Minggu, 23 Desember 2012

janji part 7 (ending)



“Kamu mau kemana?” sergah Eri ketika Andra beranjak dari tempat duduknya. “Es krimnya aja belum abis.”
Andra menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal itu, ia terlihat begitu salah tingkah. “Ng.. aku cuma mau ke toilet aja kok.”
“Bener?”
“Iya, entar aku balik. Oke. Dah!” Andra tersenyum lalu bergegas pergi menuju toilet yang ada bagian belakang kafe ini.
Eri menyendok es krim tiramisu miliknya dengan lesu. Bayang-bayang I’am kembali numpang lewat diotaknya. Hhhfff! Kenapa susah banget sih buat sehari aja nggak mikirin I’am. Kalau keadaan begini terus, bisa-bisa mata Eri bengkak setiap hari. Secara tiap ada I’am dibenaknya, selalu aja air mata Eri memaksa menyembul keluar. Jujur, Eri benar-benar merindukan I’am. Lelaki yang sangat dicintai sekaligus merangkap sebagai lelaki yang sudah disakitinya itu.
Tiba-tiba Eri terperanjat, mendengar ringtone ponselnya berbunyi. Oh! Ada sms rupanya.

From : My Andra
Aku plg dluan ya! Soalnya aku lg ada prlu.
Sori gk smpet blg ke km. soalnya aku plg lwat pntu blakang. Skali lg maaf ya.
I love you J

Uueekk! Ingin rasanya Eri memuntahkan semua makanan yang mengisi lambungnya. Apa-apaan sih si Andra? Dengan seenak udelnya aja ninggalin Eri. Nyebelin banget! Awas aja, sampe rumah entar Andra bakal Eri gebukin, terus Andra nggak bakal Eri kasih jatah makan malam kesukaan Andra, yaitu tulang ayam dan daging ikan (loh! Emangnya Andra anjing apa?)

* * * * * * * *

Siang yang terik. Matahari lagi bersemangat banget kayaknya menyinari bumiku yang indah dan nan cerah ini (duh! Bahasanya. Nggak nahan, Mang!). Emang ada bagusnya juga sih kalo mataharinya nyengat begini. Jemuran dirumah bisa cepet kering, ya gak? Tapi kalau keseringan gini, waah penduduk bumi bisa gosong booo!
Setelah memilih untuk pulang dari kafe karena ditinggal pergi oleh Andra. Eri memutuskan untuk pergi ke salah satu butik yang ada di Tanah Abang, bersama Neta, teman sekelasnya. Rencananya sih, Eri mau beli baju. “Net, yang ini bagus?” tanya Eri sembari menyodorkan sebuah baju yang dominasi warna hitam dan terdapat banyak mote-mote kecil di daerah bahunya.
Neta mengtuk-ngetuk dagunya. “Bagus! Tapi bagusan juga yang di mall.” Jawab Neta singkat, lalu kembali sibuk menyeka keringat yang berjatuhan dari pori-pori dahinya.
“Gue lagi nggak ada uang mau beli di mall. Lagian disini juga udah lumayan bagus-bagus kok.”
Neta mengerjapkan matanya jengkel. “Minta sama Andra dong! Masak sama tunangannya sendiri dia pelit!”
No way!” Eri mengibaskan jari telunjuk kanannya tepat didepan hidung Neta. “Gue paling pantang minta-minta sama cowok gue!”
“Hhh! Terserah!” Neta terduduk lemas di kursi plastik yang sedari tadi nganggur dibelakangnya. Sepertinya, Neta adalah salah satu orang dari semua orang yang sangat tidak mensyukuri dan menikmati sinar ultra violet matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela butik.
Eri menggidikkan bahu cuek, lalu kembali sibuk memilah-milah baju. Eri sempat tertarik untuk membeli baju berwarna abu-abu dengan corak berbentuk kelopak bunga berjatuhan, namun kembali menarik niatnya begitu mengetahui harga baju itu melebihi budget yang dibawanya. Yaaah! Kalau begini mah sama aja dengan di mall, gerutu batinnya kesal.
Set! Set! Set! “Apa’an sih, Net?” seru Eri sebal pada Neta yang malah sibuk menarik ujung baju seragamnya.
“I… itu!” jawab Neta tergugup, matanya tertuju pada satu titik diluar butik.
Eri mengerutkan dahi. “Apanya yang ‘itu’?”
Neta kembali membuka mulutnya, matanya masih belum berkedip. “A… Andra… sa… sama cewek.”
Slep! Secepat kilat Eri memutar kepalanya, melongok kearah mata Neta tertuju. “An… Dra?!!” seru Eri tak percaya melihat Andra tengah berdiri disalah satu toko yang ada didepannya dengan merangkul mesra seorang… cewek! “Andra?!” serunya sekali lagi, air mukanya memerah menahan emosi.
Eri terus memerhatikan Andra dari tempatnya berdiri, ia tak menggeser tubuhnya semilimeterpun! Neta sampai dibuat heran. Biasanya nih, kalau cewek ngeliat cowoknya selingkuh didepan matanya sendiri, tuh cewek bakal nyamperin cowok itu terus marah-marah nggak jelas dan ujung-ujungnya bakal minta putus. Laah ini! Kok diem aja? kesambet ya?
“Kita diem aja disini! Gue pengen liat! Mau ngapain dia sama cewek itu!” ucap Eri akhirnya, menahan geram.
Neta mengangguk paham. “Jadi elo nggak mau nyamperin dia?”
“Gue pasti samperin kok! Tapi nanti, tunggu waktu yang pas.” Eri tersenyum sinis dan penuh arti. Tatapan matanya, seperti elang. “Eh! Ayo! Kita ikutin!” Eri menggamit lengan Neta dan beranjak berjalan keluar butik.
“Ikutin? Katanya lo mau diem aja didalam butik, Ri?”
“Strategi berubah. Gue mau ngikutin dia sama selingkuhannya itu dari jarak aman, gue pengen tau mereka mau ngapain aja disini,” Eri mengehentikan langkahnya lalu menghentak tangan Neta. “Sshh! Liat gih! Mereka ke tempat parkir.”
Neta menarik Eri untuk bersembunyi dibalik sebuah pilar besar. “Kita intip aja dari sini!” saran Neta yang langsung disambut anggukan kepala dari Eri.
Andra dan cewek selingkuhannya itu terlihat menghampiri motor Andra yang terparkir dipojok, setelah motor berhasil keluar dari barisan parkir, Andra segera menghidupkan mesin motor dan diikuti dengan gerakan si cewek selingkuhan yang menaiki jok belakang motor. Motor milik Andra itu pun melaju pelan keluar dari Tanah Abang.
“Kita ikutin mereka mau kemana!” perintah Eri.

* * * * * * * *

“Lo salah besar tau gak, Ri!” Neta melirik keki pada Eri.
“Salah kenapa?”
“Lo seharusnya bukan ngajak gue buat nemenin elo beli baju, tapi ngajak Andra.”
Alis Eri bertaut. “Maksudnya?”
“Ya, lo liat dong! Dia aja ngebawa cewek selingkuhannya makan di restoran mahal yang ada di MOI. Masak ngajak elo aja ketempat yang lebih mahal buat beli baju dia nggak bisa!” celetuk Neta pedas membuat kuping Eri memerah panas.
“Terserah deh!” tanggapnya tak peduli lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Andra dan si cewek selingkuhannya yang sedang menikmati makan siang mereka bersama. Eri dan Neta memutuskan untuk duduk dikursi yang berada dipojok restoran, jarak yang aman untuk menjadi “spy” sementara menurut mereka. Sedangkan Andra dan selingkuhannya itu, duduk tepat dimeja yang ada ditengah restoran.
Duk! Eri menghentak meja geram melihat Andra membelai mesra rambut si selingkuhan. “Dasar buaya!”
“Cemburu?” tanya Neta nggak penting.
“Nggak!” Eri menggeleng kuat. “Gue sebel aja dia udah ngebohongin gue. Lo tunggu disini!” perintah Eri sembari menatap tajam pada Neta. “Gue mau nyamperin mereka!”
“Tapi, Ri..,”
“Pokoknya TUNGGU! Ini waktu yang tepat, Net.” Eri tersenyum sinis pada Neta lalu segera berlalu pergi menghampiri Andra yang terlihat sedang asyik cengengesan bersama si selingkuhan.
“Sialan!” byur! Tanpa babibu Eri langsung menyambar segelas penuh jus anggur yang ada dihadapan Andra, lalu menyiramnya tepat diwajah “sang kekasih”
“E… Eri?” Andra tergagap.
“Kenapa? Kaget!?” tantang Eri dalam kalimatnya.
“Ndra, ini siapa?” tanya si selingkuhan terlihat bingung. Tatapan matanya menyapu seluruh tubuh Eri dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Eri tersenyum penuh kemenangan. “Kenalin! Nama gue Eri, gue adalah..,” Eri menatap tajam Andra penuh makna. “Orang yang paling membenci Andra.”
“Maksudnya?”
“Tanya aja sama pacar kesayangan lo ini!” Eri berucap sadis tepat disamping telinga Andra sambil berlalu kembali menghampiri Neta yang masih bengong tak percaya dengan adegan barusan.
“Yuk pulang!” Eri menarik lengan Neta.
“Tapi, Ri..,”
“Pulang!”

* * * * * * * *

Eri menarik koper berukuran kecil yang ada dibawah kolong lemari bajunya. “Hff!” berkat hembusan nafas dari mulut Eri, debu-debu yang melekat pada permukaan koper berhasil melayang terbang dengan sukses.
“Non?” terdengar suara Bi Mar dari ambang pintu.
Eri menoleh lalu melempar senyum pada asisten rumah tangga yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri itu. “Iya? Kenapa, Bi? Sini masuk!”
“Mmm, Non yakin mau ke Jakarta?” ucap Bi Mar saat dirinya sudah “mendarat” di atas ranjang empuk milik Eri.
“Iya.” Jawab Eri singkat sambil membuka pintu lemari baju miliknya.
“Kalau nggak ketemu sama orang yang Non cari gimana?”
Eri tertawa kecil. “Kalau nggak ketemu ya nggak apa-apa,” senyum masam terulas dibibir Eri. “Kalau begitu akhirnya, ya anggap aja aku ke Jakarta buat liburan.” Eri membawa setumpuk baju miliknya keatas ranjang. “Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri kok, Bi. Lagian ngebosenin juga ‘kan. Kalau liburan panjang gini aku cuma diam dirumah.” Sambung Eri lagi. Memang benar, sekarang Eri sedang menikmati liburan panjang selepas mengikuti Ujian Nasional. Eri akan mulai aktif bersekolah lagi sekitar pertengahan bulan mei mendatang, itu pun hanya untuk melihat pengumuman kelulusan yang dilanjuti dengan penyerahan ijazah.
“Iya, Non. Tapi pokoknya Non harus jaga diri!” tegas Bi Mar sekali lagi, yang hanya disambut senyuman hangat Eri.

* * * * * * * *

“Ri, mau kemana sih?”
“Bukan urusan lo!”
“Ri, gue mau ngomong.”
“Emang masih ada ya yang perlu kita omongin?”
Andra mencengkeram bahu Eri kuat-kuat dan memenjarakan pandangan Eri agar tertuju pada kedua matanya. “Ri, soal di MOI itu, lo cuma salah paham.”
“Salah paham gimana!?” Eri menghempas tangan Andra.
“Gue sama cewek itu nggak pacaran.”
“Nggak pacaran tapi saling selingkuh, gitu ‘kan?” tandas Eri tajam, Andra mengatupkan mulutnya rapat. “Gue udah selidiki semuanya! Nama cewek itu Rere ‘kan? Anak ITB semester 4. Dia udah punya pacar namanya Didas dan elo sama dia udah berkomplot buat menjalin hubungan dibelakang gue dan si Didas itu ‘kan?”
Andra masih diam, semua kata-katanya kembali tertelan pahit.
“Lo sama gue udah over, Ndra. Jadi kalau elo mau ngelanjutin hubungan terlarang lo itu, ya silahkan aja! gue nggak ada hak buat ngelarang.”
“Ri, gue mohon!”
Tiba-tiba Eri mengangkat tangan kirinya, melepaskan cincin yang melingkar manis disana. “Nih! Gue balikin cincin lo! Seharusnya elo kasih itu buat Rere bukan buat gue.” Eri menarik gagang koper kecil miliknya dan berjalan memasuki pintu kereta. Sementara Andra, terlihat mengepalkan tangannya kesal. Setumpuk emosi sedang berusaha diredakannya. Didalam genggamannya terdapat sebuah cincin, cincin yang “dulunya” adalah milik Eri. Huh! Kandas sudah pertunangan ini. Semua yang sudah dititi dari awal, hancur dalam sekejap hanya dengan sebuah kesalahan besar yang dibuat Andra : membiarkan wanita lain menempati hatinya.

* * * * * * * *

Eri membuang pandangannya keluar jendela kereta. Pikirannya terbang ke awang-awang. Secercah harapan menyembur dihatinya, semoga ia dapat bertemu I’am di Jakarta kelak. Namun kini pikirannya teralih akan suatu hal yang baru saja terjadi kemarin. Kejadian yang indah, pikir Eri sambil tersenyum-senyum sendiri. Semua rekaman reka ulang di detik-detik saat Eri memutuskan hubungannya dengan Andra di MOI kemarin kembali berkelebat.
Mungkin ini yang dinamakan takdir Tuhan. Disaat Eri benar-benar telah jenuh akan semuanya, disaat itu pula ia menemukan waktu yang pas untuk mengakhiri hubungannya dengan Andra. Kalau boleh jujur, Eri setidaknya cukup senang mengetahui Andra berselingkuh. Karena dengan begitu, Eri akan punya alasan kuat untuk membuang Andra jauh-jauh dari hidupnya, dan kembali fokus untuk membuka hati pada I’am.
Benar kata orang-orang : Tuhan tidak tidur, dan Tuhan adalah hakim yang seadil-adilnya.
“Mba, mau minum?” tawar seorang pedagang asongan sambil menyodorkan sekaleng minuman soda.
Eri melempar senyum termanisnya. “Boleh,” lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang sepuluh-ribuan. “Kembaliannya ambil aja.” Ucap Eri ketika kaleng minuman soda sudah berada digenggamannya.
Pedagang asongan itu tersenyum penuh makna lalu kembali berjalan menyelusuri gerbong kereta, menjajakan dagangannya.
Eri meneguk minuman soda miliknya, matanya kembali memandang kearah luar jendela kereta. Kini pikirannya telah penuh dengan sosok I’am. Tak ada lagi Ryzky, tak ada lagi Andra.

* * * * * * * *

Igo duduk didepan PC butut miliknya, tangannya beradu dengan kibor. Sementara itu, ditelinganya tercantol headset berwarna hitam. Dan ponsel kesayangan miliknya, sudah tersampir dipangkuan.
“Gimana di Amsterdam?” tanya Igo pada orang yang diteleponnya.
“Ya gitu deh! Borned!
Alis Igo bertaut, namun tangannya masih sibuk memencet tuts kibor. “Borned? Gimana bisa? Bukannya disana asyik!”
“Karena disini nggak ada Eri, makanya membosankan.”
Kali ini jari-jari gempal milik Igo berhenti bergerak. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Eri terus yang ada dipikiran lo! Sembuhin dulu tuh kaki!”
Orang yang ternyata adalah I’am itu malah terkekeh. “Kenapa memang? Nggak boleh?”
“Ya, boleh sih,” Igo bangkit dari duduknya dan menghampiri meja kecil yang ada disamping tempat tidur, disana sudah tersedia secangkir teh hangat. “Tapi utamanin dulu kesehataan lo. Oh ya, gimana sekolah disana ‘am?” Igo meneguk teh hangat miliknya dengan cepat.
“Ya gitu deh. Banyak bule-bule.”
“Banyak kompeninya nggak?” tanya Igo nggak mutu. Halooo! Kompeni mah udah musnah dari zaman baheula kaleee!
“Dasar bodoh!” tanggap I’am. “Hm, gue nggak sabar pengen balik ke Indonesia. Gue pengen buru-buru lulus terus pengen cepet-cepet nyelesain terapi kaki gue.”
“Karena Eri lagi?”
“Iya. Bagaimanapun gue harus memenuhi amanat Ryzky buat jaga Eri, sekalipun sekarang Eri udah ada tunangan…”

* * * * * * * *

Thamrin City, malam hari…
Eri memasuki sebuah swalayan kecil. Ia pergi kesana untuk membeli beberapa buah makanan kaleng dan cemilan karena persediaan makanannya sudah hampir habis. Sebenarnya sih bisa beli di supermarket yang ada didekat hotel tempat Eri menginap. Tapi berhubung Eri berniat sekalian jalan-jalan plus “cuci mata” jadi deh Thamrin City sebagai tujuan.
Eri memasukkan beberapa snack kentang dan singkong kedalam keranjang belanjaan yang dibawanya, setelah itu tangannya menjelajahi rak tempat minuman dijajarkan. Beberapa detik berpikir, Eri memutuskan untuk membeli 5 kaleng jus jambu dan dua kaleng susu instan.
Puas berbelanja bahan makanan, Eri memutuskan menyusuri barisan rak-rak yang menyediakan peralatan mandi. Disana Eri membeli dua buah sabun mandi dan sebotol sampo. Ketika jemari lentik Eri hendak menjamah sebuah sikat gigi berwarna ungu yang ada dihadapannya, tepat pada titik itu pula tangan seseorang menyentuh punggung tangan Eri. Sepertinya orang itu juga berniat untuk membeli sikat gigi ungu itu.
Eri menoleh, menatap tajam orang yang ada disampingnya itu. “Sori, sikat gigi ini…, Igo?” Eri menjerit tertahan. Keranjang belanjaan yang ada ditangannya ikut jatuh kelantai, membuat semua barang belanjaannya jatuh berhamburan. “Igo, gue udah lama nyari elo!” Eri memeluk Igo gembira.
Igo melepas pelukan Eri dan menjatuhkan pandangannya lekat, tepat dikedua mata Eri. “Gue rasa kita perlu ngomong banyak, Ri.”

* * * * * * * *

“Jadi, I’am pindah ke Amsterdam?”
Igo mengangguk, ia membuang pandangannya ke lantai kafe. Pada detik berikutnya, Igo dapat merasakan sesuatu menjamah tangannya, rupanya tangan lembut nan hangat Eri telah menggenggam punggung tangan Igo erat. “Gue mohon elo cerita sama gue, Go! Buat apa I’am pindah ke Amsterdam?”
“Seharusnya gue nggak boleh ceritain hal ini ke elo, Ri.”
“Kenapa!?”
“Karena I’am melarang gue.”
“Kenapa dia ngelarang elo?!”
Igo tersentak, tubuhnya mundur beberapa centi. “R i, please. Jangan paksa gue cerita.”
“Nggak!” Eri menghentak meja, membuat Igo benar-benar hampir terjungkal dari kursinya. “Pokoknya gue mau elo cerita!” desak Eri, memebuat Igo makin terpojok.
Kini air muka Igo sangat mirip dengan anak kecil yang sedang berhadapan dengan kuntilanak yang akan menculiknya. Menyedihkan! Bentakan Eri ternyata ampuh membuat Igo merinding ketakutan dan hampir ngompol. “Iya-iya. Gu.. gue cerita!” putus Igo akhirnya, menyerah.
Eri menarik nafas panjang, mencoba mengatur emosinya yang meledak-ledak. “Oke, sekarang cerita kenapa I’am pindah ke Amsterdam?”
Igo memainkan kedua jari jempol tangannya. Ia terlihat gugup. “Sebenarnya waktu malam pertunangan lo itu…,” Igo mendekatkan wajahnya ke wajah Eri. “Gue sama I’am mau datang.” Bisiknya.
Eri tersentak, wajahnya menunjukkan betapa ia tak percaya akan apa yang dibicarakan oleh Igo barusan. “Tapi kok..,”
“Gue sama I’am nggak  boleh masuk! Kami nggak bawa undangan.”
Eri diam, tangannya bergemetar hebat.
“Akhirnya gue dan I’am memutuskan untuk pergi…,” Igo menghelas nafas panjang. “Untuk mencari mawar.”
“Mawar?!”
Igo mengangguk. “I’am bilang sama gue, Ryzky pernah cerita kalau elo pengen banget suatu hari nanti dilamar pake sekarung mawar. Dan I’am pergi..,”
“Buat nyari sekarung mawar penuh, gitu?” potong Eri pada sasaran.
Sekali lagi Igo mengangguk, kini air mukanya berubah. “I’am pengen ngebatalin acara pertunangan itu, Ri. Karena I’am engen ngelamar elo. Dan lo tahu? I’am ngedapetin semua bunga mawar itu dari hasil mencuri.”
Mata Eri membulat kaget, rasa penuh tak percaya benar-benar menyelubunginya. “Tapi sayang, dia ketahuan sama pemilik kebun dan akhirnya…,”
“Akhirnya apa!?” desak Eri, ia mengguncang tubuh Igo kencang.
Igo menghela nafas berat. “I’am tertabrak mobil saat dikejar-kejar oleh pemilik kebun dan massa disekitar kompleks itu. Itulah sebabnya I’am pergi ke Amsterdam.”
“Dia menjalani pengobatan disana?” tanya Eri jitu.
“Iya, tapi bukan cuma itu, Ri.”
“Terus? Apa lagi!”
“Dia kesana juga sekaligus melanjutkan beasiswa sekolah menengah-nya.”
Eri mencelos, tubuhnya terasa begitu lemah. Ia menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi, disusul dengan air matanya yang berbulir. “Gue ngerasa bersalah banget sama I’am.”
“Ini bukan salah lo, Ri,” Igo tersenyum penuh makna. “Lagi pula I’am janji kok bakal segera balik ke Indonesia bulan Juli nanti. Setelah kelulusan.”
Eri mendongak, menatap Igo penuh harap. “Serius?”
Igo mengangguk, senyum teduhnya masih belum luntur. “Tapi sepertinya percuma ya sekalipun I’am balik ke Indonesia.”
Eri menyeka air matanya. “Kenapa?”
“Karena elo udah ada tunangan. Jadi I’am udah nggak ada kesempatan lagi buat ngedapetin hati lo, bukan?”
Eri tersenyum geli sambil melempar sorot mata dengan makna tersembunyi pada Igo. “Kata siapa bakal begitu? Sok tahu!”
Dahi Igo jadi keriting. “Maksud lo?”

* * * * * * * *

I’am beranjak bangun dari tidurnya. Telinganya mendengar suatu suara. Entah suara apa, yang jelas sangat berisik.
Ia melangkahkan kaki keluar kamar, menuju lantai dasar rumahnya. Disana ia hanya mendapati Mama dan Papa-nya yang sedang sarapan. “Ma, Pa?”
“Eh udah bangun kamu ‘am. Ayo sini! Sarapan.”
I’am tersenyum simpul. “Nggak usah, Ma. Belum lapar,” I’am kembali mengedarkan pandangannya kesetiap sudut ruangan. Mencari asal suara berisik itu. “Ma, Pa. dengar suara berisik gitu nggak sih?”
Mama dan Papa saling tukar pandang sejenak sambil senyam-senyum. “Oh itu kali bunyinya dari kebun belakang.” Sahut Mama.
“Kebun belakang?”
“Iya. Ada tukang kebun baru.” Kali ini Papa yang bicara.
“Tukang kebun itu lagi ngapain sih, Ma? Kok berisik banget.”
“Lagi Mama suruh tanam bunga baru.”
Mata I’am membola terkejut. “Bunga? Baru? Terus tulip aku..,” I’am memutus kalimatnya dan tanpa dikomando berlari menuju halaman belakang.
Sialan! Kalau Mama nyuruh tukang kebun baru itu buat tanam bunga baru, berarti semua bunga tulip gue…, aaaarrrgh! I’am jadi pusing sendiri memikirkan jika bunga tulip kesayangannya yang sudah susah payah dirawat dengan seenak udel dirusak oleh orang lain.
I’am mengerem laju larinya, ia berhenti tepat diambang pintu yang berhadapan langsung dengan taman belakang. Ia menjatuhkan pandangannya tepat pada si tukang kebun baru yang sedang membelakanginya dengan posisi berjongkok, tukang kebun itu sedang menanam bunga… mawar. I’am mengunci mulutnya rapat, menyadari satu hal : taman tulipnya sudah berubah menjadi taman mawar.
“Hei! Tukang kebun! Sini kamu!” sentak I’am dengan nada geram. Namun tukang kebun itu masih bergeming. Ia tak bergerak sedikitpun. “Hei! Saya ini majikan kamu. Kamu seharusnya patuh sama saya.”
I’am menghentak kakinya kesal. Sial! Sengak banget nih tukang kebun, pikirnya.
I’am berjalan cepat, mendekati tukang kebun itu. Saat telah berada dibelakangnya, dengan secepat kilat I’am membuka topi ala cowboy yang dikenakan si tukang kebun. “Kamu itu budeg atau…,” I’am memutus perkataannya dan menelan ludahnya dengan susah payah. “Kamu cewek?” I’am terkejut bukan main begitu mendapati juntaian rambut hitam lebat yang indah menyibak dari balik topi.
Si tukang kebun berdiri, masih membelakangi I’am. Arit yang ada digenggamannya jatuh ketanah dengan kasar. I’am sampai bergidik ngeri sendiri. Tukang kebun ini seakan siap membunuhnya.
Baru saja I’am hendak memutar tubuhnya dan berbalik masuk kedalam rumah ketika pundaknya digenggam erat oleh si tukang kebun dan dengan gerakan cepat si tukang kebun berhasil memutar tubuh I’am 1800 menghadap kearahnya.
“Hai ‘am. Long time no see, right?
Apa mata I’am nggak salah lihat?! Kok…, ya tuhan! Kalau saja ini mimpi, sungguh I’am nggak mau bangun lagi dari tidurnya. “Eri?”
Eri tersenyum. “Maaf ya, udah bikin kacau kebun tulip lo. Gue cuma mau ngasih lo surprise.”
“Iya, Ri. Iya,” I’am memeluk Eri hangat. “Apapun itu, demi elo. Gue rela. Sekalipun kebun tulip kesayangan gue jadi korban.” Ujar I’am setengah bercanda.
Eri melepas pelukan I’am dan menatapnya geli. “Lagian lo pasti suka ‘kan sama kebun mawar ini? Gue sendiri loh yang tanam.” Bangga Eri.
Namun tiba-tiba air muka I’am berubah, matanya itu adalah mata yang penuh tanda tanya. “Tapi tunggu dulu! Lo tahu dari mana kalau..,”
“Igo. Dia yang ngasih tahu gue semuanya,” Eri menggenggam tangan I’am erat, seakan tak ingin dilepaskannya lagi. “Gue kesini cuma buat elo ‘am. Gue pengen elo tahu, gue sayang sama lo.”
I’am geleng-geleng kepala. “Nggak, Ri! Nggak! Lo nggak boleh begini. Lo udah ada yang punya.”
Eri tergelak hebat hingga air mata muncul disudut matanya. Ia seperti habis menonton acara lawak terlucu didunia. “Gue? Ada yang punya? Hahahahahaha.” Sekali lagi Eri tergelak.
“Maksud lo?”
Eri menghentikan tawanya dan berubah menatap I’am dalam. “Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi ‘am.”
“Kata siapa? Bentar lagi ‘kan Eri mau jadi punya I’am. Ya nggak, Pa?” terdengar suara lantang Mama I’am dari ambang pintu.
Kontan I’am menoleh, menatap Mama dengan tatapan bingung. “Kalian semua ngomong apa sih? Aku nggak ngerti,” keluh I’am. “Ma, asal Mama tahu ya, Eri udah ada yang…, hhmpph!” tiba-tiba Eri memebekap mulut I’am rapat.
“Bawel banget sih! Udah gue bilang gue nggak ada yang punya.” Sungut Eri.
I’am menghempas tangan Eri. Matanya membola, sepertinya ia sudah mengerti maksud dari semua pembicaraan ini. “Jadi, kamu sama Andra…,”
Eri mengangguk mantap. “Iya.”
Senyum lebar mengembang dibibir I’am. Sebuah beban besar seakan sudah lepas dari hidupnya. “Kalau gitu…,” I’am berlutut menggenggam tangan Eri erat. Matanya dan mata Eri saling beradu. “Would you marry me?
“HAH!?” seru Mama, Papa dan Eri kompak.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar