Rabu, 07 November 2012

janji part 3

“Eri mana Bun?”
“Pergi tadi sama Ryzky.”
“Belum pulang?”
Bunda menggeleng jengkel. “Ya belumlah Yah. Ayah liat aja, gak ada Eri ‘kan dimeja makan ini?”
Ayah menyendok sesuap nasi kedalam mulutnya. “Emang pergi kemana sih Bun?”
“Katanya mau beli sandal tadi, tapi sekalian tahun baruan mungkin makanya pulangnya agak malem.”
Ayah mengerutkan dahinya. “Emang Eri hapal Bandarlampung ya Bun?”
Deg! Seketika itu Bunda berhenti menyuapkan sendok demi sendok nasi kedalam mulutnya. Benar kata Ayah, Eri belum hapal Bandarlampung. Tapi Bunda tetap bersikap tenang, toh ada Ryzky, pikirnya.
“Sudahlah Yah, Eri ‘kan sudah besar. Toh ada Ryzky yang menjaga Eri,” Bunda meneguk segelas air putih yang ada dihadapannya. “Oh ya, gimana kalo nanti malem kita ajak aja Tante sama Om nya Ryzky buat gabung di acara bakar jagung kita Yah?”

* * * * * * * *

Eri mengetuk-ngetuk piringnya dengan menggunakan sendok. Rasa gondok masih belum hilang dihatinya.
“Kita udah capek-capek kerja masak cuma dibayar dua piring nasi sih, Ki?” Eri menatap Ryzky tajam. “Gak dibayar uang juga apa?”
Ryzky menggidikkan bahu. “Sudahlah Ri, terima aja. Dari pada gak makan sama sekali.”
Eri menghela nafas berat, memandangi sepiring nasi lengkap dengan rendang dan ayam goreng dihadapannya. “Huh! Kalo makan doang, gimana kita bisa pulang coba?”
Ryzky meneguk teh hangat yang memang disajikan sebagai pendamping dari sepiring nasi gratisannya ini. “Udah ah jangan ngomel mulu. Bawel amat!” Ryzky lama-lama kesal juga mendengar Eri yang terus menggerutu sedari-tadi.
”Emang tadi Si Andi-Andi itu ngomong apa aja sama lo Ki diruangannya?”
Ryzky diam dan berhenti mengunyah, lalu mulai bersuara lagi setelah beberapa detik berikutnya. “Yaaa dia ngomong kalo dia cuma bisa bayar kita pake dua piring nasi ini, gak lebih,” Ryzky mulai mengunyah lagi. “Bisa ‘kan acara protesnya berhenti dulu. Mending lo makan.”
Eri menekuk wajahnya. Sialan! Tampang dan kelakuan sih boleh baik. Tapi pelitnya minta ampun! Rutuk Eri dalam hatinya, yang tertuju untuk Andi.

* * * * * * * *

“Halo?”
“Selamat malam Jeng Lina. Ini saya Jeng Vani.”
Wajah Tante Lina langsung sumringah, mengetahui yang menelepon adalah Bundanya Eri. “Ada apa Jeng?”
“Ini loh, dirumah nanti malam sekitar jam 9, mau ada acara bakar jagung kecil-kecilan, buat ngerayain pergantian tahun. Saya mau mengundang Jeng ikut.”
Tante Lina tertawa kecil. “Oh iya-iya pasti saya ikut. Saya ajak suami saya juga.”
“Oh tentu dong Jeng, makin rame yang ikut makin seru. Kalo gitu sampai ketemu jam 9 nanti lagi ya Jeng.”
Begitu Bunda memutuskan sambungan telepon, Tante Lina juga menutup teleponnya.
“Siapa Ma?” Tanya Om Bagus, suami Tante Lina. Tante Lina memang hanya tinggal berdua bersama suaminya di Bandarlampung. Mereka sebenarnya mempunyai dua anak, tetapi kedua anak mereka yang bernama Dimas dan Wahyu sedang melanjutkan pendidikan di Singapura. Mereka disana tinggal bersama Om Brian, adik dari Om bagus. Disana Dimas menempuh pendidikan S1 sedangkan Wahyu masih melanjutkan sekolah dibangku SMA.
“Itu Bu Vani,”
Om bagus mengernyitkan dahinya. “Bu Vani yang rumahnya didepan masjid?”
“Iya. Dia mau ngajak kita ke acara bakar jagung dirumahnya nanti jam 9 malam.”
Om Bagus langsung menyunggingkan senyum termanisnya. “Waaah, enak dong! Kita bisa sekalian ajak Ryzky. Kasian dia, selama di Bandarlampung belum pernah jalan-jalan karena kakinya sakit.”
“Kata siapa gak pernah jalan-jalan?” Tante Lina menunjukkan ekspresi meremehkan kepada suaminya. “Buktinya dia sekarang belum pulang kok. Lagi pergi sama Eri.”
“Pergi kemana?”
“Katanya sih tadi mau beli sandal sama Eri ke bambu kuning tapi belum pulang juga. Mungkin sekalian tahun baruan kali makanya pulangnya malam.”
Dweng! Bak pinang dibelah dua. Perkataan Tante Lina barusan sangat mirip dengan perkataan Bunda Eri saat ditanya suaminya tadi.
Sepertinya malam akan berjalan panjang bagi Eri dan Ryzky diluar sana. Karena tak ada satupun keluarga mereka yang khawatir dan berminat untuk mencari. Semua orang berpikir Ryzky dan Eri sedang tahun baruan makanya pulang malam. Seandainya mereka tahu, apa yang terjadi sebenarnya…

* * * * * * * *

“Ki! Gue ngantuk!”
Eri berhenti berjalan dan duduk disalah satu pos satpam yang kosong dipinggir jalan.
“Hmm. Mau tidur?”
Eri memeluk lututnya. “Percuma juga ‘kan Ki kalo kita terus jalan tapi gak tahu mau kemana??? Kita tetap gak akan bisa pulang!!!” Eri berkoar penuh emosi menumpahkan semua kekesalannya.
“Tapi Ri siapa tahu..,”
“Udahlah! Lo pasti mau bilang ‘siapa tahu kita ketemu jalan pulang yang benar dan bisa sampai rumah’, iya ‘kan?” mata Eri basah dengan air mata. Kekesalan didirinya sudah tak bsa ditahan lagi. Sedari tadi Ryzky hanya terus mengatakan bahwa mereka pasti bisa menemukan jalan pulang jika Eri mengeluh. Tapi apa buktinya sekarang??? Jangankan pulang, Eri pun tak tahu ia ada dimana sekarang. Semua perkataan Ryzky adalah nihil diotaknya.
“Maafin gue Ri.” Ryzky  memeluk Eri.
Eri menyanggah dengan cepat pelukan Ryzky. “Gue bakal maafin lo kalo lo bisa bawa gue pulang!” Eri menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
Ryzky mendelik pada jam tangannya. Jam 9 malam. “Benar Ri. Ini udah malam, seharusnya kita pulang sekarang.”
Eri tak menjawab, hanya bisa meringkuk diatas kursi kayu tua yang ada di pos satpam itu sambil menelungkupkan kepalanya diatas meja kayu yang sudah tua pula.
Sementara Ryzky hanya diam  bergeming sambil berdiri melipat tangannya didepan dada. Ia juga ikut bingung harus seperti apa sekarang. Setelah hampir satu-setengah jam berjalan tanpa arah, ia dan Eri belum menemukan jalan pulang juga.
Ryzky menghentak kakinya kesal, harus bagaimana sekarang?

* * * * * * * *

Eri terbangun tiba-tiba saat mendengar suara dentuman yang sangat keras. Ia menatap Ryzky yang tertidur dengan posisi duduk menyender pada dinding pos satpam dengan iba. Kasihan Ryzky karena Eri memarahinya tadi.
Dummmm! Suara dentuman keras itu kembali terdengar, Eri berjalan kepinggir pos satpam, matanya menengadah kelangit. “Kembang api!” desis Eri kagum saat mengetahui dentuman itu berasal dari kembang api yang tengah berkilauan diatas langit itu.
Eri hampir lupa, ini ‘kan malam tahun baru, pantas saja banyak kembang api berkeliaran dilangit malam ini. Eri melihat jam tangannya. Jam setengah sebelas rupanya.
“Suka sama kembang api?” Eri menoleh kebelakangnya dan Ryzky sudah berdiri tegak disana dengan tangan yang masuk kedalam saku celana.
Eri mengangguk. “Kok bangun?”
“Gimana mau tidur kalo  banyak bunyi kembang api disini?” Ryzky berdiri disamping Eri, matanya ikut menengadah kelangit, memandangi kembang api yang indah itu.
“Kita jalan lagi yuk!”
Ryzky tersentak. “Serius?! Bukannya tadi lo..,”
“Udah ah! Jangan dibahas. Gue lagi mood mau jalan lagi nih.” Eri menghela nafasnya dalam. “Gue pengen coba menikmati malam pergantian tahun ditengah ketersesatan yang gak jelas  kapan ujungnya  ini.”
“…”
“Dan gue janji  ini adalah malam pergantian tahun yang gak akan pernah gue lupain seumur hidup gue.” Eri menatap Ryzky. “Ayo jalan!”
Ryzky yang sempat  membatu akhirnya mengikuti Eri berjalan juga. “Akhirnya lo bisa terima semua keadaan kita Ri.”
Eri tertawa kecil. “Gue harus bisa berpikir dewasa. Dan soal tadi, gue minta maaf ya, karena gue udah marah-marah sama lo, gue cuma lagi kesel aja tadi.”
Ryzky mengacak-acak rambut Eri. “Iya gapapa.”
Eri dan Ryzky menikmati perjalanan tak berarah yang mereka alami, dengan ditemani bunyi berdentum dari kembang api yang saling susul-menyusul. Kilatan cahanya dari kembang api pun menambah semarak “jalan-jalan malam” mereka. Eri sesekali melirik iri pada orang-orang yang berlalu-lalang dijalan raya. Mereka tampak bahagia menikmati hiruk-pikuk perayaan  pergantian tahun di Bandarlampung. Sedangkan Eri? Memang dia bahagia bisa menikmati perayaan pergantian tahun dengan cara yang unik dan mungkin bisa dibilang satu-satunya ini. Tapi kalau cara “unik dan satu-satunya” itu harus seperti ini, rasanya Eri lebih baik merayakan pergantian tahun dengan tidur sepanjang malam dirumah.
Duk! “Aww!” Eri terduduk kesakitan memegangi mata kakinya.
Ryzky yang berjalan didepan Eri kontan menoleh kebelakang. “Ri? Elo kenapa?” Ryzky mendekati Eri.
“Sandal jepit butut gue putus.” Jawab Eri pendek namun tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
“Masih mau jalan?”
Eri mengangguk. “Kenapa mesti berhenti?! Gue masih bisa jalan kok walaupun tanpa sandal.” Eri berdiri  mantap dan siap berjalan.
“Jangan Ri, entar telapak kaki lo malah sakit kalo nggak pake alas kaki. Sini gue gendong.”
Eri berhasil melongo dengan sukses mendengar penawaran Ryzky barusan. Dia bilang apa?! Dia mau gendong Eri!
“Tapi ‘kan kaki lo masih sakit Ki.”
Ryzky menggeleng. “Nggak sakit lagi kok. Buktinya gue kuat jalan kaki dari tadi ‘kan?!” Ryzky berjongkok, bersiap menggendong Eri. “Ayo cepetan naik!”
Eri menurut, lalu naik ke punggung Ryzky, melingkarkan tangannya dileher Ryzky, sedangkan kakinya melingkar dipinggang Ryzky, walaupun sebenarnya Eri masih ragu. Entar badan Ryzky bisa remuk lagi kalau menggendong Eri. Berat Eri ‘kan 50 kilogram. Emang Ryzky kuat?!
“Siap ya?! Satu-dua-tiga.” Ryzky berdiri dengan Eri yang menggelayut dipunggungya.
“Lo beneran gapapa Ki?”
“Nggak tenang aja.” Ryzky mulai berjalan dengan PeDe. Padahal Eri sudah malu setengah mati, karena banyak orang yang melirik kearah mereka seolah mereka adalah pasangan kumpul kebo yang sudah lama jadi incaran polisi.
“Ngg, Ki?”
“Udah jangan malu. Toh kita bukan berniat macam-macam ‘kan?” ucap Ryzky seperti bisa membaca pikiran Eri.
Eri diam dan lebih memilih untuk menuruti omongan Ryzky. Ia menenggelamkan wajahnya dipunggung Ryzky, jujur saja hangat rasanya jika seperti ini.
“Ri?”
“Mmm.”
“Lihat gih kedepan!”
Eri mengangkat wajahnya dan mengarahkan pandangannya kedepan. “Kiii… Itu Saburai ‘kan?” Tanya Eri antara tak mengerti dan kagum luar biasa.
“Iya. Mau kesana? Kayaknya disana lagi ada acara perayaan tahun baru.”
“Mau Ki.. Untuk sekali ini, gue bakal bilang gue gak nyesel kesasar sama lo.” Seru Eri semangat seperti anak kecil yang baru menemukan gudang yang berisi ribuan permen.
Ryzky berlari kecil, membuat tubuh Eri ikut terguncang. “Pelan-pelan!”
“Sebodo! Biar cepet nyampenya.” Ryzky justru makin mempercepat langkahnya. Membuat Eri memukul-mukul punggung Ryzky gemas.
“Turun!” perintah Ryzky saat mereka telah berada dikerumunan khalayak ramai yang ada di lapangan Saburai. “Duduk disitu aja, Ri.” Ryzky menunjuk sebuah bangku kayu kosong yang ada dipinggir lapangan.
Eri menurut dan bergegas turun dari punggung Ryzky dan duduk disana.”Capek!” keluh Eri.
Ryzky melirik Eri keki setengah mati. “Seharusnya gue yang bilang kayak gitu.”
“Katanya tadi nggak bakalan capek.”
Ryzky terkekeh. “Iya deh. Bercanda Ri. Gue emang gak capek kok.”
Duummm! Suara dentuman kembang api terdengar lagi disusul dengan kilatan cahaya warna-warni dilangit. Eri berdecak kagum. “Seumur-umur gue di Bandarlampung, gue belum pernah kayak gini. Kalo tahun baru paling Ayah Bunda ngajak gue makan di restoran atau ngadain acara bakar jagung dirumah.” Cerita Eri singkat.
“Elo sih mending,” Ryzky menatap langit yang masih dipenuhi cahaya kembang api. “Selama gue di Jakarta gue nggak pernah keluar setiap malam pergantian tahun.”
Eri menoleh dengan kening yang berkerut. “Kenapa? Bukannya seru banget perayaan di Jakarta.”
“Emang seru, tapi macet.” Ryzky senyum-senyum gak penting.
“…”
“Jadi kalo perayaan tahun baru gue bikin acara dirumah aja.”
“…”
“Acaranya tuh kayak ngumpul sama keluarga, bikin pesta kecil-kecilan.”
“…”
Ryzky menoleh kesal, karena sedari tadi perkataannya tak ditanggapi Eri. “Ri? Ehh..” Ryzky urung menyemprot Eri, begitu melihat mata Eri sedang tak berkedip memandangi puluhan kembang api yang berkilauan dilangit. Rupanya Eri tak memperhatikan Ryzky berbicara karena sedang memeperhatikan kembang api diatas sana.
Ryzky menyentuh pundak Eri perlahan. “Ri?”
Eri menoleh. “Kenapa?”
“Sebenernya dari tadi, gue pengen ngomong sesuatu.”
“Ngomong aja!” kini mata Eri kembali tertuju pada kembang api yang barusan diluncurkan, kembang api itu berwarna merah keemasan, membuat Eri takjub bukan main.
“Gue..,” Ryzky meremas-remas tangannya sendiri. Tangannya terasa begitu dingin, karena rasa nervous yang mengrogotinya. “Gue nggak mau kita berteman lagi.”
Eri menoleh cepat mendengar perkataan Ryzky barusan. Hatinya mencelos, apa dia gak salah denger??
“Lo bilang apa Ki?”
Ryzky menghela nafasnya pelan mencoba tenang. “Gue nggak mau kita berteman lagi Ri!” kini suara Ryzky sudah naik satu oktaf.
Eri menatap Ryzky tak percaya. Ryzky ingin mereka berdua bermusuhan? Itukah mau Ryzky?
“Apa maksud lo Ki?” pelupuk mata Eri telah tergenang air mata. Ia tak percaya Ryzky sanggup melakukan hal sekeji ini padanya.
Ryzky mengulum senyumnya sambil mengacak rambut Eri. “Gue belum selesai ngomong Ri, masih ada lanjutannya.”
“Lanjutan?” Eri menyeka air matanya yang hampir jatuh.
Ryzky menghela nafas panjang. “Gue emang nggak mau kita berteman lagi Ri. Tapi gue mau status kita pacaran. Bukan sebagai teman,” Ryzky terkekeh. “Capek juga kali sepuluh tahun cuma temenan doang sama lo.”
Mata Eri membulat kaget. Ryzky suka padanya?! Temannya sedari kecil ini menyimpan rasa padanya?! Ya tuhan!
Eri menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal, salah tingkah. “Ngg.. Ngg..”
Ryzky menggengam tangan Eri kuat, mencoba membuat Eri dapat merasakan kasih sayang yang dimilikinya. Dan mata Ryzky yang menatap Eri itu, mata yang penuh dengan harapan.
I’ll be beside you when you need me. Whatever if rain or storm came, I’ll promise, where are you go, my love will be there. In here.” Ryzky menggenggam tangan Eri dan meletakkannya didada Eri, tempat dimana hati Eri berada. “My love saved here forever, ‘cause I love you, Ri.”
Kalau aja Eri adalah patung lilin, mungkin Eri sudah meleleh sekarang. “Ki, elo..,”
“Gue udah nunggu saat seperti ini dari 10 tahun yang lalu. Gue selalu nunggu elo Ri untuk bisa ngelakuin ini semua. Nggak pernah ada cewek yang bisa menyusup ke hati gue selain elo..,”
“Dari sepuluh tahun yang lalu?” tebak Eri yang sepertinya memang tepat, karena Ryzky langsung menjawabnya dengan anggukan. “Lo mau nggak Ki, dengar pengakuan gue?”
“Pengakuan apa?”
“Kalau sebenarnya, gue sama seperti lo. 10 tahun yang lalu saat kita pertama kali kenal, gue udah mulai ngerasa, ada yang spesial dalam diri lo. Yang buat gue nyaman ada didekat lo. Dan 8 tahun yang lalu saat lo pergi, hidup gue benar-benar hampa, Ki. Cuma ada kalung bunga mawar dari lo yang selalu nemenin gue kalo gue lagi kangen sama lo,” Eri menghela nafasnya lalu menatap Ryzky lurus-lurus. “Dan harus gue akui juga, nggak ada satupun cowok yang berhasil ngegantiin posisi lo dihati gue. Banyak cowok yang nyatain cinta sama gue, tapi demi lo, mereka semua gue tolak, karena gue mau nunggu lo Ki. Walaupun rasanya seperti orang bodoh, karena hanya menunggu seseorang yang nggak pasti dan entah dimana.”
Ryzky memeluk Eri hangat, tak peduli banyak pasang mata yang menatap ganjil kearah mereka berdua. “Boleh gue nanya sekali lagi?”
Eri mengangguk dalam pelukan Ryzky.
Would you be mine?” Ryzky melepas pelukannya dan menatap Eri lekat.
“Lima!” teriakan orang-orang yang menghitung mundur detik-detik pergantian tahun dilapangan Saburai mulai terdengar.
“Gue..,” Eri menggigit bibir bawahnhya ragu.
“Empat!”
“Gue gak akan maksa lo, Ri.” Ryzky mengelus pundak Eri pelan.
“Tiga!”
“Ki gue..,” hitungan orang-orang itu terdengar seperti mendesak Eri untuk segera menjawab pernyataan Ryzky dalam tiga detik. Padahal nyatanya itu adalah hitungan detik pergantian tahun.
“Dua!”
“Apa Ri?”
“Satu!”
“Gue mau jadi pacar lo Ki.”
Duuummm! Kembang api kembali bermunculan dilangit malam yang indah, merayakan pergantian tahun yang begitu meriah. Mengiringi kebahagiaan setiap insan manusia yang turut merayakannya juga.
Kebahagiaan yang juga dirasakan Eri dan Ryzky.
“Selamat tahun baru Ki.” Eri tersenyum manis.
Ryzky menggenggam tangan Eri dan menciumnya. “Selamat hari jadian kita Ri.” Balas Ryzky, membuat Eri jadi salah tingkah sendiri.
Eri melepas  tangannya dari genggaman Ryzky dan menatap kelangit luas. “Benar-benar pergantian tahun yang nggak akan bisa dilupain.” Desisnya pelan.
“Lo ngomong apa Ri barusan?”
“Ngg.. Nggak kok.”
“Mau pulang Ri?”
Eri menoleh ke Ryzky dengan alis bertaut. “Pulang? Emang lo tau jalannya?”
“Jangankan jalan pulangnya, ongkos buat pulangnya gue juga ada kok.”
“Maksud lo?” Tanya Eri semakin tak mengerti.
“Sebenarnya Andi tadi nggak ngebayar kita dengan makanan aja, tapi dia bayar kita dengan uang juga, tapi sengaja gue sumputin dari lo.”
Mata Eri membelalak kesal, Ryzky tahu Eri pasti ingin memarahinya, oleh karena itu sebelum itu terjadi Ryzky buru-buru melanjutkan omongannya. “Andi tadi cerita sama gue diruangannya, kalo ada acara perayaan tahun baru di Saburai, makanya lo gue bawa kesini. Gue pengen nyatain semuanya disini Ri. Dari tadi gue sengaja ngebuat lo ngikutin gue jalan kaki sampe sini, gue awalnya sempet mikir lo bakal protes kalo arah jalannya gue mulu yang nentuin, tapi ternyata gue salah. Lo sama sekali gak sadar, kalo gue ngebawa lo kejalan menuju Saburai.”
“Jadi lo emang udah tahu arah jalan dan tujuan kita tadi?”
Ryzky mengangguk.
“Tunggu! Lo ‘kan gak hapal..,”
“Gue dikasih tahu Andi jalan menuju kesini. Dan gue juga dikasih tahu jalan pulang ke Way Halim.”
Eri meninju lengan Ryzky kesal. “Kok lo gak ngasih tahu gue tentang semua itu sih Ki?”
“Karena gue pikir, begitu lo tahu kita udah ada uang dan udah tahu jalan supaya bisa pulang ke Way Halim lo pasti minta balik kerumah. Dengan naik taksi kek, atau naik angkot kek, ya ‘kan? Kalo itu terjadi, semua rencana gue untuk nyatain perasaan sama lo disini bakal gagal. Dan kalo itu terjadi, kita sekarang nggak akan sebahagia ini ‘kan Ri?”
Eri meninju lengan Ryzky sekali lagi. “Siapa bilang gue bahagia? Gue sebel tahu sama lo.” Eri pasang aksi sok ngambek. Padahal hatinya berloncatan senang mengetahui semua fakta yang dibeberkan Ryzky tadi. Aaah, kalo ternyata bakal seindah ini terus. Eri pengen deh sering-sering kesasar bareng Ryzky.

* * * * * * * *

Ryzky merogoh sakunya dan menyerahkan beberapa lembar uang lima-puluh-ribuan kepada supir taksi.
“Kembalinya untuk Bapak aja.” Sahut Ryzky dari luar mobil. Supir taksi itu pun langsung melaju kencang membawa taksinya meninggalkan Eri dan Ryzky yang telah tiba di Way Halim, tepatnya didepan rumah Eri. Untung tengah malam seperti ini masih ada taksi, kalo nggak Ryzky sama Eri gak tahu deh mau pulang naik apa.
Ryzky dan Eri kaget bukan main, mendapati Tante Lina, Om Bagus, Bunda dan Ayah ada dihalaman rumah Eri. Mereka semua sedang baked corns party.
“Eri? Ryzky? Udah selesai ya tahun baruannya?” sambut Bunda dengan wajah ceria. Waah, Bunda belum tahu aja nih. Memang benar Eri sama Ryzky tahun baruan, tapi sebelumnya sempet kesasar dulu (Lebih tepatnya sih sengaja disasarin sama Ryzky. Hehe)
Ryzky dan Eri saling tukar pandang. “Cerita gak?” bisik Eri.
“Nggak usah dulu Ri.”
“Eri, Ryzky. Ayo sini!” panggil Tante Lina.
“Nih jagung bakar buat kalian. Enak lho. Om sendiri yang bikin.” Sahut Om Bagus bangga sambil menyarahkan dua tongkol jagung bakar yang sudah matang pada Eri dan Ryzky.
“Makasih Om,” Sambut Eri senang lalu dengan sigap melahap jagung bakar itu. “Mmm, enak Om,” Puji Eri. “Iya ‘kan Ki?” Eri menyikut Ryzky yang berdiri disampingnya dengan mulut yang penuh dengan jagung bakar.
Ryzky hanya menjawabnya dengan mengacungkan jempol kanannya ke udara.
“Sst Ki?”
Ryzky menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Tanpa babibu lagi, Eri langsung menggamit lengan Ryzky dan membawanya duduk dikursi yang ada diteras rumahnya. “Duduk disini aja.”
“Kenapa mesti duduk disini?”
“Nggak bagus makan sambil  berdiri.” Eri kembali menggrogoti jagung bakar yang tadi sempat diangggurkannya untuk beberapa detik.
“Hahahaha.  Bilang aja mau duduk berduaan sama gue, nggak usah pake alasan ‘makan berdiri itu nggak bagus’ segala deh!” Ryzky menjawil pipi Eri.
Puk! Eri menimpuk tongkol jagung bakarnya yang telah habis kearah Ryzky. “Apa’an sih Ki! Reseh deh!”

* * * * * * * *

Beberapa hari kemudian…
Ryzky tak bisa menahan tawanya melihat Eri sedari tadi diciumi oleh Bundanya. Pipi-kening-pipi-kening, Bunda bolak-balik menciumi kedua bagian tubuh Eri itu sedari tadi, membuat wajah Eri jadi merah karena malu.
“Bun udah dong!” Eri mencekal bibir Bunda yang nyaris nemplok entah sudah keberapa kali diatas keningnya.
“Ih Eri, Bunda ‘kan entar pasti kangen sama kamu.”
“Kangen sih kangen. Tapi nggak usah segitunya juga kali Bun nyiumnya.”
“Iya. Kata Eri ada benarnya juga. Lagi pula sudah hampir jam sembilan sekarang. Kalau nggak cepat-cepat berangkat, nanti Eri sampai di Bakauheni-nya bisa telat.” Ujar Ayah bijaksana seperti biasa.
Bunda mengalihkan pandangannya pada Ryzky. “Ki, Tante titip Eri ya. Awas entar Eri diculik dikapal.”
Ryzky cekikikan geli. “Mana ada yang mau nyulik Eri Tan, Eri ‘kan cerewet. Entar penculiknya bisa pusing.”
Buk! Eri mengayunkan kuat-kuat tasnya kearah tubuh Ryzky. Dan hasilnya tepat mengenai bahu Ryzky yang bidang.
“Adaw! Sakit!” Ryzky meringis menahan sakit yang menjalar keseluruh tubuhnya.
Eri hanya bisa membalasnya dengan pelototan kejam, yang membuat Ryzky terpaksa mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Ya udah. Eri pergi dulu ya Bun. Entar kalo udah sampe Bandung Eri telepon.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar