berjalan dan duduk disalah satu pos satpam yang kosong dipinggir jalan.
“Hmm.
Mau tidur?”
Eri
memeluk lututnya. “Percuma juga ‘kan Ki kalo kita terus jalan tapi gak tahu mau
kemana??? Kita tetap gak akan bisa pulang!!!” Eri berkoar penuh emosi
menumpahkan semua kekesalannya.
“Tapi
Ri siapa tahu..,”
“Udahlah!
Lo pasti mau bilang ‘siapa tahu kita ketemu jalan pulang yang benar dan bisa
sampai rumah’, iya ‘kan?” mata Eri basah dengan air mata. Kekesalan didirinya
sudah tak bsa ditahan lagi. Sedari tadi Ryzky hanya terus mengatakan bahwa
mereka pasti bisa menemukan jalan pulang jika Eri mengeluh. Tapi apa buktinya
sekarang??? Jangankan pulang, Eri pun tak tahu ia ada dimana sekarang. Semua
perkataan Ryzky adalah nihil diotaknya.
“Maafin
gue Ri.” Ryzky memeluk Eri.
Eri
menyanggah dengan cepat pelukan Ryzky. “Gue bakal maafin lo kalo lo bisa bawa
gue pulang!” Eri menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
Ryzky
mendelik pada jam tangannya. Jam 9 malam. “Benar Ri. Ini udah malam, seharusnya
kita pulang sekarang.”
Eri
tak menjawab, hanya bisa meringkuk diatas kursi kayu tua yang ada di pos satpam
itu sambil menelungkupkan kepalanya diatas meja kayu yang sudah tua pula.
Sementara
Ryzky hanya diam bergeming sambil
berdiri melipat tangannya didepan dada. Ia juga ikut bingung harus seperti apa
sekarang. Setelah hampir satu-setengah jam berjalan tanpa arah, ia dan Eri
belum menemukan jalan pulang juga.
Ryzky
menghentak kakinya kesal, harus bagaimana sekarang?
* * * * * * * *
Eri
terbangun tiba-tiba saat mendengar suara dentuman yang sangat keras. Ia menatap
Ryzky yang tertidur dengan posisi duduk menyender pada dinding pos satpam
dengan iba. Kasihan Ryzky karena Eri memarahinya tadi.
Dummmm! Suara dentuman
keras itu kembali terdengar, Eri berjalan kepinggir pos satpam, matanya
menengadah kelangit. “Kembang api!” desis Eri kagum saat mengetahui dentuman
itu berasal dari kembang api yang tengah berkilauan diatas langit itu.
Eri
hampir lupa, ini ‘kan malam tahun baru, pantas saja banyak kembang api
berkeliaran dilangit malam ini. Eri melihat jam tangannya. Jam setengah sebelas
rupanya.
“Suka
sama kembang api?” Eri menoleh kebelakangnya dan Ryzky sudah berdiri tegak
disana dengan tangan yang masuk kedalam saku celana.
Eri
mengangguk. “Kok bangun?”
“Gimana
mau tidur kalo banyak bunyi kembang api
disini?” Ryzky berdiri disamping Eri, matanya ikut menengadah kelangit,
memandangi kembang api yang indah itu.
“Kita
jalan lagi yuk!”
Ryzky
tersentak. “Serius?! Bukannya tadi lo..,”
“Udah ah! Jangan dibahas. Gue lagi mood mau jalan lagi nih.” Eri menghela nafasnya dalam. “Gue pengen coba menikmati malam pergantian tahun ditengah ketersesatan yang gak jelas kapan ujungnya ini.”
“Udah ah! Jangan dibahas. Gue lagi mood mau jalan lagi nih.” Eri menghela nafasnya dalam. “Gue pengen coba menikmati malam pergantian tahun ditengah ketersesatan yang gak jelas kapan ujungnya ini.”
“…”
“Dan
gue janji ini adalah malam pergantian
tahun yang gak akan pernah gue lupain seumur hidup gue.” Eri menatap Ryzky.
“Ayo jalan!”
Ryzky
yang sempat membatu akhirnya mengikuti
Eri berjalan juga. “Akhirnya lo bisa terima semua keadaan kita Ri.”
Eri
tertawa kecil. “Gue harus bisa berpikir dewasa. Dan soal tadi, gue minta maaf
ya, karena gue udah marah-marah sama lo, gue cuma lagi kesel aja tadi.”
Ryzky
mengacak-acak rambut Eri. “Iya gapapa.”
Eri
dan Ryzky menikmati perjalanan tak berarah yang mereka alami, dengan ditemani
bunyi berdentum dari kembang api yang saling susul-menyusul. Kilatan cahanya
dari kembang api pun menambah semarak “jalan-jalan malam” mereka. Eri sesekali
melirik iri pada orang-orang yang berlalu-lalang dijalan raya. Mereka tampak
bahagia menikmati hiruk-pikuk perayaan pergantian tahun di Bandarlampung. Sedangkan
Eri? Memang dia bahagia bisa menikmati perayaan pergantian tahun dengan cara yang
unik dan mungkin bisa dibilang satu-satunya ini. Tapi kalau cara “unik dan
satu-satunya” itu harus seperti ini, rasanya Eri lebih baik merayakan
pergantian tahun dengan tidur sepanjang malam dirumah.
Duk! “Aww!” Eri terduduk kesakitan
memegangi mata kakinya.
Ryzky
yang berjalan didepan Eri kontan menoleh kebelakang. “Ri? Elo kenapa?” Ryzky
mendekati Eri.
“Sandal
jepit butut gue putus.” Jawab Eri pendek namun tak bisa menyembunyikan rasa
kesalnya.
“Masih
mau jalan?”
Eri
mengangguk. “Kenapa mesti berhenti?! Gue masih bisa jalan kok walaupun tanpa
sandal.” Eri berdiri mantap dan siap
berjalan.
“Jangan
Ri, entar telapak kaki lo malah sakit kalo nggak pake alas kaki. Sini gue
gendong.”
Eri
berhasil melongo dengan sukses mendengar penawaran Ryzky barusan. Dia bilang
apa?! Dia mau gendong Eri!
“Tapi
‘kan kaki lo masih sakit Ki.”
Ryzky
menggeleng. “Nggak sakit lagi kok. Buktinya gue kuat jalan kaki dari tadi ‘kan?!”
Ryzky berjongkok, bersiap menggendong Eri. “Ayo cepetan naik!”
Eri
menurut, lalu naik ke punggung Ryzky, melingkarkan tangannya dileher Ryzky,
sedangkan kakinya melingkar dipinggang Ryzky, walaupun sebenarnya Eri masih
ragu. Entar badan Ryzky bisa remuk lagi kalau menggendong Eri. Berat Eri ‘kan
50 kilogram. Emang Ryzky kuat?!
“Siap
ya?! Satu-dua-tiga.” Ryzky berdiri dengan Eri yang menggelayut dipunggungya.
“Lo
beneran gapapa Ki?”
“Nggak
tenang aja.” Ryzky mulai berjalan dengan PeDe. Padahal Eri sudah malu setengah
mati, karena banyak orang yang melirik kearah mereka seolah mereka adalah
pasangan kumpul kebo yang sudah lama jadi incaran polisi.
“Ngg,
Ki?”
“Udah
jangan malu. Toh kita bukan berniat macam-macam ‘kan?” ucap Ryzky seperti bisa
membaca pikiran Eri.
Eri
diam dan lebih memilih untuk menuruti omongan Ryzky. Ia menenggelamkan wajahnya
dipunggung Ryzky, jujur saja hangat rasanya jika seperti ini.
“Ri?”
“Mmm.”
“Lihat
gih kedepan!”
Eri
mengangkat wajahnya dan mengarahkan pandangannya kedepan. “Kiii… Itu Saburai ‘kan?”
Tanya Eri antara tak mengerti dan kagum luar biasa.
“Iya.
Mau kesana? Kayaknya disana lagi ada acara perayaan tahun baru.”
“Mau
Ki.. Untuk sekali ini, gue bakal bilang gue gak nyesel kesasar sama lo.” Seru
Eri semangat seperti anak kecil yang baru menemukan gudang yang berisi ribuan
permen.
Ryzky
berlari kecil, membuat tubuh Eri ikut terguncang. “Pelan-pelan!”
“Sebodo!
Biar cepet nyampenya.” Ryzky justru makin mempercepat langkahnya. Membuat Eri
memukul-mukul punggung Ryzky gemas.
“Turun!”
perintah Ryzky saat mereka telah berada dikerumunan khalayak ramai yang ada di
lapangan Saburai. “Duduk disitu aja, Ri.” Ryzky menunjuk sebuah bangku kayu
kosong yang ada dipinggir lapangan.
Eri
menurut dan bergegas turun dari punggung Ryzky dan duduk disana.”Capek!” keluh
Eri.
Ryzky
melirik Eri keki setengah mati. “Seharusnya gue yang bilang kayak gitu.”
“Katanya
tadi nggak bakalan capek.”
Ryzky
terkekeh. “Iya deh. Bercanda Ri. Gue emang gak capek kok.”
Duummm! Suara dentuman
kembang api terdengar lagi disusul dengan kilatan cahaya warna-warni dilangit.
Eri berdecak kagum. “Seumur-umur gue di Bandarlampung, gue belum pernah kayak
gini. Kalo tahun baru paling Ayah Bunda ngajak gue makan di restoran atau
ngadain acara bakar jagung dirumah.” Cerita Eri singkat.
“Elo
sih mending,” Ryzky menatap langit yang masih dipenuhi cahaya kembang api. “Selama
gue di Jakarta gue nggak pernah keluar setiap malam pergantian tahun.”
Eri menoleh dengan kening yang berkerut. “Kenapa? Bukannya seru banget perayaan di Jakarta.”
Eri menoleh dengan kening yang berkerut. “Kenapa? Bukannya seru banget perayaan di Jakarta.”
“Emang
seru, tapi macet.” Ryzky senyum-senyum gak penting.
“…”
“Jadi
kalo perayaan tahun baru gue bikin acara dirumah aja.”
“…”
“Acaranya
tuh kayak ngumpul sama keluarga, bikin pesta kecil-kecilan.”
“…”
Ryzky
menoleh kesal, karena sedari tadi perkataannya tak ditanggapi Eri. “Ri? Ehh..”
Ryzky urung menyemprot Eri, begitu melihat mata Eri sedang tak berkedip
memandangi puluhan kembang api yang berkilauan dilangit. Rupanya Eri tak
memperhatikan Ryzky berbicara karena sedang memeperhatikan kembang api diatas
sana.
Ryzky
menyentuh pundak Eri perlahan. “Ri?”
Eri
menoleh. “Kenapa?”
“Sebenernya
dari tadi, gue pengen ngomong sesuatu.”
“Ngomong
aja!” kini mata Eri kembali tertuju pada kembang api yang barusan diluncurkan,
kembang api itu berwarna merah keemasan, membuat Eri takjub bukan main.
“Gue..,”
Ryzky meremas-remas tangannya sendiri. Tangannya terasa begitu dingin, karena
rasa nervous yang mengrogotinya. “Gue
nggak mau kita berteman lagi.”
Eri
menoleh cepat mendengar perkataan Ryzky barusan. Hatinya mencelos, apa dia gak
salah denger??
“Lo
bilang apa Ki?”
Ryzky
menghela nafasnya pelan mencoba tenang. “Gue nggak mau kita berteman lagi Ri!”
kini suara Ryzky sudah naik satu oktaf.
Eri
menatap Ryzky tak percaya. Ryzky ingin mereka berdua bermusuhan? Itukah mau
Ryzky?
“Apa
maksud lo Ki?” pelupuk mata Eri telah tergenang air mata. Ia tak percaya Ryzky
sanggup melakukan hal sekeji ini padanya.
Ryzky
mengulum senyumnya sambil mengacak rambut Eri. “Gue belum selesai ngomong Ri,
masih ada lanjutannya.”
“Lanjutan?”
Eri menyeka air matanya yang hampir jatuh.
Ryzky
menghela nafas panjang. “Gue emang nggak mau kita berteman lagi Ri. Tapi gue
mau status kita pacaran. Bukan sebagai teman,” Ryzky terkekeh. “Capek juga kali
sepuluh tahun cuma temenan doang sama lo.”
Mata
Eri membulat kaget. Ryzky suka padanya?! Temannya sedari kecil ini menyimpan
rasa padanya?! Ya tuhan!
Eri
menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal, salah tingkah. “Ngg.. Ngg..”
Ryzky
menggengam tangan Eri kuat, mencoba membuat Eri dapat merasakan kasih sayang
yang dimilikinya. Dan mata Ryzky yang menatap Eri itu, mata yang penuh dengan
harapan.
“I’ll be beside you when you need me.
Whatever if rain or storm came, I’ll promise, where are you go, my love will be
there. In here.” Ryzky menggenggam tangan Eri dan meletakkannya didada Eri,
tempat dimana hati Eri berada. “My love
saved here forever, ‘cause I love you,
Ri.”
Kalau
aja Eri adalah patung lilin, mungkin Eri sudah meleleh sekarang. “Ki, elo..,”
“Gue
udah nunggu saat seperti ini dari 10 tahun yang lalu. Gue selalu nunggu elo Ri
untuk bisa ngelakuin ini semua. Nggak pernah ada cewek yang bisa menyusup ke
hati gue selain elo..,”
“Dari sepuluh tahun yang lalu?” tebak Eri yang sepertinya memang tepat, karena Ryzky langsung menjawabnya dengan anggukan. “Lo mau nggak Ki, dengar pengakuan gue?”
“Dari sepuluh tahun yang lalu?” tebak Eri yang sepertinya memang tepat, karena Ryzky langsung menjawabnya dengan anggukan. “Lo mau nggak Ki, dengar pengakuan gue?”
“Pengakuan
apa?”
“Kalau sebenarnya, gue sama seperti lo. 10 tahun yang lalu saat kita pertama kali kenal, gue udah mulai ngerasa, ada yang spesial dalam diri lo. Yang buat gue nyaman ada didekat lo. Dan 8 tahun yang lalu saat lo pergi, hidup gue benar-benar hampa, Ki. Cuma ada kalung bunga mawar dari lo yang selalu nemenin gue kalo gue lagi kangen sama lo,” Eri menghela nafasnya lalu menatap Ryzky lurus-lurus. “Dan harus gue akui juga, nggak ada satupun cowok yang berhasil ngegantiin posisi lo dihati gue. Banyak cowok yang nyatain cinta sama gue, tapi demi lo, mereka semua gue tolak, karena gue mau nunggu lo Ki. Walaupun rasanya seperti orang bodoh, karena hanya menunggu seseorang yang nggak pasti dan entah dimana.”
“Kalau sebenarnya, gue sama seperti lo. 10 tahun yang lalu saat kita pertama kali kenal, gue udah mulai ngerasa, ada yang spesial dalam diri lo. Yang buat gue nyaman ada didekat lo. Dan 8 tahun yang lalu saat lo pergi, hidup gue benar-benar hampa, Ki. Cuma ada kalung bunga mawar dari lo yang selalu nemenin gue kalo gue lagi kangen sama lo,” Eri menghela nafasnya lalu menatap Ryzky lurus-lurus. “Dan harus gue akui juga, nggak ada satupun cowok yang berhasil ngegantiin posisi lo dihati gue. Banyak cowok yang nyatain cinta sama gue, tapi demi lo, mereka semua gue tolak, karena gue mau nunggu lo Ki. Walaupun rasanya seperti orang bodoh, karena hanya menunggu seseorang yang nggak pasti dan entah dimana.”
Ryzky
memeluk Eri hangat, tak peduli banyak pasang mata yang menatap ganjil kearah
mereka berdua. “Boleh gue nanya sekali lagi?”
Eri
mengangguk dalam pelukan Ryzky.
“Would you be mine?” Ryzky melepas
pelukannya dan menatap Eri lekat.
“Lima!”
teriakan orang-orang yang menghitung mundur detik-detik pergantian tahun
dilapangan Saburai mulai terdengar.
“Gue..,”
Eri menggigit bibir bawahnhya ragu.
“Empat!”
“Gue gak akan maksa lo, Ri.” Ryzky mengelus pundak Eri pelan.
“Gue gak akan maksa lo, Ri.” Ryzky mengelus pundak Eri pelan.
“Tiga!”
“Ki
gue..,” hitungan orang-orang itu terdengar seperti mendesak Eri untuk segera menjawab
pernyataan Ryzky dalam tiga detik. Padahal nyatanya itu adalah hitungan detik
pergantian tahun.
“Dua!”
“Apa
Ri?”
“Satu!”
“Gue mau jadi pacar lo Ki.”
“Gue mau jadi pacar lo Ki.”
Duuummm! Kembang api
kembali bermunculan dilangit malam yang indah, merayakan pergantian tahun yang
begitu meriah. Mengiringi kebahagiaan setiap insan manusia yang turut
merayakannya juga.
Kebahagiaan
yang juga dirasakan Eri dan Ryzky.
“Selamat
tahun baru Ki.” Eri tersenyum manis.
Ryzky
menggenggam tangan Eri dan menciumnya. “Selamat hari jadian kita Ri.” Balas
Ryzky, membuat Eri jadi salah tingkah sendiri.
Eri
melepas tangannya dari genggaman Ryzky
dan menatap kelangit luas. “Benar-benar pergantian tahun yang nggak akan bisa
dilupain.” Desisnya pelan.
“Lo
ngomong apa Ri barusan?”
“Ngg..
Nggak kok.”
“Mau
pulang Ri?”
Eri
menoleh ke Ryzky dengan alis bertaut. “Pulang? Emang lo tau jalannya?”
“Jangankan
jalan pulangnya, ongkos buat pulangnya gue juga ada kok.”
“Maksud
lo?” Tanya Eri semakin tak mengerti.
“Sebenarnya
Andi tadi nggak ngebayar kita dengan makanan aja, tapi dia bayar kita dengan
uang juga, tapi sengaja gue sumputin dari lo.”
Mata
Eri membelalak kesal, Ryzky tahu Eri pasti ingin memarahinya, oleh karena itu
sebelum itu terjadi Ryzky buru-buru melanjutkan omongannya. “Andi tadi cerita
sama gue diruangannya, kalo ada acara perayaan tahun baru di Saburai, makanya
lo gue bawa kesini. Gue pengen nyatain semuanya disini Ri. Dari tadi gue
sengaja ngebuat lo ngikutin gue jalan kaki sampe sini, gue awalnya sempet mikir
lo bakal protes kalo arah jalannya gue mulu yang nentuin, tapi ternyata gue
salah. Lo sama sekali gak sadar, kalo gue ngebawa lo kejalan menuju Saburai.”
“Jadi
lo emang udah tahu arah jalan dan tujuan kita tadi?”
Ryzky
mengangguk.
“Tunggu!
Lo ‘kan gak hapal..,”
“Gue dikasih tahu Andi jalan menuju kesini. Dan gue juga dikasih tahu jalan pulang ke Way Halim.”
“Gue dikasih tahu Andi jalan menuju kesini. Dan gue juga dikasih tahu jalan pulang ke Way Halim.”
Eri
meninju lengan Ryzky kesal. “Kok lo gak ngasih tahu gue tentang semua itu sih
Ki?”
“Karena
gue pikir, begitu lo tahu kita udah ada uang dan udah tahu jalan supaya bisa
pulang ke Way Halim lo pasti minta balik kerumah. Dengan naik taksi kek, atau
naik angkot kek, ya ‘kan? Kalo itu terjadi, semua rencana gue untuk nyatain
perasaan sama lo disini bakal gagal. Dan kalo itu terjadi, kita sekarang nggak
akan sebahagia ini ‘kan Ri?”
Eri
meninju lengan Ryzky sekali lagi. “Siapa bilang gue bahagia? Gue sebel tahu
sama lo.” Eri pasang aksi sok ngambek. Padahal hatinya berloncatan senang
mengetahui semua fakta yang dibeberkan Ryzky tadi. Aaah, kalo ternyata bakal
seindah ini terus. Eri pengen deh sering-sering kesasar bareng Ryzky.
* * * * * * * *
Ryzky
merogoh sakunya dan menyerahkan beberapa lembar uang lima-puluh-ribuan kepada
supir taksi.
“Kembalinya
untuk Bapak aja.” Sahut Ryzky dari luar mobil. Supir taksi itu pun langsung
melaju kencang membawa taksinya meninggalkan Eri dan Ryzky yang telah tiba di
Way Halim, tepatnya didepan rumah Eri. Untung tengah malam seperti ini masih
ada taksi, kalo nggak Ryzky sama Eri gak tahu deh mau pulang naik apa.
Ryzky
dan Eri kaget bukan main, mendapati Tante Lina, Om Bagus, Bunda dan Ayah ada
dihalaman rumah Eri. Mereka semua sedang baked
corns party.
“Eri?
Ryzky? Udah selesai ya tahun baruannya?” sambut Bunda dengan wajah ceria. Waah,
Bunda belum tahu aja nih. Memang benar Eri sama Ryzky tahun baruan, tapi
sebelumnya sempet kesasar dulu (Lebih tepatnya sih sengaja disasarin sama
Ryzky. Hehe)
Ryzky
dan Eri saling tukar pandang. “Cerita gak?” bisik Eri.
“Nggak
usah dulu Ri.”
“Eri,
Ryzky. Ayo sini!” panggil Tante Lina.
“Nih
jagung bakar buat kalian. Enak lho. Om sendiri yang bikin.” Sahut Om Bagus
bangga sambil menyarahkan dua tongkol jagung bakar yang sudah matang pada Eri
dan Ryzky.
“Makasih
Om,” Sambut Eri senang lalu dengan sigap melahap jagung bakar itu. “Mmm, enak
Om,” Puji Eri. “Iya ‘kan Ki?” Eri menyikut Ryzky yang berdiri disampingnya
dengan mulut yang penuh dengan jagung bakar.
Ryzky
hanya menjawabnya dengan mengacungkan jempol kanannya ke udara.
“Sst
Ki?”
Ryzky
menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Tanpa babibu lagi, Eri langsung
menggamit lengan Ryzky dan membawanya duduk dikursi yang ada diteras rumahnya.
“Duduk disini aja.”
“Kenapa
mesti duduk disini?”
“Nggak
bagus makan sambil berdiri.” Eri kembali
menggrogoti jagung bakar yang tadi sempat diangggurkannya untuk beberapa detik.
“Hahahaha. Bilang aja mau duduk berduaan sama gue, nggak
usah pake alasan ‘makan berdiri itu nggak bagus’ segala deh!” Ryzky menjawil
pipi Eri.
Puk! Eri menimpuk tongkol jagung
bakarnya yang telah habis kearah Ryzky. “Apa’an sih Ki! Reseh deh!”
* * * * * * * *
Beberapa
hari kemudian…
Ryzky
tak bisa menahan tawanya melihat Eri sedari tadi diciumi oleh Bundanya.
Pipi-kening-pipi-kening, Bunda bolak-balik menciumi kedua bagian tubuh Eri itu
sedari tadi, membuat wajah Eri jadi merah karena malu.
“Bun
udah dong!” Eri mencekal bibir Bunda yang nyaris nemplok entah sudah keberapa
kali diatas keningnya.
“Ih
Eri, Bunda ‘kan entar pasti kangen sama kamu.”
“Kangen
sih kangen. Tapi nggak usah segitunya juga kali Bun nyiumnya.”
“Iya.
Kata Eri ada benarnya juga. Lagi pula sudah hampir jam sembilan sekarang. Kalau
nggak cepat-cepat berangkat, nanti Eri sampai di Bakauheni-nya bisa telat.”
Ujar Ayah bijaksana seperti biasa.
Bunda
mengalihkan pandangannya pada Ryzky. “Ki, Tante titip Eri ya. Awas entar Eri
diculik dikapal.”
Ryzky
cekikikan geli. “Mana ada yang mau nyulik Eri Tan, Eri ‘kan cerewet. Entar
penculiknya bisa pusing.”
Buk! Eri mengayunkan kuat-kuat
tasnya kearah tubuh Ryzky. Dan hasilnya tepat mengenai bahu Ryzky yang bidang.
“Adaw!
Sakit!” Ryzky meringis menahan sakit yang menjalar keseluruh tubuhnya.
Eri
hanya bisa membalasnya dengan pelototan kejam, yang membuat Ryzky terpaksa
mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Ya
udah. Eri pergi dulu ya Bun. Entar kalo udah sampe Bandung Eri telepon.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar