Seminggu kemudian..
“Mana ya bukunya?” tanya Eri dengan tampang kusut setelah
dua jam lamanya mengitari toko buku Gramedia untuk mencari buku kumpulan rumus
matematika. Eri menoleh kesebelahnya, namun tak mendapati Andra berada
disampingnya lagi. “Loh? Andra kemana?” Eri celingukan. “Ndra!” pekik Eri
sedikit keras sambil menyelusuri lorong-lorong buku dengan air muka bingung.
Awas aja kalo ketemu, gue jitak lo, Ndra, batin Eri berang. “Ndra!” panggil Eri
sekali lagi. Kini ia tengah berada di lorong buku yang berada paling pojok, tak
ada orang disana kecuali Eri dan…, “Andra!” pekik Eri tertahan ketika mendapati
Andra tengah pingsan dengan posisi tubuh bersandar pada rak buku.
Eri mendekat lalu berjongkok didepan tubuh Andra. “Ndra!
Ndra! Bangun!” Eri mengguncang tubuh dan menepuki pipi Andra. “Aduh! Ndra,
bangun dong!” Eri makin panik.
Gimana kalau Andra mati? Siapa yang mau bawa jenazahnya? Ih,
Andra nyusahin banget deh!
Eri baru saja hendak berdiri untuk pergi meminta pertolongan
ketika seseorang menggaet tangannya. “Ri?” panggil orang itu lembut.
Kontan Eri menoleh dan mendapati Andra sudah sadar dengan
wajah segar bugar. Segar bugar? Nggak salah? Bukannya tadi Andra pingsan.
“Ndra, elo?” Eri kembali berjongkok tepat dihadapan Andra.
Andra terlihat merogoh bagian dalam bajunya dan mengeluarkan
setangkai bunga mawar dari sana. “I love you, Ri.” Ucapnya dengan wajah
sumringah.
Eri tercengang. Andra menyukainya? Ya tuhan, mimpikah ini?
“Ndra…,”
“Sshh!” Andra meletakkan telunjuk didepan bibirnya. “Lo
nggak perlu jawab sekarang kalau emang lagi bingung. Yang jelas gue akan selalu
menunggu jawaban lo.”
“Siapa juga yang mau ngomong gitu!” sungut Eri kesal.
Andra mengernyit. “Terus?”
“Ndra, gue sebel sama lo. Lo ngerjain gue ‘kan? Lo tadi
pura-pura pingsan ‘kan?” Eri menjitaki kepala Andra sebal, sesuai dengan
janjinya tadi.
* * * * * * * *
Eri merutuki ponselnya yang tak kunjung berbunyi menandakan
ada sms masuk dari I’am. Sudah seminggu lebih I’am hilang nggak ada kabar.
Kemana sih dia? Bikin Eri cemas. Padahal ‘kan perjalanan hubungan mereka lagi
seru-serunya. Tinggal “tembak” lagi tau gak! Tapi kalau begini, apanya yang mau
di “tembak”?
Eri memutuskan untuk membuka phonebook di ponselnya dan memilih nama Igo disana.
To : Igo
Go, lo tau gk I’am kmn? Dia udh smnggu
gk ngsh kbr k gue.
5 menit..
Datang balasan.
From : Igo
Gue jg gk tau. Dia jg udh lma gk
kliatan dskolah.
Eri menghela nafas panjang. Kalau sudah begini, apa boleh buat. Mungkin inilah jalan terbaik. Eri
nggak mau menunggu seseorang yang tak pasti, sama seperti halnya dulu ia
menunggu Ryzky. Dan ujungnya, penantian itu akan tertelan pahit dan sia-sia.
Mungkin akan lebih baik jika semuanya diakhiri.
Eri menekan tombol dial-up
di ponselnya dan tertera tulisan “calling Andra” pada LCD.
“Ri, kenapa? Tumben malem gini nelpon gue.” Sahut Andra dari
seberang.
Eri menelan ludahnya pahit. “Ndra…, I wanna be yours.”
* * * * * * * *
1tahun kemudian..
Eri tersenyum penuh arti menatap sepasang cincin yang ada
dihadapannya. “Ini cincin buat tunangan kita?” tanya Eri pada Andra yang
disambut anggukan mantap dari Andra.
“Iya, kamu suka ‘kan?”
“Tentu aja dong, Ndra. Ini bagus banget.” Eri menatap cincin
polos yang berukirkan tulisan nama mereka masing-masing itu dengan takjub.
Satu tahun telah berlalu, untuk Eri memang nggak mudah
melupakan I’am, nggak semudah melupakan Ryzky dulu. Karena I’am adalah orang
yang sangat berarti untuk Eri. I’am adalah orang yang membantunya untuk tetap
bertahan disaat sulit dulu.
Namun saat semuanya berjalan sempurna bersama Andra, cinta
untuk I’am itu pun perlahan terkubur dalam dan terkunci rapat bersama hati Eri
yang telah mati rasa. Dan perlahan tapi pasti, dihati Eri mulai bersemai cinta
untuk Andra. Walaupun Eri akui, terkadang, bayang I’am suka datang
menghampirinya. Namun itu semua tak akan membuat cintanya untuk Andra berubah,
ia begitu menyayangi Andra.
“Entar kita hunting baju ya, Ri?” tawar Andra.
“Iya. Pokoknya aku mau baju yang cantik untuk bersanding
sama kamu di pertunangan kita nanti.”
* * * * * * * *
Seorang lelaki turun dari pesawat dengan label “American
Airlines”. Lelaki yang berusia sekitar 17 tahun itu terlihat celingukan seperti
sedang mencari seseorang.
Tak lama, datang seorang lelaki yang seusianya menghampiri.
Setelah berbincang sesaat, mereka berdua berjalan keluar dari terminal
kedatangan Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Saat dipelataran parkir, lelaki yang turun dari pesawat itu
langsung masuk kedalam mobil diikuti lelaki yang menghampirinya. Terlihat,
mobil yang mereka naiki mulai berjalan menuju arah pintu keluar.
* * * * * * * *
Eri tak henti-hentinya berdecak kagum memandangi gaun indah
yang ada dihadapannya. Gaun berwarna perak dengan taburan batu safir diatasnya.
Eri sempat berpikir dua kali untuk mengenakannya di acara pertunangan nanti,
soalnya gaun itu pasti berat banget, liat aja batunya yang segede-gede
penghapus ujian itu. Tapi berkat bujukan maut Andra, akhirnya Eri mau juga.
“Aku coba dulu ya.” Pamit Eri lalu bergegas masuk ke fitting room yang ada dipojok ruangan
butik milik perancang terkenal, Johanes Brandal ini.
5 menit..
Eri sudah selesai mengenakan gaun cantik dan MAHAL itu. Ia
tak bisa berhenti untuk mengagumi bayangan dirinya yang terlihat sangat berbeda
dibalik cermin yang tergantung di fitting
room.
“Ri?! Udah?!” jerit Andra dari luar fitting room.
“Iya. Tunggu!” buru-buru, Eri membereskan bajunya yang
berserakan dilantai dan memasukannya kedalam tas kecil yang ia bawa.
Cklik! Pintu terbuka,
Eri menyembulkan kepalanya keluar. “Ndra, bagus…,” deg! Eri menggigit bibirnya kuat bertepatan dengan kalimatnya yang
terputus. Bukan! Bukan Andra yang duduk diluar ruangan menunggu Eri. Kalau saja
Eri adalah es, mungkin ia sudah meleleh sekarang. Rasa kaget sekaligus tak
percaya, bercampur aduk didalam hati Eri saat ini. Mimpikah apa yang dilihatnya
saat ini? “I’am? Kok lo bisa disini?”
“Eri? Elo?” I’am memandangi Eri dari atas sampai bawah. “Elo
mau nikah?”
Eri menggeleng. “Nggak! Gue cuma..,” duh! Bilang gak ya?
Hati Eri bimbang.
“’am bagus nggak baju.., Eri?” tiba-tiba entah dari mana
rimbanya, Igo muncul dengan membawa dua pasang baju dan langsung terkejut
mendapati Eri tengah berada ditempat yang sama dengan dirinya. “Kok..,”
“Gue lagi fitting
baju.” Jelas Eri singkat.
“Buat?” tanya Igo.
Eri menghembus nafas berat. Kenapa disaat seperti ini harus
ketemu I’am dan Igo sih? “Buat urusan penting.”
“Ri, udah?” tanya Andra yang telah berdiri diujung ruangan
dengan tangan terlipat didepan dada.
“Udah. Yuk pulang! Aku capek.” Eri tersenyum kecil lantas
pergi meninggalkan I’am dan Igo yang masih terbengong-bengong tak percaya
dengan kenyataan yang baru mereka hadapi.
“Mereka siapa, Ri?” tanya Andra saat sudah berada dalam
jarak yang cukup jauh dari I’am dan Igo.
“Aku nggak tahu. Nggak kenal,” jawab Eri getir. “Aku ganti
baju dulu di toilet, kamu tunggu disini!”
“Loh, kenapa nggak di fitting room?” tanya Andra heran.
“Loh, kenapa nggak di fitting room?” tanya Andra heran.
“Disana panas, aku gerah.” Dusta Eri.
* * * * * * * *
Eri mengobrak-abrik isi tas kecil miliknya untuk
mengeluarkan semua baju yang ia masukkan kedalam sana tadi. Namun tangannya
terasa meraba sesuatu, suatu getaran yang berasal dari ponselnya, tanda ada
pesan masuk.
From : +6285399214XXX
Gue mau ktmu lo. Entar gw jmpt di rmh
lo jam 7 malam.
I’am
Eri membulatkan matanya kaget. Tuhan! Apa lagi sekarang?!
Kenapa I’am mesti datang lagi saat Eri benar-benar telah bahagia bersama Andra.
Kenapa dia datang disaat yang salah? Kenapa?
* * * * * * * *
Eri duduk diteras rumahnya. Sebentar lagi jam 7 malam. Kalau
memang I’am menepati janjinya, maka sebentar agi I’am pasti akan menjemput Eri.
“Non, dingin gini udaranya. Nggak nunggu didalam aja?” tawar
Bi Mar yang datang mendadak dengan raut wajah khawatir.
Eri tersenyum. “Nggak usah, Bi. Bibi masuk gih!” perintah
Eri halus, lalu kembali mengalihkan pandangannya kejalan raya yang ada didepan
rumahnya.
Tin! tiba-tiba
terdengar suara deruan mesin motor disertai dengan bunyi klakson berkepanjangan.
Eri tahu persis siapa pemilik motor itu. Dia adalah lelaki yang membuat Eri
merindu setengah mati seperti orang bodoh. Dia juga yang membuat Eri
mencintainya tetapi dengan begitu aja menghilang. Seharusnya, Eri benci sama
dia. Tapi entah kenapa, Eri nggak bisa!
* * * * * * * *
“Jadi apa maksud lo ngajak gue ketemu?” tanya Eri to the point saat dirinya dan I’am baru
saja mencicipi empuknya sofa yang ada disudut ruangan kafe.
“Gue mau ngejelasin semuanya sama elo, Ri.”
“Ngejelasin apa?!”
“Kenapa gue menghilang selama setahun. Lo harus tahu!”
“Kenapa gue harus tahu?!” ucap Eri dengan suara melengking.
“Emang lo siapa?!”
“Ri, please jangan
marah dulu.”
Eri mengehempas punggungnya kesal pada sandaran sofa sambil
melipat tangannya didepan dada.
“Ri, sebenarnya, gue menghilang selama setahun karena gue
ngambil beasiswa ke Amerika,” Ujar I’am lirih. “Gue nggak ngehubungin lo karena
gue harus konsen sama program pembelajaran gue disana. Bahkan bukan cuma lo
yang nggak gue kasih tau, tapi semua teman-teman gue juga.”
“Jadi status gue sama teman-teman lo itu sama? Jadi
teman-teman lo juga menempati tempat yang penting dihati lo? Gitu!” hujam Eri
sengit dengan nada tajam.
“Ri, bukannya gitu. Tapi gue..,”
“’am. Udah deh. Lo nggak usah ganggu gue lagi! Gue udah
punya pacar.”
I’am terlonjak kaget, dan hampir jatuh dari kursinya. “Apa?”
“Iya, pacar gue itu yang nemenin gue ke butik kemarin. Dan
lo tahu? Gue sayang banget sama dia, karena dia nggak pernah ninggalin gue
begitu aja tanpa kabar. Nggak seperti seseorang yang dulu pernah gue kenal.”
Tandas Eri akhirnya lalu bangkit dari kursi meninggalkan I’am. Ia dapat
merasakan, matanya mulai berkabut. Air mata itu siap terjun bebas sebagai
reaksi dari hati Eri yang begitu sakit. Sakit karena harus menjadi orang
munafik yang membohongi dirinya sendiri.
* * * * * * * *
Eri memandangi contoh berbagai undangan yang ada didepan
matanya. Emang kesannya terlalu berlebihan sedikit sih kalau cuma buat
pertunangan doang pake undangan segala. Tapi mau gimana lagi, ini request Mama-nya Andra, nggak mungkin
dong Eri dan Andra nolak.
“Yang ini bagus.” Tunjuk Eri pada undangan dengan pita
cantik menyampulinya.
“Iya sih. Tapi bagusan ini deh, Ri.” Tunjuk Andra pada
undangan yang didominasi warna krim dan hitam.
Eri mengetuk-ngetuk dagunya. “Hm, ya udah deh yang itu aja.”
“Oh ya, mau mesen undangannya berapa, Mas?” tanya pegawai
dari toko advertising yang didatangi
Andra dan Eri itu.
“300 aja,” jawab Andra. “Kapan jadinya?”
“Mungkin 2 atau 3 hari, Mas.”
“Baguslah. Kalau bisa secepatnya ya. Soalnya hari
pertunangan kami..,” Andra merangkul Eri mesra. “5 hari lagi.”
* * * * * * * *
3 hari kemudian..
Eri menimbang-nimbang undangan pertunangannya, rasa bingung
tengah menyelimutinya sekarang. Pilih mana? Mengundang Igo dengan resiko I’am
ikut datang, atau tidak mengundang Igo dengan resiko Igo akan menganggap Eri
memusuhinya.
Eri meremas-remas rambutnya kesal, ditatapnya alamat rumah
Igo yang terpampang manis pada secarik kertas diatas meja belajarnya.
“Mungkin, menyakiti orang yang pernah menyakiti gue, akan
lebih baik. Dari pada gue kehilangan sahabat.” Desis Eri pada dirinya sendiri.
* * * * * * * *
“Den, ada surat.”
Igo mengernyit heran mendapati tiba-tiba Mbok Iyem datang
padanya dengan membawa sebuah surat dengan amplop berwarna krim. “Buat saya?”
“Iya, Den,” Mbok Iyem menyerahkan surat itu pada Igo. “Nih!”
“Makasih. Mbok kerja lagi sana!” perintah Igo halus, yang
langsung dipatuhi oleh Mbok Iyem.
Igo memandangi surat itu sesaat, menebak-nebak apa isinya.
Kalau bom, jelas nggak mungkin. Atau surat cinta? Halah! Apa lagi surat cinta!
Apa kabar sama teknologi Short Message Service (SMS) atau telepon gitu loh.
Ngapain pake surat-suratan segala.
Penasaran, buru-buru Igo membukanya..
KAMI SEGENAP
KELUARGA BESAR YANG BERBAHAGIA. TURUT MENGUNDANG ANDA. SEHUBUNGAN DENGAN AKAN
DIADAKANNYA ACARA PERTUNANGAN ANTARA:
ANDRA MIRALDI
(ANDRA)
&
NARESA LIBERY
(ERI)
YANG AKAN DILAKSANAKAN
PADA : MINGGU, 2 JULI
TEMPAT : GEDUNG
GRAHA WANGSA, BANDUNG
PUKUL : 20:00 WIB
S/D SELESAI
YANG BERBAHAGIA
KELUARGA BESAR KELUARGA BESAR
TJOKRO WINAWAN & VANI ALFIAN FANDI ATMAJA & WINDA GUSTAV
“Uhuk! Uhuk.. uhuk.. uhuk..!” Igo terbatuk-batuk, tersedak
coklat panas yang sedang mengalir ditenggorokannya. Buru-buru ia mengambil
ponsel yang ada disaku celana jins yang ia kenakan.
To : Radiam Wiratmaja
Kita hrs ktemu, urgent!
Gue tnggu di starbucks Thamrin.
* * * * * * * *
“Nih!”
I’am menatap heran amplop pink dihadapannya. “Apa’an nih?”
“Liat aja!” Igo menyeruput coffee late miliknya.
I’am membuka amplop itu terburu-buru, ingin cepat melihat
apa yang tersembunyi dibaliknya. Mulut I’am komat-kamit, lalu pada kalimat
terakhir yang dibacanya ia terlihat membelalakkan mata. “Eri tunangan?”
“Iya.” Jawab Igo singkat, takut salah ngomong.
“Sekarang tanggal berapa?”
Igo merogoh sakunya demi melihat kalender yang ada di
ponselnya. “Tanggal…,” Igo menghela nafas tak percaya. “2 Juli.”
Plak! I’am
mengehentak meja dengan keras. “Kita ke Bandung SEKARANG!”
* * * * * * * *
Malam hari, sebelum pertunangan...
Eri duduk sendirian diruang make-up. Menatap pantulan dirinya dicermin. Eri yang cantik, Eri
yang anggun, Eri yang akan menjadi tunangan Andra. Kenapa mesti Andra? Hati Eri
sakit menyadari hal itu. Akhir-akhir ini, semenjak I’am kembali, Eri tak bisa
menepis bayangnya untuk tak masuk kedalam benak Eri. Hampir setiap hari I’am
datang dalam mimpi semu Eri, mempermainkan dunia bawah sadar Eri, seolah
menyuruhnya meninggalkan Andra.
Aah! I’am, lagi dimana dirinya sekarang? Terus terang, Eri
merindukannya. Merindukan saat-saat indah bersamanya. Saat indah itu, akankah
terulang lagi?
Bagaimana pula dengan Igo? Apa dia akan datang ke pesta
ini…, bersama I’am. Eri menitikkan air matanya, membuat polesan bedak branded dipipinya sedikit terkikis. Sama
seperti perasaannya pada Andra yang mulai terkikis semenjak I’am muncul lagi
beberapa hari yang lalu.
Eri memukul kepalanya sendiri, merasa bodoh. Nggak! Nggak!
Eri nggak boleh jadi penghianat! Ingat! Sebentar lagi, tinggal menunggu
hitungan jam lagi, Andra akan menjadi
tunangannya. Calon pendamping hidupnya.
“Mba Eri?”
Eri menoleh kearah pintu, ada Mba Lily rupanya. Gadis manis
dengan rambut panjang ini adalah penata rias Eri. “Kenapa?”
“Anu, Mba. Udah ditunggu diluar. Tamu udah pada datang.”
Eri mengangguk. “Iya. Bilang sama yang lain saya akan segera
keluar.”
* * * * * * * *
Ciit!
Mobil sedan biru metalik milik Igo, berhenti tepat didepan
Graha Wangsa. I’am menatap situasi sesaat. “Masuk?” tanyanya pada Igo.
“Terserah elo ‘am. Kalau elo siap sakit hati ngeliat Eri
bersanding dengan orang lain, ya masuk aja.”
“Gue kesini bukan untuk melihat Eri bersanding dengan cowok
bernama Andra itu,” kilah I’am. “Tapi gue bakal mencegah supaya pertunangan ini
nggak terjadi!”
* * * * * * * *
Eri termangu menatap gemerlap pesta pertunangannya. Pesta
mewah dengan para tamu undangan yaitu para pengusaha-pengusaha sukses, teman
dari Papa Andra dan dokter-dokter ahli ternama di Indonesia, teman dari Ayah
dan Bunda Eri. Tak lupa juga, ada teman-teman dari Eri dan Andra di SMA 17
Agustus.
“Kamu seneng?” tanya Andra yang tiba-tiba muncul disamping
Eri.
Eri menoleh sesaat dengan senyum dipaksakan. “Iya.”
“I love you.”
Bisik Andra tiba-tiba, ih basi banget!
Eri hanya membalasnya dengan senyuman ala kadar.
* * * * * * * *
“Mana undangannya, Mas?” cegat seorang satpam pada pintu
masuk gedung.
I’am dan Igo saling tukar pandang. “Undangan?”
“Iya, Mas. Kalau mau masuk harus bawa undangan. Bukannya
tertera di undangannya kalau undangan itu harus dibawa? Apa Mas nggak baca?”
“Pak, sumpah deh. Saya diundang. Undangannya aja yang lupa
dibawa.” Ucap Igo dengan tangan membentuk hurruf “V” diudara.
“Tapi maaf, Mas. Kami hanya menjalankan perintah. Mas
sekalian nggak bisa masuk kalau nggak ada undangannya.”
* * * * * * * *
“Harus gimana dong, ‘am? Kita nggak bisa masuk.” Tanya Igo
saat mereka berdua sudah ada didalam mobil lagi.
I’am bergeming, ia sedang memijat-mijat kepalanya. Berharap
akan terlintas ide cemerlang disana.
“Lo tau nggak
‘am? Tadi Eri bilang sama gue kalau suatu hari nanti dia mau dilamar pake sekarung
mawar.”
“Oh ya?
Khayalan tingkat tinggi banget cewek lo.”
“Haha. Lucu
kali! Gue janji, kalau gue bisa gue pasti bakal ngabulin permintaan Eri itu.”
Tiba-tiba sepotong percakapan antara dirinya dan Ryzky di
masa lalu terlintas. Membuat I’am menyadari suatu hal. “Go, di Bandung, ada
nggak tempat yang banyak bunga mawarnya?”
* * * * * * * *
I’am berlari menembus langit malam yang mengguyurkan air
hujan pada kota Bandung. Ditangannya ada sebuah karung besar yang dibelinya
pada pedagang asongan yang ditemuinya dijalan tadi. Kini ia berada disebuh
kompleks perumahan elit, ia sendiri, meninggalkan Igo yang lebih memilih untuk
berdiam diri didalam mobil. I’am nggak tahu lagi mesti mencari mawar dimana.
Igo, juga nggak tahu dimana tempat di Bandung yang banyak mawarnya. Jadi
terserahlah, dimanapun itu, sekalipun harus mencuri, I’am harus mendapatkan
mawar.
I’am celingukan, meneliti satu-persatu halaman rumah
gedongan dihadapannya. Ah! Itu dia! Batin I’am sumringah melihat hamparan bunga
mawar tersusun rapi disalah satu rumah berwarna ungu. “Ri, those are for you!”
* * * * * * * *
“Silahkan kepada Eri dan Andra untuk menaiki panggung.”
Pinta MC dengan senyum mengembang.
Andra dan Eri saling tukar pandang, bingung mesti apa.
“Ssh! Ayo sana naik!” bisik Bunda yang berdiri dibelakang
Eri. “Ndra, ayo dong gandeng Eri!” ucap Bunda sekali lagi, namun kali ini
terdengar seakan memaksa.
Andra menatap Eri lembut. Baru kali ini Eri merasakan
tatapan itu seolah membuatnya muak. Padahal biasanya, tatapan mata Andra yang teduh
itulah yang membuat Eri tenang. “Ayo!” ajak Andra pelan sambil menggamit lengan
Eri.
* * * * * * * *
I’am terus mencabuti mawar merah yang bermekaran segar
dihadapannya, tak peduli sudah berapa banyak darah yang mengucur deras menembus
kulitnya yang robek akibat tersayat duri mawar. Sesekali ia meringis menahan
sakit, namun rasa cintanya pada Eri, seakan bisa mengalahkan itu semua.
“Hei! Maliiiing! Maliiing!” teriak seseorang dari arah
rumah, I’am menoleh cepat dan mendapati seorang wanita yang mengenakan piama
berdiri diatas balkon lantai dua rumah tersebut.
“Bu..,”
“Maliiiing! Maliiing!” potong wanita itu pada kalimat I’am.
Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal meneyeruak dari
dalam rumah dan langsung menatap tajam pada I’am.
“Maling! Berani-beraninya ya kamu mencuri dirumah saya!”
ucapnya dengan suara serak. Membuat I’am ngeri. “Tunggu kamu!” Dengan gerakan
cepat lelaki itu berbalik masuk kerumah.
Secepat kilat I’am ikut berbalik juga, menuju arah gerbang
depan rumah untuk kabur. Firasat buruk
menghantuinya, jangan-jangan lelaki tadi ingin menghampirinya lalu memukulinya
karena ia ketangkap basah sedang mencuri.
* * * * * * * *
Eri hampir menjatuhkan air matanya saat Andra memasangkan
cincin pada jari manisnya. Bukan rasa haru atau bahagia yang menghampirinya,
tetapi rasa penyesalan yang begitu dalam. Kenapa bukan I’am yang memasang
cincin itu pada jarinya? Kenapa harus Andra?
“Baiklah, sekarang giliran Eri yang memasangkan cincin ke
jari I’am.” Suara MC mulai berkoar lagi, membuat Eri tersadar dari lamunannya.
* * * * * * * *
I’am terus berlari menerobos hujan yang semakin deras,
kakinya sudah letih. Ber-blok-blok dari kompleks ini sudah ia lewati agar dapat
kabur dari si empu taman mawar yang dicurinya tadi serta gerombolan hansip dan
peronda. Ditangannya yang penuh luka, tergenggam sekarung penuh mawar. Kini
I’am berlari kearah mobil Igo diparkir, Igo pasti menunggunya disana.
I’am berhenti sejenak, memandang kebelakang. Ah! Orang-orang
itu masih belum nampak. Mungkin mereka tertinggal jauh dibelakang.
I’am terduduk sesaat diatas trotoar dipinggir jalan yang
sepi.
“Itu dia! Tangkap!”
I’am menoleh, dari arah jalan dibelakangnya, segerombol
orang yang dikepalai bapak berkumis tebal tadi terlihat semakin mendekat. Kontan
I’am berdiri, kembali berlari menerobos guyuran hujan. I’am berlari lurus
kedepannya. Sedikit lagi, ia akan sampai ditempat mobil Igo terparkir. Tinggal
menikung ke kiri.
I’am terus berlari, ia berbelok ke tikungan itu. Tubuhnya
yang basah dan letih berlari menyeberang jalan. Namun tiba-tiba…
“Tiiiinnnn!!!!!” suara klakson mobil bergema ditelinga. Diiringi dengan suara
sesuatu terpantal. Darah! Darah mengucur dimana-mana. Ikut bercampur dengan air
hujan yang menggenang dijalan raya. Dan mawar itu, benghamburan menaburi jalan
raya. Bercampur dengan warna darah yang semakin memerah.
* * * * * * * *
Tubuh Eri terkulai lemas. Ia tak sanggup menahan air
matanya. Bukan! Seharusnya bukan Andra yang mengenakan cincin ini! Bukan! Jerit
hari Eri perih. Eri merutuki tepuk tangan yang bergemuruh disekililingnya. Ia
juga melaknati tatapan mata para tamu undangan yang menatap haru kearah Andra
dan dirinya yang masih berdiri diatas panggung dengan punggung tangan terjorok
kedepan, memamerkan cincin tunangan mereka.
Ya tuhan! Eri ingin mengakhiri semua ini!
* * * * * * * *
10 bulan kemudian…
“Gimana keadaan lo? Udah baikan?”
“Alhamdulillah. Minggu ini gue udah boleh pulang.”
“Sekolah lo?”
“Gue bakal daftar di Amsterdam International school. Gue
pengen ngelanjutin beasiswa gue yang tertunda dulu.”
* * * * * * * *
“Ri? Gimana? Masakan Tante enak?”
Eri mendongak menatap mata Tante Winda (Mama Andra) dengan
senyum mengembang. “Enak, Tante.”
“Kamu bisa masak?”
Eri cengengesan. “Dikit sih! Hehe.”
“Nah! Gimana kalau Tante ngajarin kamu masak? Kalau udah
jadi istri Andra ‘kan kamu harus bisa masak,” Tante Winda melirik penuh arti
pada Andra. “Iya ‘kan, Ndra?”
“Uhuk! Uhuk.. uhuk..”Eri terbatuk-batuk. Makanan yang
numpang lewat di kerongongannya menyangkut dengan seenak jidat. Ih!
Malu-maluin!
“Ri, kamu nggak apa-apa?” tanya Andra sambil menyodorkan
segelas air putih hangat pada Eri.
“Iya. Uhuk!”
“Duh! Eri, pelan-pelan dong!” Tante Winda mengusap-usap
punggung Eri lembut.
Eri meneguk habis air putih hangatnya. “Iya, Tante.”
“Kamu kenapa sih, kok Tante ngomongin tentang kalau kamu
jadi istri Andra, kamu jadi batuk-batuk gitu?”
Eri menelan ludahnya susah payah. Mau jawab apa nih? Nggak
mungkin dong Eri jujur sama Tante Winda kalau Eri udah nggak sayang lagi sama
Andra. Cari mati itu namanya!
“Ngg.. aku belum siapa aja Tante. ‘kan masih lama.” Aha!
Jawaban yang… mm, lumayan bagus!
“Yah, pokoknya siap-nggak-siap kamu harus siap!”
“Uhuk.. uhuk.. uhuk...” untuk kesekian kalinya, Eri kembali
terbatuk-batuk.
* * * * * * * *
Entah sudah keberapa kali, Eri kembali menyeka air matanya
yang jatuh diatas selembar foto yang ada digenggamannya. Foto itu, foto dengan
objek seorang lelaki yang sedang tersenyum sambil merangkul seorang gadis yang
sedang tertawa dengan latar tempat berupa danau yang indah. Itu adalah foto
ketika Eri dan I’am berada di taman buah Mekarsari.
“’am, I miss you.”
Lirih Eri. I’am, dimana dia sekarang? Semenjak pertemuannya dengan I’am di kafe
10 bulan yang lalu, Eri kembali kehilangan jejak I’am. Padahal kini Eri sudah
mulai bisa mencintai I’am lagi. Tapi kenapa, kembali untuk kesekian kalinya
I’am kembali hilang bak ditelan bumi? Dan yang lebih parah lagi, sekarang bukan
hanya I’am yang menghilang. Tetapi Igo juga, satu-satunya orang yang menjadi
harapan Eri untuk menjadi informan agar dirinya dapat mengetahui keberadaan
I’am. Ah! Semuanya kacau! Kacau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar