Eri
menggandeng lengan Ryzky kuat-kuat. Seperti anak ayam yang takut terpisah dari
induknya. Sementara Ryzky hanya terus celingak-celinguk mencari tempat duduk
yang kosong diruang VIP kapal yang mereka naiki.
Setelah
sekian lama, akhirnya Ryzky menoleh juga pada Eri dengan tatapan putus asa.
“Nggak ada yang kosong Ri.”
“Tuh
‘kan udah gue bilang. Duduk di deck aja. ‘kan bisa gelar tikar. Yuk!” Eri
menggamit lengan Ryzky dan membawanya menuju salah satu deck kapal yang cukup
sepi.
“Tikarnya
mana?”
“Nih
ambil di tas gue.”
Ryzky
menatap Eri kagum. “Waah, nggak nyangka ya. Mau naik kapal aja sempet-sempetnya
lo bawa tikar. Mau piknik, neng?” canda Ryzky.
Eri
menggeram kesal. “Iiiih. Ya udah deh, terserah! Kalo lo masih ngejek gue, gak
gue izinin duduk diatas tikar. Duduk dilantai aja sana. Bawel!” Eri sibuk
menggeledah tasnya dan mengeluarkan tikar kecil berukuran 3x3 meter.
“Hehe,
aku cuma bercanda kok. Eri ku sayang.”
Eri
memegangi pipinya yang mungkin sekarang sudah merah. Merah karena rasa senang,
malu sekaligus bingung yang bercampur aduk . Sejak kapan Ryzky memanggilnya
dengan sebutan “sayang”?? Walaupun sudah
resmi jadian sejak beberapa hari yang lalu, Ryzky nggak pernah sekalipun
memanggil Eri dengan sebutan mesra layaknya orang pacaran. Ryzky tetap dengan
kecuekannya memanggil Eri “lo”. Jadi wajar-wajar aja kalo Eri heran melhat
sikap Ryzky yang jadi aneh gini.
“Lo
kenapa sih Ki? Kesambet?” Eri memegangi dahi Ryzky dengan lagak menirukan gaya
seorang dokter yang sedang memeriksa suhu tubuh pasien.
Ryzky
mengehempas tangan Eri pelan. “Siapa yang kesambet? Ngaco!”
“Ya
elo. Kenapa jadi manggil gue ‘sayang’? tumben!” Tanya Eri cuek. Padahal dalam
hatinya deg-deg-ser tuh! Hehe.
“Nggak
boleh? ‘kan kita udah pacaran Eri sayang.”
Cless! Hati Eri
benar-benar mencelos dan meleleh sekarang mendengar semua yang diucapkan Ryzky.
“Ngg.. Ya gue.. Ngg.. Aneh aja. Hehe.” jawab Eri garing, mencoba mengusir
sedikit ketegangannya.
“Gimana
mau duduk kalo tikarnya sekecil itu?” celetuk Ryzky tajam, membuat Eri
menyadari sesuatu. Ia lupa membuka lipatan tikar, sehingga tikar yang tergelar
hanya berukuran tak lebih dari 1 meter karena masih terlipat enam.
“Hehe.
Maaf.” Eri membuka lipatan tikar dengan cepat. Secepat Ryzky duduk diatas tikar
itu.
“Gue
yang gelar. Elo enak-enak duduk.” Gerutu Eri. Ryzky hanya cengengesan nggak
tahu malu.
* * * * * * * *
“Mama
Papa lo mana?”
Ryzky
hanya menggidikkan bahu. “Tau nih! Gue telepon aja deh.” Ryzky sibuk
memencet-mencet tombol ponselnya, tak lama berselang ia sudah asyik mengoceh
sendiri. “Pa dimana?.. Oh disitu.. Sebelah mana sih?.. Oh ya-ya.. Aku kesana sama
seseorang.. Orang deh pokoknya, bukan monyet. Entar aku kenalin.. Oke, bye.”
“Dimana
Ki?”
“Dekat
gerbang sana. Jalan sedikit aja kok.”
Eri
meraba detak jantungnya yang begitu kencang. Grogi banget rasanya mau ketemu
lagi sama orang tua Ryzky yang sudah delapan tahun nggak ditemuinya. Eri
merasa, ini bukan seperti perkenalan biasa. Karena statusnya dan Ryzky sekarang
‘kan pacaran. Berarti Mama Papa-nya Ryzky, calon mertua Eri dong. Membayangkan
hal itu saja, membuat detak jantung Eri semakin menjadi-jadi.
“Ryzkyyyy!!!
Ya ampun, Mama kangen.” Mama langsung memeluk Ryzky tanpa ampun, begitu melihat
Ryzky sudah ada didepan matanya. Tak lama, Mama mengalihkan pandangannya pada
Eri yang berdiri manis dibelakang Ryzky. “Ini siapa Ki?”
Ryzky
melepas pelukan Mama. “Ini Eri Ma.”
Mata
Mama membulat senang. “Ya ampun Eri. Sudah besar ya sekarang.” Mama lantas
memeluk Eri hangat.
“Ini
Eri yang teman kamu waktu kecil dulu?” bisik Papa ada Ryzky. Ryzky mengangguk.
“Kok
bisa bareng kamu?”
“Panjang
ceritanya Pa. Entar deh aku ceritain.”
“Eri
mau kemana?” suara Mama membuat Papa dan Ryzky berhenti saling berbisik.
“Ke
Bandung Tante.”
Alis
Mama terangkat sebelah, tanda kebingungan. “Kok..,”
“Hmm,
Ma. Entar aja ngobrolnya didalam mobil.” Putus Ryzky.
Kini
bukan hanya Mama yang terlihat bingung, tetapi Papa juga. “Mobil?” Tanya Mama
dan Papa kompak.
Ryzky
menggaruk-garuk kepalanya, bingung. “Iya Ma, Pa. Gapapa ‘kan kalo Eri numpang
mobil kita sampe ke Stasiun Gambir?”
* * * * * * * *
Tok
tok tok! “Bi!!! Bibi!!!” Eri mengetuk-ngetuk pintu rumahnya tak sabar.
Cklik! “Eh Non Eri.
Bibi kangen loh udah lama nggak ngeliat Non,” Bi Mar memeluk Eri. “Non
sehat-sehat aja ‘kan?”
Eri
melepas pelukan Bi Mar lalu mengangguk. “Rumah baik-baik aja ‘kan Bi?”
“He-eh
Non. Tenang aja. Tapi dari dua hari yang lalu ada teman cowok Non yang nyari
Non kesini.”
Eri
meneguk segelas air es yang ada ditangannya dengan cepat. “Siapa Bi?”
Bi Mar mengetuk-ngetuk dagunya. “Kalo nggak salah nih Non, namanya Mandra.”
Bi Mar mengetuk-ngetuk dagunya. “Kalo nggak salah nih Non, namanya Mandra.”
“Uhuk!
Uhuk.. uhuk..” Eri tersedak air es yang diminumnya tadi sebagai refleksi dari
kekagetannya. Sejak kapan dia punya temen namanya Mandra? Eri memutar bola
matanya terlihat berpikir, dan mencoba membuka ensiklopedia nama orang-orang
yang yang dikenal selama hidupnya. Mandra? Mandra? Mandra? Mandra mana ya?
Adanya juga Manda, teman SMP Eri yang sekarang sudah jadi foto model top
seantero Bandung. Tapi Manda ‘kan cewek, bukan cowok. Lagian ngapain Manda
kesini? Eri memutar bola matanya mulai berpikir lagi. Tring! Eri teringat seseorang. Seseorang yang sangat dikenalnya,
bahkan sangat dekat dengannya akhir-akhir ini. “Andra kali Bi?” Tanya Eri
memastikan.
“Nah
iya Non. Itu tuh. Hehe. maaf ya tadi salah sebut, Bibi nggak hapal banget
namanya.”
Eri
mengangguk maklum. “Aku masuk kedalam kamar dulu ya Bi.” Eri menenteng koper
besar miliknya, berjalan menuju kamarnya yang ada didekat ruang TV. Sempat
terlintas diotaknya niat untuk menelepon Andra. Tapi niat itu batal 100%
mengingat besok sudah masuk sekolah. Sekalian aja interogasi dan cerita
semuanya besok, pikir Eri.
* * * * * * * *
“Nggak
nyangka ya Ki, kamu emang lagi untung rupanya.” Ujar Mama saat makan malam baru
mulai.
“Untung
kenapa?”
“Ya
kamu ketemu Eri di Bandarlampung.”
Ryzky
terkekeh membenarkan perkataan Mama barusan. Ia teringat kata Mama sebelum
kepergiannya ke Bandarlampung. Mama bilang, kalau Ryzky lagi untung, pasti dia
ketemu Eri di Bandarlampung sana. Ternyata keuntungan itu benar-benar datang.
“Hehe
iya Ma. Bukan cuma beruntung malah.” Pancing Ryzky.
Papa
dan Mama saling melempar pandangan penuh tanya. “Emang kenapa?” Tanya Papa.
Ryzky
meletakkan sendoknya, berhenti makan sebentar. “Aku..,” Ryzky memajukan
wajahnya ketengah meja makan, diikuti Mama dan Papa yang ikut memajukan
wajahnya. “Aku..,” ulang Ryzky. “Aku..,” Ryzky melempar senyum penuh arti
membuat Papa Mama semakin penasaran. “Aku jadian sama Eri.”
Jreng-jreng-jreng-jreng.
Mama
dan Papa kini saling tukar pandang lagi, namun dengan pandangan kegembiraan.
“Wah selamat ya Ki.” Mama menyalami Ryzky, serasa menyalami mempelai pria dalam
sebuah pesta perkawinan.
“Iya
Ki. Papa juga ngucapin congrats buat
kamu. Akhirnya anak Papa ini laku juga.” Sindir Papa, mengingat selama ini
Ryzky memang belum pernah punya pacar, dan Eri adalah pacar pertama Ryzky.
Ryzky
hanya tersenyum tersipu malu lalu kembali melanjutkan makan malamnya yang
sempat tertunda.
* * * * * * * *
Pagi
yang cerah.
Secerah
hati Eri. Ia bersiul riang sambil berjalan melewati koridor demi koridor SMA 17
Agustus. SMA yang sudah hampir sebulan ini tak dilihatnya karena liburan
semester. Eri jadi kangen sama teman-teman sekelasnya. Teman-teman sekelasnya
yang kadang jayus tapi gokil itu. Apalagi Andra, Eri sangat merindukan sahabat
barunya itu.
“Andra!!!”
Eri menghambur dari pintu kelas dan langsung berlari memeluk Andra yang sedang
duduk dibangkunya sambil memetik gitar.
“Weits.
Ngapa lo? Seneng amat?”
“Hahaha.
Ya gue senenglah ketemu elo lagi. Gue ‘kan bisa ngejahilin lo.” Eri cekikikan.
Andra
menempeleng kepala Eri sebal. "Enak aja lo!” Andra meletakkan gitar yang
sedari tadi dipeluknya keatas meja. “Gimana cerita liburan lo di
Bandarlampung?” tanya Andra penuh selidik.
Eri tak menjawab, hanya
menggeleng-geleng malu dengan wajah yang bersemu merah.
“Kenapa sih lo? Ayan?”
Bletak! Sebuah jitakan maut Eri melayang tepat diatas
ubun-ubun Andra. Enak aja! Orang lagi seneng gini malah dibilang ayan.
Nyebelin!
“Lo yang ayan. Dasar stress.”
“Hehe. Ya gue bercanda kali Ri. Serius
nih. Gimana cerita lo di Bandarlampung?”
Eri menoleh kepada Andra dengan mata yang
berkilat senang. “Gue, disana dapet pacar baru Ndra. Hahahahaha.” Eri tertawa
senang. Padahal ekspresi diwajah Andra tak terlihat senang sama sekali.
Andra menaikan sebelah alisnya. “Pacar?
Siapa?”
“Ryzky. Temen gue dari kecil bla bla
bla..,” Eri mulai berceloteh riang menceritakan semua kejadian yang dialaminya
selama liburan kepada Andra dengan se-detail
mungkin.
Sampai cerita Eri selesai, tak ada
satupun tanggapan yang keluar dari bibir Andra. Andra hanya melipat tangannnya
didepan dada dengan raut yang susah ditebak. Entah itu senang, sedih atau
marah. “Oh.” Jawab Andra pendek.
“Ih Andra, kok gitu doang sih
nanggepinnya. Bukannya ngasih gue selamat kek, apa kek. Biasanya juga ‘kan lo
lebih bawel dari burung beo-nya tetangga gue, kenapa jadi pendiem gini sih?”
seloroh Eri. Namun Andra bergeming.
Buk! Eri memukul lengan Andra dengan tas sekolahnya. “Ih
nggak seru ah cerita sama lo! Padahal gue mau cerita banyak tau!” sungut Eri
kesal lalu memutar balik badannya dan berjalan menuju kursi tempatnya duduk
yang ada dipaling belakang.
Sementara Andra hanya diam, hatinya
merasakan sesuatu yang aneh. Seperti terluka karena teriris sesuatu yang tajam.
Dan batinnya terasa pahit seperti baru menelan pil dengan berjuta-juta dosis
yang bisa membuat orang jadi mual.
Pada
menit berikutnya Andra baru bergerak dari ketergemingannya. Mengambil
gitar yang sedari tadi hanya membatu diatas meja. Memetik gitar itu perlahan,
menyanyikan lagu mellow yang sedih dengan penuh penghayatan. Membuat Eri
melongo tajam kepada Andra. Andra kenapa sih? Aneh banget. Batin Eri.
* * * * * * * *
“Udah deh Ri, gue udah gede. Gue juga udah biasa keluar malem. Nyantai aja.”
“Tapi ‘kan..,”
“Eh udah dulu ya Ri, entar kalau sempet
gue hubungin lagi. Bye!”
Klik! Sambungan telepon itu terputus secara tidak
terhormat. Eri membanting ponselnya kesal keatas kasur lalu membenamkan
wajahnya dibalik bantal, menangis.
Kenapa sih Ryzky berubah banget? Udah 3
minggu semenjak mereka jadian, Ryzky mulai berbeda. Bukan Ryzky yang dulu asyik dan penyayang. Tapi Ryzky yang dingin,
cuek, dan easy-going pada Eri.
Sebenarnya apa sih salah Eri? Sampai Ryzky bersikap segitunya?
Ryzky malah jadi pembangkang
sekarang. Eri selalu melarang Ryzky
untuk keluar dimalam hari karena takut Ryzky kenapa-kenapa, tapi Ryzky suka
ngotot dan membantah. Ujung-ujungnya ya begini nih, ribut yang selalu berakhir dengan tangisan
Eri.
Eri mengangkat kepalanya dan menengok
kearah LCD ponselnya, ia berharap Ryzky akan meneleponnya balik. Tapi sayang,
itu nggak terjadi. Ryzky ‘kan sekarang cuek bebek sama Eri. Dia nggak pernah
mengerti perasaan Eri. Apapun yang Eri lakukan Ryzky seperti tak mau tahu.
Ryzky dan Eri pun jadi jarang berkomunikasi sekarang. Hanya pada saat
penting-penting saja. Menyedihkan bukan? Jujur, Eri kecewa dengan semua ini!
Haruskah hubungan ini dipertahankan? Ck! Entahlah. Eri bingung.
* * * * * * * *
“Siapa Ki yang telepon?”
Ryzky menoleh pada orang yang bertanya
itu dengan tatapan masak-lo-nggak-tahu-itu-siapa?
“Oh. Pacar lo yang namanya Eri itu?”
Ryzky mengangguk.
“Kenapa dimatiin teleponnya?”
“Gue mulai jenuh sama semuanya Am.”
Cowok yang bertanya tadi yang ternyata
bernama I’am itu membelalak kaget. “Jenuh? Jenuh gimana maksud lo?”
“Gue capek aja mesti long-distance gini.”
I’am menepuk-nepuk pundak Ryzky sambil
tertawa kecil. “Lo tu lucu ya? Seharusnya elo tahu dari awal dong resikonya
pacaran sama Eri. Kalau lo nggak siap buat resikonya, ya jangan dipacarin.”
“Tapi gue sayang sama Eri, Am.”
“Kalo sayang, jangan jenuh dong!”
Ryzky hanya bergidik menanggapi saran I’am. Pandangannya menerawang. Emang kalo sayang nggak boleh bosen ya? Kalo Ryzky bosen atau jenuh, berarti Ryzky nggak sayang dong sama Eri? Tapi suer deh! Ryzky sayang kok. Cuma sedikit jenuh aja karena long-distance dan jarang ketemu Eri.
Ryzky hanya bergidik menanggapi saran I’am. Pandangannya menerawang. Emang kalo sayang nggak boleh bosen ya? Kalo Ryzky bosen atau jenuh, berarti Ryzky nggak sayang dong sama Eri? Tapi suer deh! Ryzky sayang kok. Cuma sedikit jenuh aja karena long-distance dan jarang ketemu Eri.
“Balik yuk!”
“Kenapa? Tumben lo ngajak pulang jam
segini. Biasanya juga nongkrong sampe hampir tengah malem.” Tanya I’am heran,
mengingat ini baru jam 9 malam. Biasanya ‘kan Ryzky dan I’am menghabiskan waktu
di kafe Starbucks ini sampe larut.
“Tau nih! Kepala gue mumet.”
“Karena Eri?”
* * * * * * * *
Eri menelungkupkan kepalanya keatas
meja. Wajahnya yang lusuh dari semalam itu, belum juga hilang. Matanya yang
sembab, bukti bahwa ia menangis hingga jam dua pagi. Sedangkan Ryzky? Ia belum
menghubungi Eri hingga saat ini. Nomornya
terus saja mailbox bila Eri
telepon. Kemana Ryzky? Eri benar-benar membutuhkannya sekarang.
“Ri?”
Eri mendongak dan mendapati Andra tengah
menatapnya prihatin.
“Lo kenapa Ri?”
Eri hanya menggeleng lemah lalu kembali
menenggelamkan kepalanya dibalik meja.
“Nggak mau cerita nih sama gue?” Andra
membelai rambut Eri pelan.
“Entar elo ngetawain gue kalo gue
cerita.” Suara Eri masih teredam dengan kayu meja yang menjadi sandaran
wajahnya.
“Nggak. Gue janji.” Andra membentuk
huruf “V’ diudara menggunakan tangan kanannya.
Eri luluh. Ia mengangkat wajahnya yang
mendung itu, dan melempar sorot mata memelas pada Andra. “Cowok gue nyebelin
Ndra!” pekik Eri histeris disusul dengan suara tangisan.
Andra jadi salah tingkah sendiri, karena
teman-teman sekelasnya sekarang melempar pandangan kambing hitam kepada Andra.
Seolah Andra-lah yang membuat Eri jadi mewek seperti ini. Padahal? Andra aja
nggak tahu apa-apa kok.
Andra mengibas-ngibaskan tangannya pada
semua orang yang menatapnya aneh. Sambil berkata “Bukan gue.” Tanpa bersuara.
Kini pandangan Andra kembali tertuju
pada Eri. “Apa tadi?”
“Cowok gue nyebelin!” pekik Eri sekali
lagi namun dalam volume yang sedikit mengurang.
“Nyebelin kenapa?”
Pandangan Eri pun menerawang kedepan,
seolah semua kejadian menyebalkan yang membuatnya terluka kembali terulang
didepan matanya. “Dia jadi aneh,” Eri mengehela nafas panjang. “Akhir-akhir
ini, dia jarang ngehubungin gue. Kalo gue hubungin, selalu aja berlagak sok
sibuk. Dia seperti nganggep gue nggak ada Ndra.” Air mata Eri mulai menitik
lagi.
“Kenapa
gitu?”
Eri menggidikkan bahu disusul dengan
gelengan kepala. “Gue juga nggak tahu. Gue nggak ngerti Ndra. Dia berubah.”
Andra mengusap bahu Eri sayang. “Ri.
Semua akan terjawab seiring waktu. Jangan terlalu dipikirin ya? Liat tuh mata
lo udah ngalah-ngalahin mata panda.”
Eri tertawa, akhirnya. Mendengar candaan
Andra. “Thanks for always beside me,
Ndra.”
* * * * * * * *
“Ki? Lo kemana aja sih? Gue nyariin lo.
HP lo mailbox terus.” Sembur Eri
begitu Ryzky mengangkat teleponnya. Setelah sekian kali mencoba menghubungi Ryzky.
Akhirnya bisa tersambung juga. Lagian Ryzky tuh kayak seleb sok sibuk aja sih.
Ponsel pake susah dihubungi segala.
“HP gue lowbatt Ri.”
“Lowbatt!
Lowbatt! Emang dirumah lo nggak ada charger apa? Sampe nggak bisa nge-charge lagi?” kepala Eri sudah ditumbuhi
tanduk sekarang saking kesalnya.
“Ri. Lo kenapa sih? Kok jadi marah-marah
gini?”
“Ya
marahlah. Gue berhak marah sama lo karena perlakuan lo yang kayak gini
ke gue.”
Diam.
Hening.
Ryzky tak bicara, begitu pula Eri.
5 menit…
10 menit..
Masih diam juga..
Eri mulai kehilangan kesabarannya.
“Ngomong kenapa sih!”
“Ngomong apa lagi Ri? Apa yang perlu
kita omongin?”
“Banyak! Soal hubungan kita! Kenapa lo
jadi aneh gini sih Ki? Kenapa lo berubah?”
“Berubah gimana?”
“Ya berubah! Lo jadi dingin dan cuek
sama gue. Lo seperti nggak pernah peduliin gue Ki.”
Diam lagi.
Hening lagi.
Namun sekarang semua kebisuan itu hanya
berlangsung selama 5 menit.
“Ri? Lebih baik kita putus aja ya? Gue
nggak mau lo sakit.”
Deg! Mata Eri membasah, jantungnya berdetak sangat lambat,
aliran darahnya tersendat. Tubuhnya terpaku tak bergerak. Mimpikah ini? Ryzky
ingin mengakhiri semuanya?
“Kenapa Ki? Kenapa mesti putus?”
“Kenapa Ki? Kenapa mesti putus?”
“Gue nggak bikin lo sakit karena kita
pacaran jarak jauh gini.”
“Siapa bilang gue sakit?” sergah Eri
marah. “Gue nggak sakit sama sekali Ki.”
“Tapi gue sakit.”
Eri mengambil bantal spongebob miliknya
dan menyumbatkannya pada telinga. “Gue nggak mau denger!”
“Ri? Udahlah, kita bukan anak kecil
lagi,” huh! Percuma, suara Ryzky tetap saja terdengar ditelinga Eri. “Mungkin
kita memang lebih baik jadi temen aja, seperti waktu kita kecil dulu.”
Ryzky terhenyak, suara tangisan Eri
terdengar dengan sangat jelas ditelinganya sekarang. “Ri, please jangan nangis.”
“Gimana gue nggak nangis kalo lo
ngelakuin hal sekeji ini sama gue Ki!”
“Maafin gue Ri. Gue nggak bermaksud
nyakitin lo. Mungkin lo bakal dapet cowok yang lebih baik dari gue nanti. Satu
yang harus lo tahu, gue beruntung pernah milikin elo.”
Kalau saja Ryzky ada dihadapan Eri sekarang, ingin rasanya
Eri menampar Ryzky sekuat tenaga. Beraninya ia berkata seperti itu. “Kalo lo
ngerasa beruntung punya gue, kenapa elo harus mutusin gue?” Eri terisak, Ryzky
tak menjawab. “Dan cowok yang lebih baik gimana lagi maksud lo?! Jangan ngaco!”
“Yang jelas cowok itu nggak akan
bersikap cuek dan dingin sama lo. Ri, please
jangan marah sama gue, gue masih mau kita temenan.” Ucap Ryzky akhirnya.
“Hhh..,” Eri menghela nafas dalam
tangisnya.
“Ri? Gue mohon, jangan buat semua ini
menghancurkan persahabatan yang sudah kita bangun sejak sepuluh tahun yang
lalu.” Kini suara Ryzky terdengar sangat memelas, membuat Eri tak tega.
“Ri? Gue mohon banget sama lo.”
Eri menyeka air matanya yang sudah
banjir. “Ya.”
“Ya?” tanya Ryzky memastikan.
“Ya. Kita temenan.”
* * * * * * * *
Eri mondar-mandir gelisah didepan
gerbang sebuah rumah yang cukup megah. Eri sedang menunggu si empunya rumah membukakan
pintu gerbang.
Set! Celah dari pintu gerbang mulai terbuka, dan menyembul
kepala Andra dari dalamnya. “Ri? Kenapa?”
Eri mendongak menatap Andra. Menunjukkan
wajahnya yang sembab dan menyedihkan. “Gue mau curhat!”
Andra berdiri diambang pagar dengan pose
berkacak pinggang. “Dari tampang lo yang suntuk itu, lo pasti mau curhat soal
Ryzky ‘kan?”
Eri tak menjawab, hanya terus menerobos masuk
kedalam rumah Andra lalu dengan seenak udel duduk dikursi teras milik Andra.
“Gak sopan!” celetuk Andra.
“Elo yang lebih nggak sopan! Ada tamu
kok malah diajak ngobrol diluar gerbang!”
“Nggak sopanan mana sama tamu yang
seenaknya aja masuk tanpa permisi?”
“Ya nggak sopanan tuan rumahnya bla bla
bla..,”
Aduh! Naluri Tom and Jerry, anjing dan kucing, minyak dan air, kancil dan Pak
tani-nya Eri dan Andra keluar deh. Kalo udah begini nih, bisa tunggu mulut berbusa
dulu baru berhenti.
Dan benar saja, setengah jam pun berlalu
dengan saling adu cemooh dan argumen yang nggak ada penting-pentingnya antara
Andra dan Eri. Mulai dari saling ejek tentang tinggi badan, warna kulit, berat
badan, sampe ukuran celana. Nggak penting semua ‘kan pokok bahasan ejekannya?
Mbok ya kalo ribut itu ejekannya agak berbobot dikit kek. Ejek-ejekan tentang global warming misalnya, atau sebab
musabab kematian Adolf Hitler, ejek-ejekan tentang sejarah perang dunia kedua
juga bisa, atau ejek-ejekan tentang nama latin dari tumbuhan, atau mungkin
ejek-ejekan tentang rumus kimia! (Loh, mau ejek-ejekan apa belajar bersama
sih?)
“Capek mulut gue!” Eri menggigit
bibirnya yang mulai lelah berkoar-koar sedari tadi.
“Salah sendiri! lo duluan yang ngajak
ribut!”
“Eh kok gue? ‘kan lo duluan? Kenapa jadi nyalahin gue?”
“Ya elo lah kalo lo nggak nyerobot masuk kedalam rumah gue, ya gue nggak akan gini.”
“Eh kok gue? ‘kan lo duluan? Kenapa jadi nyalahin gue?”
“Ya elo lah kalo lo nggak nyerobot masuk kedalam rumah gue, ya gue nggak akan gini.”
Eri berdiri lalu berkacak pinggang.
“Enak aja! ‘kan elo duluan yang bla bla bla..,”
Hadoooh! Kok mulai lagi sih ributnya? Males
ah gue ngelanjutin ceritanya. Pokoknya si penulisnya ngambek sama Eri dan Andra. Abisnya ribut mulu.
“Eh kok Mba penulisnya gitu sih?” gerutu
Eri.
Penulis : “Ya abisnya kalian berdua
ribut mulu! Males lah gue ngelanjutin ceritanya kalo ribut.”
“Tuh ‘kan Ndra. Gara-gara elo sih. Marah
Mba penulisnya.”
“Kok gue?”
Penulis : “Tuh ‘kan mulai!”
“Iya-iya ampun deh. Nggak dilanjutin
lagi. Suer!” Andra mengacungkan jarinya diudara.
“Iya Mba penulis. Nggak dilanjutin lagi
deh. Lagian kalo Mba penulis ngambek, siapa yang ngelanjutin ceritanya?”
Penulis : “Iya, gue lanjutin ceritanya.
Udah ah yang serius, jangan ribut-ribut lagi! Ceritanya nih, Eri lagi mau curhat
sama Andra.”
Oke, back
to story..
Eri menatap Andra lekat. “Gue putus sama
Ryzky, Ndra.”
Andra terperanjat kaget dikursinya.
“Putus? Kok bisa?”
Air mata Eri mulai menitik lagi. “Dia
bilang dia nggak mau long-distance
gini, Ndra.”
“Alah. Alasan aja pacar lo tuh!” Andra
mengompori. “Emang kapan putusnya?”
“Tadi waktu pulang sekolah.”
Andra memeluk Eri penuh kasih sayang.
”Udah ya Ri, jangan nangis lagi. Gue nggak mau ngeliat lo sedih. Walaupun nggak
ada Ryzky, gue yang akan selalu nemenin lo menggantikan dia. Gue janji.”
Eri mendongak, menatap Andra penuh
tanya. “Maksudnya?”
* * * * * * * *
Eri ada dirumah Ryzky sekarang, dia
bela-belain berangkat dari Bandung subuh-subuh dengan naik kereta, demi
mengejar waktu supaya nggak kesiangan nyampe rumah Ryzky yang ada di Jakarta.
Dan emang pas banget, Eri tiba dirumah
Ryzky jam 8 tepat. Dan Ryzky sepertinya memang belum bangun, karena sedari tadi
tak ada tanda-tanda Ryzky sedang beraktifitas (Ini nih kebiasaan jelek Ryzky.
Kalo hari minggu dan hari libur pasti bangunnya siang-siang). Eri sudah membawa
kue tart besar, sekotak coklat dan kado yang dibungkus menggunakan kertas kado
berwarna biru muda. Pasti udah pada tau dong kenapa Eri bela-belain kerumah
Ryzky hari ini? Ya, Ryzky ulang tahun!
Bisa dibilang Eri emang nekat. Udah tau
Ryzky dan dia nggak ada hubungan apa-apa lagi, tapi masih aja didatengin. Pake
acara surprise segala lagi.
“Assalamu’alaikum.” Eri mengetuk-ngetuk
pintu rumah Ryzky yang masih tertutup rapat.
Tak lama keluar seseorang yang sangat
dikenal Eri dari balik pintu itu. “Tante Ayu?” Orang yang ternyata Tante Ayu
alias Mama-nya Ryzky itu langsung disalami tangannya oleh Eri.
“Eri?” Tante Ayu menyinggahi bibirnya
diatas pipi kanan dan pipi Eri secara bergantian. “Eri ngapain kesini?”
“Nyari Ryzky Tante. Mau kasih surprise.” Eri mengerling bangga pada
setumpuk barang yang dibawanya dari Bandung tadi, barang-barang itu diletakkannya diatas meja kecil yang ada di
teras.
“Waah! Banyak banget Ri.” Tante Ayu takjub sendiri. “Ayo masuk! Ryzky belum
bangun, masih ada dikamarnya.” Tuh ‘kan bener! Ryzky belum bangun. Bangga Eri
dalam hati.
Tante Ayu menggamit lengan Eri masuk
kedalam rumah dan membawanya hingga kedepan sebuah pintu yang bertulis “Ryzky’s
privat room”.
“Ketuk aja pintunya,” Tante Ayu
mengedipkan sebelah matanya penuh arti pada Eri. “Goodluck ya. Ryzky pasti seneng dikasih kejutan sama pacarnya.”
Tante Ayu berbalik dan pergi.
Apa kata Tante Ayu? Pacar? Jadi Tante
Ayu belum tahu kalau Eri dan Ryzky itu udah.., aduh! Kok tiba-tiba Eri jadi
nggak enak hati gini ya sama Tante Ayu. Hmm, udahlah forget it. Sekarang yang terpenting jalankan misi untuk memberi
kejutan pada Ryzky (duilee, berat amat bahasanya?)
Eri baru saja mengangkat tangannya keudara bersiap mengetuk pintu,
namun terlambat, kepala Ryzky telah menyembul terlebih dahulu dari balik pintu
itu.
“Eri?!” seru Ryzky tak percaya. “Elo ngapain?”
Eri diam, dan hanya memberi isyarat
dengan bola matanya agar Ryzky melihat kearah tangannya yang sedang membawa kue
tart.
“Buat gue?”
Eri mengangguk. “Happy birthday ya Ki.”
Ryzky tersenyum. Namun senyuman yang
sangat hambar tanpa makna, membuat Eri sedikit kecewa. “Thanks.” Ujarnya pendek.
Ooh iya! Mungkin Ryzky bakal senang
kalau Eri menunjukkan kado yang dibawanya. “Tunggu bentar ya Ki. Tolong
pegangin!” Eri menyerahkan tart-nya pada Ryzky, lalu kedua tangannya sibuk
mengaduk isi tas kecil yang dipanggulnya dibahu kanan. “Nih!” Eri menyerahkan
kado dengan sampul berwarna biru yang dibawanya tadi kepada Ryzky. Namun Ryzky
masih bergeming dalam kehambarannya.
“Thanks.”
Ujar Ryzky sangat pendek untuk kedua kalinya saat mengambil kado itu dari
tangan Eri. Nggak ada kata lain apa selain “thanks”?!
gerutu batin Eri sebal.
“Nih tart-nya!” Ryzky menyodorkan kue
tart itu pada Eri lagi.
Dum! Eri tersentak mundur beberapa langkah melihat sikap
Ryzky kepadanya barusan. Ia menutup (lebih tepatnya sih membanting) pintu kamarnya
dengan kuat tepat didepan wajah Eri. Nggak sopan! Udah dapet kado, eh malah
seenaknya banting pintu dan ninggalin Eri sendirian disini.
Eri hanya bisa terduduk lemas disofa
yang ada disebelah pintu kamar Ryzky. Kue tart yang dibawanya tadi, diletakkan
oleh Eri dilantai, tepat diujung kakinya.
Percuma
gue kesini! Gue pikir hati Ryzky bakal luluh dan bisa sadar kalau gue masih
sayang sama dia. Ternyata nggak! Jangankan untuk sadar. Dia menerima kehadiran
gue disini juga nggak kok! Mending pulang aja deh! Putus batin Eri cepat dalam kekecewaan yang mendalam.
Eri baru saja bangkit dari kursinya
ketika mendengar seseorang memanggilnya.
“Mau kemana lo?”
Eri menoleh dan mendapati Ryzky tengah
berdiri dibelakangnya dengan menggunakan pakaian yang sangat rapi. Ryzky
mengenakan kemeja polos berwarna putih, jins belel, dan sepatu berwarna kecoklatan. Waah, jangan-jangan
Ryzky mau ngajak Eri pergi atau jalan bareng lagi! Asyiik!
Ryzky menatap Eri datar. “Kita pergi!”
* * * * * * * *
Mobil Ryzky berhenti tepat didepan
sebuah rumah sederhana yang minimalis. Rumah dengan warna ungu yang dominan.
Eri jadi heran sendiri, ngapain Ryzky ngajak Eri kesini? Kok bukannya pergi ke
restoran yang romantis atau jalan-jalan ke mall sih??
“Ngapain Ki kesini?” tanya Eri penuh
selidik.
Ryzky diam, ia hanya turun dari mobil
dan membukakan pintu untuk Eri tanpa berkata apa-apa. Eri jadi ikut mengunci
mulutnya rapat-rapat. Takut salah ngomong.
Ryzky menarik lengan Eri dan membawanya
duduk diteras rumah itu. “Tunggu sebentar!” pinta Ryzky dengan nada dingin.
Lalu masuk kedalam rumah itu tanpa permisi, meninggalkan Eri sendirian.
Eri mengusap wajahnya lesu. Ngapain sih
kesini? Nggak jelas banget! Mana Ryzky nggak ngasih tahu apa-apa lagi ke Eri.
Bikin Eri jadi penasaran.
Tuk! Tiba-tiba terdengar suara sepatu yang terhantuk kaki dari
kursi teras yang memang terbuat dari kayu. Eri mendongak, dan mendapati Ryzky
dan…, dan siapa itu ya? Eri nggak tahu. Yang jelas Eri nggak kenal sama cowok
yang ada disamping Ryzky itu. Cowok itu emang cakep sih. Udah cakep, tinggi,
putih, wajahnya itu charming banget!
Hus! Kok Eri jadi mikir gitu sih?! Inget
Eri! Cintamu hanya untuk Ryzky seorang. Pertahankanlah itu. Merdeka! Merdeka!
Merdeka! (apa’an sih?)
“Ri, ini I’am. Temen gue.” Ryzky menarik
lengan I’am maju kedepan, sehingga tubuh I’am sekarang berada tepat didepan
Eri.
“Hai, gue I’am.” I’am tersenyum
muaniiiiiissss sekali lalu mengulurkan tangannya kehadapan wajah Eri. Eri
sampai bengong takjub melihat perlakuan I’am terhadapnya. Cowok yang amaze.
“Gue Eri.” Eri membalas uluran tangan
itu dan tersenyum tak kalah muaniiiisssnya dari I’am tadi (padahal aslinya,
senyum Eri tuh bikin mual. Hehe)
Detik berikutnya jabatan tangan itu
terlepas. Kini Eri kembali mengalihkan perhatiannya pada Ryzky. Menunggu cowok
itu menjelaskan apa maksudnya membawa Eri kerumah I’am sekaligus mengenalkan
Eri padanya.
“I’am yang bakal nemenin lo hari ini.
Gue nggak ada waktu.”
Eri terperanjat. Kalau aja Eri nggak
tahu malu, mungkin udah dari tadi dia meloncat dari kursinya saking kaget.
“Maksud lo?”
“Lo tuh anak TK atau apa sih?! Gue udah
ngomong segitu jelasnya masih aja nggak ngerti!”
Eri berdiri dari duduknya, kekesalannya
sudah sampai ubun-ubun. “Lo bisa ‘kan nggak usah bentak-bentak gue?! Gue nggak budeg
sampe elo harus ngomong teriak-teriak!” Eri mengusap air matanya yang sudah
mulai menetes satu-persatu. “Apa sih salah gue sama lo? Sampe segitu bencinya
elo sama gue dan nggak ada waktu buat gue? Gue kesini mau ketemu dan
menghabiskan waktu sama elo Ki. Bukan sama I’am!” Eri meluapkan semua
kekesalannya pada Ryzky. Air matanya mengalir semakin deras, tubuhnya bergetar
hebat menahan rasa sakit yang semakin dahsyat.
“Maafin gue Ri.” Ujar Ryzky terakhir
kalinya sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Eri dan I’am.
Eri menghempas tubuhnya. Kembali duduk
keatas kursi tempatnya bersandar tadi. Wajahnya terbenam dibalik kedua telapak
tangannya.
Sementara itu I’am masih berdiri terpaku
ditempatnya tadi. Sorot matanya mengarah pada Eri dengan kasihan. Kasihan
karena Eri harus menelan kekecawaan bulat-bulat, kasihan karena Eri dipaksa
untuk menghabiskan waktu dengan orang yang asing baginya seperti I’am, dan
kasihan karena orang sebaik Eri harus disia-siakan oleh Ryzky. Betapa bodohnya
Ryzky, pikir I’am.
5 menit berlalu..
Perlahan I’am mendekati tubuh Eri yang
masih mematung dengan air mata. I’am menyentuh pundak Eri pelan. Membuat Eri
mendongak dengan sedikit terkesiap. “I’am?”
I’am melempar senyum yang teduh pada
Eri. “Jangan nangis ya Ri. Gue jadi ikut sedih kalau elo sedih. Kalau elo udah
nggak mau di Jakarta lagi, gue bisa kok nganterin lo ke stasiun Gambir.”
Eri menggeleng kuat. “Gue masih mau
disini, gue mau nungguin Ryzky sampe dia ada waktu buat gue.”
“Dia sibuk Ri.”
“Sesibuk apa sih dia sampe dia nggak ada
waktu buat gue?!”
Sekali lagi I’am hanya melempar senyum. “Dia lagi sibuk latihan bola, mau ada pertandingan.” Jelas I’am dengan sangat sabar. Membuat Eri jadi nggak enak hati sendiri. Dia ‘kan tadi udah bentak-bentak I’am, tapi cowok ini masih aja menunjukkan sikap yang adem ayem sama Eri.
Sekali lagi I’am hanya melempar senyum. “Dia lagi sibuk latihan bola, mau ada pertandingan.” Jelas I’am dengan sangat sabar. Membuat Eri jadi nggak enak hati sendiri. Dia ‘kan tadi udah bentak-bentak I’am, tapi cowok ini masih aja menunjukkan sikap yang adem ayem sama Eri.
Eri mulai mencoba meredam amarahnya,
agar tak kelepasan membentak I’am lagi. “Gue bingung sekarang mesti ngapain.”
“Mau pulang?” tawar I’am sekali lagi.
“Nggak. Gue mau jalan-jalan.”
I’am tersenyum penuh arti. “Gue harus
nepatin janji gue sama Ryzky. Jadi, gue yang bakal nemenin lo jalan-jalan. Deal?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar