Selasa, 11 Desember 2012

janji part 6



Seminggu kemudian..
“Mana ya bukunya?” tanya Eri dengan tampang kusut setelah dua jam lamanya mengitari toko buku Gramedia untuk mencari buku kumpulan rumus matematika. Eri menoleh kesebelahnya, namun tak mendapati Andra berada disampingnya lagi. “Loh? Andra kemana?” Eri celingukan. “Ndra!” pekik Eri sedikit keras sambil menyelusuri lorong-lorong buku dengan air muka bingung. Awas aja kalo ketemu, gue jitak lo, Ndra, batin Eri berang. “Ndra!” panggil Eri sekali lagi. Kini ia tengah berada di lorong buku yang berada paling pojok, tak ada orang disana kecuali Eri dan…, “Andra!” pekik Eri tertahan ketika mendapati Andra tengah pingsan dengan posisi tubuh bersandar pada rak buku.
Eri mendekat lalu berjongkok didepan tubuh Andra. “Ndra! Ndra! Bangun!” Eri mengguncang tubuh dan menepuki pipi Andra. “Aduh! Ndra, bangun dong!” Eri makin panik.
Gimana kalau Andra mati? Siapa yang mau bawa jenazahnya? Ih, Andra nyusahin banget deh!
Eri baru saja hendak berdiri untuk pergi meminta pertolongan ketika seseorang menggaet tangannya. “Ri?” panggil orang itu lembut.
Kontan Eri menoleh dan mendapati Andra sudah sadar dengan wajah segar bugar. Segar bugar? Nggak salah? Bukannya tadi Andra pingsan. “Ndra, elo?” Eri kembali berjongkok tepat dihadapan Andra.
Andra terlihat merogoh bagian dalam bajunya dan mengeluarkan setangkai bunga mawar dari sana. “I love you, Ri.” Ucapnya dengan wajah sumringah.
Eri tercengang. Andra menyukainya? Ya tuhan, mimpikah ini?
“Ndra…,”
“Sshh!” Andra meletakkan telunjuk didepan bibirnya. “Lo nggak perlu jawab sekarang kalau emang lagi bingung. Yang jelas gue akan selalu menunggu jawaban lo.”
“Siapa juga yang mau ngomong gitu!” sungut Eri kesal.
Andra mengernyit. “Terus?”
“Ndra, gue sebel sama lo. Lo ngerjain gue ‘kan? Lo tadi pura-pura pingsan ‘kan?” Eri menjitaki kepala Andra sebal, sesuai dengan janjinya tadi.

* * * * * * * *

Eri merutuki ponselnya yang tak kunjung berbunyi menandakan ada sms masuk dari I’am. Sudah seminggu lebih I’am hilang nggak ada kabar. Kemana sih dia? Bikin Eri cemas. Padahal ‘kan perjalanan hubungan mereka lagi seru-serunya. Tinggal “tembak” lagi tau gak! Tapi kalau begini, apanya yang mau di “tembak”?
Eri memutuskan untuk membuka phonebook di ponselnya dan memilih nama Igo disana.

To : Igo
Go, lo tau gk I’am kmn? Dia udh smnggu gk ngsh kbr k gue.

5 menit..
Datang balasan.


From : Igo
Gue jg gk tau. Dia jg udh lma gk kliatan dskolah.

Eri menghela nafas panjang. Kalau sudah begini, apa  boleh buat. Mungkin inilah jalan terbaik. Eri nggak mau menunggu seseorang yang tak pasti, sama seperti halnya dulu ia menunggu Ryzky. Dan ujungnya, penantian itu akan tertelan pahit dan sia-sia. Mungkin akan lebih baik jika semuanya diakhiri.
Eri menekan tombol dial-up di ponselnya dan tertera tulisan “calling Andra” pada LCD.
“Ri, kenapa? Tumben malem gini nelpon gue.” Sahut Andra dari seberang.
Eri menelan ludahnya pahit. “Ndra…, I wanna be yours.”

* * * * * * * *

1tahun kemudian..
Eri tersenyum penuh arti menatap sepasang cincin yang ada dihadapannya. “Ini cincin buat tunangan kita?” tanya Eri pada Andra yang disambut anggukan mantap dari Andra.
“Iya, kamu suka ‘kan?”
“Tentu aja dong, Ndra. Ini bagus banget.” Eri menatap cincin polos yang berukirkan tulisan nama mereka masing-masing itu dengan takjub.
Satu tahun telah berlalu, untuk Eri memang nggak mudah melupakan I’am, nggak semudah melupakan Ryzky dulu. Karena I’am adalah orang yang sangat berarti untuk Eri. I’am adalah orang yang membantunya untuk tetap bertahan disaat sulit dulu.
Namun saat semuanya berjalan sempurna bersama Andra, cinta untuk I’am itu pun perlahan terkubur dalam dan terkunci rapat bersama hati Eri yang telah mati rasa. Dan perlahan tapi pasti, dihati Eri mulai bersemai cinta untuk Andra. Walaupun Eri akui, terkadang, bayang I’am suka datang menghampirinya. Namun itu semua tak akan membuat cintanya untuk Andra berubah, ia begitu menyayangi Andra.
“Entar kita hunting baju ya, Ri?” tawar Andra.
“Iya. Pokoknya aku mau baju yang cantik untuk bersanding sama kamu di pertunangan kita nanti.”

* * * * * * * *

Seorang lelaki turun dari pesawat dengan label “American Airlines”. Lelaki yang berusia sekitar 17 tahun itu terlihat celingukan seperti sedang mencari seseorang.
Tak lama, datang seorang lelaki yang seusianya menghampiri. Setelah berbincang sesaat, mereka berdua berjalan keluar dari terminal kedatangan Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Saat dipelataran parkir, lelaki yang turun dari pesawat itu langsung masuk kedalam mobil diikuti lelaki yang menghampirinya. Terlihat, mobil yang mereka naiki mulai berjalan menuju arah pintu keluar.

* * * * * * * *

Eri tak henti-hentinya berdecak kagum memandangi gaun indah yang ada dihadapannya. Gaun berwarna perak dengan taburan batu safir diatasnya. Eri sempat berpikir dua kali untuk mengenakannya di acara pertunangan nanti, soalnya gaun itu pasti berat banget, liat aja batunya yang segede-gede penghapus ujian itu. Tapi berkat bujukan maut Andra, akhirnya Eri mau juga.
“Aku coba dulu ya.” Pamit Eri lalu bergegas masuk ke fitting room yang ada dipojok ruangan butik milik perancang terkenal, Johanes Brandal ini.
5 menit..
Eri sudah selesai mengenakan gaun cantik dan MAHAL itu. Ia tak bisa berhenti untuk mengagumi bayangan dirinya yang terlihat sangat berbeda dibalik cermin yang tergantung di fitting room.
“Ri?! Udah?!” jerit Andra dari luar fitting room.
“Iya. Tunggu!” buru-buru, Eri membereskan bajunya yang berserakan dilantai dan memasukannya kedalam tas kecil yang ia bawa.
Cklik! Pintu terbuka, Eri menyembulkan kepalanya keluar. “Ndra, bagus…,” deg! Eri menggigit bibirnya kuat bertepatan dengan kalimatnya yang terputus. Bukan! Bukan Andra yang duduk diluar ruangan menunggu Eri. Kalau saja Eri adalah es, mungkin ia sudah meleleh sekarang. Rasa kaget sekaligus tak percaya, bercampur aduk didalam hati Eri saat ini. Mimpikah apa yang dilihatnya saat ini? “I’am? Kok lo bisa disini?”
“Eri? Elo?” I’am memandangi Eri dari atas sampai bawah. “Elo mau nikah?”
Eri menggeleng. “Nggak! Gue cuma..,” duh! Bilang gak ya? Hati Eri bimbang.
“’am bagus nggak baju.., Eri?” tiba-tiba entah dari mana rimbanya, Igo muncul dengan membawa dua pasang baju dan langsung terkejut mendapati Eri tengah berada ditempat yang sama dengan dirinya. “Kok..,”
“Gue lagi fitting baju.” Jelas Eri singkat.
“Buat?” tanya Igo.
Eri menghembus nafas berat. Kenapa disaat seperti ini harus ketemu I’am dan Igo sih? “Buat urusan penting.”
“Ri, udah?” tanya Andra yang telah berdiri diujung ruangan dengan tangan terlipat didepan dada.
“Udah. Yuk pulang! Aku capek.” Eri tersenyum kecil lantas pergi meninggalkan I’am dan Igo yang masih terbengong-bengong tak percaya dengan kenyataan yang baru mereka hadapi.
“Mereka siapa, Ri?” tanya Andra saat sudah berada dalam jarak yang cukup jauh dari I’am dan Igo.
“Aku nggak tahu. Nggak kenal,” jawab Eri getir. “Aku ganti baju dulu di toilet, kamu tunggu disini!”
“Loh, kenapa nggak di fitting room?” tanya Andra heran.
“Disana panas, aku gerah.” Dusta Eri.

* * * * * * * *

Eri mengobrak-abrik isi tas kecil miliknya untuk mengeluarkan semua baju yang ia masukkan kedalam sana tadi. Namun tangannya terasa meraba sesuatu, suatu getaran yang berasal dari ponselnya, tanda ada pesan masuk.

From : +6285399214XXX
Gue mau ktmu lo. Entar gw jmpt di rmh lo jam 7 malam.
I’am

Eri membulatkan matanya kaget. Tuhan! Apa lagi sekarang?! Kenapa I’am mesti datang lagi saat Eri benar-benar telah bahagia bersama Andra. Kenapa dia datang disaat yang salah? Kenapa?

* * * * * * * *

Eri duduk diteras rumahnya. Sebentar lagi jam 7 malam. Kalau memang I’am menepati janjinya, maka sebentar agi I’am pasti akan menjemput Eri.
“Non, dingin gini udaranya. Nggak nunggu didalam aja?” tawar Bi Mar yang datang mendadak dengan raut wajah khawatir.
Eri tersenyum. “Nggak usah, Bi. Bibi masuk gih!” perintah Eri halus, lalu kembali mengalihkan pandangannya kejalan raya yang ada didepan rumahnya.
Tin! tiba-tiba terdengar suara deruan mesin motor disertai dengan bunyi klakson berkepanjangan. Eri tahu persis siapa pemilik motor itu. Dia adalah lelaki yang membuat Eri merindu setengah mati seperti orang bodoh. Dia juga yang membuat Eri mencintainya tetapi dengan begitu aja menghilang. Seharusnya, Eri benci sama dia. Tapi entah kenapa, Eri nggak bisa!

* * * * * * * *

“Jadi apa maksud lo ngajak gue ketemu?” tanya Eri to the point saat dirinya dan I’am baru saja mencicipi empuknya sofa yang ada disudut ruangan kafe.
“Gue mau ngejelasin semuanya sama elo, Ri.”
“Ngejelasin apa?!”
“Kenapa gue menghilang selama setahun. Lo harus tahu!”
“Kenapa gue harus tahu?!” ucap Eri dengan suara melengking. “Emang lo siapa?!”
“Ri, please jangan marah dulu.”
Eri mengehempas punggungnya kesal pada sandaran sofa sambil melipat tangannya didepan dada.
“Ri, sebenarnya, gue menghilang selama setahun karena gue ngambil beasiswa ke Amerika,” Ujar I’am lirih. “Gue nggak ngehubungin lo karena gue harus konsen sama program pembelajaran gue disana. Bahkan bukan cuma lo yang nggak gue kasih tau, tapi semua teman-teman gue juga.”
“Jadi status gue sama teman-teman lo itu sama? Jadi teman-teman lo juga menempati tempat yang penting dihati lo? Gitu!” hujam Eri sengit dengan nada tajam.
“Ri, bukannya gitu. Tapi gue..,”
“’am. Udah deh. Lo nggak usah ganggu gue lagi! Gue udah punya pacar.”
I’am terlonjak kaget, dan hampir jatuh dari kursinya.  “Apa?”
“Iya, pacar gue itu yang nemenin gue ke butik kemarin. Dan lo tahu? Gue sayang banget sama dia, karena dia nggak pernah ninggalin gue begitu aja tanpa kabar. Nggak seperti seseorang yang dulu pernah gue kenal.” Tandas Eri akhirnya lalu bangkit dari kursi meninggalkan I’am. Ia dapat merasakan, matanya mulai berkabut. Air mata itu siap terjun bebas sebagai reaksi dari hati Eri yang begitu sakit. Sakit karena harus menjadi orang munafik yang membohongi dirinya sendiri.

* * * * * * * *

Eri memandangi contoh berbagai undangan yang ada didepan matanya. Emang kesannya terlalu berlebihan sedikit sih kalau cuma buat pertunangan doang pake undangan segala. Tapi mau gimana lagi, ini request Mama-nya Andra, nggak mungkin dong Eri dan Andra nolak.
“Yang ini bagus.” Tunjuk Eri pada undangan dengan pita cantik menyampulinya.
“Iya sih. Tapi bagusan ini deh, Ri.” Tunjuk Andra pada undangan yang didominasi warna krim dan hitam.
Eri mengetuk-ngetuk dagunya. “Hm, ya udah deh yang itu aja.”
“Oh ya, mau mesen undangannya berapa, Mas?” tanya pegawai dari toko advertising yang didatangi Andra dan Eri itu.
“300 aja,” jawab Andra. “Kapan jadinya?”
“Mungkin 2 atau 3 hari, Mas.”
“Baguslah. Kalau bisa secepatnya ya. Soalnya hari pertunangan kami..,” Andra merangkul Eri mesra. “5 hari lagi.”

* * * * * * * *

3 hari kemudian..
Eri menimbang-nimbang undangan pertunangannya, rasa bingung tengah menyelimutinya sekarang. Pilih mana? Mengundang Igo dengan resiko I’am ikut datang, atau tidak mengundang Igo dengan resiko Igo akan menganggap Eri memusuhinya.
Eri meremas-remas rambutnya kesal, ditatapnya alamat rumah Igo yang terpampang manis pada secarik kertas diatas meja belajarnya.
“Mungkin, menyakiti orang yang pernah menyakiti gue, akan lebih baik. Dari pada gue kehilangan sahabat.” Desis Eri pada dirinya sendiri.

* * * * * * * *

“Den, ada surat.”
Igo mengernyit heran mendapati tiba-tiba Mbok Iyem datang padanya dengan membawa sebuah surat dengan amplop berwarna krim.  “Buat saya?”
“Iya, Den,” Mbok Iyem menyerahkan surat itu pada Igo. “Nih!”
“Makasih. Mbok kerja lagi sana!” perintah Igo halus, yang langsung dipatuhi oleh Mbok Iyem.
Igo memandangi surat itu sesaat, menebak-nebak apa isinya. Kalau bom, jelas nggak mungkin. Atau surat cinta? Halah! Apa lagi surat cinta! Apa kabar sama teknologi Short Message Service (SMS) atau telepon gitu loh. Ngapain pake surat-suratan segala.
Penasaran, buru-buru Igo membukanya..

KAMI SEGENAP KELUARGA BESAR YANG BERBAHAGIA. TURUT MENGUNDANG ANDA. SEHUBUNGAN DENGAN AKAN DIADAKANNYA ACARA PERTUNANGAN ANTARA:

ANDRA MIRALDI (ANDRA)

&

NARESA LIBERY (ERI)

YANG AKAN DILAKSANAKAN PADA : MINGGU, 2 JULI
TEMPAT : GEDUNG GRAHA WANGSA, BANDUNG
PUKUL : 20:00 WIB S/D SELESAI

YANG BERBAHAGIA

KELUARGA BESAR                                                                                                    KELUARGA BESAR
TJOKRO WINAWAN & VANI ALFIAN                                                           FANDI ATMAJA & WINDA GUSTAV

“Uhuk! Uhuk.. uhuk.. uhuk..!” Igo terbatuk-batuk, tersedak coklat panas yang sedang mengalir ditenggorokannya. Buru-buru ia mengambil ponsel yang ada disaku celana jins yang ia kenakan.

To : Radiam Wiratmaja
Kita hrs ktemu, urgent!
Gue tnggu di starbucks Thamrin.

* * * * * * * *

“Nih!”
I’am menatap heran amplop pink dihadapannya. “Apa’an nih?”
“Liat aja!” Igo menyeruput coffee late miliknya.
I’am membuka amplop itu terburu-buru, ingin cepat melihat apa yang tersembunyi dibaliknya. Mulut I’am komat-kamit, lalu pada kalimat terakhir yang dibacanya ia terlihat membelalakkan mata. “Eri tunangan?”
“Iya.” Jawab Igo singkat, takut salah ngomong.
“Sekarang tanggal berapa?”
Igo merogoh sakunya demi melihat kalender yang ada di ponselnya. “Tanggal…,” Igo menghela nafas tak percaya. “2 Juli.”
Plak! I’am mengehentak meja dengan keras. “Kita ke Bandung SEKARANG!”

* * * * * * * *

Malam hari, sebelum pertunangan...
Eri duduk sendirian diruang make-up. Menatap pantulan dirinya dicermin. Eri yang cantik, Eri yang anggun, Eri yang akan menjadi tunangan Andra. Kenapa mesti Andra? Hati Eri sakit menyadari hal itu. Akhir-akhir ini, semenjak I’am kembali, Eri tak bisa menepis bayangnya untuk tak masuk kedalam benak Eri. Hampir setiap hari I’am datang dalam mimpi semu Eri, mempermainkan dunia bawah sadar Eri, seolah menyuruhnya meninggalkan Andra.
Aah! I’am, lagi dimana dirinya sekarang? Terus terang, Eri merindukannya. Merindukan saat-saat indah bersamanya. Saat indah itu, akankah terulang lagi?
Bagaimana pula dengan Igo? Apa dia akan datang ke pesta ini…, bersama I’am. Eri menitikkan air matanya, membuat polesan bedak branded dipipinya sedikit terkikis. Sama seperti perasaannya pada Andra yang mulai terkikis semenjak I’am muncul lagi beberapa hari yang lalu.
Eri memukul kepalanya sendiri, merasa bodoh. Nggak! Nggak! Eri nggak boleh jadi penghianat! Ingat! Sebentar lagi, tinggal menunggu hitungan jam lagi,  Andra akan menjadi tunangannya. Calon pendamping hidupnya.
“Mba Eri?”
Eri menoleh kearah pintu, ada Mba Lily rupanya. Gadis manis dengan rambut panjang ini adalah penata rias Eri. “Kenapa?”
“Anu, Mba. Udah ditunggu diluar. Tamu udah pada datang.”
Eri mengangguk. “Iya. Bilang sama yang lain saya akan segera keluar.”

* * * * * * * *

Ciit!
Mobil sedan biru metalik milik Igo, berhenti tepat didepan Graha Wangsa. I’am menatap situasi sesaat. “Masuk?” tanyanya pada Igo.
“Terserah elo ‘am. Kalau elo siap sakit hati ngeliat Eri bersanding dengan orang lain, ya masuk aja.”
“Gue kesini bukan untuk melihat Eri bersanding dengan cowok bernama Andra itu,” kilah I’am. “Tapi gue bakal mencegah supaya pertunangan ini nggak terjadi!”

* * * * * * * *

Eri termangu menatap gemerlap pesta pertunangannya. Pesta mewah dengan para tamu undangan yaitu para pengusaha-pengusaha sukses, teman dari Papa Andra dan dokter-dokter ahli ternama di Indonesia, teman dari Ayah dan Bunda Eri. Tak lupa juga, ada teman-teman dari Eri dan Andra di SMA 17 Agustus.
“Kamu seneng?” tanya Andra yang tiba-tiba muncul disamping Eri.
Eri menoleh sesaat dengan senyum dipaksakan. “Iya.”
I love you.” Bisik Andra tiba-tiba, ih basi banget!
Eri hanya membalasnya dengan senyuman ala kadar.

* * * * * * * *

“Mana undangannya, Mas?” cegat seorang satpam pada pintu masuk gedung.
I’am dan Igo saling tukar pandang. “Undangan?”
“Iya, Mas. Kalau mau masuk harus bawa undangan. Bukannya tertera di undangannya kalau undangan itu harus dibawa? Apa Mas nggak baca?”
“Pak, sumpah deh. Saya diundang. Undangannya aja yang lupa dibawa.” Ucap Igo dengan tangan membentuk hurruf “V” diudara.
“Tapi maaf, Mas. Kami hanya menjalankan perintah. Mas sekalian nggak bisa masuk kalau nggak ada undangannya.”

* * * * * * * *

“Harus gimana dong, ‘am? Kita nggak bisa masuk.” Tanya Igo saat mereka berdua sudah ada didalam mobil lagi.
I’am bergeming, ia sedang memijat-mijat kepalanya. Berharap akan terlintas ide cemerlang disana.

“Lo tau nggak ‘am? Tadi Eri bilang sama gue kalau suatu hari nanti dia mau dilamar pake sekarung mawar.”
“Oh ya? Khayalan tingkat tinggi banget cewek lo.”
“Haha. Lucu kali! Gue janji, kalau gue bisa gue pasti bakal ngabulin permintaan Eri itu.”

Tiba-tiba sepotong percakapan antara dirinya dan Ryzky di masa lalu terlintas. Membuat I’am menyadari suatu hal. “Go, di Bandung, ada nggak tempat yang banyak bunga mawarnya?”

* * * * * * * *

I’am berlari menembus langit malam yang mengguyurkan air hujan pada kota Bandung. Ditangannya ada sebuah karung besar yang dibelinya pada pedagang asongan yang ditemuinya dijalan tadi. Kini ia berada disebuh kompleks perumahan elit, ia sendiri, meninggalkan Igo yang lebih memilih untuk berdiam diri didalam mobil. I’am nggak tahu lagi mesti mencari mawar dimana. Igo, juga nggak tahu dimana tempat di Bandung yang banyak mawarnya. Jadi terserahlah, dimanapun itu, sekalipun harus mencuri, I’am harus mendapatkan mawar.
I’am celingukan, meneliti satu-persatu halaman rumah gedongan dihadapannya. Ah! Itu dia! Batin I’am sumringah melihat hamparan bunga mawar tersusun rapi disalah satu rumah berwarna ungu. “Ri, those are for you!”

* * * * * * * *

“Silahkan kepada Eri dan Andra untuk menaiki panggung.” Pinta MC dengan senyum mengembang.
Andra dan Eri saling tukar pandang, bingung mesti apa.
“Ssh! Ayo sana naik!” bisik Bunda yang berdiri dibelakang Eri. “Ndra, ayo dong gandeng Eri!” ucap Bunda sekali lagi, namun kali ini terdengar seakan memaksa.
Andra menatap Eri lembut. Baru kali ini Eri merasakan tatapan itu seolah membuatnya muak. Padahal biasanya, tatapan mata Andra yang teduh itulah yang membuat Eri tenang. “Ayo!” ajak Andra pelan sambil menggamit lengan Eri.

* * * * * * * *

I’am terus mencabuti mawar merah yang bermekaran segar dihadapannya, tak peduli sudah berapa banyak darah yang mengucur deras menembus kulitnya yang robek akibat tersayat duri mawar. Sesekali ia meringis menahan sakit, namun rasa cintanya pada Eri, seakan bisa mengalahkan itu semua.
“Hei! Maliiiing! Maliiing!” teriak seseorang dari arah rumah, I’am menoleh cepat dan mendapati seorang wanita yang mengenakan piama berdiri diatas balkon lantai dua rumah tersebut.
“Bu..,”
“Maliiiing! Maliiing!” potong wanita itu pada kalimat I’am. Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal meneyeruak dari dalam rumah dan langsung menatap tajam pada I’am.
“Maling! Berani-beraninya ya kamu mencuri dirumah saya!” ucapnya dengan suara serak. Membuat I’am ngeri. “Tunggu kamu!” Dengan gerakan cepat lelaki itu berbalik masuk kerumah.
Secepat kilat I’am ikut berbalik juga, menuju arah gerbang depan rumah untuk kabur. Firasat  buruk menghantuinya, jangan-jangan lelaki tadi ingin menghampirinya lalu memukulinya karena ia ketangkap basah sedang mencuri.

* * * * * * * *

Eri hampir menjatuhkan air matanya saat Andra memasangkan cincin pada jari manisnya. Bukan rasa haru atau bahagia yang menghampirinya, tetapi rasa penyesalan yang begitu dalam. Kenapa bukan I’am yang memasang cincin itu pada jarinya? Kenapa harus Andra?
“Baiklah, sekarang giliran Eri yang memasangkan cincin ke jari I’am.” Suara MC mulai berkoar lagi, membuat Eri tersadar dari lamunannya.

* * * * * * * *

I’am terus berlari menerobos hujan yang semakin deras, kakinya sudah letih. Ber-blok-blok dari kompleks ini sudah ia lewati agar dapat kabur dari si empu taman mawar yang dicurinya tadi serta gerombolan hansip dan peronda. Ditangannya yang penuh luka, tergenggam sekarung penuh mawar. Kini I’am berlari kearah mobil Igo diparkir, Igo pasti menunggunya disana.
I’am berhenti sejenak, memandang kebelakang. Ah! Orang-orang itu masih belum nampak. Mungkin mereka tertinggal jauh dibelakang.
I’am terduduk sesaat diatas trotoar dipinggir jalan yang sepi.
“Itu dia! Tangkap!”
I’am menoleh, dari arah jalan dibelakangnya, segerombol orang yang dikepalai bapak berkumis tebal tadi terlihat semakin mendekat. Kontan I’am berdiri, kembali berlari menerobos guyuran hujan. I’am berlari lurus kedepannya. Sedikit lagi, ia akan sampai ditempat mobil Igo terparkir. Tinggal menikung ke kiri.
I’am terus berlari, ia berbelok ke tikungan itu. Tubuhnya yang basah dan letih berlari menyeberang jalan. Namun tiba-tiba… “Tiiiinnnn!!!!!” suara klakson mobil bergema ditelinga. Diiringi dengan suara sesuatu terpantal. Darah! Darah mengucur dimana-mana. Ikut bercampur dengan air hujan yang menggenang dijalan raya. Dan mawar itu, benghamburan menaburi jalan raya. Bercampur dengan warna darah yang semakin memerah.

* * * * * * * *

Tubuh Eri terkulai lemas. Ia tak sanggup menahan air matanya. Bukan! Seharusnya bukan Andra yang mengenakan cincin ini! Bukan! Jerit hari Eri perih. Eri merutuki tepuk tangan yang bergemuruh disekililingnya. Ia juga melaknati tatapan mata para tamu undangan yang menatap haru kearah Andra dan dirinya yang masih berdiri diatas panggung dengan punggung tangan terjorok kedepan, memamerkan cincin tunangan mereka.
Ya tuhan! Eri ingin mengakhiri semua ini!

* * * * * * * *

10 bulan kemudian…
“Gimana keadaan lo? Udah baikan?”
“Alhamdulillah. Minggu ini gue udah boleh pulang.”
“Sekolah lo?”
“Gue bakal daftar di Amsterdam International school. Gue pengen ngelanjutin beasiswa gue yang tertunda dulu.”

* * * * * * * *

“Ri? Gimana? Masakan Tante enak?”
Eri mendongak menatap mata Tante Winda (Mama Andra) dengan senyum mengembang. “Enak, Tante.”
“Kamu bisa masak?”
Eri cengengesan. “Dikit sih! Hehe.”
“Nah! Gimana kalau Tante ngajarin kamu masak? Kalau udah jadi istri Andra ‘kan kamu harus bisa masak,” Tante Winda melirik penuh arti pada Andra. “Iya ‘kan, Ndra?”
“Uhuk! Uhuk.. uhuk..”Eri terbatuk-batuk. Makanan yang numpang lewat di kerongongannya menyangkut dengan seenak jidat. Ih! Malu-maluin!
“Ri, kamu nggak apa-apa?” tanya Andra sambil menyodorkan segelas air putih hangat pada Eri.
“Iya. Uhuk!”
“Duh! Eri, pelan-pelan dong!” Tante Winda mengusap-usap punggung Eri lembut.
Eri meneguk habis air putih hangatnya. “Iya, Tante.”
“Kamu kenapa sih, kok Tante ngomongin tentang kalau kamu jadi istri Andra, kamu jadi batuk-batuk gitu?”
Eri menelan ludahnya susah payah. Mau jawab apa nih? Nggak mungkin dong Eri jujur sama Tante Winda kalau Eri udah nggak sayang lagi sama Andra. Cari mati itu namanya!
“Ngg.. aku belum siapa aja Tante. ‘kan masih lama.” Aha! Jawaban yang… mm, lumayan bagus!
“Yah, pokoknya siap-nggak-siap kamu harus siap!”
“Uhuk.. uhuk.. uhuk...” untuk kesekian kalinya, Eri kembali terbatuk-batuk.

* * * * * * * *

Entah sudah keberapa kali, Eri kembali menyeka air matanya yang jatuh diatas selembar foto yang ada digenggamannya. Foto itu, foto dengan objek seorang lelaki yang sedang tersenyum sambil merangkul seorang gadis yang sedang tertawa dengan latar tempat berupa danau yang indah. Itu adalah foto ketika Eri dan I’am berada di taman buah Mekarsari.
“’am, I miss you.” Lirih Eri. I’am, dimana dia sekarang? Semenjak pertemuannya dengan I’am di kafe 10 bulan yang lalu, Eri kembali kehilangan jejak I’am. Padahal kini Eri sudah mulai bisa mencintai I’am lagi. Tapi kenapa, kembali untuk kesekian kalinya I’am kembali hilang bak ditelan bumi? Dan yang lebih parah lagi, sekarang bukan hanya I’am yang menghilang. Tetapi Igo juga, satu-satunya orang yang menjadi harapan Eri untuk menjadi informan agar dirinya dapat mengetahui keberadaan I’am. Ah! Semuanya kacau! Kacau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar