Selasa, 27 November 2012

janji part 5



Mata Eri sibuk menjelajahi satu-persatu pemandangan taman buah yang terhampar luas dihadapannya, sambil sesekali berdecak kagum atau melontarkan kalimat “Wow!” atau “Ih keren!” dari mulutnya. Dan I’am hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Eri yang seperti anak kecil itu. Ada yang tahu dimana Eri dan I’am sekarang? Ya, Eri dan I’am sekarang ada di taman buah Mekarsari.
Awalnya sih I’am pengen mengajak Eri ke Dufan, tapi Eri bilang dia bosan kalau ke Dufan. Setelah Eri dan I’am berembuk ala para petinggi DPR yang sedang rapat fraksi, dihasilkanlah Mekarsari sebagai tempat tujuan.
“’am! Gue mau naik waterbike itu!” rengek Eri manja sambil menarik-narik lengan baju I’am. Matanya tertuju pada beberapa waterbike yang nganggur ditepi sebuah danau buatan.
“Iya-iya.” I’am nurut lalu menggandeng lengan Eri menuju ketepi danau. Mereka berdua mendekat kesebuah waterbike yang berwarna biru muda. “Naik gih!”
Eri menggeleng. “Elo duluan! Gue takut jatuh!”
I’am murut, dan menaiki waterbike itu terlebih dahulu. Lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Eri ikut naik. “Ayo!”
Duk! “Aw!” Eri meringis, kakinya terhantuk badan dari waterbike.
“Makanya pelan-pelan.” I’am mendudukkan tubuh Eri didalam waterbike.
“Bawel! Udah kayuh sana pedalnya biar waterbike-nya bisa jalan!”
I’am tertawa renyah mendengar kebawelan Eri yang terlihat sudah melebihi batas itu. Tapi ujung-ujungnya menurut juga, dan mengayuh pedal pada waterbike hingga waterbike itu tiba ditengah danau.
“Hh.. kaki gue pegel. Pijitin!” I’am menyikut Eri.
Mata Eri membulat kesal, membuat I’am mengulum senyum menahan tawa melihat wajah Eri yang terlihat sangat lucu itu. “Nggak mau! Pijit aja sendiri,” Eri mencubiti lengan I’am, membuat I’am meliuk-liukan tubuhnya, bermaksud untuk mengelak. “Ih I’am jangan gerak-gerak, entar waterbike-nya terbalik!”
“Hahahaha. Bodok! Week!” I’am memeletkan lidahnya pada Eri. Membuat cubitan Eri semakin menjadi-jadi. I’am bukannya kesakitan, malah tertawa lepas mendapat siksaan yang bertubi-tubi dari Eri itu. Begitu pula Eri, ia ikut tertawa melihat I’am tertawa. Mereka semua sama-sama tertawa lepas melupakan kesedihan yang sempat merundung tadi. Ternyata, TANPA RYZKY disini, gue masih bisa senang-senang kok, batin Eri.

* * * * * * * *

Ryzky memicingkan matanya kearah gawang yang hanya berjarak beberapa meter dari hadapannya, mencoba mencari sudut tendangan yang pas. Sedangkan “si kulit bundar” yang berada dititik putih itu seakan terus memanggil Ryzky, minta segera “disarangkan”
3, 2, 1…
Dukkk! Set! “Goool!” teriak teman-teman Ryzky yang ada dipinggir lapangan disusul dengan gemuruh tepuk tangan yang dipersembahkan untuk Ryzky.
“Baik. Latihan hari ini sampai disini dulu. Besok kita lanjutkan lagi.” Pak Bram, coach tim sepakbola dari sekolah Ryzky pamit lalu pergi dari tengah lapangan sepakbola yang masih dipenuhi dengan para pemain yang baru selesai latihan.
Ryzky melangkah lunglai keluar dari lapangan. Tenaganya hampir terkuras habis, karena terus menerus memainkan pola permainan yang menyerang dan cepat.
“Ki, sini gabung!” ajak David, salah satu teman Ryzky. Namun Ryzky hanya melempar senyum, dan berlalu menuju ruang ganti pemain.
Ryzky terduduk lemas sambil bersandar pada kursi yang ada diruang ganti. Tatapannya kosong, seperti orang yang mati segan, hidup tak mau. Ryzky melongoh kesampingnya, dan mendapati tas besar yang dibawanya dari rumah tadi. Ryzky celingukan, dan saat mendapati ruangan yang kosong, Ryzky bergegas mengeluarkan sesuatu dari dalam tas itu : sebuah buku catatan kecil, sebuah pena, dan sebungkus butir-butiran obat.
Ryzky membuka buku catatan kecil yang dibawanya dan menuliskan sesuatu disana.
5 menit berlalu.. Ryzky selesai menulis, lalu meletakkan buku catatan itu tepat diatas tasnya.
Sekali lagi Ryzky celingukan memandangi ruangan disekitarnya, dan kembali mendapati ruangan yang kosong. Dengan cepat Ryzky menuang semua butiran obat yang ada didalam plastik kecil tadi kedalam tangannya dan menelan semua obat itu dalam sekali teguk tanpa air.
Dan pada detik itu pula, perlahan Ryzky merasakan pusing yang luar biasa menyerangnya, pandangan matanya kabur tak jelas, hanya samar-samar. Dan  tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

 * * * * * * *

I’am melajukan motornya dengan kecepatan 60 Km/Jam. Membuat Eri hanya bisa bergidik ngeri.
“’am pelan-pelan!” pekik Eri. Namun sia-sia, suaranya malah tertelan oleh dengungan udara yang bising disekitar telinga mereka.
Eri menjawil pundak I’am keras. I’am akhirnya bereaksi juga dan melirik sekilas pada Eri yang ada dibelakangnya. “Kenapa?”
“Pelan-pelan!!” pekik Eri tak kalah kencang dari sebelumnya.
I’am hanya mengulas senyum jahil, dan malah menambah kecepatan membuat Eri berteriak semakin kencang. Teriakan yang dapat memecah suara deruan kendaraan yang sedang berlalu lalang ditengah jalan. “’am gue belum mau mati!” Eri meremas pundak I’am.
“Elo nggak akan mati sekarang Ri! Percaya sama gue.” Perlahan I’am mulai menurunkan kecepatannya. Membuat Eri bisa sedikit tenang. Setidaknya, kemungkinan nyawanya melayang karena kecelakaan lalu lintas menjadi semakin kecil.
Tiba-tiba Eri terlonjak kaget, ringtone dari ponselnya berbunyi nyaring. “’am minggir dulu!” Eri menepuk pundak I’am.
“Kenapa?”
“Ada yang nelepon gue nih!”
I’am menurut dan menepikan motornya dibawah sebuah pohon yang rindang dipinggir jalan. “Siapa yang telepon?”
Eri menggidikkan bahunya. “Nggak tahu! Nggak ada di phone-book gue.” Eri kini mengalihkan perhatiannya pada ponselnya. “Halo?”
“Eri? Ini Tante Ayu.” Suara Tante Ayu terdengar bergetar, apa jangan-jangan Tante Ayu menangis?!
“Tante nangis ya? Kenapa?” tanya Eri memastikan.
“Huhuhuhu… Ryzky, Ri. Ryzky!!”
Eri menelan ludahnya getir mendapati nama orang yang disayanginya itu disebut-sebut oleh Tante ayu dengan diiringi isakan tangis. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu ada Ryzky? Oh no! Kalau itu benar, siap-siap saja mendengar tangisan Eri yang meledak-ledak.
“Ry.. Ryzky kenapa Tante?”
“Huhuhuhu… Ryzky meninggal, Ri. Dia overdosis obat penenang.”

* * * * * * * *

Eri menelungkupkan kepalanya kedalam bantal, ia menangis sejadi-jadinya membayangkan Ryzky yang telah pergi untuk selamanya. Kenapa Ryzky harus ninggalin Eri secepat ini? Eri belum siap kalau harus kehilangan Ryzky. Eri sayang banget sama Ryzky. Tuhan! Kalau saja diizinkan, Eri mau nyusul Ryzky.
Tok tok tok! “Kak Eri? Ini aku Dinda.”
Eri mengangkat kepalanya begitu mendengar Dinda, adik semata wayang Ryzky mengetuk pintu. “Masuk Din!”
Cklik! Pintu terbuka dan Dinda langsung menghambur masuk kedalam kamar. “Kak, ini ada kiriman dari pembantu Kakak di Bandung.” Dinda menyodorkan seuntai kalung mawar yang telah mengering, pemberian Ryzky 8 tahun yang lalu. Kalung itu masih terbungkus rapi oleh plastik transparan.
Begitu mengetahui Ryzky meninggal, Eri memang langsung memberi tahu Bi Mar yang ada di Bandung untuk segera mengirimkan beberapa helai baju Eri dan kalung bunga mawar itu melalui paket kilat. Mengingat Eri harus menginap dirumah Ryzky sampai pemakaman besok dan Eri memang tak bisa tidur jika tak memandangi kalung bunga mawar itu terlebih dahulu.
Eri mengambil kalung itu dan langsung memeluknya erat, tangisannya semakin pecah mengingat semua kenangannya bersama Ryzky. Ryzky yang jahil, Ryzky yang selalu ada disamping Eri saat Eri membutuhkannya, Ryzky yang menyayangi Eri, dan Ryzky yang..,
“Ri?” Eri dan Dinda menoleh kearah pintu, dan mendapati I’am tengah berdiri disana dengan wajah yang tegang. I‘am berjalan mendekat dan duduk disamping Eri. “Ini!” I’am menyerahkan sebuah buku catatan kecil dengan sampul berwarna hijau tua kepada Eri.
Eri mengusap air matanya. “Ini apa ‘am?”
“Lihat aja!” I’am tersenyum penuh arti lalu menoleh pada Dinda dan memeberikan isyarat agar Dinda keluar dari kamar itu. “Gue sama Dinda keluar dulu ya.” I’am dan Dinda pun beranjak dari atas tempat tidur lalu keluar dari kamar dan menutup pintu dengan sangat rapat.
Kini hanya tertinggal Eri dan buku catatan yang bersampul hijau tua itu. Eri pun membuka halaman pertama..

Note:
Hari ini gue jadian sama Eri. Senangnya!
Penantian selama sepuluh tahun yang nggak sia-sia J
Naresa Libery, I LOVE YOU TILL THE END OF MY BREATH. Xoxo :*

Air mata Eri semakin tumpah. Ya tuhan! Ryzky benar-benar sayang padaku, pikirnya. Bahkan ia benar-benar menyayangiku seperti kata-katanya didalam buku ini “till the end of my breath”. Eri membuka halaman selanjutnya..,

Note:
Gue nggak pernah tahu apa yang terjadi saat ini? Kenapa gue bisa jenuh sama Eri? Bukannya kalau kita menyayangi seseorang, kita nggak akan pernah jenuh jika menjalani hubungan sama orang itu?
Gue yang bego. Kenapa gue harus menjadikan jarak yang terbentang begitu jauh menjadi halangan untuk hubungan gue dan Eri? Benar apa kata I’am, kalau gue mau jadi pacar Eri seharusnya gue harus siap dengan semua resikonya.
Eri, maafin gue ya. Karena kebodohan gue, gue jadi bersikap dingin dan nggak peduli sama lo. Tapi jauh didalam lubuk hati gue, gue bener-bener sayang sama lo. Trust it!

Eri memeluk buku catatan itu kuat-kuat. Ryzky!!! Gue juga sayang sama lo!!! Tapi kenapa elo ninggalin gue?!! Jerit hati Eri menahan perih. Eri menyeka air matanya, dan kembali membuka halaman selanjutnya..,

Note:
Mungkin tuhan memang belum menghendaki gue dan Eri bersatu. Buktinya, hari ini gue dan Eri memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dan kembali menjadi teman biasa, seperti apa yang kami jalani selama sepuluh tahun belakangan ini.
Gue cuma nggak mau terus-menerus nyakitin perasaan Eri. Just that!
Tapi gue yakin, suatu hari nanti cewek sebaik Eri pasti akan mendapat pengganti yang jauh lebih pantas disisinya dibandingkan gue. Yang jelas, cowok itu adalah cowok yang lebih baik dan nggak akan pernah menyakiti perasaan Eri. Seperti apa yang gue lakuin ke dia. Maafin gue Ri. Ini yang terbaik buat lo. ‘cause i don’t wanna hurt you again L

“Gue nggak yakin, bakal dapet pengganti yang lebih baik dibanding elo Ki.” Desis Eri pelan pada dirinya sendiri. Lalu kembali membuka halaman berikutnya..

Note:
Gue nggak tahu dan nggak pernah tahu. Kenapa semua obat penenang yang gue minum selama ini, nggak pernah bikin pikiran dan perasaan gue tenang? Kenapa setiap muncul bayang-bayang Eri dibenak gue, jiwa gue terasa terguncang. Seperti ada beribu-ribu rasa bersalah yang menyerbu otak gue. Dan berapa banyakpun obat penenang yang gue minum, nggak  pernah bisa mengusir rasa bersalah itu dan ujung-ujungnya kembali membuat hidup gue nggak tenang.
Apalagi pagi ini, Eri sudah  datang kerumah gue dan menyiapkan surprise ulang tahun. Dan entah mengapa, saat gue  benar-benar ada didepan Eri, rasa bersalah yang menyerbu itu terasa semakin banyak. Gue nggak siap harus ada didekat Eri lagi.
Akhirnya pun gue mutusin buat nyuruh I’am nemenin Eri selama di Jakarta. Semoga Eri bisa sedikit  melupakan masalahnya dengan gue saat bersama I’am. Gue nggak mau liat Eri nangis dan sedih lagi karena gue! Gue nggak kuat!
Dan gue sekarang udah benar-benar nemuin gimana caranya supaya gue bisa tenang untuk selamanya. Gue harus mati! Itulah satu-satunya jalan.  Supaya Eri nggak akan pernah bisa melihat wajah penjahat gue yang selalu bikin dia nangis. Dan supaya Eri bisa secepatnya ngelupain gue juga nemuin pendamping yang baru. Dan yang terpenting adalah, supaya Eri bahagia.
Selamat tinggal Eri! God will always bless you to find your love. And “there” I will laughing with god when you have find your happiness. I love you, and see you in the heaven ;)

PS to I’am : gue titip Eri ya ‘am. Jaga dia baik-baik dan buat dia bahagia. Jangan sampai lupa juga semua cerita tentang kehidupan Eri yang pernah gue ceritain sama elo. Jadiin itu patokan buat elo supaya elo bisa membuat Eri bahagia. Gue percaya elo ‘am. Elo pasti bisa ngelakuinnya. Goodluck J

Eri terhenyak. Jadi Ryzky menitipkan Eri kepada I’am? Eri geleng-geleng tak percaya. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah kenyataan, I’am lah yang akan menjaga Eri seperti Ryzky menjaga Eri dulu walaupun status I’am dan Eri hanya teman. Dan I’am lah yang akan menggantikan Ryzky, walaupun Eri tahu benar Ryzky tak akan pernah terganti dalam hidupnya. Akankah semua semudah itu untuk dijalani Eri dan I’am? Entahlah, hanya tuhan yang tahu.

* * * * * * * *

Eri menatap lekat kalung mawar yang kering itu. Entah sudah berapa lama, ia hanya termangu dan terhanyut dalam pikirannya didepan kalung mawar pemberian Ryzky. Seakan kalung mawar itu, adalah cermin fatamorgana yang dapat memantulkan semua gambaran cerita yang Eri dan Ryzky pernah alami.
“Ri? Masih mau disini?” tanya I’am pelan.
“Tunggu sebentar!” pinta Eri sambil menyeka air matanya. Eri menatap kalung itu sekali lagi, dan mungkin untuk yang terakhir kalinya. “Hhh!” Eri mengehela nafas panjang, lalu meletakkan kalung mawar itu tepat diatas tanah makam Ryzky yang masih basah. “Selamat jalan Ki. Selamat tinggal untuk selamanya!” ucap Eri lirih sambil menahan air matanya yang selalu saja memaksa untuk keluar.

* * * * * * * *

“Igo.” Cowok berambut cepak, dengan wajah yang manis dan berperangai kocak itu menyodorkan tangannya tepat dihadapan wajah Eri.
“Eri.” Balas Eri sambil tersenyum.
“Dia temen gue dan Ryzky disekolah Ri.” Papar I’am pada Eri.
Eri hanya kembali tersenyum. “Makasih ya, udah bela-belain nyisihin waktu cuma buat ngehibur gue.” Eri menyeruput jus jeruknya.
Igo cengengesan. “Iya. Hehe. Lagian gue penasaran aja. Gimana sih cewek yang namanya Eri  itu. Sampe-sampe bisa bikin Ryzky yang dingin kayak beruang es itu takhluk dan cinta mati.”
I’am geleng-geleng kepala. “Huss! Awas loh dihantuin sama Ryzky entar malem.”
Igo masih saja cengengesan. “Gapapa. Biar aja hantunya Ryzky gue ajak maen sepakbola.”
Eri baru saja hendak angkat suara dalam pembicaraan seru ini, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar.

Andra
Calling..

“Bentar ya!” pamit Eri pada I’am dan Igo lalu berjalan  menuju luar restoran.
“Halo? Kenapa Ndra?”
“Ri? Lo dimana sih? Kenapa nggak masuk sekolah? Mana nggak ada keterangan apa-apa lagi! Gue datengin kerumah lo, lo-nya nggak ada. Gue tanya pembantu lo, lo-nya kemana. Dia nggak mau jawab.” Seloroh Andra.
“Gue lagi nggak di Bandung, Ndra.” Ujar Eri terpatah-patah.
“Nggak di Bandung? Terus lo dimana?”
Eri mengetuk-ngetuk kepalanya. Harus nggak sih, Eri menceritakan semuanya pada Andra? “Gue, lagi ada masalah.”
“Masalah apa?” selidik Andra semakin jauh.
Huh! Terpaksa cerita nih. Siap-siap aja bakal ada pertumpahan air mata lagi. Eri berjalan kesudut parkir restoran, lalu ia berdiri dibawah sebuah pohon yang letaknya terkucilkan dari keramaian. Singkat kata, tempat Eri sekarang berada adalah tempat yang sepi.
Saat mentalnya telah benar-benar siap, barulah Eri mulai berbicara lagi. “Ryzky.., me… meninggal.” Eri mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
“Innalillahiwainnaillaihiroji’un.” Ucap Andra dari seberang sana.
“Dia meninggal kemarin, Ndra. Hari ini pemakamannya.”
“Gue turut berduka cita ya Ri.” Ujar Andra tulus.
“Iya, Ndra. Makasih ya,” Eri kembali mengusap sisa-sisa air matanya. “Udah dulu ya Ndra, udah jam 5 sore. Gue mau mandi.” Dusta Eri. Padahal nyatanya ia sekarang tengah berada disebuah kafe bersama I’am dan Igo.
“Iya. See you Ri.” Klik! Andra mematikan telepon, Eri bergegas memasukkan ponselnya kembali kedalam saku dan berjalan masuk kedalam kafe.
“Sori lama.” Eri tersenyum pada I’am dan Igo, menyembunyikan raut sedih wajahnya yang sehabis menangis itu.
Ígo (masih) cengengesan. “Hehe. iya. Tenang aja.” Jawabnya enteng. Kapan ya anak ini berhenti untuk cengengesan? Ckck! Pikir Eri iseng.
Eri mengahabiskan jus jeruknya yang masih tersisa dalam sekali sedot. “Yuk pulang!”

* * * * * * * *

“Pulang sekolah,makan siang sama gue yuk?” tawar andra.
Eri hanya mampu mengangguk tanpa mengucap sepatah katapun. Matanya masih menerawang entah kemana. Yaaah, mungkin pada bayang-bayang Ryzky.
“Lo mau kita makan siang dimana entar Ri?”
Eri hanya angkat bahu.
“Di Red-Table gimana?”
Eri mengangguk, masih tanpa sepatah suara pun dari bibirnya.

* * * * * * * *

Eri  memutuskan untuk berhenti diujung  jalan rumahnya saja. Ia sedang enggan untuk diantar oleh Andra  sampai kedepan rumah.
Thanks, Ndra.” Eri mengembalikan helm yang tadi ia kenakan pada Andra.
“Seharusnya gue yang berterima kasih sama lo karena udah mau nemenin gue makan siang.”
“Iya-iya. Intinya kita berdua sama-sama berterima kasih,” Eri tersenyum simpul. “Gue balik dulu ya, Ndra.” Setelah melambaikan tangannya pada Andra, Eri segera berjalan menuju rumahnya  yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari ujung jalan.
Eri baru saja mengerakkan tangannya untuk membuka pintu gerbang rumahnya ketika seseorang memanggilnya dari belakang. “Ri?”
Eri menoleh dan mendapati I’am tengah berdiri dibelakangnya dengan tangan yang masuk kedalam saku. “I’am? Lo?”
“Kenapa?”
Eri celingukan. “Lo naik apa kesini?”
“Naik kereta. Gue cuma pengen nengokin keadaan lo aja. Gue harus tetep jaga amanat Ryzky untuk selalu ngejaga lo.”
Eri tersenyum penuh arti lalu menggamit lengan I’am. “Ayo! Duduk didalam aja ‘am,” lalu menariknya masuk kedalam rumah. “Lo duduk aja dulu disini ya. Gue mau ganti baju.” Eri mendudukan tubuh I’am diatas sofa ruang tamunya lalu bergegas pergi menuju kamarnya yang ada didekat ruang keluarga. Rumah Eri memang rumah yang sangat sederhana. Bukan rumah yang bertingkat dengan pilar yang besar, tetapi  hanya rumah dengan satu lantai berukuran 30x20 meter. Dan hanya memiliki 4 kamar.
Tak lama Eri kembali datang keruang tamu dengan membawa sebuah nampan yang berisi dua gelas sirup dan tiga stoples kue.
“Maaf ya ‘am. Seadanya. Hehe.” Eri meletakkan semua barang bawaanya diatas meja ruang tamu. I’am malah cekikian.
“Nyantai aja kali. Nggak dikasih lo minum atau kue juga nggak apa-apa.”
Eri duduk disofa yang ada dihadapan I’am. “Langsung ke intinya aja deh. Apa tujuan lo kesini?”
“Loh , tadi ‘kan gue udah bilang. Gue mau ngejenguk  elo Ri.”
Just that?” tanya Eri curiga.
“Iya. Nggak percaya?”
Eri menghela nafas panjang. “Iya deh percaya.”
“Kita jalan yuk Ri.”
Eri mendelik kaget pada I’am. “Tuh ‘kan. Baru aja tadi bilangnya nggak ada maksud apa-apa kesini, cuma mau nengokin gue aja. Tapi sekarang malah ngajak jalan! Gimana sih? Lain dihati, lain dimulut.” Cerocos Eri sok pujangga.
I’am jadi salah tingkah sendiri. Sepertinya perkataan Eri barusan sangat kena dihatinya. “Ya.. gue..,”
“Apa?” desak Eri.
“Gue emang mau ngajak lo jalan bareng sih. Hehe. tapi kalau elo nggak mau juga nggak apa-apa kok.”
Eri tertawa melihat tingkah I’am. Seperti maling yang ketangkap mencuri. “Gue mau kok ‘am pergi sama lo.”
“Serius?”
Eri mengangguk. “Emang kita mau pergi kemana?”
“Nonton. Setuju?”

* * * * * * * *

Eri merasakan matanya begitu berat. Ancang-ancang untuk tidur. Namun detik-detik menuju alam mimpi itu selalu saja terhalang dengan kegaduhan penonton yang sibuk  tertawa terbahak-bahak.
“Ri? Kamu ngantuk? I’am menyikut Eri.
Eri menguap. “Hoaahhm! Iya nih ‘am. Nggak seru banget ih filmnya.”
“Kamu nggak suka?”
“NGGAK! Katanya tuh film, film komedi. Tapi kok nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Gue heran sama semua penonton disini termasuk lo. Kok bisa ya ketawa nonton film garing begitu.”
Ya begitulah, film yang ditonton Eri dan I’am ini memang garing abis (itu sih menurut Eri loh). Awalnya Eri memilih untuk menonton film action, tapi I’am nggak setuju. Soalnya kata dia, dia udah pernah nonton film itu beberapa hari yang lalu dan jelek. Tapi kalau begini mah, kayaknya bagusan film action itu kemana-mana deh daripada film sok ngelucu ini.
“Cabut aja yuk!” ajak Eri dengan wajah memelas.
“Tanggung Ri.” Cegah I’am.
“Gue bisa mati bosen kalau dalam waktu 5 menit nggak buru-buru keluar dari sini.” Gerutu Eri.
“Bentar lagi deh.”
“Ih ogah. Nonton aja sana lo sendirian!” Eri bangkit dari duduknya dan berbalik hendak keluar dari ruangan bioskop, namun langkahnya terhenti saat mendapati sesuatu menghadang langkahnya menuju pintu keluar. Dup! Tiba-tiba layar bioskop juga mati seiring dengan langkah Eri yang ikut terhenti itu. Layar mati saat film sedang ada dibagian closing dan seluruh penonton berseru kesal. Mereka semua hendak berbalik pergi meninggalkan ruangan bioskop. Namun persis sama seperti Eri, langkah mereka semua ikut terhenti ditempatnya masing-masing begitu melihat apa yang juga dilihat Eri.
Mulut Eri menganga lebar, matanya membulat takjub, pipinya bersemu merah. Alunan nada dari orkestra biola perlahan mengalun dengan merdu. Alunan yang berasal dari gesekan biola para pria yang tengah berdiri dibelakang ruangan bioskop itu.
“Suka?”
Eri tersentak mengetahui tenyata I’am sudah berdiri dibelakangnya dan menanyainya. Jangan-jangan.. “Jangan bilang ini semua rencana lo!”
I’am terkekeh. “Kalau gue mau bilang ini semua rencana gue gimana? Lo pasti tambah seneng ‘kan?”
“Ih.. I’am.” Rengek Eri manja.
Suara alunan biola semakin berderu keras. Membuat para penonton yang sempat terbakar emosi kembali tenang dan justru menikmati kejutan tak terduga ini. Malahan sekarang mereka semua seolah menjadikan Eri dan I’am sebagai tontonan gratis mereka.
“Duh! Romantisnya.. mau dong Mas, saya jadi pacarnya.” Celetuk salah seorang penonton wanita yang disusul dengan sorakan penonton yang lainnya.
“’am, apa maksud lo?”
I’am mendekatkan tubuhnya pada Eri dan mengenggam tangan Eri kuat-kuat. “Gue cuma mau elo tahu, Ri. Elo udah nempatin posisi yang spesial dihati gue.”
“Elo?..,” Eri memutus kalimatnya ditengah jalan. Waah jangan GeEr dulu deh, I’am ‘kan bukan nembak. Tapi cuma membicarakan hal yang penting dan spesial aja. Nggak lebih!
Gemuruh tepuk tangan penonton mulai terangkat, melihat Eri dan I’am yang saling pandang dengan tatapan saling tak mengerti.
“Cuma mau membicarakan hal ini, elo sampai menyiapkan persiapan yang segini mewahnya, ‘am?”
“Emang nggak boleh? Sah-sah aja kali kalau gue mau mempersembahkan sesuatu yang spesial untuk orang yang spesial buat gue.”
Eri tersenyum dan melempar sorot mata penuh arti pada I’am. “You’ve take an important place in my heart, ‘am.”

* * * * * * * *

Eri memandang langit-langit kamarnya sambil senyam-senyum sendiri, persis seperti orang yang baru keluar dari Rumah Sakit Jiwa.
Semua saat-saat indah bersama I’am tadi kembali berkelebat hebat diotaknya. Eri juga sampai sekarang tak habis pikir, bagaimana bisa ia begitu cepat melupakan Ryzky dan sekarang malah menaruh hati pada I’am (walaupun mereka berdua belum jadian sih). Padahal awalnya, Eri sempat pesimis akan bisa melupakan Ryzky didalam hidupnya. Ternyata tidak, hanya butuh waktu kurang-lebih sebulan untuknya agar bisa menggantikan cintanya untuk Ryzky, menjadi cintanya untuk I’am.
Tok tok tok! “Ri? Buka pintunya.”
Eri terperanjat, dan terduduk kaget diatas ranjangnya. “Iya, ‘am. Tunggu!”
Cklik! Eri memandangi I’am yang masih mengenakan handuk dikepalanya sesaat. “Kenapa ‘am? Udah mandinya?”
“Udah kok. Eh, Ri. Gue pinjem HP lo dong.” Pinta I’am. I’am memang masih ada dirumah Eri sekarang, dia menumpang mandi (tapi nggak ganti baju, karena nggak bawa baju gantian) dan menunggu jemputan dari Igo yang sekarang masih on the way dari Jakarta menuju Bandung.
“Buat?”
Handphone gue lowbatt, gue mau nelpon Igo. Gue mau nanya, dia udah sampe mana.”
“Oke,” Eri berjalan mendekati ranjangnya dan mengambil handphone-nya yang tergeletak disana lalu menyerahkannya pada I’am. “Nih!”
“Thanks gue pake dulu ya..” I’am mengedipkan sebelah matanya pada Eri lantas langsung memunggungi Eri, pergi.

* * * * * * * *

2 jam kemudian, tepat jam 8 malam..
Ting tong!
Bel rumah Eri berbunyi, Eri dan I’am yang sedang nonton DVD film Prince Of Persia hanya melengos cuek. Karena Eri tahu, pasti Bi Mar akan segera membukakan pintu itu. Dan bener aja, tak lama Bi Mar datang dengan tergopoh-gopoh menuju ruang  tengah bersama seseorang.
“Igo!!!” pekik Eri riang lantas menghambur memeluk Igo. “Kenapa tadi siang nggak kesini sih? Kalau ada elo ‘kan pasti tambah seru.”
Igo cengengesan dengan gaya tengil minta ampun. “Kenapa memangnya? Kangen ya sama Abang yang ganteng ini?” Igo mengusap rambutnya menggunakan celah jari dari depan kebelakang.
Eri menirukan gaya orang muntah. “Uuekk! Mau muntah gue.”
“Eh, Ri. Gue balik dulu ya?” pamit I’am iba-tiba yang langsung disambut tampang cembetut Eri.
Igo menepuk pundak I’am. “Nanti aja ngapa ‘am? Nyantai dulu disini. Istirahat bentar. Gue capek nyetir dari tadi.”
Wajah Eri yeng tertekuk langsung kembali sumringah mendengar ucapan Igo. “Iya, ‘am. Bener apa kata Igo. Istirahat disini dulu aja,” Eri mengerling manja pada I’am. “Ayo nonton lagi!” Eri menggamit lengan I’am dan langsung membawanya kembali keruang tengah, Igo membuntuti.
“Waah, Prince Of Persia ya? Gue udah nonton ini mah. Ganti-ganti!” Igo menggondol remot DVD yang diletakkan diatas meja. Jari Igo baru saja ingin menekan tombol power ketika Eri mencekal lengannya. “Apa’an sih, Ri?”
“Elo yang apa-apa’an? Lagi seru tau!”
“Bawel!”
Eri merampas paksa remot yang ada digenggaman Igo. “Sini! Jangan harep ya elo bakal bisa ngeganti filmnya.”
I’am melirik tajam pada Eri dan Igo. “Sshhh! Jangan berisik, nggak kedengeran!” lalu kembali mengalihkan pandangannya pada layar TV.
“Dasar, Eri bawel, cerewet!” bisik Igo pada Eri sambil cekikikan.
“Bodok!”
“Hehe, becanda, Ri. Peace!” Igo mengacungkan jari tengah dan telunjuknya di udara.

* * * * * * * *

I’am masuk kedalam mobil disusul Igo.
Tak lama, lampu depan mobil menyala dan bunyi suara mesin berderu kencang, tanda mesin telah dihidupkan.
I’am menurunkan jendela menggunakan power window, dan menatap Eri yang masih berdiri terpaku disamping mobil. “Jaga diri kamu baik-baik ya, Ri.”
“Iya, ‘am. Makasih ya udah mau dateng kesini.”
I’am tersenyum penuh arti. “Gue janji, gue bakal sering-sering kesini buat jenguk elo.”
Eri mengangguk. “Pintu rumah gue bakal selalu terbuka buat lo kok ‘am.”
“Oh ya, Ri. Kita tetep keep in touch lewat handphone ‘kan?”
Sekali lagi Eri mengangguk pasti. “Iya, ‘am. Pasti.”
“Woy, udah belum perpisahannya?” tegur Igo dari balik setir.
“Reseh.” Desis Eri pelan.
Tin! Klakson mobil berbunyi sebagai tanda pamit. “Gue pulang, ya.” Pamit Ryzky lalu menutup jendela dengan menggunakan power window.
Mobil mulai berjalan, Eri melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Suasana yang seharusnya mengharu biru langsung berubah begitu terdengar suara Igo yang berteriak dari dalam mobil. “Daaah, oneeeeeng!” ucapnya lantang.
Eri tercengang. Oneng? Sejak kapan dia punya nama oneng?

* * * * * * * *

3 bulan kemudian..
Eri termenung menatap papan tulis yang ada dihadapannya. Deretan rumus kimia berjejer rapi disana. Eri mengehembus nafas pelan, pikirannya menerawang pada sosok I’am. Akhir-akhir ini, Eri memang suka dibuat gelisah dan gregetan oleh sikap I’am yang nggak kunjung menyatakan cintanya padanya. Padahal udah hampir 4 bulan mereka dekat dan saling mengenal satu sama lain. Memang nggak cukup ya waktu pedekate 4 bulan buat memantapkan semuanya? Lagi pula waktu itu ‘kan I’am juga udah bilang sama Eri, kalau Eri telah mengambil tempat yang penting dihatinya. Kalau udah gitu, I’am pasti suka dong sama Eri! Tapi kenapa I’am belum nyatain cinta secara resmi sih? Sampe kapan Eri dan I’am Cuma HTS-an doang?
Huh! Masak iya, Eri yang mau nembak duluan. Gengsi ah!
“Naresa!” pekik Pak Irman dari depan kelas dengan suara melengking, membuat Eri terperanjat. “Mana catatan kamu?!” tanya Pak Irman sambil berjalan mendekat menuju meja Eri yang ada dipaling belakang.
Aduh! Mampus gue. Ini nih gara-gara ngelamun dikelas, rutuk batin Eri.
Pak Irman membolak-balik buku catatan Eri yang masih kosong blong, nggak ada satu-pun rumus yang tertulis disana. “Dari  tadi apa aja yang kamu kerjain?! Kenapa buku catatannya masih kosong?!” tanya Pak Irman garang, membuat Eri merinding disko dan akhirnya hanya mampu tertunduk dengan mulut terkatup rapat. “Cepat kamu kerjakan soal latihan dihalaman 44 dari nomor 1 sampai 10 di papan tulis!!”
Glek!

* * * * * * * *

Malam harinya..
Eri menatap layar ponselnya bingung. Kenapa I’am belum menghubungi dia ya sampai sekarang? Biasanya ‘kan I’am selalu ngasih kabar mulai dari hal sepele seperti, dia lagi apa, dimana, apa aja kegiatan dia hari ini. Tapi kok, dari tadi pagi sampai malem, I’am malah nggak terdengar rimbanya sedikitpun ya?
Apa dia udah bosen ya berhubungan sama gue? Apa dia udah eneg sama tingkah gue yang kayak enak kecil? Arrgh! Eri mengacak rambutnya kesal, berusaha menghilangkan pikiran negatifnya itu.
Akhirnya (daripada pusing dan bingung) Eri memutuskan untuk menarik selimut yang sedari tadi hanya dianggurinya, menutup sekujur tubuhnya menggunakan selimut itu, dan tertidur pulas hingga pagi menjelang nanti. Semoga mimpi ketemu I’am, harapnya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar